Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor.

ESTIMASI KONSUMSI DAN ASUPAN ZAT BESI DARI
PANGAN BERBASIS TEPUNG TERIGU PADA SISWI SMA DI
KOTA BOGOR

RICHARDSON SIJABAT

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Estimasi Konsumsi dan
Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi
ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014

Richarson Sijabat
NIM I14100018

ABSTRAK
RICHARDSON SIJABAT. Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan
Berbasis Tepung Terigu Pada Siswi SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh DRAJAT
MARTIANTO.
Anemia gizi besi (AGB) merupakan masalah gizi yang dihadapi seluruh
negara. Fortifikasi pangan terbukti sebagai salah satu strategi terbaik untuk
meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh melalui makanan. Penelitian ini
bertujuan mempelajari konsumsi pangan berbasis terigu yang telah difortifikasi
dengan zat besi pada siswi SMA (remaja) yang termasuk rawan AGB. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dengan jumlah contoh
120 siswi berusia 15-18 tahun. Penelitian dilakukan di tiga sekolah yang dinilai
menggambarkan status sosial ekonomi yang berbeda. Kue kering/biskuit adalah
produk yang paling sering dikonsumsi (19.8 ± 19.3 kali/bulan) dan makanan ringan

(12.8 ± 16.1 kali per bulan). Konsumsi harian kue kering/biskuit paling dominan
dari segi berat di SMAN 1 dan SMAN 10, tetapi di SMA PGRI 4 produk yang
paling tinggi konsumsinya adalah mie instan. Jika dilihat jumlahnya, rata-rata total
konsumsi setara terigu adalah 96.2 g/orang/hari, dengan urutan konsumsi tertinggi
SMA PGRI 4 (115.8 g/orang), SMAN 10 (95.4 g/orang) dan SMAN 1 (77.3
g/orang) per hari. Rata-rata kontribusi asupan zat besi dari pangan olahan berbasis
tepung terigu yang telah difortifikasi terhadap AKG adalah 23.0%. Tidak terdapat
hubungan signifikan uang saku untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu
(p=0.965, r=0.004).
Kata kunci: anemia, siswi, terigu, zat besi, zat gizi mikro

ABSTRACT
Iron deficiency is a major micronutrient problem in the world. Fortification
is the best strategy to increase iron intake through food based approached. The
objective of research is to know consumption of fortified wheat flour based foods
among high school/women students. The design used in this study was a crosssectional study with high size of 120 girls aged 15-18 years. The research was
conducted at three schools with different social-economic status. Pastries/biscuits
is the most often products consumed by the students (19.8 ± 19.3 times/month) and
snacks (12.8 ± 16.1 times/month). Daily weight consumption of biscuits/pastries is
the highest in SMAN 1 and SMAN 10 students, but in SMA PGRI 4 students,

instant noodles is the most contributed one. The average intake of wheat flour
equivalent consumption a day is 96.2 g, with the highest is among SMA PGRI 4
student (115.8 g), SMAN 10 student (95.4g) and SMAN 1 student (77.3g). Wheat
flour based food contributes to 23.0% of RDA of iron. The research found that there
was no significant relation between school allowance and amount of wheat
consumption (p=0.943, r=0.004).
Keywords : anemia, iron, micronutrients, students, wheat flour

RINGKASAN
RICHARDSON SIJABAT. Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan
Berbasis Tepung Terigu Pada Siswi SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh
DRAJAT MARTIANTO.
Anemia gizi besi (AGB) merupakan masalah gizi yang dihadapi seluruh
negara. Fortifikasi pangan terbukti sebagai salah satu strategi terbaik untuk
meningkatkan asupan zat besi dalam tubuh melalui makanan. Penelitian ini
bertujuan mempelajari konsumsi pangan berbasis terigu yang telah difortifikasi
dengan zat besi pada siswi SMA (remaja) yang termasuk rawan AGB. Desain yang
digunakan dalam penelitian ini adalah cross-sectional study dengan jumlah contoh
120 siswi berusia 15-18 tahun. Penelitian dilakukan di tiga sekolah yang dianggap
menggambarkan status sosial ekonomi yang berbeda (SMAN 1, SMAN 10 dan

SMA PGRI 4 Bogor).
Pengambilan data konsumsi dilakukan dengan menggunakan food
frequency quitionare (FFQ) semi kuantitatif dan food recall 2x24 secara berturutturut. Data food recall recall 2x24 jam digunakan untuk verifikasi data FFQ. Data
konsumsi pangan olahan terigu yang diperoleh dikelompokkan menurut
pengelompokkan pangan olahan terigu oleh Hardinsyah dan Amalia (2007),
kemudian dikonversi untuk mandapatkan kandungan terigunya.
Karakteristik sosial demografi keluarga menunjukkan rata-rata usia kepala
keluarga berada kelompok dewasa tengah (41-65 tahun). Kepala keluarga contoh
dari SMAN 1 berpendidikan terakhir perguruan tinggi/sederajat sebesar 92.9%,
sedangkan SMAN 10 hanya 61.1% serta 16.7% pada SMA PGRI 4. Rata-rata
penghasilan keluarga dari contoh SMAN 10 dan SMA PGRI tidak berbeda nyata
(Rp 5.123.000,-/bulan dan Rp 4.431.000,-/bulan), namun keduanya berbeda nyata
dengan SMAN 1 (Rp 14.460.000,-/bulan). Rata-rata uang saku untuk pangan
contoh dari SMAN 1 adalah Rp 700.476,-/bulan, SMAN 10 Rp 532.777,-/bulan dan
SMA PGRI 4 Rp 514.095,-/bulan. Hasil uji Anova menunjukkan terdapat perbedaan
rataan uang saku ketiga kelompok dan uji lanjut Duncan menunjukkan rataan uang
saku SMAN 10 serta SMA PGRI 4 tidak berbeda nyata, namun keduanya berbeda
nyata dengan SMAN 1.
Kue kering/biskuit adalah produk yang paling sering dikonsumsi (19.8 ±
19.3) kali/bulan dan makanan ringan (12.8±6.1) kali per bulan. Kue kering/biskuit

paling berkontribusi berat konsumsi harian di SMAN 1 dan SMAN 10, tetapi di
SMA PGRI 4 produk yang paling berkontribusi adalah mie instan. Jika dilihat
jumlahnya, rata-rata total konsumsi terigu harian adalah 96.2 gram, dengan urutan
konsumsi tertinggi SMA PGRI 4 (115.8 g/orang), SMAN 10 (95.4 g/orang) dan
SMAN 1 (77.3 g/orang) per hari. Preferensi pangan olahan berbasis tepung terigu
dibandingkan olahan beras, umbi-umbian dan jagung menunjukkan bahwa pangan
olahan terigu lebih banyak dikonsumsi pada saat di luar rumah dan berada di
sekolah. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan pangan olahan terigu yang dengan
mudah dapat ditemukan di berbagai lokasi. Namun, untuk contoh dari SMA PGRI
4, konsumsi terigu juga menjadi preferensi saat sedang berada di rumah (81.0%).
Rata-rata kontribusi asupan zat besi dari pangan olahan berbasis tepung terigu yang
telah difortifikasi terhadap AKG adalah 23.0%. Tidak terdapat hubungan signifikan
uang saku untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu (p=0.965, r=0.004).

