Perbankan syariah tugas hukum islam
A.
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat. Dalam tiga dasawarsa ini
mengalami kemajuan, baik dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara
praktik operasional. Dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah di kembangkan di berbagai
Universitas, baik di negara-negara muslim juga negara barat. Misalnya di Inggris ada
beberapa universitas yang telah mengembangkan kajian ini seperti University of Durham,
University of Portsmouth dan yang lainnya. Di Amerika sendiri dikaji di University of
Harvard, bahkan Australia pun melakukan hal yang sama di University of Wolongong.1 Ini
menunjukkan bahwa ekonomi Islam berkembang dan menjadi pusat kajian dunia, terutama
dalam mengembangkan kegiatan dunia usaha yang semakin global dan kompleks.
Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya
di dunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh karena
fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini mampu
melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting
di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah. Demikian pula lembaga keuangan ini
dapat menyediakan dana bagi pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha
lemah yang membutuhkan dana bagi kelangsungan usahanya. Dan juga berbagai fungsi lain
yang berupa jasa bagi kelancaran lalu-lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antar
negara.2
Hal ini juga terjadi di Indonesia pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pada
umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku
ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank
merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan
1 Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak Syari’at,La Riba Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. II, No. 1, Juli 2008, Hlm. 1
2 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2006, Hlm. 50
1
utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998, ada 2
(dua) jenis bank jika ditinjau menurut kegiatan usahanya yaitu:3
1.
Bank Konvensional yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank
Perkreditan Rakyat. Bank Umum Konvensional dalam kegiatannya menjalankan dual
banking system (sistem konvensional dan sistem syari’ah).
2.
Bank Syari’ah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syari’ah. Bank Umum Syariah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan hal di atas berarti Bank Konvensional dapat juga menjalankan perbankan
sistem syari’ah (dual banking system) selain itu ada Bank Syari’ah yang khusus menjalankan
prinsip syari’ah tanpa prinsip konvensional. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan tidak ada mengatur tentang menjalankan kegiatan perbankan
dengan prinsip syari’ah. Dengan demikian jelas ada perbedaan antara menjalankan perbankan
dengan prinsip konvensional dan dengan prinsip syari’ah. Prinsip konvensional dalam
kegiatannya adanya bunga yang diinspirasikan oleh sistem ekonomi kapitalis dengan jalan
menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit yang dimamfaatkannya melalui
dana simpanan masyarakat yang kemudian dipinjam kembali kepada masyarakat dengan
tambahan berupa bunga sedangkan prinsip syari’ah berdasarkan hukum Islam dan tidak
mengenal bunga tapi bagi hasil. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
3 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinargrafika, Jakarta, 2010, Hlm. 151
2
yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah),…dan seterusnya”
Sedangkan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah menyatakan Prinsip Syariah adalah Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang di keluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
Prinsip syari’ah ini wajar saja muncul, karena tidak semua masyarakat Indonesia
tertarik menggunakan jasa perbankan yang pada waktu itu masih konvensional. Terutama
masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang menganggap bank dalam kegiatannya
mengandung riba. Oleh karena tuntutan kebutuhan nasabah dan karena mayoritas masyarakat
Indonesia beragama Islam maka perlu ada suatu Bank yang mampu mengakomodir kebutuhan
nasabah tersebut yaitu bank yang Islami yang berlandaskan pada Aqur’an dan Hadist, maka
lahirlah Bank Syari’ah seperti saat ini.
Bank Syariah merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam
mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang
tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal.
Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun
sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam
dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku,
golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”4. Bank Syariah yaitu
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Keberadaan Bank Syari’ah dalam sistem perbankan Indonesia merupakan bank umum
yang berlandaskan pada prinsip syari’ah (hukum) Islam, sejalan dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah di perbaharui dengan
4 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
Hlm. 12
3
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (Pasal 6 huruf m) maka memberikan landasan hukum
bagi Bank Syariah baik dari segi kelembagaan maupun operasionalnya.
Lahirnya perbankan syari’ah menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam cukup
signifikan memasuki wilayah apapun termasuk wilayah ekonomi perbankan dalam bentuk
keuangan syariah. Ajaran-ajaran Islam tersebut mutlak harus ditaati dan dipedomani oleh
seluruh orang Islam dalam menjadikan aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk dalam
kegiatan transaksi dan penanaman modal.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal di atas, yang menjadi indentifikasi masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan Perbankan Syari’ah Indonesia?
2.
Bagaimana lahirnya Perbankan Syari’ah di Indonesia?
3.
Bagaimana Perbankan Syari’ah Indonesia di tinjau dari filsafat hukum Islam?
4.
Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional?
5.
Keunggulan dan Kelemahan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional?
4
C.
Pembahasan
1. Pengertian Perbankan Syari’ah
Perbankan syari’ah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan
adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan
mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha
berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin
absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan
lain-lain.5
Karakteristik sistem perbankan syariah adalah dalam kegiatannya berdasarkan prinsip
bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi
masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang
beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam
produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih
bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Berdasarkan prinsip
bagi hasil, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan
pengusaha yang meminjam dana.
Melihat dari latar belakangnya, Bank Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam
Islam. Kelahiran lembaga keuangan yang bebas bunga, terutama di negara- negara muslim
telah memberikan dimensi baru dalam bidang ekonomi. Secara umum Bank Syariah
merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang
kelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Prinsip umum Hukum Islam, berdasarkan ayat dalam AlQur’an menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar
atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara etika adalah dilarang.
5 http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah/ diakses tanggal 12 Mei 2014/jam 15.10 WIB
5
2. Lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam) di Indonesia6
Konsep teoritis mengenai bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an,
dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini,
dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi
(1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci
mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan,
yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Maududi
Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul; A
Groundwork for Interest Free Bank.
Sementara itu, ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an.
Dimana pembicaraan bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah
pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang
perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat
itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendikiawan muslim dalam
memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan
mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan para ulama, cendikiawan,
dan intelektual muslim.
Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri
perbankan. Para ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada
satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan dapat saja
menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang
bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus 1990, maka dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI tersebut, maka dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
6 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17982/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 12 Mei 2014
jam 15.10
6
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pedekatan dan konsultasi dengan
semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank
Muammalat Indonesia, yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia resmi beroperasi dengan modal awal
sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia
telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dana tersebut
berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh menteri Kabinet Pembangunan V, juga
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti
Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan
ditetapkan sebagai Yayasan penompang Bank Muammalat Indonesia. Dengan terkumpulnya
modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi.
Setelah Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip
syariah pertama di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan
mempraktekkan sistem syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi.
Namun karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan
pemerintah yang tayangan-tayangannya bahkan masuk ke pelosok desa dan kecamatan untuk
menyedot dana dari masyarakat, membuat Bank Muammalat Indonesia hampir tidak bisa
berbuat banyak, apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat yang jauh dari kota-kota
besar. Kenyataan tersebut barangkali menjadikan Bank Muammalat Indonesia kemudian
belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama
berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh kebijakan pemerintah yang memihak kepada mereka.
Secara yuridis, walaupun pembicaraan-pembicaraan tentang bank berdasarkan prinsip syariah
sudah lama ada di Indonesia, akan tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang bergerak
dibidang berdasarkan prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya Undang-undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.
Memang Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 seakan-akan memukul gong terhadap
lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah tersebut. Sebab menurut Pasal 6 huruf (m) juncto
7
Pasal 13 huruf (c) dari undang-undang tersebut dengan tegas membuka kemungkinan bagi
bank untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik untuk
bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan pembiayaan bagi hasil tersebut
kemudian oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diperluas menjadi kegiatan apapun
dari bank berdasarkan prinsip syariat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (dalam undangundang yang lama ditetapkan oleh peraturan pemerintah). Dengan demikian, Pasal 6 huruf
(m) dan Pasal 13 huruf (c) dari Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sekarang
merupakan dasar hukum yang utama bagi eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam
Pasal 6 huruf (m) tersebut berbunyi :
“Usaha bank meliputi: menyediakan pembiayaan dan/ atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 13 huruf (c) berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: menyediakan pembiayaan dan penempatan dana
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Sebagai penjelmaan dari dasar hukum utama dari Undang-undang Perbankan Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, oleh
Pemerintah Republik Indonesia telah dikeluarkan dasar hukum bagi bank berdasarkan prinsip
syariah dalam bentuk peraturan pemerintah, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Adapun yang menjadi dasar-dasar Bank Bagi Hasil yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992 tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kegiatan bank berdasarkan syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat (Pasal 1 ayat(1)).
2.
Jika Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sudah melakukan kegiatan bank
berdasarkan syariah, maka dia tidak boleh lagi merangkap melakukan juga kegiatankegiatan lainnya (kegiatan konvensional) (pasal ayat (1) juncto Pasal 6.
3.
Bank berdasarkan syariah melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
syariat Islam (Pasal 2 ayat (1)).
8
4.
