Pengujian in vivo terhadap efikasi formula jamu antidiabetes dan analisis sidik jari kromatografinya

PENGUJIAN IN VIVO TERHADAP EFIKASI FORMULA
JAMU ANTIDIABETES DAN ANALISIS SIDIK JARI
KROMATOGRAFINYA

HANIFULLAH HABIBIE

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengujian In Vivo
Terhadap Efikasi Formula Jamu Antidiabetes dan Analisis Sidik Jari
Kromatografinya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Hanifullah Habibie
NIM G44100098

ABSTRAK
HANIFULLAH HABIBIE. Pengujian In Vivo Terhadap Efikasi Formula Jamu
Antidiabetes dan Analisis Sidik Jari Kromatografinya. Dibimbing oleh LATIFAH
K DARUSMAN dan RUDI HERYANTO.
Pengujian in vivo khasiat suatu formula jamu penting dilakukan sebelum
dikonsumsi oleh manusia. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan khasiat
antidiabetes dari formula jamu biofarmaka secara in vivo dan menentukan profil
sidik jari formula tersebut dengan analisis kromatografi. Uji in vivo menggunakan
mencit yang diinduksi diabetes dengan streptozotosin. Efektivitas formula jamu
dalam menurunkan kadar gula darah mencit dibandingkan dengan kontrol positif
metformin. Berikutnya, metode kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT) digunakan untuk menghasilkan profil sidik jari
formula jamu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula jamu biofarmaka
dapat menurunkan kadar gula darah mencit diabetes selama perlakuan. Hasil

penurunan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Kromatogram KLT
formula jamu yang dielusi dengan toluena:aseton:asam asetat menunjukkan 5 pita
yang terpisah dengan baik. Adapun analisis KCKT dengan elusi gradien fase
terbalik dan fase gerak air:asetonitril dapat menghasilkan pola kromatogram yang
dapat berfungsi sebagai sidik jari formula jamu.
Kata kunci: analisis sidik jari, jamu antidiabetes, metformin, streptozotosin

ABSTRACT
HANIFULLAH HABIBIE. In Vivo Anti-diabetic Assay of Jamu Formula and Its
Chromatographic Fingerprint Analysis. Supervised by LATIFAH K
DARUSMAN and RUDI HERYANTO.
In vivo assay of a jamu formula's efficacy is necessary before it is consumed
by human. The aims of this study were proving the efficacy of biopharmaca antidiabetic jamu formula by in vivo assay and determine the formula fingerprint
profiles with chromatographic analysis. In vivo assay was done using mice which
were diabetic-induced by streptozotocin. The effectiveness of jamu formulas in
reducing the mice blood sugar level was compared with metformin as a positive
control. The fingerprint profiles of jamu formula were further generated by thin
layer chromatography (TLC) and high performance liquid chromatography
(HPLC) methods. The results showed that the formula of biopharmaca jamu could
reduce the blood sugar levels during treatment. The result of this reduction was

not significantly different to that of the positive control. TLC chromatogram jamu
formula eluted using toluene:acetone:acetic acid showed 5 well-separated spots.
The HPLC analysis with phase-reversed gradient elution and mobile phase of
water:acetonitrile gave the chromatogram patterns which can serve as fingerprints
of jamu formulas.
Keywords: anti-diabetic jamu, fingerprint analysis, metformin, streptozotocin

PENGUJIAN IN VIVO TERHADAP EFIKASI FORMULA
JAMU ANTIDIABETES DAN ANALISIS SIDIK JARI
KROMATOGRAFINYA

HANIFULLAH HABIBIE

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pengujian In Vivo Terhadap Efikasi Formula Jamu Antidiabetes
dan Analisis Sidik Jari Kromatografinya
Nama
: Hanifullah Habibie
NIM
: G44100098

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Latifah K Darusman, MS
Pembimbing I

Rudi Heryanto, SSi MSi
Pembimbing II


Diketahui oleh

Prof Dr Dra Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah skripsi dengan judul
Pengujian In Vivo Terhadap Efikasi Formula Jamu Antidiabetes dan Analisis
Sidik Jari Kromatografinya.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu dan memberikan bimbingan kepada penulis selama kegiatan penelitian
dan penulisan skripsi. Secara khusus kepada Ibu Prof Dr Ir Latifah K Darusman,
MS dan Bapak Rudi Heryanto, SSi MSi selaku pembimbing. Selain itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada drh Aidell, drh Dian, dan Pak Mulyadi
yang telah membantu selama pengujian in vivo; Mas Antonio, Mbak Laela, dan
Mas Endi yang membantu teknis saat analisis KLT dan KCKT. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Unit Kandang Hewan Percobaan Pusat Studi

Biofarmaka IPB (UKHP-PSB IPB) yang memberikan izin bagi penulis untuk
menggunakan fasilitas penelitian di sana.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua, keluarga dan
para sahabat yang telah memberikan dukungan moral dan materil selama kegiatan
penelitian tugas akhir. Ucapan terima kasih juga untuk CSR PT Adaro Indonesia
yang selama ini memberikan dukungan finansial dan motivasi selama menjalani
kegiatan akademik di IPB. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat
sebesar-besarnya.

Bogor, Juli 2014
Hanifullah Habibie

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi


DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2


METODE

2

Alat dan Bahan

2

Prosedur Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Induksi Hiperglikemia Hewan Uji Menggunakan STZ

7


Profil Kadar Gula Darah Mencit Pada Masa Perlakuan

8

Analisis Sidik Jari KLT Ekstrak Jamu Antidiabetes

9

Analisis Sidik Jari KCKT Ekstrak Jamu Antidiabetes
SIMPULAN DAN SARAN

13
16

Simpulan

16

Saran


16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.


