METODE PENELITIAN PARADIPLOMASI DALAM PEMERINTAHAN BERDASARKAN HUKUM SYARIAH ISLAM DI ACEH

2 adalah tuntutan pragmatisme dari diplomasi modern sekarang ini, yang menuntut fleksibilitas yang tinggi, dan hasil konkret secara ekonomi dan politik dalam jangka relatif pendek, dengan tidak mengesampingkan tujuan jangka panjang sebuah pemerintahan yang bersifat non materiil semata seperti prestise, harmonisasi hubungan dan keamanan. Tantangan berat itulah yang tampaknya benar- benar telah dan sedang dihadapi oleh Pemerintahan Aceh, sebab terdapat kenyataan bahwa pelaksanaan paradiplomasi oleh Pemerintahan Aceh belum menunjukkan hasil yang optimal, baik dari segi kuantitas kerjasama luar negeri yang telah terbentuk, maupun dari segi kualitas manfaat yang dapat diraih dari penyelenggaraan paradiplomasi yang telah dilakukan sejak kesepakatan damai ‘Helsinki Agreement’ Tahun 2005 yang lalu. Bahkan, sebagai pemerintahan yang mendeklarasikan penerapan Hukum Syariah Islam, belum mampu menarik simpati kerjasama dari negara- negara yang menerapkan hukum Islam seperti Arab Saudi, Mesir, Pakistan, dan negara-egara Arab lainnya untuk menanamkan modalnya di Aceh, atau secara signifikan menjalin kerjasama di bidang-bidang yang lain seperti pendidikan, perdagangan, pariwisata, alih teknologi, dan lain sebagainya. Tantangan lain yang cukup serius adalah terkait dengan pemberitaan media asing mengenai pelaksanaan Hukum Syariat Islam terutama pelaksanaan Hukum Jinayat Pidana Islam yang dicitrakan oleh media sekuler-liberal asing sebagai hukuman yang melanggar Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia. Pemberitaan media asing ini sempat disesalkan oleh Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah di depan utusan Masyarakat Kopi Eropa yang sedang berkunjung ke Aceh tahun 2015 yang lalu, sebab citra Pemerintahan Aceh di luar negeri menjadi buruk dan bisa menjadikan investor asing enggan untuk berisvestasi di Aceh Pemerintah Aceh; 2015. Dari paparan problematik di atas, tulisan ini memfokuskan diri pada permasalahan mengapa pengelolaan paradiplomasi oleh Pemerintahan Aceh belum mencapai hasil yang optimal, yakni belum mampu menarik kerjasama internasional secara lebih luas dan produktif. Riset ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengembangan studi paradiplomasi yang masih relatif langka di Indonesia, maupun pengembangan kualitas pengelolaan kewenangan di bidang kerjasama luar negeri oleh pemda-pemda, khususnya bagi Pemerintah Aceh.

II. METODE PENELITIAN

Riset ini memilih jenis penelitian kualitatif yang berusaha untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan secara akurat makna sebuah fenomena dalam sebuah konteks sosial untuk memahami obyek secara alamiah guna menjamin keakuratan oyektifikasi. Cassel dan Symon; 1994. Pada penelitian deskriptif kualitatif ini, data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan angka, baik sebagai hasil penelaahan atas dokumen-dokumen maupun hasil pembacaan media massa, dan semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci penjelasan terhadap apa yang sedang diteliti. Pada riset ini, penjelasan dan sumber analisa juga didapatkan dari studi literatur tentang praktek paradiplomasi di seluruh dunia sebagai bahan komparasi. Untuk menjamin keakuratan objektifikasi, prosedur riset dari Catherine Marshall akan digunakan dalam riset ini, yakni gejala atau fenomena yang diteliti merupakan sebuah gejala sosial yang dinamis yakni fenomena pemberlakuan hukum syariah Islam di Pemerintahan Aceh dan hubungannya dengan optimalisasi pengelolaan paradiplomasi. Strategi penelitian yang digunakan dalam riset ini adalah studi kasus intrinsik sebagaimana dinyatakan oleh Robert E. Stake, bahwa metode ini berupaya untuk mencapai pemahaman yang mendalam dan mengkompilasikan makna-makna kompleks ke dalam sebuah laporan yang solid dan komprehensif yang bersifat naratif-deskriptif, sehingga seolah-olah pembaca merasa mengalaminya sendiri, dan kemudian mereka dapat mengkonstruksikan sebuah kesimpulan Denzin dan Lincoln; 2000. Studi kasus ini sebagai ‘a case of’ sebagaimana diindikasikan oleh Andrew Schrank Perecman dan Curran; 2006, adalah sangat cocok diterapkan pada penelitian ini karena sebagai bagian dari studi hubungan internasional, karakteristik dari pertanyaan utama dalam riset ini mengacu pada kelompok sosial tertentu, yakni Pemerintahan Aceh yang diwarnai dengan ke-khasan nilai-nilai religius tertentu dalam melaksanakan urusan pemerintahannya. Hal ini dikuatkan pula oleh Noeng Muhajir, bahwa penelitian tentang studi kasus merupakan usaha untuk menemukan kebenaran ilmiah secara mendalam dan dalam waktu yang cukup lama dari suatu obyek yang bersifat spesifik Noeng Muhajir; 1996. Riset ini memfokuskan diri pada pemberlakuan Hukum Syariah Islam dan pengelolaan kewenangan di bidang Paradiplomasi dalam Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, rentang waktu yang diamati meliputi tahun 2006 sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang secara eksplisit mengesahkan berlakunya Hukum Syariat Islam di wilayah Aceh, sampai dengan data tahun 2015. Keterbatasan riset ini berada pada sumber data yang hanya berasal dari dokumen resmi pemerintah, publikasi resmi, dan pemberitaan media asing dan dalam negeri terkait dengan Aceh, sedangkan data dari berbagi informan belum didapatkan. 3

III. HASIL DAN PEMBAHASAN