102
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia.
Agarwal A, Prabakaran SA, Said TM. 2005. Prevention of oxidative stress injury
to sperm. J Androl 266: 654-669
Aitken RJ, Clarkson JS. 1987. Cellular basis of defective sperm function and its association with the genesis of reactive oxygen species by human
spermatozoa. J Reprod Fertil 81:459-469
Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. Di dalam : Schmidl MK Labuza TP, editor.
Essentials of Functional
Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. hlm. 239-266
Asmarinah. 2005. Mutasi gen pada pria i nfertil dengan Astenozoospermia. Di dalam : Buku Kumpulan MakalahAbstrak.
Andrologi : Sesuatu yang Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia.
Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta. Astuti S. 1999. Pengaruh Tepung Kedelai dan Tempe dalam Ransum terhadap
Fertilitas Tikus Percobaan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor. Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar
peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase SOD testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng Zn, dan vitamin E.
Majalah Kedokteran
Bandung In press. Publikasi pada volume 40 2 Edisi Juli
2008. Atanassova N
et al. 2000. Comparative effects of neonatal exposure of male rats to potent and weak environmental estrogens on spermatogenesis at
puberty and the relationship of adult testis size and fertility : evidence for stimulatory effect of low estrogen levels.
Endocrinol 141:3898-3907. Brzozowski AM
et al. 1997. Molecular basic of agonism and antagonism in the oestrogen receptor.
Nature 389:753-758 Cook RB, Coulter GH, Kastelic JP. 1994. The testicular vascular cone, scrotal
thermoregulation, and their relationship to sperm production and seminal quality in beef bulls.
Theriogenol 41:653-671 de Lamirande E, Gagnon C. 1992. Reactive oxygen species and human
spermatozoa : Effects on the motility of intact spermatozoa and on sperm axonemes.
J Androl 135:368-378 Fritz WA, Cotroneo MS, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA. 2003. Dietary
diethylstilbestrol but not genistein adversely affects rat testicular development.
J. Nutr. 133:2287-2293. Griveau JF, Dumont E, Renard P, Callegari JP, Le Lannou D. 1995. Reactive
oxygen species, lipid peroxidation and enzymatic defence systems in human spermatozoa.
J Reprod Fertil 103:17-26
103
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger, Philadephia.
Helferich WG, Allred CD, Ju Young-Hwa. 2001. Dietary Estrogens and
Antiestrogens. Di dalam : Helferich W Winter CK, editor. Food
Toxicology. CRC Press, Boca Raton. hlm. 37-55 Indiana Soybean Board. 1998. Isoflavone Concentration in Soy Foods.
http:www.soyfood.comnutritionisoflavoneconcentration.html. Iwasaki A, Gagnon C. 1992. Formation of reactive oxygen species in
spermatozoa of infertile patients. Fertil Steril 572:409-416.
Martin S. 1983. Naturally Occuring Food Toxicans : Estrogens. Di dalam: Miloslav R Jr, editor.
Handbook of Naturally Occuring Food Toxicans. Boca Raton Florida: CRC Press. p.81-100.
Miksicek RJ. 1994. Interaction of naturally occuring nonsteroidal estrogens with expressed recombinant human estrogen receptor.
J Steroid Biochem Molec Biol 49:153-160
Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive
health in normal males. Clin Sci 1006:613-618
Nijveldt RJ, et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action
and potential applications . Am J Clin Nutr 74:418-425
Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta Peltola V, Huhtaniemi I, Ahotupa M. 1992. Antioxidant enzyme activity in the
maturing rat testis. J Androl 135:450-455
Potts RJ, Jefferies TM, Notarianni LJ. 1999. Antioxidant capacity of the epididymis.
Hum Reprod 1410:2513-2516 Salisbury GW, VanDemark NL. 1985. Fisologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan
pada Sapi. Diterjemahkan oleh Djanuar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Saleh RA, Agarwal A. 2002. Oxidative stress and male infertility: from research bench to clinical practice.
J Androl 236:737-752 Sanocka D, Kurpisz M. 2004. Reactive oxygen species and sperm cells.
Reprod Biol Endocrinol 2:12.
Senger PL. 1999. Pathway to Pregnancy and Parturition Current Conception. Washington State University, Inc.
Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology.
J Androl 251:5-18 Storey BT. 1997. Biochemistry of the induction and prevention of lipoperoxidative
damage in human spermatozoa. Mol Hum Reprod 33:203-213
Taylor CT. 2001. Antioxidant and reactive oxygen species in human fertility. Environ Toxicol Pharmacol 104:189-198.
104
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Tremellen K. 2008. Oxidative stress and male infertility – a clinical perspective.
Hum Reprod Update 143:243-258 Villegas J
et al. 2003. Reactive oxygen species induce reversible capacitation in human spermatozoa.
Androlog 35:227-232
105
KADAR HORMON TESTOSTERON SERUM, JUMLAH SEL LEYDIG DAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK PADA TUBULI SEMINIFERI TESTIS TIKUS
YANG DIBERI TEPUNG KEDELAI KAYA ISOFLAVON The Effects of Isoflavone-riched Soybean Flour on Testosterone Serum,
Total Leydig Cells and Total Spermatogenic Cells in the Seminiferous Tubules of Male Rats Testes
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap kadar hormon
testosteron serum, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis tikus jantan. Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan
isokalori dengan kadar protein ransum sebesar 10. Dua puluh lima ekor tikus jantan strain
Sprague Dawley umur sapih 21 hari dibagi dalam lima kelompok dan mendapat perlakuan tepung kedelai kaya isoflavon secara oral dengan berbagai
tingkatan dosis isoflavon. Perlakuan diberikan selama dua bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis
isoflavon yang semakin tinggi secara signifikan menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan peningkatan jumlah sel Leydig. Dosis isoflavon 1.5
mgekorhari merupakan dosis optimum yang menghasilkan total sel spermatogenik tertinggi. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon 1.5
mgekorhari menghasilkan : kadar hormon testosteron serum 2.96± 0.45 ngml; jumlah sel Leydig 70.22±9.34; jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid
awal, spermatid akhir dan total sel spermatogenik masing-masing sebesar 48.44±4.82, 60.00±3.43, 221.56±16.12, 164.33±17.94,dan 494.33±32.94.
Kata kunci : tepung kedelai kaya isoflavon, testosteron, sel Leydig, sel
spermatogenik
ABSTRACT
The objective of this experiment was to evaluate the effects of isoflavone- riched soybean flour with different levels of isoflavone on testosterone level, total
Leydig cells, and total spermatogenic cells in the seminiferous tubules of male rats. Diet was given as isonitrogen and isocaloric with 10 of dietary protein from
casein. Twenty five male of Sprague Dawley weaning rats 21 days old were divided into five groups and treated with isoflavone-riched soybean flour by oral
administration with different levels dosages. The treatment was conducted for 2 months. The treatment of isoflavone-riched soybean flour with higher dosage of
isoflavone increased the testosterone levels in the serum and the total Leydig cells in the seminiferous tubules of male rats. The optimum dosage of isoflavone was
1.5 mgday resulted in the highest total spermatogenic cells of rat testes. The treatment isoflavone-riched soybean flour with 1.5 mg isoflavoneday on male rats
resulted in the testosteron level of 2.96±0.45 ngml; while the number of spermatogonia, spermatocytes, early spermatids, late spermatids, and total
spermatogenic cells were 48.44±4.82, 60.00±3.43, 221.56± 16.12, 164.33±17.94, and 494.33±32.94, respectively.
Key words : isoflavone-riched soybean flour, testosterone, Leydig cells,
spermatogenic cells
106
PENDAHULUAN
Produksi spermatozoa serta sintesis dan sekresi testosteron berlangsung di dalam testis. Spermatogenesis merupakan suatu proses pembentukan
spermatozoa yang terjadi secara berurutan, teratur dan terus menerus. Proses spermatogenesis tergantung pada kerja hormon. Testosteron yang disintesis dalam
jaringan interstisial oleh sel Leydig merupakan salah satu faktor endokrin penting dalam gametogenesis mamalia jantan. Menurut Tendean 2005, spermatogenesis
dibedakan atas spermatogenesis yang normal secara kualitatif yaitu lengkapnya tipe sel germinal dan spermatogenesis yang normal secara kuantitatif yaitu
lengkapnya jumlah sel germinal. Testis sebagai tempat berlangsungnya spermatogenesis bersifat sangat
rentan terhadap proses oksidasi oleh radikal bebas. Terdapatnya radikal bebas pada testis dapat mengubah kestabilan dan fungsi membran, akibat terjadinya
proses peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dilaporkan Sanocka Kurpizs 2004 mengakibatkan gangguan spermatogenesis. Menurut Sikka 2004, terdapatnya
radical scavenger akan membersihkan radikal bebas pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa. Sistem pertahanan tubuh yang dapat digunakan untuk
melawan radikal bebas dipengaruhi oleh tersedianya zat-zat gizi yang berasal dari bahan pangan yang memiliki potensi sebagai antioksidan.
Sebagai salah satu golongan flavonoid, komponen bioaktif isoflavon yang terkandung dalam kedelai dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai antioksidan,
dengan bertindak sebagai scavenger radikal bebas Nijveldt et al. 2001. Dietary
antioksidan sebagai scavenger radikal bebas akan membersihkan radikal bebas
pada jaringan-jaringan yang memproduksi spermatozoa, menekan proses oksidasi, peroksidasi lipid dan kerusakan sel spermatozoa, serta mencegah kondisi stres
oksidatif sehingga diduga dapat mengurangi kasus infertilitas Sikka 2004. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya kontroversi
akibat pemberian kedelai, produk-produk olahan kedelai, maupun produk turunan kedelai terhadap kesuburan jantan. Mitchell
et al. 2001 menyatakan bahwa pada pria umur 18-46 th, konsumsi isoflavon yang terkandung dalam produk-produk
olahan kedelai dengan dosis 40-70 mghari tidak mempengaruhi kualitas spermatozoa dan hormon steroid. Atanassova
et al. 2000 melaporkan perubahan berat testis, berkurangnya volume lumen pada tubuli seminiferi dan terganggunya
spermatogenesis setelah tikus diberi genistein salah satu bentuk isolat isoflavon murni melalui injeksi pada dosis 4 mgkg berathari. Sedangkan Fritz
et al. 2003 melaporkan penurunan aktivitas aromatase testis tikus akibat pemberian genistein
107
melalui jalur diet konsumsi secara normal pada dosis 250 mgkg diet ± 5 mg ekorhari.
Struktur molekul isoflavon kedelai mirip dengan struktur molekul estrogen, sehingga dikenal sebagai fitoestrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai
dapat berikatan dengan reseptor estrogen RE, namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen Miksicek 1994. Sel epitel dari jaringan
reproduksi seperti kelenjar susu, ovari dan testis merupakan subyek dari aksi isoflavon Anderson Graner 2000. Mekanisme aksi biologis estrogen adalah
kemampuannya untuk bertindak sebagai estrogen agonis yang dapat berikatan dengan RE dan menstimulasi respon estrogen, atau bertindak sebagai estrogen
antagonis yang dapat berikatan dengan RE namun menghambat respon estrogen Helferich
et al. 2001. Aksi spesifik fitoestrogen dengan keberadaan estrogen endogen tergantung pada konsentrasinya, di mana aksi agonis terlihat ketika
estrogen terdapat pada konsentrasi rendah, sedangkan aksi antagonis terlihat ketika estrogen terdapat konsentrasi tinggi Brzozowski
et al. 1997; Wang Kurzer 1998 diacu dalam Robertson
et al. 2002. Untuk lebih mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi akibat konsumsi
pangan alami sumber isoflavon terhadap kadar hormon testosteron, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis, dalam penelitian
ini digunakan tepung kedelai kaya isoflavon. Tepung kedelai kaya isoflavon mengandung kadar isoflavon sebesar 3, dihasilkan dari biji kedelai tanpa proses
kimia atau penambahan bahan tambahan pangan, serta mempunyai rasa dan aroma yang disukai Indiana Soybean Board 1998.
Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji asupan antioksidan alami isoflavon yang terkandung dalam tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai
tingkatan dosis terhadap kadar hormon testosteron, jumlah sel Leydig dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis dengan menggunakan tikus jantan
sebagai model.
BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah tepung kedelai kaya isoflavon TKI dari perusahaan SoyLife Extra ORFFA BELGIUM NV,
Ambachtsstraat 6-B-1840 LONDERZEEL. n-heksana digunakan untuk mengurangi lemak pada TKI sehingga diperoleh TKI rendah lemak TKI-RL Astuti
et al. 2008.
108
Untuk studi
in vivo, digunakan tikus strain Sprague Dawley SD jantan umur 21 hari dari PT Indoanilab Bogor. Bahan penyusun ransum adalah kasein,
mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air dan pati jagungmaizena. Pengukuran kadar hormon testosteron serum menggunakan KIT Testosteron.
Bahan kimia untuk pembuatan preparat jaringan testis dan proses pewarnaan Hematoksilin EosinHE antara lain NaCl, larutan fiksatif bouin, alkohol, xylol,
parafin, hematoxylin, eosin, dan entellan.
Metode Penelitian Perlakuan Hewan Percobaan
in vivo dan Sampling
Sebanyak 25 ekor tikus jantan SD umur sapih 21 hari terlebih dahulu diadaptasikan di lingkungan laboratorium tempat percobaan selama 1 minggu.
Ransum basal kasein disusun secara isonitrogen dan isokalori dengan kadar protein 10, modifikasi AOAC 1990 diberikan secara
ad libitum. Bahan penyusun ransum tikus jantan adalah kasein, mineral mix, vitamin mix, minyak jagung, selulosa, air
dan pati jagungmaizena. Setelah masa adaptasi, tikus dibagi dalam 5 kelompok,
yaitu : 1 Kontrol, cekok aquades; 2 cekok TKI-RL dosis isoflavon IF 1.5 mgekorhari; 3 cekok TKI-RL dosis IF 3 mgekorhari; 4 cekok TKI-RL dosis IF
4.5 mgekorhari; dan 5 cekok TKI-RL dosis IF 6 mgekorhari. Formulasi ransum tikus jantan per 100 g ransum berdasarkan modifikasi AOAC
1990 disusun sebagai berikut : Perlakuan Isoflavon mgekorhari
KOMPOSISI BAHAN
0 Kontrol 1.5
3 4.5
6 Kasein g
11.09 11.09
11.09 11.09
11.09 Minyak jagung g
7.92 7.92
7.92 7.92
7.92 Mineral mix g
ZnSO4.7H2O mg 4.43
4.43 4.43
4.43 4.43
Vitamin mix Fitkom g Asam folat mg
Vitamin K mg Vitamin E mg
1 30
5 15.7
1 30
5 15.7
1 30
5 15.7
1 30
5 15.7
1 30
5 15.7
Selulosa 0.99
0.99 0.99
0.99 0.99
Air 4.38
4.38 4.38
4.38 4.38
Pati 70.19
70.19 70.19
70.19 70.19
Jumlah 100.00
100.00 100.00
100.00 100.00
TKI-RL diberikan pada tikus jantan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung, dengan melarutkan TKI-RL dalam 1 ml aquades. Perlakuan diberikan selama
2 bulan. Pemberian TKI-RL pada tikus jantan secara in vivo dilakukan berdasarkan
pengukuran kandungan total senyawa isoflavon. Hasil analisis dengan HPLC terhadap TKI-RL menunjukkan adanya tiga komponen senyawa isoflavon yaitu
109
daidzein, genistein, dan glisitein dengan kandungan total senyawa isoflavon sebesar 2.22 g100 g bb Astuti
et al. 2008. Pada akhir perlakuan, tikus jantan dikorbankan dengan dipatahkan tulang
leher dislocasio cervicalis. Kadar hormon testosteron serum diamati dari darah
yang diambil pada bagian jantung. Bagian testis dikoleksi dan dilakukan pengamatan terhadap morfologi testis.
Analisis Kadar Hormon Testosteron Serum DPC 2003
Pengukuran konsentrasi hormon testosteron serum dilakukan dengan metode
125
I Radioimmunoassay RIA teknik fase padat menggunakan kit Coat A- Count® Total Testosterone. Prinsip kerja berdasarkan pada kompetisi antara
testosteron serum dan testosteron berlabel
125
I untuk terikat pada antibodi yang spesifik terhadap hormon testosteron.
Untuk pengamatan terhadap kadar testosteron serum tikus jantan, darah diambil dari jantung pada pagi hari dengan menggunakan syringe steril sekali
pakai, disimpan pada 5 C selama 2 jam, kemudian dilakukan pemisahan serum
dengan menggunakan sentrifuge pada 5.000 rpm selama 15 menit. Serum dimasukkan tabung eppendorf dan disimpan –20
o
C sampai siap dianalisis.
Penghitungan Jumlah Sel Leydig dan Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis HE Kiernan 1990
Organ testis dicuci dengan NaCl fisiologis 0.9, difiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam. Jaringan testis kemudian diproses dengan metode standar
menggunakan parafin. Blok jaringan yang didapat dipotong ± 4 µm dan dilekatkan pada obyek glass, sehingga diperoleh potongan jaringan sediaan. Selanjutnya
dilakukan proses pewarnaan Hematoksilin EosinHE menggunakan metode Kiernan 1990 Lampiran 7 dan 8. Jumlah sel Leydig pada jaringan interstitial dan jumlah
sel-sel spermatogenik pada tiap tahap perkembangan spermatogenesis dihitung pada sembilan tubuli seminiferi untuk tiap perlakuan.
Analisis Data
Data diolah dengan uji sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diuji. Untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan, data yang menunjukkan pengaruh nyata selanjutnya diuji dengan Duncan Multiple Range Test DMRT.
110
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Variasi Dosis Isoflavon terhadap Kadar Hormon Testosteron Serum
dan Jumlah Sel Leydig pada Tubuli Seminiferi Testis
Kelompok yang mendapat cekok TKI-RL dengan empat tingkatan dosis isoflavon menghasilkan kadar hormon testosteron dan jumlah sel Leydig lebih tinggi
dibanding kelompok kontrol. Hasil pengukuran terhadap kadar hormon testosteron sejalan dengan hasil perhitungan jumlah sel Leydig pada tubuli seminiferi testis
tikus Tabel 8.1. Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis isoflavon IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari menghasilkan kadar hormon testosteron dan
jumlah sel Leydig yang paling tinggi secara nyata p0.05 bila dibanding kelompok lainnya. Tidak terlihat adanya perbedaan kadar hormon testosteron dan jumlah sel
Leydig pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 dan 3 mgekorhari. Fotomikrograf sel Leydig pada testis tikus perlakuan disajikan pada
Gambar 8.1. Tabel 8. 1. Rataan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig
setelah 2 bulan perlakuan
Perlakuan Kadar Hormon
Testosteron ngml Jumlah Sel Leydig
Kontrol, cekok aquades 1.75 ± 0.13
a
58.44 ± 6.98
a
Isoflavon 1.5 mgekorhari 2.96 ± 0.45
b
70.22 ± 9.34
b
Isoflavon 3 mgekorhari 3.35 ± 0.68
b
79.11 ± 8.75
b
Isoflavon 4.5 mgekorhari 7.03 ± 1.34
c
94.56 ± 14.09
c
Isoflavon 6 mgekorhari 7.69 ± 1.22
c
100.11 ± 13.52
c Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata
p0.05
Peningkatan kadar hormon testosteron akibat pemberian TKI-RL sejalan dengan temuan Fritz
et al. 2003, bahwa pemberian genistein salah satu komponen senyawa isoflavon dalam bentuk isolat isoflavon murni dalam diet tikus
melalui jalur konsumsi secara normal oral pada kadar yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar hormon testosteron. Fritz
et al. 2003 melaporkan bahwa pada konsentrasi yang semakin tinggi, pemberian genistein secara signifikan
menurunkan aktivitas aromatase testis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa aktivitas aromatase testis kelompok kontrol tanpa pemberian genistein sebesar 100,
kelompok yang diberi genistein 250 mg genisteinkg diet ±5 mg genisteinekorhari sebesar 81.6, sedangkan kelompok yang diberi genistein 1000 mg genisteinkg
diet ± 20 mg genisteinekorhari sebesar 74.8.
111
K = Kontrol, cekok aquades
I-1.5 =
Isoflavon 1.5
mgekorhari I-3
= Isoflavon
3 mgekorhari
I-4.5 =
Isoflavon 4.5
mgekorhari I-6 = Isoflavon 6 mgekorhari
Gambar 8.1. Fotomikrograf sel Leydig pada testis tikus perlakuan. Jumlah sel Leydig tertinggi secara nyata terlihat pada kelompok tikus yang
mendapat isoflavon dengan dosis 4.5 dan 6 mgekorhari, dibandingkan kelompok tikus yang mendapat isoflavon dengan dosis
1.5 dan 3 mgekorhari. Jumlah sel Leydig terendah secara nyata terlihat pada kelompok kontrol.
Pewarnaan HE, skala = 20 µm = sel Leydig
K IF-1.5
IF-3 IF- 4.5
IF - 6
112
Pengukuran aktivitas aromatase testis ditujukan untuk mengetahui kemampuan testis dalam mengkonversi androgen menjadi estrogen Hess 2003.
Pada mencit dewasa, aromatase ditemukan dalam sel Leydig dan sel germinal, yaitu di daerah badan Golgi pada spermatid awal dan pada flagella spermatid akhir
Nitta et al. 1993, spermatosit pachytene dan spermatozoa dari epididimis Janulis
et al. 1998. Beberapa peneliti juga melaporkan keberadaan aromatase pada sel Sertoli tikus Carreau
et al. 1999. Pada manusia, defisiensi aromatase dilaporkan menyebabkan mutasi genetik yang berhubungan dengan problem infertilitas.
Beberapa kasus memperlihatkan adanya penurunan konsentrasi spermatozoa akibat defisiensi aromatase pada manusia Carreau
et al. 2003. Defisiensi aromatase pada pasien oligospermia dilaporkan menyebabkan penurunan berat
testis dan problem infertilitas Carani et al. 1997 diacu dalam Luconi 2002.
Temuan Fritz et al. 2003 memperlihatkan bahwa konsentrasi genistein
yang tinggi dalam diet tikus akan menghambat konversi testosteron ke estrogen, sehingga pengaruh tersebut berkontribusi untuk menurunkan konsentrasi estrogen
dan mengakibatkan peningkatan kadar hormon testosteron. Menurut dugaan Fritz et al. 2003, peningkatan testosteron setelah pemberian genistein merupakan
akibat langsung dari penghambatan aktivitas aromatase, atau kemungkinan penghambatan aromatase oleh genistein terjadi sebagai respon meningkatnya
konsentrasi testosteron. Peningkatan konsentrasi testosteron dilaporkan Hess 2003 terjadi akibat gangguan pengaturan umpan balik pada hipotalamus,
sedangkan Hafez Hafez 2000 menyatakan bahwa tingginya konsentrasi testosteron dalam darah menyebabkan mekanisme umpan balik negatif
negative feedback mechanism terhadap hipofisis sehingga produksi LH dan FSH menurun.
Penurunan kadar LH dan FSH akan menyebabkan hambatan proses spermatogenesis.
Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mgekorhari dan 3 mgekorhari mengalami peningkatan kadar hormon testosteron yang lebih tinggi
dibanding kontrol. Hal ini memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap proses spermatogenesis mengingat kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5
mgekorhari menghasilkan jumlah sel spermatogenik tertinggi Tabel 8.2. Tingginya jumlah sel spermatogenik tersebut menunjukkan bahwa dosis IF 1.5
mgekorhari merupakan dosis optimum isoflavon yang terbaik. Tingginya kadar hormon testosteron pada kelompok yang dicekok TKI-RL
dengan dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari sejalan dengan peningkatan jumlah sel Leydig pada kedua kelompok tersebut. Sel Leydig merupakan tempat
utama untuk berlangsungnya sintesis hormon testosteron. Mengacu pada hasil penelitian Fritz
et al. 2003, diduga pemberian TKI-RL dengan dosis isoflavon yang
113
semakin tinggi mengakibatkan rendahnya kadar estrogen akibat terhambatnya aktivitas aromatase. Dalam hal ini, peran isoflavon sebagai estrogen agonis pada
dosis tinggi akan menstimulasi respon estrogen sehingga berpotensi menimbulkan
gangguan. Aktivitas aromatase yang terhambat diduga menurunkan konsentrasi
estrogen dan mengakibatkan peningkatan kadar hormon testosteron. Akibatnya, setelah kedua kelompok tikus tersebut terekspos senyawa isoflavon pada dosis
tinggi, testis tikus berpotensi mengalami perubahan dalam perkembangan, morfologi maupun proses spermatogenesis. Hal ini mengindikasikan bahwa telah
terjadi perubahan steroidogenesis pada testis kedua kelompok tersebut.
