Kajian Konsep Desain Lanskap Jalan Kolonial Kota Bogor.

KAJIAN KONSEP DESAIN LANSKAP JALAN KOLONIAL
KOTA BOGOR

NINA MEDDYANKA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Konsep Kolonial
pada Desain Lanskap Jalan Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015
Nina Meddyanka
NIM A44090028

ABSTRAK
NINA MEDDYANKA. Kajian Konsep Desain Lanskap Jalan Kolonial Kota
Bogor. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.
Kota Bogor merupakan salah satu situs bersejarah di era kolonial Eropa di
Indonesia. Salah satu bentuk warisan di era tersebut adalah lanskap kolonial.
Bentuk lanskap kolonial juga tercermin dalam desain lanskap jalan pada Kota
Bogor. Studi Konsep Desain Lanskap Jalan Kolonial Kota Bogor bertujuan untuk
mengidentifikasi komponen lanskap jalan yang berkarakter kolonial di kota Bogor,
menganalisis konsep desain lanskap jalan kolonial di kota Bogor dan Menyusun
konsep desain lanskap jalan yang berkarakter kolonial. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode deskriptif melalui survei lapangan dan penelusuran
informasi sejarah. Tiga komponen utama dalam desain lanskap jalan yang
berkarkter kolonial, yaitu elemen utama jalan, elemen pelengkap jalan (site
furniture) dan bangunan bergaya kolonial Belanda. Secara umum, elemen utama
jalan yang menunjukkan karakter kolonial, yaitu badan jalan, pedestrian, drainase,
dan jalur hijau. Elemen pelengkap jalan yang berkarekter kolonial bernuansa klasik

victoria, ghotic, dan menggunakan material industrial. Komponen ketiga dalam
lanskap jalan yang berkarakter kolonial adalah bangunan yang mencerminkan masa
kolonial Belanda dan bagian terpentingya adalah fasad bangunan.
Kata kunci: konsep kolonial, desain lanskap jalan

ABSTRACT
NINA MEDDYANKA. Study on Design Concept of Colonial Streetscape at Bogor
City. Supervised by ANDI GUNAWAN.
Bogor City is one of the historic sites in the European colonial era in
Indonesia. One of a heritage form in that era is the landscape of colonial. The form
of colonial landscape also reflected in the design of street landscape in Bogor City.
Study on Design Concept of Colonial Streetscape at Bogor City aims to identify the
component of street landscape whose colonial character, exploring the design
concept of colonial street landscape, and composing the design concept of street
landscape that having colonial character in Bogor. This research has obtained
through descriptive analysis by field observation and tracing the information of
history. Generally, three main components of colonial street landscape design
those are the main elements of street, complementary elements, and colonial
building. Complementary elements that characterizing the colonial has the feel of
a classic Victorian, gothic and use of industrial materials. The third component of

colonial street lanscape is a building that reflects the Dutch colonial era and The
important part of it is the facade of the building.

Keywords: colonial concept, street landscape design

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan satu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KAJIAN KONSEP DESAIN LANSKAP JALAN KOLONIAL
KOTA BOGOR

NINA MEDDYANKA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Kajian
Konsep Desain Jalan Kolonial Kota Bogor” ini dapat diselesaikan. Penelitian ini
disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk melakukan penelitian yang
menghasilkan karya tulis ilmiah berupa skripsi dan merupakan tugas akhir untuk
mendapatkan gelar sarjana.
Pada kesempatan ini sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis

mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan kepada
1. Orang tua tercinta, Bapak Eddy Elisma Putra dan Ibu Nurmaini, atas semua
kasih sayang, doa terbaik, motivasi dan dukungan materil yang tidak akan
pernah bisa terbalas; Kakakku tercinta Nanda Adiya Pradana atas doa dan
motivasi selama pelaksanaan penelitian ini;
2. Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Agr.Sc selaku pembimbing yang memberi bantuan,
dukungan, motivasi, bimbingan serta arahan kepada penulis selama
penyelesaian karya ini;
3. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah berjasa
dalam membantu penullis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan
kelemahan, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca. Skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis dalam memperdalam keahlian profesi Arsitektur Lanskap terutama dalam
bidang desain lanskap dan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Bogor
dalam membangun citra Kota Bogor yang berkarakter.
Bogor, Juli 2015
Nina Meddyanka

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Manfaat Penelitian

2

Kerangka Pikir Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Desain Lanskap

1

Lanskap Jalan

4


Konsep Kolonial

6

METODE PENELITIAN

9

Lokasi dan Waktu Penelitian

9

Metode Pelaksanaan Penelitian

9

Kerangka Kerja

10


Batas Penelitian

12

HASIL DAN PEMBAHASAN

13

Sejarah Tapak

13

Hasil Penelusuran Sejarah

13

Konseptualisasi Desain Kolonial pada Lanskap Jalan

33


Desain Lanskap Jalan Bergaya Kolonial

37

SIMPULAN DAN SARAN

39

Simpulan

39

Saran

39

DAFTAR PUSTAKA

40


RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Ukuran ideal desain jalan dalam tipe medan jalan yang berbeda
Standar lebar jalan
Jenis, bentuk, dan sumber data
Perbandingan kelengkapan elemen-elemen lanskap jalan
Tata letak, karakter, dan material jalan di kota Bogor pada zaman
kolonial
6 Daftar bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda

5
6
11
14
15
31

DAFTAR GAMBAR
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37

Kerangka pikir penelitian
Peta orientasi lokasi penelitian
Tahapan penelitian
Suasana Jalan J.Ahmad Yani tahun 1904
Potongan Jalan J.Ahmad Yani
Penampang melintang jalan tipikal
De Renbaan - Lapangan pacuan
Tugu Air Mancur di perbatasan Jalan J.Ahmad Yani dan Sudirman
Suasana Jalan Sudirman tahun 1870
Potongan Jalan Jenderal Sudirman
Awal mula keberadaan jalan khusus pejalan kaki pada awal abad 19
Jalan Ir. Djuanda pada tahun 1870-1914
Potongan Jalan Ir.Djuanda
Jalan Kapten (Bantammer Weg) Muslihat tahun 1900
Potongan Jalan Kapten Muslihat
Jembatan Merah Jalan Kapten Muslihat tahun 1880
Suasana Jembatan Merah
Jalan Otto Iskandardinata pada tahun 1900an
Jalan Otto Iskandardinata pada tahun 1926
Potongan Jalan Otto Iskandadinata
Lampu jalan kota Bogor, lampu taman, dan lampu Jembatan Merah
Bangku taman kota Bogor pada zaman kolonial
Bollard pada zaman kolonial
Sign Street
Tampak depan dan tampak samping pos jaga tertutup dan terbuka
Prinsip Telford-Macadam
Potongan Jembatan Merah
Tata Ruang lanskap jalan kolonial Bogor
Peta lama kota Bogor kompilasi tahun 1921 dan 1946
Desain lanskap jalan kolonial
Perbandingan titik-titik area kolonial pada masa lalu dan masa sekarang

2
9
10
16
16
17
18
19
19
20
20
21
22
23
23
24
24
25
25
26
27
28
28
29
29
30
30
34
35
37
38

