Studi Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula Pada Stek Pucuk Jati Muna (Tectona grandis linn.f) Di Persemaian Akar Telanjang

STUDI APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA PADA
STEK PUCUK JATI MUNA (Tectona grandis Linn.F)
DI PERSEMAIAN AKAR TELANJANG

MUHAMMAD DLIYAUL UMAM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

STUDI APLIKASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
PADA STEK PUCUK JATI MUNA (Tectona grandis Linn.F)
DI PERSEMAIAN AKAR TELANJANG

MUHAMMAD DLIYAUL UMAM

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRACT
Muhammad Dliyaul Umam. The Study of Arbuscular Mycorrhizal Fungi
Application on Tip Cutting and Bare Root Nursery of Muna Teak (tectona
grandis linn.f) supervised by Irdika Mansur and Sri Wilarso Budi R
Teak (Tectona grandis Linn.F) is one of the most important tropical
timber species due to its reputation in quality. This research was conducted
under nursery condition to study the efficiency of FMA inoculation on bare root
nursery of teak. This study was set up in three parts. The first part research was
to study the efficacy of urea on increasing number of bud on hedge orchad. The
second part research was looking for optimum dosage of compost fertilizer and
its composition with humic acid on tip cutting of teak. This step was set up in
split plot design, the main plot was the addition of humic acid and the sub plot
was the addition of compost fertilizer. The last part was to study on two
inoculation methods of AMF and its effect on accelerating growth of teak on

bare root nursery. The result show that urea stimulated hedge orchad to
produce more buds. In second step research, the best treatment is the addition
of humic acid and 0,1 kilogram compost fertilizer per m3 media. Finally, mixing
inoculation system of FMA in bare root nursery provided better growth
compared with row inoculation system.
Key words : Tectona grandis, AMF, Hedge orchad, Tip cutting, Bare root

RINGKASAN
Muhammad Dliyaul Umam. Studi Aplikasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada Stek
Pucuk Jati Muna (Tectona grandis linn.f) di Persemaian Akar Telanjang.
Dibimbing oleh Irdika Mansur dan Sri Wilarso Budi R
Jati merupakan salah satu tanaman berkayu yang memiliki nilai ekonomi
tinggi. Kayu jati memiliki beberapa kelebihan, yaitu kuat, tahan lama, mudah
dikerjakan, tahan serangan rayap serta keindahannya yang membuat kayu
jenis ini digemari masyarakat. Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara adalah
salah satu penghasil kayu jati berkualitas. Hingga saat ini, populasi jati Muna
terus mengalami penurunan hingga sisa luasan 1000 ha, sehingga diperlukan
upaya konservasi terhadap populasi tersebut. Salah satu yang menjadi
masalah dalam upaya tersebut adalah ketersediaan benih yang terbatas.
Sementara itu, pengadaan bibit jati berkualitas saat ini masih mengandalkan

pembiakan generatif menggunakan biji. Sehubungan dengan permasalahan
tersebut, pembiakan vegetatif dapat dijadikan alternatif dalam penyediaan bibit
jati Muna berkualitas. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu
peningkatan produktivitas kebun pangkas, stek pucuk dan persemaian akar
telanjang. Penelitian di lakukan di Persemaian Tlogoarto II, Kelurahan Semplak,
Kecamatan Bogor Barat dan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan
IPB. penelitian dimulai bulan Mei hingga November 2007. Pada tahap stek
pucuk, penyiraman urea dengan dosis hingga 3 g/l mampu meningkatkan
jumlah tunas yang dihasilkan kebun pangkas. Peningkatan terhadap kontrol
pada pengamatan 4 minggu setelah pemangkasan sebesar 83,3% dan pada
pengamatan 6 minggu setelah pemangkasan 50%. Pada tahap stek pucuk,
penambahan asam humat 1000 ppm atau penambahan kompos dengan dosis
0,1 kg/ m3 media mampu meningkatkan kualitas semai jati hasil stek pucuk.
Pada tahap persemaian akar telanjang, metode inokulasi campur lebih tepat
untuk diaplikasikan dengan pertimbangan efektivitas terhadap kualitas bibit jati
dan kemudahan dalam pelaksanaannya. Berdasarkan pertimbangan
kepraktisan dan lebih kecilnya biaya yang diperlukan, metode persemaian
kombinasi stek pucuk dengan akar tekanjang pada media yang sama dapat
diaplikasikan untuk produksi bibit jati berkualitas.
Kata Kunci : Tectona grandis, FMA, kebun pangkas, stek pucuk, akar telanjang


PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jati merupakan salah satu tanaman berkayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Kayu jati memiliki beberapa kelebihan, yaitu kuat, tahan lama, mudah dikerjakan, tahan
serangan rayap serta keindahannya membuat kayu jenis ini digemari masyarakat.
Hingga saat ini kayu jati masih menjadi unggulan dibandingkan jenis kayu lainnya.
Selain dapat dimanfaatkan kayunya, jati juga menghasilkan beberapa hasil hutan non
kayu. Pepagan, akar dan daun yang masih muda menghasilkan zat pewarna yang
dapat digunakan untuk pewarna kertas, kain atau tikar. Bubuk kayu jati merupakan
bahan campuran dalam pembuatan dupa, serta minyak kayu jati dapat digunakan
sebagai bahan penyubur rambut (Sutisna et al. 1998).
Di Pulau Jawa, pengembangan dan pengelolaan jati adalah dalam bentuk
hutan tanaman. Sebagian besar dilakukan oleh Perum Perhutani dengan luas areal
kurang lebih 1.096.801 Ha, dengan produksi tahunan sebesar 0,8 juta m3 (Perhutani,
1999). Sementara permintaan kayu saat itu lebih dari 2,5 juta m3/tahun. Menurut
Leksono (2001), kekurangan pasokan kayu jati masih mengalami kekurangan lebih
dari 1,7 juta m3/tahun, baik di pasar domestik maupun ekspor. Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara adalah salah satu penghasil kayu jati berkualitas. Terdapat dua
jenis jati di Muna, yaitu jati Malabar Muna dan jati Muna. Jati Muna memiliki kekhasan

pada warna dan tren serat kayu yang artistik dan berbeda dengan kayu jati lainnya.
Hingga saat ini, populasi jati Muna terus mengalami penurunan sehingga diperlukan
upaya konservasi terhadap populasi tersebut. Salah satu yang menjadi masalah dalam
upaya tersebut adalah ketersediaan benih yang terbatas. Sementara itu, pengadaan
bibit jati berkualitas saat ini masih mengandalkan pembiakan generatif menggunakan
biji. Pembiakan ini memerlukan benih dalam jumlah besar karena viabilitas benih yang
rendah, sementara ketersediaan benih terbatas pada sedikitnya jumlah pohon induk
dan dipengaruhi musim berbuah. Sehubungan dengan permasalahan tersebut,
pembiakan vegetatif dapat dijadikan suatu alternatif dalam penyediaan bibit jati Muna
berkualitas.
Pembiakan vegetatif stek merupakan salah satu cara pengadaan bibit yang
paling murah dan mudah jika dibandingkan dengan pembiakan vegetatif lainnya
(Harahap, 1972). Stek adalah teknik pembiakan menggunakan bagian tanaman yang
dipisahkan dari induknya. Selanjutnya ditanam pada media dan kondisi yang telah
dimanipulasi untuk merangsang pertumbukan akar dan tunas sehingga dapat tumbuh

