Pilihan Saluran Pemasaran Oleh Petani Ubi Kayu Di Kabupaten Lampung Tengah

PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI
KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,
PROVINSI LAMPUNG

KUSMARIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN
MENGENAI
TESIS
DAN
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

SUMBER

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pilihan Saluran
Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi

Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Kusmaria
NIM H351130271

RINGKASAN
KUSMARIA. Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten
Lampung Tengah. Dibimbing oleh RATNA WINANDI ASMARANTAKA dan
HARIANTO.
Ubi kayu menjadi komoditas penting di Indonesia mengingat Indonesia
merupakan salah satu produsen utama ubi kayu di dunia. Selain mengekspor ubi
kayu, kenyataanya Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam jumlah yang besar.
Harga ubi kayu yang meningkat di Provinsi Lampung ironisnya belum mampu
membuat petani meningkatkan produksi ubi kayu, sebaliknya dalam empat tahun

terakhir produksi dan luas panen ubi kayu mengalami penurunan. Pabrik dan
pedagang juga menetapkan rafaksi (potongan berat) yang nilainya cukup tinggi
pada hasil panen yang dijual petani. Saluran pemasaran ubi kayu berperan dalam
menentukan harga dan rafaksi yang diterima oleh petani yang pada akhirnya akan
mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh petani. Tujuan dari penelitian ini
adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang yang mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran oleh petani ubi kayu (2) menganalisis mekanisme penentuan rafaksi
ubi kayu (3) menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing
saluran pemasaran (4) menganalisis pengaruh saluran pemasaran terhadap
pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.
Kabupaten Lampung Tengah dipilih sebagai lokasi penelitian karena
merupakan sentra ubi kayu terbesar di Provinsi Lampung. Data primer diperoleh
dari 74 responden yang diambil secara acak di kecamatan sentra. Metode yang
digunakan adalah model regresi logistik biner untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran ubi kayu, metode deskriptif dan
analisis korelasi untuk menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu, serta
metode regresi linier berganda dan analisis keuntungan untuk menganalisis
pengaruh saluran pemasaran pada pendapatan usahatani ubi kayu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pilihan saluran pemasaran petani ubi kayu adalah harga, jumlah hasil panen,

rafaksi dan adanya pinjaman modal. Rafaksi memiliki nilai peluang paling tinggi
dibandingkan variabel lain. Mekanisme penentuan rafaksi menurut persepsi
petani yaitu tidak terdapat kriteria yang pasti untuk menentukan rafaksi kecuali
dalam hal usia panen dan varietas. Kadar aci dan kotoran hanya menggunakan
pengamatan secara visual dan tidak terdapat alat ukur untuk mengukurnya. Selain
itu tidak terdapat hubungan nyata antara usia panen dan varietas ubi kayu dengan
rafaksi yang diterima petani. Pendapatan usahatani ubi kayu paling besar
diperoleh petani yang menggunakan saluran pemasaran pabrik, namun nilai R/C
rasio menunjukkan petani yang menggunakan saluran pemasaran pemborong
memiliki R/C rasio yang lebih tinggi. Namun demikian saluran pemasaran tidak
memiliki berpengaruh pada pendapatan usahatani ubi kayu.
Kata kunci: channel choice, pendapatan usahatani, rafaksi, ubi kayu

SUMMARY
KUSMARIA. Choice of Marketing Channels by Cassava Farmers’ in Central
Lampung. Supervised by RATNA WINANDI ASMARANTAKA and
HARIANTO.
Cassava become an important commodity in Indonesia because Indonesia
is one of the major producer of cassava in the world. Besides exporting cassava, in
fact Indonesia also imported cassava in large quantities. Prices of cassava growing

in Lampung have not been able to make farmers to increase production,
considering factories and traders also set rafaksi the farmers sold crops, moreover
in the last four years of production and harvested area of cassava has decreased.
Cassava marketing channels play a role in determining the price and rafaksi
(penalty quantity) received by farmers will ultimately affect the benefits received
by the farmer. This research aims are (1) to analyze the factors that influence the
choice of marketing channels by cassava farmers (2) analyze the mechanism of
determination rafaksi (3) analyze farming profit cassava in each marketing
channel (4) analyze the influence choice of marketing channels to farming profit
cassava in Central Lampung Regency.
Central Lampung regency chosen as the study site because it is the center
of the largest cassava in Lampung Province. Primary data were collected from 74
respondents drawn at random in the district centers. The method used is the model
of binary logistic regression to analyze the factors that influence the choice of
marketing channels cassava, descriptive and correlation analysis to analyze the
mechanism of determination rafaksi cassava, then multiple linear regression
method and profit analysis to analyze the effect of marketing channels to farming
profit cassava.
The results shows that price, amount of harvest, rafaksi and capital loan
significantly affected choice of marketing channels. Rafaksi has the highest value

opportunities compared with other variables. Rafaksi determination mechanism by
farmers perception are there is no definitive criteria for determining rafaksi except
in the age of harvest and varieties. Starch levels and soiled just using the visual
observations and there is no measuring instrument to measure it. But there was no
real connection between the ages of harvest and varieties of cassava with rafaksi
cassava received by farmers. Cassava farming profit gained most farmers who use
the factories marketing channel, but the value of R / C ratio showed farmers using
marketing channels contractor has a R / C ratio is higher. However marketing
channel has no real influence on the cassava farming profit.
Keywords: cassava, channel choice, farming profit, rafaksi (penalty quantity),

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PILIHAN SALURAN PEMASARAN OLEH PETANI UBI
KAYU DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH,
PROVINSI LAMPUNG

KUSMARIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis


: Dr. Ir. Suharno, M.ADev

Penguji Wakil Program Studi

: Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Judul Tesis : Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten
Lampung Tengah, Provinsi Lampung
Nama
: Kusmaria
NIM
: H351130271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS
Ketua

Dr. Ir Harianto, MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 11 Maret 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah pemasaran, dengan
judul Pilihan Saluran Pemasaran oleh Petani Ubi Kayu di Kabupaten Lampung

Tengah, Provinsi Lampung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Ratna Winandi
Asmarantaka, MS dan Bapak Dr Ir Harianto, MS selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Suharno, M.ADev
selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr Rita Nurmalina, MS selaku penguji dari
program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada mamak, suamiku Kak Jojo, anakku Shofi, mbak, mas, dan
seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih
sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada BP3K Bandar Mataram, Bapak Fatkur dan Bapak Fitriyanto
beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir
penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan rekan-rekan
Magister Sains Agribisnis Angkatan IV.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016
Kusmaria