ESTIMASI KONSUMSI DAN ASUPAN ZAT BESI DARI
PANGAN BERBASIS TEPUNG TERIGU PADA SISWI SMA DI
KOTA BOGOR

RICHARDSON SIJABAT


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari Pangan Berbasis
Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor.
Nama
: Richardson Sijabat
NIM
: I14100018

Disetujui oleh


Dr Ir Drajat Martianto, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah konsumsi
pangan olahan terigu, dengan judul Estimasi Konsumsi dan Asupan Zat Besi dari
Pangan Berbasis Tepung Terigu pada Siswi SMA di Kota Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Drajat Martianto,
MSi selaku pembimbing, atas segenap bimbingan, saran dan dukungannya selama
penulis menyusun karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada Ibu Dr Ir Sri Anna Marliyati, MSi selaku pembimbing akademik yang juga
telah memberi bimbingan dan dukungan selama menjalani pendidikan. Terima
kasih juga penulis persembahkan kepada Ibu Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc yang
telah menguji dan memberi banyak masukan yang berguna bagi penyempurnaan
karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada
keluarga terkasih, Ibu Herlina Manik dan kedua adik saya, Daniel dan Putri, atas
segala doa, dukungan dan pengorbanannya selama penulis melakukan studi. Dan
tak lupa kepada Bapak, alm. Ober Sijabat, yang telah mendidik dan mengajarkan
banyak hal. Terima kasih juga penulis persembahkan kepada orang tua kedua saya,
Tante dan Uda Grace di Bekasi atas segala doa, perhatian dan kasih sayangnya.
Terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan juga kepada teman dan
sahabat, Adyatma, Andika, Arlina, Christyne, Christian, Dinda, Hernawan, Gita,
Irwan, Isna, Melinda, Novia, Nurisani, Rafiq, Ruth dan Willy atas segala bantuan
dan pengorbanannya selama mendampingi penulis hingga selesainya karya ilmiah
ini.
Terima kasih buat para pendamping di lapangan, Bapak/Ibu guru SMAN 1,
SMAN 10 dan SMA PGRI 4 Bogor, atas izin dan segala bantuan yang diberikan
kepada penulis selama penelitian. Terima kasih buat teman-teman seperjuangan di
Program Sarjana Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB,

segenap dosen dan staf atas bantuannya selama penulis menjalani studi. Akhirnya
penulis berharap, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi banyak pihak. Amin.
Bogor, Desember 2014

Richardson Sijabat

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Richardson Sijabat dilahirkan di Sipispis,
Sumatera Utara pada tanggal 14 November 1991 dari ayah Ober Sijabat dan ibu
Herlina Manik. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2010
penulis lulus dari SMAN 1 Tebing Tinggi dan pada diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) dengan program studi Gizi Masyarakat melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi
seperti Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) 2012-2013 pada divisi
Keprofesiian, Komisi Pembinaan Pemuridan UKM PMK sebagai koordinator
(2012), Badan Penelitian dan Pengembangan UKM PMK (2013). Penulis juga aktif
di beberapa kepanitian seperti Kejuaraan Nasional Catur IPB (2010), Panitia
Retreat Mahasiswa Baru (2011), Panitia Olimpiade Mahasiswa IPB (2012), Panitia
Seminar Nasional Nutrition Fair (2013). Penulis juga pernah menjadi asisten mata

kuliah Agama Kristen (2011).
Penulis melaksanakan kuliah kerja profesi (KKP) pada bulan Juli-Agustus
2013 di Desa Mangga, Kecamatan Kelumpang Utara, Kabupaten Kotabaru,
Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PT. Arutmin Indonesia. Penulis juga
melaksanakan kegiatan internship dietetik (ID) di RSUD Ciawi Bogor pada
Februari - Maret 2014.

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN


ii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

KERANGKA PEMIKIRAN

3

METODE

5

Desain, Waktu dan Tempat Penelitian

5

Teknik Penarikan Contoh

5

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

6

Pengolahan dan Analisis Data

7

DEFINISI OPERASIONAL

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Gambaran Umum Sekolah

10

Karakteristik Individu

10

Karakteristik Sosial dan Demografi Keluarga Contoh

11

Kelompok Pangan berbasis Tepung Terigu yang Biasa Dikonsumsi

13

Preferensi Konsumsi Pangan Berbasis Tepung Terigu

15

Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Zat Gizi

17

SIMPULAN DAN SARAN

22

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

24

ii

DAFTAR TABEL
1 Data primer dan data sekunder dalam penelitian

6

2 Pengelompokkan variabel penelitian

7

3 Faktor konversi dari pangan olahan terigu

8

4 Gambaran umum sekolah

10

5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik individu

10

6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial dan demografi keluarga

11

7 Hubungan karakteristik keluarga dengan uang saku

12

8 Rataan frekuensi dan berat konsumsi pangan berbasis tepung terigu

14

9 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan

15

10 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan pada siswi menurut sekolah

16

11 Angka kecukupan zat gizi perempuan

17

12 Rataan asupan dan kontribusi terigu terjadap kecukupan zat besi dan zat gizi
mikro lainnya

17

13 Kandungan zat gizi mikro dalam fortifikasi tepung terigu

18

14 Rataan kontribusi energi pangan berbasis terigu

20

15 Rataan kontribusi energi pangan berbasis terigu menurut sekolah

20

16 Hubungan konsumsi tepung terigu dengan tingkat kecukupan zat gizi

21

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka Pemikiran

4

2 Diagram Alur Penarikan Contoh

6

DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian

24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan harus
tercukupi agar dapat hidup meningkatkan kualitas hidupnya. Karbohidrat adalah
zat gizi yang menjadi sumber utama energi dan paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat sebagai pangan pokok. Terdapat banyak pangan yang menjadi sumber
utama karbohidrat diantaranya beras, jagung, ubi, sagu dan jagung. Seiring
dengan berkembangnya zaman, perubahan pola hidup masyarakat menjadi
semakin modern, salah satunya adalah kecenderungan masyarakat dalam
mengonsumsi pangan berbasis tepung terigu. Masyarakat yang semula
mengonsumsi makanan pokok tunggal (beras), telah bergeser mengonsumsi terigu
beserta produk turunannya (Ariani 2010a).
Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, 2005, 2008 dan 2013 menunjukkan
kecenderungan penurunan konsumsi beras dari 115.5 kilogram per kapita pada
tahun 2002 menjadi 105.2 kilogram per kapita pada tahun 2005, 104.9 kilogram
per kapita pada tahun 2008 dan 97.4 kilogram per kapita pada tahun 2013.
Konsumsi jagung juga mengalami penurunan dari 3.4 kilogram per kapita pada
tahun 2002 menjadi 2.9 kilogram per kapita pada tahun 2008. Sementara pada
tahun yang sama terjadi peningkatan konsumsi pangan berbasis tepung terigu dari
8.5 kilo gram per kapita pada tahun 2002 menjadi 11.2 kilo gram per kapita pada
tahun 2008 (Ariani 2010a). Perkembangan konsumsi pangan berbasis terigu
dimulai sejak era Orde Baru dengan adanya subsidi terhadap impor gandum
hingga harganya lebih murah 50% dari harga internasional dan kebijakan yang
memberi kemudahan bagi produsen pengolahan terigu. Pengolahan terigu yang
mudah dan cepat disajikan dengan berbagai variasi olahan juga meningkatkan
konsumsi terhadap terigu (Hardinsyah dan Amalia 2007).
Kandungan gizi tepung terigu lebih tinggi dibandingkan dengan pangan
pokok lainnya. Tepung terigu dalam 100 g memiliki kandungan karbohidrat 365
kkal, protein 8.9 g, lemak 1.3 g, zat besi 1.2 mg. Sedangkan beras dalam 100 g
memiliki kandungan karbohidrat 360 kkal, protein 6.8 g, lemak 0.7 g, zat besi 0.8
mg (DKBM 2010). Dengan kandungan zat besi 1.2 mg, tepung terigu dapat
memenuhi sekitar 5% kecukupan zat besi harian remaja usia 16-18 tahun
berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013.
Salah satu zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh adalah zat besi.
Zat besi harus diperoleh dari luar tubuh, baik berupa makanan maupun suplemen.
Masalah anemia zat gizi besi adalah masalah gizi mikro terbesar dan sulit diatasi
di dunia, terutama pada bayi, anak pra-sekolah, dan wanita usia subur.
Berdasarkan Riskesdas (2013), prevalensi anemia defisiensi zat gizi besi pada
kelompok usia 15-24 tahun mencapai 18.4%. Dan prevalensi anemia pada
perempuan adalah 23.9%. Prevalensi anemia tinggi terutama pada remaja putri
karena pada masa ini sedang terjadi puncak pertumbuhan dan mulai mengalami
haid sehingga banyak zat besi yang ikut terbuang. Prevalensi anemia di pedesaan
(22.8%), lebih tinggi dari perkotaan (20.6%). Ini menunjukkan bahwa prevalensi
anemia lebih besar pada masyarakat miskin, yang umumnya tinggal di pedesaan.

