Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung

ANALISIS EKONOMI KOPI RAKYAT DAN PERANANNYA
TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN
LAMPUNG BARAT PROVINSI LAMPUNG

LINA MARLINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi Kopi
Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung
Barat Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Lina Marlina
NRP H152110091

RINGKASAN
LINA MARLINA. Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap
Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung.Dibimbing
oleh ARYA HADI DHARMAWAN and YETI LIS PURNAMADEWI
Harga kopi yang diterima petani kopi di Provinsi Lampung khususnya
Kabupaten Lampung Barat sangat kecil jika dibandingkan dengan harga eceran di
negara pengimpor utama. Rendahnya harga yang diterima petani diduga karena
panjangnya rantai komoditas pemasaran komoditas kopi dan struktur pasar yang
tidak kompetitif. Periode waktu yang relatif lama bagi komoditas perkebunan
untuk memperoleh hasil menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan
di luar usaha tani kopi diantaranya dari sektor non pertanian. Kopi merupakan
komoditas penting di Kabupaten Lampung Barat karena selain merupakan salah
satu sentra produksi kopi sehingga kopi merupakan salah satu komoditi unggulan

daerah, juga karena usahatani kopi merupakan perkebunan rakyat dengan skala
usaha yang relatif kecil. Dengan demikian, pembangunan komoditas kopi tidak
hanya sebagai penopang perekonomian daerah, tetapi juga turut membangun
perekonomian atau kesejahateraan rakyat.
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut: (1) menganalisis
tataniaga komoditas kopi di Kabupaten Lampung Barat; (2) mengkaji dan
menganalisis sumbangan ekonomi kopi terhadap rumah tangga petani kopi di
Kabupaten Lampung Barat; (3) menilai dan mengkaji peran sektor perkebunan
kopi rakyat dalam mendukung perekonomian Kabupaten Lampung Barat.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2013 yang berlokasi di
Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Pemilihan lokasi penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah ini
merupakan sentra penghasil kopi terbesar di Provinsi Lampung. Jenis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Penelitian
ini dilakukan dengan metode survei, sehingga ditentukan sampel yang
representatif terhadap populasi target. Adapun responden dalam penelitian ini
adalah kepala keluarga yang bekerja sebagai petani kopi dan pedagang yang
terlibat dalam pemasaran kopi, dan Kelompok Wanita Tani (KWT). Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis pendapatan usahatani, analisis
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani, analisis pemasaran, dan

analisis kewilayahan.
Terdapat tiga saluran pemasaran yang biasa ditempuh petani kopi Lampung
Barat dalam memasarkan kopinya dan semua petani menjual dalam bentuk biji
kopi, tidak dalam bentuk kopi olahan. Saluran pemasaran yang terpanjang
melibatkan banyak lembaga pemasaran yaitu pedagang perantara, pedagang
pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan serta yang terakhir adalah
eksportir. Pilihan saluran pemasaran oleh petani lebih didasarkan pertimbangan
jarak, ikatan ekonomi, dan kekerabatan. Harga yang relatif sama diterima petani
baik dijual kepada pedagang perantara, pedagang desa maupun pedagang
kecamatan menyebabkan sebagian besar petani atau 68,33% lebih memilih
menjual kepada pedagang pengumpul desa. Petani kopi Lampung Barat menerima
harga yang relatif rendah dari yang seharusnya diterima disebabkan rendahnya
kualitas kopi yang dihasilkan terkait pengetahuan dan teknologi, keterikatan

hutang dengan lembaga pemasaran terkait, struktur pasar yang tidak kompetitif
serta belum berperannya kelompok tani atau koperasi sebagai wadah kerjasama
petani dalam meningkatkan efisiensi produksi dan pemasaran. Struktur pasar
yang tidak kompetitif, yaitu oligopsoni menyebabkan petani lebih sebagai price
taker.
Semua strata rumah tangga, baik rumah tangga petani berlahan sempit,

sedang maupun luas memiliki pola nafkah ganda dan usahatani kopi memberikan
peranan penting dalam ekonomi rumah tangga mereka. Pendapatan usahatani
kopi menyumbang lebih dari 60% terhadap total pendapatan rumah tangga dan
sumbangan terbesar terjadi pada rumah tangga petani luas. Petani berlahan sempit
dan sedang mengandalkan sektor non farm sebagai sumber pendapatan tambahan
karena dengan keterbatasan lahan tersebut sulit untuk petani berusahatani selain
kopi sehingga alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan adalah bekerja pada
sektor yang tidak terkait dengan pertanian. Sedangkan petani dengan penguasaan
lahan yang luas, sektor on farm non kopi merupakan salah sumber pendapatan
yang tinggi selain kopi.
Ditinjau dari tingkat pendapatan rumah tangga, berdasarkan kategori Bank
Dunia serta kemampuannya dalam melakukan investasi, rumah tangga petani
berlahan sempit tergolong kurang sejahtera sedangkan rumah tangga petani
berlahan sedang dan luas tergolong sejahtera. Namun demikian, ditinjau dari
tingkat pengeluaran rumah tangga, hanya petani berlahan luas yang relatif
sejahtera. Pada rumah tangga petani berlahan sempit dan sedang pengeluaran
masih terkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan dasar, sedangkan pada rumah
tangga petani berlahan luas pengeluaran tertinggi adalah untuk pemenuhan
kebutuhan tersier.
Ditinjau dari beberapa indikator, komoditas kopi mempunyai peranan

penting dalam perekonomian wilayah. Sektor perkebunan kopi di Lampung Barat
merupakan sektor basis (memiliki daya saing) dan komoditas yang maju, serta
mempunyai kontribusi yang besar terhadap nilai PDRB dan penyerapan tenaga
kerja, serta adanya potensi tambahan pendapatan dari hasil kopi sebesar
Rp. 2.908.425.000.000,- jika diolah di wilayah Kabupaten Lampung Barat, ini
menunjukkan terjadinya kebocoran wilayah.
Temuan di atas menunjukkan bahwa komoditas kopi merupakan sektor
basis di Kabupaten Lampung Barat serta mempunyai peranan besar dalam
ekonomi rumah tangga petani kopi, maka komoditas tersebut dapat diandalkan
untuk memacu pertumbuhan ekonomi regional serta rumah tangga. Untuk dapat
meningkatan peranannya tersebut maka peningkatan produktivitas dan
mengefisienkan tataniaga kopi menjadi utama. Dalam hal ini pemerintah harus
mendorong dan memfasilitasi masyarakat petani untuk melakukan peremajaan
tanaman, memperbaiki teknik budidaya dan pasca panen serta mendorong
berkembanganya industri pengolahan kopi yang berdayasaing yang mampu
meningkatkan nilai tambah kopi. Disamping itu dalam mengefisienkan pemasaran
juga diperlukan peran kelembagaan seperti kelompok/koperasi agar petani mampu
meningkatkan bargaining position, economic of scale serta untuk dapat
memotong jalur pemasaran.