Pengaruh Variasi Dosis Isoflavon terhadap Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis
Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mgekorhari menghasilkan total sel spermatogenik paling rendah secara nyata p0.05 dibanding
kelompok lain, sedangkan total sel spermatogenik tertinggi dihasilkan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 mgekorhari. Tidak terlihat adanya perbedaan
total sel spermatogenik pada kelompok kontrol dan kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3 mgekorhari Tabel 8.2. Gambaran histologis sel spermatogonia,
spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir pada tubuli seminiferi setiap perlakuan tersaji pada Gambar 8.2.
Tabel 8. 2. Rataan jumlah sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi pada jaringan testis tikus perlakuan dengan berbagai variasi dosis isoflavon
Jumlah Sel Kelamin Jantan Perlakuan
Spermato- gonia
Spermatosit Spermatid Awal
Spermatid Akhir Total Sel
Spermatogenik Kontrol, cekok
aquades 40.33 ± 4.82
b
49.67 ± 3.81
b
211.22 ± 16.02
c
130.22 ± 18.17
b
431.44 ± 21.19
b
Isoflavon 1.5 mgekorhari
48.44 ± 4.82
c
60.00 ± 3.43
c
221.56 ± 16.12
c
164.33 ± 17.94
c
494.33 ± 32.94
c
Isoflavon 3 mgekorhari
38.78 ± 2.77
b
49.33 ± 5.27
b
192.44 ± 11.79
b
148.67 ± 16.11
c
429.22 ± 25.79
b
Isoflavon 4.5 mgekorhari
32.00 ± 2.45
a
44.67 ± 4.47
a
170.00 ± 21.04
a
109.67 ± 19.91
a
355.22 ± 30.41
a
Isoflavon 6 mgekorhari
29.56 ± 2.55
a
44.33 ± 4.72
a
158.78 ± 10.26
a
106.44 ± 16.49
a
339.11 ± 16.16
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata p0.05
Kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF paling rendah 1.5 mgekorhari menghasilkan total sel spermatogenik tertinggi dibanding kelompok
yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF yang lebih tinggi. Diduga, dosis 1.5 mgekorhari merupakan dosis isoflavon yang paling optimal dan efektif, di mana
114
Gambar 8.2. Fotomikrograf tubuli seminiferi pada testis tikus perlakuan. Kelompok yang mendapat isoflavon pada dosis 4.5 dan 6 mgekorhari
menghasilkan jumlah sel-sel spermatogenik paling rendah secara nyata dibandingkan dengan kelompok lainnya. Pemberian isoflavon
pada dosis 1.5 mgekorhari menghasilkan jumlah sel spermatogenik paling tinggi secara nyata dibandingkan kelompok yang mendapat
isoflavon pada dosis 3, 4.5 dan 6 mgekorhari. Pewarnaan HE, skala = 50 µm.
K IF-1.5
IF-3 IF- 4.5
IF - 6
K = Kontrol, cekok aquades
I-1.5 = Isoflavon 1.5 mgekorhari
I-3 = Isoflavon 3 mgekorhari
I-4.5 = Isoflavon 4.5 mgekorhari
I-6 = Isoflavon 6 mgekorhari
115
isoflavon berperan sebagai estrogen antagonis dengan bertindak sebagai antioksidan dan menghambat respon estrogen. Akibatnya, sel testis yang
terlindung oleh antioksidan isoflavon mampu mempertahankan diri dari serangan oksidatif senyawa radikal bebas, akumulasi radikal bebas pada jaringan-jaringan
yang memproduksi spermatozoa dapat dicegah, dan mampu melindungi fungsi spermatozoa. Dengan terlindungnya sel testis dari proses oksidasi, diduga proses
spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu. Total sel spermatogenik kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 3
mgekorhari tidak berbeda dengan kelompok kontrol. Hasil ini memperlihatkan bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 3 mgekorhari tidak memberikan pengaruh
yang berarti terhadap total sel spermatogenik, baik pengaruhnya terhadap peningkatan atau penurunan total sel spermatogenik.
Total sel spermatogenik terendah terlihat pada kelompok yang dicekok TKI- RL dengan dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari. Diduga, timbulnya
gangguan akibat sifat estrogen agonis yang mampu menstimulasi respon estrogen pada kedua dosis isoflavon tersebut menyebabkan penurunan aktivitas aromatase
testis tikus, sebagaimana laporan Fritz et al. 2003. Pada tikus, penghambatan
aktivitas aromatase dilaporkan menyebabkan penurunan pematangan spermatid Nitta
et al. 1993, sedangkan pada mencit, defisiensi aromatase menyebabkan tertahannya proses awal spermiogenesis Robertson
et al. 1999 diacu dalam Adeoya-Osiguwa
et al. 2003. Robertson et al. 2002 melaporkan adanya gangguan spermatogenesis, yaitu penurunan jumlah sel spermatid awal pada
mencit yang kondisinya dibuat kekurangan enzim aromatase. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa produksi estrogen pada jantan dibutuhkan untuk
perkembangan sel benih dan mengontrol spermatogenesis. Di samping itu, terhambatnya atau terganggunya proses spermatogenesis
pada kelompok yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari diduga akibat peningkatan pembentukan radikal bebas karena
rusaknya struktur membran plasma mitokondria spermatozoa, sehingga meningkatkan proses oksidasi pada sel testis. Terjadinya peroksidasi lipid yang
terbentuk setelah aksi senyawa radikal dapat diukur melalui pengamatan terhadap kadar MDA. Hasil penelitian Astuti
et al., 2008 memperlihatkan bahwa kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari
menunjukkan kadar MDA testis tertinggi dan aktivitas enzim superoksida dismutase SOD testis sebagai salah satu sistem pertahanan enzim endogen dalam tubuh
yang paling rendah. Peningkatan peroksidasi lipid pada kelompok tikus yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari menunjukkan
bahwa komponen membran sel testis kedua kelompok tersebut bersifat lebih rentan
116
terhadap reaksi oksidasi sehingga tidak mampu mencegah dan menghambat reaktivitas senyawa radikal bebas dalam tubuh, dan berakibat terhadap
peningkatan kerusakan membran sel testis, atau kerusakan membran plasma spermatozoa.
Menurut O’Connell et al. 2002 selama spermatogenesis, mitokondria dari
sel benih jantan mengalami perubahan dan morfologi yang dramatik, yang dapat memulai mutasi mtDNA. Mutasi mtDNA dilaporkan dapat terjadi dan terakumulasi
pada spermatid atau selama spermatogenesis, sehingga hal ini akan mengganggu fungsi respirasi mitokondria sebagai organel sel spermatozoa yang memproduksi
energi dalam bentuk ATP. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Kao et al.
1998, bahwa mutasi mtDNA dan kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas menyebabkan disfungsi mitokondria. Lebih lanjut dilaporkan bahwa
kegagalan proses spermatogenesis disebabkan oleh hilangnya mtDNA, berkaitan dengan berkurangnya jumlah spermatozoa dan dapat menyebabkan kegagalan
fungsi reproduksi. Peningkatan radikal bebas pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari diduga menyebabkan lebih
banyak terjadi kerusakan oksidatif akibat tidak sempurnanya respirasi mitokondria spermatozoa, sehingga diduga juga mengakibatkan terjadinya mutasi mtDNA.
Dugaan tersebut juga didukung pendapat Atanasssova et al. 2000, bahwa
pengaruh senyawa estrogen pada jantan akan menyebabkan perubahan terhadap morfologi testis dan proses spermatogenesis; mengganggu perkembangan testis
dan saluran reproduksi, serta menyebabkan perubahan proses spermatogenesis dan gangguan fertilitas Safe 2000.
KESIMPULAN
1. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan jumlah
sel Leydig pada tikus jantan. 2. Dosis isoflavon 1.5 mgekorhari merupakan dosis optimum yang menghasilkan
total sel spermatogenik tertinggi pada tikus jantan.
DAFTAR PUSTAKA
Adeoya-Osiguwa SS, Markoulaki S, Pocock V, Milligan SR, Fraser LR. 2003. 17ß- estradiol and environmental estrogens significantly affect mammalian sperm
function. Hum Reprod 181:100-107
117
Anderson JJB, Garner SC. 2000. The Soybean as a Source of Bioactive Molecules. Di dalam : Schmidl MK Labuza TP, editor.
Essentials of Functional
Foods. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. hlm. 239-266
AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the AOAC. AOAC, Inc. Arlington, Virginia.
Astuti S, Muchtadi D, Astawan M, Purwantara B, Wresdiyati T. 2008. Kadar
peroksida lipid dan aktivitas superoksida dismutase SOD testis tikus yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon, seng Zn, dan vitamin E.
Majalah Kedokteran
Bandung In press. Publikasi pada volume 40 2 Edisi Juli 2008.
Atanassova N et al. 2000. Comparative effects of neonatal exposure of male
rats to potent and weak environmental estrogens on spermatogenesis at puberty and the relationship of adult testis size and fertility : evidence for
stimulatory effect of low estrogen levels. Endocrinol 141:3898-3907.
Brzozowski AM et al. 1997. Molecular basic of agonism and antagonism in the
oestrogen receptor. Nature 389:753-758
Carreau S, Genissel C, Bilinska B, Levallet J. 1999. Sources of oestrogen in the testis and reproductive tract of the male.
Inter J Androl 22:211-223 Carreau S
et al. 2003. Aromatase expression and role of estrogen in male gonad : a review.
Reprod Biol Endocrinol 1:35 Diagnostic Products Corporation. 2003. Coat-A-Count® Total Testosterone.
Corporate Offices, USA. Fritz WA, Cotroneo MS, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA. 2003. Dietary
diethylstilbestrol but not genistein adversely affects rat testicular development.
J. Nutr. 133:2287-2293. Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Lea and Febiger,
Philadephia. Helferich WG, Allred CD, Ju Young-Hwa. 2001. Dietary Estrogens and
Antiestrogens. Di dalam : Helferich W Winter CK, editor. Food
Toxicology. CRC Press, Boca Raton. hlm. 37-55 Hess RA. 2003. Estrogen in the adult male reproductive tract : a review.
Reprod Biol Endocrinol 1:52 Indiana Soybean Board. 1998. Isoflavone Concentration in Soy Foods.
http:www.soyfood.comnutritionisoflavoneconcentration.html. Janulis L
et al. 1998. Rat testicular germ cells and epididymal sperm contain active P450 aromatase.
J Androl 191:65-71 Kao Shu-Huei, Chao Hsiang-Tai, Wei Yau-Huei. 1998. Multiple deletions of
mitochondrial DNA are associated with the decline of motility and fertility of human spermatozoa.
Mol Hum Reprod 47:657-666.
118
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods : Theory and Practice. Pergamon Press. Oxford-England
Luconi M, Forti G. Baldi E. 2002. Genomic and nongenomic effect of oestrogens : molecular mechanisms of action and clinical implications for male
reproduction. J Steroid Biochem Molec Biol 80:369-381
Miksicek RJ. 1994. Interaction of naturally occuring nonsteroidal estrogens with expressed recombinant human estrogen receptor.
J Steroid Biochem Molec Biol 49:153-160
Mitchell JH et al. 2001. Effect of a phytoestrogen food supplement on reproductive
health in normal males. Clin Sci London 1006:613-618
Nijveldt RJ, et al. 2001. Flavonoids : a review of probable mechanism of action
and potential applications . Am J Clin Nutr 74:418-425
Nitta H et al. 1993. Germ cells of the mouse testis express P450 aromatase.
Endocrinol 132:1396-1401 O’Connell M, McClure N, Lewis SE. 2002. Mitochondrial DNA deletions and
nuclear DNA fragmentation in testicular and epididymal human sperm. Hum
Reprod 17:1565-1570
O’Donnell L, Robertson KM, Jones ME, Simpson ER. 2001. Estrogen and spermatogenesis.
Endocrin Rev 223 :289-318 Robertson KM, O’Donnell L, Simpson ER, Jones MEE. 2002. The phenotype of
the aromatase knockout mouse reveals dietary phytooestrogens impact significantly on testis function.