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki jejak kolonialisme yang terukir dalam tatanan
lanskapnya terutama pada daerah-daerah yang pernah diduduki oleh bangsa
penjajah. Dalam kurun waktu lebih dari tiga abad, Indonesia berada di bawah
pendudukan bangsa Eropa meninggalkan situs dan kawasan bernilai sejarah pada
masa ini. Peninggalan tersebut tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan tersisa
sebagai bagian dari sejarah yang perlu dipertahankan sebagai penghubung masa
lalu dengan masa saat ini. Keberadaan peninggalan tersebut dapat
menginterpretasikan kesan tempat dan kesan waktu di masa lalu.
Kota Bogor merupakan salah satu lokasi bersejarah pada zaman penjajahan
bangsa Eropa di Indonesia. Jejak-jejak peninggalan di zaman tersebut kemudian
tertinggal di dalam tatanan lanskap Kota Bogor begitu juga dengan lanskap jalannya.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Herman Willem Daendels (1801-1811)
membangun jalan-jalan utama kota Bogor. Gaya atau konsep bagunan dan
peninggalan masa itu disebut sebagai konsep kolonial. Menurut Soepandi (2008),
Kota Bogor tumbuh dari konsentrasi tiga zona etnis, yakni Eropa, Cina, dan pribumi.
Meskipun memiliki jumlah penduduk sangat kecil, zona Eropa menempati porsi
lahan terbesar. Zona Eropa mencerminkan nuansa kolonial yang sangat kental.
Zona Eropa di Bogor terdapat di sekeliling Kebun Raya Bogor, gedung institusi
pemerintah di sepanjang Jalan Ir Juanda, Jalan A Yani (untuk fungsi perkantoran
dan pemerintahan), hingga daerah Ciwaringin (ke arah utara), dan daerah Taman
Kencana (timur).
Bentukan lanskap tipe kolonial merupakan salah satu bentuk peninggalan
yang menginterpretasikan keberlanjutan kehidupan masyarakat pada masa lalu
sampai kini, sekaligus mengandung nilai historis yang dapat dikenang oleh generasi
berikutnya. Keberadaan lanskap jalan dengan konsep kolonial menjadi keunikan
dan identitas tersendiri bagi kota Bogor. Keunikan tersebut terlihat dari tata letak,
komposisi, dan perbedaan elevasi dari elemen lanskap jalannya. Selain itu,
keberadaan lanskap jalan tipe kolonial di sini tentunya melengkapi nuansa kolonial
pada bangunan-bangunan tua di kota Bogor dan dapat memperkaya wajah dan
lingkungan Kota Bogor. Namun, pada kenyataannya keberadaaan lanskap jalan
kolonial ini masih kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah kota Bogor.
Padahal lanskap jalan yang berkarakter kolonial ini merupakan bagian dari bukti
penting sejarah Kota Bogor.
Melihat pentingnya keutuhan konsep Kolonial dalam lanskap jalan kota
Bogor, melalui studi ini diharapkan dapat mengukur tingkat kekuatan karakter
identitas dari kota Bogor. Oleh karena itu, baik adanya untuk dilakukan suatu kajian
terhadap desain kolonial lanskap jalan Kota Bogor dan mendeskripsikan konsep
desain lanskap jalan kolonial secara utuh, sehingga diharapkan dapat membantu
pelestarian lanskap kota Bogor dengan karakter kolonial secara totalitas. Penelitian
ini difokuskan pada konsep lanskap jalan yang mewakili masa kolonial Eropa
terutama Belanda.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi komponen lanskap jalan yang berkarakter kolonial di kota
Bogor;
2. Menganalisis konsep desain lanskap jalan kolonial di kota Bogor;
3. Menyusun konsep desain lanskap jalan yang berkarakter kolonial.

Manfaat Penelitian
Hasil dari Kajian Konsep Kolonial pada Desain Lanskap Jalan Kota Bogor
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya:
1. Memunculkan karakter kolonial pada lanskap jalan kota Bogor secara totalitas;
2. Memperkuat identitas karakter kolonial kota Bogor;
3. Mempermudah pemerintah dalam usaha pelestarian lanskap sejarah kota Bogor.
Kerangka Pikir Penelitian
Secara umum kerangka pemikiran dalam penelitian ini diawali oleh
pemikiran bagaimana pengaruh sejarah terhadap desain lanskap jalan di kota Bogor.
Dasar pemikiran tersebut menjadi titik tolak dalam melakukan upaya identifikasi
komponen lanskap jalan yang berkarakter kolonial. Main frame sederhana sebagai
gagasan kerangka pikir guna mencapai tujuan penelitian diatas tersaji pada
Gambar 1 dibawah ini tentang skema kerangka piker penelitian.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

3
TINJAUAN PUSTAKA
Desain Lanskap
Secara umum, lanskap merupakan bentang alam secara keseluruhan dengan
pemandangan alami maupun buatannya. Selain itu, di dalam lanskap berbagai
sistem dapat terbentuk sebagai akibat dari aktivitas alam dan manusia. Kemudian
lanskap juga dapat didefinisikan sebagai kawasan heterogen yang meliputi
kelompok-kelompok ekosistem yang saling berinteraksi satu sama lain, dengan
bentukan alami dan buatan yang dapt dinikmati oleh manusia melalui inderanya.
Menurut Simonds (1983), Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik
tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia.
Laurie (1986) menyatakan bahwa desain lanskap merupakan sebuah
perluasan dari perencanaan tapak. Perencanaan merupakan suatu kegiatan
pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Nurisjah dan Pramukanto,
1995). Secara ringkas dikatakan bahwa perencanaan adalah proses pemikiran dari
suatu ide ke arah suatu bentuk nyata. Lebih lanjut diungkapkan bahwa dalam bidang
arsitektur lanskap, merencana merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan
berbagai penggunaan lahan berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas
estetiknya guna mendukung fungsi yang akan dikembangkan diatas/pada lahan
tersebut. De Chiara dan Koppelman (1997) menyatakan bahwa proses perencanaan
tapak dimulai dengan pengumpulan data dasar yang berkaitan secara khusus dengan
tapak tersebut dan daerah sekitarnya. Data ini harus meliputi hal–hal seperti rencana
induk dan penelaahannya, peraturan penzonaan, peta dasar dan udara, survai, data
topografi, informasi geologi, hidrologi dari daerah tersebut, tipe tanah, vegetasi,
dan ruang terbuka yang ada. Setelah semua informasi yang ada diperoleh, maka
informasi tersebut harus diperiksa dan dianalisis untuk menetapkan keunggulan
serta keterbatasan tapak.
Selanjutnya, desain lanskap merupakan proses pemberian kualitas spesifik
kepada ruang diagramatik rencana tapak dan merupakan level lain dimana
arsitektur lanskap didiskusikan atau dikritik. Selain itu, yang harus
dipertimbangkan dalam perancangan adalah dimensi suatu obyek desain agar
mempermudah dalam pemeliharaan.
Rachman dalam Nugraha (1998) menyatakan bahwa perancangan
merupakan ilmu dan seni pengorganisasian ruang dan massa sehingga tercapai
keharmonisan yang secara fungsional berdaya guna dan secara estetis indah. Pada
proses perancangan detil dilakukan penataan komposisi vertikal-horisontal, tata
bentuk, tata warna, tata aroma, dan tata gerak, pengaturan tata fungsi, tata bahan,
penggambaran dan perhitungan konstruksi, biaya, spesifikasi dan uraian teknis,
pemilihan bahan tanaman dan bangunan. Selain itu dinyatakan pula bahwa enam
batasan perancangan adalah ruang, waktu dan sumber daya. Simonds (1983)
menyatakan bahwa perancangan lanskap menuntut kemampuan merancang yang
imajinatif untuk menghasilkan bentuk-bentuk yang inovatif dan kreatif berdasarkan
hasil analisis.
Booth (1983) menyatakan bahwa proses desain umumnya memiliki
tahap-tahap sebagai berikut :
1. Penerimaan proyek
2. Riset dan analisis (termasuk mengunjungi tapak)