Kata kunci : analisis ekonomi, ekonomi regional, petani kopi, tataniaga kopi

SUMMARY
LINA MARLINA. The Economic Analysis of Coffee Smallholders and The Role
to Regional Economic of West Lampung Regency The Province of Lampung.
Supervisor by ARYA HADI DHARMAWAN and YETI LIS PURNAMADEWI
The coffee prices received by coffee farmers in Lampung Province,
especially in West Lampung Regency, are very small when compared to retail
prices in major importing countries. The low prices received by farmers are
caused by the extensive coffee commodity marketing chain length and the
uncompetitive structure of the coffee commodity market. A relatively long period
of the commodities in obtaining the result leads the farmers to look for alternative
income, outside of coffee farming, from non-agricultural sector. Coffee is an
important commodity in West Lampung Regency because besides this regency is
being a center of coffee production so that coffee is one of the leading regional
commodity, a coffee farming is smallholders plantation with relatively small-scale
businesses. Thus, the development of the coffee commodity is not only as regional
economic supporter, but also builds the economy or the people’s welfare.
This study has three main objectives as follows: (1) analyzing the
commodity value chains in West Lampung Regency; (2) reviewing and analyzing

the economic contribution to the household of coffee farmers in West Lampung
Regency; (3) assessing and examining the role of coffee plantations sector in
supporting the economy of West Lampung Regency.
The Research carried out in June and July 2013 was located in West
Lampung Regency, Lampung Province. The choice of location research is
intentional (purposeful) with the consideration that this area is the largest and the
central coffee producer in Lampung Province. The type of data used in this study
are primary data and secondary data. The main of this study is done by a survey
method, to determine a representative sample of the target population in obtaining
the desired data. The respondents of this study were family heads who work as
coffee farmers and traders involved in the marketing of coffee, and a cluster of
Women Farmers (KWT). The analysis used in this study involves the analysis of
farm income, household income, production of farmers, marketing analysis, and
regionalism analysis.
There are three common marketing channels adopted by coffee farmers in
West Lampung Regency to trade that all of themsell their coffee in the form of
coffee beans, not in the form of processed coffee. The longest channel marketing
involves a lot of marketing agencies that are middlemen traders, village traders,
sub-district traders and the latter is an exporter. The channel choice by farmers is
based on a distance considerations, economic ties, and kinship. Relatively same

price that is received by farmers when it is sold to middlemen traders, village
traders, and sub-district traders causes most farmers or 68.33%, prefer selling the
coffee to village traders. West Lampung coffee farmers receive prices relatively
lower than acceptable prices due to the low quality of the resulting coffee related
to knowledge and technology, the debt engagement with marketing agencies, an
uncompetitive market structure, and underdeveloped the farmer groups or
cooperatives as a forum for cooperation of farmers in improving efficiency

production and marketing. Competitive market structures, namely oligopsonistic,
causing the farmers as the price taker.
All strata of households, i.e., small, medium, and wide land owner, have
double living pattern with coffee farming is as an important role in their
households economic. Coffee farming income contributes more than 60% of total
household income. The greatest contribution is occured to the households that
have wide coffee field. The farmers with small and middle field are relying on the
non farm sector as a source of additional income because the limitations of the
land leads difficulty to the coffee farmers to plant other farming excluded coffee
farming, so that, the alternative work to do by the coffee farmer is working on a
sector that is not related to agriculture. While for the farmers with large land
tenure, the non-coffe on farm sector is a high source of income besides coffee.

Reviewed from the level of household income, based on the category of the
World Bank and its ability to invest, the farmer households with small scale field
area are classified as less prosperous, while the farmer households with middle
scale and wide scale field area are relatively prosperous. However, in terms of the
level of household expenditure, only wide scale field owners are relatively
prosperous. The expenses in farmer housholds with small and middle scale field
are still concentrated to meet basic needs, while the highest expenses in wide scale
field owner farmer households are spent for tertiary fulfillment.
Reviewed from some indicators, coffee commodity has an important role in
regional economic. Coffee plantation in West Lampung is a sector basis
(competitive) and commodities advanced, having greatly contributed to the value
of GDP and employment, and indicating the additional income from coffee in
amount of Rp. 2.908.425.000.000,- if the coffee is processed in West Lampung
Regency region. This show a regional leakages.
The above findings show that coffee is a commodity basis sector of West
Lampung Regency as well as having a major role in the household economy of
coffee farmers, then the commodity can be relied on to stimulate regional
economic growth and household. In order to increase the role of commodity
cofee, the increasing of productivity and the efficiency of business administration
are the priority. In this respect, the government have to encourage and facilitate

the farmers to do replanting, improve cultivation and post-harvest techniques, and
encourage the growth of competitive coffee processing industry that is able to
increase the value-added coffee. Besides, the role of institutional, i.e., groups or
cooperations, is necessary for marketing efficiency, in order farmers are able to
improve their bargaining position, economies of scale, and to cut marketing
channels.