Endocrinol 1438:2913-2921 Safe S. 2000. Endocrine disruptors and human health – is there a problem? An
update. Environ Health Perspect 108:487-493.
Sikka SC. 2004. Role of oxidative stress and antioxidants in andrology and assisted reproductive technology.
J Androl 251:5-18 Tendean OS. 2005. Terapi sulih testosteron pada gangguan spermatogenesis.
Di dalam Buku Kumpulan MakalahAbstrak . Andrologi : Sesuatu yang
Hilang dalam Kesehatan Reproduksi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia. Kongres Pandi IX dan Kongres Persandi I. 19-23 April. Jakarta.
119
PEMBAHASAN UMUM
Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng Zn dan vitamin E terhadap fertilitas tikus jantan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak TKI-RL pada dosis isoflavon IF 3
mgekorhari, Zn 6.14 mgkg ransum, dan vitamin E 100 mgkg ransum secara lengkap IZE menghasilkan fertilitas paling baik dibanding pemberian tunggal atau
dua kombinasi diantaranya. Sebaliknya, kelompok perlakuan tanpa pemberian TKI- RL, Zn dan vitamin E Kontrol negatif K- menghasilkan fertilitas paling rendah. Hasil
pengamatan memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap berat testis, angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina.
Perlakuan dengan pemberian secara lengkap TKI-RL pada dosis isoflavon IF 3 mgekorhari, Zn 6.14 mgkg ransum, dan vitamin E 100 mgkg ransum
menyebabkan : meningkatnya motilitas, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik; menurunnya kadar MDA testis;
aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis dipertahankan
tetap tinggi melalui deteksi secara imunohistokimia. Sebaliknya, perlakuan tanpa pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E menyebabkan : rendahnya beberapa
parameter seperti motilitas, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik; tingginya kadar MDA testis; rendahnya
aktivitas enzim SOD testis, dan rendahnya kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis.
Hasil penelitian menunjukkan nilai IC
50
TKI-RL sebesar 51.96 μgml, nilai ini
lebih tinggi dibandingkan nilai IC
50
vitamin E sigma sebesar 8.27 μgml. Hal ini
menunjukkan bahwa vitamin E merupakan anti radikal bebas yang lebih efektif apabila dibandingkan dengan TKI-RL yang diuji, karena vitamin E mampu
menangkap radikal bebas sebanyak 50 pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan TKI-RL. Walaupun nilai IC
50
TKI-RL lebih tinggi dibandingkan nilai IC
50
vitamin E, isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL menunjukkan kemampuan sebagai antioksidan sehubungan dengan lebih rendahnya nilai potensial reduksi
senyawa isoflavon bila dibandingkan dengan PUFA. Buettner 1993 diacu dalam Muchtadi 2008 menyatakan bahwa suatu senyawa memiliki potensi antioksidan
lebih tinggi dan mampu mencegah oksidasi lipid apabila nilai potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV lebih rendah dari potensial reduksi
PUFA. Dilaporkan lebih lanjut bahwa vitamin E α-tokoferol memiliki potensial
120
reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoidkatekol isoflavon termasuk salah satu golongan flavonoid memiliki potensial reduksi 530 mV.
Fenomena keterkaitan antar parameter pengujian sehingga menghasilkan fertilitas yang paling tinggi akibat perlakuan kombinasi TKI-RL, Zn dan vitamin E
dapat dijelaskan sebagai berikut : Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 3
mgekorhari, diduga isoflavon bersifat antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target, yaitu menghambat respon estrogen dengan berperan sebagai
antioksidan. Sebagai salah satu golongan flavonoid, senyawa bioaktif isoflavon yang mengandung gugus fenolik telah dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai
antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas melalui dua mekanisme, yaitu : mendonorkan ion hidrogen Saija
et al. 1995; Arora et al. 1998, dan bertindak sebagai
scavenger radikal bebas secara langsung Arora et al. 1998; Nijveldt
et al. 2001. Struktur meta 5,7-dihidroksil pada cincin A menunjukkan kemampuan isoflavon untuk berperan sebagai donor ion hidrogen sehingga
terbentuk senyawa yang lebih stabil dan terbentuk radikal fenoksil yang kurang reaktif Oteiza
et al. 2005, sedangkan gugus 4’-hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon berperan sebagai
scavenger senyawa ROS Pokorny et al. 2001. Konfigurasi grup hidroksil pada cincin B senyawa flavonoid telah dilaporkan
berperan sebagai scavenger senyawa ROS Heim et al. 2002. Dikemukakan lebih
lanjut bahwa grup hidroksil pada cincin B dapat mendonorkan ion hidrogen dengan mendonorkan sebuah elektron ke radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan
kedua radikal tersebut, serta membentuk radikal flavonoid yang relatif lebih stabil. Flavonoid efektif sebagai
scavenger radikal hidroksil dan radikal peroksil Lee
et al. 2004. Flavonoid flavonoid–OH dilaporkan dapat beraksi sebagai scavenger radikal peroksil ROO
yang akan diregenerasi menjadi ROOH, dan bertindak sebagai
scavenger radikal hidroksil OH yang akan diregenerasi menjadi
H
2
O. Senyawa hasil regenerasi radikal peroksil dan radikal hidroksil bersifat lebih stabil, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk flavonoid-O
menjadi bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi Arora
et al. 1998. Senyawa radikal fenoksil menjadi inaktif akibat tingginya reaktivitas grup hidroksil senyawa
flavonoid yang terjadi melalui reaksi Nijveldt et al. 2001 :
ROO + Flavonoid-OH
→ ROOH + Flavonoid-O HO
+ Flavonoid-OH → H
2
O + Flavonoid-O Dengan berperan sebagai antioksidan, isoflavon mempunyai kemampuan
untuk mencegah peroksidasi lipid. Dalam hal ini, isoflavon berfungsi sebagai antioksidan primer karena berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat
menghambat reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Menurut Pokorny et
al. 2001, kemampuan antioksidan untuk mendonasikan hidrogen mempengaruhi
121
aktivitasnya. Dilaporkan bahwa suatu molekul akan mampu bereaksi sebagai antioksidan primer apabila dapat mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada
radikal lipida, radikal yang diturunkan dari antioksidan lebih stabil dibandingkan radikal lipid awal, atau dikonversi menjadi produk yang lebih stabil. Dengan
demikian, maka reaktivitas radikal bebas dapat diredam. Lee et al. 2004
menyatakan bahwa radikal antioksidan menjadi lebih stabil akibat proses resonansi dalam struktur cincin aromatiknya, sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi
radikal yang lain. Seperti halnya isoflavon,
α-tokoferol juga berperan sebagai antioksidan primer karena kemampuannya sebagai akseptor radikal bebas dalam menangkap
radikal bebas dan memutus reaksi peroksidasi lipid dengan melepaskan ion hidrogen bersama elektronnya.
α-tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil LOO
membentuk radikal tokoferol α-tokoferol-O
dan hidroperoksida LOOH. Selanjutnya radikal tokoferol bereaksi lagi dengan radikal peroksil yang lain
membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal LOO- α-
tokoferol, sehingga reaksi berantai peroksidasi lipid dapat terhenti Liebler Burr 1992; Therond
et al. 1996; Yamauchi et al. 2002. Kestabilan dan pembentukan radikal tokoferol
α-tokoferol-O yang lebih lambat dibandingkan perambatan atau
propagasi radikal lipid peroksil LOO dapat menekan dan memperlambat
berlangsungnya reaksi berantai peroksidasi lipid. Mekanisme kerja α-tokoferol
memutus rangkaian reaksi berantai dan sebagai scavenger radikal bebas terjadi
melalui reaksi : α-tokoferol-OH + LOO
→ α-tokoferol-O + LOOH
α-tokoferol-O + LOO
→ LOO-α-tokoferol Kinerja
α-tokoferol dalam memelihara stabilitas membran sel dan melindungi struktur sel terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas
dan peroksidasi lipid adalah dengan membloking reaksi inisiasi dan menginterupsi reaksi propagasi peroksidasi lipid di dalam membran sel. Vitamin E berperan
memperlambat berlangsungnya reaksi peroksidasi karena berperan sebagai scavenger radikal bebas dan memutus rantai proses peroksidasi lipid di dalam
membran dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas. Hal ini menyebabkan terbentuknya radikal vitamin E
yang stabil dan tidak merusak Almatsier 2002; Landvik et al. 2002, serta
menghentikan reaksi rantai propagasi yang bersifat merusak pada proses peroksidasi lipid Combs 1992.
Membran plasma umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh, karena sebagian besar komponen utama penyusun membran
122
adalah PUFA. PUFA bersifat paling rentanlabil terhadap peroksidasi lipid karena banyak mengandung ikatan rangkap. Menurut Pokorny
et al. 2001, keberadaan karbon-karbon yang memiliki ikatan rangkap akan melemahkan ikatan karbon-
hidrogen, terutama atom hidrogen yang letaknya dekat dengan ikatan rangkap, sehingga atom hidrogen tersebut bersifat rentan untuk terabstraksi. Apabila atom
hidrogen pada karbon α-metilen dari ikatan rangkap PUFA hilang, maka akan
terbentuk sebuah radikal alkil R yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil. Terjadinya peroksidasi lipid akan menyebabkan hilangnya
integritas dan permeabilitas membran Geva et al. 1998.
Suatu senyawa dapat bertindak sebagai antioksidan dan mencegah oksidasi lipid apabila potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV
lebih rendah dari potensial reduksi PUFA. α-tokoferol memiliki potensial reduksi
sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid katekol memiliki potensial reduksi 530 mV Buettner 1993 diacu dalam Muchtadi 2008.
Berdasarkan data potensial reduksi tersebut, mekanisme efek sinergis antioksidan pada kelompok IZE karena
α-tokoferol dan isoflavon berperan sebagai antioksidan primer dengan mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada radikal
lipid. α-tokoferol yang memiliki potensial reduksi lebih rendah lebih dahulu dapat
memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Selanjutnya, isoflavon yang termasuk kelompok flavonoid dengan
potensial reduksi lebih tinggi dari α-tokoferol bekerja dengan memberikan satu
atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Senyawa yang terbentuk sebagai hasil regenerasi radikal peroksil bersifat lebih stabil.
Radikal tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil yang lain membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal, sedangkan radikal fenoksil
yang terbentuk dari flavonoid bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi. Walaupun tidak berperan sebagai antioksidan, Zn dilaporkan oleh Taylor
et al. 1988 memainkan peran penting dalam stabilitas biomembran dan mempertahankan integritas sel. Dengan demikian, diduga kombinasi
α-tokoferol, isoflavon dan Zn menghasilkan sinergisme aktivitas antioksidan yang lebih baik.
Kombinasi ketiganya diduga mampu memperkuat kerja sistem antioksidan akibat terpeliharanya stabilitas membran dan terlindungnya struktur sel dari
kerusakan oleh radikal bebas, serta menggambarkan bahwa kombinasi antioksidan vitamin E, isoflavon kedelai, dan Zn memberikan pengaruh yang paling berarti dan
paling baik dalam mengeliminir dan menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk. Dengan sel yang utuh karena stabilitas membran terpelihara dan
struktur serta fungsi membran sel terlindung dari kerusakan oleh antioksidan
123
vitamin E, isoflavon maupun Zn, maka sel mampu mempertahankan diri dari serangan oksidatif radikal bebas dan peroksidasi lipid. Hal ini didukung oleh
pendapat Freisleben 1998, bahwa reaksi radikal bebas dapat ditiadakan melalui tiga cara, yaitu : mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas,
inaktivasi radikal dan menghambat reaksi propagasi chain breaking, serta
memperbaiki kerusakan akibat reaksi radikal bebas. Spermatozoa kaya akan asam lemak tidak jenuh. Sekitar 50 asam lemak
tidak jenuh yang ditemukan dalam sebuah sel spermatozoa adalah dokosaheksaenoatDHA Aitken 1997. Membran plasma mitokondria spermatozoa
juga tersusun oleh asam lemak tidak jenuh yang bersifat sangat rentan terhadap oksidasi. Jika asam lemak tidak jenuh dari fosfolipid dioksidasi oleh radikal bebas,
akan terjadi kerusakan spermatozoa akibat meningkatnya peroksidasi lipid sehingga mengganggu motilitasnya. Menurut Sanocka Kurpisz 2004, DHA
memainkan peran utama terhadap fluiditas membran spermatozoa. Peningkatan peroksidasi lipid akan menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan
fluiditas membran spermatozoa Sanocka Kurpisz 2004, mengganggu stabilitas membran dan mengacaukan aktivitas enzim-membran seperti ATP-ase, sehingga
mengakibatkan terganggunya regulasi kation intraseluler seperti Ca
2+
yang memegang peranan sangat penting terhadap motilitas spermatozoa Sevanian
et al. 1988; Aitken et al. 1993.