menjadi tanaman baru. Salah satu metode stek yang telah banyak dikembangkan
untuk jati adalah stek pucuk. Bahan yang digunakan dalam teknik ini adalah juvenil dari
tunas ortotrop (vertikal). Keberhasilan stek pucuk ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya umur bahan stek, media perakaran dan zat pengatur tumbuh untuk

merangsang perakaran (Faridah, 1999). Media perakaran yang umum digunakan
dalam stek pucuk adalah campuran pasir, kompos dan arang sekam dengan
perbandingan tertentu. Pada teknik pembibitan dengan stek pucuk, sistem perakaran
merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan kualitas bibit dari stek
pucuk. Pada umumnya rangsangan yang dilakukan berupa pemberian zat pengatur
tumbuh. Bahan tersebut hanya berfungsi pada saat inisiasi pembentukan akar.
Inokulasi fungi mikoriza juga dapat dijadikan suatu alternatif yang dapat meningkatkan
kualitas bibit dari stek pucuk melalui perbaikan struktur perakaran. Disebutkan dalam
Alimuddin (2006), fungi mikoriza dapat menginisiasi pembentukan akar adventif pada
beberapa spesies tanaman yang dibiakkan dengan stek pucuk. Selain itu, penggunaan
pupuk hayati ini dapat memberikan manfaat terhadap tanaman selama masa hidup
tanaman tersebut. Pada penelitian Alimuddin (2006), inokulasi FMA setelah dua
minggu penyetekan mampu meningkatkan jumlah dan panjang akar primer sebesar
66% dibandingkan tanpa inokulasi.
Pada umumnya, bibit jati tersedia dalam polibag, namun salah satu alternatif
berupa bibit akar telanjang dapat digunakan untuk menekan biaya pengadaan bibit.
Telah diketahui dari beberapa penelitian, penggunaan metode pembibitan akar
telanjang dapat menekan biaya produksi bibit hingga lebih 50% per bibit (Kusuma,
1996). Sementara itu penggunaan pembiakan stek pucuk juga dapat menekan biaya
penyediaan bibit dalam jangka panjang. Hal ini dapat dilihat dari bahan stek yang

dihasilkan dari satu bibit kebun pangkas adalah sekitar 5 bahkan lebih. Tunas yang
dihasilkan juga berkesinambungan hingga beberapa kali pemangkasan, sehingga
dapat meminimalisir biaya penyediaan benih dan pengecambahan. Dalam pembibitan
skala besar hal ini akan sangat menguntungkan. Menurut Young (1981), beberapa
keuntungan penggunaan bibit akar telanjang dibandingkan dengan bibit dalam wadah
yaitu : pengelolaan bibit di persemaian dapat dilakukan secara mekanis, hasilnya lebih
cepat, bibit lebih mudah diangkut dan perakaran tidak tergulung sehingga tidak
mengganggu pertumbuhannya dilapangan. Dalam penelitian ini, metode pembibitan
yang digunakan adalah stek pucuk dengan aplikasi mikoriza pada media stek yang
selanjutnya sekaligus dijadikan media persemaian akar telanjang.

Perumusan Masalah
Pada umumnya pengadaan bibit jati menggunakan pembiakan generatif dari
benih yang dikecambahkan pada media pasir, lalu disapih pada polibag dengan
komposisi media tertentu. Permasalahan dalam pembibitan generatif adalah
ketersediaan benih yang terbatas, produksi benih yang rendah karena tergantung
musim berbuah dan rendahnya viabilitas benih. Sementara saat ini keberadaan pohon
induk penghasil benih jati Muna telah mengalami degradasi hingga jumlah yang tersisa
kurang dari 1000 ha (Husna, 2005 diacu dalam Alimuddin, 2006), sehingga diperlukan
teknik pembibitan alternatif yang tidak bergantung pada ketersediaan benih. Beberapa

penelitian pembiakan vegetatif stek pucuk dan persemaian akar telanjang secara
terpisah telah banyak dilakukan. Metode tersebut memiliki banyak kelebihan
dibandingkan metode pembibitan yang umum digunakan saat ini. Selain kepraktisan
dalam pelaksanaannya juga biaya yang diperlukan lebih murah. Penelitian-penelitian
sebelumnya telah mendapatkan hasil pada beberapa bagian atau tahap-tahap dari
metode tersebut. Pada penelitian ini, permasalahan yang akan dibahas adalah
keefektifan metode pembibitan jati dengan stek pucuk dalam satu media yang
sekaligus dijadikan persemaian akar telanjang. Dalam pembibitan ini tidak diperlukan
penyapihan semai. Pada masing-masing tahap penelitian yang berkaitan dengan
penyediaan bibit melalui stek pucuk dan akar telanjang, diupayakan pemenuhan
semua kebutuhan bahan stek dan semai, sehingga didapatkan komposisi optimum dari
bahan-bahan tertentu yang diperlukan tanaman. Selain itu, juga untuk mengamati
respon semai jati terhadap beberapa metode inokulasi FMA, pemberian asam humat
serta pupuk kompos Subur Ijo dengan dosis tertentu. Dari keseluruhan pengamatan
diharapkan suatu metode pembibitan yang dapat diaplikasikan untuk pembibitan jati
berkualitas dalam skala besar dengan metode yang mudah dan biaya produksi yang
lebih murah.

Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mendapatkan dosis optimum urea untuk

merangsang tunas baru yang dihasilkan kebun pangkas, 2) Mengkaji kombinasi
metode pembibitan jati stek pucuk dan akar telanjang, 3) Mengkaji efektivitas
penggunaan asam humat dan kompos dalam penyiapan media persemaian jati, dan 4)
Mendapatkan teknik inokulasi FMA untuk persemaian jati akar telanjang.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mendapatkan suatu teknik
baru dalam pembibitan jati berkualitas dengan perlakuan tertentu yang lebih murah
dan mudah dalam pengerjaannya.

Hipotesis
1. Pemberian urea dapat meningkatkan jumlah tunas bibit jati yang dihasilkan
kebun pangkas.
2. Metode persemaian akar telanjang dapat digunakan untuk produksi bibit jati.
3. Penambahan kompos dan asam humat dengan dosis tertentu dapat
meningkatkan pertumbuhan semai.
4. Inokulasi FMA dengan teknik jalur merupakan teknik yang efisien pada
persemaian kombinasi stek pucuk dan akar telanjang.

TINJAUAN PUSTAKA
Jati
Jati (Tectona grandis L.f.) termasuk famili Verbenaceae. Di Indonesia, jati

dikenal dengan nama yang berbeda-beda, diantaranya deleg, dodokan, jate, jatih,
jatos, kiati, dan kulidawa. Sedangkan di negara lain dikenal dengan nama giati
(Venezuela), teak (Inggris), teck (Prancis), teca (Spanyol), kyun (Myanmar), sagwan
(India), maisak (Thailand) dan tea (Brasil). Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati
termasuk

kedalam

divisi

Spermathophyta,

kelas

Angiospermae,

sub-kelas

Dicotyledoneae, ordo Verbenales, famili Verbenaceae dan genus Tectona (Sumarna
2001).