Keywords: coffee farmers, coffee marketing, economic analysis,
regional economic

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ANALISIS EKONOMI KOPI RAKYAT DAN PERANANNYA
TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN
LAMPUNG BARAT PROVINSI LAMPUNG

LINA MARLINA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Amzul Rifin, SP, MA

Judul Tesis : Analisis Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap
Perekonomian Wilayah Kabupaten Lampung Barat
Provinsi Lampung
Nama
: Lina Marlina
NRP
: H152110091

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr
Ketua

Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr
Anggota

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Mei 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Bismillahirrahmannirrahim. Alhamdulillahi Rabbil’alamin atas rahmat dan
kasih sayangNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis
Ekonomi Kopi Rakyat dan Peranannya Terhadap Perekonomian Kabupaten
Lampung Barat Provinsi Lampung dapat diselesaikan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar magister sains di Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
komisi pembimbing: Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr dan Dr Ir Yeti Lis
Purnamadewi, MScAgr atas bimbingan, saran dan kritiknya dalam pembuatan
tesis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda,
MS selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan
Perdesaan (PWD), Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSc selaku sekretaris Program
Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), serta
Dr Amzul Rifin SP, MA sebagai penguji pada ujian tesis yang telah memberikan
masukan bagi kelengkapan penulisan tesis ini.
Terima kasih kepada Rektor Universitas Lampung dan Dekan Fakultas
pertanian yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan
sekolah pada jenjang pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih pula kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat,
Kecamatan Gedung Surian, Kepala Pekon dan masyarakat Puramekar dan
Trimulyo yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, Dinas
Perkebunan Kabupaten Lampung Barat dan Provinsi Lampung.
Ucapan terima kasih tak terhingga kepada orangtua tercinta Dra Cut Rohani,
MPd dan Dr Sultan Djasmi, MPd atas kasih sayang, nafkah, motivasi, dan doa
untuk penulis. Terima kasih yang luar biasa juga kepada suami tercinta Ujang
Efendi, MPdI atas doa, cinta, dan pengorbanannya dan anak tersayang
Muhammad Zayan Fariz Arkan Efendi sebagai sumber inspirasi. Terima kasih
juga kepada kakak-kakak, adik-adik, dan keponakan atas dukungannya.
Kepada pengajar, staf, dan teman-teman S2 dan S3 PWD, terima kasih atas
kebersamaannya selama kegiatan perkuliahan, serta semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis sadar bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya
saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Juni 2014

Lina Marlina

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Saluran Pemasaran, Fungsi Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran
Saluran Pemasaran
Fungsi Pemasaran
Efisiensi Pemasaran
Struktur Pasar
Ekonomi Rumah Tangga Petani
Pendapatan Rumah Tangga Petani
Pengeluaran (Konsumsi) Rumah Tangga Petani
Investasi
Perekonomian Wilayah
Pengembangan Wilayah
Daya Saing Wilayah
Peranan Sektor Industri
Tinjauan Hasil Studi Terdahulu
3 KERANGKA PEMIKIRAN
4 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data
Definisi Operasional
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data
Analisis Pendapatan Usahatani
Analisis Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Analisis Tingkat Kesejahteraan
Analisis Pemasaran
Analisis Struktur Pasar
Analisis Kewilayahan
5 KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Kajian Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Responden

xii
xiv
xiv
1
1
3
7
7
8
8
8
10
11
13
16
16
18
21
22
22
24
25
27
29
32
32
32
32
35
36
36
37
37
38
39
39

42
48

DAFTAR ISI (lanjutan)
6 ANALISIS PEMASARAN KOPI
Analisis Saluran dan Fungsi Pemasaran Kopi
Analisis Efisiensi Pemasaran Kopi
Analisis Struktur Pasar
7 ANALISIS EKONOMI KOPI RAKYAT
Analisis Budidaya dan Usahatani Kopi
Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani
8 PERANAN KOPI RAKYAT DALAM PEREKONOMIAN
WILAYAH
Kontribusi Kopi dalam Pendapatan Domestik Regional Bruto
Peranan Kopi Rakyat dalam Penyerapan Tenaga Kerja
Analisis Potensi Pertumbuhan Sub Sektor Perkebunan dan Produksi
Komoditas Kopi
Efek Dampak Balik (Backwash Effect) dan Kontribusi Kopi
terhadap Ekonomi Kawasan
9 SIMPULAN, SARAN, DAN KONSEPTUALITAS GAGASAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

54
54
59
64
66
66
71
82
82
82
85
86
90
93
95
105

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Volume ekspor komoditi kopi Provinsi Lampung tahun 2007-2011
Luas areal dan produksi tanaman kopi rakyat menurut kabupaten/kota di
Provinsi Lampung tahun 2007-2011
Bentuk-bentuk pasar
Jenis dan sumber pengambilan data
Sistematika prosedur pengambilan sampel
Penggunaan lahan kering di Kabupaten Lampung Barat tahun 2008
Luas, produksi, dan produktivitas kopi di Kabupaten Lampung Barat
tahun 2012
Jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut
lapangan usaha di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012
Kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Lampung Barat
tahun 2012
Jumlah murid dan guru di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012
Fasilitas pendidikan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2012
Data penyebaran kelompok tani per kecamatan di Kabupaten Lampung
Barat tahun 2012
Komposisi usia responden
Tingkat pendidikan responden

2
4
15
32
35
43
44
45
46
47
47
48
49
50

DAFTAR TABEL (lanjutan)
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.

Pengalaman berusahatani kopi
Sebaran jumlah anggota keluarga responden
Pekerjaan responden pada sektor non pertanian
Penguasaan lahan
Umur tanaman kopi responden
Fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran kopi
Biaya pemasaran setiap lembaga pemasaran kopi
Nilai marjin pemasaran kopi pada setiap jalur pemasaran kopi
Share biaya dan keuntungan lembaga pemasaran kopi
Budidaya kopi di wilayah penelitian
Luas lahan, populasi, jarak tanam, umur, produksi dan produktivitas
Rata-rata penerimaan usahatani kopi per hektar area berdasarkan
kategori luas lahan
Rata-rata biaya usahatani kopi per hektar area berdasarkan kategori
luas lahan
Rata-rata pendapatan usahatani kopi per hektar area berdasarkan
kategori luas lahan
Pangsa masing-masing sumber pendapatan dan rata-rata pendapatan
petani kopi dari on farm kopi, on farm non kopi, non farm, dan
off farm
Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi berdasarkan kategori
luas lahan
Rata-rata pengeluaran per tahun dan pangsa pengeluaran rumah tangga
petani kopi
Rata-rata pengeluaran rumah tangga per tahun petani kopi berdasarkan
kategori luas lahan
Rata-rata pendapatan bersih rumah tangga petani kopi
Rata-rata pendapatan bersih per tahun petani kopi berdasarkan kategori
luas lahan
Rata-rata nilai pendapatan bersih petani kopi
Perbandingan pendapatan per kapita petani dengan garis kemiskinan
BPS dan bank Dunia berdasarkan kategori lahan
Rata-rata nilai investasi berdasarkan kategori lahan
PDRB atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha di
Kabupaten Lampung Barat tahun 2007-2011 (juta rupiah)
Luas areal dan produksi tanaman perkebunan di Kabupaten Lampung
Barat tahun 2007-2011
Karakteristik penduduk, jumlah, dan persentase di Kabupaten Lampung
Barat tahun 2011
Jumlah petani kopi di Kabupaten Lampung Barat tahun 2009-2011
Analisis shift-share sektor perkebunan dan komoditas kopi
Analisis pertumbuhan sektor perekonomian