Dalam penelitian ini terlihat adanya keeratan hubungan antara motilitas spermatozoa, kadar MDA testis, aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn-
SOD pada tubuli seminiferi testis akibat pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E. Secara langsung, kombinasi TKI-RL, Zn dan vitamin E diduga mampu menetralisir
lebih banyak radikal bebas yang terbentuk dan mengeliminir pembentukan radikal bebas pada membran plasma spermatozoa sehingga membran plasma
spermatozoa tidak mengalami kerusakan tetap utuh, peroksidasi lipid terhambat, sehingga dihasilkan motilitas spermatozoa yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini,
terhambatnya peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan rendahnya kadar MDA testis terbukti mengakibatkan peningkatan motilitas spermatozoa. MDA merupakan
salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal dan digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif membran sel.
Penurunan kadar MDA menunjukkan terhambatnya proses oksidasi membran sel, pada kelompok tersebut diikuti dengan meningkatnya aktivitas enzim SOD melalui
pengukuran menggunakan spektrofotomoter, maupun pengamatan terhadap profil antioksidan Cu,Zn-SOD melalui pewarnaan jaringan testis secara imunohistokimia.
Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tubuli seminiferi testis akibat
124
pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E. Kombinasi secara lengkap ketiganya menghasilkan konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tertinggi.
Eliminasi radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa diduga mampu menghentikan reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh
pada fosfolipid membran sel sehingga secara keseluruhan akan melindungi fungsi spermatozoa. Dengan terlindungnya jaringan yang memproduksi spermatozoa dari
proses oksidasi, proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu, produksi spermatozoa tidak terganggu, sehingga dihasilkan konsentrasi
spermatozoa yang lebih tinggi. Peningkatan konsentrasi spermatozoa didukung oleh tingginya total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel
spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir. Secara umum, terlihat bahwa hasil pengukuran terhadap berbagai parameter
pengujian seperti motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, jumlah sel spermatogenik, kadar MDA, aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD pada
tubuli seminiferi testis kelompok yang tidak mendapat TKI-RL, Zn dan vitamin E kontrol negatifK- menunjukkan kualitas spermatozoa yang paling rendah
dibanding ZE yang dalam ransumnya diberi Zn dan vitamin E, kelompok yang mendapat perlakuan tunggal cekok TKI-RL yang mengandung isoflavon saja I,
dua kombinasi yaitu isoflavon-Zn IZ dan isoflavon-vitamin E IE, atau kombinasi secara lengkap TKI-RL, Zn dan vitamin E IZE. Kelompok yang mendapat
perlakuan tunggal atau dua kombinasi juga menunjukkan kualitas spermatozoa yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat kombinasi ketiganya.
Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tanpa TKI-RL, Zn dan vitamin E Kontrol negatifK-, perlakuan tunggal atau dua kombinasi saja belum mampu
menghambat proses peroksidasi lipid akibat oksidasi oleh radikal bebas sehingga kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa juga tidak dapat dicegah.
Kerusakan membran disebabkan oleh hilangnya asam lemak esensial penyusun fosfolipid membran akibat terikatnya elektron hidrogen asam lemak tidak jenuh
penyusun membran plasma membentuk radikal peroksi lipid, sehingga mengganggu proses metabolisme sel spermatozoa. Peningkatan peroksidasi lipid
telah dilaporkan Sanocka Kurpisz 2004 menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran spermatozoa, serta mengakibatkan
hilangnya integritas membran dan permeabilitas membran Geva et al. 1998.
Akibatnya dihasilkan motilitas spermatozoa yang lebih rendah, peningkatan kadar MDA testis yang menunjukkan terjadinya proses oksidasi pada membran sel, serta
penurunan aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis. Keberadaan antioksidan endogen seperti Cu,Zn-SOD dapat menekan
produk akhir hasil peroksidasi lipid. Oleh karena itu, menurunnya status antioksidan
125
endogen intrasel sangat berbahaya karena radikal bebas dalam tubuh menjadi tidak dapat dinetralisir dengan baik dan pada saat tertentu jumlahnya dapat
meningkat atau berlebihan di dalam tubuh. Di samping itu, kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa yang
tidak dapat dicegah mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi
testis. Hal ini mengakibatkan terganggunya produksi spermatozoa yang diperlihatkan dengan lebih rendahnya konsentrasi spermatozoa dibanding
kelompok IZE. Konsentrasi spermatozoa berhubungan erat dengan proses spermatogenesis, di mana akan dihasilkan spermatozoa yang mampu membuahi
sel telur. Jumlah sel spermatogenik sangat bergantung pada aktivitas tubuli
seminiferi yang dipengaruhi oleh sistem hormon. Hal ini sesuai dengan pendapat Junqueira
et al. 1998 yang menyatakan bahwa faktor endokrin mempunyai pengaruh paling penting terhadap spermatogenesis. Dilaporkan bahwa hormon
testosteron dibutuhkan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis pada tubuli seminiferi. Apabila terjadi hambatan proses spermatogenesis pada tahap awal,
maka akan menyebabkan hambatan pada perkembangan tahap selanjutnya. Gangguan terhadap proses spermatogenesis mengakibatkan peningkatan resiko
terhadap rendahnya kualitas spermatozoa yang dihasilkan. Secara umum, terlihat bahwa keempat kelompok tikus yang mendapat
cekok TKI-RL pada dosis isoflavon 3 mgekorhari I, IZ, IE, IZE menghasilkan kadar hormon testosteron lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kelompok
ZE dan K-. Hal ini sejalan dengan temuan Fritz et al. 2003 yang melaporkan
penurunan aktivitas aromatase testis enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen sehingga mengakibatkan peningkatan hormon testosteron akibat
pemberian genistein isolat isoflavon murni sebesar 250 mg genisteinkg diet ± 5 mg genisteinekorhari. Dalam penelitian ini, tepung kedelai kaya isoflavon yang
diberikan secara oral dengan dosis 3 mgekorhari, diduga masih tergolong pada kategori rendah sehingga belum memperlihatkan gangguan terhadap
perkembangan, morfologi maupun proses spermatogenesis. Sebaliknya, rendahnya kadar hormon testosteron kelompok kontrol negatifK- terbukti
menyebabkan rendahnya konsentrasi spermatozoa dan menurunkan jumlah sel spermatogenik melalui perhitungan terhadap jumlah sel spermatogonia,
spermatosit, spermatid awal, dan spermatid akhir.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keenam perlakuan mempunyai
kriteria spermatozoa yang normal karena kelainan morfologi abnormalitas spermatozoa yang ditemukan kurang dari 20. Tidak terlihat perbedaan nyata
126
pada berat relatif testis keenam perlakuan, diduga perlakuan cekok oral TKI-RL pada dosis 3 mgekorhari masih tergolong dalam konsentrasi rendah sehingga
tidak mempengaruhi berat testis. Menurut Martin 1983, atropi testis pada mencit jantan terjadi apabila genistein salah satu komponen isoflavon diberikan dalam
bentuk isolat isoflavon murni pada dosis 9 mgekorhari. Hasil pengamatan terhadap angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus
betina menunjukkan bahwa semua tikus betina yang dikawinkan dengan keenam jantan perlakuan menghasilkan angka konsepsi 100. Sumber protein ransum
yaitu kasein dengan kualitas, jumlah dan kadar yang tinggi 15 diduga menyebabkan keberhasilan fertilisasi pada keenam jantan perlakuan. Menurut
Baker et al. 1979, kadar protein ransum dari sumber protein hewani sebesar 10
telah mencukupi untuk proses reproduksi dan pertumbuhan tikus. Tikus betina yang digunakan untuk melihat fertilitas tikus jantan juga mendapat kasein sebagai
sumber protein ransum dalam jumlah dan kadar yang tinggi 15, dan selama percobaan berada pada kondisi sehat. Tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata
antar perlakuan pada tikus jantan p0.05 terhadap jumlah fetus pada tikus betina. Angka konsepsi 100 juga terlihat pada tikus betina yang dikawinkan
dengan kelompok tikus jantan yang tidak mendapat isoflavon, Zn dan Vitamin E Kontrol negatifK-. Diduga pada kelompok kontrol negatifK-, Zn dan vitamin E
tidak berada pada kondisi defisien yang sangat ekstrim. Kemungkinan tikus jantan kelompok kontrol negatifK- masih mendapat asupan Zn yang berasal dari kasein
sebagai sumber protein ransum, serta mendapat vitamin E yang terkandung dalam minyak jagung sebagai komponen penyusun ransum. Namun demikian, Zn dan
vitamin E mungkin terdapat pada konsentrasi rendah. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa peneliti sebelumnya, bahwa ada spermatozoa yang dapat
mencapai sel telur, tetapi tidak dapat melakukan pembuahan karena kualitas spermatozoa yang kurang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peluang terjadinya
kehamilan atau konsepsi lebih besar pada jantan yang memiliki jumlah spermatozoa sedikit namun berfungsi dengan baik dibandingkan dengan jantan
yang memiliki jumlah spermatozoa banyak namun mempunyai fungsi yang kurang baik.
Walaupun perlakuan pada kelompok kontrol negatifK- menyebabkan terjadinya peningkatan kadar MDA testis, serta penurunan aktivitas dan kandungan
enzim SOD testis, kelompok kontrol negatifK- menghasilkan motilitas spermatozoa sebesar 66.5, konsentrasi spermatozoa 1182.5 jutaml, serta abnormalitas
spermatozoa 13.49 yang masih tergolong pada kategori spermatozoa normal. Hal ini diduga menyebabkan tikus jantan kelompok kontrol negatifK- memiliki
127
kemampuan untuk melakukan proses fertilisasi dan akhirnya mampu membuntingi tikus betina.
Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan
Hasil penelitian menunjukkan dua hal yang berlawanan akibat pemberian tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak TKI-RL dengan berbagai tingkatan
dosis isoflavon pada tikus jantan. Pemberian TKI-RL dengan dosis isoflavon IF terendah yaitu 1.5 mgekorhari, merupakan dosis IF optimum, menghasilkan
kualitas spermatozoa terbaik. Sebaliknya, pemberian TKI-RL dengan dosis IF tertinggi yaitu 6 mgekorhari menghasilkan kualitas spermatozoa yang paling
rendah. Hasil pengamatan terhadap semua parameter pengujian memperlihatkan bahwa tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6
mgekorhari tidak berbeda nyata, namun terlihat perbedaan yang nyata pada kedua dosis tersebut dengan kelompok tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF
lebih rendah. Perbedaan nyata antara dosis IF 4.5 mgekorhari dan 6 mgekorhari terlihat pada pengamatan terhadap butiran sitoplasma dan angka kebuntingan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar
hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig. Pemberian TKI-RL dengan dosis IF terendah 1.5 mgekorhari
mengakibatkan : meningkatnya beberapa parameter seperti berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli
seminiferi testis; menurunnya kadar MDA testis; aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan
spermatid awal tubuli seminiferi testis dipertahankan tetap tinggi. Sebaliknya, pemberian TKI-RL pada dosis IF tertinggi 6 mgekorhari mengakibatkan:
menurunnya berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; meningkatnya butiran sitoplasma,
kadar hormon testosteron serum, serta kadar MDA testis; menurunnya aktivitas enzim SOD testis; serta menurunnya kandungan Cu,Zn-SOD. Angka konsepsi
pada tikus betina hasil perkawinan dengan tikus jantan kontrol dan yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 dan 3 mgekorhari sebesar 100, pada dosis IF 4.5
mgekorhari sebesar 60, sedangkan pada dosis IF 6 mgekorhari sebesar 0. Namun telah terbukti terjadi kopulasi pada semua tikus betina yang dikawinkan
dengan kelima kelompok tikus jantan perlakuan tersebut, dengan terdeteksinya spermatozoa melalui metode deteksi ulas vagina. Angka konsepsi 0 menunjukkan
128
bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 6 mgekorhari menyebabkan infertilitas pada tikus jantan.