Bagi hasil bagi penyediaan dana kepada masyarakat termasuk juga kegiatan jual-beli
(Pasal 2 ayat (2)).
5.
Bank berdasarkan syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariat.
Adapun tujuan pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia adalah sebagai
berikut:7
1.
Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima
konsep bunga.
2.
Menyediakan alternatif investasi, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.
3.
Mengurangi resiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia.
4.
Mendorong peran perbankan secara optimal dalam menggerakkan sektor riil dan
membatasi spekulasi atau pembiayaan yang tidak produktif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa bank berdasarkan prinsip syariah di
Indonesia telah ada sebelum di undangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian menjadi tonggak dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
3. Perbankan Syari’ah Indonesia di tinjau dari filsafat Hukum Islam
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perbankan konvensional mengandung riba.
Sementara hal tersebut dilarang oleh agama Islam. Bahkan agama lain juga melarang riba.
Pendapat tentang bunga bank adalah riba memang membuat para ulama terjadi berbeda
pendapat. Ada beberapa ulama berpendapat haram, ada juga berpendapat syubhat (samar) dan
adanya juga mengganggap halal. Namun demikian Allah berfirman dalam Al Qur’an yang
artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan
bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron : 130).
7 Short Course Bank Syariah, Regulasi Bank Indonesia Terhadap Pengembangan Bank Syariah di Indonesia,
Sharia Banking Training Center Yogyakarta, 18 Mei 2008, Hlm. 2.
9
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hambanyaNya kaum mu’minin dari praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu
orang-orang jahiliyah bila piutang telah jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang,
“Engkau melunasi hutangmu atau membayar riba”. Bila ia tidak melunasinya, maka pemberi
hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya.
Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda
hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah ta’ala
memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di
akhirat”8.
Riba menurut bahasa memiliki beberapa pengertian, yaitu:9
1.
Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu
yang dihutangkan.
2.
Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta
uang atau yang lainnya yang dipinjamkan orang lain.
3.
Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, riba menurut Al Mali adalah akad yang terjadi atas
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’,
ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu
keduanya.10
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau
terlambat salah satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.11
8 Muhammad Arifin Bin Badri, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, Pustaka Darul Ilmi, Bogor, hal. 3
9 Hendi Suhend, Fiqh Muamalah, Rajagrafindo, Jakrta, 2010, Hlm. 57
10 Ibid, Hlm. 57-58
11 Ibid, Hlm. 58
10
Ada beberapa alasan diharamkannya Riba, yaitu:12
1.
Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan
dari kuburannya, ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan
bagaikan orang kesurupan lagi gila. Ibnu Abbas berkata “Pemakan riba akan
dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan tercekik”.
2.
Penegasan bahwa riba diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga tidak termasuk ke
dalam perniagaan yang nyata-nyata dihalalkan.
3.
Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktek riba setelah datang kepadanya
penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari’at Islam, akan
dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi
dinyatakan pada ayat diatas, bahwa “ia kekal di dalamnya”.
Dalam banyak hadist, Rasulullah nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba
sebagai perbuatan dosa besar.
“Dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, Jauhilah olehmu tujuh dosa
besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka) “, para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah dosa-dosa itu “. Beliau bersabda, “Mensekutukan Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak
yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan dan menuduh wanita mu’min
yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina. (Muttafaqun ‘alaih”).
Penegasan bahwa Allah akan menghapuskan dan memusnahkan riba. Ibnu Katsir
berkata “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja
memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya
dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan
kemampuan harta ribanya, bahkan Allah akan membinasakannya dengan harta tersebut dalam
kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan menyiksanya akibat harta
tersebut”. Penafisran Ibnu Katsir ini semakna dengan hadist berikut yang artinya:
12 Muhammad Arifin Bin Badri, Op. Cit., hal. 5-17
11
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya pada akhirnya akan menjadi
sedikit”. (HR. Imam Ahmad Ath-Thabrani, Al-Hakim, dihasankan oleh Ibnu Hajar dan
shahihkan (al-Albani))”.
Allah Ta’ala mensifati pemakan riba sebagai “Orang yang senatiasa berbuat
kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa”. Ibnu Katsir berkata ”Sesungguhnya pemakan riba
tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rizki yang halal, dan merasa tidak cukup
dengan syari’at Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan
yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan cara-cara
yang bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian sikapnya merupakan
pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang
senantiasa memakan harta orang lain.”
Allah Ta’ala memerintahkan kaum muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan
adalah menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal
yang nyata-nyata haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai subhat, Rasulullah
memerintahkan ummatnya untuk meninggalkannya.
Perintah tegas agar meninggalkan riba. Dan dari perintah tegas semacam inilah
disimpulkan wajibnya sesuatu. Dengan demikian meninggalkan riba adalah wajib hukumnya.
Bila suatu hal telah diwajibkan untuk ditinggalkan maka tidak diragukan lagi akan
diharamannya.
Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan
seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tetap memakan riba berarti
imannya cacat dan tidak sempurna.
Allah Ta’ala mengumandangkan peperangan dengan orang-orang yang enggan
meninggalkan riba. Allah berfirman:
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasulnya akan memerangimu (QS. Al-Baqarah: 279).
12
Allah Ta’ala mensifati orang yang berhenti dari memungut riba dan hanya memungut
modalnya (uang pokoknya) saja, dengan firman-Nya, “Kamu tidak menganianya dan tidak
pula dianiaya”. Dari penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang
yang memungut riba berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya karena ia
telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam
syari’at.
Allah Ta’ala menjadikan riba sebagai lawan dari shadaqah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
berkata, “Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta
benda pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: Adil, Zhalim, dan
keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan
menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka
dan Dia membolehkan jual beli serta hutang piutang hingga tempo yang telah ditentukan.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, sangat jelas riba dilarang dan diharamkan dalam
Islam, termasuk dalam kegiatan bank konvensional yang menerapkan bunga. Sementara di
Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama Islam, maka perlu ada suatu perbankan yang
kegiatannya tidak mengandung riba. Artinya perbankan yang dalam kegiatannya menerapkan
prinsip-prinsip Islam yaitu perbankan syari’ah, suatu perbankan yang pelaksanaannya
didasarkan pada Hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul karena bagi
umat Islam Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah mutlak ditaati dan dipedomani dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Al Quran Allah berfirman yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya (Surat : An-Nisaa Ayat : 59).
Ayat yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sebagai umat Islam harus taat
kepada Allah termasuk termasuk hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk
melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT. Keimanan akan
13
wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat dan iradat Allah. Aturan Allah
tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari iradat Allah dan karena
itu, maka kepatuhan menjalankan aturan Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadits
Rasulullah, merupakan perwujudan dari iman kepada Allah.
Menurut Mahmud Syaltout, Al Quran dan Sunnah Rasul mengandung ajaran-ajaran
tentang
akidah
dan
Syari’ah.
Kemudian
Syari’ah
itu
sendiri
terdiri
dari ibadah dan muamalah.13
Ajaran tentang akidah berkaitan dengaan persoalan keimanan dan keyakinan
seseorang terhadap eksistensi Allah, para Malaikat, Rasul, Kitab Suci yang diturunkan Allah,
tentang hari Kiamat dan lain sebagainya. Ajaran tentang akidah ini bersifat permanen, pasti,
dan tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial kultural manusia. Sedangkan ajaran
tentang muamalah berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia
dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
yang terkandung oleh Al Quran dan as Sunnah. Itulah sebabnya bahwa bidang muamalah
tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai Ketuhanan.14
Kata muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna
dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan
masing-masing.15 Dalam arti sempit muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh
dan mengembangkan harta benda. Sedangkan dalam arti luas muamalah adalah aturan-aturan
hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.16
13 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. ix
14 Ibid
15 Ibid, hal. vii
16 Hendi Suhendi, Op. Cit., Hlm. 2-3
14
Namun demikian konteks muamalah harus senantiasa dalam rangka pengabdian
kepada Allah. Artinya tidak boleh lepas dari ketentuan yang telah Allah gariskan dalam Al
Quran, as Sunnah Nabi, ijtihad ulama atau sering disebut dengan Hukum Islam sebagaimana
Allah berfirman dalam Surat az-Zariyat, 51 : 56 yang artinya berbunyi:
“Dan aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepadaKu…”
Salah satu contoh kegiatan Muamalah adalah Mudharabah (kerjasama bagi hasil).
Konsep Mudharabah inilah yang melahirkan Bank Syari’ah di Indonesia. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tenang Perbankan, yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegaiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual
beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Kelahiran Bank Syari’ah (Bank Islam) dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas
seorang muslim harus didasarkan kepada syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai
hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia (muamalat).
Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau lebih tepatnya proses
seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis mudharabah adalah
kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung
secara proporsional dari jumlah modal, yaitu oleh pemilik modal. Kerugian yang timbul
disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola bertanggung jawab
15
atas kerugian tersebut.17 Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam syariah Islam
berdasarlan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ dan para fuqaha.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradh adalah
pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan
sedangkan keuntungan itu menjadi milik bersama dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh
pemilik modal.18 Kerugian yang timbul disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si
pengelola maka si pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kalimat “keuntungan menjadi milik bersama” menjelaskan bahwa wakil bukanlah
mudharib (pengelola mudharabah). Sebab keduanya memperoleh keuntungan bersama adalah
karena pemilik modal berhak memperoleh keuntungan disebabkan modal yang ia berikan,
karena
keuntungan
itu
adalah
hasil
dari
pertumbuhan
modalnya.
Sementara
mudharib (pengelola) juga berhak memperoleh keuntungan disebabkan pekerjaannya yang
menyebabkan adanya keuntungan.19
Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah dan muqayyadah. Mudharabah muthlaqah
adalah seseorang yang memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Dia berkata
“Saya memberikan modal ini kepadamu untuk dilakukan mudharabah dan keuntungannya
untuk kita bersama secara merata”, atau dibagi tiga (dua pertiga dan sepertiga), dan
sebagainya. Atau dapat pula seseorang yang memberikan modalnya secara akad mudharabah
tanpa menentukan pekerjaan, tempat, waktu, sifat pekerjaannya, dan siapa yang boleh
berinteraksi dengannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah yang pemilik modal
menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilik modal memberikan seribu dinar; misalnya,
pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar mengelolanya di negeri tertentu, atau
barang tertentu, atau tidak menjual dan membeli kecuali dari orang tertentu.20
17 Fathurrahman Djamil, Penerapam Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syari’ah, Sinargrafika, Jakarta, Hlm. 173
18 Nasrun Haroen, Op. Cit., Hlm. 176
19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011, Hlm. 477
20 Ibid, Hlm.. 479-480
16
Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutar uang. Banyak diantara pemilik
modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak
pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas
dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk
saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang terampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal itu.21
Secara umum dasar hukum mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha, sebagai berikut:22
a.
Menurut Al Qur’an :
1. Surat al-Muzzammil, 73 : 20 yang artinya: “…dan sebagian mereka berjalan di bumi
mencari karunia Allah…
2. Surat Al-jumuah, 62 : 10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah”.
3. Surat al-Baqarah, 2 : 198 berbunyi yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…”
Ayat-ayat diatas, jelas menunjukkan secara umun mengandung kebolehan akad mudharabah,
yang secara kerjasama mencari rezki yang ditebarkan Allah di atas bumi.
b.
Menurut Hadis
Diriwayatkan dari dari “Abbas ibn “Abd al Muthalib yang artinya:
“Tuan kami ‘Abbas ibn ‘al Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang
pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa
harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah dan
tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga)
hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang
dikemukakan ‘Abbas ibn Abd Muthalib ini sampai kepada Rasulullah dan Rasul
membolehkannya (HR. ath-Thabrani).
21 Ibid, Hlm. 176
22 Fathurrahman Dijamil, Op. Cit,. Hlm. 174
17
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah, yaitu: menjual dengan kredit,
mudharabah, hasil keringat sendiri” (HR. Ibn Majah).
Di samping itu, para ulama juga beralasan dengan praktik mudharabah yang dilakukan
sebagian sahabat, sementara sahabat lain tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan
secara mudharabah itu di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu,
berdasarkan ayat, hadist, dan praktek para sahabat itu, para ulama fiqh menetapkan bahwa
akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka hukumnya adalah
boleh.
Rukun mudharabah adalah pemodal, pengelola, modal, nisbah keuntungan dan sighat
atau akad.23 Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun
mudharabah ada lima, yaitu Modal, Jenis Usaha, Keuntungan, Pelafalan Transaksi dan Dua
Pelaku Transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada
tiga rukun diatas24.
Adapun syarat-syarat mudharabah adalah:25
1.
Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap
bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang
yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syaratsyarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
2.
Yang terkait dengan modal disyaratkan : (a) berbentuk uang, (b) jelas jumlahnya, (c)
tunai dan (d) diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu,
jika modal tersebut berbentuk barang, menurut para ulama fiqh tidak dibolehkan, karena
sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan utang, tidak
boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan)
pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu
tetap dipegang sebagian oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya,
23 Ibid, Hlm. 175
24 Ahmad Sarwat, Fiqih Muamalah, Hlm. 106
25 Nasrun Haroen, Op. Cit, Hlm. 178
18
menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan
tetapi ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan
pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usaha itu.
3.
Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus
jelas dan bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu seperti
setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas,
menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik
modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah,
syarat seperti ini batal dan kerugian tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Dengan demikian kaitan antara Islam dan perbankan menjadi perbankan syariah
merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan Hukum Islam. Dimana
usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun meminjami dengan
perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan
dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).
Untuk itu, adanya perkembangan perbankan syari’ah menjadi fenomena baru dalam
sistem perbakan nasional. Munculnya para pemain baru (new comers) mengindikasikan bank
syari’ah mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Hingga kini tercatat
tiga Bank Umum Syari’ah (BUS) dan 19 Unit Usaha Syari’ah (UUS) dengan jaringan 522
Kantor Cabang (KC), termasuk kantor kas dan 156 unit Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah.26
Akan tetapi perkembangan perbankan syari’ah secara institusi tidak dibarengi
tingginya sikap masyarakat yang secara masif menyimpan dananya di bank syari’ah. Tahun
2008, bank Indonesia menetapkan target pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia pada
kisaran 5,2 %, tetapi sampai sekarang, baru menyentuh level 3 % dengan jumlah asset ± 72
triliun. Jumlah aset perbankan syari’ah saat ini belum optimal mengingat pangsa pasar
syari’ah di Indonesia sangat luas.27
26 Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syari’ah, Pustaka Setia, Bandung, 2012, Hlm. 174
27 Ibid
19
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas bahwa konsep muamalah sebagai filosofis
lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam), karena dalam Islam, selain ada ajaran akidah ada
juga ajaran syari’ah. Sedangkan ajaran syari’ah terdiri dari ibadah dan muamalah. Ajaran
muamalah dapat berupa hubungan-hubungan manusia dengan manusia yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang keuangan dan perbankan yang merupakan
bagian dari kegiatan perekonomian dan karena pada dan zaman modern ini, kegiatan
perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, lembaga perbankan
inipun wajib diadakan.
4. Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Perbandingan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional disajikan dalam tabel berikut ini :
BANK SYARIAH
Melakukan investasi yang halal – halal saja.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
Profit dan falah oriented.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan.
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS.
Landasan Hukum Perbankan
Urgensi Undang Undang Perbankan Syariah
Hierarki Hukum Nasional
Perbankan Syariah dalam UUD
Perbankan Syariah dalamm UU
Perbankan Syariah dalam Peraturan Pemerintah
Perbankan Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
20
Kelembagaan Perbakan Syariah
a. Lembaga Perbankan Syariah
Dari sisi kelembagaan perbannkan syariah terdiri dari BUS, BPRS dan UUS. “BUS
adalah bank syariah yangdalam kegatanya emberkan jasa dalam lalu lintas pembayaran”
(Pasa 1 angka 8 UU Perbankan Syariah). UUS adalah unit kerja dari kantor pusat bank
konensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau uit kerja di kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanankan kegiatan usaha secara kovensional
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah atau unit syariah.
Sedangkan “BPRS adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran” (Pasal 1 angka 9 UU Perbankan Syariah). Jadi kalau BUSdan UUS
dapat melakukan lalu lintas pembayaran maka BPRS tidak dapat melakukannya.
b. Struktur Dalam Perbankan Syariah
Bank Indonesia
Pemegang Saham Pengendali
Dewan Komisaris dan Direksi
Dewan Pengawas Syariah
MUI dan Koite Perbankan Syariah
Kharakteristik. Bank syariah memiliki beberapa kharakteristik tertentu yaitu sebagai
berikut:
Requitment to operate through Islamic modes of financing.
Bank syariah tidak menjadikan uang sebagai komoditi.
Dalam hal bank mengalami kerugian, nasabah menyimpan dana mungkin kehilangan
dananya, menurut perbandingan pembagian laba rugi.
Metode bunga digantikan dengan metode bagi hasil (profit and loss sharing)
21
Beban biaya atas pelayanan bank syariah disepakati bersama pada saat akad
peminjaman atau pembiayaan, dinyatakan dalam bentuk nominaldengan istilah sesuai
dengan produk yang ditawarkan.
Dihindarkannya penggunan presentase atas peminjaman kredit dalam menentukan biaya
utang karena akan mengikat dan membebani sisa utang walaupun masa berlakunya
kontrak telah selesai.
Proporsi bagi hasil didasarkan atas jumlah keuntungan usaha yang diperoleh debitur.
Bank syariah tidak menjanjikan jumlah keuntungan yang pasti kepada nasabah
penyimpan dana yang menyimpan dananya dalam giro wadi’ah maupun tabungan
deposito/mudhorobah.
Prinsip penjaminan collateral tidak dominan dalam pemberian kredit di bank syariah.