50
51
52
52
53
58
60
62
63
67
68
68
69
70
72

73
76
77
79
80
80
81
82
83
84
85
86
87
88

DAFTAR TABEL (lanjutan)

44. Analisis pertumbuhan produksi sub sektor perkebunan
45. Hasil perhitungan LQ dan IS berdasarkan sektor perekonomian dan
subsektor perkebunan di Kabupaten Lampung Barat tahun 2011
46. Rincian perhitungan nilai ekonomi (economic value) kopi

88
89
91

DAFTAR GAMBAR
1. Skema pemasaran kopi secara modern
2. Skema pemasaran kopi secara tradisional
3. Kurva konsumsi pendapatan
4. Kerangka penelitian
5. Saluran pemasaran kopi di wilayah penelitian
6. Pelaku perdagangan kopi
7. Struktur pendapatan rumah tangga petani kopi
8. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi
9. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan sempit
10. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan sedang
11. Pangsa pendapatan rumah tangga petani kopi lahan luas
12. Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi
13. Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi lahan sempit
14. Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi lahan sedang
15. Pangsa pengeluaran rumah tangga petani kopi lahan luas

9
10
20
31
54
65
71
72
74
74
75
76
77
78
78

DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Kabupaten Lampung Barat
2. Kelompok wanita tani di Kabupaten Lampung Barat
3. Analisis shift share sektor perekonomian
4. Analisis shift share sektor perekonomian (lanjutan)
5. Analisis shift share komoditas perkebunan
6. Analisis shift share komoditas perkebunan (lanjutan)
7. Identitas petani kategori lahan sempit
8. Identitas petani kategori lahan sedang
9. Identitas petani kategori lahan luas
10. Karakteristik petani kategori lahan sempit
11. Karakteristik petani kategori lahan sedang
12. Karakteristik petani kategori lahan luas
13. Biaya usahatani kopi dan penerimaan kopi rumahtangga petani
kategori lahan sempit

105
106
107
108
109
110
111
111
112
113
113
114
115

DAFTAR LAMPIRAN (lanjutan)
14. Biaya usahatani kopi dan penerimaan kopi rumahtangga petani
kategori lahan sedang
15. Biaya usahatani kopi dan penerimaan kopi rumahtangga petani
kategori lahan luas
16. Sumber pendapatan rumah tangga petani kategori lahan sempit
17. Sumber pendapatan rumah tangga petani kategori lahan sedang
18. Sumber pendapatan rumah tangga petani kategori lahan luas
19. Pengeluaran dan pendapatan bersih rumahtangga petani kategori
lahan sempit
20. Pengeluaran dan pendapatan bersih rumahtangga petani kategori
lahan sedang
21. Pengeluaran dan pendapatan bersih rumahtangga petani kategori lahan
luas
22. Identitas pedagang dan tataniaga kopi
23. Identitas pedagang dan tataniaga kopi (lanjutan)

115
116
117
117
118
119
119
120
121
122

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian memiliki peranan penting dan strategis dalam
pembangunan regional dan nasional. Sektor pertanian merupakan basis dan
landasan perekonomian Indonesia selama ini, mengingat secara ekonomi
kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian nasional relatif masih cukup
besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.
Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang berperan strategis
dalam menyumbang terhadap pendapatan devisa PDB Indonesia. Indonesia
merupakan negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam
dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% kopi diekspor sedangkan sisanya
(33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (AEKI 2012). Ditjen PPHP
Kementan (2012) juga menjelaskan, permintaan yang tinggi dari pasar dunia
terhadap kopi Indonesia dapat dilihat dari total ekspor kopi (biji dan olahannya)
tahun 2010 sebesar 433,6 ribu ton dengan nilai US$ 814,3 juta yang dipasarkan
ke-65 negara tujuan ekspor.
Bila ditinjau dari pangsa pasar kopi Indonesia atas dasar volume di negara
tujuan utama, untuk pasar Jerman, Indonesia merupakan pemasok terbesar ke
lima atau 5,70 % dari total impor Jerman dari dunia sebesar 1.150,5 ribu ton.
Untuk pasar Jepang Indonesia menempati posisi ke tiga setelah Brazil dan
Columbia dengan pangsa pasar 14,22 % dari total impor Jepang. Kemudian untuk
pasar Malaysia, Indonessia memasok 44,68 % dari total impor Malaysia,
sekaligus menempati posisi kedua setelah Vietnam, sedangkan untuk pasar
Inggris, Indonesia menempati posisi kedua setelah Vietnam dengan pangsa pasar
13,93 %. Perkembangan hingga tahun 2010, pasar baru bagi kopi Indonesia
meliputi Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, Italia, Malaysia, Inggris, Belgia,
Mesir, Algeria dan Rusia. Kemudian ditambah dengan negara Korea Utara, Laos,
Kiribati (Ditjen PPHP Kementan 2012). Negara-negara tersebut khususnya Eropa
memiliki ketergantungan terhadap ekspor kopi dari negara berkembang
diantaranya Indonesia. Sebagai contoh, dari data ISTAT (2008) diketahui bahwa
pertumbuhan impor kopi Italia dari Indonesia sebesar 18,1%, dari USD 20,3 juta
di tahun 2003 menjadi USD 34 juta di tahun 2007 (Kemendag 2012).
Peran strategis kopi selain sebagai penghasil devisa juga karena merupakan
sektor yang menyerap tenaga kerja. Mayoritas perkebunan kopi secara nasional
dikelola secara oleh rakyat sehingga banyak masyarakat yang terlibat di
dalamnya. Menurut data dari AEKI (2014) luas areal perkebunan kopi Indonesia
saat ini mencapai 1,2 juta hektar. Dari luas areal tersebut, 96% merupakan lahan
perkebunan kopi rakyat dan sisanya 4% milik perkebunan swasta dan Pemerintah
(PTP Nusantara). Oleh karena itu, produksi kopi Indonesia sangat tergantung dari
perkebunan rakyat.
Kopi juga berperan dalam pengembangan industri mulai dari industri kopi
olahan kelas kecil (home industri), kelas menengah hingga kelas besar dan
didalam meningkatkan pendapatan. Ditjen PPHP Kementan (2012) memaparkan
bahwa industri biji kopi dan kopi olahan Indonesia mempunyai nilai keterkaitan

