Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Di Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat
PENGELOLAAN WISATA PANTAI
BERBASIS KONSERVASI PENYU HIJAU
(Chelonia mydas)
DI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT
NENENG NURBAETI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Saya menyatakan bahwa Thesis berjudul Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat adalah benar karya Saya. Pengarahan dari komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir usulan penelitian ini.
Dengan ini Saya melimpahan hak cipta dari karya tulis kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Neneng Nurbaeti NRP C252120071
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait.(4)
RINGKASAN
NENENG NURBAETI. Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ACHMAD FAHRUDIN.
Pantai Pangumbahan ditetapkan sebagai Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan. Penetapan kawasan dilakukan untuk menjamin kelestarian populasi Penyu Hijau dengan mengembangkan kawasan sebagai kawasan ekowisata. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengevaluasi kesesuaian kawasan untuk peneluran Penyu Hijau dan pengembangan kegiatan ekowisata pantai. 2) Menghitung daya dukung (carrying capacity) kawasan konservasi penyu untuk kegiatan ekowisata pantai. 3) Merencanakan arahan pengelolaan ekowisata pantai di kawasan konservasi yang berkelanjutan.
Berdasarkan kesesuaiaan habitat di Pangumbahan aktivitas peneluran Penyu Hijau relatif rendah. Persentase kesesuaian kawasan untuk peneluran penyu kategori S1(sangat sesuai) 35,27% sisanya dikategorikan N (tidak sesuai) 64,73%. Persentase kesesuaian kawasan untuk wisata pantai 26,86 % kategori S1(sangat sesuai) dan kategori S2 (sesuai) 73,14%. Daya dukung kawasan untuk wisata pantai adalah 119 orang/hari, sedangkan daya dukung wisata penyu adalah 18 orang/hari. Kawasan untuk habitat peneluran penyu adalah Stasiun 1, 2 dan 3. Kawasan untuk wisata pantai adalah Stasiun 4, 5 dan 6.
Hasil analisis WTP diperoleh nilai surplus konsumen atau nilai WTP wisatawan Rp 1,053,258,434 per tahun. Nilai WTP dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah tanggungan. Hasil perhitungan nilai rata-rata WTP wisatawan yaitu tiket masuk Rp.13.858/orang, melihat tempat peneluran penyu Rp 13.426/orang, pemutaran film Rp.18.202/orang sedangkan WTP melihat penyu bertelur Rp 56.393/orang. Jika dibandingkan dengan nilai WTP potensialnya diperoleh hasil WTP potensial lebih besar dibandingkan biaya transaksional yang dikeluarkan. Penetapan retribusi yang sesuai diharapkan menjadi sumber pendanaan bagi pengelolaan kawasan konservasi.
(5)
SUMMARY
NENENG NURBAETI. Management of Beach Ecotourism Based on Green Turtle Conservation (Chelonia mydas) in Pangumbahan Sukabumi West Java. Supervised by FREDINAN YULIANDA and ACHMAD FAHRUDIN.
Pangumbahan beach decided as Coastal Parks Pangumbahan Turtle Beach. Region determination done to ensure the preservation of Green Turtle population by developing area as an ecotourism area. This study aims to: 1) Evaluate the area suitability for Green Turtle nesting and the development of beach ecotourism activities. 2) Calculate the carrying capacity of turtle conservation area for beach ecotourism activities. 3) Plan a direction of beach ecotourism management in sustainable conservation areas.
Based on habitat suitability in Pangumbahan, Green Turtle nesting activity is low. Percentage of areas suitability for turtle nesting on category S1 (very appropriate) is 35.27% and the others were categorized as N (not appropriate) 64.73%. The percentage of area suitability for beach tourism is 26.86% category S1 (very appropriate) and category S2 (corresponding) 73.14%. The carrying capacity for beach tourism is 119 people/day while the carrying capacity for turtle tourism is 18 people / day. The areas for turtle nesting habitat are Station 1, 2 and 3. The areas for beach tourism is Station 4, 5 and 6.
WTP analysis results obtained consumers surplus value or the value of tourism WTP rating is Rp.603.500 per individual per year. WTP value is influenced by income level, education level and number of dependents. WTP average value calculation of tourism respondents results are entrance fee Rp.13858/person, seeing a turtle nesting place Rp.13.426/person, watching a movie Rp.18.202/person, while the WTP for seeing turtle laying eggs Rp.56.393/person. If compared to WTP potential value obtained the result of WTP potential is greater potential than transactional costs. Suitable retribution determination are expected to be a funding source for conservation area management.
(6)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
(7)
PENGELOLAAN WISATA PANTAI
BERBASIS KONSERVASI PENYU HIJAU
(Chelonia mydas)
DI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT
NENENG NURBAETI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
(8)
(9)
(10)
(11)
PRAKARTA
Tidak ada sedikitpun nikmat Allah yang mampu hamba dustakan. Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis in shaa Allah dapat diselesaikan dengan baik. Tesis berjudul “Pengelolaan Wisata Pantai Berbasis Konservasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Pangumbahan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat” diharapkan menjadi pertimbangan dalam pengembangan kawasan wisata di Sukabumi.
Penghargaan dan ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada :
1. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku komisi pembimbing atas arahan dan bimbinganya selama penelitian dan penyusunan sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
2. Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, M.Sc. selaku dosen penguji tamu serta Dr Zulhamsyah Imran, Msi.,PhD. Selaku sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi dan Kepala
UPTD Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan Ahman Kurniawan, S.Pi beserta staf Agung Rahman, S.Pi. atas bantuan penyediaan data dan fasilitas selama penelitian.
4. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Universitas
Muhammadiyah Sukabumi yaitu Ujang Dindin M.Si (ketua program studi), Pelita octorina M.Si (Wakil Dekan Fakultas Pertanian), Arif Supendi M.Si (Sekretaris program studi), Bambang Kustiawan S.Pi. serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan studi.
5. Ibunda tercinta Sarimah, kakak Usman Saepurahman yang telah memberikan dukungan dan doa yang tulus kepada penulis.
6. Adik-adik tercinta Rinrin Haryanti, Indana Mardhiati, Tuti Puspitawati, Vidya Hanum, Farissa Difta (Wisma Angrek) yang memberikan dukungan selama studi.
7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan angkatan tahun 2012 dan 2013 atas dukungan dan kebersamaanya, serta semua pihak yang telah banyak memberikan konstribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan tesis.
Semoga segala bantuan dan dukungan yang diberikan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT.
Bogor, Agustus 2016
(12)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN x
1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
1.5 Kerangka Pendekatan Studi ... 3
2. METODOLOGI PENELITIAN ... 5555 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 5
2.2 Metode Pengumpulan Data ... 6
2.3 Alat dan Bahan ... 6
2.4 Analisis Data ... 7
2.4.1 Indeks Kesesuaian Kawasan Habitat Peneluran ... 7
2.4.2 Indeks Kesesuaian Wisata ... 8
2.4.3 Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Kegiaan Wisata Pantai ... 9
2.5 Analisis Ekonomi Ekowisata ... 10
2.6 Analisis Manfaat Keberadaan Obyek Wisata ... 10
3. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11
3.1 Populasi Penyu Hijau ... 11
3.2 Kemiringan Pantai ... 13
3.3 Lebar Pantai ... 14
3.4 Tekstur Pasir ... 16
3.5 Tipe Pantai dan Material Dasar ... 17
3.6 Kedalaman Pantai ... 17
3.7 Penutupan Lahan dan Vegetasi di Pangumbahan 19
3.8 Pencahayan dan Bangunan ... 20
3.9 Jarak Pantai Peneluran dengan Daerah Pakan ... 23
3.10 Jarak Ketersediaan Air Tawar ... 23
3.11 Kesesuaian Kawasan Peneluran ... 23
3.12 Kesesuaian Kawasan Wisata Pantai ... 24
3.13 Sistem Penzonasian kaitannya dengan pengelolaaan wisata ... 26
3.14 Daya Dukung Kawasan untuk Kegiaan Wisata Pantai ... 27
3.15 Karakteristik Wisatawan... 29
3.15.1 Jumlah Wisatawan ... 329 3.15.2 Pendapatan Wisatawan ... 30
3.15.3 Jenis Kelamin Wisatawan dan Tingkatan Usia Wisatawan... 3030 3.15.4 Pendidikan Wisatawan ... 31
(13)
DAFTAR ISI (lanjutan)
3.16 Kesediaan Membayar Wisatawan ... 33
3.16.1 Nilai Rataan Keinginan Membayar Wisatawan ... 34
3.16.2. Biaya Wisatawan untuk Berwisata Penyu 35
3.17 Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi 36
4. SIMPULAN DAN SARAN ... 38
4.1 Simpulan ... 38
4.2 Saran……… ... …38
DAFTAR PUSTAKA ... 40
LAMPIRAN ... 41
(14)
DAFTAR TABEL
1. Analisis, jenis data, aspek-aspek dan teknik pengambilan data 6
2. Alat dan Bahan 6
3. Matriks kesesuaian habitat peneluran penyu hijau 7
4. Matriks kesesuaian lahan untuk Wisata Penyu kategori rekreasi 8
5. Nilai kisaran lebar pantai Pangumbahan 15
6. Kesesuaian tipe pasir untuk habitat peneluran penyu 17
7. Kesesuaian tipe pantai dan material dasar perairan untuk wisata pantai 17
8. Nilai rataan WTP untuk setiap kegiatan di kawasan konservasi 34
9. Kisaran biaya wisatawan berdasarkan peluang melihat penyu 37
(15)
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian ... 4
2 Peta Lokasi Penelitian Kawasan Konservasi Penyu Hijau ... 5
3 Populasi Penyu Hijau yang naik di pantai Pangumbahan ... 11
4 Jumlah Penyu yang naik pada enam Stasiun utama tiga tahun terakhir 12 5 Persentase jumlah sarang Penyu Hijau perstasiun bulan Juli 2014 ... 12
6 Sebaran sarang Penyu Hijau selama pengamatan ... 12
7 Tingkat kemiringan di pantai Pangumbahan ... 13
8 Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk habitat Penyu ... 14
9 Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk wisata pantai ... 14
10 Persentase kesesuaiaan habitat penyu berdasarkan lebar pantai ... 15
11 Persentase kesesuaiaan wisata pantai berdasarkan lebar pantai ... 16
12 Kedalaman perairan pantai Pangumbahan ... 18
13 Sebaran vegetasi di pantai pangumbahan ... 20
14 Pencahayaan di pantai Pangumbahan ... 21
15 Rataan arah sumber pencahayaan di pantai Pangumbahan ... 22
16 Sebaran bangunan di sekitar kawasan konservasi ... 22
17 Peta kesesuaian wilayah habitat peneluran Penyu Hijau ... 24
18 Peta kesesuaian wisata pantai di kawasan konservasi ... 25
19 Peta evaluasi kesesuaian kawasan konservasi untuk wisata pantai ... 27
20 Komposisi wisatawan berdasarkan kegiatan yang dilakukan di Pangumbahan ... 28
21 Daya dukung kawasan untuk aktivitas wisata pantai dan wisata penyu 28 22 Jumlah Wisatawan di Pangumbahan... 29
23 Asal kunjungan Wisatawan yang menjadi responden ... 30
24 Persentase Pendapatan para Wisatawan ... 30
25 Tingkatan usia wisatawan selama penelitian ... 31
26 Tingkat Pendidikan Wisatawan ... 31
27 Jumlah tanggungan wisatawan... 32
28 Minat khusus para wisatawan di Pangumbahan ... 32
29 Sumber informasi kegiatan wisata di Pangumbahan ... 33
30 Rataan wisatawan setiap bulan di Pangumbahan ... 33
31 Peluang masa tunggu wisatawan untuk melihat kenaikan penyu pada stasiun 4, 5 dan 6 ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
1. Jenis vegetasi di Pangumbahan ... 412. Perhitungan regresi berganda ... 42
3. Kuisioner Wisatawan ke Panggumbahan ... 43
4. Daftar pengunjung selama Penelitian ... 46
(16)
(17)
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Populasi Penyu Hijau mengalami penurunan di Indonesia termasuk di Pantai Pangumbahan. Penurunan populasi disebabkan oleh faktor alam dan aktivitas manusia. Faktor alam yang mengancam keberadaan penyu adalah predator, penyakit dan perubahan iklim (Gibbons et al 2000). Perilaku manusia yang menjadi penyebab penurunan populasi Penyu berupa pemanenan berlebih terhadap telur, daging dan karapas penyu untuk perdagangan (Permen Hut No. 57 tahun 2008). Penangkapan penyu secara insidental dalam alat tangkap perikanan (Kot 2010) dan konservasi habitat peneluran menjadi daerah wisata yang tidak mendukung konservasi penyu seperti pembangunan di pantai-pantai peneluran, penggunaan lampu di pantai dan sampah-sampah yang mengotori pantai (Ferreira
et al 2002). Tingginya ancaman terhadap Penyu maka IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource) memasukan semua jenis Penyu kedalam red list. Lembaga tersebut diperkuat dengan Appendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang menjelaskan bahwa keberadaan Penyu di alam terancam punah.
Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan merupakan salah satu bentuk KKP3K yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati Nomor: 523/Kep.639-Dislutkan/2008. Bentuk pengalihan kegiatan eksploitasi terhadap Penyu Hijau menjadi kegiatan jasa rekreasi berupa ekowisata pantai. Penetapan kawasan diharapkan dapat menjamin kelestarian populasi Penyu secara ekologis serta mengubah persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi yang bersifat sentralistik dan tertutup (kawasan larangan) bagi semua pihak. Aspek sosial dan ekonomi dapat memberikan manfaat secara maksimal bagi kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan sisi perlindungan, khususnya Penyu Hijau
Pantai Pangumbahan mempunyai ciri khusus, pantai landai berpasir tebal dengan latar belakang hutan lebat dan jenis Pandanus tectorius memberikan naluri kepada Penyu Hijau untuk bertelur (Bustard in Ahmad 1983). Pendaratan Penyu Hijau ini berpotensi sebagai aset pariwisata bagi pemerintah daerah. Dahuri (2006) menyatakan bahwa aset alami memerlukan penanganan yang serius agar dapat dipertahankan dan digunakan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan azas manfaat agar produktifitasnya dapat terus berlanjut. Bentuk penanganan salah satunya adalah pengembangan kawasan sebagai kawasan ekowisata. Ekowisata adalah bentuk baru dari perjalanan yang bertanggung jawab kearea alami dan berpetualang yang dapat menciptakan kawasan industri pariwisata (Yulianda 2007).
Sumberdaya di pantai Pangumbahan yang menjadi primadona dan daya tarik utama bagi wisatawan adalah keberadaan Penyu Hijau yang naik untuk bertelur dan pelepasan tukik pada sore hari. Wisatawan dapat ikut berpartisipasi dalam melepas tukik ke pantai dan mendapat sejumlah pengalaman baru dengan melihat peneluran penyu. Aktifitas wisata tersebut dilakukan untuk memberikan edukasi mengenai penyu, termasuk ancaman dan gangguan bagi penyu untuk mencegah penangkapan dan pemanfaatan penyu di masa yang akan datang.
(18)
Daerah tempat bertelur (nessting site) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2008 ditetapkan sebagai zona inti. Zona ini wajib dimiliki oleh setiap kawasan konservasi untuk melindungi ekosistem, situs budaya, penelitian dan pendidikan. Zona inti menjadi perlindungan mutlak habitat bagi populasi ikan serta alur migrasi biota laut. Konstribusi bagi pendapatan daerah bukan menjadi suatu kewajiban pada kawasan ini. Pengelola dan Stakeholders pengelolaan dalam konservasi penyu di Taman Pesisir Pantai Penyu Pangumbahan teridentifikasi sebanyak 18 pihak diantaranya perwakilan dari pemerintah, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi (Harteti 2013). Pihak yang terlibat dalam jumlah yang banyak berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan karena beragamnya kewenangan, peran, harapan dan manfaat kawasan konservasi.
Pendekatan holistik dan terpadu dalam pengelolaan Taman Pesisir harus diupayakan untuk menghasilkan strategi konservasi Penyu yang tepat sesuai dengan tujuan konservasi. Konservasi penyu memiliki konsep yang memadukan antara aspek perlindungan, pelestarian dan pemanfatan sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PerMen.KP Nomor 17 tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di wilayah pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sehingga pemanfatan kawasan sebagai tempat wisata penyu haruslah mempertimbangkan keberadaan penyu, terutama Penyu Hijau sebagai hewan langka yang harus dilindungi. Tahapan analisis kebijakan disertakan dalam menentukan skenario pengelolaan kawasan konservasi melalui pendekatan Geograpyc Information System. Skenario yang dibuat diharapkan mampu menghasilkan suatu rekomendasi bentuk pengelolaan yang lebih terpadu dan terkoordinasi serta menjadi landasan dalam pengambilan keputusan dalam penetuan kegiatan di kawasan konservasi penyu.
1.2 Rumusan Masalah
Populasi Penyu di pantai Pangumbahan telah terganggu yang diindikasikan dengan mulai menurunnya penyu yang bertelur di pantai Pangumbahan (Haryanti 2014). Jumlah penyu yang bertelur pada kawasan ini mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini dikemukakan oleh salah satu pengelola yang menyatakan bahwa jumlah penyu yang bertelur kini hanya 1 ekor dalam setiap harinya, padahal dulu biasanya dapat mencapai 10 ekor (2012). Pada musim bertelur rata-tara penyu yang bertelur 5 hingga 7 ekor (Listiani 2012).
Pemanfaatan kawasan konservasi sebagai tempat wisata belum dapat menjamin kelestarian penyu dan meningkatkan kesejahtaraan masyarakat diperlukan arahan atau strategi khusus dalam pengelolaan dengan prinsip pendekatan kehati-hatian dalam menjaga kelestarian penyu hijau tetap menjadi prioritas utama. Strategi pengelolaan merupakan keterpaduan antara kepentingan antara rencana pengembangan, status kawasan dan fungsi kawasan konservasi menjadi bagian penting dalam rencana pengelolaan. Pengelolaan kawasan konservasi sebagai tempat wisata yang melebihi daya dukung berpotensi memberikan eksternalitas negatif terhadap kawasan peneluran penyu. Kondisi ini disebabkan terganggunya kenyamanan penyu untuk bertelur. Penyertaan daya
(19)
dukung diperlukan dalam arahan strategi pengelolaan, untuk mencegah terjadinya degradasi dan rusaknya sumberdaya. Khususnya penyu hijau sebagai hewan langka yang dilindungi. Beberapa daya dukung diantaranya daya dukung kawasan sebagai tempat peneluran penyu dan sebagai tempat wisata, daya dukung ekonomi dan tingkat partisipasi masyarakat dalam menunjang kegiatan ekowisata pantai.
1.3 Tujuan Penelitian
Melakukan pengkajian terhadap pemanfaatan Kawasan Konservasi Penyu Hijau di Pantai Pangumbahan Kabupaten Sukabumi untuk kegiatan wisata pantai serta memberikan arahan pengembangan secara optimal dan berkelanjutan berdasarkan parameter lingkungan yang ditentukan. Pengkajian untuk mencapai tujuan tersebut diantaranya:
1. Mengevaluasi kesesuaian kawasan untuk peneluran Penyu Hijau dan pengembangan kegiatan ekowisata pantai.
2. Menghitung daya dukung (carrying capacity) kawasan konservasi penyu untuk kegiatan ekowisata pantai.
3. Menentukan status kondisi ekonomi aktivitas wisata, preferensi wisatawan serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata pantai saat ini. 4. Membuat arahan pengelolaan ekowisata pantai di kawasan konservasi
yang berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan arahan pengelolaan kawasan konservasi penyu yang menjadi
kawasan ekowisata pantai dengan mempertimbangkan aspek daya dukung kawasan.
2. Menjadikan acuan dalam mengeluarkan kebijakan pengelolaan ekowisata
yang mendukung aspek keberlanjutan bagi pemerintah dan instansi terkait. 3. Bahan pertimbangan bagi investor dalam melakukan investasi di kawasan
Pangumbahan.
4. Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
pengelolaan berkelanjutan untuk wilayah pesisir khususnya pada pengembangan ekowisata berupa ekowisata pantai.
1.5 Kerangka Pendekatan Studi
Pesisir pada umumnya memiliki karakteristik habitat yang berbeda-beda. Perencanaan pengelolaan kawasan konservasi penyu untuk kegiatan ekowisata pantai memerlukan berbagai informasi. Beberapa diantaranya daya dukung kawasan melalui pendekatan sosial ekonomi maupun pendekatan ekologi. Nuitja (1992) menyatakan bahwa unsur utama daerah peneluran penyu terdiri dari makro dan mikro habitat. Makro habitat terdiri dari komposisi pasir, tanah dan formasi hutan pantai. Hutan pantai biasanya belum terjamah, kondisinya masih utuh dan
(20)
lebat dengan pohon-pohon. Sedangkan secara mikro habitatnya berupa unsur-unsur hara.
Kegiatan ekowisata pantai tentunya tidak boleh menghambat kegiatan konservasi Penyu. Keterbatasan ruang atau luasan dari sumberdaya hendaknya diperhatikan dalam pengelolaan. Penzonasian kawasan, ketersedian fasilitas ataupun infrastuktur, jumlah pengunjung, partisipasi masyarakat dan kemampuan dari kawasan dalam menerima aktivitas manusia perlu dipertimbangkan.