2

Salah satu cara mengatasinya defisiensi zat besi, defisiensi asam folat dan
mencegah terjadinya keterlambatan pertumbuhan kognitif dan produkvitas pada
anak-anak adalah dengan meningkatkan asupan pangan yang mengandung
mineral mikro dengan cara fortifikasi (FFI 2014). Tepung terigu sebagai bahan
pangan yang mengandung zat besi, telah difortifikasi oleh pemerintah untuk
meningkatkan ketersediaan pada pangan. Dengan fortifikasi, konsumsi yang
sedikit diharapkan mampu memenuhi kecukupan zat besi yang lebih besar. Pada
tahun 1998 SK Kemenkes No. 632/MENKES/SK/VI/1998 mewajibkan seluruh
tepung terigu yang beredar di Indonesia harus difotifikasi. Kemudian tahun 2001,
Standar Nasional Indonesia (SNI) mewajibkan tepung terigu difortifikasi dengan
zat besi, seng, vitamin B1 dan B2. Perkembangan produk berbasis tepung terigu
juga semakin banyak berkembang. Namun, konsumsi zat besi pada terigu yang
difortifikasi perlu dilihat lagi penyebaran konsumsinya. Berdasarkan hal tersebut
di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang estimasi
konsumsi dan asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA
di Kota Bogor.
Perumusan Masalah
Fortifikasi tepung terigu terutama ditujukan untuk masyarakat dengan
ekonomi menengah ke bawah untuk mengatasi defisiensi zat gizi besi. Defisiensi
zat gizi besi banyak terjadi pada remaja putri karena tingkat pertumbuhan yang
tinggi di usia remaja dan saat ini remaja mulai mengalami haid. Jenis pangan
berbahan dasar terigu banyak beredar di pasaran, namun konsumsi berbagai jenis
pangan olahan terigu tersebut, baik jumlah, jenis maupun mutunya, diduga
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Remaja dengan karakteristik ekonomi
diperkirakan tinggi cenderung membeli olahan terigu yang lebih mahal dan
beragam dibandingkan dengan karakteristik ekonomi menengah ke bawah.
Semakin tinggi tingkat pendapatan diduga semakin tinggi asupan terigu dan
asupan zat besi dari terigu. Berdasarkan hal tersebut perlu dilihat sebaran jenis
pangan berbasis terigu yang sering dikonsumsi siswi putri dan besarnya kontribusi
tepung terigu dalam pemenuhan kecukupan zat besi yang diperlukan oleh siswi
SMA.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini melakukan estimasi konsumsi dan asupan zat besi
dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA di Kota Bogor.
Tujuan Khusus
1. Mempelajari kelompok pangan berbasis terigu yang biasa dikonsumsi siswi
SMA di Kota Bogor.
2. Mempelajari kontribusi tepung terigu dalam memenuhi kecukupan asupan zat
besi siswi SMA di Kota Bogor.
3. Mempelajari preferensi konsumsi pangan berbasis tepung terigu remaja putri
terhadap pangan pokok lainnya, yaitu beras, jagung, ubi kayu dan umbiumbian.

3

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan mampu memberi gambaran besarnya
konsumsi dan asupan zat besi dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA
di Kota Bogor sehingga dapat membantu pemerintah dalam pengembangan
program fortifikasi.

KERANGKA PEMIKIRAN
Tepung terigu merupakan bahan makanan yang wajib difortifikasi zat besi
di Indonesia. Fortifikasi terigu dilakukan sebagai salah satu cara untuk
menanggulangi masalah defisiensi zat gizi mikro, khususnya anemia zat gizi besi
(AGB) pada masyarakat miskin. Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia yang
didominasi oleh beras, bahkan selama beberapa waktu beras telah menjadi pola
pokok tunggal, telah bergeser dengan hadirnya terigu menjadi makanan pokok
kedua. Konsumsi terigu yang menyaingi konsumsi beras ini perlu dikaji lebih
lanjut dari aspek pelaku konsumsi. Salah satu kajian yang perlu dilakukan adalah
konsumsi terigu pada berbagai kelompok umur, termasuk anak SMA (usia remaja)
yang banyak menghabiskan waktu dan melakukan konsumsi di luar rumah serta
berorientasi pada kepraktisan penyajian makanan.
Remaja yang masih bersekolah umumnya mendapat pemasukan untuk
pangan dari uang saku yang diberikan keluarga. Karakteristik sosial rumah tangga
diduga akan mempengaruhi besaran uang saku yang didapatkan sehingga akan
berpengaruh dengan pola konsumsi. Karakteristik sosial rumah tangga diduga
juga akan berpengaruh terhadap ketersediaan pangan di dalam menu harian
keluarga. Selain uang saku dan ketersediaan pangan di rumah maupun di
lingkungan sekitar, nilai sosial dan kepraktisan cara konsumsi akan
mempengaruhi pola konsumsi pangan berbasis tepung terigu. Besaran konsumsi
pangan berbasis tepung terigu akan mempengaruhi tingkat kecukupan zat gizi
harian contoh khususnya untuk kecukupan zat gizi mikro yang difortifikasi pada
terigu.
Penelitian ini mempelajari asupan pangan berbasis tepung terigu sebagai
makanan dalam pola konsumsi pangan harian remaja. Dari keseluruhan asupan
pangan berbasis tepung terigu dilihat persentasenya terhadap angka kecukupan
gizi (AKG) dan tingkat kecukupan gizi dari zat gizi yang difortifikasi pada terigu.