2

ke depan dan belakang langsung dan tidak langsung lebih besar dari satu. Hal ini
berarti peningkatan permintaan di industri biji kopi dan kopi olahan sebesar satu
satuan akan meningkatkan output di semua industri, termasuk terhadap dirinya
sendiri, yang relatif besar yaitu 1,5 kali lipat. Dengan memperhitungkan efek
konsumsi masyarakat, yaitu jika terjadi peningkatan pengeluaran rumah tangga
yang bekerja di industri kopi, maka kenaikan output tersebut dapat mencapai 3
kali lipat. Industri biji kopi dan kopi olahan juga mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan pendapatan tenaga kerja di semua industri. Efek induksi
pendapatan tenaga kerja di industri kopi dan kopi olahan terhadap industri lain
sekitar 1,6 kali lipat. Meskipun demikian industri biji kopi dan kopi olahan
memiliki keterbatasan dalam daya penyebaran ke belakang yang lebih tinggi
dibandingkan daya penyebaran ke depan, sehingga pertumbuhan industri ini lebih
banyak tergantung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Provinsi Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Jawa
Timur menurut AEKI (2014) merupakan provinsi yang menjadi sentra produksi
kopi di Indonesia. Ekspor kopi Lampung sendiri berdasarkan data dari BPS
(2012) selama lima tahun terakhir (2007-2011) meskipun berfluktuatif baik dari
sisi volume maupun nilainya tetapi menunjukkan nilai positif. Rata-rata volume
ekspor kopi adalah 52,33 persen dari ekspor seluruh komoditas pertanian dan
kehutanan, dengan nilai ekspor rata-rata 28,13 persen.
Tabel 1. Volume ekspor komoditi kopi Provinsi Lampung tahun 2007-2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011

Volume (Ton)
Pertanian dan
Kopi
Kehutanan
161.855
372.649
320.764
532.737
345.378
603.096
266.658
558.612
227.127
428.293

Nilai (000 US $)
Pertanian dan
Kopi
Kehutanan
255.296
4.078.683
600.977
2.002.255
466.051
1.378.409
386.670
386.670
493.374
493.374

Sumber: BPS Provinsi Lampung 2008-2012

Tingginya permintaan komoditas kopi Lampung untuk ekspor diharapkan
berdampak terhadap peningkatan produksi di dalam negeri dan pendapatan di
tingkat petani khususnya pada daerah sentra produksi kopi di Kabupaten
Lampung Barat Provinsi Lampung. Sektor pertanian dalam pengembangan
ekonomi wilayah Kabupaten Lampung Barat merupakan sektor yang memberikan
kontribusi terbesar bagi pendapatan domestik bruto (PDRB) Kabupaten Lampung
Barat, yakni sebesar 57,21 persen. Dari jumlah tersebut, tanaman perkebunan
memberikan kontribusi sebesar 24,82 persen, tanaman bahan makanan 18,24
persen, kehutanan 6,11 persen, perikanan 5,86 persen, dan sisanya sebesar 2,18
persen dari sektor peternakan.
Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu kabupaten penghasil
komoditas kopi. Hal ini dikarenakan topologi wilayahnya yang sangat cocok
untuk kesuburan tanaman kopi. Tahun 2011 saja produksinya mencapai 60.713
ton (BPS Provinsi Lampung 2012). Komoditas tersebut telah menempatkan

3

Kabupaten Lampung Barat sebagai Kabupaten penghasil kopi terbesar di Provinsi
Lampung jika dibandingkan dengan kabupaten/kota penghasil kopi lainnya yang
dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa Lampung Barat
memiliki areal perkebunan kopi terluas yang mencapai 59.859 Ha dengan
produksi terbesar di Provinsi Lampung pada tahun 2011 kemudian diikuti oleh
Tanggamus 36.382 ton dengan luas lahan 44.671 Ha dan Way Kanan 19.252 ton
dengan luas lahan 21.944 Ha. Hal ini wajar terjadi karena tanaman kopi di
Kabupaten Lampung Barat merupakan komoditas primadona daerah yang
berperan sebagai sumber pendapatan sebagian besar masyarakat dan telah
dibudidayakan secara turun temurun hampir satu abad yang lalu, dirintis oleh
masyarakat Semendo (Anonim 2012).

Perumusan Masalah
Perkembangan harga pada tingkat petani di Kabupaten Lampung Barat
tahun 2012 berdasarkan data Disbun Provinsi Lampung (2012) berada pada
kisaran Rp. 16.200,- per kilogram. Harga yang diterima petani jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan harga pada tingkat eksportir yang mencapai Rp.
19.000,- per kilogramnya. Harga yang rendah pada tingkat petani diikuti dengan
produktivitas yang rendah dari hasil kebun kopi per tahunnya. Produktivitas kopi
disana hanya 1,01 ton per hektar (BPS Kabupaten Lampung Barat 2012), nilai ini
sangat kecil dibandingkan dengan produktivitas kopi di negara vietnam yang bisa
mencapai 2,5 ton per hektar (AEKI 2012).
Produktivitas yang rendah menurut Saragih (2011) tidak semata karena
adanya kendala ekonomi namun dapat juga karena kendala sosial budaya, serta
disebabkan oleh pengelolaan kebun, panen dan penanganan pasca panen yang
kurang memadai karena hampir seluruhnya kopi robusta diproduksi oleh
perkebunan rakyat. Selain itu, produktivitas yang rendah juga karena rendahnya
insentif harga yang diterima petani menurut Jaya (2009) pendapatan yang
diperoleh petani dari budidaya selama hampir satu tahun dengan resiko yang
diterima petani tidak seimbang dengan harga jual yang diterima petani jika
dibandingkan dengan harga kopi di pasaran. Herman dan Susila (2013) juga
menekankan bahwa pasar kopi sendiri masih menyerap seluruh produk kopi dan
belum memberikan insentif harga yang memadai untuk kopi bermutu baik.
Harga rendah yang diterima petani di Kabupaten Lampung Barat diduga
karena adanya inefisiensi pemasaran. Inefisiensi ini dapat terjadi karena banyak
pihak yang terlibat di dalamnya. Hutabarat (2006) memaparkan harga kopi di
Lampung hanya 1,8 persen dari harga eceran di Jepang; 4,1 persen dari harga
eceran di Italia; 5,5 dan 5,7 persen dari harga eceran di Jerman dan Amerika
Serikat, kemudian di belanda yakni 6,8 persen. Dengan persentase yang sangat
kecil, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa banyak pihak yang menikmati
marjin keuntungan usahatani kopi, antara lain adalah para pedagang berbagai
mutu produk kopi, pemerintah atau instansi yang mengenakan pungutan, jasa
angkutan, pengusaha ekspor atau impor, dan roaster di berbagai lokasi.

