Ketimpangan Kelas Menengah Menurut Kriteria World Bank

33 menunjukkan ketimpangan yang lebih rendah daripada dengan kriteria 60 persen Gambar 5.7. Bahkan dari semua kriteria, indeks ketimpangan kriteria WB merupakan yang terkecil untuk setiap tahun. Hal ini dapat difahami kerana jumlah kelas menengah pada kriteria WB lebih sedikit dibanding dengan kriteria lainnya. Gambar 5.7. Indeks Gini Indonesia dan Kelas Menengah berdasarkan kriteria USD, 60 persen, dan World Bank Sumber: Pengolahan Data Susenas Ketimpangan distribusi pendapatan kelas menengah menurut provinsi secara lengkap diperlihatkan pada Lampiran 23 dan 24. Lima provinsi dengan indeks ketimpangan terendah dan tertinggi menurut tahun 2012, diperlihatkan pada Tabel 5.13. Pada dua kriteria sebelumnya kriteria USD dan kriteria 60 persen, provinsi dengan indeks Gini terendah adalah DKI Jakarta, diikuti oleh Kep. Bangk Belitung. Namun dengan kriteria WB posisinya terbalik, provinsi dengan indeks Gini terendah adalah Kep. Bangka Belitung, diikuti oleh DKI Jakarta. Secara total, Kep. Bangka Belitung memang memiliki indeks Gini terendah dibanding dengan provinsi lainnya di Indonesia lihat Lampiran 5. Namun tidak demikian dengan DKI Jakarta. Secara total provinsi ini menempati urutan ke-26 dari 33 provinsi pada tahun 2012 dan urutan ke-29 pada tahun 2011. Dengan kata lain, meski secara total ketimpangan pendapatan di provinsi DKI relatif tinggi, namun pada kelompok kelas menengahnya justru relatif kecil. 0.338 0.391 0.354 0.375 0.370 0.370 0.381 0.414 0.421 0.283 0.305 0.287 0.293 0.289 0.282 0.266 0.254 0.250 0.138 0.159 0.148 0.165 0.161 0.156 0.174 0.182 0.180 0.099 0.116 0.108 0.119 0.114 0.113 0.122 0.130 0.129 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 0.350 0.400 0.450 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Indonesia USD 60 WB 34 Tabel 5.13. Indeks Gini Kelas Menengah menurut Provinsi 5 terkecil dan terbesar menurut tahun 2012; Kriteria WB No Provinsi Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Babel 0.0953 0.1103 0.1029 0.1132 0.1104 0.0976 0.1158 0.1309 0.1222 2 DKI 0.0819 0.0965 0.0910 0.0999 0.0991 0.0941 0.1065 0.1161 0.1226 3 Sumsel 0.0972 0.1134 0.1060 0.1159 0.1172 0.1138 0.1229 0.1302 0.1229 4 Bengkulu 0.0993 0.1156 0.1075 0.1123 0.1144 0.1083 0.1195 0.1310 0.1240 5 Gorontalo 0.0974 0.1122 0.1083 0.1206 0.1163 0.1120 0.1227 0.1296 0.1241 .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 29 Jabar 0.0980 0.1159 0.1077 0.1199 0.1121 0.1119 0.1211 0.1300 0.1307 30 Kep. Riau - 0.1118 0.1029 0.1113 0.1104 0.1021 0.1129 0.1128 0.1310 31 Banten 0.0961 0.1164 0.1063 0.1178 0.1158 0.1141 0.1241 0.1311 0.1311 32 Sulbar - - 0.1083 0.1271 0.1094 0.1127 0.1233 0.1294 0.1317 33 Riau 0.0978 0.1128 0.1041 0.1147 0.1116 0.1120 0.1214 0.1278 0.1331 Sumber: Lampiran 23 Hal lain yang menarik dari Tabel 5.13, bahwa bila pada kedua kriteria sebelumnya, provinsi Papua merupakan provinsi dengan indeks Gini tertinggi ketimpangan paling tinggi, namun tidak demikian dengan kelas menengah menurut kriteria WB. Posisi terendah dari 33 provinsi justeru berada pada Provinsi Riau, sedangkan Papua berada pada urutan ke-27 pada tahun 2012 lihat Lampiran 24. Selin itu, pada dua kriteria sebelumnya USD dan 60 persen, 5 provinsi dengan