Analisis optimasi pengelolaan mengunakan pendekatan kesesuian, daya dukung ekologi, sosial, ekonomi dan sistem dinamik untuk mengkaji pola pengelolaan ekowisata. Pengelolaan ekowisata di kawasan konservasi yang menjamin aspek keberlanjutan merupakan hasil analisis yang diharapkan. Pendekatan yang dilakukan mengunakan beberapa variabel diantaranya indeks kesesuaian wisata (IKW) dan analisis daya dukung kawasan (DDK) yang menjadi faktor supply ekologi. Demand wisata dianalisis menggunakan metode contingent valuation method (CVM) (Gambar 1).
feedback
Keterangan: alur penelitian
alat atau metode analisis
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Kawasan Konservasi
Penyu Hijau Pendekatan Ekonomi Pendekatan Ekologi Daya Tarik Wisata Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi
1.Jumlah penyu yang bertelur
2.Jumlah vegetasi
3.Tekstur pasir
4.Panjang pantai tempat bertelur
5.Lebar pantai
6.Kemiringan Pantai
7.Pencahayaan
8.Bangunan
Optimalisasi Pengelolaan Ekowisata pantai Kriteria
Konservasi Penyu
Kriteria Wisata Penyu
1. Kenaikan penyu
2. Kedalaman perairan
3. Tipe pantai
4. Lebar pantai
5. Material dasar perairan
6. Kemiringan pantai
7. Penutupan lahan
pantai Supply Ekologi Demand Wisata Analisis daya dukung (DDK) CVM
(21)
2.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kawasan Konservasi Penyu Hijau di pantai Pangumbahan Kabupaten Sukabumi dengan panjang pantai 2,3 km (Gambar 2). Administratif lokasi penelitian berada di wilayah Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Letak geografis diantara
7o17’08”LS – 7o21’50” LS dan 106º23’40”BT –106º24’10”BT.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Kawasan Konservasi Penyu Hijau Penelitian terdiri dari tiga tahap yaitu penentuan metode pengumpulan data, pengambilan data dan analisa data. Penentuan metode pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari 2014. Survei lapangan untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian pada bulan Februari 2014. Pengambilan data berupa data primer dan sekunder dilakukan pada bulan April 2014.
Stasiun Penelitian 6
5 4
3
2
(22)
2.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ekologi, ekonomi dan sosial diperoleh berdasarkan survei dan studi pustaka. Survei dan wawancara langsung dengan
masyarakat maupun dengan Stakeholder terkait. Jumlah responden dari
masyarakat sekitar dan wisatawan yang melakukan kunjungan yaitu masing-masing 30 orang. Studi pustaka diperoleh dari hasil penelitian dan laporan pada kawasan konservasi penyu maupun Instansi terkait diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA), Dinas Perhubungan, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pusat Statistik, dan kantor desa setempat (Tabel.1)
Tabel 1. Analisis, jenis data, aspek-aspek dan teknik pengambilan data
Analisis Jenis Data Aspek-aspek
Teknik Pengambilan
Data Ekologi
IKW Biologi Kenaikan Penyu dan penutupan vegetasi
Fisik Lebar pantai, Kemiringan pantai Kedalaman perairan, Jenis pasir Tipe pantai, Material dasar perairan
Ketersediaan air tawar, Sarana dan prasarana
Survei dan studi pustaka GIS Informasi spasial Sistem penzonasian
Ekonomi
CVM Nilai ekonomi
wisata(demand)
Pendapatan wisatawan, biaya perjalanan wisatawan, jarak tinggal, kondisi potensi SDA dan harga wisata
Survei wisatawan
Keterangan :
IKW : Indeks Kesesuaian Wisata DDK : Daya dukung habitat CVM : Contingent Value Method
2.3 Alat dan Bahan
Alat dan bahan pada penelitian ini berfungsi dalam pengambilan data primer dan kuisioner. Peralatan yang digunakan untuk mengukur aspek bio-fisik, pengambilan data sosial masyarakat, wisatawan serta data keperluan dokumentasi (Tabel 2).
Tabel 2. Alat dan Bahan
Parameter Alat
1. Kemiringan pantai Rol meteran
2. Lebar pantai Clinometer/Meteran
3. Tekstur pasir Sekop kecil
4. Penutupan vegetasi Transek
5. Intensitas cahaya Lux meter
6. Luasan kawasan GPS (Global Positioning System) dan meteran
7. Letak bangunan GPS
8. Jarak pantai peneluran dengan daerah pakan
GPS
9. Dokumentasi Kamera
(23)
2.4 Analisis Data
Analisis data yang dilakukan meliputi analisis kesesuaian kawasan untuk peneluran penyu, kesesuaian kawasan wisata serta analisis daya dukung sosial ekonomi kawasan untuk kegiatan wisata pantai. Matriks kriteria digunakan
sebagai langkah awal untuk mempermudah pembobotan (weighting) dan
pengharkatan (scoring) yang akan menginformasikan parameter, bobot, kategori kelas kesesuaian dan skor.
2.4.1 Indeks Kesesuaian Kawasan Habitat Peneluran
Kajian kondisi habitat peneluran dilakukan melalui matriks kesesuaian habitat yang dibagi menjadi 3 kelas yaitu sangat sesuai, sesuai dan tidak sesuai (Tabel 3). Indeks kesesuaian habitat penyu mengunakan rumus menurut Yulianda (2007) yaitu:
IKH = ∑ (Ni/Nmaks) x 100%
Keterangan:
IKH = Indeks Kesesuaian Habitat, Ni = Nilai variabel ke-i (bobot x skor), Nmaks = Nilai maksimum dari bobot maksimum x skor maksimum
Tabel 3 Matriks kesesuaian habitat peneluran penyu hijau
Peubah habitat Bobot
Kategori dan skor Sangat
sesuai
Skor Sesuai Skor Tidak sesuai Skor
Kemiringan pantai 3 1-30o 3 31-58o 2 > 58o 1
Lebar pantai(m) 3 25-43 3 7-24 2 <7 atau > 43 1
Tekstur pasir 5 97-99% 3 95-96% 2 < 95% atau > 99% 1 Penutupan vegetasi 3 39-47% 3 32-38% 2 < 32% atau > 47% 1
Pencahayaan 5 0 lux 3 1-3 lux 2 > 3 lux 1
Bangunan 1 0% 3 1-4% 2 > 4% 1
Jarak pantai peneluran dengan daerah pakan
3 0 km 3 1-5 K
m
2 > 5 km 1
Keterangan: Nmaksimum = 69, sangat sesuai = IKH>69,86%,
sesuai = IKH 69,8786 - 66,67%, tidak sesuai = IKH<66.67%
Pengukuran kelayakan habitat peneluran berdasarkan matriks kesesuaian habitat dilakukan pada stasiun sesuai dengan pembagian manajemen pengelolaan. tekhnik pengukuran peubah habitat (Tabel 7) diantaranya:
1. Kemiringan pantai diukur dengan clinometers dari garis pasang harian tertinggi ke garis vegetasi.
2. Lebar pantai diukur dengan meteran dari garis pasang harian tertinggi ke garis vegetasi.
3. Pengukuran persentase pasir dilakukan pada bagian permukaan dan pada kedalaman 50 cm.
4. Penutupan vegetasi dilakukan pada penutupan vegetasi pandan (Pandanus tectorius) karena penyu hijau di pantai Pangumbahan sebagian besar
(24)
bersarang dibawah pandan. Penutupan vegetasi dilakukan dengan metode transek 10 x 10 m.
5. Pencahayaan diukur dengan lux meter dilakukan sebelum bulan terbit yaitu jam 21.00 WIB. Pada tiga titik yaitu garis pantai, garis midhabitat dan garis vegetasi. Pengukuran dilakukan dengan ketinggian 10 cm dari atas pasir. Arah pengukuran menuju pantai, menjauhi pantai dan arah sejajar pantai (Santos et al. 2006).
6. Bangunan, di pantai peneluran dapat mengganggu penyu untuk bertelur. Bangunan shelter yang berfungsi sebagai tempat pengamatan penyu di pantai. Luas bangunan merupakan persentase rasio luas bangunan terhadap luas stasiun (Santos et al. 2006).
7. Jarak pantai peneluran dengan daerah pakan (lamun dan algae) diukur dengan menggunakan GPS.
Data peubah habitat pada masing-masing stasiun dianalisis dengan analisis biplot (Gabriel 1971) dalam penentuan karakteristik pada masing-masing stasiun (tipe habitat). Kepadatan bersarang diasumsikan mewakili kesesuaian habitat (Santos et al.2006). Kepadatan bersarang dihitung dengan membagi jumlah sarang dengan luas stasiun. Sarang yang diamati adalah sarang sukses, yaitu sarang yang berisi telur penyu pada tahun 2013.
2.4.2 Indeks Kesesuaian Wisata
Indeks kesesuaian wisata untuk penyu dilihat dari beberapa aspek diantaranya kemiringan pantai, jenis partikel, jenis vegetasi tumbuhan, lebar pantai, peneluran, pasang surut air laut, cahaya lampu dan jarak bangunan. Parameter tersebut merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap pendaratan penyu.
Tabel 4. Matriks kesesuaian lahan untuk Wisata Penyu kategori rekreasi
Parameter Bobot Kategori S1 Skor Kategori S2 Skor Kategori S3 Skor Kenaikan Penyu ke
pantai (ekor/hari) 5 >3 3 >1-3 2 <1 1
Lebar pantai (m) 5 >15 3 10-15 2 3-<10 1
Kemiringan pantai
(0) 5 <10 3 10-25 2 <25-45 1
Kedalaman
perairan 1 0 – 3 3 >3-6 2 >6-10 1
Tipe pantai 3 Pasir putih 3 Pasir putih
sedikit karang 2
Pasir hitam, berkarang, sedikit terjal
1 Material dasar
perairan 3 Pasir 3 Karang berpasir 2
Pasir
berlumpur 1
Penutupan lahan
pantai 5
Pandanus
tectorius 3
Spinifex littoreus, Vigna marina 2 Ipomea pescaprae,Gy nura procumbens 1 Ketersedian air
tawar (km) 1 <0,5 3 0,5 -1 2 >1-2 1
Pasang surut 1 30-80 3 80-100 2 >100 1
(25)
Keterangan: Nmaksimum = 87, sangat sesuai = IKW >75 - 100%, sesuai = IKW 50-75%, tidak sesuai = IKW< 50%
Hasil kesesuaian kawasan serta daya dukungnya selanjutnya dipetakan
secara spasial menggunakan software ArcGIS. Kesesuaian lahan
mempertimbangkan beberapa parameter dan dikategorikan dalam klasifikasi penilaian (Tabel 4). Indeks kesesuaian habitat penyu mengunakan rumus menurut Yulianda (2007) yaitu:
IKW = ∑[Ni/Nmaks] x 100%
Keterangan:
IKW = Indeks kesesuaian wisata
Ni = Nilai Parameter ke-i (bobot x skor)
N maks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
2.4.3 Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk Kegiatan Wisata Pantai
Analisis daya dukung ditunjukan pada pengembangan wisata pantai agar dalam pengembangannya tidak menganggu kegiatan konservasi. Metode yang digunakan adalah konsep Daya Dukung Kawasan (DDK) yaitu jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada manusia (Yulianda 2007) dengan persamaan dalam bentuk rumus:
DKK = K x Lp x Wt Lt Wp Keterangan:
DDK = Daya Dukung Kawasan (orang/hari)
K = Potensi Ekologis pengunjung persatuan unit area
Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan
Lt = Unit area untuk kategori tertentu
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk setiap kegiatan
Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan
Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung
mempertimbangkan kemampuan alam dalam mentolelir pengunjung sehingga keaslianya tetap terjaga. Potensi ekologis rekreasi pantai, pengunjung perorang membutuhkan 50 m panjang pantai (Yulianda 2007). Waktu kegiatan pengunjung (Wp) dihitung berdasarkan potensi waktu peneluran penyu yaitu 10 jam dan lama total waktu yang diperlukan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata adalah 24 jam.