4

Karakteristik keluarga:
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pendapatan
- Besar keluarga

Karakteristik siswi SMA:
- Usia
- Berat badan

-

Uang saku untuk makan
dan minum

-

Ketersediaan pangan di
rumah

Pola Konsumsi Pangan
Berbasis Tepung Terigu
a. Jenis
b. Jumlah dan frekuensi
c. Waktu
d. Peranan / fungsi

Angka Kecukupan
Gizi Besi dan Gizi
Lainnya (%)

-

Preferensi,
Ketersediaan
Nilai sosial
Kepraktisan

Konsumsi Terigu

Tingkat kecukupan zat
gizi yang difortifikasi

Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Hubungan yang dianalisis
: Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Kerangka pemikiran estimasi konsumsi dan evaluasi asupan zat besi
dari pangan berbasis tepung terigu pada siswi SMA di Kota Bogor.

5

METODE
Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study.
Cross sectional study dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
karakteristik demografi dan sosial, serta konsumsi pangan berbasis terigu dalam
sekali waktu pengukuran. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1, SMA Negeri 10,
dan SMA PGRI Bogor. Lokasi tersebut dipilih secara purposive dengan
pertimbangan terdapat remaja yang mengonsumsi pangan berbasis terigu dan
ketiga lokasi dapat mewakili karakteristik ekonomi berbeda. SMA Negeri 1 Bogor
mewakili siswi dengan status sosial ekonomi atas, SMA Negeri 10 Bogor
mewakili siswi dengan status sosial ekonomi menengah, dan SMA PGRI Bogor
mewakili siswi dengan status sosial ekonomi bawah. Penelitian ini dilakukan
selama bulan Mei (satu bulan).

Teknik Penarikan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMA yang berada di
kelas X, XI, dan XII di lokasi penelitian. Penarikan contoh siswi di sekolah
dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling), dengan pertimbangan
karakteristik contoh yang relatif homogen. Jumlah contoh minimal dalam
penelitian ini dihitung menggunakan rumus berikut.

Keterangan:
n
= Jumlah contoh
N
= Jumlah populasi
d
= Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
Berdasarkan perhitungan, maka besar contoh minimal adalah sebesar 93
orang. Besar contoh dari masing-masing sekolah dihitung menggunakan rumus
(Ariawan 1998) sebagai berikut.

Keterangan:
nh = besar contoh untuk tiap sekolah
Nh = jumlah siswi di sekolah pilihan
n
= besar contoh keseluruhan
N
= jumlah total siswi (populasi) pada ketiga sekolah
Besar contoh yang diambil berdasarkan perhitungan di atas pada SMAN 1
adalah 44 orang, 42 pada SMAN 10 dan 7 orang pada SMA PGRI 4. Untuk
menjaga validitas data, maka jumlah contoh yang diambil lebih besar dari jumlah

6

minimal. Total contoh yang mengisi kuisioner berjumlah 163. Berikut disajikan
diagram alur penarikan contoh.
Jumlah siswi
SMAN 1
579 orang

Jumlah siswi
SMAN 10
551 orang

Jumlah siswi
SMA PGRI 4
86 orang

Kerangka
Contoh

Mengisi
kuisioner

55 orang

55 orang

53 orang
Data lengkap, valid dan
dilanjutkan ke pengolahan

42 orang

36 orang

42 orang

Gambar 2 Digram alur penarikan contoh

Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
sekunder. Data primer, meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, besar keluarga,
pendidikan, pekerjaan kepala keluarga dikumpulkan melalui pengisian kuesioner
yang dilakukan oleh contoh dan data konsumsi pangan dikumpulkan melalui
wawancara yang dilakukan oleh enumerator. Data sekunder, meliputi profil
sekolah diperoleh dari data sekolah tempat penelitian dilakukan.
Tabel 1 Data primer dan sekunder dalam penelitian
Jenis Data
Sumber
Data Primer :
a. Karakteristik
sosial
demografi Siswi
keluarga: Umur, jenis kelamin, berat
badan, besar keluarga, pendidikan,
pekerjaan kepala keluarga.
b. Konsumsi pangan siswi (konsumsi Siswi
terigu dan pangan olahannya)

Cara Pengumpulan
Pengisian (untuk data
berat badan dilakukan
pengukuran
langsung
dengan
timbangan
badan)
Wawancara
dengan
metode food recall 2X24
jam dan FFQ semi

kuantitatif.
Data Sekunder :
Profil sekolah

Sekolah

Pengumpulan
dan
pencatatan dokumen.

Data konsumsi pangan contoh dikumpulkan dengan metode recall 2x24 jam
secara berturut-turut dan food frequency quitionaire (FFQ) semi kuantitatif.
Pangan yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah semua jenis pangan yang
dikonsumsi oleh contoh. Pengumpulan data contoh dilakukan dua hari pada satu
sekolah. Hari pertama kunjungan ke sekolah contoh diminta untuk mengisi

7

formulir karakteristik individu dan sosial demografi keluarga. Contoh juga
diminta mencatat semua jenis makanan yang dikonsumsi pada hari kunjungan dan
keesokan hari (dua hari berturut-turut) dan dikumpulkan pada hari kedua
kunjungan dari enumerator. Pada kunjungan kedua, enumerator mengestimasi
berat semua jenis makanan yang dikonsumsi oleh contoh dan mengisi food
frequency semi kuantitatif pangan berbasis tepung terigu.

Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan (Tabel 1) diolah dan dianalisis menggunakan
program komputer Microsoft Excel 2010 dan Statistical Program for Social
Science (SPSS) versi 16 for Windows. Proses pengolahan data meliputi editing,
analisis, penarikan simpulan. Karakteristik sosial demografi diperoleh dengan
pengisian kuisioner oleh, meliputi data jumlah anggota rumah tangga, umur
anggota rumah tangga, pendidikan dan pekerjaan kepala keluarga dan anggota
rumah tangga lainnya dikelompokkan seperti pada tabel berikut.

No
1

2

Tabel 2 Pengelompokkan variabel penelitian
Variabel
Sub Variabel
Kategori
Karakteristik Besar rumah
1) Kecil (≤ 4 orang)
2) Sedang (5-6 orang)
demografi
tangga
3) Besar (≥ 7 orang)
Umur anggota
1) Remaja (< 20)
2) Dewasa awal (20-40 )
rumah tangga
3) Dewasa tengah (41-65)
(tahun)
4) Dewasa akhir (> 65)
Karakteristik Pendidikan
1) SD/sederajat
anggota rumah
2) SMP/ sederajat
sosial
3) SMA/ sederajat
tangga
4) Perguruan tinggi
1) PNS/TNI/Polri
Pekerjaan
2) Pegawai swasta
3) Buruh kasar/
pabrik/bangunan
4) Pedagang (asongan, kaki
lima, dll)
5) Lainnya

Sumber
BKKBN
(1998)
Papalia &
Old
(1986)
BPS
(2011)
Berg
(1986)

Konsumsi pangan siswi diperoleh dengan menghitung konsumsi harian
siswi dengan metode food recall 2x24 jam dan food frequency semi kuantitatif
menggunakan kuesioner yang telah dimodifikasi. Metode ini dipilih karena
metode ini dapat menggambarkan konsumsi pangan harian contoh yang berbasis
terigu dalam satuan URT. Berat terigu yang terkandung pada pangan berbasis
tepung terigu dihitung dengan mengalikan berat pangan dengan faktor konversi
kelompok pangan berbasis terigu tersebut. Faktor konversi yang digunakan adalah
berdasarkan acuan pangan olahan terigu dari Susenas (Hardinsyah dan Amalia
2007).