4
a. Persiapan rencana dasar
b. Inventarisasi tapak (pengumpulan data) dan analisis (evaluasi)
c. Wawancara dengan pemilik (client)
d. Pembentukan program
3. Desain
a. Diagram fungsi ideal
b. Diagram fungsi keterhubungan tapak
c. Concept plan (rencana konsep)
d. Studi tentang komposisi bentuk
e. Desain awal
f. Desain skematik
g. Master plan (rencana utama)
h. Pembuatan desain
4. Gambar-gambar konstruksi
a. Layout plan (rencana tata ruang)
b. Grading plan (rencana pembentukan lahan)
c. Planting plan (rencana penanaman)
d. Detil konstruksi
5. Pelaksanaan
6. Evaluasi setelah konstruksi
7. Pemeliharaan
Selain itu Booth (1983) menyatakan pula bahwa tahapan-tahapan pada
proses desain menggambarkan peristiwa yang terangkai secara ideal. Beberapa
tahapan tersebut dapat melengkapi satu dengan lainnya sehingga kerapihan pada 7
gambar sedikit terlihat jelas dan nyata. Selanjutnya, beberapa tahapan dapat
serupa/sejajar satu dengan lainnya dalam hal waktu, dan muncul secara bersamaan.
Dengan kata lain, tidak ada satupun tahapan dari proses desain yang muncul secara
terpisah dari lainnya.
Lanskap Jalan
Lanskap Jalan merupakan wajah dari karakter lahan atau tapak yang terbentuk
pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alami, maupun
yang terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan
kondisi lahannya (Simonds, 1983). Selanjutnya dikemukakan bahwa suatu jalan
merupakan kesatuan dengan lingkungan secara total, aman, efisien, dan berfungsi
sebagai penghubung wilayah. Mc.Harg (1971) menyatakan bahwa jalan dapat
memberikan kesempatan pengalaman visual yang memuaskan bagi pengemudi atau
pemakai jalan, di samping memenuhi kebutuhan lalu lintas yang nyata.
Berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 4 tentang
Jalan dan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 3 tentang Jalan,
keduanya menyatakan bahwa jalan merupakan prasarana transportasi darat yang
meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya
yang diperuntukkan bagi lalu lintas, berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Dinas Bina Marga, 2004 dan
Dinas Bina Marga, 2006). Lanskap jalan memiliki fungsi untuk mendukung dalam
penggunaan secara terus-menerus, membimbing, mengatur irama pergerakan,

5
mengatur waktu istirahat, mendefinisikan penggunaan lahan, memberikan
pengaruh, mempersatukan, membentuk karakter lingkungan, membangun karakter
spasial, dan membangun visual. Desain suatu jalan yang ditujukan untuk
memberikan kenyamanan, keindahan, dan keamanan bagi pengguna jalan tidak
terlepas dari penggunaan elemen-elemen lanskap, perlengkapan jalan dan bangunan
pelengkap jalan (street furniture) yang tata letak, susunan, dan penggunaannya
disesuaikan dengan kondisi atau lingkungan sekitar jalan (Booth, 1983).
Berdasarkan jenis peruntukkannya, jalan dibagi menjadi sirkulasi pejalan
kaki, sirkulasi sepeda, dan sirkulasi kendaraan. Harris dan Dines (1988)
menyatakan bahwa sirkulasi kendaraan di jalan raya mengakomodasikan tiga tujuan
utama, yakni: (a) memberikan akses atau jalan masuk ke suatu lahan atau bangunan,
(b) menciptakan hubungan antar tata guna lahan yang ada, dan (c) memberikan
suatu pergerakan bagi orang atau barang.
Lanskap jalan idealnya terdiri badan jalan, jalur jalan, median, bahu jalan,
pembatas jalan, selokan (saluran drainase) dan trotoar (Sukirman, 1994).
Kebutuhan lebar badan jalan minimum adalah 3,5 meter, dengan maksud agar lebar
jalur lalu lintas dapat mencapai 3 meter sehingga dengan demikian pada keadaan
darurat dapat dilewati ambulans, mobil pemadam kebakaran, dan kendaraan khusus
lainnya. Berikut ini ukuran ideal desain Jalan yang sesuai dengan tipe medan jalan
yang berbeda.
Tabel 1 Ukuran ideal desain jalan dalam tipe medan jalan yang berbeda
Medan
Medan
Medan
Datar
Berbukit Pegunungan
(25%)
Lebar Jalan
70'/21 335 70'/21 335 70'/21 335
yang Baik
(feet/mm)
Lebar
36'-40'/10
36'-40'/10
36'-40'/10
Perkerasan
975-12
975-12 190
975-12 190
(feet/mm)
190
Lebar Trotoar
5'/1 525
5'/1 525
5'/1 525
(feet/mm)
Jarak Trotoar
dengan Pinggir
10'/3 050
10'/3 050
10'/3 050
Jalan (feet/mm)
Jarak
Penglihatan
200'/60
250'/76 200
150'/45 720
Minimal
960
(feet/mm)
Sumber : Time Saver Standards for Landscape Architecture
Edisi Kedua tahun 1998

Badan jalan meliputi jalur lalu lintas dengan atau tanpa jalur pemisah dan
bahu jalan, badan jalan hanya diperuntukkan bagi arus lalu lintas dan pengamanan
terhadap konstruksi jalan. Secara geometris lebar badan jalan dan daerah jalan yang
meliputi daerah milik jalan (Damija), daerah manfaat jalan (Damaja) dan daerah

6
Pengawasan Jalan (Dawasja) pada masing-masing fungsi jalan sebagaimana diatur
pada Undang-undang Nomor 26 tahun 1985 diuraikan pada tabel berikut ini :
Tabel 2 Standar Lebar Jalan
Damija
Damaja
Fungsi Jalan
(m)
(m)
Arteri Primer
8
14
Kolektor Primer
7
11
Lokal Primer
6
8
Arteri Sekunder
8
14
Kolektor
Sekunder
7
7
Lokal Sekunder
5
5