4

Tabel 2. Luas areal dan produksi tanaman kopi rakyat menurut kabupaten/kota di Provinsi Lampung tahun 2007-2011
2007
Kabupaten/Kota
Lampung Barat
Tanggamus
Lampung Selatan
Lampung Timur
Lampung Tengah
Lampung Utara
Way Kanan
Tulang Bawang
Pesawaran
Bandar Lampung
Metro
Pringsewu
Mesuji
Tulang Bawang
Barat
Jumlah Provinsi

Luas
Areal
(Ha)
59.324
54.283
2.643
1.515
1.798
15.748
22.397
607
5.549
81

163.945

2008

Produksi
(Ton)
56.228
45.245
1.803
670
895
12.130
19.261
381
4.339
10

140.962

Sumber: BPS Provinsi Lampung 2008-2012

Luas
Areal
(Ha)
59.322
54.284
1.588
1.515
1.799
15.777
22.396
608
5.563
81

162.933

2009

Produksi
(Ton)
56.228
45.245
920
665
897
12.123
19.262
382
4.330
8

140.060

Luas
Areal
(Ha)
59.362
54.346
1.649
1.445
1.705
15.865
22.456
663
5.470
8

162.969

2010

Produksi
(Ton)
61.202
45.354
922
670
907
12.130
19.292
383
4.335
9

145.204

Luas
Areal
(Ha)
60.399
44.633
1.392
1.061
1.587
16.744
22.206
104
5.237
222

2011

Produksi
(Ton)
61.023
36.750
850
580
800
12.070
19.875
55
3.926
9

Luas
Produksi
Areal
(Ton)
(Ha)
59.859
60.713
44.671
36.382
1.332
875
1.061
545
1.584
870
16.240
12.119
21.944
19.152
92
31
4.937
3.824
224
10

9.073
340

8.560
215

8.788
396

8.179
225

125
163.123

90
144.803

125
161.253

71
142.996

5

Pernyataan ini dikuatkan oleh Jaya (2009) yang menjelaskan bahwa
rendahnya harga yang diterima petani di duga karena perbedaan margin harga
yang tinggi antara harga di tingkat pasar dengan harga di tingkat petani. Jika
melihat harga kopi yang diterima petani kopi Lampung sangat kecil jika
dibandingkan dengan harga eceran di negara pengimpor utama.
Panjangnya rantai pemasaran komoditas kopi menyebabkan petani sebagai
produsen kopi sangat tergantung pada para pedagang besar sehingga mereka tidak
dapat lagi sebagai penentu harga (Hutabarat 2006). Nainggolan dalam Bakti
(2011) menyatakan bahwa kemiskinan petani lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan petani untuk menentukan harga (price taker), tidak seperti
pedagang yang mampu menentukan harga output dari produknya (price maker).
Perusahaan swasta yang bergerak di industri kopi di Provinsi Lampung
tidak ada yang bergerak pada produksi kopi namun bermain pada level hilir yaitu
sebagai ekportir dan pada bagian pengolahan akhir. Meskipun tidak memiliki
perkebunan kopi namun perusahaan-perusahaan besar inilah yang menentukan
harga kopi ditingkat petani dengan berdasarkan harga kopi dunia. Tentunya ini
merupakan dilema petani yang sebagai produsen kopi namun tidak dapat berbuat
banyak dengan harga yang telah ditetapkan.
Bhakti (2011) mengemukakan bahwa nasib petani kopi saat ini diserahkan
pada pasar global di mana harga kopi ditentukan oleh mekanisme permintaan dan
penawaran, sementara pemerintah perlahan tapi pasti mulai mengurangi campur
tangan dari tempat transaksi petani dan pedagang kopi dalam sistem perdagangan
global. Tantangan yang tidak dapat dinafikan dalam pembangunan dan
pengentasan kemiskinan adalah fenomena yang ditandai dengan munculnya
globalisme di mana dunia berada pada situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya
tanpa batas, yang mulai meragukan hakikat negara dalam memajukan
kesejahteraan umum. Adapun semua keadaan ini terjadi karena saluran
perdagangan kopi mulai dari input-input pertanian hingga penjualan hasil-hasil
pertanian dikuasai oleh para pihak kapitalis, dari kapitalis lokal hingga kapitalis
global. Sehingga berpotensi mendorong ulah para kapitalis tersebut untuk
menekan nilai kerja petani di bawah nilai produk pertanian yang mereka hasilkan.
Jika melihat sejarah kopi di Indonesia sebenarnya praktik kapitalis pada
sektor ini telah terjadi sejak zaman Belanda. Kartodirdjo dalam Bhakti (2011),
perkembangan tanaman kopi tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan
kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi di Indonesia. Perkebunan modern
(European Plantation) merupakan sistem perekonomian kolonial yang
diperkenalkan oleh VOC. Gerakan kolonialisme yang didukung oleh
perkembangan kapitalisme agraris Barat, memandang tanah jajahan menjadi
sumber kekayaan bagi negara induk. Tersedianya tanah dan tenaga kerja murah
yang melimpah di tanah jajahan, memungkinkan untuk dilakukan eksploitasi
produksi pertanian yang menguntungkan bagi pasaran dunia.
Deltaraharja (2010) menjelaskan bahwa perdagangan kopi merupakan hal
yang sangat menguntungkan untuk VOC, namun tidak demikian untuk petani kopi
Indonesia yang dipaksa untuk menanam oleh pemerintah kolonial. Namun dalam
prakteknya, harga yang ditetapkan oleh pemerintah sangat rendah dan mereka
mengalihkan tenaga kerja dari produksi beras ke kopi yang menyebabkan
penderitaan untuk petani-petani. Kemudian pada pertengahan tahun 1770 VOC
memperluas kebun kopi di daerah-daerah Bali, Sulawesi, Timor dan Sumatra