Produk – Produk Bank Syariah. Perkembangan produk – produk bank dilihat dari
beragamnya produk bank syariah, sebenarnya jika bank syariah dibbaskan untuk
mengembangkan sendiri produknya menurut teori perbankan islam, produknya akan sangat
bervariasi.
a. Penyerapan Dana
Prinsip Wadi’ah
Prinsip Mudhorobah
b. Pelayanan Jasa – Jasa
Bank garansi dengan prinsip kafalah
c. Penyaluran dana
Pembiayaan untuk berbagai kegiatan investasi berdasarkan bagi hasil.
Pembiayaan untuk berbagai kegiatan perdagangan.
BANK KONVENSIONAL
Investasi yang halal dan haram.
Memakai perangkat bunga.
Profit oriented.
22
Hubungan dengan nasabah dalam dalam bentuk hubungan debitor – kreditor.
Tidak terdapat dewan sejenis.
Produk – Produk Bank Konvensional. Dalam praktiknya ragam produk tergantung dari status
bank yang bersangkutan yang memberikan pelayanan yang berbeda. Kegiatan bank
konvensional secara lengkap meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. Menghimpun Dana (Funding)
Simpanan Giro
Simpanan Tabungan
Simpanan Deposito
b. Menyalurkan Dana (Lending)
Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Kredit Perdagangan
Kredit Produktif
Kredit Konsumtif
Kredit Profesi
c. Memberikan Jasa – Jasa Bank Lainnya (Services)
Kiriman Uang
Bank Card
Bank Garansi
Bank Draft
Kliring
Letter of Credit
Inkaso
Melayani Pembayaran
Cek Wisata
Safe Deposit Box
23
Bank Notes
Menerima setoran
Bermain didalam pasar modal
5. Keunggulan dan Kelemahan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Keunggulan Bank Syariah, Bank syariah memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai
berikut:
Bank syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah.
Terhindar dari praktik moneu laundring.
Bank syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya.
Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter.
Mekanisme bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.
Kelemahan Bank Syariah, Bank syariah memiliki beberapa kelemahan diantaranya
sebagai berikut:
Jaringan kantor bank syariah belum luas.
SDM bank syariah masih sedikit.
Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih kurang.
Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.
Keunggulan Bank Konvensional, Keunggulan Bank konvensional adalah sebagai
berikut:
Dukungan peraturan perundang – undangan yang mapan sehingga bank dapat
bergerak lebih pasti.
Banyaknya bank konvensional menggairahkan persaingan.
Nasabah telah terbiasa dengan sistem bunga tidak dengan metode bagi hasil yang
relatif baru.
Bank konvensional lebih kreatif membuat produk – produk baru.
Metode bunga telah lama dikenal masyarakat.
24
Kelemahan Bank Konvensional, Bank konvensional memiliki beberapa kelemahan
diantaranya sebagai berikut:
Adanya praktek sfekulasi tanpa perhitungan.
Kredit bermasalah.
Praktik curang.
Faktor manajemen
25
D.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Perbankan syari’ah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
1.
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini
berdasarkan
adanya
larangan
dalam agama
Islam untuk
meminjamkan
atau
memungutpinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk
berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).
2.
Lahirnya Perbankan di Indonesia diawali tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank
syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan
1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan
(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian gagasan mengenai bank syariah
itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Selanjutnya pada tahun
1990an dibentuklah Kelompok Kerja MUI dan sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI
tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, pada tanggal 1 November
1991 sebagai Bank Syari’ah pertama di Indonesia.
3.
Perbankan Syari’ah Indonesia ditinjau dari Filsafat Hukum Islam merupakan konsep
filosofis dari Muamalah Mudharabah yaitu suatu konsep kegiatan perbankan dengan
sistem bagi hasil dan berlandaskan hukum Islam dan tidak mengandung riba
sebagaimana sebelumnya ada pada Bank Konvensional.
Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut :
26
1.
Perbankan syari’ah yang ada di Indonesia dalam pelaksanaannya harus benar-benar
berdasarkan hukum Islam (syariah). Jadi jangan sebagai kedok untuk menarik minat
umat Islam untuk menabung di perbankan atau sekedar orientasi bisnis semata.
2.
Lahirnya Perbankan di Indonesia dengan tujuan untuk kepentingan mengakomodir
umat Islam harus didukung dan dipertahankan. Namun dalam pelaksanannya harus
diawasi dengan ketat oleh Dewan Pengawas Syari’ah. Sehingga kelahiran perbankan
syari’ah tersebut sesuai dengan tujuannya.
3.
Perbankan Syari’ah Indonesia yang secara filosofis keberadaannya dengan
menggunakan konsep Muamalah Mudharabah sebagai dasar dan implementasinya
maka harus benar-benar dimamfaatkan umat Islam secara utuh dalam rangka
meningkatkan keimanan kepada Allah, RasulNya dan Kitab Al Aquran’an dan Hadist.
Sehingga umat Islam tidak terjerumus pada perbuatan riba yang sangat di larang Allah
SWT.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat, Fiqih Muamalah, Jakarta, 2012
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinargrafika, Jakarta, 2010,
Fathurrahman Djamil, Penerapam Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syari’ah, Sinargrafika, Jakarta, 2010
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di
Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Rajagrafindo, Jakarta, 2010
Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syari’ah, Pustaka Setia, Bandung, 2012
Muhammad Arifin Bin Badri, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, Pustaka Darul
Ilmi, Bogor, 2011
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak Syari’at, La
Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. II, No. 1, Juli 2008
28
Short Course Bank Syariah, Regulasi Bank Indonesia Terhadap Pengembangan Bank Syariah
di Indonesia, Sharia Banking Training Center Yogyakarta, 18 Mei 2008
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011
29
Pendahuluan
Perkembangan ekonomi Islam akhir-akhir ini begitu pesat. Dalam tiga dasawarsa ini
mengalami kemajuan, baik dalam bentuk kajian akademis di Perguruan Tinggi maupun secara
praktik operasional. Dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah di kembangkan di berbagai
Universitas, baik di negara-negara muslim juga negara barat. Misalnya di Inggris ada
beberapa universitas yang telah mengembangkan kajian ini seperti University of Durham,
University of Portsmouth dan yang lainnya. Di Amerika sendiri dikaji di University of
Harvard, bahkan Australia pun melakukan hal yang sama di University of Wolongong.1 Ini
menunjukkan bahwa ekonomi Islam berkembang dan menjadi pusat kajian dunia, terutama
dalam mengembangkan kegiatan dunia usaha yang semakin global dan kompleks.
Salah satu kegiatan usaha yang paling dominan dan sangat dibutuhkan keberadaannya
di dunia ekonomi dewasa ini adalah kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan, oleh karena
fungsinya sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa. Sebagai alat penghimpun dana, lembaga keuangan ini mampu
melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting
di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah. Demikian pula lembaga keuangan ini
dapat menyediakan dana bagi pengusaha-pengusaha swasta atau kalangan rakyat pengusaha
lemah yang membutuhkan dana bagi kelangsungan usahanya. Dan juga berbagai fungsi lain
yang berupa jasa bagi kelancaran lalu-lintas dan peredaran uang baik nasional maupun antar
negara.2
Hal ini juga terjadi di Indonesia pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pada
umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku
ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi melalui jasa financial perbankan. Bank
merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan
1 Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak Syari’at,La Riba Jurnal
Ekonomi Islam, Vol. II, No. 1, Juli 2008, Hlm. 1
2 Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Kencana,
Jakarta, 2006, Hlm. 50
1
utama dari perbankan adalah menyerap dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat.
Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998, ada 2
(dua) jenis bank jika ditinjau menurut kegiatan usahanya yaitu:3
1.
Bank Konvensional yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara
konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank
Perkreditan Rakyat. Bank Umum Konvensional dalam kegiatannya menjalankan dual
banking system (sistem konvensional dan sistem syari’ah).
2.
Bank Syari’ah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syari’ah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari’ah dan Bank Pembiayaan
Rakyat Syari’ah. Bank Umum Syariah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat
Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
Berdasarkan hal di atas berarti Bank Konvensional dapat juga menjalankan perbankan
sistem syari’ah (dual banking system) selain itu ada Bank Syari’ah yang khusus menjalankan
prinsip syari’ah tanpa prinsip konvensional. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan tidak ada mengatur tentang menjalankan kegiatan perbankan
dengan prinsip syari’ah. Dengan demikian jelas ada perbedaan antara menjalankan perbankan
dengan prinsip konvensional dan dengan prinsip syari’ah. Prinsip konvensional dalam
kegiatannya adanya bunga yang diinspirasikan oleh sistem ekonomi kapitalis dengan jalan
menarik keuntungan usahanya terutama dari bunga kredit yang dimamfaatkannya melalui
dana simpanan masyarakat yang kemudian dipinjam kembali kepada masyarakat dengan
tambahan berupa bunga sedangkan prinsip syari’ah berdasarkan hukum Islam dan tidak
mengenal bunga tapi bagi hasil. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1998 yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
3 Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinargrafika, Jakarta, 2010, Hlm. 151
2
yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah),…dan seterusnya”
Sedangkan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah menyatakan Prinsip Syariah adalah Prinsip Hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang di keluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.