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1

1
4
9
9
9

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pemasaran Ubi Kayu
Saluran Pemasaran
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran
Kualitas Produk Komoditas Pertanian

10
10
11
12
13

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Konseptual
Kerangka Pemikiran Operasional

14
14
22

4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Sumber dan Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Analisis dan Pengolahan Data

25
25
25
25
25
26

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Geografis Kabupaten Lampung Tengah
Karakteristik Petani Responden

31
31
34

6 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PILIHAN SALURAN
PEMASARAN OLEH PETANI UBI KAYU
Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Ubi Kayu
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran

38
38
41

7 MEKANISME PENENTUAN RAFAKSI UBI KAYU
Rafaksi Ubi Kayu
Mekanisme Penentuan Rafaksi Ubi Kayu

49
49
50

8 PENGARUH SALURAN PEMASARAN TERHADAP PENDAPATAN
USAHATANI UBI KAYU
55
Keuntungan Usahatani Ubi Kayu
55
Pengaruh Saluran Pemasaran terhadap Keuntungan Usahatani
Ubi Kayu
60

9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

62
62
62
63

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Perkembangan ekspor impor ubi kayu tahun 2010 -2015
1
Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayudi Indonesia
tahun 2015
4
Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung
tahun 2012
6
Fungsi – fungsi Pemasaran
16
Interpretasi koefisien korelasi nilai r
29
Komposisi responden berdasarkan usia
34
Komposisi responden berdasarkan pendidikan
35
Komposisi responden berdasarkan pengalaman bertani
35
Komposisi responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga
36
Komposisi respionden berdasarkan pekerjaan utama
37
Komposisi responden berdasarkan luas lahan
37
Komposisi responden berdasarkan kepemilikan lahan
38
Fungsi-fungsi pemasaran ubi kayu berdasarkan lembaga
pemasarannya
40
Uji Wald (parsial) faktor-faktor yang berpengaruh pada pilihan
saluran pemasaran
42
Contoh tabel rafaksi harga pembelian beras di luar kualitas
Inpres Nomor 1 Tahun 2008
49
Kriteria penentuan kualitas ubi kayu secara visual berdasarkan
persepsi petani
51
Korelasi antara rafaksi dengan usia panen dan varietas ubi kayu
52
Analisis keuntungan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
tahun 2015
56
Hasil pendugaan pengaruh saluran pemasaran pada keuntungan usahatani
ubi kayu
61

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009 – 2016
Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik,
Lampung Tengah
Pohon Industri Ubi Kayu
Perkembangan Harga dan Luas Panen Ubi Kayu di Lampung
tahun 2003-2013
Kerangka pemikiran operasional penelitian
Peta Kabupaten Lampung Tengah dan Kecamatan Bandar Mataram
Pedagang pengumpul ubi kayu, lapak dan pemborong
Agen ubi kayu, supir truk dan mitra
Saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah
Saluran pemasaran yang digunakan dalam analisis
Nota hasil timbangan ubi kayu petani

2
3
5
7
24
31
39
39
40
41
50

12 Ubi kayu casesart, usia panen 7 bulan, masih terdapat sedikit bonggol
dan kotoran tanah, serta dipanen saat penelitian (musim kemarau)
52
13 Timbangan mobil dan timbangan kecil yang digunakan dalam
Penimbangan jual beli ubi kayu
53

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil Estimasi Fungsi Regresi Logistik Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran Petani Ubi Kayu
68
2 Hasil Estimasi Fungsi Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Keuntungan Usahatani Ubi Kayu
69
3 Hasil Estimasi Korelasi antara Rafaksi Ubi Kayu dengan Usia Panen
dan Rafaksi Ubi Kayu dengan Varietas Ubi Kayu
70

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ubi kayu (Manihot utilisima) merupakan tanaman lokal daerah tropis yang
di Indonesia sendiri banyak digunakan sebagai pangan alternatif. Ubi kayu
menjadi salah satu bahan pangan potensial setelah beras dan jagung yang berperan
cukup besar dalam mencukupi pangan nasional. Selain sebagai sumber bahan
pangan, ubi kayu juga digunakan sebagai bahan pakan (ransum) ternak dan bahan
baku berbagai industri. Beberapa negara bahkan telah mengembangkan ubi kayu
sebagai sumber bahan bakar energi alternatif (biofuel).
Hasil olahan ubi kayu diperlukan dalam berbagai industri seperti industri
pakan, tekstil, kertas, perekat dan farmasi. Konsumsi ubi kayu di Indonesia masih
cukup tinggi, yaitu 24 juta ton pada tahun 2011 dan angka ini terus meningkat
setiap tahunnya (Pusdatin 2012). Prospek agribisnis ubi kayu cukup baik
mengingat kebutuhan ubi kayu yang tinggi dengan jumlah penduduk yang
semakin bertambah. Ubi kayu sendiri cukup mudah untuk dibudidayakan dalam
artian ringan perawatannya, dapat bertahan terhadap ketersediaan air yang sedikit
di lahan kering maupun kurang subur, memiliki daya tahan terhadap penyakit dan
tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk panen. Sehingga keberadaan
ubi kayu menjadi kebutuhan yang selain untuk memenuhi pangan dan industri
juga menjadi sumber penghasilan bagi petani yang mengusahakannya.
Ubi kayu menjadi komoditas penting mengingat Indonesia menjadi salah
satu produsen utama ubi kayu di dunia dengan produksi mencapai 23 juta ton
pada tahun 2014 dan produktivitas mencapai 23.36 ton/ha (BPS 2016). Indonesia
dan negara penghasil utama ubi kayu seperti Nigeria, Kongo, Brazil dan Thailand,
mampu menguasai 95 persen luas panen (FAO 2016) dengan jenis produk ubi
kayu yang diekspor ke luar negeri adalah gaplek dan pati ubi kayu (Saliem dan
Nuryanti 2011). Pada tahun 2014 total ekspor ubi kayu Indonesia mencapai 114
ribu ton dengan negara tujuan utama adalah China, Malaysia, Amerika Serikat dan
Taiwan (Kementan 2016). Selain menjadi pengekspor, pada kenyataannya
Indonesia juga mengimpor ubi kayu dalam bentuk pati ubi kayu dengan negara
pengimpor utama pada tahun 2015 adalah Thailand dan Vietnam (Kementan
2016). Tabel 1 menunjukkan jumlah ekspor dan impor ubi kayu Indonesia tahun
2011 sampai 2015.
Tabel 1 Perkembangan ekspor impor ubi kayu tahun 2010-2015
Tahun
Impor (ton)
Ekspor (ton)
2011
435 423
157 662
2012
856 126
52 415
2013
220 189
185 679
2014
365 085
114 501
2015*
498 647
15 152
*Sampai Oktober 2015. Sumber : Kementerian Pertanian 2016
Impor ubi kayu terjadi mengingat ketersediaan ubi kayu di Indonesia
belum mampu mencukupi kebutuhan ubi kayu di Indonesia. Selama periode 2009