6

termasuk Lampung yang perkembangannya berkembang hingga ke Lampung
Barat yang terkenal sebagai sentra kopi di Lampung.
Meskipun Kabupaten Lampung Barat merupakan daerah sentra kopi, namun
disana tidak ada perusahaan pengolah kopi. Perusahaan-perusahaan melalui
perwakilannya hanya membeli biji kopi. Sebagai balasannya perusahaanperusahaan tersebut melakukan pembinaan kepada sebagian petani kopi di
Lampung Barat, diantaranya PT Indocafco, Nestle, Netcoffe, Armajaro dan
Newmont Foundation (Disbun Kabupaten Lampung Barat 2012).
Tidak terdapatnya perusahaan pengolahan kopi di daerah sentra
menyebabkan petani belum dapat menikmati nilai tambah dari kopi tersebut.
Kindangen dan Bahtiar (2010) menyatakan bahwa permasalahan pokok pada
umumnya masyarakat tani yaitu masih sulit keluar dari kondisi perolehan nilai
produk mereka dan hanya tergantung dari nilai produk primer. Produk pada
umumnya belum dilakukan pengolahan yang dapat memberi nilai tambah.
Kondisi seperti ini telah memberi dampak keberadaan petani semakin tidak
berdaya dan cenderung semakin banyak petani menjadi miskin.
Studi Ariswandi (2009) menjelaskan bahwa petani kopi di Kabupaten
Lampung Barat masih belum dapat menikmati nilai tambah dari kopi tersebut. Hal
ini karena meskipun sebagai penghasil kopi robusta terbesar, disana tidak terdapat
perusahaan eksportir. Kopi di ekspor selama ini melalui kota Bandar lampung,
sehingga kopi mengalir keluar daerah dan tidak memberikan manfaat ke daerah
tersebut. Fenomena ini dalam pandangan Rustiadi et al. (2011) merupakan
kebocoran modal ke luar wilayah (regional leakages) yang dapat memperparah
lingkaran kemiskinan di suatu daerah. Kebocoran ini diakibatkan karena adanya
backwash effect. Suatu wilayah dikatakan mengalami backwash apabila
pendapatan wilayah yang mampu diciptakan dari suatu aktifitas ekonomi sangat
rendah, padahal nilai ekonomi dari produk yang dihasilkan sebenarnya jauh lebih
besar (Nurjihadi 2013).
Rendahnya harga kopi dan tidak adanya nilai tambah yang dirasakan petani
menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan di luar sektor
perkebunan kopi untuk menopang kehidupan rumah tangganya. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Sumaryanto dan Sudaryanto (2009), bahwa sektor pertanian
sebagai sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan masih belum mencapai
sasaran yang diharapkan, demikian pula halnya dengan tanaman perkebunan.
Periode waktu yang relatif lama bagi komoditas perkebunan untuk memperoleh
hasil menyebabkan petani harus mencari alternatif pendapatan di luar usaha tani
kopi diantaranya dari sektor non pertanian. Meskipun sebagian besar dari
kesempatan kerja non pertanian yang dapat diakses penduduk perdesaan adalah di
sektor non formal, baik di perdesaan maupun di perkotaan.
Dharmawan (2001) dalam Tulak (2009) juga menjelaskan, prospek pola
nafkah di desa-desa di Indonesia pada masa mendatang akan dicirikan oleh
semakin kompleksnya sumber-sumber pendapatan rumah tangga petani dimana
terjadinya diversifikasi sumber-sumber pendapatan rumah tangga petani.
Banyaknya rumah tangga petani yang berada pada tingkat kesejateraan tinggi
karena adanya strategi nafkah yang dikembangkan. Dapat dikatakan bahwa rumah
tangga petani yang berada pada tingkat kesejahteraan tinggi diperlukan peluang
penghasilan dari non pertanian yang lebih banyak lagi untuk terjadinya
peningkatan kesejahteraan.

7

Besarnya pendapatan yang diterima petani diharapkan akan berdampak
terhadap re-investasi pada sektor pertanian khususnya ke perkebunan kopi.
Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula kemungkinan untuk
berinvestasi. Menurut Teori Keynes dalam Sukrino (1999), apabila pendapatan
bertambah tinggi maka investasi akan bertambah tinggi pula. Adanya re-investasi
ini akan menggerakkan perekonomian di suatu wilayah khususnya di Kabupaten
Lampung Barat. Hal ini sebagaimana pernyataan Saragih (2011), bahwa kopi akan
menjadi salah satu komoditas penting dalam perekonomian wilayah dan
berdampak langsung bagi kesejahteraan petani. Sebab, hampir seluruhnya (96
persen) areal kopi secara nasional dikelola oleh rakyat. Artinya, pengembangan
kopi akan langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan petani di berbagai sentra
produksi. Adapun kopi merupakan komoditas unggulan daerah Kabupaten
Lampung Barat. Sehingga diperlukan upaya pengembangan komoditas kopi tidak
hanya sebagai penopang perekonomian daerah, tetapi juga turut membangun
perekonomian rakyat.
Perekonomian wilayah juga akan berkembang jika adanya industri yang
berkembang karena dapat menampung surplus produksi pertanian dan surplus
tenaga kerja sehingga dapat menjaga tingkat pendapatan di sektor pertanian
(Rustiadi et al. 2011). Penelitian Agustian (2005) menunjukkan bahwa usaha
pengolahan kopi bubuk rakyat di Provinsi Lampung sangat dominan
menggunakan biaya input domestik yang kuat sehingga lebih efisien dan memiliki
daya saing. Selain itu, peluang dalam hal pemasarannya masih terbuka lebar
karena pangsa ekspor kopi olahan di pasar dunia seperti kopi roasted dan ekstrak.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
diidentifikasikan beberapa permasalahan yang perlu segera ditangani dalam
pengelolaan sektor perkebunan kopi di Kabupaten Lampung Barat, antara lain
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tataniaga komoditas kopi di Kabupaten Lampung Barat?
2. Seberapa besarkah ekonomi kopi menyumbang terhadap rumah tangga petani
kopi di Kabupaten Lampung Barat?
3. Sejauhmana sektor perkebunan kopi rakyat mendukung perekonomian
Kabupaten Lampung Barat?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara spesik bertujuan untuk:
1. Menganalisis tataniaga kopi di Kabupaten Lampung Barat
2. Mengkaji dan menganalisis sumbangan ekonomi kopi terhadap rumah tangga
petani kopi di Kabupaten Lampung Barat
3. Menilai dan mengkaji peran sektor perkebunan kopi rakyat dalam mendukung
perekonomian Kabupaten Lampung Barat