Fenomena keterkaitan antara berbagai parameter pengujian dengan hasil yang berlawanan akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF paling rendah dan dosis
IF paling tinggi dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan penjabaran sebagai berikut : Kedelai dikenal sebagai fitoestrogen dengan struktur molekul komponen
bioaktif isoflavon kedelai yang mirip struktur molekul estrogen. Hal ini menyebabkan isoflavon kedelai dapat berikatan dengan reseptor estrogen RE,
namun afinitas RE ligan tersebut lebih rendah dibanding estrogen endogen. Miksicek 1994. Menurut Kuiper
et al. 1997
,
genistein merupakan senyawa utama isoflavon dengan pengaruh estrogenik terkuat dan mempunyai affinitas yang
lebih tinggi terhadap RE β bila dibandingkan dengan REα. Hal ini menunjukkan
bahwa genistein membentuk ikatan lemah dengan RE α, namun dengan REβ dapat
membentuk ikatan yang lebih kuat. Dengan struktur molekul mirip estrogen, isoflavon mampu menggantikan fungsi estrogen dan mengendalikan aktivitasnya.
Mekanisme pengendalian aksi fitoestrogen dilaporkan Helferich et al. 2001 dan
Ruggiero et al. 2002 tergantung pada respon yang terjadi, yaitu bersifat agonis
atau antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target. Keduanya melaporkan bahwa aksi biologis estrogen sebagai estrogen agonis adalah
berikatan dengan RE dan menstimulasi memacu respon estrogen, sedangkan aksi sebagai estrogen antagonis adalah berikatan dengan RE, namun menghambat
respon estrogen. Wang Kurzer 1998 diacu dalam Robertson et al. 2002
menyatakan bahwa aksi spesifik fitoestrogen dengan keberadaan estrogen endogen tergantung pada konsentrasinya, di mana aksi agonis terlihat ketika
estrogen terdapat pada konsentrasi rendah, sedangkan aksi antagonis terlihat ketika estrogen terdapat pada konsentrasi tinggi. Pendapat serupa juga
dikemukakan Brzozowski et al. 1997, bahwa isoflavon bersifat antagonis ketika
kadar estrogen tinggi, sebaliknya isoflavon bersifat agonis ketika kadar estrogen rendah.
Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF paling rendah 1.5 mgekorhari, diduga isoflavon bersifat antagonis dengan bertindak sebagai antioksidan. Hal ini
didukung laporan Fritz et al. 2003, bahwa pemberian genistein salah satu
komponen senyawa isoflavon dalam bentuk isolat isoflavon murni sebesar 250 mg genisteinkg diet ± 5 mg genisteinekorhari dan 1000 mg genisteinkg diet ± 20
mgekorhari pada tikus jantan secara signifikan menyebabkan penurunan kadar estrogen dibanding kontrol. Mengacu pada hasil penelitian Fritz tersebut, diduga
pemberian isoflavon pada kadar IF yang paling rendah 1.5 mgekorhari tidak
129
menyebabkan penurunan kadar estrogen secara signifikan. Dalam hal ini, karena kadar estrogen cukup, maka isoflavon akan menghambat respon estrogen dan
beraksi sebagai estrogen antagonis dengan bertindak sebagai antioksidan. Sebaliknya, pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF paling tinggi 6 mgekorhari,
isoflavon beraksi sebagai estrogen agonis. Dalam hal ini, karena kadar estrogen rendah, maka isoflavon akan menstimulasimemacu respon estrogen.
Menurut Safe 2000, struktur genistein salah satu komponen isoflavon menyerupai estrogen dan dapat berikatan dengan reseptor estrogen. Pada tikus
jantan di mana konsentrasi estradiol dalam darahnya lebih rendah dibandingkan tikus betina, paparan estrogen eksogen mungkin akan menyebabkan pengaruh
yang mengganggu. Gangguan akibat senyawa estrogen pada hewan jantan dilaporkan menyebabkan penurunan berat testis, mengganggu perkembangan
saluran reproduksi, serta mempengaruhi spermatogenesis dan fertilitas Safe 2000. Atanassova
et al. 2000 melaporkan perubahan berat testis, penyusutan dimensi tubuli seminiferi dan terganggunya spermatogenesis setelah tikus diberi
genistein melalui injeksi pada dosis 4 mgkg berat badanhari. Sharpe Skakkebaek 1993 melaporkan penurunan jumlah sel Leydig dan penghambatan
perkembangan sel Leydig sehingga menyebabkan gangguan reproduksi dan abnormalitas organ testis akibat paparan estrogen pada dosis tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara kadar MDA testis dengan motilitas spermatozoa akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF 1.5
mgekorhari. Pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan kadar MDA testis terendah dan motilitas tertinggi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini
sejalan dengan pendapat Iwasaki Gagnon 1992 yang menyatakan bahwa peningkatan pembentukan radikal bebas berkorelasi dengan penurunan motilitas
spermatozoa. Dilaporkan bahwa pembentukan radikal bebas akan meningkat apabila motilitas kurang dari 60. Kelompok yang diberi TKI-RL dengan dosis IF 1.5
mgekorhari menghasilkan motilitas spermatozoa tertinggi yaitu 77.5. Diduga pada dosis IF 1.5 mgekorhari, isoflavon berperan sebagai
antioksidan yaitu bersifat antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target dengan menghambat respon estrogen. Kerja isoflavon sebagai antioksidan
berlangsung melalui dua mekanisme, yaitu : mendonorkan ion hidrogen dan bertindak sebagai
scavenger radikal bebas secara langsung Arora et al. 1998; Nijveldt
et al. 2001. Awalnya flavonoid teroksidasi oleh senyawa radikal, kemudian terbentuk senyawa yang lebih stabil dan radikal fenoksil yang kurang reaktif.
Dengan demikian, maka reaktivitas radikal bebas dapat diredam. Menurut Pokorny et al. 2001, stabilitas radikal fenoksil akan mengurangi laju reaksi propagasi dari
autooksidasi reaksi berantai karena propagasi radikal antioksidan sangat lambat
130
dibandingkan dengan propagasi radikal lipid. Akibat teredamnya reaktivitas radikal peroksil dan radikal hidroksil, terjadinya proses peroksidasi lipid spermatozoa dapat
dihambat. Terhambatnya peroksidasi lipid mengakibatkan peningkatan motilitas spermatozoa.
Motilitas daya gerak spermatozoa sangat tergantung pada suplai energi berupa ATP hasil metabolisme. Metabolisme akan berlangsung dengan baik
apabila membran plasma sel berada dalam keadaan yang utuh, sehingga mampu mengatur lalu lintas masuk dan keluar substrat dan elektrolit yang dibutuhkan
dalam proses metabolisme. Peran isoflavon pada dosis 1.5 mgekorhari sebagai antioksidan diduga menyebabkan utuhnya membran plasma spermatozoa akibat
terlindungi oleh antioksidan isoflavon, sehingga motilitas spermatozoa dapat dipertahankan tetap tinggi. Menurut Bourgeron 2000, untuk memperoleh
kemampuan gerak, spermatozoa membutuhkan energi ATP yang diperoleh dari proses respirasi glikolisis atau fruktolisis dalam mitokondria pada bagian
midpiece spermatozoa, sedangkan bagian
principal piece dan end piece berfungsi dalam pergerakan spermatozoa. Setelah disintesis di dalam mitokondria, ATP
ditransportasikan ke aksonem pada bagian ekor spermatozoa, selanjutnya dikonversikan oleh dinein enzim ATPase pada aksonem yang akan menguraikan
ATP menjadi energi untuk pergerakan spermatozoa. Terhambatnya pelepasan ATP ke bagian aksonem mengakibatkan tidak terpenuhinya atau berkurangnya
kebutuhan energi untuk menggerakkan ekor, dan selanjutnya mengakibatkan spermatozoa tidak dapat bergerak cepat atau tidak bergerak sama sekali
Asmarinah 2005. Dalam hal ini, pada kondisi tidak tercukupinya energi akibat terganggunya zat-zat yang berperan sebagai sumber energi, maka daya tahan
spermatozoa akan menurun dan menyebabkan kematian. Salah satu faktor untuk aktivasi pergerakan spermatozoa pada mamalia
adalah peningkatan cyclic Adenosin Monophosphat cAMP intraseluler.
Peningkatan cAMP terjadi melalui fosforilasi protein dalam flagellum untuk memodulasi pergerakan spermatozoa Inaba 2003 diacu dalam Asmarinah 2005.
Aktivasi motilitas spermatozoa melalui peningkatan cAMP diperantarai oleh ion Ca
2+
. Aitken 2000. Peningkatan konsentrasi Ca
2+
intraseluler dapat memodulasi gerakan flagellum yang menyebabkan gerakan kemotaksis spermatozoa menuju
sel telur Inaba 2003 diacu dalam Asmarinah 2005. Dengan demikian, ion Ca
2+
dibutuhkan untuk hiperaktivasi spermatozoa pada saat terjadi proses kapasitasi. Durkee
et al. 1998 diacu dalam Carreau et al. 2003 melaporkan keberadaan RE pada membran plasma spermatozoa manusia yang mempunyai kemampuan untuk
berikatan dengan steroid. Reseptor membran dihubungkan dengan jalur transduksi sinyal secara cepat oleh ion Ca
2+
, yang diperlukan untuk motilitas dan
131
kapasitasi spermatozoa Luconi et al. 2002. Revelli et al. 1998 dan O’Donnell et
al. 2001 menyatakan bahwa estrogen dapat menginduksi peningkatan konsentrasi Ca
2+
atau cAMP dengan sangat cepat melalui mekanisme aksi pengikatan reseptor estrogen pada membran plasma.
Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara kadar MDA testis, aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis
akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF 1.5 mgekorhari. Pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan kadar MDA testis terendah, serta aktivitas SOD testis
dan profil antioksidan Cu,Zn-SOD tertinggi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa isoflavon pada dosis 1.5 mgekorhari bekerja paling efektif dan optimal
dalam membantu kinerja sistem enzim SOD endogen untuk mengeliminir dan menetralisir radikal bebas yang terbentuk, sehingga memberikan pengaruh yang
paling menguntungkan terhadap elimininasi radikal bebas. Dengan aksi isoflavon sebagai antioksidan, kandungan enzim SOD endogen testis jumlahnya
dipertahankan tetap tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sikka 2004, bahwa antioksidan eksogen yang dapat bertindak sebagai
scavenger radikal bebas akan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan endogen dalam tubuh sehingga
mampu mengurangi terbentuknya kondisi stres oksidatif akibat berlebihnya pembentukan radikal bebas.
