Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis Umkm Dengan Kesejahteraan Pemilik Umkm

HUBUNGAN KEPADATAN JARINGAN BISNIS DENGAN
KESEJAHTERAAN PEMILIK UMKM
(Kasus Unit-unit UMKM di RW 10 Desa Ciherang, Kabupaten Bogor)

IQBALUDIN AKBAR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kepadatan
Jaringan Bisnis dengan Kesejahteraan Pemilik UMKM, Kasus Unit-unit UMKM
di RW 10 Desa Ciherang, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Iqbaludin Akbar
NIM I34090089

1

Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK
IQBALUDIN AKBAR. Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis UMKM dengan
Kesejahteraan Pemilik UMKM. Dibimbing oleh SAHARUDDIN.
UMKM sebagai sektor informal di daerah sub-urban mempunyai peran yang
sangat penting bagi livelihood (nafkah) masyarakat setempat. Secara alamiah, para
pelaku UMKM akan membentuk jaringan bisnis untuk mempertahankan atau
mengembangkan usahanya. Jika pelaku UMKM tidak mempunyai kepadatan
jaringan bisnis yang baik, maka ketika menghadapi kendala akan mengalami
kesulitan atau mungkin bahkan terjadi kerugian dan mempengaruhi kesejahteraan
pelaku UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keterhubungan antara

kepadatan jaringan dengan kesejahteraan pelaku UMKM. Penelitian ini dilakukan
di RW 10 Desa Ciherang Kabupaten Bogor dengan jumlah responden tiga puluh
pelaku UMKM. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan kuesioner sebagai
alat penelitian dan dianalisis dengan metode tabulasi silang. Sedangkan
pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian
menunjukkan tidak ada keterhubungan antar semua variabel dalam tabel tabulasi
silang, dan jugadari melalui Chi-square Test di SPSS 16 menunjukkan tidak
adanya nilai signifikansi dibawah 0.05. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
kepadatan jaringan bisnis tidak menentukan kesejahteraan pelaku UMKM di RW
10 Desa Ciherang.
Kata kunci: kesejahteraan, kepadatan jaringan, UMKM
ABSTRACT
IQBALUDIN AKBAR. The Correlation Between Business Network Solidity with
SMEs Entrepreneur Welfare. Supervised by SAHARUDDIN.
SMEs as informal sector in sub-urban areas have a very important role for the
local livelihood. Naturally, SMEs entrepreneur would form a business network to
maintain or expand it’s venture. If SMEs do not have a good business network
density, then when facing obstacles will have trouble or maybe even a loss and
effect to SMEs’s welfare. The research has purpose to indentify correlitivity

between network solidity with SMEs’s entrepreneur welfare. This research was
conducted in RW 10 Ciherang Village, Bogor District with the number of
respondents is thirty SMEs entrepreneur. The research approach used quantity and
quality approach. Quantity approach using questionnaire as research tool and
processed by the method of cross-tabulation. While quality approach did through
by in depth-interview. The research results showed there was no connectivity
between all variables in cross-tabulation table, and also Chi -square test in SPSS
16 as indicated by the absence of significant value under 0.05. It can be concluded
that the density of business network do not define the welfare of SMEs
entrepreneur in RW 10 CiherangVillage.
Keywords: welfare, network density, SMEs

HUBUNGAN KEPADATAN JARINGAN BISNIS DENGAN
KESEJAHTERAAN PEMILIK UMKM
(Kasus Unit-unit UMKM di RW 10 Desa Ciherang, Kabupaten Bogor)

IQBALUDIN AKBAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

Judul Skripsi

:

Hubungan Kepadatan Jaringan Bisnis dengan Kesejahteraan Pemilik
UMKM, Kasus Unit-unit UMKM di RW 10 Desa Ciherang,
Kabupaten Bogor

Nama

:


Iqbaludin Akbar

NIM

:

I34090089

Disetujui oleh

Dr Ir Saharuddin, M,Si
Pembimbing

Diketahui oleh,

Dr Ir Siti Amanah, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _____________________