8

Tabel 3 Faktor konversi terigu dari pangan olahan terigu
No
Pangan Olahan
Persentase Terigu (%)
1
Tepung terigu
1.00
2
Mie basah
0.33
3
Mie instan
0.92
4
Makaroni
0.92
5
Roti tawar
0.68
6
Roti manis
0.68
7
Kue kering/biskuit
1.00
8
Kue basah
0.47
9
Makanan gorengan
0.25
10
Mie bakso
0.33
11
Makanan ringan anak
0.92
Sumber : JPG 2 (1):8-15
Proses pengolahan data meliputi berikutnya adalah validasi data konsumsi,
yaitu dengan mencocoknya FFQ dengan food recall 2x24 jam. Contoh yang data
FFQ nya tidak sesuai dengan food recall 2x24 jam tidak dilanjutkan sebagai
contoh. Selanjutnya contoh yang datanya valid dilanjutkan ke tahap entry, coding,
editing. Pangan berbasis terigu yang dikonsumsi contoh menurut FFQ dikonversi
dengan faktor konversi pangan berbasis tepung terigu (Tabel 3).
Konsumsi pangan berbasis tepung terigu dihitung dan ditentukan
kontribusinya terhadap pemenuhan angka kecukupan gizi harian contoh.
Kecukupan zat gizi harian yang diperhatikan meliputi zat besi, vitamin B1
(thiamin), vitamin B2 (riboflavin), asam folat, seng dan energi. Penentuan
kontribusi konsumsi pangan berbasis dilakukan dengan mengacu pada Angka
Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
tahun 2012. Angka kecukupan untuk masing-masing individu dikoreksi kembali
dengan berat badan siswi. Kontribusi tepung terigu adalah perbandingan antara zat
gizi yang dikonsumsi dari tepung terigu dengan kecukupan zat gizi harian
individu.
Analisis data dilakukan dengan SPSS versi 16. Sebelum dilakukan
analisis, dilakukan uji normalitas data menggunakan K-S test (Kolmogorov Smirnov). Selanjutnya dilakukan uji statistik meliputi uji beda Anova dan uji
lanjut Duncan terhadap rata-rata penghasilan keluarga per bulan, rata-rata uang
saku contoh per bulan untuk pangan, besar konsumsi pangan berbasis tepung
terigu. Selain itu dilakukan juga uji korelasi Spearman untuk mengetahui
hubungan penghasilan keluarga per bulan, besar keluarga, uang saku contoh per
bulan untuk pangan, konsumsi pangan berbasis tepung terigu dan tingkat
kecukupan zat besi dan mineral mikro lainnya. Data yang diperoleh disajikan
dalam bentuk tabulasi kemudian dibahas dan dilakukan penarikan simpulan.

DEFINISI OPERASIONAL
Contoh adalah siswi SMA perempuan yang berusia 15-18 tahun.

9

Pangan berbasis tepung Terigu adalah semua jenis pangan mengandung terigu
baik sebagai sumber utama atau bahan pendukung yang terdapat dalam
susunan yang meliputi mie basah, mie instan, makaroni, roti tawar, roti
manis, kue kering/biskuit, kue basah, makanan gorengan, mie bakso, dan
makanan ringan anak yang dikonsumsi anggota rumah tangga contoh.
Pendapatan adalah total pemasukan yang diperoleh oleh keluarga dalam satu
rumah tangga (Rp / bulan).
Uang saku adalah jumlah uang yang diterima siswi per bulan untuk digunakan
untuk membeli makanan atau non makanan harian (Aprilian 2010).
Angka Kecukupan Gizi Siswi adalah rata-rata jumlah zat gizi harian (meliputi
energi, protein, vitamin B1, vitamin B2, asam folat, zat besi, dan seng)
yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota rumah tangga
contoh sesuai kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologisnya,
berdasarkan acuan Angka Kecukupan Gizi (AKG) hasil Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi tahun 2013, dengan faktor koreksi berat badan
aktual.
Kontribusi terigu terhadap kecukupan gizi siswi adalah perbandingan antara
jumlah zat gizi (energi, protein, vitamin B1, B2, asam folat, zat besi dan
seng) yang terkandung dalam terigu hasil konversi pangan terigu yang
dikonsumsi siswi dengan angka kecukupan zat gizi, yang dinyatakan dengan
satuan persen (%).
Karakteristik demografi rumah tangga adalah karakteristik rumah tangga
contoh yang meliputi jenis kelamin anggota rumah tangga (dibedakan lakilaki dan perempuan), umur anggota rumah tangga (dikelompokkan menjadi
(a) < 5 tahun; (b) 5-12 tahun; (c) 13-18 tahun; (d) 19-54 tahun; dan (e) ≥ 55
tahun), umur kepala rumah tangga (dikelompokkan menjadi (a) remaja (65 tahun)), serta besar rumah tangga yaitu jumlah
anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu rumah dan hidup dari
penghasilan yang sama (dikelompokkan menjadi: (a) keluarga kecil (≤4
orang); (b) keluarga sedang (5-6 orang); dan (c) keluarga besar (≥7 orang))
Karakteristik sosial rumah tangga adalah karakteristik rumah tangga contoh
yang meliputi pendidikan terakhir anggota rumah tangga (dikelompokkan
menjadi: (a) tidak/belum sekolah; (b) tidak tamat SD/ sederajat; (c) tamat
SD/ sederajat; (d) tamat SMP/ sederajat; (e) tamat SMA/ sederajat; dan (f)
tamat perguruan tinggi) serta pekerjaan yang dikelompokkan menjadi: (a)
PNS/ABRI/Polri; (b) karyawan swasta; (c) buruh; (d) dagang; dan (e)
lainnya.
Frekuensi konsumsi terigu adalah banyaknya konsumsi pangan berbasis terigu
dalam satuan kali per bulan.
Estimasi konsumsi adalah memperkirakan berat pangan yang dikonsumsi oleh
contoh, atau asupan zat gizi besi (mg), vitamin B1 (mg), vitamin B2 (mg),
asam folat (µg) dan seng (mg).
Preferensi konsumsi adalah pilihan konsumsi pangan berbasis tepung terigu,
beras, jagung atau umbi-umbian yang akan dilakukan oleh contoh ketika
menghadapi beberapa kondisi .

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Sekolah
Ketiga sekolah yang diamati adalah SMAN 1 Bogor, SMAN 10 Bogor dan
SMA 10 PGRI dianggap dapat mewakili tiga kelompok sosial ekonomi. Berikut
disajikan gambaran umum sekolah.
Tabel 4 Gambaran umum sekolah
Karakteristik
Jumlah siswa (orang)
Jumlah siswi (orang)
Guru dan staff pengajar (orang)
Uang sekolah (Rp/bulan)
Fasilitas kantin

SMAN 1
1029
579
84
425.000
Ada

SMAN 10
1060
551
69
285.000
Ada

SMA PGRI 4
201
86
45
220.000
Ada

Karakteristik sekolah di atas menunjukkan bahwa SMAN 1 Bogor memiliki
jumlah siswa/i yang lebih banyak dari SMAN 10 dan SMA PGRI 4. Demikian
juga untuk jumlah guru dan staff pengajar. Uang sekolah yang dibebankan kepada
contoh juga lebih besar pada SMAN 1. Hal ini menunjukkan secara umum ketiga
sekolah memiliki tingkatan yang berbeda.