Dawasja
(m)
20
15
10
20
7
5

Sumber : Undang-undang Nomor 26 tahun 1985

Selain enam bagian jalan tersebut diatas juga terdapat komponen lain yang
penting keberadaannya bagi users atau pengguna jalan. Komponen tersebut adalah
saluran drainase dan fasilitas pelengkap jalan.
Drainase pada jalan bertipe lurus, letak saluran diposisikan pada sisi kiri
dan sisi kanan jalan. apabila jalan bersifat cembung (permukaan miring ke arah tepi),
maka saluran drainase diposisikan pada tepi jalan atau bahu jalan. apabila
kemiringan permukaan jalan mengarah pada median jalan, maka saluran drainase
diposisikan pada tengah-tengah jalan di bagan median jalan. drainase pada jalan
bertipe tidak lurus atau menikung, maka saluran drainase diposisikan hanya pada
satu sisi jalan. sisi tersebut adalah sisi jalan yang lebih rendah (Halim H. 2002).
Fasilitas Pelengkap jalan memiliki peranan penting dalam lanskap jalan.
Fasilitas pelengkap berfungsi untuk meningkatkan keselamatan bagi pengguna
jalan dengan menyediakan pergerakan yang teratur terhadap pengguna jalan.
fasilitas pelengkap jalan antara lain marka jalan, rambu-rambu lalu lintas, papan
nama jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, dan fasilitas penerangan jalan.
Konsep Kolonial
Konsep kolonial adalah konsep yang menginterpretasikan keberlanjutan
kehidupan masyarakat pada masa lalu sampai kini, sekaligus mengandung nilai
historis yang kuat, terkesan tua dan antik (Soepandi, 2008). Menurut Peter J. M.
Nas dan Martien de Vletter (2009), Gaya kolonial dalam lanskap Indonesia
terutama didasari oleh kelompok-kelompok dominan Belanda dan kelompok Barat
lainnya yang meninggalkan Indonesia di pertengahan abad kedua puluh. Konsep ini
memiliki karakteristik khusus yang mencirikan gaya di masanya dan konsep ini
merupakan bentuk adopsi dari bangsa penjajah (Eropa).
Revolusi industri di Eropa pada akhir abad ke-19 ternyata memberikan
dampak pada gaya arsitektur pada masa itu. Pada masa itu sendiri di Eropa dan
Belanda sedang berkembang suatu gaya arsitektur yang memasuki masa peralihan
dari era eklektisisme yang penuh dengan elemen-elemen dekoratif ke gaya
bangunan modern yang menekankan pada fungsi, teknologi dan kekokohan
bangunan. Penekanan terhadap rasionalisme mendapatkan bobot yang sangat besar.

7
Semangat ini dibawa oleh pedagang-pedagang Belanda pada abad ke-19 ke
Nusantara. Gaya itu pada awalnya mewakili kelompok-kelompok kalangan atas
yang pada masa penjajahan Belanda sebagai kediaman pejabat-pejabat dan fasilitasfasilitas publik yang dirancang oleh arsitek-arsitek Belanda yang memakai gaya itu.
Bangunan Kolonial dalam keberadaannya di Nusantara mengalami adaptasi dengan
iklim, spirit dan budaya lokal. Sebagai contoh: semangat rasionalisme yang dibawa
arsitek-arsitek eropa yang sangat menekankan pada fungsi bertemu dengan
pemahaman ruang di Indonesia (Nusantara, khususnya Jawa) yang dihubungan
dengan spiritualisme, iklim eropa dengan 4 musim bertemu dengan iklim Indonesia
dengan 2 musimnya, dll. Sehingga terjadilah ‘penyesuaian-penyesuaian’ baik
secara fungsional maupun karakter.
Dalam perkembangan Arsitektur di Indonesia, kemudian gaya Kolonial
menjadi trend tersendiri. Trend itu kemudian tidak hanya masuk di bangunan publik,
tetapi juga masuk ke wilayah yang lebih privat, seperti: hunian. Sementara itu
perkembangan jaman yang ditandai kemajuan teknologi akhirnya ‘mengawinkan’
gaya Kolonial dengan sentuhan modern yang merupakan ciri khas dari kemajuan
teknologi itu sendiri. Meskipun demikian tetaplah ada ciri-ciri khas Kolonial yang
berkolaborasi dengan ciri modern (Freddy MR Nainggolan, 2011). Ciri khas
kolonial ini tercermin dalam uraian berikut:
1. Tata Ruang
Ciri khas bangunan Kolonial tropis adalah dalam tataruang ada ruang-ruang
perantara antara ruang dalam dengan ruang luar yaitu teras-teras baik itu didepan,
samping maupun belakang. Pada bangunan bertingkat dapat juga ditampilkan
dalam bentuk sebuah balkon.
Teras atau Balkon ini berfungsi untuk mengatasi tampias air hujan dan
isolator udara panas luar ke dalam. Perkawinan filosofi barat yang tertutup dengan
filosofi timur yang terbuka terhadap alam diwujudkan juga melalui teras atau
Balkon ini.
2. Atap
Salah satu tipologi bangunan Kolonial adalah sudut kemiringan atap yang
besar. Sudut kemiringan yang besar ini di Belanda bertujuan untuk mempermudah
turunnya salju yang menempel di atap bangunan. Di Indonesia fungsi yang lebih
nyata adalah untuk mengkondisikan suhu ruang didalam bangunan. Lebih jauh lagi
atap bangunan Kolonial di Indonesia di pertegas dengan tritisan yang cukup untuk
meminimalkan panas atau tampias karena hujan pada bangunan. Terkadang juga
ditampilkan plat luifel atau kanopi sebagai pengganti tritisan dengan fungsi yang
sama.
3. Tower atau Menara
Tower sebagai massa independen dengan struktur yang berdiri sendiri
maupun menjadi satu dengan bangunan sebagai aksen bangunan. Tower ini dapat
merupakan massa massif tetapi juga dapat bersifat transparan sebagai konsekwensi
fungsi ruang yang berubah.
4. Roster
Roster sebagai pelubangan yang dipakai untuk mengalirkan udara. Elemen
ini merupakan adaptasi dengan iklim tropis yang lembab.

8
5. Penebalan Unsur Dekoratif
Penebalan-penebalan sebagai unsur dekoratif yang mempertegas bentuk
elemen-elemen pendukung bangunan. Elemen penebalan ini juga sebagai elemen
yang memperkuat kesan kokoh pada bangunan.
6. Sabuk Bangunan
Sabuk berupa penebalan horizontal baik pada kaki bangunan (mempertegas
pemisahan bangunan dengan tanah) dan atap (mempertegas pemisahan pada badan
bangunan dengan atap).
7. Finishing Batu Alam
Pemakaian batu alam pada badan bangunan maupun kolom-kolom
merupakan adaptasi dengan budaya lokal yang memberikan keseimbangan dari
kekokohan bangunan dengan melembutkan dengan batu alam. Batu alam sebagai
elemen bangunan Kolonial menunjukkan sisi natural bangunan sehingga sangat
lekat dengan kekayaan alam lokal.