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayahNya serta karunia yang diberikan-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Hubungan
Kepadatan Jaringan Bisnis dengan Kesejahteraan Pemilik UMKM” dapat
diselesaikan.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Saharuddin M.Si, selaku
dosen pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis menyusun skripsi
dengan baik hingga selesai. Kemudian terima kasih untuk Dr. Ir. Sarwititi, MS selaku
Pembimbing Akademik dan Mbak Dhiny, Mbak Icha, Mbak Anggra, Pak Atus, Pak Priat
dan Mbak Maria selaku staf akademik yang tidak pernah bosan memfasilitasi kelanjutan
penyelesaian studi. Penulis mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Drs.
Bachtiar Tofani dan Dra. Farida Ariani selaku orang tua yang senantiasa mendukung
penyelesaian studi melalui bantuan moril maupun materil. Ucapan terima kasih juga
penulis haturkan untuk Ir. Dadang Suparman dan Ir. Erna Kurnia selaku mertua dan
Fajrina Nissa Utami, S.Kpm selaku istri yang selalu memberikan berbagai dukungan dan
doa tanpa henti. Terima kasih penulis ucapkan kepada para warga RW 10 Desa Ciherang,
terutama para pelaku usaha UMKM di RW 10 yang sudah bersedia meluangkan waktu
untuk diwawancarai. Tak lupa penulis ucapkan kepada Yayan Saryani S.KPm dan temanteman dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 46,
Tri Nuryanti, Rizka Amalia, Siska Oktavia, Siti Hadijah, Rizka Andini, Yosa, Femy
Amalia dan lainnya yang memberikan bantuan teknis untuk penuntasan skripsi. Terakhir,

penulis ucapkan terima kasih pula untuk keluarga Himpunan Mahasiswa Surabaya,
Sidoarjo, Mojokerto dan Gresik (Himasurya Plus) yang juga mendukung untuk
penyelesaian skripsi ini. Semoga apa yang penulis tuliskan bisa memberikan manfaat bagi
pembaca semua.

Bogor, Agustus 2016

Iqbaludin Akbar

DAFTAR ISI

ABSTRAK

iii

PRAKATA

vi

DAFTAR TABEL


ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

2


Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

5

PENDEKATAN TEORITIS
Livelihood Masyarakat Suburban

7

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

8

Jaringan Bisnis UMKM

13


Kesejahteraan Masyarakat

14

Kerangka Pemikiran

17

Hipotesis Penelitian

18

Definisi Operasional

18

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu


21

Teknik Sampling

21

Teknik Pengumpulan Data

21

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

22

GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Keadaan Wilayah

23

Kondisi Demografi

23

Kondisi Sosial dan Ekonomi

25

KEPADATAN JARINGAN BISNIS
Jumlah Relasi

31

Intensitas Pertemuan

34

Kualitas Hubungan

34

KESEJAHTERAAN PEMILIK UMKM
Pemenuhan Kebutuhan Sandang

36

Pemenuhan Kebutuhan Pangan

36

Pemenuhan Kebutuhan Papan

38

HUBUNGAN KEPADATAN JARINGAN BISNIS DENGAN KESEJAHTERAAN
PEMILIK UMKM
KESIMPULAN

39
45

DAFTAR PUSTAKA

47

LAMPIRAN

49

DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Tabel 20.
Tabel 21.

Jumlah tenaga kerjadan omzet menurut kategori UMKM
Pengertian UMKM menurut beberapa lembaga dan peneliti
Persentase pemenuhan kebutuhan manusia
Jumlah dan kategori umur masyarakat Desa Ciherang
Stratifikasi sosial warga RT 2 RW 10 Desa Ciherang
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah relasi
Jumlah dan persentase responden menurut kategori UMKM dan jumlah
usaha
Jumlah dan persentase menurut intensitas pertemuan
Jumlah dan persentase kualitas hubungan
Jumlah dan persentase menurut pemenuhan kebutuhan sandang
Jumlah dan persentase menurut pemenuhan kebutuhan pangan
Jumlah dan persentase menurut pemenuhan kebutuhan papan
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah jaringan dan
pemenuhan kebutuhan sandang
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah jaringan dan
pemenuhan kebutuhan pangan
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah jaringan dan
pemenuhan kebutuhan papan
Jumlah dan persentase responden menurut intensitas pertemuan dan
pemenuhan kebutuhan sandang
Jumlah dan persentase responden menurut intensitas pertemuan dan
pemenuhan kebutuhan pangan
Jumlah dan persentase responden menurut intensitas pertemuan dan
pemenuhan kebutuhan papan
Jumlah dan persentase responden menurut kualitas hubungan dan
pemenuhan kebutuhan sandang
Jumlah dan persentase responden menurut kualitas hubungan dan
pemenuhan kebutuhan pangan
Jumlah dan persentase responden menurut kualitas hubungan dan
pemenuhan kebutuhan papan

