Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi

1

PENGELOLAAN KOLABORATIF
KAWASAN KONSERVASI PENYU PANGUMBAHAN
KABUPATEN SUKABUMI

IRMA MINARTI HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Kolaboratif
Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

April 2015

Irma Minarti Harahap
C252100204

3

RINGKASAN
IRMA MINARTI HARAHAP. Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi
Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi. Dibimbing oleh ACHMAD
FAHRUDIN dan YUSLI WARDIATNO.
Pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Sukabumi

sekaligus pencadangan Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan
Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KKP3K), secara langsung maupun
tidak langsung sangat membutuhkan peran serta masyarakat sekitar dalam
pengelolaaannya. Pandangan (persepsi) stakeholder tentang kegiatan konservasi
di lingkungan sekitar diharapkan dapat membantu peningkatan kegiatan
pengelolaan kawasan konservasi tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji penerapan pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan Kawasan
Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa model yang diuji memiliki nilai thitung yang lebih besar dari 1,96, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh
koefisien jalur dari indikator terhadap variabel laten adalah signifikan. Pada model
terlihat bahwa variabel pengelolaan (Y) dipengaruhi secara signifikan oleh dua
variabel bebas, yaitu persepsi stakeholder (X1) dengan pengaruh sebesar 0,51 dan
variabel kebijakan pemerintah daerah (X4) sebesar 0,54. Nilai t-hitung yang
diperoleh untuk pengaruh dari X1 terhadap Y yaitu sebesar 4,67 dan sebesar 3,96
untuk jalur antara X4 terhadap Y sehingga dinyatakan signifikan secara statistik.
Berdasarkan hasil analisis variabel yang menentukan tingkat keberhasilan dalam
pengelolaan kawasan konservasi dapat disimpulkan bahwa variabel persepsi
stakeholder dan kebijakan pemerintah daerah terkait kawasan konservasi penyu
Pangumbahan merupakan variabel yang paling dominan dalam menentukan
keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi tersebut.

Kata Kunci: kawasan konservasi, pengelolaan, kolaboratif

4

SUMMARY
IRMA MINARTI HARAHAP. Collaborative Management of Sea Turtle Marine
Protected Area Pangumbahan Sukabumi District. Supervised by ACHMAD
FAHRUDIN and YUSLI WARDIATNO.
The establishment of Marine Protected Area (MPA) at Sukabumi District
within the designation sea turtle area of Pangumbahan beach as a coastal and
small islands conservation area, directly and indirectly indeed need the active
engagement of the local communities and other stakeholders in the management
of the MPA. The perception of stakeholders about conservation activities in their
surroundings is expected to improve the management of the MPA. The purpose
of this study is to examine the application of collaborative management in Turtle
Conservation Area Management at Pangumbahan, Sukabumi District.
The analysis shows that the tested models has t-test value greater than 1.96
which mean that the entire coefficient path of the indicator on the latent variables
are significant. The model also demonstrates that the management variable (Y) is
significantly influenced by the two independent variables, namely the perception

of stakeholders (X1) with the effect of 0.51 and government policy variables (X4)
of 0.54. T-test values obtained for the effect of X1 on Y are equal to 4.67 and of
3.96 for the path between the X4 to Y, thus it is statistically significant. Based on
the analysis of variables, it can be concluded that the variable perception of
stakeholders and local government policy regarding sea turtle conservation area of
Pangumbahan are two most dominant variables in determining the success of the
MPA management.
Keywords: marine protected area, management, collaborative

5

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


6

PENGELOLAAN KOLABORATIF
KAWASAN KONSERVASI PENYU PANGUMBAHAN
KABUPATEN SUKABUMI

IRMA MINARTI HARAHAP

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015


7

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoman M.N. Natih, MSi

8

Judul Penelitian

:

Nama
NRP

:
:

Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi
Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi
Irma Minarti Harahap
C252100204


Disetujui
Komisi Pembimbing,

Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc
Anggota

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi
Ketua

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 30 April 2015

Tanggal Lulus:

9

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah
pengelolaan kawasan konservasi, dengan judul Pengelolaan Kolaboratif Kawasan
Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Fahrudin, M.Si
dan Bapak Dr Ir Yusli Wardiatno, M.Sc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir
Nyoman M.N. Natih, M.Si yang telah banyak memberi saran dan arahan. Selain
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahman Kurniawan beserta staf
dari UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan serta Bapak Musonip dari kantor
Desa Pangumbahan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, java chip, teman-teman,

serta seluruh keluarga atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2015

Irma Minarti Harahap

10

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi: Pesisir, Sempadan Pantai, Sumberdaya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Penyu, Konservasi, Kawasan Konservasi, Zona
Pesisir
Sempadan Pantai
Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Penyu
Konservasi
Kawasan Konservasi
Zona
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Terpadu
Pengelolaan Kolaboratif (Co-management)
Persepsi

Partisipasi
Pemberdayaan Masyarakat
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai
Lebar dan Kemiringan Pantai
Jejak, Pola, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur Penyu
Jenis dan Diameter Substrat
Pengamatan Jenis Vegetasi
Pengamatan Ancaman (Predator) bagi Penyu Hijau
Persepsi dan Partisipasi Stakeholder, Penegakan Hukum dan
Upaya Pengawasan, Kebijakan, dan
Pengelolaan Kawasan Konservasi
Analisis Data
Structural Equation Modeling