2
sampai dengan 2015 tren produksi ubi kayu Indonesia cukup fluktuatif mengalami
peningkatan yang kemudian mengalami penurunan. Peningkatan produksi ubi
kayu meningkat tajam pada kurun waktu 2009 hingga 2010, dan terus meningkat
sampai tahun 2012. Namun pada tahun-tahun berikutnya, yaitu tahun 2013, 2014
dan 2015 produksi ubi kayu Indonesia terus menurun (BPS 2016). Hal ini
menunjukkan ketersediaan ubi kayu dalam negeri masih belum cukup stabil.
Grafik di bawah ini menunjukkan perkembangan produksi ubi kayu Indonesia
selama tujuh tahun terakhir.
24500000

Produksi (ton)

24000000
23500000
23000000
22500000
22000000
21500000
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Tahun

Gambar 1 Produksi Ubi Kayu Indonesia tahun 2009-2016
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016
Sektor hulu menjadi penting dalam rangka menjaga ketersediaan ubi kayu
nasional dimana petani memegang peranan didalamnya. Permasalahan ubi kayu di
Indonesia selama ini diantaranya produktivitas ubi kayu yang belum optimal,
kepastian pemasaran yang tidak ada serta harga jual ubi kayu yang rendah.
Produktivitas ubi kayu di Indonesia masih tergolong rendah dikarenakan ilmu
pengetahuan dan teknologi petani ubi kayu juga masih rendah, saprodi yang masih
sulit, mahal dan tidak mencukupi serta adanya ketiadaan/kekurangan modal.
Tidak adanya kepastian pemasaran berarti petani tidak memiliki kepastian
mengenai harga ubi kayu.
Harga ubi kayu di tingkat petani belum mampu membuat petani untuk
meningkatkan produksinya hingga mampu menjaga ketersediaan ubi kayu di
dalam negeri dan beralih pada komoditas lain yang lebih menguntungkan. Harga
ubi kayu yang rendah diduga karena struktur pasar yang tidak efisien, petani tidak
memiliki keterkaitan dengan industri ubi kayu, kelembagaan kelompok tani yang
masih lemah serta pembinaan pemerintah yang belum baik. Zakaria (2000) dan
Sugino et al. (2009) menyebutkan bahwa struktur pasar ubi kayu di tingkat pabrik
dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung oligopsoni dengan
monopsony power yang lemah. Kondisi pasar yang demikian menyebabkan pabrik
tapioka mempunyai kelebihan dalam price control, padahal antara petani dan
industri memiliki keterkaitan untuk saling mendapat keuntungan. Selain itu di
Lampung sendiri pemerintah tidak memiliki kebijakan yang cukup mendukung
petani dalam rangka perlindungan harga terhadap harga ubi kayu.

3
Petani dan industri seharusnya memiliki keterkaitan untuk saling
menguntungkan. Apa yang menjadi kebutuhan industri adalah terpenuhinya
jumlah bahan baku ubi kayu dalam kegiatan operasional dengan kualitas baik,
sementara tujuan petani adalah produksi ubi kayu terserap, adanya jaminan harga
dan pembayaran yang tidak ditunda. Seringkali pada saat panen raya harga ubi
kayu menjadi anjlok karena adanya kelebihan pasokan. Disamping itu itu kualitas
ubi kayu yang dianggap rendah oleh pabrik menyebabkan petani merugi karena
pabrik lebih mempunyai power untuk memberlakukan rafaksi sesuai dengan
kualitas ubi kayu petani menurut persepsi pabrik. Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia, rafaksi berarti pemotongan (pengurangan) terhadap harga
barang yang diserahkan karena mutunya lebih rendah daripada contohnya atau
karena mengalami kerusakan dalam pengirimannya, namun pada ubi kayu
merupakan pemotongan terhadap berat barang. Sehingga pada ubi kayu rafaksi
merupakan sistem potongan berat atau penalti kuantitas untuk menilai kualitas ubi
kayu petani.
Saluran pemasaran berperan penting dalam menentukan harga ubi kayu
yang akan berimbas pada pendapatan yang diterima petani ubi kayu. Setiap
saluran pemasaran yang dipilih oleh petani kerap kali memiliki peran dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani yang mungkin saja tidak
ditawarkan oleh saluran pemasaran lain. Chirwa (2009) menyatakan bahwa setiap
saluran pemasaran menawarkan pilihan harga yang berbeda dan pelayanan
penjualan yang berbeda pula, yang menentukan petani dalam memilih saluran
pemasaran. Meskipun saluran yang lebih pendek kerap kali diidentikkan lebih
efisien, margin yang rendah dalam pemasaran produk serta memiliki harga jual
lebih tinggi, namun petani ubi kayu tidak selalu menggunakan saluran tersebut
mengingat pada ubi kayu terdapat potongan berat atau rafaksi yang diberlakukan
oleh pembeli. Adanya rafaksi diduga membuat pemasaran ubi kayu menjadi tidak
efisien. Asmarantaka dkk (2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
terdapat beberapa lembaga yang ikut menyalurkan ubi kayu ke berbagai pabrik
pengolahan ubi kayu seperti lapak atau pemborong (Gambar 2). Selain melalui
kedua lembaga tersebut, petani ada yang langsung menjual ke pabrik.
Lapak
Petani ubi kayu

2,82%

Pabrik Tapioka

0,78%
Pemborong
96,4%

Gambar 2 Saluran pemasaran ubi kayu di Gunung Batin Udik, Lampung Tengah
Sumber : Asmarantaka dkk 2014.
Hinson and Steven (1994) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai
aliran yang dilalui oleh produk untuk bergerak dari produsen ke konsumen. Pada
berbagai komoditi pertanian, saluran pemasaran membawa pada penggunaan
secara langsung (sebagai makanan atau pakan) atau untuk diolah kembali. Akses
ke pasar dalam bentuk saluran yang berbeda bagi petani sangat penting untuk
memanfaatkan potensi produksi dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan
petani (Anteneh 2011). Qhoirunisa (2014) menyebutkan bahwa saluran pemasaran
yang dipilih dan digunakan oleh petani dalam memasarkan komoditas hasil