9
9
17
25
27
31
33
34
34
36
36
38
39
39
40
40
41
41
42
42
43

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Piramida kebutuhan manusia

17

Gambar 2. Pemanfaatan lahan Desa Ciherang

24

Gambar 3. Persentase tingkat pendidikan masyarakat Desa Ciherang

24

Gambar 4. Persentase mata pencaharian masyarakat Desa Ciherang

26

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Desa Ciherang

49

Lampiran 2. Kerangka sampling pelaku UMKM RW 10 Desa Ciherang

50

ii

Lampiran 3. Kuesioner penelitian

53

Lampiran 4. Panduan wawancara mendalam

59

Lampiran 5. Hasil pengolahan data

60

Lampiran 6. Dokumentasi penelitian

68

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor informal dalam konsep kegiatan ekonomi daerah sub-urban
berkaitan erat dengan kegiatan UMKM yang sudah menjadi pondasi kegiatan
ekonomi kerakyatan. Mengutip pernyataan Winardi di jurnal karya Saryawan dkk
(2014) tentang UKM, beliau mengungkapkan bahwa dalam sejarah perekonomian
Indonesia, kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), yang dikategorikan
sebagai usaha sektor informal, sangat potensial dan berperan dalam menyediakan
lapangan pekerjaan dengan penyerapan tenaga kerja secara mandiri. Jauh sebelum
krisis ekonomi sektor informal sudah ada, resesi ekonomi nasional tahun 1998
hanya menambah jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal. Pengusaha
sektor informal adalah orang yang bermodal relatif sedikit berusaha di bidang
produksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam
masyarakat. Usaha tersebut dilaksanakan di tempat-tempat yang dianggap
strategis dalam suasana lingkungan yang informal. Oleh karena itu, tidak salah
apabila menyebut sektor informal sebagai kegiatan UMKM secara umum.
Data Kementerian Koperasi dan UMKM Indonesia tahun 2012 mencatat
jumlah UMKM di Indonesia yaitu sekitar 55.206.444 unit, sedangkan UB (Usaha
Besar) hanya berjumlah 4.952 unit. Itu artinya pelaku UMKM secara kuantitas
menguasai sektor usaha dengan presentase 99,99% dan peningkatan jumlah
UMKM pun terjadi dua hingga tiga persen tiap tahunnya. UMKM tidak hanya
berada di perkotaan, tetapi juga di pedesaan. Menurut Tambunan (2009) UMKM,
terutama usaha mikro dan kecil, tersebar hingga di seluruh pelosok pedesaan.
Kelompok usaha ini mempunyai suatu signifikansi “lokal” yang khusus untuk
ekonomi pedesaan. Kemajuan pembangunan ekonomi pedesaan sangat ditentukan
oleh kemajuan pembangunan UMKM-nya. Dan kegiatan-kegiatan produksi dari
kelompok usaha tersebut umumnya berbasis pertanian. Depkop (2011)2 pun
menyebutkan PDB UMKM terbesar Indonesia berasal dari sektor pertanian. Fakta
tersebut menyatakan bahwa UMKM memiliki pengaruh yang nyata bagi
kesejahteraan masyarakat pedesaan, entah yang berada dalam wilayah sub-urban
maupun tidak.
Jumlah UMKM sangat tinggi dan tersebar hingga pedesaaan tidak
menjamin angka kemiskinan menurun drastis. Data terbaru BPS (2016) pada
September 2015 mencatat bahwa kemiskinan masih cukup tinggi di perdesaan
dengan jumlah 17371,09 atau 13,76 persen, daripada jumlah perkotaan yang
hanya 10356,69 atau 8,16 persen. Artinya, jumlah orang miskin di pedesaan lebih
tinggi dari perkotaan. Pemerintah sendiri telah melakukan aktivitas pemberdayaan
UMKM dengan melakukan pendampingan, pengguliran modal usaha melalui
lembaga keuangan mikro, pemberlakuan kebijakan usaha dll. Tetapi tampaknya
usaha yang dilakukan pemerintah kurang memenuhi apa yang diinginkan semua
pihak. Tujuan pemberdayaan itu sendiri menurut Prasetyo (2008) adalah agar
perkembangan UMKM semakin baik sebagai langkah penanggulangan
Narasi Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun 2010 – 2011 (Terdapat di:
www.depkop.go.id/phocadownload/data_statistik/statistik_UKM/narasi_statistik_umkm%2020102011.pdf)