ketimpangan tertinggi didominasi oleh provinsi dari Indonesia bagian Timur, namun dengan kriteria WB didominasi oleh provinsi dari Indonesia bagian Barat. Pada kriteria ini dicoba menghitung indeks Gini untuk masing kelompok pendapatan, yaitu kelompok atas, menengah, dan bawah seperti diperlihatkan pada Tabel 5.14. Dari tabel ini terlihat bahwa kelompok dengan pendapatan tinggi lebih tidak merata dibandingkan dengan kelompok pendapatan sedang, dan rendah. Kelas menengah secara rata-rata memiliki tingkat ketimpangan yang paling rendah dibandingkan dengan ketimpangan pada kelas bawah dan atas. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 5.8, dimana kelas atas jauh melampaui dua kelas lainnya. 35 Tabel 5.14. Indeks Gini Kelas Atas, Menengah dan Bawah Menurut Provinsi Tahun 2010; Kriteria WB diurut berdasarkan Gini total No Provinsi Indeks Gini Total Prov Atas Menengah Bawah 1 Kep. Bangka Belitung 0.3026 0.2078 0.0946 0.1118 2 Kep. Riau 0.3059 0.1701 0.0993 0.1218 3 Nanggroe Aceh Darussalam 0.3090 0.1914 0.0881 0.1118 4 Jambi 0.3100 0.1875 0.1025 0.1029 5 Kalimantan Tengah 0.3135 0.1761 0.1066 0.1088 6 Riau 0.3341 0.1907 0.1069 0.1144 7 Maluku Utara 0.3343 0.1621 0.1112 0.1322 8 Sumatera Barat 0.3396 0.1971 0.1065 0.1184 9 Jawa Timur 0.3429 0.2207 0.1085 0.1026 10 Maluku 0.3465 0.1734 0.1268 0.0990 11 Sumatera Utara 0.3486 0.2488 0.1043 0.1186 12 Sumatera Selatan 0.3496 0.2232 0.1168 0.1076 13 Jawa Tengah 0.3524 0.2436 0.1081 0.0990 14 Sulawesi Barat 0.3565 0.1892 0.1272 0.0932 15 Jawa Barat 0.3567 0.2124 0.1171 0.1171 16 Kalimantan Selatan 0.3573 0.2271 0.1130 0.1094 17 DKI Jakarta 0.3573 0.2359 0.1093 0.1087 18 Bali 0.3630 0.1930 0.1270 0.1176 19 Kalimantan Timur 0.3667 0.2331 0.1109 0.1461 20 Lampung 0.3669 0.2839 0.1109 0.0975 21 Bengkulu 0.3716 0.2336 0.1227 0.0963 22 Sulawesi Tengah 0.3720 0.2046 0.1300 0.1052 23 Kalimantan Barat 0.3775 0.2597 0.1145 0.1051 24 Sulawesi Utara 0.3790 0.1918 0.1413 0.0980 25 Nusa Tenggara Timur 0.3850 0.2436 0.1216 0.1099 26 Papua Barat 0.3950 0.2020 0.1346 0.1524 27 Sulawesi Selatan 0.4057 0.2194 0.1396 0.1254 28 Nusa Tenggara Barat 0.4063 0.2811 0.1372 0.0900 29 Banten 0.4076 0.2666 0.1316 0.1241 30 Sulawesi Tenggara 0.4231 0.2412 0.1428 0.1047 31 Papua 0.4236 0.1914 0.1890 0.1152 32 DI Yogyakarta 0.4316 0.2249 0.1608 0.1164 33 Gorontalo 0.4348 0.2883 0.1613 0.0947 Sumber : Pengolahan Data Susenas Dari tabel 5.15 terlihat bahwa kelompok dengan pendapatan tinggi lebih tidak merata dibandingkan dengan kelompok pendapatan sedang, dan rendah. Kelas menengah secara rata-rata memiliki tingkat ketimpangan yang paling rendah dibandingkan dengan ketimpangan pada kelas bawah dan atas. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 5.8, dimana kelas atas jauh melampaui dua kelas lainnya. 36 Gambar 5.8. Indeks Gini kelas Atas, Menengah dan Bawah Menurut Provinsi Tahun 2010; Kriteria WB Sumber: Tabel 5.14 5.3.Pengaruh Kelas Menengah Terhadap Perekonomian

5.3.1. Fungsi Konsumsi