1
1
3
4
5
7
7
7
7
7
7
8
8
9
9
10
10
10
10
11
11
12
12
12
13
13
13
14
14
14

14
15
15

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan
Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai
Lebar dan Kemiringan Pantai
Jejak, Pola, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur Penyu
Jenis dan Diameter Substrat
Pengamatan Jenis Vegetasi
Pengamatan Ancaman (Predator) bagi Penyu Hijau
Persepsi dan Partisipasi Stakeholder, Penegakan Hukum dan
Upaya Pengawasan, Kebijakan, dan
Pengelolaan Kawasan Konservasi
Pemberdayaan Masyarakat, Sosialisasi Peraturan,
Pembinaan Masyarakat
Pengelolaan Kolaboratif
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

16
17
17
19
20
20
21
22

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

51

22
27
30
32
32
32

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Variabel laten dan indikator penelitian
Data penyu hijau (Chelonia mydas) di pantai Pangumbahan
Persentase besar butir pasir di kawasan konservasi penyu Pangumbahan
Hasil analisis substrat dengan metode sepuluh fraksi
Uji kecocokan pada beberapa kriteria goodness of fit index

15
18
20
21
23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pemikiran
Peta lokasi penelitian
Grafik jumlah pengunjung di kawasan konservasi Pangumbahan
Diagram nilai t-hitung dan standardized solution
Grafik analisis perbandingan kelompok responden

6
11
18
24
26

DAFTAR LAMPIRAN
1

Profil responden berdasarkan lokasi, jenis kelamin, status perkawinan,
tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan status dalam keluarga

37

12

2

3

4
5
6

Analisis deskriptif terhadap variabel persepsi stakeholder, partisipasi
stakeholder, penegakan hukum dan upaya pengawasan, kebijakan
pemerintah daerah, dan pengeloaan kawasan konservasi
Analisis validitas dan reabilitas terhadap variabel persepsi stakeholder,
partisipasi stakeholder, penegakan hukum dan upaya pengawasan,
kebijakan pemerintah daerah, dan pengeloaan kawasan konservasi
Analisis perbandingan variabel pengelolaan terhadap lima kelompok
responden
Gambaran umum kawasan konservasi penyu Pangumbahan
Pengamatan di lokasi penelitian

39

41
44
45
47

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang memiliki wilayah
paling luas di dunia. Luas perairan Indonesia tidak kurang dari 5,8 juta km2 dan
memiliki sebanyak 17.480 pulau yang terdiri dari pulau besar dan pulau kecil
dengan panjang garis pantai lebih kurang 95.186 km, yang merupakan garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada.
Selain itu Indonesia merupakan bagian dari segi tiga terumbu karang (coral
triangle), wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati
tertinggi di dunia (megabiodiversity country). Tingginya keanekaragaman hayati
tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis,
melainkan juga dipengaruhi oleh faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau
massa air laut yang mempengaruhi massa air dari dua samudera, serta keragaman
tipe habitat dan ekosistem yang terdapat didalamnya.
Keanekaragaman hayati atau sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut
meliputi keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem. Pengertian
keanekaragaman hayati dan nilai manfaatnya baik secara ekonomis, sosial,
budaya, dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan
keanekaragaman hayati pesisir dan laut sesuai dengan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah banyak
pemanfaatan sumberdaya alam kurang memperhatikan kelestarian sehingga
berakibat pada menurunnya kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada.
Menurut Cicin-Sain dan Knecht (1998), pengelolaan pesisir terpadu adalah
suatu proses yang dinamis dan berjalan secara terus menerus, dalam membuat
keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan serta perlindungan
wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Salah satu tujuan utama
diterapkannya pengelolaan pesisir terpadu dalam pengelolaan pesisir adalah untuk
memperbaiki sistem pengelolaan dan kondisi lingkungan pesisir tersebut, yang
dalam implementasinya digunakan berbagai macam alat (tools). Pengelolaan
pesisir yang terpadu dapat diimplementasikan dalam bentuk kawasan konservasi.
Sebagai contoh di negara Filipina, beberapa tools yang paling umum digunakan
dalam pengelolaan pesisir terpadu adalah pendidikan tentang lingkungan,
pemberdayaan masyarakat, Kawasan Konservasi Laut (KKL), dan skema mata
pencaharian alternatif (Christie, 2005).
Pengertian dasar dari kawasan konservasi adalah luas lahan daratan dan/atau
laut terutama yang diperuntukan untuk perlindungan dan pemeliharaan
keanekaragaman hayati, dan sumberdaya alam yang terhubung dengan budaya
yang terkait, dan dikelola melalui penerapan hukum atau dengan cara efektif
lainnya (Broquere, 2005). Berdasarkan pengertian kawasan konservasi sebagai
luas lahan daratan dan/atau lautan dan juga berdasarkan pengkategorian kawasan
konservasi, maka KKL dianggap sebagai bagian dari sistem kawasan konservasi
secara keseluruhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KKL merupakan
bagian dari upaya pengelolaan atau konservasi ekosistem. Menurut Pomeroy
(2012) keberadaan KKL dapat melindungi ekosistem secara keseluruhan, karena
melalui konservasi dapat melindungi spesies yang menjadi target eksploitasi dari