Karakteristik Individu
Jumlah keseluruhan contoh adalah 120 orang, yang terdiri dari 42 orang
siswi SMA Negeri 1 Bogor, 42 siswi orang SMA PGRI 4 Bogor dan 36 orang
siswi SMA Negeri 10 Bogor.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karateristik individu
No
1.

2.

Karakteristik
Usia contoh
13 - 15 tahun
16 - 18 tahun
Rata-rata uang saku untuk
pangan (Rp)/bulan ± SD

SMAN 1
n

%
41
1

97.6
2.4

700.476 ± 300.635a

n

SMAN 10
%
23
13

63.9
36.1

532.777 ± 267.629b

SMA PGRI 4
n
%
34
8

81.0
19.0

514.095 ± 175.056b

Usia contoh sebagian besar berada pada kelompok 13 - 15 tahun dan
selebihnya berada pada kelompok usia 16 - 18 tahun. Pengelompokan usia di atas
didasarkan pada Angka Kebutuhan Gizi (WNPG 2012) bagi perempuan
Indonesia. Dari ketiga sekolah yang menjadi subjek penelitian, sebagian besar
contoh berada pada kelompok usia 13-15 tahun (97.6%, 63.9%, 81.0%). Rata-rata
uang saku untuk pangan ketiga kelompok contoh berada di atas Rp 500.000,- per
bulan dan yang tertinggi pada contoh SMAN 1, berikutnya SMAN 10 dan SMA
PGRI 4. Dari hasil beda Anova yang dilakukan terhadap uang saku diperoleh
kesimpulan ada perbedaan rata-rata uang saku pada kelompok SMA. Kemudian

11

dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perbedaannya dan diperoleh
kesimpulan tidak ada perbedaan nyata uang saku contoh dari SMAN 10b dengan
SMA PGRI 4b. Tetapi keduanya berbeda dengan uang saku contoh dari SMAN 1a.

Karakteristik Sosial dan Demografi Keluarga Contoh
Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal dalam suatu rumah
tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Helvie 1981).
Menurut BPS (2011) anggota rumah rumah tangga adalah semua orang yang
biasanya tinggal bersama di satu rumah baik yang berada pada saat pencacahan
maupun tidak. Orang yang tinggal di dalam satu rumah tangga selama enam bulan
atau lebih atau belum mencapai enam bulan tetapi berniat tinggal di tempat
tersebut selama lebih dari enam bulan.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial dan demografi keluarga
contoh
No
1

2

3

4

5

Karakteristik
Umur Kepala Keluarga
Dewasa awal 20 - 40
Dewasa tengah 41 - 65
Dewasa akhir >65
Jumlah Anggota RT
Kecil ≤ 4 orang
Sedang 5-6 orang
Besar ≥ 7 orang
Tingkat Pendidikan Kepala
Keluarga
Belum/tidak sekolah
Tidak tamat SD/sederajat
Tamat SD/sederajat
Tamat SMP/ sederajat
Tamat SMA/ sederajat
Tamat PT/sederajat
Pekerjaan Kepala Keluarga
PNS/TNI/Polri
Pegawai swasta
Buruh
Pedagang
Lainnya
Rata-Rata Penghasilan Keluarga
(Rp/bulan) ± SD

SMAN 1
n
%

SMAN 10
n
%

0
42
0

0
100
0

1
34
1

18
23
1

42.9
54.7
2.4

17
16
3

0
0
0
0
3
39

0
0
0
0
7.1
92.9

0
0
2
2
12
20

16
38.1
23
54.8
0
0
0
0
3
7.1
14.460.000
± 300.635a

2.8
94.4
2.8

SMA PGRI 4
n
%
6
33
2

14.6
80.5
4.9

47.2
44.5
8.33

12
21
9

28.6
50.0
21.4

0
0
5.6
5.6
33.3
55.5

1
2
3
4
25
7

2.4
4.8
7.1
9.5
59.5
16.7

5
13.9
12
61.1
3
8.3
0
0
6
16.7
5.123.000
± 267.629b

8
19.1
14
33.3
6
14.3
3
7.1
11
26.2
4.431.000
± 175.056b

Pengelompokan usia kepala keluarga ditetapkan berdasarkan kategori usia
kepala keluarga yang dibuat oleh Papalia & Old (1986) yaitu remaja, dewasa
awal, dewasa tengah dan dewasa akhir. Dari ketiga kelompok contoh dapat dilihat
bahwa sebagian besar usia kepala keluarga berada di kelompok dewasa tengah (41
- 65 tahun). Besar rumah tangga dikelompokkan berdasarkan kategori yang

12

ditetapkan oleh BKKBN (1998) yaitu kecil, sedang dan besar. Dari ketiga
kelompok contoh didapati besar keluarga didominasi kelompok kecil dan sedang.
Kelompok keluarga besar tertinggi terdapat pada contoh dari SMA PGRI 4
(21.4%). Besar keluarga dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan maupun
distribusi pangannya, sehingga akan berpangaruh juga terhadap kecukupan
gizinya (Djauhari & Friyanto dalam Cahyaningsih 2008).
Pengelompokan tingkat pendidikan kepala keluarga ditetapkan berdasarkan
BPS (2011). Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa pendidikan kepala keluarga
contoh SMAN 1 sebagian besar berada dikelompok tamat perguruan
tinggi/sederajat (92.9%) dan sisanya tamat SMA/sederajat (7.1%). Untuk contoh
SMAN 10, sebanyak 55.5% kepala keluarga berada pada kelompok tamat
perguruan tinggi/sederajat dan masih ada 5.6% kepala keluarga yang hanya tamat
sd/sederajat. Sedangkan contoh SMA PGRI 4, hanya 16.7% kepala keluarga yang
tamat perguruan tinggi/sederajat. Pekerjaan kepala keluarga seluruh contoh
sebagian besar berada pada kelompok pegawai swasta 54.8% (SMAN 1), 61.1%
(SMAN 10) dan 33.3% (SMA PGRI 4). Rata-rata penghasilan keluarga
menunjukkan keluarga contoh SMAN 1 berada di atas kedua kelompok lainnya
dengan Rp 14.460.000,-per bulan. Sedangkan keluarga contoh SMAN 10 dan
PGRI 4 berpenghasilan Rp 5.123.000,- per bulan dan Rp 4.431.000,- per bulan.
Uji beda Anova menunjukkan ada perbedaan antara rata-rata penghasilan keluarga
antar kelompok contoh. Kemudian dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui
perbedaannya dan diperoleh kesimpulan tidak ada perbedaan nyata rata-rata
penghasilan keluarga contoh dari SMAN 10b dengan SMA PGRI 4b. Tetapi
keduanya berbeda dengan rata-rata penghasilan keluarga contoh dari SMAN 1a.
Dari keseluruhan karakteristik sosial keluarga contoh di atas dapat disimpulkan
bahwa SMAN 1 dapat mewakili kelompok sosial atas, SMAN 10 mewakili
kelompok sosial menengah dan SMA PGRI 4 mewakili kelompok sosial bawah.
Status sosial masyarakat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya
adalah ukuran kekayaan, kekuasaan dan wewenang, kehormatan, serta ilmu
pengetahuan (Soemardjan 1974).
Hubungan karakteristik keluarga dengan uang saku disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 7 Hubungan karakteristik keluarga dengan uang saku
Uang saku
Variabel
p
r
Penghasilan orang tua
0.002*
0.280
Besar keluarga
0.841
0.018
* Korelasi signifikan p < 0.05

Tabel di atas menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari penghasilan
orang tua dengan uang saku yang diberikan kepada contoh. Orang tua dengan
penghasilan yang lebih tinggi akan memberi uang saku yang lebih besar. Namun
besar keluarga tidak berpengaruh signifikan dengan uang saku. Uang saku yang
diberikan kepada contoh diberikan untuk kebutuhan harian, termasuk untuk
pangan.