Model konsumsi dari Keynes menunjukkan bahwa tingkat konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan, melalui sisi permintaan. Berdasarkan data konsumsi rumahtangga dan pendapatan yang diproksi dari data Produk Domestik Bruto Indonesia selama kurun waktu 20 tahun 1993-2012, diperoleh fungsi konsumsi sebagai berikut: Konsumsi = -22939.6 + 0.779844 Pendapatan 20 Fungsi konsumsi pada persamaan 20 mempunyai tingkat signifikansi pada alpha sebesar 1 persen, sehingga cukup berarti untuk digunakan sebagai dasar menentukan tingkat MPC Marginal Propensity to Consume. Dari persamaan 20 terlihat bahwa besarnya nilai MPC Indonesia dalam penelitian ini sebesar 0,78 dan inilah besarnya rasio dari tingkat konsumsi masyarakat atas pendapatannya. MPC sebesar 0,78 mengindikasikan jika terjadi kenaikan pendapatan masyarakat sebesar Rp 100, maka sebesar Rp 78 di antaranya digunakan untuk konsumsi. Karena keterbatasan data, MPC yang dihasilkan pada persamaan 20 bukanlah MPC untuk kelas menengah, tetapi merupakan MPC total. Namun demikian, MPC ini tetap dapat digunakan sebagai proksi yang baik untuk memperkirakan tingkat konsumsi dari semua kalangan pendapatan masyarkat Indonesia. 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 NA D Su m ut Su m ba r Ri au Ja m bi Su m se l Be ng ku lu Lam pung Ba be l Ke pr i DK I Ja ba r Ja te ng DI Y Ja tim Ba nt en Ba li NT B NT T Ka lb ar Ka lte ng Ka ls el Ka lti m Su lu t Su lte ng Su ls el Su lte ng Go ro nt al o Su lb ar Ma lu ku Ma lu t Pa ba r Pa pu a TotalProv Atas Menengah Bawah 37 5.3.2. Dampak Simulasi Kenaikan Pendapatan Kelas Menengah Terhadap Tingkat Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor EkonomiIndustri Untuk melihat dampak kenaikan pendapatan kelas menengah terhadap pertumbuhan ekonomi, dilakukan simulasi perubahan pendapatan yang diproksi dengan pengeluaran dari rumah tangga pada ketiga kelompok kelas menengah di Indonesia. Simulasi dilakukan dengan tiga skenario, yaitu meningkatkan pendapatan sebesar 10 persen, 15 persen dan 20 persen dari baseline. Model yang digunakan untuk membuat simulasi adalah Tabel Input Output Tahun 2008. Asumsi perekonomian pada tahun 2012 dianggap sama strukturnya dengan tahun 2008, sehingga kita bisa menggunakan perubahan dari konsumsi rumahtangga sebagai variabel eksogen mempengaruhi output total atau PDB. Hasil Simulasi untuk ketiga skenario diperlihatkan pada Tabel 5.15. Tabel 5.15. Hasil Simulasi Kenaikan Pendapatan Kelas Menengah Rata-rata Pengeluaran Rp: Total Populasi 2,449,919.00 Kelompok USD10-USD100 1,867,434.00 Kelompok 20-80 60 1,639,903.92 Kelompok World Bank 2,174,802.19 SIMULASI I Kenaikan Pendapatan Pertumbuhan Ekonomi Kelompok 20-80 10 0.1187 Kelompok US10-US100 10 0.1059 Kelompok WB 10 0.1382 SIMULASI II Kenaikan Pendapatan Pertumbuhan Ekonomi Kelompok 20-80 15 0.1836 Kelompok US10-US100 15 0.1613 Kelompok WB 15 0.2138 SIMULASI III Kenaikan Pendapatan Pertumbuhan Ekonomi Kelompok 20-80 20 0.2372 Kelompok US10-US100 20 0.2116 Kelompok WB 20 0.2759 Sumber: Perhitungan Simulasi dengan Tabel I-O Hasil simulasi pada Tabel 5.15 menunjukkan tingkat perubahan pengeluaran yang merupakan porsi dari MPC sebesar 0.78 terhadap perubahan pendapatannya. Secara umum, kenaikan tingkat pendapatan kelas menengah untuk ketiga kriteria, berdampak sangat kecil terhadap pertumbuhan ekonomi. Suatu alasan yang menyebabkan ini terjadi bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh banyak faktor. Jika PDB merupakan fungsi dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih PDB=C+I+G+X-M,