2

2

kemiskinan dan pengangguran. Peran UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja
pada tahun 2010 tercatat sebesar 99.401.775 orang atau 97,22 persen dari total
penyerapan tenaga kerja yang ada, kontribusi Usaha Mikro (UMi) tercatat
sebanyak 93.014.759 orang atau 90,98 persen dan UK tercatat sebanyak
3.627.164 orang atau 3,55 persen. Sedangkan UM sebanyak 2.759.852 orang atau
2,70 persen selebihnya adalah UB. Meskipun memiliki daya serap tenaga kerja
yang tinggi, tampaknya UMKM masih belum mampu mewujudkan kesejahteraan
ekonomi bagi masyarakat, terutama yang berada di pedesaan.
Fungsi UMKM sebagai pengentas kemiskinan dan mewujudkan
kesejahteraan masyarakat ternyata secara nyata terkendala beberapa masalah dan
hambatan yang umumnya dialami oleh semua pelaku usaha. Salah satu
penyebabnya adalah karena faktor jaringan bisnis yang dimiliki oleh pelaku
usaha. Dalam situs smartbisnis.com, dengan memiliki relasi atau jaringan bisnis
yang baik dan terpercaya akan bisa menopang bisnis kita kedepannya. Hubungan
bisnis ini yang menjadi pondasi kuat bisnis kita untuk bertahan hidup. Sama
seperti kita dalam kehidupan sosial, pasti membutuhkan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi. Pada dasarnya manusia tidak bisa
hidup sendiri. Inilah yang menjadi dasar dalam berbisnis3. Pada penelitian ini,
jaringan bisnis dianalisis melalui kepadatan jaringan bisnis yang dimiliki oleh
seorang pelaku usaha UMKM.
Desa Ciherang Kabupaten Bogor merupakan salah satu desa yang memiliki
potensi UMKM yang cukup baik karena lokasinya yang dekat dengan perkotaan.
Desa Ciherang dapat disebut sebagai daerah suburban karena jarak dengan kota
Bogor hanya delapan kilometer dan 27 kilometer dengan Kota Jakarta. Livelihood
masyarakat setempat mengalami beralih ke sektor perdagangan barang setengah
jadi atau jadi, seperti maraknya toko kelontong atau warung. Sektor pertanian
sudah mulai ditinggalkan dan bermunculan usaha berbasis jasa. Desa Ciherang
juga sangat dekat dengan jalur antar provinsi. Jalur tersebut menghubungkan
provinsi Jawa Barat dengan Banten. Kondisi infrastruktur Desa Ciherang berupa
jalan utama yang cukup baik (rata-rata beraspal) membuat kegiatan sehari-hari
masyarakat, terutama perekonomian tidak mengalami kendala berarti. Adanya
beberapa perumahan di Desa Ciherang semakin menguatkan karakter daerah
suburban. Walaupun masyarakatnya sudah berlaih dari sektor pertanian, lahan
untuk bertani atau berkebun di Desa Ciherang masih dapat ditemui di beberapa
tempat dengan cakupan yang cukup luas. RW 10 Desa Ciherang merupakan
wilayah dengan jumlah UMKM dan penduduk yang paling tinggi daripada RW
lainnya. Kepadatan tersebut menandakan variasi dan dinamika yang terjadi pada
kondisi sosial-ekonomi lebih menarik dari daerah lainnya. Oleh karena itu,
penting untuk dilakukan penelitian mengenai hubungan antara kepadatan jaringan
bisnis UMKM dengan kesejahteraan pelaku usaha UMKM di RW 10 Desa
Ciherang.
Masalah Penelitian
Suyono (2013) memaparkan bahwasanya secara umum usaha kecil memiliki
karakteristik sebagai usaha yang tergolong ekonomi lemah, baik dari aspek:
3

http://www.smartbisnis.co.id/content/read/belajar-bisnis/implementasi-bisnis/pentingnya-relasibisnis