9

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai Kajian Konsep Kolonial pada Desain Lanskap Jalan ini
dilakukan pada jalan protokol kota Bogor yang berkarakter colonial, yaitu Jalan
Jenderal Ahmad Yani, Sudirman, Kapten Muslihat, Ir. H. Djuanda, dan Otto
Iskandardinata (Gambar 2). Penelitian ini dimulai pada Agustus 2013 sampai
Desember 2014.

Gambar 2 Peta orientasi lokasi penelitian
Metode Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif melalui survei
lapangan, penelusuran informasi sejarah, dan penelitian berbasis foto. Sumber
informasi yang didapat dapat diketahui melalui penelusuran sumber tertulis dan
tidak tertulis (Gottschalk 1983). Beberapa langkah penting dalam penelitian ini
yaitu:
1) tahapan persiapan: pemilihan dan penetapan subjek yang diteliti, yaitu desain
lanskap, elemen-elemen penting lanskap jalan, dan pola tata letak elemen
lanskap jalan,
2) tahapan pengumpulan data: sumber informasi untuk mendukung dan
mendefinisikan subjek yang diteliti melalui observasi lapang dan penelusuran
sejarah berupa informasi tekstual dan dokumentasi foto (diperoleh dari ANRI,
PNRI, perpustakaan perguruan tinggi Belanda dan museum Belanda),
3) tahapan pengolahan data terhadap butir (2),
4) tahapan analisis terhadap butir (2 dan 3) dalam koridor butir (1), dan menarik
kesimpulan dari hasil analisis pada butir (2) yang dapat mewakili hasil kajian.

10
Kerangka Kerja
Berdasarkan langkah-langkah tersebut, maka disususn kerangka kerja sebagai
tahapan penelititan yang dilatarbelakangi oleh terbatasnya informasi mengenai
lanskap jalan kota Bogor pada masa kolonia Belanda, sehingga perlu dilakukan
penelitian dengan langkah awal meliputi kegiatan observasi lapang, penelusuran
sejarah, dan studi literatur. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini akan diperoleh
informasi mengenai desain kolonial lanskap jalan kota Bogor yang dilakukan
melalui observasi lapang dan penelusuran sejarah. Dari langkah penelitian melalui
studi literatur akan diperoleh informasi terkait secara teori mengenai desain lanskap
jalan bergaya kolonial, karakter elemen-elemen penting didalamnya. Dari
keseluruhan informasi tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk mendapatkan
hubungan yang saling keterkaitan untukmemperkuat pemahaman mengenai
kekhasan desain lanskap jalan bergaya kolonial dan karakter elemen-elemen
pendukungnya.
Observasi
Lapang

Penelusuran
Sejarah

Studi Literatur

Desain lanskap
jalan kota Bogor
dan karakter
elemen-elemen
pelengkapnya

Desain lanskap
jalan kota Bogor
dan karakter
elemen-elemen
pelengkapnya

Desain lanskap
jalan dan
elemen-elemen
pelengkapnya
pada masa
kolonial Belanda

Analisis
Sintesis
Konsep desain lanskap jalan
bergaya kolonial Belanda
Gambar 3 Tahapan penelitian
Tahap Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahap awal sebelum penelitian dimulai atau
disebut dengan tahap persiapan yang meliputi perumusan masalah dan penetapan
tujuan kajian konsep kolonial pada desain lanskap jalan kota Bogor, dilanjutkan
dengan mengumpulkan data-data sekunder mengenai lanskap jalan kota Bogor.

11
Tahap Pengumpulan Informasi
Tahap ini ditujukan untuk mendokumentasikan informasi yang diperoleh
melalui observasi lapang, penelusuran sejarah, dan studi literatur. Secara rinci
adalah sebagai berikut:
a. Observasi lapang. Cara ini dilakukan untuk mengetahui desain lanskap jalan
kota Bogor pada saat ini di kelima jalan yang menjadi objek penelitian, yaitu
jalan J. Ahmad Yani, Sudirman, Ir. Djuanda, Kapten Muslihat, dan Otto
Iskandardinata.
b. Penelusuran sejarah. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan informasi melalui
penelusuran dokumen-dokumen atau arsip penting dan informasi yang
diperoleh dari badan pengarsipan milik negara, ANRI (Arsip Nasional
Republik Indonesia) serta koleksi perpustakaan dalam (Perpustakaan Negara
RI) maupun luar negeri (Perpustakaan perguruan tinggi dan museum Belanda)
mengenai lanskap jalan kota Bogor pada masa kolonial Belanda.
c. Studi literatur. Cara ini dilakukan untuk menelususri sumber-sumber tertulis.
Sumber-sumber tertulis tersebut dapat berupa literatur pustaka yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Deskripsi Informasi
Pada tahap ini, informasi dideskripsikan dengan melihat hubungan
keterkaitan antara informasi satu dengan yang lainnya secara tepat. Informasi yang
diambil pada tahap pengumpulan informasi disajikan dalam bentuk data spasial dan
deskriptif (Tabel 3).
Tabel 3 Jenis, bentuk, dan sumber data
Jenis Data
Bentuk Data
Sumber Data
Desain lanskap jalan
Deskriptif dan Ilustratif
Penelusuran sejarah dan
kolonial kota Bogor
studi literatur
Pola tata letak elemenDeskriptif dan spasial
Observasi lapang,
elemen utama dan
penelusuran sejarah, dan
pelengkap lanskap jalan
studi literatur
kota Bogor
Desain elemen-elemen
Deskripti dan ilustratif
Penelusuran sejarah dan
penting lanskap jalan
studi literatur
kolonial
Karakteristik elemenDeskriptif
Penelusuran sejarah dan
elemen lanskap jalan
studi literatur
kolonial kota Bogor
Analisis Informasi
Pada tahap ini, analisis informasi yang dilakukan adalah memeriksa dan
mengevaluasi informasi dengan faktor-faktor lainnya. Adapun hal-hal yang
dilakukan pada tahap analisis ini, seperti tahap klasifikasi data, pembagian tingkat
pentingnya informasi dan hubungan keterkaitan dengan informasi lainnya. Tahap
ini dilakukan pembahasan secara mendalam.

12
Sintesis dan Konsep
Tahap ini merupakan tahap penjabaran dari hasil analisis untuk mengetahui
kekhasan pola tata ruang dan elemen-elemen penting pembentuk lanskap jalan
bergaya kolonial Belanda. Aspek-aspek penting tersebut disusun menjadi satu
konsep yang dapat dijadikan dasar dalam mendesain lanskap jalan yang bertemakan
masa kolonial Belanda.
Batasan Penelitian
Penelitian mengenai Kajian Konsep Kolonial pada Desain Lanskap Jalan
Kota Bogor ini bersifat penelitian mendasar untuk merumuskan kembali secara
umum konsep kolonial pada desain lanskap jalan kota Bogor. Objek penelitian
difokuskan pada objek lanskap jalan utama kota Bogor terutama yang berkarakter
kolonial. Hasil akhir dari penelitian ini berupa formulasi konsep desain lanskap
jalan kolonial dalam bentuk uraian deskriptif dan desain lanskap jalan berkarakter
kolonial.