4
pertanian memiliki pengaruh terhadap pendapatan yang akan diterima karena
berkaitan dengan harga, sehingga petani akan memilih saluran yang lebih
menguntungkan baginya. Pada masa lalu keputusan produksi seringkali terlepas
dari keputusan pemasaran produk agribisnis. Sedangkan saat ini, keputusan
produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh bentuk dari lembaga pemasaran
(marketing firms) dan konsumen. Hal ini juga guna mengurangi risiko
ketidakpastian dan fluktuasi penawaran yang biasanya dilakukan penjualan
dengan sistem kontrak antara lembaga pemasaran dengan petani produsen
(Asmarantaka 2013). Penelitian ini akan melihat faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi petani dalam memilih saluran pemasaran, mekanisme penentuan
rafaksi serta bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih oleh petani
terhadap pendapatan petani.
Perumusan Masalah
Secara historis, Provinsi Lampung merupakan pengahasil ubi kayu
terbesar di Indonesia. Hal ini menyebabkan Lampung menjadi andalan pemasok
ubi kayu nasional dan ekspor ubi kayu Indonesia ke luar negeri. Dari lima
provinsi penghasil utama ubi kayu di Indonesia, Lampung memiliki luas panen,
dan produksi ubi kayu terbesar di Indonesia, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Komoditas ubi kayu menjadi komoditas utama yang memiliki areal tanam terluas
di Lampung yaitu 324 749 ha, yang kemudian disusul oleh komoditas lain yaitu
kopi seluas 161 677 ha, karet seluas 94 579 ha, lada seluas 63 640 ha dan kakao
seluas 50 328 ha (Lampung Dalam Angka, 2013).
Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu per provinsi tahun 2015
No Provinsi
Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)
1
Lampung
301 684
26.64
8 038 963
2
Jawa Timur
149 094
23.19
3 458 614
3
Jawa Tengah
153 201
24.09
3 758 552
4
Jawa Barat
93 921
24.07
2 020 214
5
Sumatera Utara
45 052
33.18
1 495 169
Sumber : Badan Pusat Statistik 2016

Gambar pohon industri ubi kayu di bawah ini menunjukkan bahwa ubi
kayu di Lampung diolah menjadi beberapa produk seperti pakan ternak, tepung
cassava, pembuatan makanan ringan dan mengolahnya menjadi etanol. Namun
sebagian besar ubi kayu di Lampung diolah menjadi tapioka yang dibuktikan
dengan banyaknya perusahaan tapioka yang tumbuh dan berkembang di Lampung
(Lampung Tengah Dalam Angka 2013). Hal ini juga dikarenakan ubi kayu yang
banyak dihasilkan di Provinsi Lampung adalah jenis ubi kayu yang mengandung
HCN tinggi. Dari kadar HCN pada umbinya, ubi kayu dibedakan menjadi (1) ubi
kayu dengan kadar racun rendah yang dicirikan dengan ubi kayu manis dan aman
untuk dikonsumsi, (2) ubi kayu dengan kadar racun sedang yang dicirikan dengan
rasa agak pahit dan aman untuk dikonsumsi setelah ada perlakuan khusus, (3) ubi
kayu dengan kadar racun tinggi yang dicirikan dengan rasa pahit dan tidak aman
untuk dikonsumsi, harus dibuat gaplek atau tepung terlebih dahulu. Semua jenis

5
ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku tapioka tetapi ubi kayu dengan kadar
racun lebih tinggi menghasilkan tapioka dengan kualitas lebih baik (Purba 2002).
Kulit

Pakan

ternak
Tapioka
Daging

Onggok
Ellot

Ubi Kayu

Dextrin
Gula

Glukosa
Gaplek

Pellet

Sawut

Tepung

Casava

Gula

Fruktosa
Etanol
Asam

organik
Senyawa kimia

Makanan

lain

ringan

Gambar 3 Pohon Industri Ubi Kayu
Sumber : BPTP Provinsi Lampung 2008
Pengembangan agribisnis ubi kayu di Lampung masih tersekat-sekat yang
nampak dari kenyataan bahwa sub sistem agribisnis hilir dikuasai oleh pengusaha
menengah/besar bukan oleh petani, sedangkan petani hanya menguasai subsistem
usahatani (on farm) dan sangat sedikit melakukan pengolahan terhadap ubi kayu
menjadi produk lain. Pada pasar output atau produk, petani menghadapi kekuatan
pasar yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar dan sangat sedikit hubungan
organisasi fungsional misalnya kemitraan dengan perusahaan pengolah, serta nilai
tambah terbesar yang banyak dinikmati oleh perusahaan dibanding oleh petani. Di
Kabupaten Lampung Tengah sebagai pusat sentra ubi kayu di Lampung, terdapat
37 industri pengolahan ubi kayu yang menjadi pasar bagi petani dalam menjual
ubi kayunya (Lampung Tengah Dalam Angka 2013). Tabel 3 menunjukkan luas
lahan dan produksi ubi kayu per kabupaten di Lampung.
Adanya industri-industri besar di Lampung merupakan peluang pasar yang
baik bagi petani untuk menyalurkan hasil panennya, karena hasil panen petani
akan mudah terserap oleh pasar. Adanya pedagang perantara baik lapak atau
pemborong turut membantu penyampaian produk ke pabrik. Namun kondisi pasar
yang demikian tidaklah efisien karena industri tapioka lebih memiliki power
dibandingkan petani. Seperti disebutkan sebelumnya struktur pasar ubi kayu di
Lampung cenderung oligopsoni dengan monopsony power yang lemah, dimana
pasar terdiri dari banyak penjual dan sedikit pembeli. Dalam menjual hasil
produknya, petani sebagai penjual memiliki posisi tawar yang lebih rendah dan
tidak bisa mempengaruhi harga, hal sebaliknya pada pabrik yang memiliki power
of buyers lebih kuat karena jumlahnya yang sedikit (Lipczynski et al. 2005).