8

Kegunaan Penelitian:
Penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah daerah di Kabupaten Lampung Barat
dalam usaha meningkatkan kesejahteraan petani khususnya kopi dan dalam
pengambilan kebijakan terkait pengembangan komoditas kopi.
2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam
khususnya mengenai pengembangan sektor perkebunan kopi

2 TINJAUAN PUSTAKA

Saluran Pemasaran, Fungsi Pemasaran dan Efisiensi Pemasaran
Saluran Pemasaran
Pemasaran dalam pengertian Kotler dan Amstrong (2001) adalah proses
sosial dan manajerial yang dengannya individu dan kelompok mendapatkan apa
yang mereka butuhkan dan inginkan, dengan menciptakan dan menukarkan
produk dan nilai dengan orang lain. Kemudian menurut Soekartawi (2002)
pemasaran atau marketing pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke
konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga
pemasaran. Peranan lembaga pemasaran ini sangat tergantung dari sistem pasar
yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu
dikenal istilah “saluran pemasaran” atau marketing chanel.
Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa saluran pemasaran dapat berbentuk
secara sederhana dan dapat pula rumit sekali. Tergantung dari macam komoditi
lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli mempunyai
saluran pemasaran yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem pasar yang
lain. Komoditi pertanian yang lebih cepat ke tangan konsumen dan yang tidak
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, biasanya mempunayi saluran pemasaran
relatif sederhana.
Soekartawi (1993) juga memaparkan bahwa dalam pemasaran komoditi
pertanian, seringkali dijumpai adanya rantai pemasaran yang panjang (bahkan
dapat diaktakan terlalu panjang), sehingga banyak juga pelaku lembaga
pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran tersebut. Akibatnya adalah terlalu
besarnya keuntungan pemasaran (market margin) yang diambil oleh para pelaku
pemasaran tersebut. Adapun sebab terjadinya rantai pemasaran hasil pertanian
yang panjang dan produsen (petani) sering dirugikan antara lain karena:
(a) pasar yang tidak bekerja secara sempurna
(b) lemahnya informasi pasar
(c) lemahnya produsen (petani) memanfaatkan peluang pasar
(d) lemahnya posisi produsen (petani) untuk melakukan penawaran untuk
mendapatkan harga yang baik,
(e) produsen (petani) melakukan usahatani tidak didasarkan pada permintaan
pasar, melainkan karena usahatani yang dilakukan secara turun-temurun.

9

Lembaga tataniaga (pemasaran) dalam perspektif Soekartawi (2002)
memegang peranan penting dan juga menentukan saluran pemasaran. Fungsi
lembaga ini berbeda satu sama lain, dicirikan oleh aktivitas yang dilakukan dan
skala usaha. Misalnya pedagang pengumpul tugasnya adalah membeli barang
secara dikumpulkan baik dari produsen atau pedagang perantara dengan skala
yang relatif lebih besar dibandingkan dengan skala usaha pedagang perantara.
Begitu pula halnya dengan pedagang besar, mempunyai skala usaha yang lebih
besar daripada pedagang pengumpul.
Jalur pemasaran hasil pertanian dalam perspektif Rahardi et al. (2007)
adalah saluran yang digunakan petani produsen untuk menyalurkan hasil
pertanian dari podusen sampai ke konsumen. Lembaga-lembaga yang ikut aktif
dalam saluran ini adalah petani produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar,
pengecer, dan konsumen.
1. Petani produsen; merupakan penghasil barang-barang hasil pertanian untuk
memenuhi keinginan dan kebutuhan para konsumen.
2. Pedagang pengumpul; merupakan pedagang yang mengumpulkan barangbarang hasil pertanian dari pedagang pengumpul dan atau langsung dari petani
produsen serta menjual kembali kepada pengecer dan pedagang lain dan atau
kepada pemakai industri, pemakai lembaga, dan pemakai komersil yang tidak
menjual dalam volume yang sama pada konsumen akhir.
3. Pengecer; merupakan pedagang yang menjual barang hasil pertanian ke
konsumen dengan ttujuan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen
dalam jumlah minimum.
4. Konsumen; adalah setiap orang yang ingin memenuhi keinginan dan
kebutuhannya terhadap barang-barang hasil pertanian.
Ada dua jalur perdagangan kopi di Indonesia menurut Panggabean (2011)
yaitu secara modern dan tradisional. Berikut ini skema jaringan pemasaran dan
perdagangan kopi yang umum dilakukan di Indonesia, baik secara modern
maupun tradisional.
Petani Kecil

Petani Kecil

Petani Kecil

Petani Kecil

Petani Kecil

Kelompok Tani

Supplier atau Pedagang

Trader atau Eksportir

Pasar Dalam Negeri

Pasar Luar Negeri (Ekspor)

Gambar 1. Skema pemasaran kopi secara modern

10

Panggabean (2011) menjelaskan di tingkat petani kecil, kopi umumnya
dijual dalam bentuk biji berkulit tanduk dengan kadar air sekitar 20-25%. Untuk
pemasaran kopi secara modern, terdapat kelompok tani yang berguna untuk
menampung hasil panen dari para petani kecil. Sementara itu, untuk pemasaran
secara tradisional, petani umumnya menjual hasil panennya ke pasar tradisional.
Setiap kelompok tani atau pengumpul di pasar tradisional umumnya memiliki
jaringan suplier yang siap menampung hasil kopi dalam jumlah besar. Selama
kopi berada di supplier, kopi diolah dengan mengupas kulit tanduk menggunakan
mesin huller. Setelah itu, supplier menjual kembali dalam jumlah yang besar ke
trader atau perusahaan eksportir. Dari eksportir atau trader, kopi dijual dalam
bentuk kemasan karung goni atau kantong plastik ke pasar umum, baik dalam
negeri maupun luar negeri.
Petani Kecil

Petani Kecil

Petani Kecil

Petani Kecil

Petani Kecil

Pasar Tradisional

Pengumpul atau Supplier atau Pedagang

Trader atau Eksportir

Pasar Dalam Negeri

Pasar Luar Negeri (Ekspor)

Gambar 2. Skema pemasaran kopi secara tradisional

Fungsi Pemasaran
Gumbira-Sa’id dan Intan (2004) menerangkan, fungsi penyaluran barang
atau j