Rerata kadar gula darah hewan uji praperlakuan dan pada masa
perlakuan
Jumlah pita dan nilai Rf pita hasil pemisahan komponen ekstrak jamu
antidiabetes menggunakan KLT pada fase gerak terbaik
Parameter kondisi analisis KCKT terhadap ekstrak jamu antidiabetes

9
12
14

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Hipotesis struktur komposisi jamu (Pusat Studi Biofarmaka)
Struktur kimia streptozotocin (Elsner 2000)
Profil sidik jari KLT ekstrak jamu dan densitogram hasil pengolahan
perangkat lunak ImageJ
Profil KLT ekstrak jamu antidiabetes yang dielusi menggunakan fase
gerak komposisi 1-4
Profil KLT ekstrak jamu antidiabetes yang dielusi menggunakan fase
gerak tunggal
Profil sidik jari KLT ekstrak jamu dan densitogram hasil pengolahan
perangkat lunak ImageJ pada fase gerak tunggal
Kromatogram KCKT hasil elusi menggunakan kondisi 2

1
7
11
11
12
13
15

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Bagan alir penelitian (Pengujian in vivo)
Bagan alir penelitian (lanjutan)
Kadar gula darah mencit praperlakuan dan selama masa perlakuan
Uji ANOVA dan uji berganda Duncan terhadap kadar gula darah
mencit praperlakuan
Kadar gula darah mencit yang digunakan dalam analisis statistika
Profil rerata kadar gula darah mencit selama masa perlakuan
Uji berganda Duncan terhadap kadar gula darah mencit setelah masa
perlakuan
Kromatogram hasil analisis ekstrak jamu antidiabetes dengan KCKT

20
21
22
23
23
24
24
25

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit yang disebabkan terhambatnya
sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin terhadap jaringan target untuk
menurunkan kadar gula darah. Penyakit ini dicirikan oleh gejala hiperglikemia
yang muncul akibat defisiensi insulin pada diabetes tipe 1 (T1D) atau resistansi
insulin pada diabetes tipe 2 (T2D) (Salek et al. 2007; Ugarte et al. 2012). Menurut
laporan WHO (World Health Organization), Indonesia menempati urutan ke-4
sebagai negara dengan penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, China,
dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita DM di Indonesia
mencapai 8.4 juta orang dan diprediksi akan meningkat menjadi 21.3 juta
penderita pada tahun 2030 (Wild et al. 2004). Penyakit diabetes tidak dapat
disembuhkan secara total. Penanganan medis yang dilakukan hanya untuk
menjaga kadar glukosa darah dapat dipertahankan pada kondisi normal (80-120
mg/dl) (Bailey & Day 2003). Selama ini penanganan diabetes umumnya
menggunakan obat-obatan sintetik oral seperti rosiglitazone (nama dagang:
Avandia), Metformin (nama dagang: Glucophage), sulfunilurea, glibenklamid,
akarbosa (Glucobay), Actos, dan lain-lain. Namun penggunaan obat sintetik ini
menimbulkan kekhawatiran akan efek samping yang dapat ditimbulkannya.
Misalnya penggunaan rosiglitazone yang diduga ikut berpengaruh pada
peningkatan risiko serangan jantung (Nissen & Wolski 2007) dan konsumsi
metformin yang berefek samping diare, sakit perut, serta pusing (Rayfield &
Valentine 2006). Hal ini mendorong dilakukannya penelitian-penelitian tentang
potensi penggunaan obat alami (herbal) sebagai antidiabetes.
Salah satu metode pengobatan berbasis tanaman herbal adalah jamu. Jamu
merupakan jenis pengobatan herbal yang berasal dari budaya Indonesia. Menurut
hipotesis Pusat Studi Biofarmaka (2011) dan penelitian Afendi et al. (2010),
struktur komposisi jamu terbagi dalam 4 fraksi yang menentukan khasiat atau
efikasinya (Gambar 1). Struktur tersebut terdiri atas 1 tanaman utama sebagai
penentu khasiat dan 3 tanaman pendukung dengan aktivitas farmakologis
antiinflamasi, antimikroba, dan analgesik. Ketiga aktivitas farmakologis tanaman
pendukung bersifat tetap sedangkan tanaman utama bersifat spesifik dan dinamis
tergantung target khasiatnya. Pola struktur jamu ini didasari oleh penelitian
Afendi et al. (2012) yang menggunakan 5310 formula jamu dari 550 jenis
tanaman dengan pendekatan statistik-bioinformatika dan dikompilasikan dalam

Gambar 1 Hipotesis struktur komposisi jamu (Pusat Studi Biofarmaka)