Pohon jati dapat mencapai tinggi 45 m dengan tinggi bebas cabang 15-20 m,
diameter pada umumnya adalah 50 cm, namun dapat juga mencapai 200 cm lebih.
Bentuk batang tidak teratur dan beralur. Ukuran daun jati antara 25-50 cm dengan
lebar 15-35 cm (Martawijaya et al. 1981). Warna daun hijau hingga hijau tua, dengan
bagian atas yang kasar serta posisi daun berlawanan atau opposite (Keiding, 1995).
Pohon jati mempunyai percabangan yang melebar dan menyebar. Ciri khas jati lainnya
adalah ranting segi empat, serta perbungaan yang berbentuk payung menggarpu
dengan banyak bunga (Sutisna et al. 1998). Pada musim kemarau, jati akan
menggugurkan daunnya untuk mengurangi penguapan. Jika kadar kelembaban
atmosfer tinggi, maka jati akan mempertahankan daunnya (Cordes, 1992). Mahfudz
(2004) menjelaskan bahwa jati mulai berbunga setelah menggugurkan daun. Bunga
jati muncul selama musim hujan.
Penyebaran jati di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Selain itu juga di Pulau
Muna, Maluku dan Nusa tenggara. Sedangkan di luar Indonesia adalah di India,
Burma, Thailand dan Vietnam (Dirjen Kehutanan, 1976). Jati tumbuh baik di daerah
dengan musim kering yang nyata, tipe curah hujan C sampai F dengan rata-rata hujan
1.200 - 2.000 mm/th dan ketinggian tempat sampai 700 mdpl. Secara alami jati
ditemukan pada berbagai formasi geologis, antara lain batu pasir dan batu kapur
(Sastrosumarto dan Suhaendi, 1985). Tanah yang paling cocok untuk jati adalah
aluvial-koluvial yang dalam, berdrainase baik, subur dengan pH 6,5 - 8,0 dan
kandungan Ca dan P yang cukup tinggi. Jati tidak tahan genangan atau laterit miskin
hara (Sutisna et al. 1998).
Di hutan Muna, jati tumbuh sempurna di lahan-lahan berkapur. Sekurangkurangnya tersimpan kayu jati logs sebesar 21,1 ribu meter per kubik pada 2004. Balai

Penelitian Kehutanan Sulawesi di Makassar menyebutkan kayu jati Muna memiliki
empat keunggulan, yang meliputi kekuatan, kerapatan, kekerasan, serta fisik kimia.
Perbedaan kayu jati Muna dari jati Cepu adalah pada segi warna. Jati Muna lebih
gelap dibandingkan jati Cepu. Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara mengatakan
bahwa jati Muna memiliki kekhasan tekstur serat yang indah, hal ini yang juga
membedakannya dengan jati dari daerah lain. Pemerintah Muna mengklaim daerahnya
sebagai penghasil jati terbaik di Indonesia (Aminuddin, 2006).
Jati merupakan salah satu tanaman berkayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Jenis kayu ini termasuk kelas awet I dan kelas kuat II (Dirjen Kehutanan 1976). Kayu
jati sangat baik untuk berbagai keperluan konstruksi berat hingga perabot rumah
tangga. Kayu jenis ini memiliki penampakan yang cukup baik, kembang susut sedikit
serta kemudahan dalam pengerjaannya (Martawijaya et al. 1981). Jati menghasilkan
kayu yang serba guna serta memiliki ketahanan terhadap bahan kimia. Selain itu,
pepagan akar dan daun yang masih muda menghasilkan zat pewarna yang dapat
digunakan untuk pewarna kertas, kain atau tikar. Bubuk kayu jati merupakan bahan
campuran dalam pembuatan dupa. Serta minyak kayu jati dapat digunakan sebagai
penyubur rambut (Sutisna et al. 1998).
Jati dapat dibiakkan dengan cara generatif dan vegetatif. Cara generatif yaitu
dengan mengecambahkan benih jati di pembibitan atau dapat juga langsung ditanam
di lapangan. Untuk mendapatkan pohon jati berkualitas, pemilihan dan asal usul benih
untuk pembibitan harus jelas. Beberapa kriteria untuk benih pembibitan yang baik
adalah sebagai berikut : 1) pohon induk memiliki penampakan luar yang baik, sehat
dan bertajuk rindang, 2) benih sudah matang atau siap panen (September –
November), 3) diameter biji minimal 14 mm, dan 4) benih berasal dari tegakan yang
berumur 20 tahun pada bonita yang baik dan 30 tahun pada bonita yang kurang baik
(Mahfudz et al. 2003). Teknik vegetatif yang sering digunakan untuk jati adalah stek,
okulasi dan kultur jaringan. Teknik ini mengembangbiakkan jati menggunakan jaringan
vegetatifnya, anakan yang diperoleh akan memiliki kesamaan genetik dengan
induknya.

Pembiakan Vegetatif
Pembiakan vegetatif dilakukan dengan menggunakan jaringan vegetatif pada
tanaman tanpa melibatkan proses pembuahan (Supriyanto, 1996). Bagian vegetatif
yang dapat digunakan yaitu akar, batang, daun, pucuk, jaringan bunga, jaringan
meristem dan sel. Soerianegara dan Djamhuri (1979) menjelaskan, tanaman dapat

dikembangbiakkan secara vegetatif karena memiliki sifat totipotensi dan dediferensiasi
sel. Totipotensi adalah terdapatnya informasi genetik pada sel tanaman yang
diperlukan

untuk

tumbuh

dan

berkembang

menjadi

individu

yang

lengkap.