(26)
2.5 Analisis Ekonomi Ekowisata
2.5.1 Analisis Manfaat Keberadaan Obyek Wisata
Penilaian setiap pengunjung terhadap suatu sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai obyek wisata pada dasarnya tidak sama. Seberapa besar nilai atau manfaat keberadaan obyek wisata tersebut, maka dapat dihitung dengan menggunakan metode valuasi kontingensi (CVM). Metode ini dianalisis berdasarkan keinginan membayar (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam. Secara operasional, pendekatan CVM dilakukan dalam lima tahap, yaitu:
1. Membuat hipotesis pasar berupa kuesioner mengenai penyu, manfaat dan perkiraan luasan yang berkualitas baik. Kuesioner ini diberikan kepada wisatawan yang dipandu proses pengisiannya.
2. Mendapatkan nilai lelang yang dilakukan dengan mewawancarai langsung responden dengan kuesioner untuk mendapatkan nilai WTP responden. Nilai lelang ini didapatkan dengan teknik:
a. Pertanyaan pilihan berganda, yaitu memuat beberapa nilai pilihan untuk aktivitas konservasi seperti melihat penyu bertelur, melihat tempat penetasan telur.
b. Pertanyaan referendum, yaitu responden diberikan satu nilai dalam rupiah untuk setiap aktivitas konservasi, lalu diberikan pilihan setuju atau tidak 3. Menghitung rataan WTP berdasarkan nilai rata-rata (mean) atau nilai tengah
(median).
4. Meregresikan nilai WTP untuk menduga hubungan antara WTP dengan
karakteristik responden yang mencerminkan tingkat penghargaan wisatawan terhadap sumber daya yang selama ini dimanfaatkannya dengan formula:
Ln WTP = β
0 + β1 Ln I + β2 Ln E + β4 Ln AE...(1)
yang mana, WTP = keinginan membayar wisatawan terhadap suatu sumber daya; I = pendapatan (rupiah/dolar); E = pendidikan; AE = ketertarikan terhadap ekosistem
5. Validasi model yang didapat dengan pengujian statistik melalui uji F dan uji t. Mengagregatkan hasil WTP rata-rata individu ke dalam WTP populasi yaitu: TB = WTP
i x P...(2) TB = total benefit (rupiah/dolar); WTP
i= nilai WTP per individu (rupiah/dolar); P = total populasi pada tahun ke-t yang relevan dengan analisis valuasi ekonomi sumber daya (orang).
(27)
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Populasi Penyu Hijau
Penyu Hijau yang mendarat untuk melakukan aktivitas peneluran di Pangumbahan umumnya terjadi pada saat pasang tertinggi menutupi rata-rata permukaan laut. Jumlah kenaikan penyu harian, tertinggi pada tahun 2013 (15 ekor), 2012 (6 ekor), 2014 (4 ekor) dengan rataan 1 - 2 ekor permalam. Nilai tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Menurut Yusri (2003) tahun 2003 rataan kenaikan Penyu 2 - 3 ekor permalam, tahun 2004 kenaikan Penyu permalam 3 - 6 ekor. Tahun 2008 jumlah Penyu yang bertelur tertinggi mencapai 20 - 30 ekor per malam. Signifikannya penurunan jumlah kenaikan Penyu sampai 90% karena kenaikan pernah mencapai 180 - 300 ekor per malam dimana tiap 500 meter bertelur antara 30 - 50 ekor. Dwihastuty (2014) menyatakana bahwa proses pendaratan, peneluran ataupun penetasan Penyu Hijau sangat dipengaruhi faktor biologi dan fisik kawasan.
Populasi Penyu Hijau yang mendarat di Pangumbahan dari tahun 2012 masih didominasi oleh Penyu yang melakukan false crawl (Gambar 3). False crawl merupakan aktivitas Penyu naik ke darat tanpa melakukan kegiatan bersarang (Nuitja 1992; Harteti 2013). Persentase yang tidak bertelur mengalami peningkatan dari 2012 dengan rataan 39,35% (kisaran 21,64% - 52,61%). Kurangnya naluri Penyu bertelur akan berpengaruh pada ukuran populasi Penyu yang bertelur di Pangumbahan karena dari 2009 persentase penyu yang bertelur kurang dari 60% (Haryanti 2014).
729
2546
945 568
703
1049
0 1000 2000 3000 4000
2012 2013 2014
Bertelur Tidak Bertelur
Gambar 3. Populasi Penyu Hijau yang naik di pantai Pangumbahan
Sebaran kenaikan penyu dalam tiga tahun terakhir, menunjukan pola yang sama. Jumlah tertinggi secara berurutan pada Stasiun 2, 3, 1, 4, 5, 6 masing-masing berjumlah 2564 ekor, 1329 ekor, 1042 ekor, 877 ekor, 554 ekor, 174 ekor (Gambar 4). Perbedaan jumlah Penyu yang naik erat hubunganya dengan insting Penyu dalam pemilihan lokasi peneluran diantaranya tekstur pasir, ketinggian pantai, geomorfologi dan dimensi pantai, bentuk batimetrik pantai, tekstur pasir pantai dan cahaya lampu (Yusri 2003).
(28)
0 500 1000 1500
I II III IV V VI
Ju
m
la
h
p
en
yu
(
ek
o
r)
STASIUN
2012 2013 2014
Gambar 4. Jumlah Penyu yang naik pada enam Stasiun utama tiga tahun terakhir Pemilihan lokasi peneluran Penyu Hijau berdasarkan jejaknya di Pangumbahan tertinggi terkonsentrasi pada Stasiun 2 (31,91%) kemudian Stasiun 3 (24,82%). Pada stasiun 4 dan 5 persentase jumlah sarang memiliki nilai yang sama (17,73%), Stasiun 1 (7,80%) dan terendah pada Stasiun 6 (0%) (Gambar 5) Sarang yang ditemukan umumnya berada di sekitar vegetasi terutama Pandanus
(Gambar 6). Vegetasi memberikan insting pada Penyu untuk menghindari perendaman akibat adanya aktivitas pasang surut.
Gambar 5. Persentase jumlah nesting area Penyu Hijau perstasiun bulan Juli 2014
Gambar 6. Sebaran nesting area Penyu Hijau selama pengamatan 6
5
4
3
2
1
(29)
3.2 Kemiringan Pantai
Tingkat kemiringan Stasiun 1 sampai Stasiun 6, memiliki nilai rataan dengan dua kategori kemiringan yaitu miring dan landai. Kategori landai pada Stasiun 1 dan 6. Kemiringan kategori miring pada Stasiun 2, 3, 4, dan 5. Menurut Darmawijaya (1997) kemiringan agak curam berkisar 160-300, kategori miring 80 -160 sedangkan kategori landai 30-80 . Nilai kemiringan terendah pada Stasiun 1 dengan nilai rataan 6,150(Gambar 7).
Elevasi kemiringan pada Stasiun 2 dan 3 tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan mulai terjadi pada stasiun 4 dan 5, kontur pantai yang cenderung bergelombang berdampak pada probabilitas penyu bertelur. Menurut Varela-avecedo et al (2009) elevasi pantai diduga menjadi faktor yang paling berpengaruh bagi penyu dalam pemilihan lokasi peneluran.
-5 0 5 10 15 20
1. Landai 2. Miring 3. Miring 4. Miring 5. Miring 6. Landai 0
7
5 5 7
-1 6.15 11.42 12.54 9.76 12.91 6.38 15 20 19 14 19 16 k e m ir in g a n ( 0 )
Stasiun min mean max
Gambar 7. Tingkat Kemiringan di Pantai Pangumbahan
Kesesuian kemiringan pantai untuk habitat penyu pada Stasiun 1 sampai 5 masuk pada kategori S1 (sangat sesuia) dengan persentase kesesuaian 100%. Stasiun 6 masuk pada kategori N (tidak sesuai) dengan selisih antara S1 (sangat sesuai) dengan N (tidak sesuai) 6,38% (Gambar 8). Keberadaan aliran sungai
menyebabkan terjadinya penurunan kemiringan sampai dibawah 00 yang
berpotensi pada perendaman telur.
Jejak sebaran sarang peneluran penyu sempat ditemukan di Stasiun 3 dengan kemiringan 450. Kemampuan Penyu mencapai lokasi peneluran dengan kemiringan cukup besar tentunya akan membutuhkan energi lebih besar. Selain itu, mata penyu terbatas tidak dapat melihat pada sudut yang 150º kebawah sehingga kemiringan yang landai dan lebar pantai yang tidak terlalu jauh akan lebih disukai penyu. Menurut Nuitja (1992) penyu menyukai daerah peneluran daratan landai dan luas dengan rata-rata derajat kemiringan 300 diatas daerah pasang surut (intertidal).
(30)
0 50 100
1 2 3 4 5 6
46.81 53.19 P e rs e nt ase K e m iri ng a n (% ) Stasiun N S2 S1
Gambar 8. Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk habitat Penyu Kesesuaian kemiringan pantai untuk kegiatan wisata kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1 dan 6. Nilai persentase kesesuaian lebih dari 50% yang diklasifikasikan pantai yang relatif landai. Stasiun 2, 3, 4 dan 5 dikategori S2 (sesuai) antara 100-150 dengan persentase kesesuaiaan 55,26% sampai 88,57% (Gambar 9). Menurut Yulianda (2007) kemiringan pantai untuk kegiatan wisata pantai sangat sesuia apabila kurang dari 100 sedangkan kategori sesuai kemiringan 100 sampai 250.
0 50 100
1 2 3 4 5 6 69.44
29.17 17.07 44.74 11.43
72.73 30.56
70.83 82.93 55.26 88.57 27.27 P e rse n ta se K e m ir in ga n ( % ) Stasiun N S2 S1
Gambar 9. Persentase kesesuaian kemiringan pantai untuk wisata pantai.
3.3 Lebar Pantai
Pantai Pangumbahan memiliki lebar pantai sedang hingga lebar dengan kisaran nilai 6,33 m – 103,96 m. Nilai rataan lebar pantai adalah 46,79 m dengan pengamatan sebelumnya berkisar 37,98 m - 41,33 m (Tabel 5). Pantai terlebar berada pada Stasiun 6 dengan rataan 70,73 m (kisaran 48,29 - 103,96 m). Berbedanya nilai lebar pantai bagian supratidal sangat dipengaruhi aktivitas pasang surut. Menurut Sagara (2008) Lebar pantai Pangumbahan pada saat musim barat dan lebih besar pada musim timur dengan selisih supratidal 7 m dan intertidal 8,25 m.
(31)
Tabel 5. Nilai kisaran lebar pantai Pangumbahan
Stasiun Lebar Pantai (m) Rataan perstasiun (m)
1 6,33 - 35,13 20.54
2 14,96 - 52,80 28.76
3 30,29 - 49,97 42.04
4 26,20 - 71,56 44.15
5 43,55 - 67,34 56.41
6 48,29 - 103,96 70.73
Rata-rata 46,79
Kesesuaian lebar pantai untuk peneluran Penyu Hijau kategori S1 (sangat sesuai) dengan persentasi kesesuaiaan 100% di Stasiun 3, 4, 5, 6 (Gambar 10). Stasiun 2 dengan kategori S1 (sangat sesuai) 96,97% terendah pada Stasiun 1 dengan persentase kesesuaian 78,05%. Kesesuaian stasiun untuk peneluran penyu disebabkan nilai lebar pantai masih berada pada kisaran yang memudahkan penyu untuk mencapai daerah tempat pembuatan sarang. Aksesibilitas yang semakin jauh dari tempat pembuatan sarang mengakibatkan besarnya energi yang diperlukan penyu untuk mencapainya.