2
database KNApSAcK. Namun database ini masih dibangun berdasarkan
pendekatan teoritis sehingga dibutuhkan pengujian in vitro dan in vivo untuk
membuktikan kesahihannya. Beberapa peneliti seperti Rohmawati (2008), Aziza
(2012), dan Julianti (2012) telah berupaya mengkaji potensi antidiabetes secara in
vivo menggunakan ekstrak tanaman tunggal. Penelitian yang dilakukan oleh
Nurishmaya (2014) berupaya lebih jauh mengkaji aktivitas antidiabetes ini
berdasarkan hipotesis struktur jamu dan database KNApSAcK. Hasilnya adalah
formula jamu yang terdiri atas kombinasi 4 tanaman sebagai penyusun formula
jamu antidiabetes dan diujikan pada ikan zebra (Danio rerio) sebagai hewan
model. Formula jamu tersebut diprediksi memiliki aktivitas farmakologis
hipoglikemik yang dapat menurunkan kadar gula darah ikan zebra.
Pada penelitian ini efek jamu antidiabetes diujikan kepada mencit (Mus
musculus) jantan dewasa dan dilakukan analisis sidik jari ekstrak jamu tersebut
dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) serta Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT). Pengujian in vivo menggunakan mencit sebagai hewan uji lebih diakui
dalam dunia medis. Hal ini disebabkan mencit mampu merepresentasikan dengan
baik model sistematika asupan makanan dan metabolisme nutrisi tubuh manusia
(Sutardi 2010). Analisis sidik jari KLT dan KCKT ekstrak jamu dilakukan untuk
mendapatkan parameter yang menghasilkan pola sidik jari terbaik sehingga dapat
digunakan dalam kendali mutu jamu antidiabetes.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membuktikan khasiat antidiabetes dari formula jamu
biofarmaka secara in vivo dan menentukan profil sidik jari formula tersebut
dengan analisis kromatografi.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup preparasi ekstrak jamu, pengujian in vivo formula
jamu terhadap hewan uji, pemantauan kadar gula darah hewan uji, analisis sidik
jari ekstrak jamu dengan KLT dan KCKT, dan evaluasi statistik perubahan kadar
gula darah yang berkorelasi dengan efikasi formula jamu antidiabetes. Seluruh
perlakuan terhadap hewan uji dalam penelitian ini dilakukan dengan
memperhatikan aspek kesejahteraan hewan dan mengikuti pedoman etik
penggunaan hewan laboratorium serta didampingi oleh dokter hewan yang
berkompetensi.

METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah perangkat lunak SPSS 20 versi trial,
Minitab 16, GlucoDr Blood Glucose Test Meter Kit, Eppendorf tube 2 mL,
kandang mencit (beserta tempat makan dan minum), neraca analitik, vacuum
evaporator, surgical blade set, hot plate, syringe, CAMAG Linomat 5, CAMAG

3
Reprostar 3, dan seperangkat alat gelas. Bahan-bahan yang digunakan adalah
mencit jantan dewasa yang diperoleh dari BPOM RI, streptozotocin (STZ) dari
Sigma Aldrich, obat diabetes Glucophage, daun sembung (Blumea balsamifera),
batang brotowali (Tinospora crispa), rimpang jahe (Zingiber officinale), daun
pare (Momordica charantia), akuades, pakan standar mencit, dan kain blacu.

Prosedur Penelitian
Penelitian akan dilakukan dalam beberapa tahap yaitu preparasi ekstrak
jamu, pembuatan pakan jamu dan obat, preparasi hewan uji, pengujian formula
jamu terhadap hewan uji, pemantauan kadar gula darah hewan uji, analisis sidik
jari ekstrak jamu dengan KLT dan KCKT, dan evaluasi statistik kadar gula darah
hewan uji.
Preparasi Ekstrak Jamu Antidiabetes
Jamu antidiabetes dibuat berdasarkan salah satu formula terbaik yang
dihasilkan dari penelitian Nurishmaya (2014). Ramuan ini terdiri atas daun pare
(Momordica charantia), daun sembung (Blumea balsamifera), rimpang jahe
(Zingiber officinale), dan batang brotowali (Tinospora crispa). Tanaman
brotowali berperan sebagai tanaman utama yang memiliki aktivitas farmakologis
hipoglikemik, sedangkan ketiga tanaman lainnya sebagai tanaman pendukung
pada ramuan jamu sebagaimana hipotesis Pusat Studi Biofarmaka (2011).
Simplisia tanaman terpilih diperoleh dari Kebun Percobaan Biofarmaka IPB
dan Kebun Balittro Bogor. Sampel dipotong kecil-kecil dan dikeringkan di oven.
Setelah itu, sampel digiling hingga berbentuk serbuk halus. Serbuk tanaman
tersebut masing-masing ditimbang dan dicampurkan sesuai komposisi jamu
sehingga diperoleh bobot total 400 gram. Setelah itu, setiap campuran dimasukkan
ke dalam gelas piala lalu ditambahkan akuades 2800 mL dan dididihkan selama 1
jam atau hingga pelarut tinggal setengahnya. Ekstraksi dilakukan dengan teknik
penggodokan tanpa refluks. Hal ini dianalogikan seperti proses pembuatan jamu
gendong tradisional yang umumnya menggunakan metode perebusan. Selanjutnya
jamu disaring menggunakan kain blacu untuk memisahkan filtrat dengan ampas.
Ampas diekstraksi kembali hingga 2 kali ulangan. Proses ini diulangi hingga 5
batch ekstraksi. Filtrat jamu dikumpulkan lalu dipekatkan menggunakan vacuum
evaporator, sedangkan ampas dibuang. Ekstrak kering akan digunakan untuk
pembuatan pakan jamu.
Pemeliharaan dan adaptasi hewan uji (modifikasi Permana 2013)
Masa adaptasi dilakukan selama 1 minggu. Selama masa ini mencit diberi
pakan standar dan air minum secara ad libitum. Pakan diberikan sebanyak 4
g/ekor/hari. Mencit dibagi ke dalam 4 kelompok perlakuan yaitu (1) perlakuan uji
(P): mencit yang diinduksi diabetes lalu diberi pakan jamu; (2) kontrol positif
(KP) : mencit yang diinduksi diabetes lalu diberi pakan obat antidiabetes
Glucophage; (3) kontrol negatif (KN) : mencit yang diinduksi diabetes namun