Dediferensiasi sel adalah proses dimana sel-sel pada tanaman mempunyai
kemampuan untuk kembali pada kondisi meristematik. Proses pembentukan tanaman
dari pembiakan vegetatif adalah : 1) tanaman yang dilukai/dipotong akan mengalami
pembelahan mitosis, pembelahan sel menghasilkan dua sel anak yang sama/identik
dengan induknya (2n), 2) selanjutnya dari sel yang baru akan terbentuk kalus. Kalus
merupakan masa sel yang tidak beraturan yang belum terdeferensiasi. Kemudian selsel baru tersebut akan terdeferensiasi sehingga terbentuk akar dan tunas tanaman
baru. Beberapa alasan dilakukannya pembiakan vegetatif pada tanaman adalah :
1. Kendala dalam produksi benih serta viabilitas benih yang rendah
2. Reproduksi tanaman steril
3. Menyediakan klon dengan sifat-sifat kombinasi yang diinginkan
4. Perlindungan individu-individu tertentu.
Jati memiliki karakteristik outbreeding dalam pembuahannya serta distribusinya
luas, sehingga dalam pembiakan melalui benih memiliki tingkat variasi yang tinggi
(Mascarenhas et al. 1993 diacu dalam Dewi 2002). Dari variasi tersebut dapat
dilakukan seleksi untuk mendapatkan klon-klon dengan sifat yang diinginkan.
Pembiakan vegetatif untuk jati dapat dilakukan dengan teknik okulasi, stek
pucuk dan kultur jaringan. Penyetekan dapat diartikan suatu perlakuan pemotongan
atau pemisahan beberapa bagian tanaman seperti batang, akar tunas dan daun,
dengan tujuan agar bagian-bagian tersebut akan membentuk akar. Beberapa
keuntungan dari stek adalah pengerjaannya cepat, murah dan mudah. Bagi tanaman
induk akan tumbuh kembali dengan cepat tanpa adanya perubahan genetis (Hartman
dan Kester, 1997 dan Rochiman dan Harjadi, 1973). Dalam stek pucuk, tunas yang
diambil dari tunas ortotrop (tunas vertical), bukan plagiotrop (tunas ke samping). Dari
tunas ortotrop ini diharapkan membentuk satu batang pokok ke atas (Yasman dan
Smith, 1988).
Secara umum tujuan dilakukan penyetekan adalah merangsang terbentuknya
akar. Pembentukan akar terjadi karena adanya pergerakan ke bawah dari auksin,
karbohidrat dan rooting cofaktor (zat-zat yang berinteraksi dengan auksin yang
menghasilkan perakaran) baik dari tunas maupun daun. Ketiga zat tersebut yang
menstimulir perakaran. Proses pembentukan akar dimulai dengan pembelahan sel
meristem yang terletak di antara atau di luar jaringan pembuluh. Kemudian sel

memanjang, membentuk sel-sel kembali sehingga lebih banyak sel yang akan
berkembang menjadi akar bagian sel yang membelah dan akan membentuk ujung akar
(root tip) tumbuh terus melewati korteks dan epidermis, kemudian muncul di bagian
batang menjadi akar adventif (Rochiman dan Harjadi, 1973). Lebih lanjut menurut
Hartman dan Kester (1997), proses pembentukan dan perkembangan akar terdiri dari
empat tahap, yaitu :
1. Induksi, bergabungnya sel-sel yang mempunyai fungsi khusus yang sama.
2. Inisiasi awal, pembentukan bakal akar dari sel-sel tertentu dan jaringan vaskular
(pembuluh). Dalam proses ini diperlukan auksin dengan konsentrasi tinggi.
3. Inisiasi akhir, pembentukan bakal akar pada stek dan tersusunnya akar primordial.
Pada proses ini suplai ethilen makin tinggi, namun dihambat oleh kurangnya berat
dan konsentrasi auksin yang tinggi.
4. Selanjutnya adalah pertumbuhan dan munculnya akar primordial yang keluar
melalui jaringan batang ditambah pembentukan sambungan pembuluh antara akar
primordial dengan jaringan pembuluh dari stek itu sendiri.
Faktor penentu keberhasilan stek secara umum dikelompokkan menjadi faktor
internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari : ketersediaan air, cadangan makanan
(C/N rasio), hormon endogen, umur tanaman dan jenis tanaman. Faktor eksternal
terdiri dari : media perakaran, kelembaban udara, suhu, intensitas cahaya, teknik
penyiapan stek (Supriyanto, 1996).
Persemaian Akar Telanjang
Produksi bibit akar telanjang adalah dengan menumbuhkan bibit langsung pada
bedeng tanpa menggunakan wadah (Polybag, Potray). Bibit akar telanjang merupakan
bibit cabutan dengan akar tunggang dan akar cabang terlihat jelas, pada akarnya
dilakukan pemangkasan secara berkala selama dipersemaian (Djapilus, 1990). Pada
persemaian akar telanjang perlu adanya perlakuan pemangkasan akar secara berkala.
Hal ini bertujuan untuk mendapatkan akar serabut yang banyak dan kompak, sehingga
didapatkan keseimbangan rasio pucuk akar (Evans, 1992). Rasio pucuk akar akan
sangat berpengaruh pada saat penanaman bibit di lapangan. Menurut Djapilus (1990),
pemangkasan akar bertujuan untuk merangsang tumbuhnya akar baru, akar serabut
dan akar rambut yang banyak, Sehingga bidang penyerapan akar menjadi lebih besar.
Bibit akar telanjang untuk tanaman industri berskala besar akan lebih efisien
dibandingkan dengan penggunaan bibit dalam wadah. Biaya (cost) yang dikeluarkan
untuk persemaian akar telanjang, pengangkutan dan penanaman dapat diminimalisir

serta lebih mudah dalam pengerjaan yang tidak perlu menyediakan wadah perbibit
(Djapilus, 1990). Menurut Kusuma (1996) pengadaan bibit Pinus merkusii dengan
sistem akar telanjang memberikan keuntungan 50% untuk penanaman selanjutnya.
Hal ini juga didukung dengan dapat digunakannya media sapih secara berulang kali.
Menurut

Young

(1981),

keuntungan

penggunaan

bibit

akar

telanjang

dibandingkan dengan bibit dalam wadah adalah; pengelolaan bibit di persemaian dapat
dilakukan secara mekanis, hasilnya lebih cepat, bibit mudah diangkut dan perakaran
tidak tergulung sehingga tidak mengganggu pertumbuhannya dilapangan. Kekurangan
bibit akar telanjang adalah diperlukannya tenaga pengelola yang memiliki keahlian,
terutama dalam pemangkasan akar (Djapilus, 1990). Menurut Broemsen (1981),
permasalahan bibit akar telanjang adalah saat pemangkasan akarnya dengan
penanganan yang tidak tepat dapat menyebabkan akar mudah diserang patogen.
Pemupukan
Pemupukan bertujuan untuk memelihara dan memperbaiki kesuburan tanah
dengan memberikan zat-zat kepada tanah yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat menyediakan kebutuhan tanaman. Pemupukan dapat didefinisikan
sebagai usaha pemberian pupuk yang bertujuan untuk memperbaiki ketersediaan
unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga dapat meningkatkan produksi dan
mutu hasil yang diperoleh (Syarief, 1995). Untuk keberhasilan pemupukan, faktorfaktor yang perlu diperhatikan adalah :
1. Keadan tanah (sifat fisik dan kimia)
2. Keadaan wilayah (iklim, topografi dan erosi)
3. Tingkat kebutuhan tanaman (jenis, umur dan keadaan tanaman)
Pupuk yang umum digunakan dalam pembibitan adalah pupuk dasar NPK dan
pupuk kompos. Pupuk dasar NPK memenuhi kebutuhan akan unsur N (nitrogen), P
(fosfor), dan K (kalium). Fungsi utama N adalah merangsang pertumbuhan tanaman
secara keseluruhan, juga berperan dalam pembentukan hijau daun untuk fotosintesis,
pembentukan protein dan asam nukleat. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan
tanaman adalah 2%-4% berat kering. Dalam tanah, kadar nitrogen sangat bervariasi
tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut. Fungsi fospor bagi
tanaman : 1) berperan penting di dalam transfer energi di dalam sel tanaman (misal :
ADP, ATP), 2) berperan dalam pembentukan membran sel (misal : lemak fosfat), 3)
berpengaruh terhadap struktur K+, Ca2+, Mg2+ dan Mn2+ terutama terhadap fungsi
unsur-unsur tersebut mempunyai kontribusi terhadap stabilitas struktur dan konformasi