13

Kelompok Pangan Berbasis Tepung Terigu yang Biasa Dikonsumsi Contoh
Tepung terigu adalah bahan pangan yang telah menjadi salah satu makanan
pokok di berbagai negara. Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia didominasi
oleh beras, bahkan di pedesaan beras telah menjadi pola pokok tunggal.
Pergeseran ini dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya kebijakan impor
gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri dan subsidi harga terigu
(50% lebih murah dari harga internasional) oleh pemerintah di masa orde baru,
banyaknya ragam pangan turunan terigu yang beredar di pasaran serta kepraktisan
dalam pengolahan dan konsumsinya (Ariani 2010a). Hal ini ditunjukkan dengan
laju pertumbuhan konsumsi terigu nasional yang mencapai rata-rata 6.86% antara
tahun 2005 hingga 2009 (Ariani 2010b).
Jenis pangan berbahan dasar terigu banyak beredar di pasaran, namun
konsumsi berbagai jenis pangan berbasis terigu tersebut, baik jumlah, jenis
maupun mutunya, dipengaruhi oleh kondisi ekonomi. Rataan frekuensi dan berat
konsumsi pangan berbasis tepung terigu contoh disajikan dalam Tabel 8 di bawah.
Kelompok pangan berbasis tepung terigu yang paling tinggi frekuensi
konsumsinya adalah kue kering/biskuit dan makanan ringan. Selain kue
kering/biskuit, makanan gorengan, roti tawar dan mie instan juga menjadi pangan
olahan terigu yang frekuensi konsumsinya tinggi. Jenis pangan yang paling
rendah frekuensi konsumsinya adalah makaroni. Untuk berat konsumsi, kue
kering/biskuit dan mie instan merupakan pangan yang paling tinggi berat
konsumsinya (21.0 g/hr dan 19.8 g/hr). Penelitian Hardinsyah dan Amalia (2007)
menunjukkan berat konsumsi pangan olahan yang berbeda tingkatannya.
Konsumsi pangan berbasis tepung terigu per kapita yang tertinggi adalah mie
instan (10.7 g/kap/hari) dan makanan gorengan (10.6 g/kap/hari) sedangkan yang
terendah adalah makaroni (0.2 g/kap/hari). Perbedaan tingkat konsumsi ini
dimungkinkan karena contoh yang dipilih dalam penelitian ini merupakan
kelompok umur sekolah yang konsumsi rata-rata kue kering/biskuit dan mie
instan lebih tinggi dibandingkan oleh konsumsi rataan rumah tangga. Selain itu,
ketersediaan kue kering/biskuit yang menjadi jajanan di sekolah juga
mempengaruhi tingginya konsumsi. Total konsumsi terigu harian adalah 96.2
gram. Nilai ini berada di atas evaluasi yang dilakukan FFI (2014) yang
menyatakan bahwa rata-rata konsumsi terigu di Provinsi Jawa Barat adalah ± 60
g/kapita/hari.
Konsumsi kue kering/biskuit juga merupakan konsumsi dengan frekuensi
tertinggi pada ketiga kelompok. Hal ini kemungkinan akibat dari perkembangan
ilmu dan teknologi pengolahan pangan yang menawarkan berbagai jenis produk
kue kering/biskuit dengan berbagai jenis dan citarasa yang banyak digemari
masyarakat. Secara keseluruhan, total konsumsi baik berat maupun frekuensi
tertinggi berurutan adalah SMA PGRI 4, SMAN 10 dan SMAN 1. Berdasarkan
hasil ini juga dilihat bahwa ada hubungan negatif antara status sosial ekonomi
dengan besarnya konsumsi terigu. Uji lanjut Duncan terhadap total terigu yang
dikonsumsi contoh menunjukkan tidak ada perbedaan nyata konsumsi terigu
contoh dari SMAN 1a dan SMAN 10a. Namun kedua sekolah tersebut berbeda
dengan SMA PGRI 4b.

14

Tabel 8 Rataan frekuensi dan berat* (setara terigu) konsumsi pangan berbasis tepung terigu contoh

Jenis Pangan
Mie basah
Mie instan
Makaroni
Roti tawar
Roti manis
Kue kering/biskuit
Kue basah
Makanan gorengan
Bakso
Makanan ringan anak
Lainnya
Total
a, b

SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Frekuensi
Berat
Frekuensi
Berat
Frekuensi
Berat
(kali/bulan) ± SD (g/hari) (kali/bulan) ± SD (g/hari) (kali/bulan) ± SD (g/hari)
3.0 ± 3.1
3.3
3.4 ± 3.2
3.7
9.3 ± 6.4
10.2
5.9 ± 4.6
12.7
8.2 ± 9.6
17.5
13.4 ± 9.0
28.4
2.2 ± 2.8
6.6
2.8 ± 4.9
8.4
1.8 ± 2.5
5.6
11.8 ± 10.5
13.4
10.4 ± 10.0
11.8
9.6 ± 12.0
10.9
4.3 ± 9.8
4.9
5.7 ± 7.4
6.4
4.8 ± 6.4
5.5
18.2 ± 21.8
18.6
18.4 ± 13.9
22.9
22.6 ± 20.8
21.7
4.2 ± 7.1
3.3
3.3 ± 4.6
2.6
3.5 ± 6.2
2.8
7.9 ± 11
3.3
11.6 ± 10.1
4.8
14.0 ± 15.5
5.8
2.7 ± 3.1
3.0
5.8 ± 4.1
6.4
13.6 ± 8.0
14.9
11.9 ± 17.8
7.3
15.8 ± 16.1
9.7
11.1 ± 14.2
6.8
3.5 ± 4.3
1.0
4.4 ± 5.5
1.2
10.6 ± 12.7
2.9
75.5 ± 95.9
77.3a
89.6 ± 89.4
95.4a
114.4 ± 113.7 115.9b

Rataan
Frekuensi
Berat
(kali/bulan) ± SD (g/hari)
5.3 ± 5.4
5.8
9.2 ± 8.5
19.8
2.2 ± 3.5
6.8
10.6 ± 10.8
12.1
4.9 ± 8.0
5.5
19.8 ± 19.3
21.0
3.7 ± 6.1
2.9
11.1 ± 12.8
4.6
7.4 ± 7.2
8.2
12.8 ± 16.1
7.8
6.3 ± 9.0
1.7
93.3 ± 106.7
96.2

Uji lanjut Duncan : SMAN 10 tidak berbeda dengan SMAN 1. Tetapi berbeda dengan SMA PGRI 4.
* Berat pangan sudah telah dikonversi menurut Tabel 3 sehingga sudah setara dengan terigu.