4
tidak diberi jamu dan obat; (4) (N): mencit yang tidak diinduksi diabetes dan
diberikan pakan standar.
Mencit yang dipergunakan untuk perlakuan sebanyak 32 ekor
(n=8/kelompok). Kriteria hewan uji yang digunakan adalah mencit jantan ±2
bulan dengan bobot 20-40 g yang ditempatkan di dalam kandang pada lingkungan
Unit Kandang Hewan Percobaan Pusat Studi Biofarmaka IPB dengan temperatur
dijaga pada kisaran 22-26 °C dan pencahayaan 10:14 jam (terang:gelap).
Pemilihan mencit jantan didasarkan pada protokol Wu & Huan (2008) yang
menyatakan bahwa mencit betina kurang sensitif terhadap induksi hiperglikemia
oleh STZ. Jumlah hewan uji didasari oleh rumus Federer (Federer 1991) yang
menyaratkan jumlah hewan uji minimal 6 ekor jika terdapat 4 kelompok
perlakuan. Penggunaan hewan uji untuk masing-masing kelompok dilebihkan 2
ekor untuk mengantisipasi kematian atau kondisi di luar kendali selama masa
perlakuan.
Rumus Federer: (n-1) (k-1) ≥ 15
n=jumlah hewan uji; k=jumlah kelompok
(n-1) (4-1) ≥ 15
n≥6
Induksi Hiperglikemia dan Pengukuran Kadar Gula Darah (Wu & Huan
2008)
Induksi hiperglikemia pada mencit menggunakan metode injeksi
intraperitoneal dengan dosis rendah berulang STZ (streptozotocin) sebanyak 40
mg/kg bobot tubuh. Sebelum dilakukan induksi dengan streptozotocin (STZ),
semua mencit dipuasakan selama minimal 4 jam dan air minum tetap diberikan
seperti biasa. Larutan buffer natrium sitrat 50 mM (pH 4.5) disiapkan. Kemudian
10 mg STZ ditimbang dalam tabung Eppendorf 1.5 ml dan ditutup dengan
aluminium foil. STZ dilarutkan dengan larutan buffer natrium sitrat 50 mM (pH
4.5) sampai mencapai konsentrasi akhir 10 mg/ml. Larutan STZ harus disiapkan
segar untuk setiap injeksi dalam waktu kurang dari 5 menit.
Induksi mencit dengan STZ dilakukan secara intraperitoneal dengan
menggunakan syringe 1 ml dan jarum 26-G dosis 40 mg/kg untuk tiap ekor
mencit. Buffer sitrat (pH 4.5) disuntikkan dengan volume yang sama secara
intraperitoneal untuk kelompok normal. Mencit dikembalikan ke kandang
kemudian diberi pakan standar dan larutan sukrosa 10%. Prosedur ini dilakukan
selama 5 hari berturut-turut. Setelah hari ke-6, larutan sukrosa yang diberikan
diganti menjadi air biasa.
Pada hari ke-14 sejak induksi pertama STZ dilakukan pengukuran kadar
gula darah pada mencit. Mencit dinyatakan mengalami hiperglikemia jika kadar
gula darah >150 mg/dL (Wu & Huan 2008). Jika jumlah mencit yang
hiperglikemia kurang dari 40% populasi, dilakukan pengukuran ulang kadar gula
darah pada minggu berikutnya. Sebelum dilakukan pengecekan darah, mencit
dipuasakan minimal 6 jam dan dihangatkan dengan sinar matahari selama ±5
menit agar aliran darah lancar. Pengambilan darah dilakukan secara cepat
mengunakan penusukan jarum melalui pembuluh darah ekor untuk memperoleh 12 tetes darah pada pengujian glukosa darah. Konsentrasi glukosa darah diukur
menggunakan strip GlucoDr blood glucose test meter. Sebanyak satu tetes darah

5
ditempelkan pada glucose strip yang akan diserap secara otomatis, kemudian
dibaca pada alat ukur GlucoDr meter.
Pembuatan Pakan Jamu dan Pakan Obat
Pakan jamu yang dibuat hanya untuk hewan uji kelompok perlakuan.
Nisbah bobot pakan:ekstrak jamu kering adalah 1:0.6 berdasarkan formula
penelitian Nurishmaya (2014). Sebanyak 2.5 g pakan kering halus dimasukan ke
dalam wadah plastik lalu ditambahkan 1.5 g ekstrak jamu. Keduanya dicampurkan
hingga homogen lalu ditambahkan sedikit akuades agar adonan pakan mudah
dicetak. Jumlah tersebut digunakan untuk pakan 1 ekor mencit per hari. Pakan
jamu dibuat setiap hari pada masa perlakuan untuk menghindari kerusakan akibat
mikroorganisme.
Pakan obat diberikan kepada hewan uji kelompok kontrol positif.
Sebanyak 1.7329 mg obat Glucophage dari golongan metformin buatan Merck
ditambahkan pakan kering yang telah dihaluskan hingga bobotnya 4 g. Hal ini
didasari oleh Noffritasari (2006) yang menyatakan dosis penggunaan Glucophage
untuk mencit adalah 63 mg/kg BB (asumsi: bobot per mencit 27.5 g). Keduanya
diaduk hingga merata lalu ditambahkan sedikit akuades agar adonan mudah
dicetak. Jumlah tersebut digunakan untuk pakan 1 ekor mencit per hari. Pakan
obat juga dibuat setiap hari pada masa perlakuan. Perlakuan pakan sesuai jenis
kelompoknya diberikan mulai hari ke-22 sejak induksi hiperglikemia dan
dilakukan selama 20 hari.
Pengukuran Kadar Gula Darah Hewan Uji Selama Masa Perlakuan
Sebelum dilakukan pengukuran kadar gula darah, hewan uji dipuasakan
minimal 6 jam dan dihangatkan dengan sinar matahari selama ±5 menit agar
aliran darah lancar saat pengukuran. Pengambilan darah dilakukan secara cepat
mengunakan penusukan jarum melalui pembuluh darah ekor untuk memperoleh 12 tetes darah pada uji glukosa darah. Konsentrasi glukosa darah diukur
menggunakan strip GlucoDr blood glucose test meter. Sebanyak satu tetes darah
ditempelkan pada glucose strip yang akan diserap secara otomatis, kemudian
dibaca pada alat ukur GlucoDr meter. Pengukuran kadar gula darah dilakukan
setiap minggu sejak hari pertama perlakuan. Pada hari ke-21 masa perlakuan,
dilakukan proses nekropsi, sampling darah, dan sampling organ. Tahapan
nekropsi dan prosedur pascanekropsi tidak dituliskan karena berada di luar ruang
lingkup penelitian ini.
Analisis Sidik Jari Ekstrak Jamu Dengan KLT Dengan Instrumen CAMAG
Linomat 5
Ekstrak kering jamu dilarutkan dengan metanol PA sampai diperoleh larutan
ekstrak 10 mg/mL. Larutan ekstrak disaring lalu ditotolkan pada pelat KLT GF254
dengan bantuan alat CAMAG Linomat 5 menggunakan syringe 100 µL.
Parameter penotolan yaitu volume injeksi 15 µL, dosage speed 30 nL/s, dan lebar
pita 6.0 mm. Sebanyak 5 mL fase gerak disiapkan sesuai komposisi 1-4 dari
kondisi optimum pemisahan ekstrak tunggal tanaman penyusun jamu lalu