Keeratan hubungan antara berat relatif testis, konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis terlihat pada tikus jantan
yang dicekok TKI-RL dosis IF 1.5 mgekorhari. Pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan berat relatif testis, konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel
spermatogenik tertinggi. Diduga, eliminasi radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa oleh aksi isoflavon sebagai antioksidan pada dosis
tersebut menyebabkan perkembangan testis sebagai tempat utama berlangsungnya proses spermatogenesis untuk memproduksi spermatozoa
menjadi tidak terhambat. Di samping itu, sel yang tetap utuh dan tidak mengalami kerusakan akibat terlindung oleh antioksidan isoflavon juga mampu menghentikan
reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel sehingga secara keseluruhan akan melindungi fungsi spermatozoa. Dengan
terlindungnya jaringan yang memproduksi spermatozoa dari proses oksidasi, proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu. Akibat tidak
adanya hambatan terhadap proses spermatogenesis, produksi spermatozoa menjadi tidak terganggu, sehingga akhirnya dihasilkan konsentrasi spermatozoa
yang lebih tinggi. Hasil pengamatan morfologi testis terhadap jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi mendukung data yang diperoleh dalam
penelitian ini, di mana tingginya berat relatif testis diikuti oleh peningkatan
132
konsentrasi spermatozoa dan total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid
akhir. Sebaliknya, pemberian TKI-RL pada dosis IF yang paling tinggi 6
mgekorhari menimbulkan akibat yang berlawanan dengan pemberian TKI-RL pada dosis IF yang paling rendah 1.5 mgekorhari. Pada pemberian TKI-RL
dengan dosis IF paling tinggi 6 mgekorhari, diduga isoflavon bersifat sebagai estrogen agonis dengan memacumenstimulasi respon estrogen karena kadar
estrogen rendah, sehingga pada dosis tersebut diduga isoflavon berpotensi menimbulkan gangguan. Gangguan akibat paparan estrogen eksogen pada jantan
diduga karena kadar estradiol pada jantan yang lebih rendah dibandingkan betina. Robertson
et al. 2002 menyatakan bahwa pada mencit yang tidak mendapat diet kedelai dan kondisinya dibuat kekurangan enzim aromatase enzim yang
mengkonversi androgen menjadi estrogen memperlihatkan adanya gangguan spermatogenesis. Dilaporkan bahwa jumlah sel spermatid awal pada kelompok
mencit tersebut mengalami penurunan secara signifikan sehingga diduga bahwa diet kedelai berkontribusi terhadap proses spermatogenesis ketika sintesis
estrogen endogen dihambat. Hasil tersebut mendukung pendapat beberapa peneliti sebelumnya bahwa produksi estrogen pada jantan dibutuhkan untuk
perkembangan sel benih dan fungsi sel Sertoli. Fritz
et al. 2003 juga melaporkan terjadinya penurunan aktivitas aromatase testis tikus akibat pemberian genistein pada dosis tinggi sehingga menurunkan
kadar estrogen. Dalam penelitian ini, diduga pemberian TKI-RL pada dosis yang semakin tinggi juga menimbulkan respon yang sama. Defisiensi aromatase
dilaporkan berhubungan dengan problem infertilitas Carreau et al. 2003, sehingga
secara keseluruhan pemberian TKI-RL pada dosis yang semakin tinggi menyebabkan penurunan fungsi dan kualitas spermatozoa. Hal ini didukung
laporan peneliti terdahulu bahwa penghambatan aktivitas aromatase menyebabkan penurunan pematangan spermatid tikus Nitta
et al. 1993, sedangkan defisiensi aromatase pada mencit menyebabkan tertahannya proses awal spermiogenesis
Robertson et al. 1999 diacu dalam Adeoya-Osiguwa et al. 2003. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa estrogen berperan penting dalam mengontrol spermatogenesis dan fertilitas hewan jantan.
Keeratan hubungan antara motilitas dengan kadar MDA testis juga terlihat pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 6 mgekorhari, namun tidak terlihat
adanya perbedaan nyata dengan pemberian TKI-RL dengan dosis IF 4.5 mgekorhari. Motilitas spermatozoa sebesar 52 dihasilkan oleh dosis IF 6
mgekorhari, sedangkan dosis IF 4.5 mgekorhari menghasilkan motilitas sebesar
133
55. Menurut Iwasaki Gagnon 1992, spermatozoa normal memiliki motilitas lebih dari 60. Rendahnya motilitas spermatozoa kelompok tikus yang dicekok isoflavon
dengan kedua dosis tersebut diduga karena sintesis ATP yang berlangsung dalam mitokondria spermatozoa pada proses respirasi mengalami gangguan. Pada dosis
tersebut, diduga terjadi kerusakan struktur membran plasma mitokondria spermatozoa akibat proses oksidasi oleh radikal bebas sehingga menyebabkan peningkatan
peroksidasi lipid. Menurut Colenbrander et al. 1992, kerusakan membran plasma
spermatozoa pada bagian midpiece menyebabkan berkurangnya enzim aspartat
aminotransferase AspAT, yaitu enzim utama untuk pembentukan ATP oleh mitokondria spermatozoa. Kondisi tersebut dilaporkan menghambat pembentukan
ATP dan mengganggu motilitas spermatozoa. Rendahnya motilitas spermatozoa didukung data kadar MDA testis yang
tertinggi pada kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mgekorhari, yang menunjukkan tingginya keberadaan radikal bebas dan
terjadinya proses oksidasi membran sel. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini didukung pendapat Iwasaki Gagnon 1992 yang menyatakan bahwa
peningkatan pembentukan radikal bebas berkorelasi dengan penurunan motilitas spermatozoa. Dilaporkan bahwa apabila motilitas kurang dari 60, pembentukan
senyawa spesies oksigen reaktif ROS akan meningkat, sehingga diduga bahwa spermatozoa immotil mempunyai peluang yang lebih besar untuk memproduksi
ROS daripada spermatozoa yang lebih motil. Peroksidasi asam lemak tidak jenuh pada membran sel spermatozoa
bersifat autokatalitik yang mengakibatkan gangguan fungsi membran, menurunkan integritas dan fluiditas membran, serta inaktivasi enzim yang terlibat pada membran
Sanocka Kurpisz 2004. Berlebihnya pembentukan senyawa ROS dapat menginisiasi perubahan lapisan lemak dan protein pada membran plasma
spermatozoa sehingga menimbulkan gangguan fungsional spermatozoa, serta meningkatkan peroksidasi lipid Griveau
et al. 1995. Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang sangat reaktif dan menyebabkan kerusakan membran sel
sehingga metabolisme sel tidak dapat berlangsung dengan sempurna. Sekali radikal bebas terbentuk, akan mengakibatkan pembentukan radikal bebas baru
melalui reaksi berantai antar radikal lipid peroksil. Terbentuknya radikal bebas hidroksil yang sangat reaktif dapat menggoyahkan membran dan menyebabkan
kematian spermatozoa karena asam lemak tidak jenuh, protein, dan DNA bersifat sangat rentan terhadap radikal hidroksil ini. Ketiga senyawa tersebut merupakan
sel target yang paling potensial Saleh Agarwal 2002. Berlangsungnya reaksi berantai peroksidasi lipid juga menyebabkan
terganggunya integritas membran karena radikal bebas dapat bereaksi dengan
134
komponen-komponen membran, sehingga terjadinya kerusakan tidak hanya berlangsung pada membran plasma tetapi juga pada bagian internal sel. Menurut
Comporti 1989 diacu dalam de Lamirande Gagnon 1992, senyawa hasil degradasi peroksidasi lipid bersifat sangat reaktif terhadap reaksi biokimia sel
seperti respirasi mitokondria dan sintesis DNA. Kerusakan oksidatif mitokondria DNA mtDNA terjadi pada semua sel yang kaya mitokondria, termasuk
spermatozoa Sikka et al. 1995. Tidak sempurnanya respirasi enzim yang terlibat
dalam respirasi mitokondria spermatozoa menyebabkan hilangnya mitokondria DNA sehingga meningkatkan produksi radikal bebas dan menyebabkan lebih
banyak terjadi kerusakan oksidatif Kao et al. 1998; O’Connell et al. 2002.
Sikka et al. 1995 melaporkan bahwa peroksidasi lipid merusak DNA dan
protein melalui oksidasi basa DNA terutama guanin, atau melalui binding kovalen dengan MDA, sehingga mengakibatkan DNA
strand-breaks dan cross-linking. ROS juga dapat menginduksi oksidasi grup SH pada protein dan DNA sehingga akhirnya
akan mengubah struktur dan fungsi spermatozoa. Fraga 1996 diacu dalam Kao et
al. 1998 melaporkan bahwa pada perokok yang aktivitas antioksidan endogen lebih rendah dan pembentukan radikal bebas lebih tinggi, terlihat adanya
peningkatan 8-hydroxy-2’-deoxy-guanosine 8-OhdG pada DNA spermatozoanya .
Pembentukan 8-OhdG dilaporkan Halliwell Gutteridge 1999 merupakan kunci biomarker terhadap kerusakan oksidatif DNA.
Hasil penelitian Aitken et al. 1993 terhadap pembentukan metabolit
oksigen yang bersifat toksik dalam suatu sistem xantin-xantin oksidase memperlihatkan bahwa senyawa ROS yang menyebabkan kerusakan spermatozoa
adalah hidrogen peroksida H
2
O
2
. H
2
O
2
yang diproduksi oleh dismutasi anion superoksida O
2 .-
dilaporkan de Lamirande Gagnon 1992 bersifat paling toksik pada spermatozoa manusia karena kemampuannya untuk dapat melewati
membran sel secara bebas sehingga menghambat aktivitas enzim antioksidan intrasel dan fungsi sel. H
2
O
2
dapat melewati membran sel dengan mudah karena mempunyai kemampuan berdifusi yang sangat tinggi Lee
et al. 2004 Aitken
et al. 1997 menduga bahwa difusi H
2
O
2
sebagai salah satu senyawa ROS ke dalam membran sel akan menghambat aktivitas enzim glucose-
6-phosphat-dehydrogenase G
6
PD, suatu enzim kunci pada jalur glikolisis untuk mengontrol kecepatan glukosa dan mengontrol ketersediaan NADPH intrasel. Jalur
metabolik utama yang menyebabkan produksi NADPH dalam sel adalah jalur pentosa fosfat, yang akan mentransformasi glucose-6-phosphat menjadi 6-fosfo-
glukonolakton dengan dikatalis oleh enzim glucose-6-phosphat-dehydrogenase G
6
PD. G
6
PD dilaporkan bersifat sangat rentan terhadap stres oksidatif Oliver at
al. 1987 diacu dalam Griveau et al. 1995. Inaktivasi penghambatan aktivitas
135
enzim G
6
PD mengakibatkan blokade jalur pentosa fosfat sehingga menyebabkan penurunan ketersediaan NADPH dalam sel sehingga menyebabkan berkurangnya
ATP. Penurunan ATP berpotensi untuk meningkatkan proses peroksidasi lipid membran sehingga menurunkan sistem pertahanan antioksidan intrasel
spermatozoa. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran akibat akumulasi peroksidasi lipid, sehingga menghambat pergerakan
spermatozoa dan menyebabkan gangguan terhadap berlangsungnya reaksi akrosom Griveau
et al. 1995;Tremellen 2008. Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mgekorhari, hubungan
antara kadar MDA testis, aktivitas SOD testis, dan profil Cu,Zn-SOD testis dapat dijelaskan sebagai berikut : peningkatan kadar MDA testis pada kedua kelompok
tersebut menunjukkan bahwa status pertahanan antioksidan intrasel kedua kelompok tersebut tidak mampu menangkal reaktivitas radikal bebas sehingga
mengakibatkan rendahnya aktivitas enzim SOD testis, baik melalui pengukuran menggunakan spektrofotomoter maupun pengamatan terhadap profil antioksidan
Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis melalui pewarnaan secara imunohistokimia. Penurunan sistem pertahanan enzim SOD intrasel pada kelompok
yang dicekok isoflavon pada dosis tinggi diduga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksidan dalam tubuh. Hal ini sejalan
dengan pendapat Sikka et al. 1995 dan Halliwell Gutteridge 1999, bahwa
enzim-enzim yang berfungsi sebagai antioksidan endogen dapat menurun aktivitasnya apabila terbentuk radikal bebas dalam jumlah berlebihan. Tingginya
reaktivitas radikal bebas telah dilaporkan Griveau et al. 1995 menyebabkan
pengaruh toksik pada membran plasma spermatozoa. Penurunan kemampuan antioksidan intrasel menyebabkan berkurangnya
eliminasi senyawa ROS yang bertanggung jawab terhadap kerusakan sel DNA dan protein spermatozoa, serta terbentuknya proses peroksidasi lipid. Hal ini sejalan
dengan pendapat Rajasekaran et al. 1995, bahwa penurunan aktivitas SOD akan
mempengaruhi kemampuan pertahanan terhadap senyawa ROS sehingga menyebabkan kerusakan spermatozoa. Kerusakan oksidatif dapat terus terjadi
apabila ketidakseimbangan antara radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan terus berlanjut. Menurut Sikka 2004, ketidakseimbangan terjadi
apabila pembentukan radikal bebas lebih tinggi dibandingkan sistem pertahanan antioksidan, sistem pertahanan antioksidan tidak mampu mendetoksifikasi
terjadinya perubahan oleh radikal bebas secara terus menerus, atau ketika proses detoksifikasi menurun. Kekacauan sistem pertahanan antioksidan tersebut
selanjutnya menyebabkan peroksidasi membran fosfolipid oleh radikal bebas.
136
Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan fluiditas dan integritas membran akibat akumulasi peroksidasi lipid.