6
Tabel 3 Luas dan produksi ubi kayu per kabupaten di Provinsi Lampung
tahun 2012
No
Kabupaten
Luas (ha)
Produksi (ton)
1 Lampung Tengah
130 781
3 371 618
2 Lampung Utara
51 782
1 357 275
3 Lampung Timur
47 555
1 236 925
4 Tulang Bawang Barat
38 926
1 058 194
5 Tulang Bawang
19 767
532 395
6 Way Kanan
15 725
373 832
7 Lampung Selatan
10 100
214 730
8 Mesuji
4 629
126 661
9 Pesawaran
3 323
71 001
10 Pringsewu
621
12 850
11 Lampung Barat
674
13 680
12 Tanggamus
585
12 270
13 Bandar Lampung
159
3 390
14 Metro
122
2 530
Jumlah
324 749
8 387 351
Sumber : Lampung Dalam Angka 2013
Harga ubi kayu di Lampung cenderung meningkat (Gambar 4), namun
ironisnya produksi ubi kayu di Lampung semakin menurun (Gambar 5). Sebuah
paradoks dimana harga yang semakin meningkat pada kenyataannya tidak diiringi
dengan meningkatnya produk yang ditawarkan. Luas lahan ubi kayu di Lampung
juga semakin menurun dari 368 096 ha pada tahun 2011, menjadi 301 684 ha pada
tahun 2015 atau berkurang 18.04 persen dalam lima tahun. Hal ini diduga
dikarenakan harga yang diterima petani belum mampu menjadi insentif bagi
petani untuk tetap bertahan menanam ubi kayu dan tidak beralih pada komoditas
lain yang dianggap lebih menguntungkan. Harga yang diterima petani juga masih
tergolong rendah bila mempertimbangkan adanya rafaksi kuantitas yang nilainya
cukup besar pada hasil panen yang dijual petani sehingga membuat sistem
pemasaran ubi kayu tidak efisien. Rafaksi menjadi loss (kerugian) yang
menyebabkan berkurangnya berat timbangan hasil panen ubi kayu petani yang
dijual.
Pada skala nasional menurunnya produksi dan luas lahan ubi kayu di
Lampung menyebabkan menurunnya produksi ubi kayu nasional dan
memungkinkan semakin meningkatnya impor ubi kayu. Impor ubi kayu bisa
ditekan jika petani dalam negeri mampu memenuhi kebutuhan ubi kayu. Di
Lampung sendiri yang merupakan sentra ubi kayu di Indonesia kondisi impor
masih terjadi ketika produksi ubi kayu petani tidak mampu memenuhi kebutuhan
industri. Beberapa pabrik tapioka akan mengimpor pati ubi kayu dari Thailand
karena harganya yang lebih murah. Namun yang cukup menjadi perhatian bahwa
harga ubi kayu dalam bentuk umbi pada level petani di Thailand lebih mahal bila
dibandingkan dengan harga ubi kayu pada level petani di Indonesia. Sementara itu
harga pati tapioka lebih murah di Thiland daripada di Indonesia. Ini artinya biaya
pengolahan oleh pabrik tapioka di Indonesia memiliki biaya yang begitu tinggi.
Selain itu permasalahan juga terletak pada pemasaran ubi kayu.

7

1001

7721882

7569178

832

345 337
236
229
Harga (Rp)/kg

299

5499403
4806254

4673091

2013

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2004

Produksi (ton)
2003

2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

8329201

6394906
4984616

2006

306

697
637

2005

608

9193676
8637594 8387351

Gambar 4. Perkembangan Harga (kiri) dan Produksi Ubi Kayu (kanan) di
Lampung tahun 2003-2013
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Lampung 2014; BPS 2016
Keputusan memilih saluran pemasaran merupakan keputusan penting
dalam manajemen pemasaran (Kotler 1997). Saluran pemasaran yang dipilih
dapat menentukan harga dan biaya sehingga mempengaruhi pendapatan yang
diterima petani. Dalam memilih saluran pemasaran, diduga petani dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti harga, jumlah hasil panen, jarak, usia panen, tingkat
pendidikan, rafaksi atau potongan berat sampai adanya pinjaman modal yang
diberikan oleh lembaga saluran pemasaran. Harga yang dijanjikan oleh pedagang
atau pabrik menjadi sinyal pertama yang dapat mempengaruhi petani dalam
memilih saluran pemasaran yang digunakannya.
Jumlah panen juga diduga ikut mempengaruhi pemilihan saluran
pemasaran ubi kayu dikarenakan pada jumlah-jumlah panen tertentu petani akan
memilih lembaga yang sesuai dengan jumlah panen yang dihasilkannya. Petani
diduga akan memilih saluran pemasaran selain pabrik jika memiliki hasil panen
lebih sedikit untuk dijual. Selain itu lokasi ladang juga mempengaruhi petani
dalam memilih saluran pemasaran karena berkaitan dengan jarak tempuh yang
berefek pada biaya transportasi. Tingkat pendidikan berhubungan dengan
informasi yang dimiliki oleh petani. Semakin baik informasi yang dimiliki petani
maka diduga petani akan memilih saluran pemasaran pabrik atau saluran yang
dianggap paling menguntungkan dan paling mudah dalam proses penjualan.
Adanya keterlibatan pedagang dalam memberikan pinjaman modal kepada
petani juga diduga ikut mempengaruhi pilihan saluran pemasaran. Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa petani ubi kayu kerap kali terkendala oleh modal,
terutama untuk petani berskala kecil. Pedagang ubi kayu sendiri yang menjadi
saluran pemasaran bisa berdiri independen atau tidak. Artinya dalam beberapa
pedagang, struktur pasar yang berlaku yaitu pedagang dalam skala/tingkatan yang
lebih kecil merupakan perpanjangan tangan dari pedagang atau perusahaan yang
skala/tingkatan yang lebih besar. Dengan demikian terjadi jalinan perdagangan
dimana pihak pedagang/pabrik yang lebih besar bisa berkontribusi memberikan
modal kerja kepada pedagang yang lebih kecil. Dan perilaku ini diduga ikut
menurun oleh pedagang untuk memberikan modal kepada petani agar petani
menjual produk kepada pedagang tersebut. Sehingga dalam rangka mendapatkan