3

pengetahuan, ketrampilan, teknologi yang digunakan, permodalan, pemasaran,
promosi dan juga kerjasama. Kelompok usaha ini sulit bersaing dengan
perusahaan raksasa. Namun realitasnya, tidak sedikit usaha kecil atau UKM
memiliki produk yang bagus dan bernilai tinggi. Namun mereka sulit untuk
memasarkan produknya. Selain itu, dalam hal manajerial biasanya UMKM di
pedesaan belum memiliki struktur organisasi maupun aturan yang baik (masih
tradisional).
Seorang wirausaha tidak dapat hidup sendiri dalam menjalankan usahanya,
namun ada keterkaitan dengan pihak luar baik sebagai pemasok, pelanggan,
maupun pedagang perantara. Oleh karena itu, diperlukan suatu jaringan usaha
agar usaha yang kita jalankan berkelanjutan. Jaringan usaha dan komunikasi
terbukti berperan penting dalam pengembangan usaha4.
Menurut Hafsah (2004), salah satu permasalahan dan penghambat UKM
adalah lemahnya jaringan usaha. Usaha kecil yang pada umumnya merupakan
unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan
kemampuan penetrasi pasar yang rendah, oleh karena penduduk yang dihasilkan
jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif.
Berbeda dengan usaha yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta
didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi
yang baik.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki kekurangan UMKM dan menonjolkan
keunggulannya, peran jaringan bisnis sangat berguna untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha dan orang-orang yang terlibat didalam aktivitas
bisnis. Jaringan bisnis yang dimiliki seorang pelaku usaha tidak cukup hanya
terbatas pada jumlah, tetapi juga harus diteliti melalui kepadatan jaringan bisnis
yang merepresentasikan kekuatan jaringan yang sesungguhnya. RW 10 sebagai
wilayah dengan jumlah penduduk dan unit UMKM terbanyak diharapkan dapat
mewakili keseluruhan gambaran tentang kepadatan jaringan bisnis di Desa
Ciherang. Jumlah penduduk dan unit UMKM yang tinggi tersebut diharapkan
mampu memberikan identifikasi mengenai kepadatan jaringan bisnis UMKM di
RW 10 Desa Ciherang.
Dalam perspektif yang lebih luas, bisnis memang dibangun oleh seseorang
atau sekelompok orang. Namun, ia dibangun oleh motif bagaimana setiap orang
sebagai anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk menyumbangkan pikiran
dan tenaganya bagi kesejahteraan bersama dan kesejahteraan bisnis itu sendiri.
Para ekonom klasik berpendapat, tugas ekonomi adalah memberi alasan mendasar
mengapa ekonomi perlu memfokuskan perhatiannya pada kesejahteraan bersama
dan cara yang wajar untuk meningkatkan kekayaan, kemakmuran dan
kesejahteraan bersama tersebut (Dua 2012).
Fahrudin (2012) menyebutkan bahwa sesungguhnya kehidupan yang
diidamkan anggota masyarakat di pedesaan kita sekarang ini masih sangat
sederhana karena kehidupan di pedesaan kita memiliki keindahan dan
kebahagiaan tersendiri. Secara garis besar gambaran kehidupan sederhana tersebut
dapat dilukiskan kira-kira sebagai berikut:
1. Cukup pangan, sandang, papan dan mampu menyekolahkan anak-anak