6
dimasukkan ke dalam bejana kromatografi dan dijenuhkan selama 30 menit.
Kemudian pelat KLT dimasukkan ke dalam bejana berisi fase gerak tersebut.
Elusi dihentikan ketika fase gerak telah mencapai 0.5 cm dari tepi atas pelat KLT.
Setelah elusi selesai maka pelat diangkat, dikeringkan dan dideteksi pada
instrumen CAMAG Repsrostar 3 yang terintegrasi perangkat lunak WinCATS.
Deteksi dilakukan dengan lampu UV 254 nm dan 366 nm lalu foto citra KLT
disimpan dalam format .jpg untuk dianalisis dengan bantuan perangkat lunak
ImageJ. Pengujian juga dilakukan terhadap ekstrak jamu menggunakan metode
yang sama namun fase gerak yang digunakan diganti fase gerak tunggal etanol,
toluena, aseton, diklorometana, etil asetat, kloroform, dan n-heksana.
Komposisi 1 : kloroform:etil asetat (1:1) (Yonanda 2011)
Komposisi 2 : toluena:etil asetat (93:7) (Kemenkes RI 2009 dalam Farmakope
Herbal Indonesia)
Komposisi 3 : diklorometana:n-heksana (9:1) (Jagessar et al. 2008)
Komposisi 4 : toluena:aseton:asam asetat 2% (1:1:2 tetes) (Kemenkes RI 2009
dalam Farmakope Herbal Indonesia)
Analisis Digital Terhadap Sidik Jari KLT Ekstrak Jamu dengan Perangkat
Lunak ImageJ (Dewi 2013 dan Fitrianti 2011)
Perangkat lunak ImageJ dibuka lalu dipilih menu File-Open. Foto citra KLT
dalam format .jpg yang sudah didokumentasikan dengan CAMAG Reprostar 3
dipilih. Pengaturan kontras dengan cara memilih menu Image-Adjust lalu
Brigthness serta Contrast diatur hingga didapatkan gambar yang jelas. Menu
Rectangular diaktifkan dan area gambar KLT target diblok. Kemudian dipilih
menu Analyze-Gels-Select First Lane. Menu Analyze-Gels-Plot Lanes dipilih agar
menampilkan kurva densitogram yang sesuai dengan gambar pita pada KLT.
Hasil pengolahan gambar dengan menggunakan ImageJ dapat menunjukkan data
jumlah pita yang terdapat pada pelat KLT. Kemudian dipilih Edit-Copy to SystemPaste untuk memindahkan gambar ke program pengolah kata.
Analisis Sidik Jari Ekstrak Jamu dengan KCKT (Modifikasi Prabandari
2012)
Sebanyak 100 mg ekstrak jamu dilarutkan dengan 10 mL etanol PA dan
disaring menggunakan syringe dengan filter WHATMAN berpori 0.45 μm.
Selanjutnya sampel diinjeksikan ke dalam KCKT (Shimadzu) dengan volume
injeksi 20 μL pada 4 kondisi optimum ekstrak tunggal tanaman penyusun
komponen jamu. Kolom KCKT yang digunakan adalah C18 fase terbalik dan
detektor yang digunakan adalah PDA (Photo Diode Array). Setelah itu, standar
shogaol, gingerol, dan kuersetin diinjeksikan pula pada kondisi yang
menghasilkan sidik jari KCKT terbaik.
Kondisi 1 : elusi isokratik metanol:air (52.5:27.5), laju alir 1 mL/menit, waktu
analisis 50 menit, deteksi pada panjang gelombang 220 nm
(Yonanda 2011)
Kondisi 2 : elusi gradien air:asetonitril (0-60%:40-100%), laju alir 1 mL/menit,
waktu analisis 50 menit, deteksi pada panjang gelombang 280 nm
(Widyastuti 2013)