0 50 100
1 2 3 4 5 6
78.05 96.97 14.63 3.03 7.32 persent a se Le b ra p a n ta i (% ) Stasiun N S2 S1
Gambar 10. Persentase kesesuaiaan habitat penyu berdasarkan lebar pantai Kesesuaian lebar pantai untuk kegiatan wisata pantai kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1, 2, 3, 4. Persentase tertinggi di Stasiun 2 yaitu 72,7% dan terendah di Stasiun 1 dengan nilai 29,3% (Gambar 11). Lebar pantai menjadi salah satu faktor pembatas untuk melakukan kegiatan wisata pantai. Semakin lebar pantai maka semakin banyak bentuk kegiatan wisata yang bisa dilakukan. Keleluasaan wisatawan dalam beraktivitas, meningkatkan kenyaman berwisata. Menurut Wunani (2014) Semakin lebar pantai maka semakin baik untuk kegiatan wisata dan kenyamanan wisatawan. Lebar pantai kategori N (tidak sesuia) terdapat pada Stasiun 5 dan 6 dengan persentase ketidak sesuaiaan 100%. Pada Stasiun 5 dan 6 nilai lebar pantai terlalu besar. Lebar pantai yang melebihi batas maksimum menyebabkan wisatawan seringkali merasa kelelahan. Batasan lebar pantai sebaiknya untuk kegiatan wisata pantai tidak melebihi dari 10 m (Yulianda, 2007).
(32)
0 50 100
1 2 3 4 5 6
29.27 72.73
52.50 48.65 70.73
21.216.06 47.50 51.35
p er sen ta se Le b ra p a n ta i (% ) Stasiun N S2 S1
Gambar 11. Persentase kesesuaiaan wisata pantai berdasarkan lebar pantai
3.4 Tekstur Pasir
Tekstur dan persentase pasir sangat berpengaruh pada preferensi peneluran penyu. Persentase pasir Stasiun 1 sampai Stasiun 6 memiliki nilai rataan 97,32% dengan kisaran 96,90% – 98,31% (Tabel 6). Menurut Nuitja (1992) Susunan tekstur pasir untuk daerah peneluran berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya adalah debu maupun liat. Pangumbahan menjadi salah satu sentral utama bagi aktivitas peneluran Penyu karena memiliki butiran yang lebih halus dibandingkan pasir di pantai Ujung Genteng dan Pelabuhan Ratu (Herdiawan 2003).
Persentase pasir untuk kesesuaian peneluran penyu digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1, 2, 3, 5 dengan nilai tertinggi pada Stasiun 1 dengan nilai 98,31% dan terendah di Stasiun 3 dengan nilai 97,18%. Kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 4 dan 6 dengan nilai masing-masing 96,92%; 96,90%. Tingginya persentase pasir ini memberikan kemudahan penyu dalam membuat sarang dibandingkan dengan tanah liat atau debu dan membantu penyebaran suhu yang lebih stabil dan merata. Menurut Silalahi (1990) pasir memiliki kemampuan dalam menyimpan air 30 - 40% dengan daya penyimpanan air efektif 20%. Daya simpan ini menjadikan kondisi pasir tidak terlalu kering atau terlalu basah. Stancyk dan Ross (1978); Mortimer (1990); Chen et al. (2010) menyatakan bahwa ukuran butir pasir lebih banyak mempengaruhi parameter penting yang menentukan proses keberhasilan inkubasi seperti porositas, kelembaban dan kepadatan pasir.
Kawasan kategori S2 (sesuai) dan N (tidak sesuai) untuk peneluran penyu disebabkan komponen lain dalam jumlah besar. Komponen selain pasir akan berpengaruh pada kenyaman penyu untuk bertelur. Kawasan kategori S2 (sesuia) yaitu Stasiun 4 dan 6 selisih nilai persentase pasir 0,02%. Keberadaan muara sungai Cipanarikan dan kemiringan pantai yang landai pada Stasiun 6 berpotensi menjadikan kandungan liat sebagai komponen dominan. Menurut Herdiawan (2003) kandungan liat Stasiun 6 kandungan liat memiliki nilai paling tinggi mencapai 3%. Berbeda dengan Stasiun 4 komponen dominan berupa debu karena pada kawasan sekitarnya tidak ditemukan muara sungai yang berpotensi memberikan asupan suspensi solid yang mengandung liat.
(33)
Tabel 6. Kesesuaian tipe pasir untuk habitat peneluran penyu
STASIUN PASIR (%) Kategori
1 98.31
S1
2 97.30
3 97.18
4 96.92 S2
5 97.29 S1
6 96.90 S2
3.5 Tipe Pantai dan Material Dasar
Pantai Pangumbahan berdasarkan tipe pantai dan material dasar perairan. Stasiun 1 sampai 6 dikategorikan S1 (sangat sesuai) untuk kegiatan wisata pantai (Tabel 7). Keseuaian tipe pantai berupa hamparan pasir putih yang berukuran sedang dengan material dasar perairan berupa pasir. Ukuran sedimen yang kasar dan sedang sangat baik untuk kegiatan ekowisata pantai dibandingkan ukuran butir sedimen yang sangat halus dan kasar (Hazeri 2014). Material dasar perairan berupa pasir turut mengukung untuk kegiatan wisata pantai karena identiknya para wisatawan mengangap secara estetika pantai yang berpasir putih lebih baik dibandingkan pantai yang berpasir hitam dan berkarang. Menurut Yulianda (2007) Wisata pantai akan sangat baik dilakukan pada pantai yang didominasi oleh substrat pasir, dibandingkan dengan pantai yang berbatu atau pantai yang didominasi oleh substrat karang karena dapat mengganggu kenyamanan wisatawan.
Tabel 7. Kesesuaian tipe pantai dan material dasar perairan untuk wisata pantai
STASIUN Tipe Pantai Material Dasar Perairan Kategori 1
Pasir Putih Pasir S1
2 3 4 5 6
3.6 Kedalaman Pantai
Kedalaman di pantai Pangumbahan cukup bervariasi dipengaruhi aktivitas pasang surut dan kondisi topograpis. Pasang surut Pangumbahan memiliki tipe pasang surut tipe campuran dominan semi diurnal. Semi diurnal merupakan perairan yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama 24 jam (Hazeri 2014). Kedalaman yang semakin besar dipengaruhi topografis pantai yang semakin ke selatan semakin curam karena pantai berhadapan langsung dengan
(34)
Samudra Hindia. Kndisi ini memberikan kemudahan aksesibilitas bagi pendaratan penyu di Pangumbahan. Selain itu, kedalaman perairan untuk penyu umumnya dimanfaatkan dalam mencari makan. Menurut Bennett and Bennett (1999) Kedalaman 1 sampai 1,5 m saat pasang dapat memudahkan penyu melakukan grazing (mencari makan). Lokasi feeding ground umumnya mulai daerah subtidal sampai inshore sekitar kedalaman 8 meter
Kedalaman untuk kegiatan wisata pantai menjadi salah satu aspek penting dalam memberikan kenyamanan. Keyamanan berupa keamanan para wisatawan dalam melakukan berbagai aktivitas wisata pantai. Kedalaman pantai untuk wisata terbagi dalam dua kategori diantaranya kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 2, 1. Kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 4, 5 dan Stasiun 6 (Gambar 12). Menurut Yulianda (2007) kawasan bagi wisata pantai kategorikan sangat sesuai apabila kedalaman perairan 0 m sampai 3 m, ketegori sesuai 3 m sampai 6 m dan tidak sesuai 6 sampai 10 m. Perairan yang terlalu dalam akan meningkatkan kekhawatitran para wisatawan untuk melakukan wisata pantai, terutama bagi wisatawan yang tidak memiliki kemampuan untuk berenang. Kekhawatiran wisatawan lainnya adalah aktivitas laut berupa pasang surut dan arus yang menyusuri tepi pantai (longshore current). Pada Stasiun 6 pantai yang berbatasan dengan BKSDA sedikit menekuk dan terhalang oleh batu karang yang tinggi. Wisatawan pada stasiun ini diharapkan lebih waspada dan tetap memperhatikan kondisi sekitar karena arus yang kuat secara tiba-tiba berpotensi membawa wisatawan ke parairan yang lebih dalam.
(35)
3.7 Penutupan Lahan dan Vegetasi di Pangumbahan
Kesesuaian kawasan untuk peneluran penyu berdasarkan persentase penutupan vegetasi dikategorikan S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 dengan kisaran penutupan 39 - 47%. Vegetasi tidak terlalu terbuka maupun tidak terlalu rimbun. Keberadaan vegetasi menjadi indikator keterlindungan bagi telur penyu dari limpasan air laut, predator dan memperlambat proses transmisi panas sinar matahari ke permukaan pasir. Perambatan dan penyerapan sinar matahari menjadi lebih lambat karena sinar matahari terserap lebih dulu oleh naungan vegetasi sebelum ke permukaan pasir.
Jenis vegetasi yang ditemukan di pantai Pangumbahan diantaranya katapang, nyamplung (Calphylum inphyllum), babakoan (Scaevla taccada), pohon waru (Hibiscus tiliaceus), bakung (Crinum asiaticum), Ipomea pescaprae dan
Spinifex littoreus (lampiran 1). Pandan laut selain berperan dalam transmisi sinar matahari membantu memberikan naluri Penyu untuk bertelur. Menurut Segara (2008) Penyu memiliki ketertarikan terhadap vegetasi yang berbeda-beda. Ciri pantai peneluran penyu hijau umumnya didominasi vegetasi jenis pandan, sedangkan pantai peneluran penyu sisik umumnya didominasi vegetasi kampak-kampak atau waru laut.
Kesesuaian kawasan untuk wisata pantai berdasarkan penutupan lahan pantai kategori S1 (sangat sesuia) pada Stasiun 1, 2, 3, 5, 6. Vegetasi dan pandan laut memberikan kenyamanan berupa keterlindungan dari paparan sinar matahari langsung. Vegetasi pandan laut bagi para wisatawan menjadi daya tarik tersendiri karena memiliki bentuk daun, batang dan perakarannya yang khas. Berbeda dengan Stasiun 4 yang dikategorikan N (tidak sesuai) karena banyak ditemukan sebaran vegetasi jenis Spinifex littoreus (Gambar 13). Tumbuhan merambat ini menganggu kenyamanan Penyu saat naik, pengalian sarang dan menghambat tukik untuk kembali ke laut. Vegetasi Spinifex littoreus pada prinsipnya menjadi bagian objek wisata pantai di Pangumbahan, namun keberadaannya yang terlalu banyak dapat menurunkan tingkat kenyamanan wisatawan. Wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata akan terbatasi secara ruang karena berusaha menghindari agar tidak terkena duri.
(36)
Gambar 13. Sebaran vegetasi di pantai Pangumbahan
3.8 Pencahayaan dan Bangunan
Pencahayaan disekitar habitat peneluran berpengaruh terhadap naluri Penyu Hijau dalam melakukan pendaratan dan peneluran. Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6 memiliki nilai rataan tingkat pencahayaan 0,41 lux dengan kisaran rataan 0,14 - 0,81 lux (Gambar 14). Nilai pencahayaan terbesar berada pada garis pantai. Penyu digaris pantai biasanya memastikan keadaan sekitar sebelum naik. Menurut Zavaleta et al. (2013) penyu menyukai pantai yang sepi, gelap dan tidak ada bunyi-bunyian.