8
dana untuk usahatani, petani terlibat dalam kelembagaan saluran pemasaran yang
memiliki kontrak yang tinggi dan sulit untuk berpindah pada alternatif saluran
pemasaran yang lain. Hal ini dikarenakan pedagang yang bertindak menjadi
saluran pemasaran juga dapat menjadi sumber keuangan bagi petani untuk
mendapatkan modal.
Kualitas ubi kayu yang dijual oleh petani memiliki keterkaitan dengan
saluran pemasaran yang dipilih petani dalam memasarkan produknya. Pabrik
melihat kualitas ubi kayu dari kadar aci ubi kayu, jenis varietas ubi kayu, usia
panen dan banyaknya kotoran atau materi lain yang terbawa pada saat panen ubi
kayu (Sagala 2011). Selain hal tersebut ukuran diameter ubi kayu, tingkat
kelayuan dan kebusukan, serta persentase bonggol juga diduga menjadi
pertimbangan. Pabrik atau pedagang ubi kayu memberlakukan sistem potongan
berat atau penalti yang dikenal dengan istilah rafaksi kuantitas untuk menilai
kualitas ubi kayu petani. Semakin sedikit kadar aci, kotoran, tua usia panen maka
semakin kecil potongan berat atau rafaksi yang diberikan pada hasil panen yang
dijual oleh petani, begitu pula sebaliknya.
Selama ini petani tidak memiliki pengetahuan yang baik mengenai
penentuan rafaksi oleh pabrik atau pedagang. Rafaksi sangat subyektif apabila
petani sebagai penjual produk tidak dapat menduga nilai rafaksi dan hanya
ditentukan sepihak oleh pembeli. Penentuan rafaksi seharusnya menjadi
kesepakatan kedua belah pihak, dan kedua belah pihak memiliki pengatahuan
yang sama tentang cara penentuannya. Rafaksi menjadi salah satu bentuk
standardisasi produk, yaitu persetujuan dari partisipan (pembeli, penjual, pabrik)
terhadap produk untuk dimensi ukuran dan kualitas produk termasuk atribut
produk seperti tingkat kematangan, warna, volume per unit, tingkat keseragaman
dan lain-lain dimana partisipan sepakat mengelompokkan dalam kelas-kelas
tertentu (Asmarantaka 2013).
Rafaksi yang diberlakukan oleh pabrik atau pedagang pada hasil panen
petani melalui sistem perhitungan yang tidak transparan dan cenderung dianggap
merugikan petani ubi kayu. Rafaksi yang seharusnya menjadi ukuran agar ubi
kayu yang dijual petani sesuai dengan kualitas yang ditentukan oleh pembeli,
namun dalam prakteknya penentuan rafaksi yang merupakan potongan berat
terkadang menjadi salah satu sarana bagi pabrik atau pedagang untuk
mendapatkan pendapatan lebih dari selisih rafaksi yang ditetapkan pada masingmasing lembaga. Dalam 20 ton hasil panen petani misalnya, pabrik bisa
menetapkan rafraksi 15 persen, sehingga tonase yang dibayar hanya 17 ton dan 3
ton sisanya dianggap sebagai rafraksi. Sementara pada level pedagang nilai rafaksi
yang ditetapkan bisa lebih tinggi lagi. Penentuan rafaksi yang demikian tentu akan
menjadi permasalahan sangat serius jika terus menerus tidak terdapat penyelesaian
bagi petani karena menyangkut masa depan ubi kayu di Lampung. Ketika petani
tidak lagi merasa memperoleh pendapatan yang baik dari usahatani ubi kayu maka
lambat laun produksi dan luas panen ubi kayu di Lampung akan semakin menurun
dan menyebabkan impor semakin meningkat.
Saluran pemasaran berperan dalam menentukan harga dan rafaksi ubi kayu
sehingga berpengaruh pada pendapatan yang diterima petani. Selain menawarkan
pilihan harga, saluran pemasaran juga kerap kali berperan dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh petani yang mungkin saja tidak ditawarkan oleh
saluran pemasaran lain. Adanya pilihan saluran pemasaran, diharapkan mampu

9
memberikan alternatif harga jual yang lebih baik bagi petani ubi kayu sehingga
memberikan pendapatan yang maksimal.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang ingin dikaji dalam
penelitian ini adalah :
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh
petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?
2. Bagaimana mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten Lampung
Tengah?
3. Bagaimana pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran
pemasaran?
4. Bagaimana pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap pendapatan
yang diperoleh oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran
oleh petani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.
2. Menganalisis mekanisme penentuan rafaksi ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah.
3. Menganalisis pendapatan usahatani ubi kayu pada masing-masing saluran
pemasaran di Kabupaten Lampung Tengah.
4. Menganalisis pengaruh saluran pemasaran yang dipilih terhadap
pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah.
Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran dan hubungannya dengan pendapatan usahatani ubi kayu di Kabupaten
Lampung Tengah, diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Petani dan lembaga pemasaran lainnya, yaitu memberikan informasi
penentuan rafaksi yang lebih baik dan pelaksanaan fungsi pemasaran bagi
setiap lembaga pemasaran yang terlibat agar terjadi pembagian harga yang
sesuai dan peningkatan keuntungan.
2. Pemerintah dan pengambil keputusan, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan dan rujukan untuk pengembangan ubi kayu yang lebih
baik di Lampung.
3. Penulis sendiri, penelitian ini merupakan salah satu proses belajar dalam
menganalisa suatu permasalahan dan menambah daya analisis pemasaran
ubi kayu dan pendapatan usahataninya. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi tambahan untuk penelitian yang
berkaitan dengan pemasaran ubi kayu selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran ubi kayu di Kabupaten Lampung Tengah, mekanisme
penentuan rafaksi dan pengaruh pilihan saluran pemasaran pada pendapatan