7
Kondisi 3

Kondisi 4

: elusi gradien air:metanol (0-100%), laju alir 1 mL/menit, waktu
analisis 50 menit, deteksi pada panjang gelombang 280 nm
(Puspawati 2008)
: elusi isokratik metanol:air (60:40), laju alir 0.8 mL/menit, waktu
analisis 50 menit, deteksi pada panjang gelombang 290 nm (Huang
et al. 2007)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Induksi Hiperglikemia Hewan Uji Menggunakan STZ
Streptozotocin (STZ) (Gambar 2) merupakan senyawa glukosaminanitrosourea yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces achromogenes. STZ
digunakan sebagai bahan induktor hiperglikemia pada mencit dengan cara
merusak DNA sel-β pankreas sehingga mengganggu sekresi insulin. Menurut
Zhang et al. (2008), STZ yang diinjeksikan dengan teknik dosis rendah secara
berulang dapat menginduksi diabetes tipe 2 (T2D) pada hewan uji. Jenis diabetes
T2D ini merupakan jenis yang paling umum diderita oleh manusia. Persentase
T2D sudah mencapai 90% dari populasi penderita diabetes untuk kasus di wilayah
Amerika Serikat (Julianti 2012). Pada penelitian ini induksi T2D terhadap mencit
mengikuti metode induksi diabetes pada hewan model yang ditulis oleh Wu &
Huan (2008) dengan dosis 40 mg/kg BB selama 5 hari berturut-turut.
Pemantauan kadar gula darah mencit dilakukan pada hari ke-21 setelah
injeksi pertama STZ. Hal ini untuk meyakinkan bahwa telah terjadi hiperglikemia
permanen pada mencit akibat injeksi dosis rendah berulang STZ. Menurut Kim
(2006) dalam Sutardi (2010), kerusakan sel-β pankreas baru terjadi setelah tiga
hari pemberian STZ dan akan meningkat setelah tiga sampai empat minggu.
Sehingga pemberian bahan uji dilakukan minimal 21 hari setelah injeksi STZ.
Elsner et al. (2002) mengusulkan mekanisme kerja STZ dalam menginisiasi
kerusakan DNA dalam sel-sel-β pankreas berdasarkan proses alkilasi DNA.
Proses tersebut bersinergi dengan aktivitas senyawa oksigen reaktif yang
dihasilkan dari gugus nitrogen oksida (NO) pada STZ sehingga merusak DNA.
Kerusakan DNA sel-β pankreas ini mengakibatkan penurunan kuantitas insulin
yang dihasilkan dan resistensi insulin yang menimbulkan gejala hiperglikemia.

Gambar 2 Struktur kimia streptozotocin (Elsner 2000)

8
Mencit yang menunjukkan gejala hiperglikemia (kriteria kadar gula darah
>150 mg/dL) dibagi secara acak ke dalam tiga kelompok (P, KP, dan KN) dalam
jumlah yang sama dan digunakan sebagai hewan uji perlakuan. Jumlah mencit
yang berhasil diinduksi hiperglikemia sebanyak 24 ekor sehingga tiap kelompok
terdapat 8 ekor mencit. Sebanyak 8 ekor mencit lainnya yang tidak diinjeksi STZ
digunakan sebagai hewan uji kelompok normal (N) (Lampiran 3). Uji ANOVA
dan berganda Duncan yang dilakukan terhadap kadar gula darah praperlakuan tiap
kelompok menunjukkan bahwa kelompok hiperglikemia (terinduksi STZ) yang
terdiri atas P, KP, dan KN tidak berbeda nyata satu sama lain. Namun secara
signifikan berbeda terhadap kelompok N (tanpa induksi STZ) (Lampiran 4). Hal
ini untuk meyakinkan bahwa kondisi awal mencit yang akan digunakan pada
perlakuan sudah sesuai rancangan percobaan. Kadar gula darah mencit diabetes
praperlakuan kelompok P, KP, dan KN yang lebih tinggi daripada kelompok N
akan diamati profil perubahannya selama 3 minggu masa perlakuan.
Profil Kadar Gula Darah Mencit Pada Masa Perlakuan
Pemantauan kadar gula darah mencit setiap minggu menunjukkan fluktuasi
yang dinamis pada setiap kelompok hewan uji. Pada kelompok perlakuan yang
sama teramati pola kecenderungan perubahan kadar gula darah yang relatif mirip.
Pada beberapa individu mencit terjadi perubahan kadar gula darah yang ekstrem
sehingga dikategorikan sebagai pencilan (Lampiran 3). Hal ini disebabkan respon
individual hewan uji selaku makhluk hidup memiliki preferabilitas atau nafsu
makan terhadap pakan yang diberikan tidak sama satu dengan lainnya. Sebab
dalam penelitian ini perlakuan terhadap hewan uji dicobakan melalui konsumsi
pakan.
Selama masa perlakuan terdapat beberapa hewan uji yang mengalami
kematian. Penyebab kematiannya berasal dari beberapa faktor yaitu respon
individual, gangguan sistem pencernaan (diketahui dari nekropsi post mortem),
dan luka-luka akibat gigitan atau cakaran mencit lainnya. Kematian paling banyak
terdapat pada kelompok N yaitu 3 ekor. Berdasarkan pengamatan tingkah laku
mencit kelompok N cenderung lebih agresif dan buas terhadap sesamanya
dibandingkan mencit dari kelompok-kelompok terinduksi STZ. Sehingga
kematian di kelompok lain lebih sedikit daripada kematian di kelompok N.
Keberadaan hewan uji yang memiliki pencilan kadar gula darah (berdasarkan uji
pencilan menggunakan Minitab) akan mengganggu analisis profil kadar gula
darah. Sehingga mencit yang dilibatkan dalam analisis data hanya berjumlah 5
ekor agar dihasilkan data yang kongruen dan representatif terhadap jenis
kelompok perlakuan (Lampiran 5).
Setelah minggu ke-1 perlakuan, hewan uji kelompok P menunjukkan
potensi kemampuan ekstrak jamu menurunkan kadar gula darah yang
dibandingkan kelompok KP yang justru mengalami kenaikan kadar gula darah.
Rerata kadar gula darah kelompok P setelah seminggu perlakuan mampu lebih
rendah daripada kelompok KN meskipun tidak mampu mencapai kelompok N
(Lampiran 6). Setelah minggu ke-2 perlakuan, semua kelompok menunjukkan tren
penurunan rerata kadar gula darah dibandingkan minggu sebelumnya. Penurunan
paling tajam terjadi pada kelompok KP yang diikuti oleh kelompok P pada
peringkat berikutnya. Kelompok P dan KP berbeda nyata terhadap kelompok