2

kepunahan sekaligus melindungi kondisi habitat yang penting seperti daerah
pemijahan dan pemeliharaan spesies tersebut.
Salah satu wilayah di Indonesia yang telah melakukan pembentukan KKL
sebagai salah satu cara pelestarian sumberdaya alam yang dimiliki adalah
Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Sukabumi memiliki panjang pantai 117 km,
tersebar di sembilan kecamatan pesisir dan dua kecamatan diantaranya
(Kecamatan Ciracap dan Ciemas) memiliki potensi satwa penyu yang bertelur di
sembilan lokasi peneluran, yaitu (1) Pangumbahan, (2) Hujungan, (3) Karang
Dulang, (4) Legon Matahiang, (5) Citirem (6) Batu Handap, (7) Cibulakan,
(8) Cebek, dan (9) Cikepuh. Dalam pengelolaannya, delapan lokasi dikelola oleh
BKSDA (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan satu lokasi yaitu
Pantai Pangumbahan dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi.
Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi memiliki nilai yang sangat strategis
terkait dengan upaya pelestarian penyu hijau (Chelonia mydas).
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut, yang keberadaannya telah lama
terancam baik dari alam maupun dari kegiatan manusia. Secara internasional,
penyu masuk ke dalam red list di IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) dan Appendix I CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang berarti
bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah. Upaya konservasi penyu
merupakan program penting dan mendesak untuk melindungi dan menyelamatkan
populasi penyu. Enam jenis penyu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia
terdapat di Indonesia, yaitu Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu
Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu
Tempayan (Caretta caretta), Penyu Pipih (Natator depressus), dan Penyu Hijau
(Chelonia mydas), di antara jenis-jenis tersebut hanya penyu hijau yang
mendominasi seluruh lokasi peneluran penyu di Kabupaten Sukabumi oleh karena
itu penyu hijau dijadikan sebagai lambang Kabupaten Sukabumi.
Terpeliharanya populasi penyu dan habitatnya di Pantai Pangumbahan serta
perairan laut sekitar secara tidak langsung mendukung upaya menjaga wilayah
pesisir Kabupaten Sukabumi agar tetap dalam kondisi baik. Melalui pelestarian
penyu dan habitatnya secara tidak langsung dapat mendukung tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam pada wilayah pesisir dan perairan laut Kabupaten
Sukabumi secara berkelanjutan.
Berdasarkan pertimbangan terhadap arti penting pelestarian penyu dan
habitatnya serta dampak lanjutan dari upaya tersebut terhadap sebagian
masyarakat pesisirnya, maka pemerintah Kabupaten Sukabumi secara serius
melakukan pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi penyu di Pantai
Pangumbahan. Dalam rangka pembentukan kawasan konservasi perairan laut serta
mengacu pada Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka Bupati Sukabumi menerbitkan Surat
Keputusan nomor: 523/Kep.639-Dislutkan/2008 tentang Pencadangan Kawasan
Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (KKP3K) Kabupaten Sukabumi dengan status “Taman Pesisir”.
Sebelum terbit Surat Keputusan pencadangan tersebut, pengelolaan kawasan
penyu pantai Pangumbahan dilakukan oleh pihak swasta. Pada kenyataannya juga
masyarakat telah menghuni wilayah sekitar kawasan konservasi sebelum kawasan
tersebut berubah status menjadi taman pesisir dan banyak masyarakat yang

3

mengenal produk yang dihasilkan oleh penyu sebagai produk yang menghasilkan
uang. Dengan berbagai kondisi tersebut maka sangat dibutuhkan perhatian khusus
dari pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi sebagai
pengelola kawasan konservasi dalam praktek pengelolaannya, karena
dikhawatirkan akan muncul konflik dalam pengelolaan kawasan konservasi. Pada
satu sisi pemerintah menetapkan kawasan tersebut sebagai taman pesisir yang
harus dilindungi, namun di sisi lain masyarakat sekitar sangat berharap kebutuhan
hidupnya terpenuhi.
Kenyataannya sejak pengelolaan kawasan konservasi diambil alih oleh
pemerintah daerah sampai dengan awal tahun 2013, masih terjadi konflik antara
masyarakat lokal dan pihak pengelola karena dianggap masih terjadi
penyalahgunaan wewenang dalam praktek pengelolaan. Selain itu pengelolaan
kawasan konservasi yang berjalan dianggap masih belum memasukkan peranan
masyarakat lokal. Padahal diharapkan dengan peresmian Taman Pesisir Pantai
Penyu Pangumbahan pada akhir Desember 2009, dapat menjadi langkah awal
yang merupakan inisiasi konservasi bersama atau pengelolaan kolaboratif (comanagement) dalam mewujudkan pemanfaatan kawasan konservasi untuk wisata
berbasis penyu yang melibatkan peran serta masyarakat.
Prospek pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan kawasan konservasi
perairan sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam Peraturan Pemerintah nomor
60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan pasal 18, yang menyatakan
bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam
mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui
kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau
masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian,
maupun perguruan tinggi. Asas kemitraan dimaksudkan agar pelaksanaan
konservasi sumberdaya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerjasama antar
pemangku kepentingan (stakeholder) yang berkaitan dengan konservasi
sumberdaya ikan. Pengelolaan kolaboratif yang di dalamnya terdapat hubungan
antar stakeholder adalah suatu bentuk pengelolaan yang dapat memadukan hal-hal
kompleks terkait politik, ekonomi dan lingkungan dalam suatu pengelolaan
sumberdaya perikanan (Wilson et al., 2006).
Menurut Evans et al. (2011) pengelolaan kolaboratif saat ini sangat
dikembangkan sebagai pendekatan utama dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan skala kecil di beberapa negara berkembang. Namun setiap negara
memiliki kebutuhan yang berbeda dalam pengelolaan sumberdaya perikanan,
sebagai contoh untuk negara Vietnam dan Kamboja dibutuhkan suatu peraturan
yang signifikan untuk mengontrol pemanfaatan sumberdaya perikanan serta
aturan yang lebih baik dalam melibatkan masyarakat dalam pengelolaan
(Nasuchon dan Charles, 2010).
Perumusan Masalah
Pembentukan kawasan konservasi perairan khususnya perairan laut sering
belum diiringi dengan pengelolaan yang efektif. Kencenderungan tersebut
dikarenakan kurang optimalnya pengelolaan kawasan konservasi laut yang
disebabkan antara lain oleh (1) Orientasi pengelolaan kawasan konservasi laut
lebih fokus pada manajemen teresterial; (2) Pengelolaan bersifat sentralistik dan
belum melibatkan masyarakat setempat; (3) Tumpang tindih pemanfaatan ruang