Intensitas cahaya mengalami perubahan peningkatan menjadi 0,11 lux dari nilai cahaya dari sebelumnya. Penelitian Widodo (1998), Listiani (2013) dan Haryanti (2014) pada zona inti, tingkat pencahayaan berkisar 0 – 0,7 lux dan 0 lux Perubahan tingkat pencahayaan disebabkan peningkatan jumlah bangunan villa maupun rumah hunian yang mengunakan lampu dengan volt tinggi sebagai sumber penerangan, aktivitas nelayan dan aktivitas wisatawan. Khususnya pada saat libur panjang, intensitas wisatawan semakin meningkat. Aktivitas wisatawan dari lampu kendaraan, lampu senter, api unggun di sekitar kawasan konservasi dan kegiatan pada malam hari menyebabkan peningkatan pencahayaan di pantai Pangumbahan.
(37)
Gambar 14. Pencahayaan di pantai Pangumbahan
Arah datang cahaya pada Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6 secara umum paling tinggi berasal dari sebelah kanan, terendah bagian tengah (Gambar 15). Perbedaan arah sumber cahaya sangat dipengaruhi intensitas cahaya bulan sebagai sumber pencahayaan alami, penutupan vegetasi termasuk keberadaan bangunan, aktivitas wisatawan, aktivitas nelayan yang mengunakan pencahayaan. Pada Stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6 sumber pencahayaan dari bangunan cukup terhalang oleh rimbunan vegetasi meskipun jarak bangunan kurang dari 1 km. Menurut Salmon (2006) bangunan yang tidak menggangu penyu adalah berjarak lebih dari 1 km. Adapun bangunan Stasiun di Stasiun 1, 2 dan 5 tidak diberikan penerangan. Sumber penerangan pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 hanya diperoleh dari sinar bulan dan penerangan dari lampu senter para petugas yang sesekali digunakan bila diperlukan. cahaya lampu di daerah peneluran mempengaruhi perilaku bertelur induk penyu dan perjalanan anakan penyu (Wibowo, 2007). Cahaya lampu atau cahaya buatan dapat membuat penyu tidak jadi bertelur (Salmon 2003) karena Penyu hijau paling sensitive terhadap cahaya dengan panjang gelombang 520 nm (biru-hijau) kerucut retina matanya mempunyai pigmen penglihatan yang mampu menyerap panjang gelombang 500-505 nm (Granda dalam Harless and marlock 1979)
Jumlah bangunan mengalami peningkatan akibat tingginya kunjungan wisata. Peningkatan jumlah bangunan dari tahun 2011 sebanyak 4% dari 59 unit menjadi 63 unit. Bangunan yang didirikan umumnya berada pada kawasan zona hijau yang dialih fungsikan oleh masyarakat lokal maupun luar (Gambar 16). Pengalihfungsian selain dijadikan lahan bangunan sebagian lahan dijadikan lahan terbuka yang bertujuan penataan lebih indah dan membuat akses menuju pantai lebih mudah. Pengalihfungsian kawasan sebagai bentuk pengembangan fasilitas dan utilitas dikhawatirkan menganggu kenyamanan penyu hijau dalam melakukan peneluran. Bangunan yang didirikan di zona hijau dikhawatirkan merubah komponen sistem ekologi yang berdampak pada ketidak sesuaiaan fungsi kawasan sehingga penyu hijau tidak lagi melakukan aktivitas peneluran.
(38)
Gambar 15. Rataan arah sumber pencahayaan di pantai Pangumbahan
Gambar 16. Sebaran bangunan di sekitar kawasan konservasi
Stasiun pengamatan Lautan Daratan
(39)
3.9 Jarak Pantai Peneluran dengan Daerah Pakan
Kesesuaian kawasan berdasarkan jarak pantai peneluran dengan daerah pakan kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 1, 2, 3 dengan nilai 0 sampai 1 km. Kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 4, 5, 6 dengan kisaran jarak kurang dari 1 sampai 5 km. Menurut Nuitja (1983) ketersediaan makanan laut untuk penyu, turut menjamin kestabilan populasi penyu yang bertelur di kawasan konservasi. Kawasan feeding ground diindikasikan dengan adanya hamparan lamun di luar zona inti (Gambar 17). Pentingnya ketersedian makanan di sekitar daerah kopulasi akan mempengaruhi kondisi induk dalam masa bertelur termasuk tingkat fertilisasi, persentasi penetasan telur, kelangsungan hidup embrio yang sangat ditentukan oleh makanan yang dikonsumsinya (Marquest 1990).
3.10 Jarak Ketersediaan Air Tawar
Kesesuaiaan kawasan wisata berdasarkan ketersediaan air tawar di pantai Pangumbahan dilakukan dengan mengukur jarak air tawar setiap stasiun dengan sumber air tawar. Ketersediaan air tawar kategorikan S1 (sangat sesuai) di Stasiun 6, kategori S2 (sesuai) di Stasiun 1 dan 2, kategori N (tidak sesuai) di Stasiun 3, 4 dan 5. Menurut Yulianda (2007) kawasan wisata pantai dikategorikan sangat sesuia apabila jarak air tawar kurang dari 0,5 km, jarak air tawar 0,5 sampai 1 km kategori sesuia dan kategori tidak sesuai jika jarak dengan air tawar lebih dari 1 sampai 2 km. Ketersediaan air tawar menjadi hal penting dalam menunjang aktivitas wisata karena menunjang fasilitas wisata yang membutuhkan sumber air bersih dan sanitasi. Handayawati (2010) keberadan air tawar menjadi kriteria penilaiaan dalam prioritas pengembangan wisata pantai.
3.11 Kesesuaian Kawasan Peneluran
Kesesuaian kawasan konservasi sebagai habitat penyu secara exsisting
meliputi 6 parameter yaitu kemiringan, lebar pantai, tekstur pasir, penutupan vegetasi, pencahayaan, bangunan dan jarak pantai peneluran dengan daerah pakan. Kawasan konservasi Penyu Hijau di Pangumbahan tidak lagi seluruhnya sesuai untuk habitat peneluran penyu. Tiga dari enam stasiun dikategorikan tidak sesuai untuk habitat peneluran penyu (Gambar 17). Stasiun yang dikategorikan S1 (sangat sesuai) hanya pada Stasiun 1, 2 dan Stasiun 3 sedangkan kategorikan N (tidak sesuai) pada Stasiun 4, 5 dan 6.
Ketidak sesuaiaan di Stasiun 4 disebabkan banyaknya vegetasi rumput lari (Spinifex littoreus). Stasiun 5 dan 6 nilai lebar pantai dan kemiringan pantai terlalu besar. Stasiun 6 sebagian besar merupakan muara sungai yang berpotensi mensuplai endapan lumpur lebih tinggi. Pantai menghadap laut lepas memungkinkan terbentuknya rambatan gelombang besar dari bagian selatan Samudra Hindia yang menyebabkan berubahnya kestabilan garis pantai dan kemiringan pantai. meskipun geomorfologi pantai Pangumbahan berupa pantai terjal dengan batuan sedimen tua (Wahyudin 2011). Menurut Panjaitan (2012) telah terjadi abrasi sepanjang 3.042,9 m atau 80,91% dari total panjang garis
(40)
pantai Pangumbahan. Perubahan sebesar abrasi pantai 28% selama 21 tahun (1989
– 2010).
Gambar 17. Peta kesesuaian wilayah habitat peneluran Penyu Hijau
3.12 Kesesuaian Kawasan Wisata Pantai
Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga, menikmati pemandangan dan iklim. Wisata pantai di Pangumbahan menjadi ekowisata yang melibatkan minat khusus. Kepuasan wisatawan diperoleh dari jasa yang diberikan oleh alam secara langsung. Sehingga tingkat kenyamanan wisatawan lebih rendah sedangkan tingkat kepedulian terhadap kelestarian suatu sumberdaya khususnya Penyu Hijau lebih diperhatikan.
Pengembangan ekowisata ekowisata berupa wisata pantai dilakukan untuk menghindari terjadinya eksploitasi langsung penyu hijau di Pangumbahan Alternatif bentuk pengelolaan diharapkan mampu meningkatkan kesejahtraan masyarakat dengan menjaga keberlanjutan sumberdaya. Menurut Yulianda (2007) ekowisata merupakan wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam atau lingkungan dan industri kepariwisataan .
Kesesuaian kawasan untuk wisata pantai mengunakan 6 parameter diantaranya jumlah kenaikan Penyu setiap hari, lebar pantai, kemiringan pantai, kedalamaan, tipe pantai, material dasar perairan, penutupan lahan. Pantai
(41)
Pangumbahan secara eksisting memiliki dua kategori kesesuaian untuk wisata pantai. Kategori S1 (sangat sesuai) pada Stasiun 2 dan 3, kategori S2 (sesuai) pada Stasiun 1, 4, 5, 6 (Gambar 18).
Gambar 18. Peta kesesuaian wisata pantai di kawasan konservasi
Stasiun 1, 4, 5, 6 dikategorikan sesuai karena memiliki kondisi ekologis yang tidak jauh berbeda dengan Stasiun 2 dan 3. Panorama alam yang indah diantaranya hamparan pasir putih yang luas, air yang jernih, vegetasi pantai yang lebat dan khas, ombak yang sesuai untuk surfing, dan masih terdapat aktivitas kenaikan Penyu Hijau. Pada kawasan ini wisatawan masih bisa menikmati keindahan alam pantai Pangumbahan dengan melakukan kegiatan wisata pantai baik siang maupun malam hari. Menurut Kohl (2003) aspek terpenting dari
pengalaman wisatawan adalah perasaan kealamian. Wisatawan lebih
menghendaki pada kualitas dan keutuhan kawasan sehingga ekosistem habitat penyu hijau akan lebih terjaga keasliannya. Maka wisatawan diharapkan lebih menyadari akan pentingnya upaya konservasi yang dilakukan.
Penyu Hijau umumnya menjadi objek ungulan yang menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan. Pengaturan dengan memperhatikan daya dukung kawasan diperlukan dalam mengatur aktivitas wisatawan. Aktifitas wisatawan yang tinggi dan sulit untuk dikendalikan kerap kali mengurangi kenyamanan penyu untuk melakukan peneluran. Kondisi ini mengancam keberadaan Penyu Hijau di Pangumbahan. Menurut Sagara (2008) Penurunan populasi di Pangumbahan terjadi dikarenakan kunjungan wisata, pembuatan tenda, api unggun senter blits saat foto, pencurian Penyu, terjerat bagan ikan, perambahan
(42)
hutan dengan puncak terjadi pada tahun 1999 sampai 2002, predator dan jumlah tukik yang dilepas.