10
usahatani ubi kayu. Penelitian hanya melihat perilaku ditingkat petani dan tidak
mengarah pada lembaga pemasaran selanjutnya serta sistem pemasaran ubi kayu
secara keseluruhan. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan saluran
pemasaran, saluran yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi
dua, yaitu pabrik dan selain pabrik. Hal ini dikarenakan untuk melihat perbedaan
antara lembaga yang melakukan fungsi utamanya dalam hal fungsi pertukaran
(penjualan dan pembelian) yaitu pedagang, dengan lembaga yang fungsi
utamanya selain fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), juga melakukan
fungsi fisik (pengolahan ubi kayu) yaitu pabrik. Pedagang mendapatkan
keuntungan dari kegiatan jual beli ubi kayu sedangkan pada pabrik mendapatkan
keuntungan selain dari jual beli ubi kayu juga dari hasil pengolahan ubi kayu.
Pada penelitian ini pengukuran kualitas ubi kayu hanya dibatasi pada pengukuran
berdasarkan persepsi dari petani dan tidak menghimpun informasi dari lembaga
lain seperti pedagang atau pabrik. Penelitian hanya dilakukan di Kabupaten
Lampung Tengah yang merupakan sentra ubi kayu di Lampung, sehingga dengan
asumsi sudah mewakili daerah sentra produksi ubi kayu di Indonesia.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pemasaran Ubi Kayu
Beberapa negara penghasil ubi kayu di dunia memiliki permasalahan yang
relatif sama dengan di Indonesia. Di Nigeria, petani ubi kayu banyak menghadapi
kendala dalam pengolahan dan pemasaran ubi kayu. Sistem pemasaran ubi kayu
terdiri dari tengkulak yang membeli dari para petani di pedesaan dengan harga
murah dan menjual dengan harga tinggi kepada konsumen perkotaan dan prosesor.
Share petani sangat rendah karena kendala pemasaran dan ada kebutuhan untuk
mengolah ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tinggi sehingga memenuhi
kebutuhan konsumen. Petani tidak mampu untuk menjual ubi kayu ke daerah
perkotaan karena mereka miskin dan tidak memiliki sarana untuk mengangkut ubi
kayu ke pasar (Otukpe 2010; Fefa and Cristopher 2014; Asogwa 2013).
Sementara itu di Kamerun harga ubi kayu lebih banyak dipengaruhi oleh biaya
transportasi, akses ke jalan beraspal, harga beras dan jagung (Mvodo dan Dapeng
2012). Secara umum pemasaran ubi kayu di negara berkembang masih banyak
terkendala dengan kurang baiknya saluran pemasaran, infrastruktur dan informasi
pasar yang buruk, pasokan yang tidak menentu dan kualitas ubi kayu (Prakash,
2005).
Sementara itu perdagangan ubi kayu dalam negeri didominasi oleh umbi
segar terutama untuk industri tapioka. Pemanenan ubi kayu yang dilakukan petani
tergantung pada kebutuhan dan harga pasar. Pada saat harga dapat diterima oleh
petani maka mereka melakukan pemanenan. Demikian juga dengan kondisi
memaksa, maka petani akan memanen berapapun harganya (Bantacut 2009).
Darwis et al. (2007) dalam penelitiannya mengenai sistem pemasaran ubi kayu di
Pati, Jawa Tengah menyebutkan bahwa petani dalam memasarkan ubi kayu tidak
bisa langsung menjual hasil produksinya ke perusahaan karena adanya aturan
yang tidak tertulis yang sudah menjadi kebiasaan antara makelar maupun calo

11
dengan pedagang, karena antar makelarpun ada perkumpulan yang tidak bisa
dilanggar, terutama untuk ubi kayu yang berasal dari luar daerah setempat.
Pedagang pengumpul yang berupa pemborong/penebas umumnya membeli
langsung ke petani dengan cara tebasan. Dalam melakukan tawar menawar agar
tidak rugi, maka penebas biasanya sudah memiliki ilmu dalam jenis varietas,
kesuburan tanah, umur tanam dan informasi harga. Ubi kayu yang didapat dari
petani kemudian dijual ke pengusaha tapioka.
Zakaria (2000) dalam penelitiannya mengenai analisis penawaran dan
permintaan produk ubi kayu Lampung menyatakan bahwa pasar ubi kayu di
tingkat pabrik dan tapioka di Lampung memiliki struktur yang cenderung
oligopsoni dengan monopsony power yang lemah. Pasar terdiri dari banyak
penjual (petani) serta pembeli (pabrik dan pedagang) yang tergolong sedikit.
Dengan demikian dalam melakukan penjualan produknya petani penerima harga
(price taker) dan petani terpaksa menerima rafraksi yang cukup besar. Biaya
transportasi ubi kayu dari lokasi sentra produksi ubi kayu ke sentra pabrik gaplek
atau tapioka belum optimal. Alternatif kelembagaan transaksi yang mampu
memberikan biaya trasportasi ubi kayu minimal adalah kelembagaan kemitraan
yang dibentuk oleh para petani di suatu sentra produksi dengan pabrikan di sentra
industri gaplek atau tapioka yang lokasi lahan usahatani dan pabriknya saling
berdekatan.
Saluran Pemasaran
Hasil penelitian mengenai saluran pemasaran produk pertanian primer di
beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa pada saluran pemasaran
kentang di Eritrea saluran pemasaran potensial adalah melalui pedagang grosir,
pengecer dan langsung kepada konsumen. Mayoritas (78.3 persen) dari petani
mengindikasikan bahwa sebagian besar produk mereka dipasarkan melalui grosir
diikuti oleh pengecer (27.5 persen) (Ghebreslassie 2014). Sementara itu di
Swazinland petani sayuran sangat sulit untuk bisa menjual produknya di pasar
secara langsung, sehingga pedagang besar yang menjadi pilihan (Xaba 2013).
Chirwa (2009) menyatakan bahwa setiap saluran pemasaran menawarkan pilihan
harga yang berbeda dan pelayanan penjualan yang berbeda pula, yang
menentukan petani dalam memilih saluran pemasaran.
Adanya pilihan harga yang ditawarkan pada saluran pemasaran memiliki
pengaruh pada pendapatan yang diterima oleh petani. Pada model kerjasama
petani plasma dan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten OKI Sumatra Selatan,
yang memberlakukan pola kerjasama petani dengan mitra berupa perkebunan
sawit, petani justru merasa dirugikan dengan penjualan TBS (tandan buah segar)
ke perkebunan kelapa sawit. Hal ini dikarenakan (1) perusahaan inti lebih
mendahulukan mengolah TBS yang dihasilkan kebun milik perusahaan ini, dalam
kondisi seperti ini petani plasma dirugikan karena TBS-nya terpaksa menginap di
kebun yang pada akhirnya menurunkan kualitas TBS yang berimplikasi terhadap
harga TBS menjadi rendah. (2). Perusahaan inti pada saat membeli TBS dari
petani plasma tidak melakukan pembayaran secara tunai (non cash and carry),
akan tetapi pembayaran dilakukan satu bulan kemudian karena menunggu
penetapan harga dari pemerintah. (3). Rendemen TBS (bahan baku CPO) yang
berasal dari petani plasma pada prakteknya belum transparan dilakukan oleh