9
kontrol negatif pada minggu kedua ini. Namun penurunan pada kelompok P relatif
lebih landai (tidak drastis seperti kelompok KP yang dapat mengakibatkan
hipoglikemia kritis karena penurunan kadar gula dalam jumlah besar terlalu
cepat). Setelah minggu ke-3 perlakuan, kelompok P mengalami sedikit kenaikan
kadar gula darah namun tidak berbeda nyata terhadap kelompok N dan masih di
bawah batas kategori diabetes (150 mg/dL) serta di bawah kelompok KN. Kadar
gula darah kelompok KP cenderung tetap setelah minggu ke-3 perlakuan ini. Hal
yang menarik salah satunya adalah kecenderungan penurunan kadar gula darah
kelompok KN seiring masa perlakuan. Hal ini diduga akibat mekanisme self
healing atau regenerasi sel-β pankreas yang sebelumnya mengalami kerusakan
oleh STZ (Zhang et al. 2012; Dor et al. 2004). Sebab sejatinya T2D bukan tipe
diabetes yang mutlak memerlukan asupan insulin eksternal. Masih terdapat sedikit
insulin yang disekresikan meskipun sensitivitasnya berkurang.
Ringkasan hasil uji Duncan rerata kadar gula darah antarkelompok
perlakuan disajikan pada Tabel 1 berikut. Kelompok N dijadikan sebagai
pembanding kondisi kadar gula normal karena kelompok ini tidak mengalami
diabetes. Setelah minggu ke-1 perlakuan, kelompok P menunjukkan penurunan
kadar gula darah ke nilai yang tidak berbeda nyata dengan keadaan normal.
Namun kelompok KP yang diberi pakan bercampur obat diabetes justru
mengalami kenaikan dan berbeda nyata terhadap kelompok N. Kelompok KP baru
menunjukkan penurunan setelah minggu ke-2 pemberian obat. Penurunan kadar
gula ini terjadi sangat drastis mencapai 100 mg/dL. Kadar gula darah hewan uji
kelompok KP dan P mengalami penurunan sehingga tidak berbeda secara
signifikan terhadap kelompok normal setelah minggu ke-2 dan ke-3 ekstrak jamu
dan obat. Artinya pada minggu ke-2 ekstrak jamu dan obat sebenarnya sudah
mulai mampu menurunkan kadar gula darah ke kondisi normal.
Tabel 1 Rerata kadar gula darah hewan uji praperlakuan dan pada masa perlakuan
Kelompok

Kadar gula darah (mg/dL)
Praperlakuan

P
KP
KN
N

a

224.2±52.6
223.4±27.1a
246.4±44.5a
133.0±10.0b

Minggu ke-1
a

195.4±36.6
286.2±49.8b
246.8±39.8b
156.8±21.4a

Minggu ke-2
a

95.4±17.7
107.8±26.3a
224.0±57.8b
133.4±8.4a

Minggu ke-3

147.2±57.9a
105.4±20.8a
168.2±52.2a
108.0±15.4a

Nilai yang disertai dengan huruf superscripts sama tidak berbeda nyata pada α=0.05 (Duncan’s
multiple range test)

Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Jamu Antidiabetes
dengan Perangkat Lunak ImageJ
Analisis sidik jari merupakan suatu metode untuk menampilkan informasi
mengenai senyawa kimia dalam suatu sampel berdasarkan spektrogram,
kromatogram, atau grafik lain yang didapatkan dari teknik-teknik analisis. Teknik
ini digunakan sebagai metode kendali mutu, metode validasi, dan dapat pula
digunakan untuk mengklasifikasikan suatu sampel tanaman. Metode sidik jari
digunakan juga untuk mengetahui senyawa penciri dari suatu bahan alam
berdasarkan bentuk dan pola kurva atau grafik yang ditunjukkan dari suatu teknik