makro molekul, misalnya : gula fospat, nukleitida dan koenzim. Tanaman menyerap
fospor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4-) dan ion ortofospat skunder
(HPO4=). Kadar optimal fospor dalam tanaman pada saat pertumbuhan vegetatif
adalah 0,3%-0,5% dari berat kering tanaman. Fungsi kalium antara lain : Membentuk
dan mengangkut karbohidrat, Sebagai katalisator dalam pembentukan protein,
Mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, Menetralkan reaksi dalam sel terutama dari
asam organik, Menaikkan pertumbuhan jaringan meristem, Mengatur pergerakan
stomata, Memperkuat tegaknya batang (karena turgor) sehingga tanaman tidak mudah
roboh, Mengaktifkan enzim baik langsung maupun tidak langsung. Meningkatkan
kualitas buah karena bentuk, kadar, dan warna yang lebih baik, Menjadi lebih tahan
terhadap hama dan penyakit, Perkembangan akar tanaman (Zekri dan Obreza, 2003).
Kadar kalium dalam tanaman yaitu sekitar 1,0%.
Kompos merupakan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk. Selain
memenuhi kebutuhan hara, kompos juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi
tanah. Mikroba-mikroba yang bermanfaat pada tanaman dapat hidup dengan subur
(Widianto, 1996). Kompos merupakan bahan organik yang telah melapuk yang
umumnya berasal dari daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak
padi, carang-carang serta kotoran hewan (Murbandono, 1993). Pengomposan dapat
dipercepat dengan perlakuan tertentu, sehingga didapatkan kompos yang berkualitas
baik dalam waktu tidak terlalu lama. Murbandono (1993) lebih lanjut menjelaskan
bahwa bahan organik yang telah terkompos dengan baik memiliki banyak peranan,
antara lain : 1) memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga struktur tanah akan
lebih

baik,

2)

meningkatkan

kemampuan

tanah

dalam

menyerap

air

dan

menyediakannya untuk tanaman, 3) memperbaiki drainase dan tata udara tanah, dan
4) meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat hara sehingga tidak mudah terjadi
leaching. Kompos dapat memperbaiki sifat kimia, biologi dan terutama sifat fisik tanah.
Kompos juga mampu menyediakan unsur hara seperti K, N, P, Mg, Fe, S, Mn, dan Cu.
Jumlah populasi mikroorganisme dapat meningkat akibat pemberian kompos
(Rismayadi, 1995).
Asam Humat
Bahan humat merupakan suatu campuran rumit yang terdiri dari berbagai zat.
Di dalam kompleks ini terdapat sebagian kecil zat organik yang larut air, seperti asam
amino dan gula. Bagian terbesarnya terdiri atas bahan berwarna gelap yang tidak larut
air, dan bagian ini terbagi ke dalam tiga fraksi yaitu asam humat, asam fulfat dan

humin (Imas dan Setiadi, 1988). Istilah humat berasal dari Berzelius yang pada tahun
1830 menggolongkan fraksi humat dalam tanah menjadi : 1) Asam humat, yaitu fraksi
yang larut dalam basa, tidak larut dalam asam dan alkohol, 2) Asam krenik dan
apokrenik (asam fulfik), yang larut dalam air, 3) Humin, bagian yang tidak larut. Bahan
humat menempati 70 – 80% dari bahan organik dalam hampir semua tanah mineral.
Bahan ini terbentuk dari hasil pelapukan sisa tanaman dan hewan dari aktivitas sintetik
mikroorganisme. Salah satu karakteristik dari bahan humat adalah kemampuannya
berinteraksi dengan ion logam, oksida, hidroksida, mineral dan organik, membentuk
asosiasi baik yang larut dalam air maupun tidak larut air dari berbagai stabilitas kimia
dan biologi yang berbeda. Interaksi ini dijabarkan sebagai reaksi pertukaran ion,
jerapan permukaan, pengkelatan, peptisasi dan koagulasi (Huang dan Schnitzer,
1997).
Asam humat adalah molekul berantai panjang yang molekulnya berwarna gelap
dan larut dalam larutan alkalin. Asam humat diyakini berasal dari dekomposisi lignin
atau karbohidrat tanaman yang membusuk, sehingga asam humat kaya akan karbon,
yaitu berkisar antara 41% hingga 57%. Bahan ini juga mengandung nitrogen dan
bahan organik (Robinson, 1995). Asam humat sering didefinisikan sebagai bagian dari
bahan humat yang tidak larut dalam air dalam kondisi asam, tetapi larut pada kondisi
basa. Asam humat dapat diekstrak dari tanah oleh berbagai reagent yang tidak terlarut
dalam kondisi asam. Asam humat merupakan komponen utama dari bahan humat
dalam tanah yang berwarna coklat gelap hingga hitam. Asam organik ini berperan
dalam meningkatkan permeabilitas membran, meningkatkan produksi klorofil dan
fotosintesis, memperlancar sintesis protein, menstimulasi hormon dan meningkatkan
aktivitas enzim (Bio Flora International Inc., 1997).
Menurut

Goenadi

(1999),

pengaruh

spesifik

asam

humat

terhadap

pertumbuhan tanaman meliputi : melarutkan unsur hara mikro (seperti Fe, Zn dan Mn)
serta makro (seperti K dan Ca). Kemampuan ini karena asam humat memiliki gugusgugus karboksil dan fenolik hidroksil yang merupakan aktifator pertukaran kation dan
kompleks (Tan, 1991). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa asam humat memiliki
kemampuan meningkatkan serapan hara tanaman. Seperti pada penelitian Riniarti
(2002), interaksi antara asam humat dengan inokulum spora mikoriza menghasilkan
kolonisasi ektomikoriza yang terbaik. Selain pada kolonisasi ektomikoriza, perlakuan
asam humat juga meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter serta berat kering pada
jenis Shorea schefferiana Hance.