13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Tapak
Awal kedatangan bangsa Belanda ke Kota Bogor adalah melalui kegiatan
ekspedisi yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada tahun 1687. Mereka
menemukan catatan mengenai kota Bogor yang waktu itu bernama Pakuan.
Kemudian mereka melakukan penelitian atas Batutulis dan beberapa situs lainnya
dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan kerajaan Pajajaran (Pakuan) terletak
di Kota Bogor.
Pada tahun 1745, seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang
menghubungakan Batavia dengan Bogor Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron
van Imhoff membangun Istana Bogor. Pembangunan tersebut merupakan bagian
dari perencanaan Kota Bogor sebagai tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal.
Selain menjadi tempat peristirahatan, Kota Bogor juga direncanakan menjadi
daerah pertanian. Melalui pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun
mulai berkembang (S. Danasasmita, 1983).
Pada perkembangannya Kota Bogor tidak hanya kedatangan bangsa EropaBelanda tetapi juga etnis lainnya seperti Tionghoa dan Arab. Ketika itu, Kebijakan
kolonial Belanda yang berkuasa menetapkan sebuah aturan yang disebut sebagai
wijkenstelsel atau kebijakan pemukiman berdasarkan etnis. Aturan tersebut
menyebabkan masyarakat Kota Bogor tinggal dan menetap berdasarkan etnisnya
masing-masing. Saat itu, orang Tionghoa menduduki daerah sepanjang jalan raya
Surya Kencana hingga tanjakan Soekahati (Empang), sedangkan orang Arab
menetap disekitar daerah Soekahati atau Empang. Khusus untuk orang-orang Eropa
menempati kawasan dari jalan raya A.Yani, Sudirman hingga daerah lingkar Kebun
Raya (Universitas Parahyangan, 1985-1986).
Hasil Penelusuran Sejarah
Pada masa kolonial Belanda, jalan-jalan di kota Bogor dibangun beriringan
dengan pembangunan Istana Bogor. Saat itu Istana Bogor diperuntukkan sebagai
tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff dan
sebagai jantung kota. Oleh karena itu, pembangunan jalan di kota Bogor
berorientasi pada Istana Bogor. Jalan-jalan dibuat mengitari dan memusat pada
Istana Bogor. Kelima jalan yang menjadi objek penelitian ini, yakni jalan A.Yani,
Sudirman, Djuanda, K.Muslihat, dan Otto Iskandardinata merupakan sebagian dari
jalan-jalan yang dibangun di masa kolonial Belanda.
Hasil penelusuran sejarah terhadap kelima jalan yang menjadi objek
penelitian memperlihatkan desain lanskap pada masa kolonial Belanda.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa bagian utama dari lanskap jalan pada
masa itu umumnya hanya berupa badan jalan dan jalur hijau saja. Namun, selain
elemen utama jalan juga terdapat unsur lain yang memlengkapi lanskap jalan, yakni
elemen-elemen pelengkap jalan seperti, lampu, pagar pembatas, jembatan, shelter,
petunjuk jalan, dll. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kini nuansa
kolonial pada lanskap jalan kota Bogor kini lebih bernuansa modern. Pada hal
bangunan-bangunan bergaya kolonial masih tegak berdiri sehingga terlihat
ketidakharmonisan antara arsitektur bangunan dan lanskapnya.

14
Berdasarkan hasil penelusuran sejarah, pada lima jalan yang menjadi objek
penelitian ini terdapat persamaan yang mendasar mengenai elemen utama lanskap
jalan. Dari lima jalan yang diteliti ternyata kelimanya terdiri dari badan jalan dan
dua jalur hijau. Pada lima jalan yang diteliti terdapat jalur jalan, bahu jalan dan
sebagian memiliki saluran drainase. Adanya persamaan mengenai elemen utama
jalan pada kelima jalan tersebut tidak mengisyaratkan adanya kesamaan pula pada
elemen pelengkapnya ataupun kelengkapannya (Tabel 4). Beragam elemen
pelengkap tidak di setiap jalan ada atau tersedia secara lengkap. Tidak hanya dari
kelengkapan elemen utama dan pelengkapnya saja., perbedaan dari kelima jalan
yang menjadi objek penelitian ini juga dapat terlihat dari pola tata ruang dan desain
elemennya baik bentukan, material, maupun peletakannya.
Selain elemen utama dan elemen pelengkap jalan terdapat satu unsur
lainnya yang memberikan nilai penting dalam lanskap jalan bergaya kolonial
Belanda, yakni bangunan-bangunan disekitar jalan yang juga mewakili zaman
kolonial Belanda. Keberadaan bangunan bersejarah tersebut memberikan suasana
khas era kolonial Belanda.
Tabel 4 Perbandingan kelengkapan elemen-elemen lanskap jalan
Nama Jalan
No.
Elemen Lanskap Jalan
Ideal
1* 2* 3* 4*
1 Elemen
Jalur Jalan





Utama
Bahu





Jalan
Jalur Hijau





Median

x
x
x
x
Trotoar/pedestrian

x
x
x
x
Saluran Drainase


x

x
Traffic Island
Optional x

x
x
2 Elemen
Lampu

x



Pelengkap Halte/Shelter

x
x
x
x
Jalan/Street Bak Sampah

x
x
x
x
Furniture
Pos Jaga

x
x

x
Rambu

x
x
x
x
City Map

x
x
x
x
Bollard

x
x

x
Pagar pembatas

x



Papan Iklan

x
x
x
x
Bangku

x
x

x
Pot/Bak Tanaman

x
x
x
x
Kotak Pos
Optional x
x
x
x
Telepon Umum

x
x
x
X
Public Art
Optional x

X
X
Optional x
x
X
Tree Grate
X
Street Sign


x
X
X
*1: Jln.A.Yani; 2: Jln.Sudirman; 3: Jln.Juanda; 4: Jln.K.Muslihat; 5: Jln.Otto Iskandardinata

5*



x
x

x

x
x
x
x
x
x

x
x
x
x
x
x
x
x

15
Karakter Elemen Utama dalam Pola Tata Ruang Lanskap Jalan
Sebuah jalan idealnya terdiri atas jalur jalan, bahu jalan, jalur hijau, median
jalan, trotoar/pedestrian, dan saluran drainase. Namun, pada zaman kolonial
Belanda komponen utama lanskap jalan kota Bogor memiliki cukup perbedaan bila
dibandingkan dengan lanskap jalan saat ini. Hal ini tentunya karena adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti pengaruh budaya kolonialisme
Belanda, belum berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan
masyarakat asli kota Bogor pada saat itu. Berikut ini dijelaskan karakter elemen
utama dalam pola tata ruang lanskap di masing-masing jalan (Tabel 5).
Tabel 5 Tata letak, karakter, dan material jalan di kota Bogor pada zaman kolonial
No.
1

Nama
Jalan
Kapten
Muslihat
(Bantamm
er Weg)

2

Ir.
Djuanda
(Groote
Weg)

3

Sudirman

4

Otto
Iskandar
Dinata

5

Ahmad
Yani

Tata Letak

Karakter

Material

Memiliki bahu
jalan di kiri dan
kanan dan diapit
oleh dua ruang
terbuka hijau
(RTH).
Jalan ini diapit
oleh dua jalur
hijau.