4

dan benturan kepentingan para pihak; (4) Banyaknya pelanggaran yang terjadi di
kawasan konservasi laut. Menurut Reefbase (2006), lebih dari 100 KKL yang
tercatat di Indonesia, sebagaian besar diantaranya tidak memiliki rencana
pengelolaan formal yang siap, mencerminkan fakta bahwa ekosistem laut
umumnya telah diberikan prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah
teresterial.
Masyarakat pesisir merupakan salah satu faktor penentu suatu kegiatan
pengelolaan lingkungan karena masyarakat tersebut memiliki interaksi terbanyak
dengan lingkungan pesisir sehingga secara tidak langsung meningkat atau
turunnya suatu pengelolaan kawasan konservasi tergantung dari tingkat
kepedulian masyarakat pesisir untuk menjaga sumberdaya yang ada di sekitarnya.
Pengembangan konsep pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan kawasan
konservasi laut sangat didukung oleh persepsi serta partisipasi para pemangku
kepentingan, dan untuk meningkatkan persepsi serta partisipasi tersebut sangat
didukung oleh peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat serta
stakeholder lainnya. Dalam suatu pengelolaan kawasan konservasi sangat penting
untuk mengidentifikasi persepsi stakeholder terhadap sumberdaya alam yang
menjadi objek konservasi (Horrill, IUCN). Pengelolaan kolaboratif dengan
melibatkan partisipasi masyarakat dapat berperan penting ketika pengelolaan yang
bersifat sentralistik tidak berjalan efektif, salah satunya adalah untuk mengatasi
terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam (Pomeroy et al., 2007).
Kunci dari suatu bentuk pengelolaan kolaboratif adalah adanya partisipasi dari
para stakeholder dalam pelaksanaannya, antara lain yaitu nelayan, masyarakat,
dan pemerintah (Chuenpagdee dan Jentoft, 2007).
Pembentukan kawasan konservasi perairan laut Kabupaten Sukabumi secara
langsung maupun tidak langsung sangat membutuhkan peran serta masyarakat
sekitar dan stakeholder lainnya dalam pengelolaaan kawasan tersebut. Selama
beberapa tahun ini kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten
Sukabumi banyak melakukan kegiatan konservasi yang melibatkan masyarakat di
wilayah tersebut. Hal ini memunculkan berbagai pandangan terhadap keberadaan
kegiatan konservasi di wilayah mereka. Pandangan (persepsi) stakeholder tentang
kegiatan konservasi di lingkungan sekitar diharapkan dapat membantu
peningkatan keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan
Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang
Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan Kabupaten
Sukabumi. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menguraikan kondisi kawasan konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten
Sukabumi.
2. Mengkaji penerapan pengelolaan kolaboratif dalam pengelolaan kawasan
konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.

5

3. Mengkaji hubungan antara persepsi dan partisipasi stakeholder, penegakan
hukum serta kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan
konservasi penyu Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat berguna sebagai bahan
pertimbangan dan masukan kepada para pemangku kepentingan baik masyarakat
maupun pemerintah daerah dalam membuat program-program kegiatan yang
mendukung terhadap keberadaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan
Kabupaten Sukabumi sesuai dengan karakterisitik masyarakat setempat.

6

Persepsi
Masyarakat
Lokal
Partisipasi

Analisis
KKL

Potensi SDA

Pemerintah
Daerah

Manfaat bagi
Masyarakat

- Pemberdayaan Masyarakat
- Sosialisasi UU/Perda
- Pembinaan Masyarakat

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Pengelolaan
Kolaboratif
(Co-management)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi:
Pesisir, Sempadan Pantai, Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Penyu, Konservasi, Kawasan Konservasi, Zona
Pesisir
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut
yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Perairan Pesisir adalah laut
yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau,
estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (UU RI nomor 1 tahun
2014). Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah
perairan antara daratan dan lautan dimana ke arah darat adalah jarak secara arbiter
dan rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah
Provinsi atau state di suatu Negara.
Sempadan Pantai
Terdapat beberapa definisi menurut para ahli terkait pantai. Berdasarkan UU
RI nomor 1 tahun 2014 yang dimaksud dengan sempadan pantai adalah daratan
sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Berdasarkan Undang-Undang RI nomor 1 tahun 2014, sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati,
sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan,
terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya
nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi
infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa
lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah
air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang
terdapat di wilayah pesisir.
Penyu
Penyu merupakan hewan reptil yang hampir seluruh masa hidupnya berada
di lautan. Semua jenis penyu dikelompokkan sebagai endangered species dalam
IUCN yakni spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami
kepunahan. Penyu hijau mempunyai ciri-ciri morfologi yaitu karapas berbentuk
oval, berwarna kuning keabu-abuan, tidak meruncing di punggung dengan kepala
bundar. Penyu termasuk hewan ovipar, pembuahan telur berlangsung dalam tubuh
induk.
Dalam memilih pantai untuk tempat bertelur, penyu dipengaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan antara lain pasang surut, penutupan vegetasi,
kemiringan pantai, dan tipe pasir. Penyu memiliki kemampuan untuk
memproduksi telur dalam jumlah yang besar, dari ratusan butir telur yang
dihasilkan hanya belasan tukik (bayi penyu) yang berhasil sampai ke laut kembali
dan tumbuh dewasa.