Fungi Mikoriza Arbuskula
Mikoriza adalah suatu struktur bentuk hubungan simbiosis mutualistis antara
fungi (mykes) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tinggi (Setiadi, 2007). Asosiasi antara
fungi mikoriza dan akar sebenarnya adalah bentuk parasitisme dimana fungi
menyerang perakaran tetapi tidak sebagaimana parasit yang berbahaya (patogen).
Dalam hal ini fungi tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya tetapi
memberikan keuntungan kepada tanaman inang dan sebaliknya fungi dapat
memperoleh karbohidrat hasil fotosintesis dari inang (Setiadi, 1992). Namun dalam
beberapa kasus yang disebutkan dalam Nusantara (2007), terdapat pengaruh
simbiosis yang bersifat netral dan bersifat parasit. Hal tersebut bergantung pada
spesies inang, spesies FMA serta kondisi lingkungan. Berdasarkan struktur tumbuh
dan cara infeksinya pada sistem perakaran, mikoriza dikelompokkan dalam dua
golongan besar yaitu ektomikoriza dan endomikoriza.
Ektomikoriza terbentuk bila fungi melakukan penetrasi terhadap sel akar yang
hidup pada jaringan epidermis dan korteks. Umumnya hanya akar muda yang dapat
terinfeksi. Akar yang terinfeksi akan memiliki diameter lebih besar daripada akar yang
tidak terinfeksi dan kehilangan rambut-rambut akar. Hal ini karena adanya struktur
mantel yang terbentuk menyelimuti permukaan akar. Mantel sebenarnya kumpulan
miselium yang memadat dan sudah termodifikasi sesuai fungsinya. Selain mantel,
struktur yang terbentuk dari simbiosis ektomikoriza adalah hartig net yang terdapat
diantara sel epidermis dan sel korteks sampai pada batas endodermis (Wulandari,
2007). Simbiosis ektomikoriza memberikan manfaat bagi inang dalam meningkatkan
penyerapan hara serta meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dan serangan
beberapa patogen akar (Setiadi, 2007)
Simbiosis mutualis antara fungi endomikoriza dengan tanaman dibentuk pada
akar yang bersentuhan dengan propagul fungi. Struktur yang terbentuk berupa
arbuskula sebagai tempat aktivitas enzim fosfatase tertinggi (Van Aarle et al. 2005),
hifa intra dan ekstra radikal yang berfungsi meningkatkan efisiensi penyerapan air dan
hara serta sebagai tempat pertukaran dengan fotosintat dari inang, dan struktur
vesikula yang kaya kandungan lemak (Nusantara, 2007).
Penggunaan fungi mikoriza sebagai pupuk hayati diperkirakan akan menjadi
alternatif teknologi masa depan. Manfaat yang dihasilkan tidak hanya terbatas pada
dua simbion saja, namun juga bermanfaat terhadap ekosistem dan lingkungan. Bagi
ekosistem dan lingkungan, selain tidak adanya pengaruh negatif dan tidak
menyebabkan polusi, mikoriza memiliki peran penting dalam siklus hara, memperbaiki

struktur tanah serta membebaskan karbohidrat dari akar terhadap organisme tanah
lain. Selain itu, hifa mikoriza mampu mengkonversi hara agar tidak hilang dari
ekosistem (Mansur, 2007). Juga dijelaskan dalam Bronick et al (2005) akar dan hifa
mampu mengikat partikel-partikel menjadi satu kesatuan sembari melepaskan
senyawa-senyawa organik yang merekatkan partikel-partikel tersebut, dimana hal ini
berdampak positif dalam penangkapan karbon oleh tanah. Serta Driver et al (2005)
menjelaskan bahwa FMA mampu memproduksi glomalin (protein tanah) dan hifa FMA
merupakan media utama dalam pelepasan protein tersebut ke tanah.
Manfaat biologis mikoriza terhadap tanaman dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Perbaikan nutrisi dan peningkatan pertumbuhan
Tanaman bermikoriza umumnya tumbuh lebih baik daripada yang tidak
bermikoriza. Hal ini karena dengan hifanya mikoriza secara efektif dapat
meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur mikro. Selain
itu, akar bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak
tersedia untuk tanaman. Fungi mikoriza membantu penyerapan fosfor tak tersedia
menjadi tersedia bagi tanaman, hal ini karena adanya jaringan hifa yang menyebar
dan adanya aktivitas fosfatase pada hifa tersebut (Van Aarle et al. 2005).
2. Pelindung hayati
Dalam penelitian De La Pena et al (2006) dan Hol et al (2005), tanaman pastura
yang sebelumnya telah diinokulasi FMA secara signifikan menurunkan kolonisasi
dan produksi nematoda pada akar. Pada penelitian Hao et al (2005), inokulasi
FMA pada mentimun mampu meredukasi permeabilitas membran dan mengurangi
luasnya kerusakan yang disebabkan Fusarium oxysporum. Fungi mikoriza dapat
berfungsi sebagai pelindung biologi terhadap serangan infeksi patogen akar.
Mekanisme perlindungan terhadap patogen akar adalah sebagai berikut (Setiadi,
1988) :


Adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik terhadap masuknya patogen



Fungi mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan
eksudat akar lainnya, sehingga kondisi lingkungan menjadi tidak cocok untuk
patogen



Fungi mikoriza dapat menghasilkan antibiotik

3. Meningkatkan resistensi terhadap kekeringan
Banyak penelitian yang telah membuktikan kemampuan FMA dalam meningkatkan
ketahanan inang terhadap kekeringan. Pada penelitian Muok et al (2006),
Querejeta et al (2006) dan Subramanian et al (2006) disebutkan inokulasi Glomus

sp. mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap lingkungan semi arid. Dari
keseluruhan penelitian disebutkan kolonisasi FMA mempengaruhi status hara
inang, status air pada pertumbuhan kondisi lapangan, dan mampu mengubah pola
aktivitas fisiologis tanaman pada saat cukup air dan pada saat terkena cekaman
kekeringan.
Hifa FMA mampu menyerap air pada pori-pori tanah, pada saat akar tanaman
sudah kesulitan memanfaatkannya. Selain itu, penyebaran hifa dalam tanah
sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak (setiadi, 1988).
4. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan
Salah satu fungsi khas dari FMA dibandingkan dengan fungi mikoriza tipe lainnya
adalah kemampuannya berasosiasi dengan hampir 90% jenis tumbuhan.
Sehingga FMA juga memiliki peran penting dalam mempertahankan stabilitas
keanekaragaman tumbuhan melalui transver nutrisi dari satu akar ke akar
tanaman lainnya.
Dalam bersimbiosis dengan jati, FMA memiliki infektivitas dan efektivitas yang
tinggi. Dari beberapa penelitian dilaporkan inokulasi FMA genus Glomus pada semai
jati mampu meningkatkan pertumbuhan dan kualitas jati di persemaian. Pada
penelitian Turjaman et al (2003) dilaporkan

peningkatan kualitas semai jati asal

Jatiroto dengan adanya inokulasi Glomus manihotis dan Glomus aggregatum. Juga
dilaporkan dalam Faizal (2005) dan Umam (2005), peningkatan kualitas semai jati
Cepu dan jati Muna dengan adanya inokulasi Glomus etunicatum. Pada penelitian Arif
(2006), dilaporkan peningkatan kualitas semai jati Muna dengan adanya inokulasi
Glomus etunicatum dan Glomus sp.

METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur, Departemen Silvikultur,
Fakultas Kehutanan IPB dan Persemaian Tlogoarto II di Kelurahan Semplak,
Kecamatan Bogor Selatan. Persiapan penelitian berlangsung selama dua minggu
dengan kegiatan persiapan materi stek pucuk, pembuatan sungkup dan bedeng stek
serta persiapan media. Penelitian dimulai bulan Mei 2007 hingga pengamatan terakhir
bulan November 2007.

Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : bibit jati Muna umur 1
tahun (untuk kebun pangkas dan bahan stek pucuk), pupuk urea, pupuk kompos Subur
Ijo, asam humat, rootone-F, larutan IBA, inokulum FMA Glomus etunicatum, media
perakaran untuk stek dan akar telanjang (pasir dan tanah), zeolit, KOH 2,5%, HCl 2%,
trypan blue, asam laktat, gliserol, larutan PVLG dan melzer.
Alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah : gelas plastik, cutter, gunting stek,
pisau blade nomor 11, hand sprayer, ember, timbangan elektrik, mikroskop, sentrifuse,
gelas ukur, Plastik bening, paranet, bambu, golok, gergaji, strimin, kawat bendrat,
paku, kaliper, mistar dan alat tulis menulis.

Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap pengamatan, yaitu : 1. Pengamatan kebun
pangkas, 2. Pengamatan stek pucuk dan 3. Pengamatan aplikasi akar telanjang dan
inokulasi FMA. Hasil pengamatan pada tahap kedua akan digunakan pada tahap
ketiga.
Kebun Pangkas
Pengamatan kebun pangkas dilakukan berdasarkan dosis pemberian urea
pada bibit jati yang dipangkas. Perlakuan terdiri dari : 1) Kontrol, 2) Urea 1 gram/liter,
3) Urea 2 gram/liter, 4) Urea 3 gram/liter. Pada masing-masing perlakuan dilakukan
pengamatan pada 4 bibit, dan pengulangan dilakukan sebanyak enam kali. Sehingga
total bibit dalam pengamatan ini adalah 4 x 4 x 6 = 96 bibit.
Penyiraman urea dilakukan pada pagi hari setelah pemangkasan pucuk bibit
jati. Penyiraman urea pada masing-masing 8 bibit adalah sebanyak 1 liter. Penyiraman

dengan urea langsung diikuti dengan penyiraman dengan sedikit air tanpa urea,
terutama pada bagian yang luka karena dipangkas. Pengamatan dilakukan setelah 4
minggu dan setelah 6 minggu. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas baru dari
tiap bibit.
Rancangan percobaan dalam pengamatan ini menggunakan rancangan acak
lengkap. Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik, 2002):
Yij = μ + τi + εij
Yij
μ
τi
εij

=
=
=
=

pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
rataan umum
pengaruh perlakuan ke-i
pengaruh acak perlakuan ke-i ulangan ke-j

Analisis keragaman dilakukan dengan menggunakan personal komputer
program Costat. Serta untuk mengetahui adanya pengaruh yang berbeda dalam
masing-masing perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan.
Stek Pucuk
Pada tahap ini dilakukan pengamatan stek pucuk dengan pemberian asam
humat dan pupuk kompos Subur Ijo. Beberapa kelebihan pupuk kompos subur ijo
adalah : proses dilakukan secara steril sehingga bebas hama penyakit dan biji gulma,
aman digunakan pada tanaman muda dan berguna sebagai pengganti pupuk kandang
yang penggunaannya lebih praktis. Komposisi unsur hara pupuk kompos Subur Ijo
adalah sebagai berikut : N (3%), P2O5 (5%), K2O (3%), Ca (6,81%), serta beberapa
unsur makro dan mikro lainnya berkisar antara 0,1 hingga 0,95%. Pupuk kompos ini
memiliki nilai KTK sebesar 75,65 me/100 g dan pH 8.
Bahan stek jati Muna diperoleh dengan cara pemotongan pada bibit atau semai
jati. Panjang bahan stek adalah sekitar 2-3 cm. Setiap stek mempunyai dua ruas dan
pemotongan stek dilakukan pada ruas yang kedua secara miring sekitar 450. Bahan
stek yang telah dipotong langsung dimasukkan dalam ember berisi air. Di dalam air,
daun-daun pada ruas kedua dihilangkan dan daun pada ruas pucuk dipotong
sepertiganya untuk mengurangi transpirasi. Selanjutnya bahan stek ditanam pada
media yang telah disiapkan. Media yang digunakan adalah pasir tanah 2 : 1.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan petak terpisah.
Dalam hal ini, petak utama adalah 2 perlakuan pemberian asam humat yaitu :
1. Kontrol (tanpa pemberian asam humat)

2. Pemberian asam humat dengan konsentrasi 1000 ppm.
Anak petak terdiri dari 4 perlakuan penambahan pupuk kompos subur ijo pada
media stek, yaitu :
1. Kontrol
2. Penambahan kompos 0,1 kg/m3
3. Penambahan kompos 0,2 kg/m3
4. Penambahan kompos 0,3 kg/m3
Tiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 2
x 4 x 3 = 24 unit pengamatan. Masing-masing unit pengamatan terdiri dari 12 stek
pucuk pada plot berukuran 30 x 40 cm2 serta ketebalan media sekitar 0,1 m. Kompos
diberikan dengan cara mencampur langsung dengan media stek. Pemberian asam
humat dilakukan 1 minggu setelah penyetekan, dengan penyiraman secara langsung
dengan konsentrasi 1000 ppm, sebanyak 2,67 liter/m2 atau 4 liter untuk masing-masing
petak utama dengan luasan 1,5 m2 (setara dengan 0,33 liter per unit pengamatan atau
27 ml per stek).
Model statistik yang digunakan adalah (Mattjik, 2002) :
Yijk = μ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk
μ, αi, βj
δik
(αβ)ij
εijk

= pengamatan pada faktor asam humat taraf ke-i, faktor
kompos taraf k-j dan ulangan ke-k
= komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor
asam humat dan pengaruh utama faktor kompos
= komponen acak dari petak utama yang menyebar normal
= komponen interaksi dari faktor A dan faktor B
= komponen acak dari anak petak yang menyebar normal

Analisis keragaman dilakukan dengan menggunakan personal komputer
program Costat. Serta untuk mengetahui adanya pengaruh yang berbeda dalam
masing-masing perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan.
Pengamatan dilakukan pada setiap plot pengamatan. Parameter yang diamati
adalah sebagai berikut :
1. Persen hidup
Dilakukan setelah 6 minggu dengan membandingkan jumlah stek yang hidup
dengan jumlah stek pada awal penanaman.
2. Tinggi stek

Dilakukan setelah 6 minggu dari penyetekan.
3. Bobot Kering Total
Pengukuran dilakukan setelah 6 minggu.

Inokulasi FMA pada Persemaian Akar Telanjang
Inokulum FMA yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan tunggal
Glomus etunicatum. Spora Glomus etunicatum didapatkan dengan cara sieving
inokulum FMA dan identifikasi spora. Selanjutnya spora tersebut diinokulasikan pada
tanaman sorgum dengan media zeolit yang telah disterilkan. Setiap minggu dilakukan
penyiraman dengan larutan hyponex merah. Selanjutnya bahan inokulum tersebut
diamati jumlah sporanya. Dari bahan inokulum inilah perlakuan inokulasi FMA
diberikan. Pemberian inokulum sebanyak 5 gram per stek (rata-rata jumlah spora tiap 5
g berkisar antara 7 hingga 10 spora).
Media tanam yang digunakan adalah pasir dan tanah dengan perbandingan 2 :
1 serta penambahan bahan organik sesuai hasil terbaik pada pengamatan
sebelumnya. Tahap penyetekan dilakukan di bawah paranet dengan intensitas cahaya
70%. Aklimatisasi mulai dilakukan setelah 6 minggu dari penyetekan. Ukuran plot
pengamatan adalah 0,25 m2 dengan ketebalan media sekitar 10 cm. Dalam
pengamatan tahap ini terdapat 4 perlakuan yaitu :
1. Tanpa FMA media tidak steril (kontrol/m0)
2. FMAjalur media tidak steril (m1)
3. FMAcampur media tidak steril (m2)
4. FMAjalur media steril (m3)
Inokulasi FMA dilakukan pada saat penyetekan. Tiap perlakuan diulang
sebanyak 6 kali. Masing-masing plot pengamatan terdiri dari 25 stek yang ditanam
pada satu media yang sekaligus dijadikan persemaian akar telanjang.
Rancangan percobaan dalam pengamatan ini menggunakan rancangan acak
lengkap. Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik, 2002):
Yij = μ + τi + εij
Yij
μ
τi
εij

= pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
= rataan umum
= pengaruh perlakuan ke-i
= pengaruh acak perlakuan ke-i ulangan ke-j

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang
diamati, dilakukan analisis ragam yang diperoleh dari pengolahan data dengan
menggunakan personal komputer program Costat. Untuk mengetahui adanya
pengaruh yang berbeda dalam masing-masing perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan.
Berikut adalah desain sungkup plot pengamatan.