4

http://blog-ilmuonline.blogspot.co.id/2012/05/jaringan-usaha.html

4

2. Bebas dari rasa takut yang menggambarkan kehidupan yang aman, rukun
seiya sekata yang tua dihormati, yang kecil disayangi dan yang sebaya
sebagai teman untuk mufakat.
3. Keadaan pasar yang ramai, dengan arti kata bahwa ada hasil produksi yang
akan dijual dan barang-barang kebutuhan yang akan dibeli.
4. Tempat-tempat beribadah yang ramai dengan arti kata bahwa anggota
masyarakat merasa perlu memanjatkan doa syukur kepada penciptanya.
5. Acara-acara adat dan seni budaya yang merupakan pusaka dari nenek
moyang mereka terlaksaana dengan laancar sekaligus merupakan hiburan
dan menggambarkan kehidupan yang bahagia bagi mereka.
Dari pemaparan tersebut, kebutuhan nomer satu merupakan kebutuhan
mendasar masyarakat di pedesaan. Kebutuhan mendasar dapat dikatakan sebagai
kebutuhan pokok. Kesejahteraan dalam beberapa teori tidak akan tercapai tanpa
adanya pemenuhan pokok atau dasar seseorang terlebih dahulu. Kebutuhan pokok
atau dasar adalah hal fundamental yang harus dipenuhi setiap individu. Oleh
karena itu, sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi, UMKM tentunya
diharapkan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha.
Kesejahteraan pelaku UMKM tidak perlu ditelaah secara luas, cukup dengan
pemenuhan kebutuhan pokok atau dasar manusia. Urgensi kebutuhan pokok atau
dasar itu sendiri berkaitan dengan hidup mati manusia secara fisik. Penetapan
lingkup kebutuhan pokok atau dasar dalam penelitian ini dilakukan karena
konteks lokasi yang masih tergolong pedesaan (jumlah kemiskinan tinggi),
meskipun sudah sub-urban. Untuk memastikan semua hal tersebut, maka perlu
dilakukan identifikasi terhadap kesejahteraan pelaku UMKM di RW 10 Desa
Ciherang dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok atau dasar.
Kesejahteraan pelaku UMKM baik secara langsung maupun tidak,
berkaitan dengan jaringan bisnis yang dimilikinya. Fungsi jaringan bisnis sendiri
tidak hanya untuk pemasaran, tetapi yang utama adalah penyelesaian masalah.
Jaringan bisnis ditandai dengan kepadatan jaringan bisnis. Hambatan dan masalah
dalam kegiatan bisnis dapat berdampak pada stagnansi atau bahkan kerugian dan
pentutupan usaha seseorang apabila sudah cukup parah. Kemiskinan secara sosialpsikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang
mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan
produktivitas (Priadana dan Guntur, 2010). Produktivitas cukup baik dan
keberhasilan usaha yang kontinyu tentunya akan membawa kesejahteraan bagi
pelaku UMKM. Kesejahteraan dalam hal ini dimaknai sebagai terpenuhinya
kebutuhan pokok atau dasar. Mengingat pentingnya jaringan bisnis terhadap
perkembangan usaha dan dampaknya terhadap kesejahteraan pelaku UMKM,
maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kepadatan
jaringan bisnis dengan kesejahteraan pelaku UMKM.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengidentifikasi tingkat kepadatan jaringan bisnis UMKM di RW
10 Desa Ciherang
2. Untuk mengidentifikasi tingkat kesejahteraan komunitas UMKM di RW
10 Desa Ciherang

5

3. Untuk menganalisis hubungan antara kepadatan jaringan UMKM dengan
kesejahteraan komunitas UMKM di RW 10 Desa Ciherang
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak,
yaitu:
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
dan kajian
2. Bagi pemerintah, penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan
pertimbangan penetapan aturan atau kebijakan yang nantinya akan di
implementasikan
3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan
pengetahuan baru yang kredibel