8

Konservasi
Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Menurut
Bengen (2002) agar ekosistem dan sumberdaya dapat berperan secara optimal dan
berkelanjutan maka diperlukan upaya–upaya perlindungan dari berbagai ancaman
degradasi yang dapat ditimbulkan dari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Konservasi menurut IUCN dalam McNeely (1992) adalah pengelolaan
penggunaan manusia atas biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat
berkelanjutan terbesar pada generasi sekarang, sementara memelihara potensinya
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi-generasi masa depan.
Konservasi dalam definisi ini mencakup pelestarian, pemeliharaan, pemanfaatan
berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan mutu lingkungan alamiah. Menurut
UU RI nomor 27 tahun 2007, konservasi wilayah pesisir dan pulau–pulau kecil
diselenggarakan untuk menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau–pulau
kecil, melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, melindungi habitat biota
laut, melindungi situs budaya tradisional.
Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi
untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI nomor
PER.17/MEN/2008 menyebutkan bahwa tujuan ditetapkannya konservasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil adalah untuk memberi acuan atau pedoman dalam
melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil serta ekosistemnya. Sedangkan sasaran pengaturan kawasan konservasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan untuk perlindungan, pelestarian,
dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan
keanekaragamannya.
Berdasarkan UU RI nomor 5 tahun 1990 tujuan dari kawasan konservasi
adalah untuk mendapatkan bentuk penataan ruang dan arah pengelolaan kawasan
konservasi yang optimal sehingga dapat meningkatkan fungsi dari kawasan
lindung itu sendiri serta untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan.
Menurut Anggoro (2006), tujuan kawasan konservasi antara lain:
1. Mewujudkan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan.
2. Mengurangi ancaman kerusakan kawasan serta seluruh penghuninya dari
bencana alam.
3. Memelihara proses dan fungsi ekologis penting dengan sistem pendukung
kehidupan.
4. Menjaga dan mengendalikan keanekaragaman hayati yang ada agar tetap
seimbang, harmonis dan tidak hancur/punah.

9

Upaya pengelolaan kawasan konservasi perlu dilakukan agar peran dan
fungsi kawasan konservasi sesuai dengan yang diharapkan. Widada dan
Kobayashi (2006) menyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi adalah
serangkaian upaya penataan, perencanaan, perlindungan dan pengamanan,
pembinaan habitat dan populasi, pemanfaatan, pemberdayaan dan peningkatan
kesadaran masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola, koordinasi,
dan monitoring dan evaluasi pengelolaan kawasan konservasi.
Zona
Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara
berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya (UU RI
nomor 1 tahun 2014). Menurut Bengen (2002) dan Dahuri (2003), secara umum,
zona-zona di kawasan konservasi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Zona inti atau perlindungan
Zona ini memiliki nilai konservasi tinggi dan bersifat sangat rentan terhadap
gangguan dan perubahan. Zona ini dikelola dengan tingkat perlindungan yang
sangat tinggi dan tidak diijinkan adanya aktivitas eksploitasi.
2. Zona penyangga
Zona ini bersifat lebih terbuka, namun tetap dikontrol dan beberapa bentuk
pemanfaatan masih dapat diijinkan. Zona ini berfungsi untuk menjaga zona inti
dari aktivitas yang dapat mengganggu dari pengaruh eksternal.
3. Zona pemanfaatan
Zona ini mentolerir berbagai tipe pemanfaatan yang tetap memperhatikan
upaya untuk melindungi habitat penting, keanekaragaman hayati dan
konservasi sumberdaya ekonomi.
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Terpadu
Menurut Kay dan Alder (1999) pengelolaan sumberdaya perikanan harus
memperhatikan empat aspek, agar dapat berjalan secara efektif. Keempat aspek
tersebut adalah (1) proses pengambilan keputusan harus bersifat adaptif;
(2) pengenalan terhadap karakter alamiah dan potensi wilayah pesisir; (3) strategi
pengelolaan yang komprehensif dan terpadu antar sektor yang terlibat; dan
(4) penekanan dan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.
Pengelolaan sumberdaya perikanan terpadu merupakan suatu program
terintegrasi yang meliputi berbagai sektor yang saling berpengaruh. Keberhasilan
program pengelolaan tersebut sangat ditentukan oleh keterlibatan masing-masing
sektor dalam mensukseskan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu perlu
adanya suatu kerangka koordinasi antar sektor yang saling mendukung untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Dahuri et al. (1996), beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan
memperhatikan kaidah pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu antara
lain adalah koordinasi antar stakeholder, strategi perencanaan yang matang,
penyusunan dan perencanaan zonasi, pengelolaan limbah buangan, penetapan
kawasan perlindungan sumberdaya perikanan, selalu melakukan evaluasi dan
monitoring, pengelolaan yang adaptif, keberlanjutan, kompleksitas aktivitas
pembangunan, partisipasi masyarakat, komunikasi antar stakeholder, pengelolaan
berbasis masyarakat.