3.13 Sistem Penzonasian kaitannya dengan pengelolaaan wisata
Pemaduan antara kegiatan pemanfatan kawasan untuk konservasi dan ekowisata diharapkan menjadi bentuk pengintegrasian dalam perencanaan pengembangan ekowisata di Pangumbahan. Hasil analisis spasial dengan teknik
overlay antara kesesuian kawasan untuk peneluran Penyu dengan wisata pantai. Kawasan yang sangat sesuai untuk mendukung upaya perlindungan Penyu Hijau adalah Stasiun 1, 2 dan 3 dengan total luasan 3,684 ha karena memiliki kategori sangat sesuai untuk habitat penyu. Kawasan yang sesuai untuk wisata pantai pada Stasiun 4, 5 dan 6 dengan total luasan 6,762 ha. Persentase luasan kawasan hanya 3,20% yang sesuai untuk peneluran Penyu Hijau dan 5,88% sesuai untuk wisata pantai dari total luasan kawasan konservasi daratan. Menurut SK Bupati Sukabumi Nomor 523/Kep.639-Dislutkan/2008 yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 2008. Luas Kawasan Konservasi mencapai 1.771 hektar, yang terdiri dari daratan 115 hektar dengan panjang pantai 2.300 meter dan kawasan perairan laut seluas 1.656 hektar. Stasiun 4, 5 dan 6 dikategorikan tidak lagi sesuai untuk habitat penyu karena kemiringan pantai yang landai, nilai lebar pantai yang terlalu besar, keberadaan vegetasi Spinifex littoreus yang cukup banyak tidak lagi mendukung aktivitas peneluran penyu di Pangumbahan.
Stasiun 1, 2 dan 3 merupakan kawasan sensitif yang memerlukan upaya perlindungan secara ketat. Stasiun 1, 2, dan 3 selama ini masih dijadikan sebagai lokasi utama untuk kegiatan wisata pantai. Pengalihan bentuk pemanfaatan kawasan konservasi berupa wisata pantai pada Stasiun 4, 5 dan 6 diharapkan mampu meningkatkan upaya reservasi habitat peneluran penyu di Pangumbahan (Gambar 19). Menurut Wilson (2001) perubahan kawasan berpotensi mengakibatkan kepunahan karena penyu tidak mampu beradaptasi dalam bereproduksi. Khususnya penyu hijau yang siklus hidup dan pertumbuhannya lambat. WWF-Indonesia (2009a) menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai masa dewasa sangat lama, yaitu harus bermigrasi sangat jauh dari habitat satu ke habitat lainnya selama 4 periode menjadi tukik, remaja dan dewasa (berkisar antara 20 sampai 50 tahun).
Sifat wisata penyu yang in situ berupa objek yang hanya dinimkati secara utuh dalam ekosistemnya sangat keterikatan kuat dengan habitat. Penetapan kawasan yang tidak sesuai untuk pengembangan kegiatan ekowisata berupa wisata pantai dikhawatirkan menimbulkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada kehilangan spesies.
(43)
Gambar 19. Peta evaluasi kesesuaian kawasan konservasi untuk wisata pantai
3.14 Daya Dukung Kawasan untuk Kegiaan Wisata Pantai
Pengembangan kawasan yang memperhatikan daya dukung sangat penting dalam menjaga keberlanjutan suatu sumberdaya. Menurut Yulianda (2008) Daya dukung merupakan jumlah maksimum wisatawan yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Bentuk pemanfatan ekosistem alami tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem diharapkan mampu menjamin pemanfatan suatu sumberdaya secara berkelanjutan. Daya dukung kawasan konservasi di pantai Pangumbahan hanya di peruntukan pada Stasiun 4, 5 dan Stasiun 6 karena Stasiun 1, 2 dan Stasiun 3 hendaknya ditetapkan sebagai kawasan perlindungan mutlak (zona inti).
Daya dukung untuk kegiatan wisata di Pangumbahan dibagi menjadi dua yaitu wisata pantai dan wisata penyu. Persentase wisatawan selama penelitian menunjukan aktivitas wisata pantai berupa jalan-jalan di pantai, melihat sunrice menikmati panorama alam, duduk santai, fotografi, berjemur, fotografi adalah 63%. Persentase wisatawan melakukan kegiatan wisata penyu berupa melihat penyu bertelur secara langsung dan melihat kegiatan konservasi penyu 30%. Wisatawan yang melakukan kegiatan wisata pantai dan wisata penyu adalah 7% (Gambar 20).
(44)
Gambar 20. Komposisi wisatawan berdasarkan kegiatan yang dilakukan di Pangumbahan
Daya dukung kawasan untuk wisata pantai adalah 119 orang/hari terdiri dari 25 orang di Stasiun 4, 22 orang di Stasiun 5 dan 72 orang di stasiun 6. dengan waktu bersamaan (Gambar 21). Total waktu yang disediakan kawasan sepuluh jam dan tiga jam untuk kegiatan wisata pantai. Perbedaan jumlah wisatawan disetiap Stasiun disebabkan potensi ekologis yang berbeda. Daya dukung kawasan untuk wisata penyu pada seluruh Stasiun adalah 18 orang/hari dengan jumlah wisatawan terendah pada Stasiun 5 sebanyak 3 orang/hari, sedangkan yang terbesar di Stasiun 6 yaitu 11 orang/hari (Gambar 21). Pada waktu bersamaan dengan total waktu yang disediakan kawasan delapan jam dan empat jam untuk kegiatan wisata.
Gambar 21. Daya dukung kawasan untuk aktivitas wisata pantai dan wisata penyu.
Keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama bagi ekowisata. jumlah wisatawan yang over carrying capacity dapat menjadi ancaman potensial terhadap daya tarik dari suatu obyek wisata dan berdampak terhadap degradasi ekosistem (Yulianda 2007). Pada saat libur jumlah wisatawan pada Stasiun 2 dalam satu hari dapat mencapai lebih dari 100 orang. Tingginya aktivitas pengunjung yang melebihi daya dukung dikhawatirkan berdampak pada perubahan ekosistem. Perubahan ekosistem sulit untuk diperbaiki seperti keadaan semula karena ekosistem memiliki sifat dan prilaku pemulihan yang tidak sama. Upaya mempercepat waktu pemulihan seringkali membutuhkan tenaga dan dana jauh lebih besar. Penetapan wisata penyu harus menjadi wisata ekslusif. Jumlah wisatawan sangat dibatasi tidak boleh melebihi jumlah daya dukung kawasan.
(45)
Pengaturan waktu secara berkelompok diharapkan mampu menjadi salah satu cara dalam membagi wisatawan untuk melihat aktivitas peneluran Penyu di Pangumbahan. Salah satu pembatasan jumlah pengunjung dilakukan di Playa Grande Marine Turtle National Park, maksimum wisatawan 15 orang dengan luas keseluruhan kawasan 445 Ha. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari adanya aktivistas pengunjung yang menganggu peneluran penyu. Menurut Listiani (2012) Koordinasi waktu wisatawan dilakukan dengan pergantian kelompok wisatawan yang terdiri dari jumlah maksimum yang telah ditentukan secara bergantian setiap 15 menit sekali.
3.15 Karakteristik Wisatawan
3.15.1 Jumlah Wisatawan
Jumlah wisatawan umumnya mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan tertinggi pada tahun 2013 sebanyak 24.765 orang. Jumlah terendah tahun 2009 yaitu 13.176 orang (Gambar 22). Peningkatan jumlah wisatawan dipengaruhi pengetahuan wisatawan terhadap penyu hijau dan habitat peneluran yang alami, indah dan unik. Keunikan penyu menjadi alasan utama wisatawan datang ke Pangumbahan, selain keindahahan pantai, jarak kawasan dengan rumah menjadi salah satu pertimbangan wisatawan untuk datang ke Pangumbahan. Wisatawan yang datang secara berulang 33% menyatakan karena kealamiahan kawasan, 44% karena keindahan pantainya, 13% karena keunikan penyu dan habitatnya. Sisanya 9% wisatawan menganggap Pangumbahan mampu memberikan kenyamanan untuk melakukan wisata.
Gambar 22. Jumlah Wisatawan di Pangumbahan
Wisatawan yang datang ke kawasan konservasi sebagian besar merupakan wisatawan nasional maupun internasional. Wisatawan nasinal diantaranya berasal dari Jakarta, Bandung, Bogor, Majalengka, Sukabumi, Tasikmalaya, Depok (Gambar 23). Wisatawan internasional yang dijadikan responden salah satunya dari jepang. Jumlah wisatawan nasinal relatif lebih besar dibandingkan dengan wisatawan lokal. Keberadaan sumberdaya yang terbatas disetiap kawasan, berupa pantai dengan objek utama penyu hijau di Pangumbahan. meningkatkan keingin tahuan seseorang sehingga mendorong seseorang untuk melakukan wisata.
(46)
Gambar 23. Asal kunjungan Wisatawan yang menjadi responden
3.15.2 Pendapatan Wisatawan
Persentase pendapatan wisatawan 46% berada pada kisaran Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000, kisaran Rp 1.500.000 sampai 2.000.000 sebanyak 22%, persentase terendah berkisar Rp 5.000.000 sampai 6.000.000 yaitu 11% (Gambar 24). Pendapatan menjadi salah satu pertimbangan dalam memberikan nilai terhadap sumberdaya. Pendapatan yang semakin besar memberikan keleluasaan lebih pada wisatawan untuk mempertingkan kegiatan wisata pantai yang akan dilakukan.
Gambar 24. Persentase Pendapatan para Wisatawan
3.15.3 Jenis Kelamin Wisatawan dan Tingkatan Usia Wisatawan
Wisatawan yang diwawancarai berjumlah 166 orang dengan persentase 70% laki-laki dan 30% wanita dengan tingkatan usia yang beragam. Persentase tingkat usia tertinggi 20 - 40 tahun sebanyak 67%, tingkatan usia kurang dari 19 tahun 23%, sisanya 10% berusia lebih dari 41 tahun (Gambar 25). Jenis kelamin dan tingkatan usia diduga akan mempengaruhi keputusan dalam melakukan kegiatan wisata pantai. Pria dianggap memiliki tingkat keleluasaan lebih besar dibandingkan dengan perempuan untuk mementukan bentuk dan jumlah wisata pantai yang akan dilakukan. Aspek kepuasaan cendrung lebih diutamakan bagi jenis kelamin pria dibandingkan dengan aspek keamanan, termasuk pertimbangan dalam melakukan perjalanan yang cukup jauh.
Wisatawan yang datang ke Pangumbahan umumnya merupakan usia produktif 20-40 tahun. Pada rentangan usia ini tingkat keingin tahuan diimbagi
(47)
kemampuan seseorang secara fisik maupun ekonomi (biaya wisata). Berbeda dengan tingkatan usia wisatawan yang dibawah 20 atau lebih dari 40 tahun. Keinginan seseorang untuk melakukan wisata terbatasi kondisi fisik atau biaya wisata. Usia kurang dari 20 tahun keingin tahuan dan kebutuhan rekreasi tidak di sertai kemapuan dalam menangung jumlah biaya wisata, sedangkan usia lebih dari 40 keinginan untuk melakukan wisata yang bersifat outdoor terbatasi oleh kemampuan fisik yang menurun.
Gambar 25. Tingkatan usia wisatawan selama penelitian.