Prinsip syari’ah ini wajar saja muncul, karena tidak semua masyarakat Indonesia
tertarik menggunakan jasa perbankan yang pada waktu itu masih konvensional. Terutama
masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang menganggap bank dalam kegiatannya
mengandung riba. Oleh karena tuntutan kebutuhan nasabah dan karena mayoritas masyarakat
Indonesia beragama Islam maka perlu ada suatu Bank yang mampu mengakomodir kebutuhan
nasabah tersebut yaitu bank yang Islami yang berlandaskan pada Aqur’an dan Hadist, maka
lahirlah Bank Syari’ah seperti saat ini.
Bank Syariah merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam dalam
mewujudkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat yang
tidak terpisahkan dari aspek-aspek ajaran Islam yang komprehensif dan universal.
Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun
sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam
dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku,
golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”4. Bank Syariah yaitu
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang mengacu kepada
ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Keberadaan Bank Syari’ah dalam sistem perbankan Indonesia merupakan bank umum
yang berlandaskan pada prinsip syari’ah (hukum) Islam, sejalan dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah di perbaharui dengan
4 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,
Hlm. 12
3
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (Pasal 6 huruf m) maka memberikan landasan hukum
bagi Bank Syariah baik dari segi kelembagaan maupun operasionalnya.
Lahirnya perbankan syari’ah menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam cukup
signifikan memasuki wilayah apapun termasuk wilayah ekonomi perbankan dalam bentuk
keuangan syariah. Ajaran-ajaran Islam tersebut mutlak harus ditaati dan dipedomani oleh
seluruh orang Islam dalam menjadikan aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk dalam
kegiatan transaksi dan penanaman modal.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan hal di atas, yang menjadi indentifikasi masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan Perbankan Syari’ah Indonesia?
2.
Bagaimana lahirnya Perbankan Syari’ah di Indonesia?
3.
Bagaimana Perbankan Syari’ah Indonesia di tinjau dari filsafat hukum Islam?
4.
Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional?
5.
Keunggulan dan Kelemahan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional?
4
C.
Pembahasan
1. Pengertian Perbankan Syari’ah
Perbankan syari’ah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan
adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan
mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha
berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin
absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan
produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan
lain-lain.5
Karakteristik sistem perbankan syariah adalah dalam kegiatannya berdasarkan prinsip
bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi
masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang
beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan
menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam
produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih
bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Berdasarkan prinsip
bagi hasil, bank Islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan
pengusaha yang meminjam dana.
Melihat dari latar belakangnya, Bank Syariah lahir karena dilarangnya riba dalam
Islam. Kelahiran lembaga keuangan yang bebas bunga, terutama di negara- negara muslim
telah memberikan dimensi baru dalam bidang ekonomi. Secara umum Bank Syariah
merupakan suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai organisasi perantara antara yang
kelebihan dana dan yang kekurangan dana yang dalam menjalankan aktivitasnya harus sesuai
dengan prinsip-prinsip Islam. Prinsip umum Hukum Islam, berdasarkan ayat dalam AlQur’an menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar
atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbalan secara etika adalah dilarang.
5 http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah/ diakses tanggal 12 Mei 2014/jam 15.10 WIB
5
2. Lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam) di Indonesia6
Konsep teoritis mengenai bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an,
dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini,
dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari beberapa penulis, antara lain Anwar Qureshi
(1946), Naiem Siddiqi (1948), dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci
mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan,
yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Maududi
Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul; A
Groundwork for Interest Free Bank.
Sementara itu, ide pendirian bank syariah di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970-an.
Dimana pembicaraan bank syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah
pada tahun 1974 dan 1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perkembangan pemikiran tentang
perlunya umat Islam Indonesia memiliki perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat
itu, seiring munculnya kesadaran baru kaum intelektual dan cendikiawan muslim dalam
memberdayakan ekonomi masyarakat. Pada awalnya memang sempat terjadi perdebatan
mengenai hukum bunga bank dan hukum zakat, pajak dikalangan para ulama, cendikiawan,
dan intelektual muslim.
Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri
perbankan. Para ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada
satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan dapat saja
menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang
bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus 1990, maka dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI tersebut, maka dibentuk kelompok kerja
untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
6 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17982/3/Chapter%20II.pdf diakses pada tanggal 12 Mei 2014
jam 15.10
6
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pedekatan dan konsultasi dengan
semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank
Muammalat Indonesia, yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia resmi beroperasi dengan modal awal
sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, Bank Muamalat Indonesia
telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Dana tersebut
berasal dari Presiden dan Wakil Presiden, sepuluh menteri Kabinet Pembangunan V, juga
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, Purna Bhakti
Pertiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Selanjutnya Yayasan Dana Dakwah Pembangunan
ditetapkan sebagai Yayasan penompang Bank Muammalat Indonesia. Dengan terkumpulnya
modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi.
Setelah Bank Muammalat Indonesia mulai beroperasi sebagai bank yang menerapkan prinsip
syariah pertama di Indonesia, frekuensi kegairahan umat Islam untuk menerapkan dan
mempraktekkan sistem syariah dalam kehidupan berekonomi sehari-hari menjadi tinggi.
Namun karena kuatnya jaringan bank konvensional yang dimiliki para konglomerat dan
pemerintah yang tayangan-tayangannya bahkan masuk ke pelosok desa dan kecamatan untuk
menyedot dana dari masyarakat, membuat Bank Muammalat Indonesia hampir tidak bisa
berbuat banyak, apalagi untuk menyediakan jasa kepada masyarakat yang jauh dari kota-kota
besar. Kenyataan tersebut barangkali menjadikan Bank Muammalat Indonesia kemudian
belum dapat memenuhi banyak harapan masyarakat muslim lapisan bawah yang selama
berpuluh-puluh tahun tidak tersentuh kebijakan pemerintah yang memihak kepada mereka.
Secara yuridis, walaupun pembicaraan-pembicaraan tentang bank berdasarkan prinsip syariah
sudah lama ada di Indonesia, akan tetapi momentum akan lahirnya bank-bank yang bergerak
dibidang berdasarkan prinsip syariah tersebut baru ada setelah lahirnya Undang-undang
Perbankan Nomor 10 Tahun 1998.
Memang Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 seakan-akan memukul gong terhadap
lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah tersebut. Sebab menurut Pasal 6 huruf (m) juncto
7
Pasal 13 huruf (c) dari undang-undang tersebut dengan tegas membuka kemungkinan bagi
bank untuk melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya, baik untuk
bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Kegiatan pembiayaan bagi hasil tersebut
kemudian oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diperluas menjadi kegiatan apapun
dari bank berdasarkan prinsip syariat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (dalam undangundang yang lama ditetapkan oleh peraturan pemerintah). Dengan demikian, Pasal 6 huruf
(m) dan Pasal 13 huruf (c) dari Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 sekarang
merupakan dasar hukum yang utama bagi eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah. Dalam
Pasal 6 huruf (m) tersebut berbunyi :
“Usaha bank meliputi: menyediakan pembiayaan dan/ atau melakukan kegiatan lain
berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 13 huruf (c) berbunyi:
“Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: menyediakan pembiayaan dan penempatan dana
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
Sebagai penjelmaan dari dasar hukum utama dari Undang-undang Perbankan Nomor 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, oleh
Pemerintah Republik Indonesia telah dikeluarkan dasar hukum bagi bank berdasarkan prinsip
syariah dalam bentuk peraturan pemerintah, yakni dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Adapun yang menjadi dasar-dasar Bank Bagi Hasil yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerinah Nomor 72 Tahun 1992 tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Kegiatan bank berdasarkan syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat (Pasal 1 ayat(1)).
2.
Jika Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sudah melakukan kegiatan bank
berdasarkan syariah, maka dia tidak boleh lagi merangkap melakukan juga kegiatankegiatan lainnya (kegiatan konvensional) (pasal ayat (1) juncto Pasal 6.
3.
Bank berdasarkan syariah melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
syariat Islam (Pasal 2 ayat (1)).
8
4.
Bagi hasil bagi penyediaan dana kepada masyarakat termasuk juga kegiatan jual-beli
(Pasal 2 ayat (2)).
5.
Bank berdasarkan syariah wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariat.
Adapun tujuan pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia adalah sebagai
berikut:7
1.
Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima
konsep bunga.
2.
Menyediakan alternatif investasi, pembiayaan dan jasa keuangan lainnya.
3.
Mengurangi resiko sistemik dari kegagalan sistem keuangan di Indonesia.
4.
Mendorong peran perbankan secara optimal dalam menggerakkan sektor riil dan
membatasi spekulasi atau pembiayaan yang tidak produktif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa bank berdasarkan prinsip syariah di
Indonesia telah ada sebelum di undangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian menjadi tonggak dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
3. Perbankan Syari’ah Indonesia di tinjau dari filsafat Hukum Islam
Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perbankan konvensional mengandung riba.