10

Pengelolaan Kolaboratif (Co-management)
Co-management atau collaborative management, sering juga disebut
participatory management, joint management, shared-management, multistakeholder management. Istilah co-management di Indonesia sering diartikan
sebagai pengelolaan kolaboratif, pengelolaan bersama, pengelolaan berbasis
kemitraan atau pengelolaan partisipatif.
Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) didefinisikan sebagai
perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang
berbasis masyarakat. Terdapat paling sedikit sepuluh jenis hirarki bentuk
management yang menjadi bagian prinsip-prinsip co-management yaitu:
infrorming, consultation, cooperation, communication, information exchange,
advisory role, joint action, partnership, community control, interarea
coordination.
Keberadaan UU RI nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan peluang bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mengelola
wilayahnya, tentunya pelibatan masyarakat dan prospek pengelolaan kolaboratif
lebih terbuka. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini
adalah porsi co-management mungkin lebih besar dimana menempatkan
masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan
mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan
secara bersama–sama oleh kedua belah pihak.
Persepsi
Menurut Saptorini (1989), persepsi adalah suatu proses mental yang rumit
dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk
sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi
dapat terbentuk setelah melalui berbagai kegiatan, yaitu proses fisik
(penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf
sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, pemrosesan informasi di otak).
Partisipasi
Partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat dalam program-program
pembangunan. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi
yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang bersifat dimobilisasikan. Partisipasi
swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan peran sertanya atas dasar
kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan
memiliki arti keikutsertaan dan berperanserta atas dasar pengaruh orang lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat menurut Sastropoetro
(1986) adalah keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan
keadaan alam sekitarnya.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan
atau bantuan kepada masyarakat pesisir agar mampu menentukan pilihan yang
terbaik dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara
lestari. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi
masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi

11

seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Dalam rangka
mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui
berbagai pendidikan formal dan non formal perlu mendapat prioritas.
Memberdayakan masyarakat bertujuan mendidik masyarakat agar mampu
membantu diri mereka sendiri.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di UPTD Konservasi Penyu Pangumbahan, Taman
Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan, Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap,
Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dengan membagi
pantai menjadi enam stasiun pengamatan yang berada di dalam kawasan
konservasi penyu Pangumbahan. Penelitian dilaksanakan pada bulan April, Mei
dan Agustus 2013. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sukabumi, 2011
Gambar 2 Peta lokasi penelitian

12

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis
metode survei. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi
mengenai komponen dan proses secara detail, faktual, dan akurat mengenai fakta,
sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang dikaji. Dalam hal ini digunakan
untuk mengetahui kondisi ekosistem serta korelasi antara kondisi ekosistem
dengan jumlah penyu yang mendarat dan bertelur di kawasan konservasi penyu
Pangumbahan Kabupaten Sukabumi.
Selain itu metode penelitian juga difokuskan kepada masyarakat yang
berhubungan erat dengan kawasan konservasi tersebut yaitu nelayan juga
masyarakat lain seperti tokoh masyarakat yang berdomisili di lokasi penelitian,
pengunjung yang datang dan stakeholder yang terlibat dalam kegiatan
pengelolaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengambilan data
melalui wawancara langsung dengan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan sumbernya dapat
diklasifikasikan menjadi data primer dan sekunder. Data primer yakni data yang
diperoleh dari informasi langsung di lapangan, baik melalui hasil pengamatan,
kuisioner maupun hasil wawancara langsung dengan responden. Data primer yang
diambil adalah data biologi dan fisik terkait habitat ideal bagi penyu hijau untuk
bertelur, serta persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi. Faktor lingkungan fisik dan biologi pantai yang diamati dalam
penelitian terdiri atas jumlah penyu yang naik dan bertelur; lebar pantai;
kemiringan pantai; diameter, warna dan tekstur pasir; jenis vegetasi pantai; jejak
penyu; kondisi sarang tempat penyu bertelur (kedalaman sarang, suhu sarang, dan
jumlah telur); jenis ancaman/predator bagi penyu untuk bertelur. Data primer
yang diambil terkait persepsi dan partisipasi stakeholder serta peran pemerintah
dalam peningkatan pemberdayaan dalam pengelolaan kawasan konservasi
meliputi beberapa variabel yaitu efektifitas koordinasi dan kerjasama; kualitas dan
kuantitas SDM; keterlibatan dalam perencanaan, implementasi dan pengawasan;
dukungan terhadap penegakan hukum; pengembangan alternatif usaha yang
menguntungkan dan tidak merusak lingkungan.
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi sejarah kawasan,
keadaan fisik kawasan (letak geografis dan administratif, hidrologi, geologi,
iklim), profil komunitas masyarakat (penduduk, potensi sosial ekonomi, interaksi
masyarakat dengan kawasan konservasi), dokumen program-program yang pernah
dilakukan. Sumber data sekunder antara lain laporan dinas/instansi pemerintah
dan lembaga lain yang terkait.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer diperoleh melalui pengamatan, pengukuran,
telaah langsung di lapangan, dan juga melalui wawancara dengan alat bantu
kuesioner yang dilakukan kepada responden dari berbagai macam stakeholder.
Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling
yaitu dipilih secara sengaja berdasarkan adanya keterkaitan, kepentingan,