Gambar 1. Desain sungkup dari bahan kayu dan plastik

Pengamatan
Pada akhir pengamatan dilakukan identifikasi terhadap spora yang dihasilkan
pada masing-masing perlakuan. Untuk pengamatan kualitas pertumbuhan dilakukan
pada setiap plot pengamatan. Parameter yang diamati adalah sebagai berikut :
1. Persen hidup
Dilakukan pada akhir pengamatan, dengan cara membandingkan jumlah stek
yang hidup dengan jumlah stek pada awal penanaman.
2. Pertambahan tinggi
Mulai dilakukan pengukuran tinggi pada 4 minggu setelah penyetekan, selanjutnya
dilakukan pengukuran tiap 2 minggu hingga 5 kali pengukuran.
3. Pertambahan diameter
Pengukuran dilakukan 4 minggu setelah penyetekan dan pada akhir pengamatan.
Pengukuran dilakukan menggunakan kaliper.
4. Jumlah daun
Pengukuran dilakukan saat aklimatisasi dan pada akhir pengamatan.
5. Berat kering akar, pucuk dan total
Dilakukan pada akhir pengamatan. Bagian akar dan pucuk dipisahkan. Lalu di
oven pada suhu 70oC selama 2 x 24 jam, selanjutnya ditimbang.

6. Nisbah pucuk akar
Dilakukan setelah pengukuran berat kering pucuk dan akar. Nilai diperoleh dari
pembandingan berat kering pucuk dengan berat kering akar.
7. Indeks Kualitas Semai
Dihitung dengan menggunakan formulasi Roller (Santoso, 2006), sebagai berikut:
Berat kering total
Indeks kualitas semai =
Berat kering pucuk

Tinggi

Berat kering akar

Diameter

8. Jumlah spora
Penghitungan jumlah spora dilakukan pada akhir pengamatan. Dilakukan dengan
cara mengambil sampel tanah sebanyak 50 g masing-masing unit pengamatan.
Sampel tanah direndam dan diaduk agar spora yang melekat pada partikel tanah
dapat terlepas. Setelah tanah diaduk kemudian dituang dalam saringan bertingkat
(500 µm, 125 µm, dan 45 µm), selanjutnya spora hasil saringan 125 µm, dan 45
µm diambil dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan diberi larutan glukosa
60% dan sentrifuse dilakukan selama 3 - 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Kemudian supernatan dicuci di bawah air mengalir dengan saringan 45 µm. Hasil
saringan diambil dan dituangkan pada cawan petri kemudian di hitung di bawah
mikroskop.
9. Persen infeksi mikoriza
Dilakukan pada akhir pengamatan. Pengukuran persen infeksi dilakukan dengan
cara sebagai berikut :


Beberapa contoh akar diambil, dicuci dengan air biasa untuk melepaskan
semua miselium luar.



Bagian akar muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi
dan direndam dalam larutan KOH 2,5%, dibiarkan selama semalam atau akar
sampai berwarna kuning bersih.



Setelah akar berwarna kuning bersih larutan KOH 2,5% dibuang dan akar
dibilas dengan air.



Asamkan akar dengan HCl 2%, dibiarkan semalam atau sampai akar
berwarna kuning jernih.



HCl 2% dibuang, diganti dengan larutan staining (gliserol, asam laktat dan
aquades dengan perbandingan 2 : 2 : 1 dan ditambah trypan blue sebanyak
0,05%), dibiarkan semalam.



Larutan staining dibuang dan diganti dengan larutan destaining (larutan
staining tanpa trypan blue), dibiarkan semalam.



Akar tersebut dipotong-potong sepanjang 1 cm, lalu disusun pada gelas objek
(1 gelas objek untuk 10 potong akar), diamati dengan mikroskop.



Jumlah akar yang terinfeksi dari 10 potong akar tersebut dicatat. Penampakan
struktur hifa internal, spora, vesikula, dan arbuskula merupakan suatu indikasi
bahwa contoh akar tersebut telah terinfeksi oleh FMA.



Persen akar terinfeksi dihitung berdasarkan rumus :
Σ Bidang Pandang Akar Terinfeksi
% Akar Terinfeksi =

Σ Bidang Pandang Akar yang Diamati

x 100%

10. Kandungan unsur hara pada tanah dan tanaman
Dilakukan pada akhir pengamatan dengan cara mengambil sampel tanah dan
tanaman untuk dianalisis kandungan N, P, K dan Ca.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, masing-masing tahap merupakan
serangkaian kegiatan persemaian yang berkesinambungan. Hasil dari tahap pertama
digunakan sebagai bahan pada tahap kedua dan begitu seterusnya. Pada tahap
pertama, perlakuan penyiraman dengan urea dilakukan dengan harapan dapat
meningkatkan jumlah tunas yang dihasilkan kebun pangkas untuk dijadikan bahan
stek. Pada tahap kedua digunakan kompos dengan dosis tertentu dan penambahan
asam humat untuk meningkatkan kualitas semai pada tahap produksi stek pucuk. Pada
tahap ketiga, dari hasil terbaik pada tahap kedua dilanjutkan dengan aplikasi FMA
sehingga diharapkan peningkatan kualitas semai setelah aklimatisasi yang merupakan
fase berikutnya setelah stek pucuk. Aklimatisasi dilakukan pada media penyetekan
yang sekaligus dijadikan sebagai media persemaian akar telanjang.
Kebun Pangkas
Berdasarkan hasil analisis keragaman terhadap parameter tunas yang
dihasilkan kebun pangkas jati, perlakuan penambahan urea berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah tunas yang dihasilkan. Jumlah tunas diamati pada minggu keempat
dan minggu keenam setelah dilakukan pemangkasan dan penyiraman urea. Pada
Tabel 1 disajikan rekapitulasi hasil sidik ragam.
Tabel 1. Rekapitulasi analisis keragaman pengaruh urea terhadap jumlah tunas yang
dihasilkan semai jati yang dipangkas.
Variabel

Urea

KK (%)

Jumlah tunas (4 minggu)

**

17,21

Jumlah tunas (6 minggu)

**

13,48

Keterangan : KK = koefisien keragaman
**) sangat nyata (p