Sementara hal tersebut dilarang oleh agama Islam. Bahkan agama lain juga melarang riba.
Pendapat tentang bunga bank adalah riba memang membuat para ulama terjadi berbeda
pendapat. Ada beberapa ulama berpendapat haram, ada juga berpendapat syubhat (samar) dan
adanya juga mengganggap halal. Namun demikian Allah berfirman dalam Al Qur’an yang
artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan
bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imron : 130).
7 Short Course Bank Syariah, Regulasi Bank Indonesia Terhadap Pengembangan Bank Syariah di Indonesia,
Sharia Banking Training Center Yogyakarta, 18 Mei 2008, Hlm. 2.
9
Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Allah Ta’ala melarang hamba-hambanyaNya kaum mu’minin dari praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu
orang-orang jahiliyah bila piutang telah jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang,
“Engkau melunasi hutangmu atau membayar riba”. Bila ia tidak melunasinya, maka pemberi
hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah jumlah pembayarannya.
Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda
hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah ta’ala
memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di
akhirat”8.
Riba menurut bahasa memiliki beberapa pengertian, yaitu:9
1.
Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu
yang dihutangkan.
2.
Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta
uang atau yang lainnya yang dipinjamkan orang lain.
3.
Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, riba menurut Al Mali adalah akad yang terjadi atas
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’,
ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu
keduanya.10
Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi
dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau
terlambat salah satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.11
8 Muhammad Arifin Bin Badri, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, Pustaka Darul Ilmi, Bogor, hal. 3
9 Hendi Suhend, Fiqh Muamalah, Rajagrafindo, Jakrta, 2010, Hlm. 57
10 Ibid, Hlm. 57-58
11 Ibid, Hlm. 58
10
Ada beberapa alasan diharamkannya Riba, yaitu:12
1.
Pemakan riba akan dihinakan dihadapan seluruh makhluk, yaitu ketika ia dibangkitkan
dari kuburannya, ia dibangkitkan dalam keadaan yang amat hina, ia dibangkitkan
bagaikan orang kesurupan lagi gila. Ibnu Abbas berkata “Pemakan riba akan
dibangkitkan dari kuburannya dalam keadaan gila dan tercekik”.
2.
Penegasan bahwa riba diharamkan oleh Allah Ta’ala, sehingga tidak termasuk ke
dalam perniagaan yang nyata-nyata dihalalkan.
3.
Ancaman bagi orang yang tetap menjalankan praktek riba setelah datang kepadanya
penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan dalam syari’at Islam, akan
dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk ke dalamnya, akan tetapi
dinyatakan pada ayat diatas, bahwa “ia kekal di dalamnya”.
Dalam banyak hadist, Rasulullah nyata-nyata menyebutkan perbuatan memakan riba
sebagai perbuatan dosa besar.
“Dari sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, Jauhilah olehmu tujuh dosa
besar yang akan menjerumuskan (pelakunya ke dalam neraka) “, para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, apakah dosa-dosa itu “. Beliau bersabda, “Mensekutukan Allah, sihir, membunuh
jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan harta anak
yatim, memakan riba, melarikan diri dari medan peperangan dan menuduh wanita mu’min
yang menjaga (kehormatannya) lagi baik (bahwa ia telah zina. (Muttafaqun ‘alaih”).
Penegasan bahwa Allah akan menghapuskan dan memusnahkan riba. Ibnu Katsir
berkata “Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba, maksudnya bisa saja
memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya atau menghalangi pemiliknya
dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan
kemampuan harta ribanya, bahkan Allah akan membinasakannya dengan harta tersebut dalam
kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah akan menyiksanya akibat harta
tersebut”. Penafisran Ibnu Katsir ini semakna dengan hadist berikut yang artinya:
12 Muhammad Arifin Bin Badri, Op. Cit., hal. 5-17
11
“Sesungguhnya (harta) riba, walaupun banyak jumlahnya pada akhirnya akan menjadi
sedikit”. (HR. Imam Ahmad Ath-Thabrani, Al-Hakim, dihasankan oleh Ibnu Hajar dan
shahihkan (al-Albani))”.
Allah Ta’ala mensifati pemakan riba sebagai “Orang yang senatiasa berbuat
kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa”. Ibnu Katsir berkata ”Sesungguhnya pemakan riba
tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rizki yang halal, dan merasa tidak cukup
dengan syari’at Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan
yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengeruk harta orang lain dengan cara-cara
yang bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian sikapnya merupakan
pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang
senantiasa memakan harta orang lain.”
Allah Ta’ala memerintahkan kaum muslimin agar bertakwa, dan hakikat ketakwaan
adalah menjalankan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Bukan hanya hal-hal
yang nyata-nyata haram, bahkan hal-hal yang tergolong sebagai subhat, Rasulullah
memerintahkan ummatnya untuk meninggalkannya.
Perintah tegas agar meninggalkan riba. Dan dari perintah tegas semacam inilah
disimpulkan wajibnya sesuatu. Dengan demikian meninggalkan riba adalah wajib hukumnya.
Bila suatu hal telah diwajibkan untuk ditinggalkan maka tidak diragukan lagi akan
diharamannya.
Allah menjadikan perbuatan meninggalkan riba sebagai bukti akan keimanan
seseorang, dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang tetap memakan riba berarti
imannya cacat dan tidak sempurna.
Allah Ta’ala mengumandangkan peperangan dengan orang-orang yang enggan
meninggalkan riba. Allah berfirman:
“Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasulnya akan memerangimu (QS. Al-Baqarah: 279).
12
Allah Ta’ala mensifati orang yang berhenti dari memungut riba dan hanya memungut
modalnya (uang pokoknya) saja, dengan firman-Nya, “Kamu tidak menganianya dan tidak
pula dianiaya”. Dari penggalan makna ayat ini dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang
yang memungut riba berarti ia telah berbuat zhalim atau aniaya terhadap saudaranya karena ia
telah mengambil sebagian dari hartanya dengan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam
syari’at.
Allah Ta’ala menjadikan riba sebagai lawan dari shadaqah. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
berkata, “Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan sikap seluruh manusia dalam hal harta
benda pada akhir surat Al-Baqarah, yaitu terbagi menjadi tiga bagian: Adil, Zhalim, dan
keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang bersedekah dan
menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan menyebutkan hukuman mereka
dan Dia membolehkan jual beli serta hutang piutang hingga tempo yang telah ditentukan.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, sangat jelas riba dilarang dan diharamkan dalam
Islam, termasuk dalam kegiatan bank konvensional yang menerapkan bunga. Sementara di
Indonesia mayoritas masyarakatnya beragama Islam, maka perlu ada suatu perbankan yang
kegiatannya tidak mengandung riba. Artinya perbankan yang dalam kegiatannya menerapkan
prinsip-prinsip Islam yaitu perbankan syari’ah, suatu perbankan yang pelaksanaannya
didasarkan pada Hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul karena bagi
umat Islam Al Qur’an dan Sunnah Rasul adalah mutlak ditaati dan dipedomani dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam Al Quran Allah berfirman yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya (Surat : An-Nisaa Ayat : 59).
Ayat yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sebagai umat Islam harus taat
kepada Allah termasuk termasuk hukum Allah, ia menuntut kepatuhan dari umat Islam untuk
melaksanakannya sebagai kelanjutan dari keimanannya terhadap Allah SWT. Keimanan akan
13
wujud Allah menuntut kepercayaan akan segala sifat, kodrat dan iradat Allah. Aturan Allah
tentang tingkah laku manusia itu sendiri merupakan satu bentuk dari iradat Allah dan karena
itu, maka kepatuhan menjalankan aturan Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan hadits
Rasulullah, merupakan perwujudan dari iman kepada Allah.
Menurut Mahmud Syaltout, Al Quran dan Sunnah Rasul mengandung ajaran-ajaran
tentang
akidah
dan
Syari’ah.
Kemudian
Syari’ah
itu
sendiri
terdiri
dari ibadah dan muamalah.13
Ajaran tentang akidah berkaitan dengaan persoalan keimanan dan keyakinan
seseorang terhadap eksistensi Allah, para Malaikat, Rasul, Kitab Suci yang diturunkan Allah,
tentang hari Kiamat dan lain sebagainya. Ajaran tentang akidah ini bersifat permanen, pasti,
dan tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial kultural manusia. Sedangkan ajaran
tentang muamalah berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia
dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip
yang terkandung oleh Al Quran dan as Sunnah. Itulah sebabnya bahwa bidang muamalah
tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai Ketuhanan.14
Kata muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna
dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan
masing-masing.15 Dalam arti sempit muamalah adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati
yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh
dan mengembangkan harta benda. Sedangkan dalam arti luas muamalah adalah aturan-aturan
hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.16
13 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal. ix
14 Ibid
15 Ibid, hal. vii
16 Hendi Suhendi, Op. Cit., Hlm. 2-3
14
Namun demikian konteks muamalah harus senantiasa dalam rangka pengabdian
kepada Allah. Artinya tidak boleh lepas dari ketentuan yang telah Allah gariskan dalam Al
Quran, as Sunnah Nabi, ijtihad ulama atau sering disebut dengan Hukum Islam sebagaimana
Allah berfirman dalam Surat az-Zariyat, 51 : 56 yang artinya berbunyi:
“Dan aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepadaKu…”
Salah satu contoh kegiatan Muamalah adalah Mudharabah (kerjasama bagi hasil).