13

kesediaan dan atau kepedulian mereka dengan keberadaan dan status kawasan
konservasi penyu Pangumbahan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui
teknik wawancara, kuesioner maupun rangkaian studi kepustakaan.
Secara rinci teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Teknik observasi (pengamatan); dilakukan untuk mendapatkan data mengenai
kondisi kawasan konservasi serta data primer lainnya.
b. Teknik interview (wawancara); untuk mendapatkan data primer maka
menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur (semi structured interview)
yakni wawancara yang pelaksanaannya lebih bebas dan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan terbuka dengan narasumber atau responden yang
dianggap paling banyak mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan kawasan konservasi.
c. Kuesioner; untuk mendapatkan data primer digunakan kuesioner sebagai alat
untuk mengukur. Responden adalah para stakeholder antara lain nelayan,
kepala kampung, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, dan pejabat
Dinas Kelautan dan Perikanan serta instansi terkait.
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembaran data
(data sheet), head lamp, kamera, alat hitung, termometer, meteran roll. Berikut
adalah uraian metode pengumpulan data terkait beberapa variabel:
Jumlah Penyu yang Naik ke Pantai
Jumlah penyu yang naik untuk bertelur maupun tidak bertelur di tiap stasiun
pengamatan dicatat setiap malam dengan metode observasi atau pengamatan
langsung di sekitar pantai, waktu pencatatan dimulai 1-2 jam setelah pasang
tertinggi setiap malamnya. Hal ini dilakukan guna menghindari terganggunya
penyu yang akan bertelur. Selain pencatatan data harian yang diperoleh dari hasil
pengamatan langsung di lapangan, juga dihimpun data yang berasal dari Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Pengamatan jumlah penyu yang
naik ke pantai dilakukan pada enam titik stasiun yang berada dalam kawasan
konservasi sepanjang 2.300 meter.
Lebar dan Kemiringan Pantai
Pengukuran lebar pantai dilakukan dengan menggunakan meteran roll 100
meter dan dibagi menjadi tiga, yaitu lebar supratidal yang diukur dari vegetasi
terluar hingga batas pasang tertinggi, lebar intertidal yang diukur dari batas
pasang tertinggi hingga batas surut terendah dan lebar total hasil penjumlahan dari
lebar supratidal dengan lebar intertidal. Pengukuran tiap stasiun dilakukan
sebanyak tiga kali ulangan di area yang mewakili lebar pantai masing-masing
staisun. Pengukuran kemiringan pantai dimulai dari vegetasi terluar hingga ke
pantai pertama kali basah oleh gelombang dengan memproyeksikan titik yang
ekstrim tegak lurus pantai.
Jejak, Pola, Ukuran Sarang dan Kebiasaan Bertelur Penyu
Identifikasi penyu hijau berdasarkan jejak (track), ukuran sarang dan
kebiasaan bertelur penyu dilakukan pada setiap stasiun pengamatan. Pengukuran
jejak dan pola setiap jenis penyu bertelur dilakukan mulai saat naik dari
permukaan air menuju intertidal sampai mencari lokasi yang cocok untuk digali
dan setelah penyu selesai bertelur hingga menuju kembali ke laut. Pengukuran

14

jejak dilakukan malam hari dengan mengukur tiap jejak dengan menggunakan
meteran.
Pengukuran kedalaman dan diameter sarang dilakukan dengan
menggunakan meteran. Kedalaman sarang diukur mulai dari mulut sarang hingga
dasar sarang. Suhu pasir sarang diukur dengan menggunakan termometer pada
dasar pasir sarang peneluran. Setiap pengukuran parameter dilakukan sebanyak
tiga kali ulangan untuk menambah keakuratan data.
Jenis dan Diameter Substrat
Pengambilan contoh substrat (pasir) dilakukan dengan menggunakan sendok
semen dan kantong plastik (polyethilen). Contoh pasir diambil dari dua sarang
pada tiap-tiap stasiun, pemilihan sarang dilakukan secara acak. Terhadap contoh
pasir dilakukan pengukuran diameter dan tekstur pasir dengan metode sepuluh
fraksi. Analisis lebih lanjut untuk jenis dan diameter substrat dilakukan pada
laboratorium tanah IPB.
Pengamatan Jenis Vegetasi
Pengamatan jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasa terdapat
di sepanjang daerah peneluran penyu dilakukan dengan cara observasi di tiap
stasiun pengamatan. Parameter yang diamati yaitu identifikasi jenis vegetasi yang
menjadi tempat berlindung pada saat penyu bertelur atau tempat naungan penyu.
Identifikasi juga dilakukan melalui wawancara dengan petugas yang berada di
kawasan konservasi.
Pengamatan Ancaman (Predator) bagi Penyu Hijau
Jenis ancaman atau predator yang diamati meliputi keberadaan hewanhewan pemangsa antara lain babi hutan, anjing liar, biawak. Selain itu juga
dilakukan pengamatan terhadap keberadaan kapal-kapal nelayan dengan berbagai
jenis alat tangkap, seperti tombak, jaring insang (gill net), rawai panjang
(longline) dan pukat (trawl).
Ancaman lain yang penting untuk diamati adalah penangkapan penyu
dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang dan tulangnya, pengambilan telurtelur penyu yang dimanfaatkan sebagai sumber protein, serta aktivitas
pembangunan di wilayah pesisir yang dapat merusak habitat penyu untuk bertelur
seperti penambangan pasir, pembangunan sarana-prasarana wisata pantai dan
pembangunan dinding atau tanggul pantai. Data terkait ancaman atau predator
diperoleh baik melalui pengamatan secara visual di tiap stasiun pengamatan
maupun data hasil wawancara dengan para responden (petugas dan masyarakat).
Persepsi dan Partisipasi Stakeholder, Penegakan Hukum dan Upaya
Pengawasan, Kebijakan, dan Pengelolaan Kawasan Konservasi
Teknik pengambilan data mengenai persepsi dan partisipasi stakeholder,
penegakan hukum dan upaya pengawasan, kebijakan pemerintah daerah, dan
pengelolaan kawasan konservasi dilakukan dengan cara wawancara secara
langsung dan mendalam maupun menggunakan kuesioner. Pemilihan responden
dilakukan secara acak dengan menggunakan teknik purposive sampling.