3.15.4 Pendidikan Wisatawan
Tingkat pendidikan diduga mempengaruhi keputusan dalam mementukan kegiatan wisata. Wisatawan yang datang ke Pangumbahan berpendidikan SMA sebanyak 48%, 45% pendidikan S1, 2% pendidikan S2, persentase terendah adalah SMP yaitu 1% (Gambar 26). Wisatawan yang yang berpendidikan tinggi umumnya menyadari penyu hijau sebagai hewan langka yang perlu dijaga kelestariannya. Keputusan wisatawan dalam pemilihan bentuk kegiatan wisata tidak hanya menghilangkan kejenuhan akan rutinitas. Kegiatan wisata yang menambah pengetahuan atau informasi menjadi nilai lebih dan turut meningkatkan kepuasan wisatawan.
Gambar 26. Tingkat Pendidikan Wisatawan
3.15.5 Jumlah Tanggungan Wisatawan
Jumlah tangungan wisatawan menjadi salah satu pertimbangan dalam penetuan nilai terhadap sumberdaya. Semakin sesar jumlah tanggungan maka semakin kecil kemungkinan memberikan nilai WTP karena bagi wisatawan
(48)
jumlah tanggungan dikategorikan sebagai penentu bentuk kegiatan wisata yang akan dilakukan (Gambar 27)
Gambar 27. Jumlah tanggungan wisatawan
Pantai dan penyu menjadi minat khusus utama bagi para pengunjung termasuk pada kegiatan konservasi yang dilakukan. Persentase minat khusus berdasarkan ketertarikan terhadap sumberdaya wisatawan. Minat tertinggi yang mendorong wisatawan untuk datang ke Pangumbahan adalah penyu dan pantai 31%, minat khusus hanya pada pantai 25%, pada penyu 24% sisanya 19% minat khusus pada kegiatan konservasi di Pangumbahan (Gambar 28). Menurut (Dwihastuty 2016) 98% wisatawan mengetahui minat khusus 2% mendengar dari masyarakat sehingga menimbulkan rasa ingin tahu akan wisata minat khusus yang dimiliki kawasan konservasi.
Gambar 28. Minat khusus para wisatawan di Pangumbahan
Minat khusus wisatawan yang datang ke Pangumbahan didapatkan berdasarkan sumber informasi dari teman 61%, 24% dari keluarga dan sisanya 15% diperoleh dari media online (Gambar 29). Informasi dari teman menunjukan tingginya nilai persepsi masyarakat terhadap sumber daya di Pangumbahan, sehingga Pengalaman langsung sesorang menjadi rujukan untuk wisatawan lainnya melakukan wisata ke Pangumbahan. Kondisi ini menuntut pengelolaan kawasan untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan fasilitas wisata. Pengelola diharapkan melakukan pengaturan kegiatan dan pembatasan jumlah wisata untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya.
(49)
Gambar 29. Sumber informasi kegiatan wisata di Pangumbahan.
Rataan jumlah wisatawan selama lima tahun terakhir menunjukan kecenderungan peningkatan jumlah wisatawan terjadi pada bulan Agustus dan bulan Desember. Rataan jumlah wisatawan bulan agustus mencapai 3.014 orang, bulan November 2.669 orang (Gambar 30) Peningkatan jumlah wisatawan umumnya bertepatan dengan waktu libur sekolah dan libur akhir tahun. Pada saat libur, Pangumbahan menjadi alternatif wisata yang menarik karena wisatawan selain menikmati keindahan alam. Wisatawan mendapatkan pengetahuan tentang satwa langka dan kegiatan konservasi Penyu Hijau di Pangumbahan.
Gambar 30. Rataan wisatawan setiap bulan di Pangumbahan
3.16 Kesediaan Membayar Wisatawan
Ekowisata berupa wisata pantai menjadi sumber devisa negara yang menjual rasa. Kesenangan biasanya diekspesikan dengan mengeluarkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Kontribusi besar dari pengembangan kawasan konservasi diperoleh apabila kawasan mampu dikelola dengan baik. Pengelolaan ekowisata tidak hanya menjadi sumber pemasukan tambahan yang menunjang operasional kegiatan konservasi penyu hijau tetapi turut menjaga sumberdaya alam di Pangumbahan.
(1)
Lampiran 4. Daftar wisatawan selama penelitian
N0 Nama Alamat
1 Ruslan Jagamukti 2 Januar S Sukabumi 3 Raiwan R Bandung 4 Frasandika Surade 5 Maulana A Bubat
6 Ojan Bandung
7 wildan Bandung
8 M.ridwan Subang 9 Hj. Ninih Bandung 10 nunung H Bandung 11 neni sudiani Bandung 12 Dra entin Bandung 13 didi sindang barang
14 wulan Jampang
15 anugrah Bandung 16 dewi mustika Bandung 17 christoforus Bogor 18 dian daksa p Depok 19 Didag N Jakarta 20 paiz Nugroho Jakarta 21 sukma w Sukabumi 22 Sukardi kp cigaru 23 Rema M Cibarehong 24 M. Rizal Sukabumi 25 yona surani Jakarta 26 Rahmat Sukabumi 27 Nurman Sukabumi 28 Gia Rizki F Sukabumi 29 bungan R.S Jakarta 30 Natasya Tan Bogor 31 Rizki Rubi Sukabumi 32 lilik dwi y Bandung
33 mestia Bandung
34 cecep badria Sukabumi 35 M.kardian Jampang
36 leha Bandung
37 Chan Viro Bogor 38 Candra L Bogor 39 Sunisna Bogor
(2)
(Table Lanjutan)
N0 Nama Alamat
41 apur Bogor
42 Wandi Ade p Bogor 43 irwan mulyana Bandung
44 yosep Bandung
45 Fiva Bandung
46 Lutfi Bandung
47 Andri Bandung
48 apud Bandung
49 Eko Bandung
50 Irfan Bandung
51 Feri Bandung
52 Capriantono Bandung 53 Nia Sukmawati Bogor 54 Ahmad N Bogor 55 sri sugiharti Bogor 56 Arif ibrahim Bogor 57 Wulan Neistri Kp.cibiah
58 Wiwid Kadudanpit
59 Wibisomo Mangkalaya
60 Bram Mangkalaya
61 Dimas Cisaat
62 Bili Cisaat
63 Alden kp.sungapan 64 ilham a.s kp.cipendey 65 Yuli Astuti kp.sindanghaya 66 Kiki Oktaviani Sukabumi 67 sopia utami jl.cikukulu 68 Farhana Cigunung 69 Hanna R kp.ciodang 70 Kevi N Cibadak 71 Nadien Sukabumi 72 iin indrawati Jatimulya
73 Livi Majalengka
74 dendy Jakarta 75 henrio pinang merah 76 Rialdi komplek permai 77 Marsya pangkalan jati 78 cella Jakarta
79 Anggi Shawina jl.pinang merah 80 Citra tsaniya Jakarta
(3)
82 Tari A Bogor (Table Lanjutan)
N0 Nama Alamat
84 Agus tian bogor barat 85 Anwar Wahyuni Bogor 86 Rudi Hendrawan Bogor 87 angga irawan Bogor 88 Tya Pryani Pangleseran
89 Eda Sukabumi
90 fadhli Sukabumi
91 Dicki Kurniawan ciputat tanggerang 92 Denggan Rauf ciputat
93 joko susanto kp.sawah ciputat 94 Audia Mustafa jl.ciputat
95 Zatmiko Ciputat 96 Renandya Ricki Ciputat 97 M. Romadoni jl.cimandiri 98 Muhamad bagus Surade 99 Ganjar Ginanjar Bandung 100 firman Kiara Condong
101 aji Bandung
102 Probowo perum permata 103 Akbar Majid Bandung
104 chandra Bandung
105 yogi jl.soma
106 M.lutfi Perum sumber asri 107 Ahmad Sopian Bogor
108 Adi sukardi Bogor
109 M.rizki Bogor
110 Fitri kp. Cimandiri 111 Uci Susilawasi kp. Mekar jaya 112 Nurul Sapitri Bogor
113 Rudi Ramdan Ciampe bogor
114 Herlin kp.ciaul
115 Ruswadi Sukabumi 116 Sodik Pertmata Bogor 117 Abdul Kodir Bogor
118 Dicky Bandung
119 M. sanusi Bogor selatan 120 Lutfio H.M Tasikmalaya
121 Agung Bandung
122 dineu riani Sukabumi 123 Charli jakarta barat 124 Juni Erbina Jakarta Pusat
(4)
125 Cipta Der Jakarta Pusat (Table Lanjutan)
N0 Nama Alamat
126 Ario Pratama Jakarta Selatan 127 Chandra gumelar Sindang Barang 128 Nurul Rahmadini Jalan Nanas 129 Rendi Anggriawan Bekasi 130 Eric Eldiansyah Jakarta
131 Fadly Jakarta
132 yosefina ayu Jakarta 133 Sanditya Rivaldi Bekasi
134 sofyan Bekasi
135 Giandina Bandung
136 Ira Siti Sundani Bandung
137 isabella Bandung
138 Reza Pahleui Menteng 139 Dasuki wirahman Menteng
140 b0w0 Pabuaran mulyaharja bgsel bgr
141 Anindita Tanggerang
142 Shakina jl. Durma n 27 Bnadung 143 Alan Tanjung jl. Babakan jeruk 33 bandung 144 Sigit Pamungkas jl. Babakan jeruk 33 bandung
145 Ukah Warung pari Bgr
146 Titin kp pabuaran Bgr selatan 147 M0hamad rustani kp pabuaran Bgr selatan
148 Aqih perumnirwana Sukabumi
149 Dadan Bandung
150 Ayep Sfyan lembang bandung 151 Deden Rahman cisalasih bandung
152 Dian Kampung pasar akhad bandung barat 153 Abeng jalan teratai bekasi
154 Agus kelana Jampang kul0n
155 Sidik babakan sirna Sukabumi 156 Nina Susana Dewi cisarua sukabumi
157 M sfyan Suri terusan Cimahi
158 Restu Ade Bogor
159 Apip Maulana Bogor
160 Meli triana Devi Kiara c0ndng bandung 161 Raga D Pradana Cblng Bandung
162 Kevin Wib0w0 Pasir layung Bandung 163 Muhammad Azmi jl taurus Bandung 164 Freden Meihara Jl Nusa indah Bekasi 165 Zulfinar Azhar jl Pasir luhur Bandung 166 Hasihla jl Pesantren permai Cimahi
(5)
Lampiran 5. Populasi penyu hijau yang naik di Pangumbahan.
5.1 kenaikan penyu hijau berdasarkan musim peneluan di Pangumbahan
(6)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Maret 1986 di Sukabumi. Provinsi Jawa Barat sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Ukat Sukatma (Alm) dan Ibu Sarimah. Penulis menempuh Pendidikan Sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sukabumi dan menyelesaikan studi pada tahun 2009 dengan judul Skripsi “Stuktur komunitas fitplankton dibekas galian pasir”. Pada tahun 2012 penulis mendapat kesempatan melanjutkan Studi di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Beasiswa Unggulan DIKTI.
Penulis menjadi staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Sukabumi di Program Studi manajemen Sumberdaya Perairan dari tahun 2009. Selama mengikuti program Magister. penulis aktif berpartisipasi mengikuti kegiatan seminar. workshop. baik dalam lingkup IPB dan nasional. Salah satu karya ilmiah berjudul Analisis Sumberdaya Penyu Hijau untuk kesesuaian wisata pantai berbasis konservasi akan diterbitkan pada jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.