PENDEKATAN TEORITIS
Livelihood Masyarakat Sub-urban
Konsep ‘livelihood’ (penghidupan) secara luas digunakan dalam tulisantulisan kontemporer tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan, tetapi
maknanya seringkali sulit dipahami, baik karena ketidakjelasan atau definisi yang
berbeda yang ditemui dalam sumber yang berbeda. Definisi kamusnya adalah
'berarti hidup', yang langsung membuatnya lebih dari sekedar identik dengan
penghasilan karena mengarahkan perhatian pada cara di mana hidup diperoleh,
bukan hanya hasil bersih dalam hal penghasilan yang diterima atau konsumsi
yang tercapai (Ellis 2000). ‘Livelihood’ dapat berarti mata pencaharian,
penghidupan, nafkah dan rezeki5. Hogger (2004) mengungkapkan di bukunya
bahwa ‘Livelihood’ menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford tidak hanya merujuk
pada ‘cara hidup’ tetapi juga ‘berbagai cara mempertahankan hidup’. Dari kedua
arti tersebut, salah satunya mendapat kesan yang memperluas ruang lingkup dari
gagasan ‘livelihood’. Hal tersebut disebabkan karena ‘livelihood’ mengacu pada
banyak hal, seperti: cara, metode, gaya, kebiasaan atau adat bahkan melodi atau
lagu, termasuk makanan, pendapatan, properti atau warisan. Dengan demikian,
‘mata pencaharian’ tampaknya dapat menjadi ‘melodi’ dan ‘uang’ pada saat yang
sama. ‘Livelihood’ memiliki aspek non-fisik dan fisik.
Livelihood dapat diartikan sebagai aset (alam, manusia, finansial, sosial dan
fisik), aktifitas dimana akses atas aset dimediasi oleh kelembagaan dan relasi
sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun
keluarga (Ellis 2000). Sementara itu menurut Saragih dkk (2007), akses dapat
didefinisikan sebagai suatu aturan dan norma sosial yang mengatur atau
mempengaruhi keampuan yang berbeda antar individu dalam memiliki,
mengontrol, mengklaim atau menggunakan sumber daya seperti penggunaan
lahan di pedesaan.
Kemudian Ellis (2000) menjelaskan bahwa karakteristik fundamental
livelihood pedesaan di negara-negara berkembang kontemporer adalah
kemampuan untuk beradaptasi dalam rangka bertahan hidup. Kontruksi dari
livelihood lebih jauh harus dilihat sebagai proses yang berkelanjutan, di mana ia
tidak dapat diasumsikan bahwa unsur-unsurnya tetap sama dari satu musim ke
musim lainnya atau dari satu tahun ke tahun berikutnya. Aset dapat dibangun,
terkikis, atau seketika hancur (seperti, misalnya, dalam banjir). Aktivitas yang ada
di aset berfluktuasi secara musiman dan tahunan, terutama yang berkaitan dengan
tren ekonomi yang lebih besar dalam skala nasional dan internasional. Akses ke
sumber daya dan peluang dapat berubah untuk rumah tangga karena pergeseran
norma-norma dan peristiwa dalam konteks sosial dan institusional di sekitar mata
pencaharian mereka.
Pada skripsi saudari Mustiqoh (2009), Kuswiyoto menjelaskan wilayah
peralihan (Suburban) sering didefinisikan sebagai wilayah pinggiran kota, akan
tetapi lebih tepat jika wilayah peralihan merupakan wilayah dengan karakteristik
antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Apabila dilihat dari dalam
suatu lingkungan daerah maka daerah sub urban merupakan daerah yang berada di
antara rural dan urban. Juga dilihat sebagai suatu bentuk komunitas, maka
5

https://translate.google.co.id/#en/id/livelihood

8

suburban merupakan komunitas yang memiliki sifat di tengah-tengah rural dan
urban (Kuswiyoto dalam Mustiqoh 2009).
Masih di skripsi Mustiqoh (2009), Koestoer mernerangkan lebih lanjut
mengenai wilayah suburban dalam perspektif lingkungan dikenal sebagai desa
kota. Wilayah desa kota umumnya mengandung suatu karakteristik campuran
desa dan kota. Beberapa daerah akan memperlihatkan bentuk kota dan yang lain
akan lebih dekat ke arah ciri perdesaan. Pengertian dasar desa kota adalah sebagai
tempat bermukim masyarakat pinggir kota dan dengan demikian mencakup semua
aspek interaksi, perilaku sosial dan struktur fisik secara spasial. Dimana
perkembangannya sangat bergantung pada spasial sistem yang lebih tinggi, yaitu
kota. Adapun kondisi di Indonesia, wilayah peralihan banyak dipengaruhi oleh
pola kehidupan kota ditandai dengan pembangunan perumahan baru. Kecirian
spasial wilayah ini ditandai oleh bentuk-bentuk campuran antara perumahan
teratur yang akan dibangun oleh pengembang dan perumahan asli tradisional
setempat (Kuswitoyo dalam Mustiqoh 2009).
Kemudian Minarti (2014) menyebutkan karakteristik sub urban sebenarnya
adalah pencampuran antara desa dengan kota. Beberapa daerah akan
memperlihatkan bentuk kota dan yang lain akan lebih dekat dengan ciri-ciri
pedesaan. Masyarakat sub-urban dapat menjadi penyangga (buffer) bagi
kehidupan kota jika warganya memiliki kemampuan kontributif dalam kehidupan
kota induk, sebaliknya masyarakat sub-urban hanya akan menjadi beban bagi
kehidupan bagi kota induk apabila masyarakatnya tidak memiliki ketempilan atau
kemampuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kota induk.
Livelihood masyarakat sub-urban secara teknis sudah berbeda dengan
masyarakat pedesaan (rural). Jika masyarakat pedesaan dicirikan dengan
penggunaan aset modal alam yang masih berkaitan erat dengan hal-hal berbau
pertanian, maka masyarakat sub-urban mulai meninggalkan sektor-sektor
pertanian sebagai modal alam yang digunakan untuk dasar mata pencaharian
sehari-hari. Selain itu, modal sosial juga mengalami perubahan, meskipun tidak
terlalu signifikan tetapi nilai-nilai sosial pedesaan tergantikan dengan nilai-nilai
perkotaan seperti konsumerisme, egoisme, penekanan terhadap prestise dan gaya
hidup. Livelihood masyarakat sub-urban berada pada fase peralihan ke sektorsektor usaha yang bersifat ‘kekotaan’. Sektor tersebut lebih bersifat pada sektor
perdagangan, pengolahan (barang setengah jadi atau jadi) dan jasa-jasa. Hal itu
tidak lain disebabkan karena kuatnya pengaruh kota hingga merubah struktur
livelihood masyarakat setempat.
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Setiap negara memiliki definisi UMKM yang berbeda-beda. Terlebih antara
negara maju dengan negara sedang berkembang. Di Indonesia, definisi UMKM
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 20086 tentang
UMKM. Dalam Bab I (Kententuan Umum), Pasal 1 dari ayat UU tersebut,
dinyatakan bahwa Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan
dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