15

Analisis Data
Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dibandingkan antara
data hasil pengamatan dengan kondisi habitat yang ideal bagi penyu untuk
bertelur.
Structural Equation Modeling
Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui pengelolaan
kolaboratif yaitu hubungan antara persepsi, partisipasi stakeholder dan variabel
lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi penyu Pangumbahan adalah
Structural Equation Modeling (SEM) atau permodelan struktur berjenjang dengan
alat analisis yang digunakan yaitu Lisrel 8.54, yang didukung dengan strategi
pengumpulan data yang bersifat multi-metode (triangulasi), yaitu wawancara
mendalam, pengamatan mendalam dan analisis dokumen (Yin, 2002: 118 dan
Sitorus, 1988:25).
Teknik analisis SEM menggunakan beberapa uji statistik untuk menguji
hipotesis. Model dikatakan goodness of fit, apabila memenuhi syarat: (1) Chisquare hitung < Chi-square tabel; (2) Significan probability (P) ≥ 0.05; (3)
RMSEA ≤ 0.08 dan (4) t hitung ≥ 1.96. Asumsi data SEM perlu dilakukan dalam
persamaan pengukuran dan persamaan struktural agar proses estimasi dapat
dilakukan dengan baik dan output yang dihasilkan tidak bersifat bias.
Tabel 1 Variabel laten dan indikator penelitian
VARIABEL LATEN
Pengelolaan Kawasan
Konservasi

Persepsi dan Partisipasi
Stakeholder

INDIKATOR












Penegakan Hukum
Upaya Pengawasan

dan 




Fungsi ekologis
Fungsi ekonomi
Fungsi sosial budaya
Fungsi ilmiah
Fungsi zonasi pemanfaatan
Fungsi pengelolaan kolaboratif
Efektifitas koordinasi dan
kerjasama
Kualitas dan Kuantitas SDM
Keterlibatan dalam
perencanaan, implementasi dan
pengawasan
Dukungan terhadap penegakan
hukum
Pengembangan alternatif usaha
yang menguntungkan dan tidak
merusak lingkungan
Ketaatan terhadap peraturan,
aparat penegak hukum dan
kelembagaan hukum
Sanksi terhadap pelanggar
hukum
Kualitas kontrol
Pengendalian perusakan
lingkungan

SUMBER
Agardy (1997);
Bengen (2002);
Dahuri (2003);
Murdiyanto (2004);
Fauzi (2005)
Agbayani et al.
(2000); Charles
(2001); Dahuri
(2003); Murdiyanto
(2004); Pretty and
Smith (2004);
Jentoft (2005);
Lunn and Dearden
(2006)

Dahuri (2003);
Murdiyanto (2004);

16

Kebijakan Pengelolaan
Kawasan Konservasi

 Desentralisasi
 Kontrol masyarakat
 Keseimbangan kesejahteraankelestarian

Djajadiningrat
(2001); Satria dan
Matsuda (2004);
Murawski (2007)

Sumber: Hasil Studi Literatur 2010 (Mussadun 2012)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Kawasan Konservasi Penyu Pangumbahan
Pantai Pangumbahan memiliki nilai yang sangat strategis terkait dengan
upaya pelestarian penyu hijau (Chelonia mydas). Hal ini ditunjukkan oleh
dokumen resmi IUCN yang dikeluarkan pada tahun 2004 mengenai status
populasi penyu hijau (Chelonia mydas) di dunia. Dalam dokumen tersebut
dinyatakan bahwa pantai Pangumbahan yang terletak di Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu dari tiga lokasi di Indonesia dan tiga
puluh lokasi lainnya yang tersebar di seluruh dunia yang menjadi indeks lokasi
pengamatan kondisi populasi penyu hijau. Terpeliharanya populasi penyu dan
habitatnya di Pantai Pangumbahan serta perairan laut sekitarnya secara tidak
langsung mendukung upaya menjaga wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi agar
tetap dalam kondisi baik.
Secara geografis Pantai Pangumbahan terletak pada koordinat 07˚19’08” 07˚20’52’’ LS dan 106˚19’37” - 106˚20’07” BT. Lokasi kegiatan pengelolaan dan
pengembangan kawasan konservasi penyu di pantai Pangumbahan terletak di
Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa
Barat. Secara administratif, Desa Pangumbahan berbatasan dengan Cagar Alam
(BKSDA Cikepuh) dan Desa Gunung Batu di sebelah utara, sebelah timur dengan
Desa Gunung Batu dan Desa Ujung Genteng, dan sebelah selatan dengan
Samudera Indonesia. Luas Kawasan pengelolaan 58,43 Ha dengan panjang pantai
yang menjadi habitat peneluran penyu (nesting ground) ± 2.300 m (DKP Kab.
Sukabumi, 2011).
Sejak bulan Agustus 2008 pengelolaan kawasan konservasi penyu di pantai
Pangumbahan diambil alih oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi berdasarkan
kesepakatan bersama antara pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi dengan CV.
Daya Bakti. Penggantian aset milik CV. Daya Bakti yang ada di dalam kawasan
konservasi penyu pantai Pangumbahan dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten dengan mekanisme penilaian aset oleh konsultan jasa penilai publik.
Sebagai tindak lanjut pengelolaan konservasi penyu dan habitatnya di pantai
Pangumbahan, pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi menunjuk Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi sebagai pengelola berdasarkan
Surat Keputusan Bupati Sukabumi Nomor: 523/Kep.638/Dislutkan/2008 tentang
Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi sebagai
pengelola kawasan penyu pantai Pangumbahan. Secara operasional,
pengelolaannya dibawah kendali Bidang PSDKP (Pengendalian Sumber Daya
Kelautan dan Perikanan). Dalam rangka pembentukan Kawasan Konservasi Laut
Daerah (KKLD) yang mengacu pada Undang-Undang nomor 27 tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka Bupati

17

Sukabumi menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 523/Kep.639-Dislutkan/2008
tentang Pencadangan Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan
Konservasi Pesisir dan