Konsep Mudharabah inilah yang melahirkan Bank Syari’ah di Indonesia. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tenang Perbankan, yaitu:
“Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegaiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syari’ah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi
hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual
beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Kelahiran Bank Syari’ah (Bank Islam) dilandasi bahwa segala sesuatu aktivitas
seorang muslim harus didasarkan kepada syariat Islam. Islam tidak hanya mengatur mengenai
hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadat), tetapi juga mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia (muamalat).
Mudharabah berasal dari kata dharb artinya memukul atau lebih tepatnya proses
seseorang memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Secara teknis mudharabah adalah
kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung
secara proporsional dari jumlah modal, yaitu oleh pemilik modal. Kerugian yang timbul
disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola maka si pengelola bertanggung jawab
15
atas kerugian tersebut.17 Mudharabah adalah akad yang dibolehkan dalam syariah Islam
berdasarlan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ dan para fuqaha.
Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan mudharabah atau qiradh adalah
pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan
sedangkan keuntungan itu menjadi milik bersama dibagi menurut kesepakatan bersama.
Apabila terjadi kerugian dalam perdagangan, kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh
pemilik modal.18 Kerugian yang timbul disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian si
pengelola maka si pengelola bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kalimat “keuntungan menjadi milik bersama” menjelaskan bahwa wakil bukanlah
mudharib (pengelola mudharabah). Sebab keduanya memperoleh keuntungan bersama adalah
karena pemilik modal berhak memperoleh keuntungan disebabkan modal yang ia berikan,
karena
keuntungan
itu
adalah
hasil
dari
pertumbuhan
modalnya.
Sementara
mudharib (pengelola) juga berhak memperoleh keuntungan disebabkan pekerjaannya yang
menyebabkan adanya keuntungan.19
Mudharabah ada dua jenis, yaitu muthlaqah dan muqayyadah. Mudharabah muthlaqah
adalah seseorang yang memberikan modal kepada yang lain tanpa syarat tertentu. Dia berkata
“Saya memberikan modal ini kepadamu untuk dilakukan mudharabah dan keuntungannya
untuk kita bersama secara merata”, atau dibagi tiga (dua pertiga dan sepertiga), dan
sebagainya. Atau dapat pula seseorang yang memberikan modalnya secara akad mudharabah
tanpa menentukan pekerjaan, tempat, waktu, sifat pekerjaannya, dan siapa yang boleh
berinteraksi dengannya. Sedangkan mudharabah muqayyadah yang pemilik modal
menentukan salah satu hal di atas. Atau pemilik modal memberikan seribu dinar; misalnya,
pada orang lain untuk mudharabah dengan syarat agar mengelolanya di negeri tertentu, atau
barang tertentu, atau tidak menjual dan membeli kecuali dari orang tertentu.20
17 Fathurrahman Djamil, Penerapam Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syari’ah, Sinargrafika, Jakarta, Hlm. 173
18 Nasrun Haroen, Op. Cit., Hlm. 176
19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011, Hlm. 477
20 Ibid, Hlm.. 479-480
16
Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu
antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam memutar uang. Banyak diantara pemilik
modal yang tidak pakar dalam mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak
pula para pakar di bidang perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Atas
dasar saling menolong dalam pengelolaan modal itu, Islam memberikan kesempatan untuk
saling bekerjasama antara pemilik modal dengan seorang yang terampil dalam mengelola dan
memproduktifkan modal itu.21
Secara umum dasar hukum mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha, sebagai berikut:22
a.
Menurut Al Qur’an :
1. Surat al-Muzzammil, 73 : 20 yang artinya: “…dan sebagian mereka berjalan di bumi
mencari karunia Allah…
2. Surat Al-jumuah, 62 : 10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah”.
3. Surat al-Baqarah, 2 : 198 berbunyi yang artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk
mencari karunia (rezki hasil perdagangan) dari Tuhanmu…”
Ayat-ayat diatas, jelas menunjukkan secara umun mengandung kebolehan akad mudharabah,
yang secara kerjasama mencari rezki yang ditebarkan Allah di atas bumi.
b.
Menurut Hadis
Diriwayatkan dari dari “Abbas ibn “Abd al Muthalib yang artinya:
“Tuan kami ‘Abbas ibn ‘al Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seseorang yang
pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa
harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah dan
tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak/berjalan. Jika (ketiga)
hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang
dikemukakan ‘Abbas ibn Abd Muthalib ini sampai kepada Rasulullah dan Rasul
membolehkannya (HR. ath-Thabrani).
21 Ibid, Hlm. 176
22 Fathurrahman Dijamil, Op. Cit,. Hlm. 174
17
Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda:
“Tiga bentuk usaha yang mendapat berkah dari Allah, yaitu: menjual dengan kredit,
mudharabah, hasil keringat sendiri” (HR. Ibn Majah).
Di samping itu, para ulama juga beralasan dengan praktik mudharabah yang dilakukan
sebagian sahabat, sementara sahabat lain tidak membantahnya, bahkan harta yang dilakukan
secara mudharabah itu di zaman mereka kebanyakan adalah harta anak yatim. Oleh sebab itu,
berdasarkan ayat, hadist, dan praktek para sahabat itu, para ulama fiqh menetapkan bahwa
akad mudharabah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka hukumnya adalah
boleh.
Rukun mudharabah adalah pemodal, pengelola, modal, nisbah keuntungan dan sighat
atau akad.23 Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelaskan bahwa rukun
mudharabah ada lima, yaitu Modal, Jenis Usaha, Keuntungan, Pelafalan Transaksi dan Dua
Pelaku Transaksi. Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada
tiga rukun diatas24.
Adapun syarat-syarat mudharabah adalah:25
1.
Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap
bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang
yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itulah sebabnya, syaratsyarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.
2.
Yang terkait dengan modal disyaratkan : (a) berbentuk uang, (b) jelas jumlahnya, (c)
tunai dan (d) diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu,
jika modal tersebut berbentuk barang, menurut para ulama fiqh tidak dibolehkan, karena
sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan utang, tidak
boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan)
pemilik modal pada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu
tetap dipegang sebagian oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya,
23 Ibid, Hlm. 175
24 Ahmad Sarwat, Fiqih Muamalah, Hlm. 106
25 Nasrun Haroen, Op. Cit, Hlm. 178
18
menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah tidak sah. Akan
tetapi ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan
pemilik modal, asal tidak mengganggu kelancaran usaha itu.
3.
Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus
jelas dan bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu seperti
setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas,
menurut ulama Hanafiyah, akad itu fasid (rusak). Demikian juga halnya, apabila pemilik
modal mensyaratkan bahwa kerugian ditanggung bersama, menurut ulama Hanafiyah,
syarat seperti ini batal dan kerugian tetap ditanggung sendiri oleh pemilik modal.
Dengan demikian kaitan antara Islam dan perbankan menjadi perbankan syariah
merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan Hukum Islam. Dimana
usaha ini didasari oleh larangan Islam untuk memungut maupun meminjami dengan
perhitungan bunga (riba) dan larangan berinvestasi di dalam usaha-usaha yang berkaitan
dengan media dan barang yang tidak Islami (haram).
Untuk itu, adanya perkembangan perbankan syari’ah menjadi fenomena baru dalam
sistem perbakan nasional. Munculnya para pemain baru (new comers) mengindikasikan bank
syari’ah mempunyai prospek yang cerah dan pasar yang sangat potensial. Hingga kini tercatat
tiga Bank Umum Syari’ah (BUS) dan 19 Unit Usaha Syari’ah (UUS) dengan jaringan 522
Kantor Cabang (KC), termasuk kantor kas dan 156 unit Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah.26
Akan tetapi perkembangan perbankan syari’ah secara institusi tidak dibarengi
tingginya sikap masyarakat yang secara masif menyimpan dananya di bank syari’ah. Tahun
2008, bank Indonesia menetapkan target pertumbuhan perbankan syari’ah di Indonesia pada
kisaran 5,2 %, tetapi sampai sekarang, baru menyentuh level 3 % dengan jumlah asset ± 72
triliun. Jumlah aset perbankan syari’ah saat ini belum optimal mengingat pangsa pasar
syari’ah di Indonesia sangat luas.27
26 Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syari’ah, Pustaka Setia, Bandung, 2012, Hlm. 174
27 Ibid
19
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas bahwa konsep muamalah sebagai filosofis
lahirnya Perbankan Syari’ah (Bank Islam), karena dalam Islam, selain ada ajaran akidah ada
juga ajaran syari’ah. Sedangkan ajaran syari’ah terdiri dari ibadah dan muamalah. Ajaran
muamalah dapat berupa hubungan-hubungan manusia dengan manusia yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang keuangan dan perbankan yang merupakan
bagian dari kegiatan perekonomian dan karena pada dan zaman modern ini, kegiatan
perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, lembaga perbankan
inipun wajib diadakan.
4. Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Perbandingan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional disajikan dalam tabel berikut ini :
BANK SYARIAH
Melakukan investasi yang halal – halal saja.
Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa.
Profit dan falah oriented.
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan.
Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa DPS.
Landasan Hukum Perbankan
Urgensi Undang Undang Perbankan Syariah
Hierarki Hukum Nasional
Perbankan Syariah dalam UUD
Perbankan Syariah dalamm UU
Perbankan Syariah dalam Peraturan Pemerintah
Perbankan Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
20
Kelembagaan Perbakan Syariah
a. Lembaga Perbankan Syariah
Dari sisi kelembagaan perbannkan syariah terdiri dari BUS, BPRS dan UUS. “BUS
adalah bank syariah yangdalam kegatanya emberkan jasa dalam lalu lintas pembayaran”
(Pasa 1 angka 8 UU Perbankan Syariah). UUS adalah unit kerja dari kantor pusat bank
konensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau uit kerja di kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanankan kegiatan usaha secara kovensional
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah atau unit syariah.
Sedangkan “BPRS adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran” (Pasal 1 angka 9 UU Perbankan Syariah). Jadi kalau BUSdan UUS
dapat melakukan lalu lintas pembayaran maka BPRS tidak dapat melakukannya.
b. Struktur Dalam Perbankan Syariah
Bank Indonesia
Pemegang Saham Pengendali
Dewan Komisaris dan Direksi
Dewan Pengawas Syariah
MUI dan Koite Perbankan Syariah
Kharakteristik. Bank syariah memiliki beberapa kharakteristik tertentu yaitu sebagai
berikut:
Requitment to operate through Islamic modes of financing.
Bank syariah tidak menjadikan uang sebagai komoditi.
Dalam hal bank mengalami kerugian, nasabah menyimpan dana mungkin kehilangan
dananya, menurut perbandingan pembagian laba rugi.
Metode bunga digantikan dengan metode bagi hasil (profit and loss sharing)
21
Beban biaya atas pelayanan bank syariah disepakati bersama pada saat akad
peminjaman atau pembiayaan, dinyatakan dalam bentuk nominaldengan istilah sesuai
dengan produk yang ditawarkan.
Dihindarkannya penggunan presentase atas peminjaman kredit dalam menentukan biaya
utang karena akan mengikat dan membebani sisa utang walaupun masa berlakunya
kontrak telah selesai.
Proporsi bagi hasil didasarkan atas jumlah keuntungan usaha yang diperoleh debitur.
Bank syariah tidak menjanjikan jumlah keuntungan yang pasti kepada nasabah
penyimpan dana yang menyimpan dananya dalam giro wadi’ah maupun tabungan
deposito/mudhorobah.
Prinsip penjaminan collateral tidak dominan dalam pemberian kredit di bank syariah.
Produk – Produk Bank Syariah. Perkembangan produk – produk bank dilihat dari
beragamnya produk bank syariah, sebenarnya jika bank syariah dibbaskan untuk
mengembangkan sendiri produknya menurut teori perbankan islam, produknya akan sangat
bervariasi.
a. Penyerapan Dana
Prinsip Wadi’ah
Prinsip Mudhorobah
b. Pelayanan Jasa – Jasa
Bank garansi dengan prinsip kafalah
c. Penyaluran dana
Pembiayaan untuk berbagai kegiatan investasi berdasarkan bagi hasil.
Pembiayaan untuk berbagai kegiatan perdagangan.
BANK KONVENSIONAL
Investasi yang halal dan haram.
Memakai perangkat bunga.
Profit oriented.
22
Hubungan dengan nasabah dalam dalam bentuk hubungan debitor – kreditor.
Tidak terdapat dewan sejenis.
Produk – Produk Bank Konvensional. Dalam praktiknya ragam produk tergantung dari status
bank yang bersangkutan yang memberikan pelayanan yang berbeda. Kegiatan bank
konvensional secara lengkap meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. Menghimpun Dana (Funding)
Simpanan Giro
Simpanan Tabungan
Simpanan Deposito
b. Menyalurkan Dana (Lending)
Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Kredit Perdagangan
Kredit Produktif
Kredit Konsumtif
Kredit Profesi
c. Memberikan Jasa – Jasa Bank Lainnya (Services)
Kiriman Uang
Bank Card
Bank Garansi
Bank Draft
Kliring
Letter of Credit
Inkaso
Melayani Pembayaran
Cek Wisata
Safe Deposit Box
23
Bank Notes
Menerima setoran
Bermain didalam pasar modal
5. Keunggulan dan Kelemahan antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Keunggulan Bank Syariah, Bank syariah memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai
berikut:
Bank syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah.
Terhindar dari praktik moneu laundring.
Bank syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya.
Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter.
Mekanisme bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersmaan.
Kelemahan Bank Syariah, Bank syariah memiliki beberapa kelemahan diantaranya
sebagai berikut:
Jaringan kantor bank syariah belum luas.
SDM bank syariah masih sedikit.
Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih kurang.
Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.
Keunggulan Bank Konvensional, Keunggulan Bank konvensional adalah sebagai
berikut:
Dukungan peraturan perundang – undangan yang mapan sehingga bank dapat
bergerak lebih pasti.
Banyaknya bank konvensional menggairahkan persaingan.
Nasabah telah terbiasa dengan sistem bunga tidak dengan metode bagi hasil yang
relatif baru.
Bank konvensional lebih kreatif membuat produk – produk baru.
Metode bunga telah lama dikenal masyarakat.
24
Kelemahan Bank Konvensional, Bank konvensional memiliki beberapa kelemahan
diantaranya sebagai berikut:
Adanya praktek sfekulasi tanpa perhitungan.
Kredit bermasalah.
Praktik curang.
Faktor manajemen
25
D.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Perbankan syari’ah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
1.
pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini
berdasarkan
adanya
larangan
dalam agama
Islam untuk
meminjamkan
atau
memungutpinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk
berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram).
2.
Lahirnya Perbankan di Indonesia diawali tahun 1970-an. Dimana pembicaraan bank
syariah muncul pada seminar hubungan Indonesia-Timur Tengah pada tahun 1974 dan
1976 dalam seminar yang diadakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan
(LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian gagasan mengenai bank syariah
itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) yang berisi liberalisasi industri perbankan. Selanjutnya pada tahun
1990an dibentuklah Kelompok Kerja MUI dan sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI
tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muammalat Indonesia, pada tanggal 1 November
1991 sebagai Bank Syari’ah pertama di Indonesia.
3.
Perbankan Syari’ah Indonesia ditinjau dari Filsafat Hukum Islam merupakan konsep
filosofis dari Muamalah Mudharabah yaitu suatu konsep kegiatan perbankan dengan
sistem bagi hasil dan berlandaskan hukum Islam dan tidak mengandung riba
sebagaimana sebelumnya ada pada Bank Konvensional.
Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan sebagai berikut :
26
1.
Perbankan syari’ah yang ada di Indonesia dalam pelaksanaannya harus benar-benar
berdasarkan hukum Islam (syariah). Jadi jangan sebagai kedok untuk menarik minat
umat Islam untuk menabung di perbankan atau sekedar orientasi bisnis semata.
2.
Lahirnya Perbankan di Indonesia dengan tujuan untuk kepentingan mengakomodir
umat Islam harus didukung dan dipertahankan. Namun dalam pelaksanannya harus
diawasi dengan ketat oleh Dewan Pengawas Syari’ah. Sehingga kelahiran perbankan
syari’ah tersebut sesuai dengan tujuannya.
3.
Perbankan Syari’ah Indonesia yang secara filosofis keberadaannya dengan
menggunakan konsep Muamalah Mudharabah sebagai dasar dan implementasinya
maka harus benar-benar dimamfaatkan umat Islam secara utuh dalam rangka
meningkatkan keimanan kepada Allah, RasulNya dan Kitab Al Aquran’an dan Hadist.
Sehingga umat Islam tidak terjerumus pada perbuatan riba yang sangat di larang Allah
SWT.
27
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sarwat, Fiqih Muamalah, Jakarta, 2012
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinargrafika, Jakarta, 2010,
Fathurrahman Djamil, Penerapam Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syari’ah, Sinargrafika, Jakarta, 2010
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di
Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Rajagrafindo, Jakarta, 2010
Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syari’ah, Pustaka Setia, Bandung, 2012
Muhammad Arifin Bin Badri, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, Pustaka Darul
Ilmi, Bogor, 2011
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000
Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak Syari’at, La
Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol. II, No. 1, Juli 2008
28
Short Course Bank Syariah, Regulasi Bank Indonesia Terhadap Pengembangan Bank Syariah
di Indonesia, Sharia Banking Training Center Yogyakarta, 18 Mei 2008
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 5, Gema Insani, Jakarta, 2011
29