6

http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uu-bi/Documents/UU20Tahun2008UMKM.pdf.

9

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang ini.
Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
Tabel 1. Penggolongan UMKM menurut tenaga kerja dan pendapatan
No

Golongan Usaha

Jumlah Tenaga Kerja
Pendapatan per Tahun (UU
(BPS)
No. 20 Tahun 2008)
1
UMI
≤ 4 orang
≤ Rp 300 juta
2
UK
5 – 19 orang
>Rp 300 juta - ≤ Rp 2,5 M
3
UM
20 – 99 orang
> Rp 2,5 M - ≤ Rp 50 M
Keterangan: UMI = Usaha Mikro, UK = Usaha Kecil dan UM = Usaha Menengah

Selain Undang-undang No. 20 Tahun 2008 dan BPS, ternyata ada undangundang dan lembaga lain yang turut memberikan definisi mengenai UMKM.
Beberapa pendapat tidak hanya diungkapkan oleh orang Indonesia, tetapi juga
oleh pakar dari luar negeri seperti Anderson Tommy (University of Gothenberg
Sweden), Staley & Morse (Modern Small Industry). Untuk definisi lebih
lengkapnya perihal definisi UMKM tersedia pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengertian UMKM menurut beberapa lembaga dan peneliti
Batasan Pengertian Secara
Umum

Lembaga

Istilah

UU No. 9/95 (Usaha
Kecil)

Usaha Kecil

Aset ≤ Rp 200 juta di luar
tanah dan bangunan atau
Omset ≤ Rp 1 milyar per tahun

INPRES No.10/1999

Usaha Menengah

Memiliki kekayaan bersih Rp
200 juta – Rp 10 milyar (tidak
termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha).

Badan Pusat Statistik
(BPS)

Usaha Mikro

Pekerja < 5 orang termasuk
tenaga kerja keluarga
Pekerja 5 – 1 9 orang
Pekerja 20 – 99 orang

Usaha Kecil
Usaha Menengah
Menteri Negara Koperasi
dan UKM

Usaha Kecil

Aset < Rp 200 juta di luar
tanah dan bangunan

10

Usaha Menengah
Bank Indonesia (BI)

Usaha Mikro

Usaha Kecil
Usaha Menengah

Bank Dunia

Usaha Mikro

Usaha Kecil

Usaha Menengah

Staley & Morse
(Modern Small Industry)

Anderson Tommy D.
(University of Gothenberg
Sweden)

Omset < Rp 1 milyar/tahun
atau independen
Aset > Rp 200 juta atau Omset
Rp 1–10 milyar per tahun
Dijalankan oleh rakyat miskin
atau dekat miskin, bersifat
usaha keluarga, menggunakan
sumber
daya
lokal,
menerapkan
teknologi
sederhana dan mudah keluar
masuk industri
Aset < Rp 200 juta atau Omset
Rp 1 milyar
Untuk kegiatan industri, Aset <
Rp 5 milyar, untuk lainnya
(termasuk jasa), Aset