Lebar Jalan ±8m dan bahu
jalannya ±1m di sebelah kiri
dan kanan jalan.
perkerasannya menggunakan
teknik telford-macadam

Tanah dan
Batu

Lebar Jalan ±10m (termasuk
bahu jalan) dan bahu jalannya
±1m. Dalam badan jalan di
salah satu sisinya terdapat
sederet lampu jalan.

Batu dan
Tanah

Lebar Jalan ±10m (termasuk
bahu jalan) dan bahu jalannya
±1m.

Tanah dan
Batu

Lebar jalan ±10m (termasuk
bahu jalan) dan bahu jalannya
±1m.

Tanah dan
Batu

Lebar Jalan ±8m. Di sepanjang
jalan ini terutama di sisi
sebelah kanan jalan terdapat
sederetan tiang bendera
terkait keperluan arena
pacuan kuda Kemudian di sisi
kiri jalan terdapat sederet
tiang-tiang instalasi listrik.

Tanah dan
Batu

Jalan ini diapit
oleh dua ruang
terbuka hijau
(RTH).
Jalan ini diapit
oleh dua jalur
hijau dan
memiliki satu
saluran drainase
di salah satu
sisinya.
Jalan diapit oleh
dua saluran
drainase buatan
berukuran kecil
dan diapit oleh
dua jalur hijau.

16
Jalan J. Ahmad Yani (Bataviasche Weg)
Pada masa kolonial Belanda Jalan Jendral Ahmad Yani bernama
Bataviasche Weg. Jalan Ahmad Yani ini memanjang dari selatan ke arah utara kota
Bogor. Jalan Ahmad Yani memiliki topografi mikro yang cukup bergelombang. Hal
ini yang menyebabkan bentukan lanskap jalannya pun cukup berbeda dengan
lanskap jalan lainnya di kota Bogor. Badan jalan pada jalan ini berada pada level
yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan di sisi kiri dan kanannya. Dari
penampakan lanskap jalannya (Gambar 4 dan 5) terlihat adanya proses cutting
dalam pembukaan jalan tersebut.

Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 4 Suasana Jalan J. Ahmad Yani tahun 1904

Gambar 5 Potongan Jalan Jendral Ahmad Yani
Jalan Jendral Ahmad Yani terdiri dari satu badan jalan dan dua jalur hijau.
Badan jalan diapit oleh kedua jalur hijau tersebut. Lebar badan jalan pada jalan
Ahmad Yani sekitar 8 meter. Di antara badan jalan dan jalur hijau terdapat saluran

17
drainase terbuka yang berfungsi untuk menampung air hujan yang jatuh di area di
sepanjang jalan. berdasarkan penampang melintangnya Jalan Jenderal Ahmad Yani
termasuk dalam tipe jalan tipikal tanpa median, tanpa trotoar dan diapit oleh lereng
(Tata Cara Perencanaan Geometrik jalan Antar Kota, Direktorat Jenderal Bina
Marga tahun1997). Pada kasus jalan J. A Yani, lereng tersebut dimanfaatkan
sebagai jalur hijau jalan (Gambar 6).

Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Direktorat Jenderal Bina
Marga 1997

Gambar 6 Penampang melintang jalan tipikal
Dua jalur hijau pada Jalan J. A.Yani berada ± 1 meter dari level badan jalan.
Sisi jalur hijau yang berbatasan langsung dengan badan jalan dibuat menjadi
cembungan dan ditanami oleh rumput sebagai penutup tanah. Bagian dari jalur
hijau yang membentuk cembungan itu disebut Berm. Pada kedua jalur hijau ini
terdapat sederet pohon tinggi yang menaungi jalan dari terik matahari. Dari
penelitian yang di lakukan terhadap data-data jalan ini didapatkan bahwa pada masa
kolonial di Jalan J. A.Yani menggunakan Canarium indicum atau pohon Kenari
sebagai pohon penaung dan pengarah jalan. Pada awalnya pohon kenari ini ditanam
sebagai penanda batas lahan perkebunan karet di Jalan Jenderal Ahmad Yani
(Harian Republika, 2013). Selain pohon kenari di sepanjang Jalan J. A.Yani juga
terdapat semak berukuran sedang yang digunakan sebagai Barrier. Tanam semak
sedang ini membatasi area pacuan kuda dengan jalur hijau jalan. Tanaman semak
sedang ini berdaun kecil dan sejenis herba.
Pada sepanjang bahu jalan sisi timur terdapat sederet tiang instalasi listrik,
sedangkan pada sepanjang bahu jalan di sisi barat kiri jalan terdapat tiang-tiang
bendera dan umbul-umbul. Keberadaan elemen tersebut menjadi elemen dekoratif
bagi kawasan lapangan pacuan kuda. Lapangan pacuan kuda ini tepat berada di
sebelah Barat Jalan Jenderal Ahmad Yani (Gambar 7). Pada zaman kolonial
Belanda lapangan pacuan kuda ini bernama De Renbaan. Bukan hanya lapangan
pacuan kuda, pada Jalan A.Yani juga terdapat kawasan pemukiman bangsa Eropa
yang letaknya lebih ke arah utara dari lapangan pacuan kuda.

18

Suasana Welcom Area De Renbaan

Kereta Kuda Bangsawan Belanda memasuki
Arena Pacuan Kuda
Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 7 De Renbaan-Lapangan pacuan kuda di Jalan Jenderal A.Yani
Jalan J. Sudirman
Jalan Jenderal Sudirman merupakan jalan yang menghubungkan jalan
J.A.Yani dengan Jalan Ir. Djuanda. Di sebelah utara jalan terdapat Tugu Air Mancur
(Gambar 8) dan di sebelah selatan jalan terdapat Istana Bogor. Lebar Jalan J.
Sudirman lebih panjang dibandingkan dengan jalan A.Yani, yaitu sekitar 10 m.
Berbeda dengan Jalan A.Yani, Jalan Sudirman memiliki permukaan yang cukup
datar sehingga elemen utama dan elemen pelengkap jalan berada pada level
ketinggian yang sama. Dari dokumentasi tahun 1870 terlihat bahwa lahan datar
pada sisi barat jalan dipergunakan sebagai lahan garapan warga. Lahan garapan
tersebut berbatasan langsung dengan jalur hijau jalan.

19

Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 8 Tugu Air Mancur di perbatasan Jalan A.Yani dan Sudirman (1921)
Jalan Sudirman terdiri dari satu badan jalan dan dua jalur hijau (Gambar 9
dan 10). Badan jalan J. Sudirman pada masa kolonial belum menggunakan material
aspalt ataupun beton, tetapi menggunakan batu, tanah dan pasir. Jalan ini terdiri dari
dua jalur yang biasanya dilalui oleh penunggang kuda, dokar, gerobak dan pejalan
kaki. Pada dokumentasi tahun 1870, pada Jalan Sudirman belum terdapat lampu
jalan. Namun pada dokumetasi tahun 1900an sudah terdapat lampu penerang jalan.
Desain lampu tersebut bergaya klasik victorian. Desain lampu ini juga digunakan
di jalan-jalan lain di kota Bogor pada saat itu.

Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 9 Suasana Jalan Sudirman Tahun 1870

20

Gambar 10 Potongan Jalan Jendral Sudirman
Dari data tahun 1870, Jalan Sudirman belum memiliki pedestrian atau jalur
khusus untuk pejalan kaki. Namun pada dokumentasi tahun 1900an ditemukan satu
perlakuan istimewa bagi pejalan kaki. Perubahan wajah jalur hijau di Jalan
Sudirman terjadi di awal abad 19 (Gambar 10). Dari dokumentasi yang didapat
terlihat bahwa di awal abad 19 terdapat pembatas yang membatasi antara jalur
pengendara alat transportasi dan pejalan kaki. Pembatas ini berupa tiang-tiang
pendek yang dipasang memanjang di sisi barat jalan Sudirman secara beraturan
dengan jarak tertentu (±3m). Pada dokumentasi tersebut juga ditemukan bentuk
klasik dari papan nama jalan yang berada di sisi barat jalan (Gambar 10). Selain itu,
pada tahun 1870 di sisi kiri dan kanan jalan tidak ditemukan saluran drainase.

Sumber: bogorentrance.blogspot.com

Gambar 10 Awal mula keberadaan jalan khusus pejalan kaki pada awal abad 19

21
Dua jalur hijau di Jalan Sudirman mengapit jalan utama. Berdasarkan
dokumentasi tahun 1870, badan jalan dan jalur hijau Jalan J. Sudirman dipisahkan
oleh dinding pemisah. Dinding pemisah tersebut pada kedua sisi jalan memiliki
tinggi yang berbeda. Tinggi dinding pemisah di sisi timur lebih tinggi dibandingkan
dengan dinding pemisah di sisi barat jalan. Dinding pemisah ini terbuat dari
tumpukan batu kali berukuran sedang dan menggunakan tanah sebagai perekatnya.
Pemakaian tanah sebagai media perekat menyebabkan pada sebagaian dinding
ditumbuhi dan tertutup oleh tumbuhan liar.
Jalur hijau pada Jalan Sudirman di tahun 1800an berbeda dengan jalur hijau
pada Jalan Ahmad Yani. Pada jalur hijau tidak ditemukan variasi strata vegetasi.
Pada saat itu jalur hijau jalan Sudirman hanya menggunakan kombinasi pohon
(Pohon Kenari) dan tanaman penutup tanah (Rumput Gajah).
Jalan Ir. Djuanda
Jalan Ir. Djuanda merupakan salah satu jalan yang berada di lingkar Kebun
Raya. Pada masa kolonial Belanda, Jalan Ir. Djuanda bernama Grote Weg (Gambar
12). Pada jalan ini terdapat bangunan-bangunan penting seperti, gedung balai kota,
Istana Negara, Gereja Zebaoth, dan beberapa bangunan lainnya. Bangunanbangunan tersebut merupakan bangunan peninggalan pada zaman kolonial Belanda
dan sampai saat ini masih kokoh berdiri.
Pola tata ruang jalan Ir. Djuanda tidak jauh berbeda dengan jalan-jalan
lainnya di kota Bogor. Jalan Ir.Djuanda terdiri dari satu badan jalan dan dua jalur
hijau (Gambar 13). Satu badan jalan tersebut digunakan untuk dua jalur. Pada
zaman kolonial jalur hijau di sepanjang jalan Ir.Djuanda terdapat pohon Kenari
yang tergolong adalan pohon tinggi. Pohon tinggi ini dikombinasikan dengan
tanaman semak tinggi.

Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 12 Jalan Ir.Djuanda pada tahun 1870-1914

22

Gambar 13 Potongan Jalan Ir. Djuanda
Jalan Ir. Djuanda memiliki spesifikasi lebar Jalan ±10m (termasuk bahu
jalan) dan bahu jalannya ±1m. Pada zaman kolonial jalan Djuanda menggunakan
material batu dan tanah dengan teknik telford-macadam. Berdasarkan data
penelusuran sejarah, pada akhir abad 18 sudah terdapat tiang-tiang instalasi listrik
di jalan ini. Selain itu, di salah satu sisi badan jalannya terdapat sederet lampu jalan
untuk keperluan penerangan jalan saat malam hari.
Pada masa kolonial Belanda kendaraan yang lalu lalang di jalan Ir.Djuanda
hanya berupa kendaraan tradisional, yaitu kuda, gerobak dan delman. Selebihnya
masyarakat yang lalu lalang hanya dengan berjalan kaki. Namun, pada
tahun 1870-1914 belum terdapat jalur khusus bagai pejalan kaki.
Jalan Kapten Muslihat dan Jembatan Merah
Jalan Kapten Muslihat merupakan jalan yang menghubungkan antara Jalan
Ir. Djuanda dengan Panaragan. Pada masa kolonial Belanda, jalan ini bernama
Bantammer Weg (Gambar 14). Di jalan ini terdapat Stasiun, yakni Stasiun Bogor.
Keberadaan stasiun menandakan bahwa jalan Kapten Muslihat merupakan portal
bagi masyarakat untuk keluar masuk kota Bogor. Selain stasiun Bogor, dulu di jalan
ini juga terdapat taman bernama Wilhelmina yang kini menjadi Taman Ade Irma
Suryani.
Jalan Kapten Muslihat memiliki satu badan jalan, dua jalur jalan, dan dua
jalur hijau. Jalan ini memiliki lebar sekitar 8m. Lebar jalan ini terbilang lebih sempit
dibandingkan jalan lainnya. Lampu jalan berada di sisi kiri dan kanan jalan. Tinggi
lampu tersebut ±3m. Desain Lampu Jalan Kapten Muslihat sama dengan desain
lampu pada jalan lainnya.

23

Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 14 Bantammer Weg atau Jalan Kapten Muslihat tahun 1900

Gambar 15 Potongan Jalan Kapten Muslihat
Jalur hijau jalan ini memiliki kombinasi antara tanaman penutup tanah,
semak dan pohon. Pada sisi jalan sebelah timur menggunakan kombinasi pohon,
semak tinggi (perdu), dan tanaman penutup tanah (rumput). Sedangkan pada sisi
jalan sebelah barat menggunkan kombinasi pohon, semak rendah (tanaman herba),
dan tanaman penutup tanah (rumput). Pohon yang digunakan pada masa itu adalah
pohon kenari atau Cannarium Indica, sedangkan semak yang digunakan semak
tinggi berciri-ciri berdaun lebar dan tinggi 2-3 m dan semak rendah berciri-ciri
berdaun sempit (kecil) dan termasuk tanaman herba (tidak berkayu).
Jalan Kapten Muslihat dilalui oleh satu sungai, yakni sungai Cibalok. Oleh
karena itu, di jalan ini terdapat jembatan sebagai media penghubung jalan. jembatan
tersebut bernama Jembatan Merah (Gambar 16 dan 17). Bergaya klasik Eropa
dengan arc atau lengkungan di bagian bawah jembatan. Jembatan ini menggunkan
material batu bata dan batu alam. Material itu dibuat terekspose untuk menonjolkan
teksturnya.

24

Sumber: Digital media library of KITLV

Gambar 16 Jembatan merah di ujung u