15

Preferensi Konsumsi Pangan Berbasis Tepung Terigu
Remaja biasanya tidak memilih makanan berdasarkan kandungan gizinya,
melainkan berdasarkan kesukaan terhadap pangan dan kegiatan sosialisasi dengan
lingkungannya. Aktivitas remaja banyak dilakukan di luar rumah dan sangat
dipengaruhi oleh rekan sebayanya. Hal tersebut terkadang membuat mereka tidak
lagi makan bersama keluarga di rumah (Khomsan dalam Aprilian 2010). Berikut
disajikan preferesi pangan dengan beberapa kondisi yang dialami oleh contoh.
Tabel 9 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan
Kondisi contoh
Bila memiliki uang saku
Bila sedang sibuk
Bila sedang santai
Bila sedang berada di sekolah
Bila sedang berada di rumah
Bila sedang berada di luar
rumah

Beras
70.6
19.2
16.0
50.4
81.7
42.5

Persentase (%)
Jagung
Umbi - umbian
2.5
3.4
4.2
10.8
14.3
31.9
0.8
1.7
1.7
7.5
7.5

4.2

Terigu
23.5
65.8
37.8
47.1
9.1
45.8

Dari tabel di atas terlihat bahwa preferensi memilih terigu tertinggi ketika
kondisi contoh sedang sibuk (65.8%), ketika berada di sekolah (47.1) dan ketika
berada di luar rumah (45.8%). Dari ketiga kondisi di atas dapat disimpulkan
bahwa pemilihan pangan berbasis terigu dipengaruhi oleh kepraktisan konsumsi.
Preferensi terhadap kelompok pangan, selain dapat dipengaruhi oleh kepraktisan
kemungkinan besar dipengaruhi oleh ketersediaan pangan berbasis tepung terigu
yang lebih banyak dan bervariasi di sekitar contoh pada saat mengalami beberapa
kondisi seperti di atas. Hal ini terlihat dari keempat kelompok pangan sumber
karbohidrat preferensi terhadap jagung dan umbi-umbian merupakan yang
terendah. Rendahnya konsumsi kedua pangan tersebut dipengaruhi oleh
ketersediaan pangan olahan jagung dan umbi-umbian yang umumnya lebih
sedikit.
Kondisi uang saku sendiri tidak mempengaruhi preferensi terhadap pangan
olahan terigu, terlihat dari 70.6% contoh ketika memiliki uang saku lebih memilih
mengonsumsi beras dan olahannya. Sanjur (1982) menyatakan bahwa preferensi
pangan juga dipengaruhi oleh karakteristik individu (umur, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan gizi) dan karakteristik lingkungan di
mana seseorang berada. Preferensi pangan bersifat dinamis pada usia muda /
anak-anak tetapi dapat menjadi permanen ketika usia semakin dewasa.
Peningkatan status ekonomi akan mempengaruhi jumlah dan kualitas
makanan yang dipilih. Azizah (1997) menyatakan bahwa tingkat pendapatan yang
tinggi akan memberi peluang yang lebih besar untuk memilih makanan yang baik,
baik dalam jenis maupun jumlah.

16

Tabel 10 Preferensi pangan dengan beberapa keadaan pada siswi menurut sekolah
Kondisi contoh
Bila memiliki uang saku
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Bila sedang sibuk
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Bila sedang santai
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Bila sedang berada di
sekolah
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Bila sedang berada di
rumah
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4
Bila sedang berada di luar
rumah
SMAN 1
SMAN 10
SMA PGRI 4

Beras

Persentase (%)
Jagung
Umbi - umbian

Terigu

85.4
77.8
50.0

2.4
0.0
4.8

4.9
5.6
0.0

7.3
16.7
45.2

19.1
16.7
21.4

7.1
2.8
2.4

9.5
22.2
2.4

64.3
58.3
73.8

17.1
16.1
14.6

12.2
22.2
9.5

29.3
33.3
33.3

41.5
27.8
42.86

80.5
58.3
14.3

0.0
2.8
0.0

0.0
0.0
33.3

19.5
38.9
42.9

83.3
91.7
14.3

0.0
0.0
0.0

7.1
2.8
4.8

9.5
5.6
81.0

59.5
25.0
40.5

4.8
11.1
7.1

2.4
5.6
4.8

33.3
58.3
47.6

Tabel 10 di atas menyatakan bahwa kelompok SMAN 1 dan SMAN 10
mengonsumsi pangan olahan terigu tertinggi pada kondisi sedang sibuk. Hal ini
berkaitan dengan kepraktisan cara pengolahan dan ketersediaan pangan olahan
terigu yang banyak di pasaran. Namun jika memiliki uang saku dan kondisi tidak
sibuk, kedua kelompok lebih memilih mengonsumsi olahan beras. Sedangkan
pada kelompok SMA PGRI 4 konsumsi pangan olahan terigu dominan hampir di
semua kondisi. Kondisi yang paling tinggi adalah ketika berada di rumah, contoh
lebih memilih mengonsumsi pangan olahan terigu (81.0). Hal ini menunjukkan
bahwa pangan olahan terigu telah menjadi makanan pokok pada kelompok contoh
ini bahkan mengalahkan preferensi terhadap konsumsi beras.
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan seseorang,
salah satunya adalah keuangan. Contoh dalam penelitian ini memperoleh uang
saku untuk pangan dari orang tua dan lainnya. Uang saku diduga akan
berpengaruh terhadap preferensi konsumsi pangan olahan terigu. Namun hasil uji
korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan uang saku
untuk pangan dengan banyaknya konsumsi terigu contoh (p=0.965, r=0.004).

17

Kontribusi Terigu terhadap Kecukupan Zat Gizi
Kecukupan zat gizi menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang
diperlukan oleh setiap orang dalam kelompok usia tertentu agar dapat hidup sehat,
bebas dari defisiensi, aktif dan produktif. Angka kecukupan gizi (AKG) contoh
ditetapkan berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun
2012 yang dianjurkan bagi remaja (13 - 15 tahun dan 15 - 18 tahun). Kontribusi
terigu dihitung dari jumlah zat gizi yang terkandung pada rata-rata terigu yang
dikonsumsi selama sehari dibandingkan dengan rata-rata AKG contoh.

Usia (tahun)
13 - 15
16 - 18

Tabel 11 Angka kecukupan zat gizi perempuan
Energi
B1
Vit. B2
Asam folat
(kkal)
(mg)
(mg)
(µg)
2125
1.1
1.3
400
2125
1.1
1.3
400

Besi
(mg)
26
26

Seng
(mg)
16
14

Sumber : WNPG VIII

Berikut disajikan tabel kontribusi tepung terigu yang telah difortifikasi
terhadap kecukupan zat gizi contoh meliputi besi, vitamin B1,vitamin B2, asam
folat, dan seng dari rataan konsumsi contoh 96.2 g/hari.
Tabel 12 Rataan asupan dan kontribusi terigu terhadap kecukupan zat besi dan zat
gizi mikro lainnya pada contoh
Variabel
Asupan zat gizi dari terigu
Besi (mg)
Vit B1 (mg)
Vit B2 (mg)
Asam folat (µg)
Seng (mg)
Kontribusi terhadap AKG (%)
Besi
Vit B1
Vit B2
Asam fola