Retensi residu sitoplasma pada spermatozoa dilaporkan berkorelasi positif dengan pembentukan ROS melalui suatu mekanisme yang diperantarai oleh enzim
glucose-6-phosphat-dehydrogenase G
6
PD. Apabila aktivitas enzim G
6
PD terhambat, ketersediaan NADPH dalam sel akan berkurang, sehingga
meningkatkan proses peroksidasi lipid membran spermatozoa. Di samping itu, pada kondisi berlebihnya residu sitoplasma, spermatozoa yang dilepaskan selama
spermiasi menjadi tidak matang immature sehingga memicu pembentukan radikal
bebas Aitken 1997. Hal ini terbukti pada hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana pemberian TKI-RL dengan dosis IF tertinggi yaitu 6 mgekorhari
mengakibatkan peningkatan butiran sitoplasma yang signifikan dibanding kelompok yang diberi TKI-RL pada dosis IF lebih rendah. Dosis IF 6 mgekorhari
menghasilkan butiran sitoplasma tertinggi sebesar 63.52, sedangkan dosis IF 4.5 mgekorhari menghasilkan butiran sitoplasma sebesar 29.20. Peningkatan
butiran sitoplasma spermatozoa pada kelompok tersebut terbukti mengakibatkan peningkatan kadar MDA testis dan menurunnya aktivitas antioksidan intrasel.
Namun hasil pengamatan menunjukkan bahwa morfologi spermatozoa kedua kelompok tersebut tergolong pada kategori normal, dengan abnormalitas
spermatozoa kurang dari 20. Butiran sitoplasma terbentuk dari sisa-sisa badan golgi pada waktu proses
spermatogenesis. Posisi proximal droplet lebih banyak terdapat pada spermatozoa
yang berasal dari bagian caput, sedangkan posisi distal droplet lebih banyak
ditemukan pada spermatozoa yang berasal dari bagian corpus dan cauda epididimis Senger 1999. Hal ini menunjukkan bahwa spermatozoa mengalami
proses maturasi selama perjalanannya melewati saluran epididimis. Secara normal butiran sitoplasma tersebut akan hilang atau terlepas dan bergabung dengan
seminal plasma ketika spermatozoa tersebut diejakulasikan. Apabila ditemukan butiran sitoplasma dalam jumlah banyak pada semen hasil ejakulat, hal ini
menunjukan proses pematangan spermatozoa yang tidak sempurna. Produksi ROS pada spermatozoa bervariasi dan tergantung pada tingkat
pematangan spermatozoa. Produksi ROS ditemukan lebih tinggi pada spermatozoa immature dengan morfologi kepala yang abnormal atau terdapat retensi residu
sitoplasma, sedangkan produksi ROS lebih rendah ditemukan pada spermatozoa yang matang. Produksi ROS pada spermatozoa yang
immature berkorelasi langsung dengan kerusakan inti DNA spermatozoa Gomez
et al. 1996; Sharma Agarwal 1996; Saleh Agarwal 2002. Sharma Agarwal 1996 menyatakan
bahwa senyawa ROS akan diproduksi spermatozoa apabila : spermatozoa terdapat
137
pada kondisi immotil, morfologi abnormalitas spermatozoa tinggi, atau morfologi spermatozoa normal tetapi fungsi spermatozoa abnormal.
Sejalan dengan pendapat tersebut, diduga kelompok yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 6 mgekorhari menghasilkan morfologi spermatozoa normal,
namun memiliki fungsi spermatozoa yang abnormal. Dugaan fungsi spermatozoa menjadi abnormal didukung oleh data tingginya persentase butiran sitoplasma,
serta motilitas spermatozoa yang rendah spermatozoa immotil tinggi yang merupakan pemicu terbentuknya radikal bebas, sehingga menyebabkan
peningkatan kadar MDA testis. Peningkatan kadar MDA testis diikuti dengan menurunnya aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn-SOD pada tubuli
seminiferi testis. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sejalan dengan pendapat Saleh Agarwal 2002, bahwa ROS pada level yang tinggi dilaporkan berpotensi
toksik terhadap kualitas dan fungsi spermatozoa. Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara berat relatif testis,
konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. Pemberian TKI-RL pada dosis IF 4.5 dan 6 mgekorhari menyebabkan
penurunan berat relatif testis, konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik secara signifikan. Diduga, pemberian TKI-RL pada kedua dosis IF
tersebut terdapat pada konsentrasi tinggi dan berpotensi menimbulkan gangguan sehingga mengakibatkan terhambatnya perkembangan berat testis. Dalam hal ini,
pengaruh estrogen eksogen akibat pemberian TKI-RL dengan dosis tinggi adalah bersifat agonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target, yaitu dengan
memacu respon estrogen sehingga berpotensi untuk menimbulkan gangguan spermatozoa. Diduga, terjadi kerusakan pada membran plasma spermatozoa
sehingga membran tidak utuh dan terbentuk proses peroksidasi lipid yang berkepanjangan.
Menurut Sanocka Kurpisz 2004, tingginya hasil peroksidasi lipid dapat
mengganggu proses spermatogenesis, bahkan pada kondisi yang ekstrim mengakibatkan kasus infertilitas. Proses oksidasi pada membran sel spermatozoa
yang tidak dapat dicegah pada kelompok yang mendapat perlakuan cekok TKI-RL dengan dosis IF 4.5 dan 6 mgekorhari diduga mengakibatkan terhambatnya
proses spermatogenesis dan terganggunya produksi spermatozoa, sehingga menyebabkan berkurangnya konsentrasi spermatozoa. Hasil pengamatan
morfologi testis terhadap jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi mendukung data yang diperoleh dalam penelitian ini, di mana rendahnya berat
relatif testis diikuti oleh penurunan konsentrasi spermatozoa, dan mengakibatkan penurunan total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel
spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir. Rendahnya
138
jumlah sel spermatogenik menunjukkan bahwa proses spermatogenesis terganggu. Hal ini mengakibatkan mekanisme pelepasan butiran sitoplasma juga mengalami
gangguan, sehingga spermatozoa akan dilepaskan dari epitel sel benih dengan membawa kelebihan residu sitoplasma.
Secara keseluruhan, penurunan kualitas dan fungsi spermatozoa akibat pemberian TKI-RL pada dosis isoflavon tertinggi sebesar 6 mgekorhari
menghasilkan angka konsepsi 0 tidak terjadi kebuntingan pada tikus betina dari 5 ekor yang dikawinkan. Angka konsepsi 0 menunjukkan bahwa cekok TKI-RL pada
dosis IF 6 mgekorhari menyebabkan infertilitas pada tikus jantan. Kadar MDA tertinggi yang menunjukkan peningkatan peroksidasi lipid terlihat pada kelompok tikus
jantan yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 6 mgekorhari. Tingginya peroksidasi lipid akan mengurangi kapasitas spermatozoa untuk mengalami reaksi akrosom dan
fertilisasi, diduga karena hilangnya fluiditas membran, dan menurunnya permeabilitas membran, atau inaktivasi enzim yang terlibat dalam reaksi akrosom.
Akrosin dan hialuronidase adalah enzim yang terutama terlibat dalam reaksi akrosom Valcarcel
et al. 1997. Hialuronidase berfungsi untuk membuka dinding luar sel telur yang diselimuti oleh selapis sel kumulus ooforus, sedangkan akrosin
berfungsi untuk menembus membran luar sel telur zona pelusida dan menunjang penetrasi spermatozoa pada lendir serviksmulut rahim Soeharso 1985.
Kerusakan membran plasma spermatozoa akibat tingginya pembentukan ROS dilaporkan menyebabkan peroksidasi pada membran akrosom spermatozoa dan
mengurangi aktivitas akrosin Zalata et al. 2004, serta menurunkan kemampuan
spermatozoa untuk melakukan fusi dengan oosit Saleh et al. 2003; Tremellen
2008. ROS juga dapat mempengaruhi axonem spermatozoa akibat berkurangnya ATP, menghambat fungsi mitokondria, serta sintesis DNA, RNA dan protein pada
spermatozoa Griveau et al. 1995. Spermatozoa dengan DNA yang rusak tidak
dapat berperan pada proses fertilisasi karena diiringi dengan kerusakan peroksidatif pada membran plasma Kodama
et al. 1996. Sharma Agarwal 1996 menyatakan bahwa mekanisme yang bertanggung jawab terhadap
gangguan fusi spermatozoa dengan oosit meliputi berkurangnya fluiditas membran plasma sehingga mengubah aktivitas enzim-membran dan kanal ion
. Keadaan tersebut secara keseluruhan memberikan pengaruh negatif dan mengganggu
fertilitas tikus jantan yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 6 mgekorhari, terbukti dengan tidak terdeteksi adanya kebuntingan pada tikus betina tikus jantan menjadi
infertil. Menurut Evenson et al. 2002 diacu dalam Agarwal Said 2003, ketika
≥
30 DNA spermatozoa mengalami kerusakan karena struktur kromatin yang abnormal, tidak mungkin terjadi kehamilan pada betina.
139
Tikus jantan yang dicekok TKI-RL dosis IF 6 mgekorhari menghasilkan angka konsepsi pada tikus betina sebesar 0 tidak terjadi kebuntingan pada tikus
betina yang dikawinkan dengan tikus jantan perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis tersebut mengakibatkan kasus infertilitas pada tikus
jantan. Namun, pemberian TKI-RL pada dosis tersebut menghasilkan kadar hormon testosteron dan jumlah sel Leydig tertinggi. Salah satu fungsi hormon
testosteron yang disintesis oleh sel Leydig adalah mempengaruhi tingkat libido dan perkembangan kelenjar-kelenjar pelengkap organ reproduksi hewan jantan.
Robbins 1996 menyatakan bahwa tingkat libido yang rendah pada jantan berhubungan dengan rendahnya konsentrasi hormon testosteron, sehingga
semakin tinggi kadar hormon testosteron, libido juga semakin tinggi. Namun peningkatan kadar hormon testosteron dalam darah akan menyebabkan
mekanisme umpan balik negatif negative feedback mechanism terhadap hipofisis
sehingga produksi LH dan FSH menurun, sehingga mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis Hafez Hafez 2000.
Penurunan kualitas dan fungsi spermatozoa tikus jantan menjadi infertil akibat pemberian TKI-RL pada dosis IF 6 mgekorhari terlihat dari menurunnya
berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; meningkatnya butiran sitoplasma, serta kadar MDA
testis; menurunnya aktivitas enzim SOD testis; serta menurunnya kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal. Namun, penurunan kualitas
dan fungsi spermatozoa tersebut tidak mengganggu perilaku seksual atau tidak mengganggu libido tikus jantan. Hal ini didukung oleh data angka kopulasi pada
tikus betina sebesar 100 dan dihasilkannya kadar hormon testosteron tertinggi pada tikus jantan perlakuan.
Tidak terganggunya libido tikus jantan, dapat dijelaskan sebagai berikut : Tikus tergolong hewan poliestrus dan dalam kondisi estrus, tikus betina tidak
menolak untuk dinaiki hewan jantan. Dalam penelitian ini, tikus betina dalam kondisi estrus digabung dengan tikus jantan penentuan kondisi estrus dilakukan
melalui pengamatan ulas vagina. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kopulasi pada kelima kelompok tikus betina yang dikawinkan dengan kelima
kelompok jantan perlakuan sebesar 100. Terjadinya kopulasi terdeteksi dengan adanya spermatozoa pada vagina tikus betina melalui pengamatan ulas vagina.
Hal ini menunjukkan bahwa kelima kelompok tikus betina terbukti telah berhasil dikawini oleh kelima kelompok tikus jantan perlakuan, sehingga pemberian cekok
isoflavon pada keempat tingkatan dosis tidak berpengaruh negatif terhadap libido tikus jantan. Namun hasil pengamatan angka kebuntingan pada hari ke-15 H-15
sejak terdeteksi adanya spermatozoa, menunjukkan tidak terjadi kebuntingan pada
140
tikus betina yang dikawinkan dengan tikus jantan yang dicekok TKI-RL dosis IF 6 mgekorhari. Keadaan ini mengindikasikan bahwa tikus jantan menjadi infertil
akibat pengaruh perlakuan cekok TKI-RL dosis IF 6 mgekorhari. Dengan demikian disimpulkan bahwa cekok TKI-RL pada dosis IF 6 mgekorhari menyebabkan
kasus infertilitas, namun tidak berpengaruh terhadap penurunan libido tikus jantan.
141
KESIMPULAN UMUM Tepung kedelai kaya isoflavon, Zn dan Vitamin E Penelitian Tahap I
1. Terjadi interaksi secara sinergis antara tepung kedelai kaya isoflavon, Zn