12
perusahaan inti, akibatnya petani hanya menerima laporan jumlah produksi CPO
(crude palm oil), keadaan demikian ini terjadi karena sampai saat ini KUD belum
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan rendemen. (4). Ketidak setaraan
pengetahuan dan informasi pasar antara perusahaan inti dengan petani plasma,
sering terjadi pada saat pembelian TBS, perusahaan inti membeli TBS dari petani
plasma dengan harga lokal (rupiah), sedangkan peruasahaan inti menjual CPO
dengan harga $ (US Dollar), hal ini terjadi karena perusahaan inti mempunyai
akses pasar ekspor, sedangkan petani tidak pernah mengetahui harga CPO di pasar
luar negeri, terjadilah disparasi harga, kondisi ini merugikan pihak petani plasma
(Badri, 2011).
Asmarantaka dkk (2014) meneliti mengenai pemasaran ubi kayu di
Lampung memberikan hasil bahwa umumnya terdapat tiga saluran ubi kayu dari
petani ke pabrik. Saluran pertama yaitu dari petani langsung ke pabrik, saluran
kedua dari petani ke pemborong lalu ke pabrik, dan saluran ke tiga dari petani ke
lapak lalu ke pabrik. Ayatillah (2013) yang melakukan penelitian mengenai
komparasi saluran pasar dan modern di Kabupaten Bandung menyatakan bahwa
adanya saluran pasar modern terhadap petani berdampak pada meningkatnya
produktivitas sayuran yang dihasilkan oleh petani, meningkatnya pendapatan dan
meningkatnya kualitas sayuran yang dipasarkan. Adapun dampak saluran pasar
modern terhadap saluran pasar tradisional antara lain berkurangnya volume
perdagangan sayuran di pasar tradisional, bertambahnya fungsi pemasaran, serta
saluran pemasaran tradisional menjadi lebih pendek.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Saluran Pemasaran
Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
lembaga pemasaran kakao di Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa
karakteristik petani seperti (1) luas lahan kakao, (2) hasil produksi kakao, (3)
pendidikan, (4) jumlah tanggungan keluarga, (5) pendapatan keluarga petani
(Dewi 2012) serta umur petani dan harga jual biji kakao (Akbar 2013)
mempengaruhi petani dalam memilih kelembagaan tataniaga kakao. Sebagian
besar petani memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan pedagang
pengumpul desa/kecamatan dalam hal meminjam uang/modal. Hal ini
menyebabkan petani tidak memiliki pilihan lain dalam menjual hasil produksinya
dan harga jual yang relatif rendah ditentukan sepihak oleh pedagang. Semua
faktor yang berpengaruh terhadap pilihan kelembagaan tataniaga oleh masingmasing petani menggunakan pendekatan model fungsi logistik, yaitu
pengembangan model probabilitas linear (Dewi 2012; Chirwa 2009; Xaba 2013).
Sisfahyuni et al. (2011) menyatakan bahwa pedagang pengumpul kakao di
Sulawesi Tengah sebagai pembeli kakao tergolong sedikit dan bermitra dengan
pedagang diatasnya secara vertikal, sehingga struktur pasar biji kakao di tingkat
petani adalah oligopsoni. Sesama pedagang pengumpul melakukan kerjasama
melalaui sharing informasi dan dana. Kerjasama tersebut menguntungkan
pedagang pengumpul yang berhadapan langsung dengan petani, sehingga
memperkuat posisi tawar pedagang pengumpul. Jadi dalam kasus sharing
informasi harga kakao biji di Sulawesi Tengah pedagang pengumpul mendapatkan
keuntungan yang besar. Hal ini tidak sejalan dengan yang dilaporkan Hueuth dan
Marcoul (2006) dalam Sisfahyuni (2011) bahwa sharing informasi meningkatkan

13
keuntungan petani dan menurunkan keuntungan perusahaan perantara. Sebagian
besar petani (71 persen) terlibat dalam kelembagaan pedagang principal agent
yang begitu kuat.
Suatu kelembagaan principal-agent merupakan suatu hubungan agensi
yang lebih dihubungkan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih
(principal) mengajak orang lain (agent) menyelenggarakan beberapa jasa dengan
pendelegasian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen. Purwaningsih
(2006) menyebutkan bahwa principle agent adalah pola kerjasama keagenan,
dimana satu perusahaan besar bekerja sama dengan beberapa agen, baik dalam
distribusi input produksi maupun dalam pemasaran hasil. Beberapa hal
diantaranya yang manjadi faktor yang mempengaruhi petani dalam memilih
saluran pemasaran yaitu informasi dan ketersediaan kontrak perjanjian (Jari 2009).
Namun keterbatasan informasi menyebabkan rasionalitas petani terbatas (bounded
rationality) (Urquieta 2009). Sehingga petani bertindak seakan-akan tidak rasional.
Menurut Wiliamson (1996), dengan alasan bounded rationality, kontrak yang
komprehensif merupakan suatu pilihan yang tidak layak. Karena kondisi
pengetahuan petani tidak memungkinkan baginya dalam memahami keluasan
kontrak tersebut.
Qhoirunisa (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi pilihan saluran pemasaran oleh petani padi dalam menjual
hasil panennya adalah lama pendidikan petani dan kemudahan dalam menjual
hasil panen. Sementara itu peluang petani untuk memilih koperasi sebagai
lembaga pemasaran akan semakin besar dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan formal petani dan apabila petani menjadi anggota koperasi pada
pemasaran sawit di Banyuasin (Malini dan Desi 2010 ). Mzyece (2010) mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani kacang di Zambia dalam
pemilihan saluran pasar diantaranya harga, jumlah persediaan, transportasi,
tingkat mekanisasi dan status perkawinan. Sementara untuk kopi di Southern
Ethiopia faktor yang mempengaruhi diantaranya pendidikan, proporsi lahan yang
dialokasikan untuk kopi, proporsi pendapatan petani keseluruhan terhadap total
pendapatan, kinerja kandang, kepuasan terhadap kinerja koperasi, dan cara
pembayaran (Anteneh 2011; Ogunleye 2007). Faktor sosial, seperti tingkat
kedekatan dan kekerabatan juga menjadi hal bisa yang mempengaruhi pilihan
saluran pemasaran (Jari 2009).
Studi mengenai pemilihan saluran pemasaran lebih banyak mengkaji pada
level petani, sementara itu Sujarwo et al. (2014) yang melakukan studi mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan saluran pemasaran pada tingkat
pedagang karet di Jambi menyatakan bahwa faktor-faktor yang signifikan
mempengaruhi pilihan saluran pemasaran pedagang adalah lokasi, akses kredit,
akses informasi, keuntungan dan karakteristik pedagang. Pedagang cenderung
tidak menjual ke pabrik jika jumlah karet sedikit, akses informasi lebih baik, dan
proses birokrasi yang lebih mudah, meskipun lokasinya lebih jauh.
Kualitas Produk Komoditas Pertanian
Yonekura (1996) dalam penelitiannya mengenai standar kualitas pada
pasar jagung di Jawa Timur mengatakan bahwa standarisasi jagung disebabkan
adanya respon permintaan dari industri pakan yang cukup kuat, menyangkut kadar

14
air dan kotoran. Penilaian kualitas ini disebut rafaksi, yang bisa berupa
pengurangan terhadap harga ataupun berat terhadap kualitas jagung yang diluar
standar. Namun informasi mengenai sta