10
analisis (Shams et al. 2014). Salah satu alat yang paling mudah diaplikasikan
untuk analisis sidik jari adalah kromatografi lapis tipis (KLT). Kelebihan metode
ini adalah sederhana, selektif, sensitif, cepat, dapat digunakan secara simultan, dan
penggunaan pelarut yang relatif sedikit (Liang et al. 2009). Pada penelitiannya,
Hess (2007) telah mengembangkan teknik ini menjadi lebih baik untuk
menginterpretasikan sidik jari KLT dengan bantuan perangkat lunak digital.
Metode yang disebut dengan Digitally Enchanced Thin Layer Chromatography
(DE-TLC) ini merupakan perpaduan metode fotografi digital dengan KLT
konvensional yang dapat digunakan untuk menganalisis kromatogram secara
kuantitatif maupun kualitatif dengan menggunakan bantuan perangkat lunak
pengolah gambar misalnya ImageJ. Perangkat lunak ImageJ adalah suatu program
pengolah gambar berbasis bahasa pemprograman Java dan dapat diunduh secara
legal untuk umum. Program ini dikembangkan oleh Research Service Branch
(RSB), Institut Nasional Kesehatan Mental (NIMH), bagian dari Institut
Kesehatan Nasional (NH), Batesdha, Maryland, USA (Ferreira & Rasband 2011).
Program ini akan mengkonversi pita-pita KLT yang terdeteksi menjadi bentuk
densitogram yang sebanding dengan ukuran dan intensitas pita.
Pada penelitian ini sidik jari ekstrak jamu antidiabetes dianalisis
menggunakan 2 pendekatan. Pendekatan pertama berdasarkan komposisi fase
gerak optimum pemisahan KLT masing-masing ekstrak tunggal penyusun jamu
ini. Sedangkan pendekatan kedua berdasarkan fase gerak tunggal yang memiliki
kepolaran beragam. Pada pendekatan pertama, komposisi fase gerak optimum
pemisahan ekstrak tanaman brotowali, jahe, sembung, dan pare diperoleh dari
literatur sebagaimana komposisi 1-4. Pola pemisahan KLT ekstrak jamu dideteksi
pada panjang gelombang 254 dan 366 nm (Gambar 3). Menurut Fernand (2003),
penyinaran pada UV 254 nm untuk mendeteksi senyawa golongan alkaloid, flavonoid, lignan, dan triterpena berdasarkan pemadamannya (quenching). Sedangkan
penyinaran pada UV 366 nm untuk mendeteksi senyawa golongan yang sama
namun berdasarkan zona pendarnya (fluorescence). Umumnya deteksi
menggunakan UV 366 nm menghasilkan pita yang lebih tampak daripada UV 254
nm. Hal ini disebabkan fase diam KLT GF254 yaitu silika gel akan berpendar pada
panjang gelombang ini sehingga pita gelap komponen sampel kurang terlihat.
Sebaliknya pada UV 366 nm pita yang berpendar adalah komponen sampel
(Oktavia 2011).
Pemisahan komponen ekstrak jamu lebih teramati pada deteksi UV 366 nm
dibandingkan deteksi UV 254 nm sehingga kromatogram yang dianalisis
menggunakan ImageJ hanya KLT UV 366 nm. Pita-pita pemisahan tampak
sebagai pendaran merah dan biru. Menurut Markham (1988), pendar biru muda
menunjukkan keberadaan senyawa flavon, flavonon, atau flavonol. Pendar
berwarna merah dapat menunjukkan keberadaan senyawa antosianidin. Pola
pemisahan terbaik ditunjukkan pada kromatogram komposisi 2 dan 4 yang
menunjukkan 5 pita berpendar. Pada komposisi 2 terlihat bahwa pita relatif
bertumpuk di bagian bawah yang menunjukkan bahwa pemisahan komponen
kimia yang terdapat dalam ekstrak jamu belum optimal. Pita-pita pada komposisi
4 merupakan yang paling baik dari keempat komposisi karena memberikan
jumlah pita yang lebih banyak dan relatif terpisah daripada yang lainnya. Jumlah
pita ini diperkuat oleh puncak densitogram hasil pengolahan profil KLT
menggunakan perangkat lunak ImageJ yang ditampilkan pada Gambar 4. Semakin

11

a

b

Gambar 3 Profil KLT ekstrak jamu antidiabetes yang dielusi menggunakan
fase gerak komposisi 1-4 pada panjang gelombang 254 nm (a)
dan 366 nm (b)

a
b
c
d
Gambar 4 Profil sidik jari KLT ekstrak jamu dan densitogram hasil pengolahan
perangkat lunak ImageJ pada eluen komposisi 1 (a), komposisi 2 (b),
komposisi 3 (c), komposisi 4 (d)
tinggi puncak kurva densitogram menunjukkan intensitas pendaran yang semakin
besar. Pada pita posisi awal penotolan sampel terlihat sangat berpendar karena
masih banyak komponen kimia yang belum terpisahkan dan masih menumpuk di
posisi ini.
Proses elusi kedua menggunakan pendekatan fase gerak tunggal yang
memiliki kepolaran bervariasi. Pemisahan yang dilakukan dengan pelarut tunggal
memperlihatkan pita-pita berwarna biru dan merah yang berpendar pada 366 nm.
Pita gelap pada pendeteksian menggunakan UV 254 nm lebih sulit untuk diamati
karena pendaran fase diam gel silika memudarkan pita komponen sampel
(Gambar 5). Pemisahan komponen sampel menunjukkan hasil terbaik untuk
pelarut etil asetat. Pada kondisi ini dihasilkan 5 pita yang terpisah cukup baik.
Pelarut etil asetat tergolong semipolar dengan indeks kepolaran 4.4 sehingga
mampu menarik komponen polar maupun nonpolar yang terdapat dalam sampel.
Akibatnya pita pemisahan KLT yang dihasilkan lebih banyak. Penjelasan ini juga

12

a
b c d
e f g
a b c d
e f
g
Gambar 5 Profil KLT ekstrak jamu antidiabetes yang dielusi menggunakan
fase gerak tunggal etanol (a), toluena (b), aseton (c),
diklorometana (d), etil asetat (e), kloroform (f), n-heksana (g)
pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm
berlaku untuk pelarut aseton dan kloroform yang memiliki indeks kepolaran
berturut-turut 5.1 dan 4.1 sehingga menghasilkan pemisahan yang cukup baik (4
pita) (Gambar 6). Pelarut n-heksana memberikan pemisahan yang paling buruk
karena hanya menghasilkan satu pita. Hal ini disebabkan sifat n-heksana yang
sangat nonpolar (indeks kepolaran 0.1) sehingga komponen-komponen polar pada
sampel yang diekstrak dengan pelarut polar air tidak dapat ditarik oleh fase gerak.
Pada beberapa pelarut seperti aseton, etil asetat, dan kloroform terlihat bahwa
beberapa puncak densitogram masih bertumpang-tindih dan belum terpisah baik
satu sama lain. Sehingga sulit untuk diidentifikasi sebagai dua pita kecuali jika
pendaran warnanya berbeda pada kromatogram. Perpaduan kromatogram dan
densitogram akan mempermudah proses identifikasi pemisahan pita berdasarkan
kecocokan antara puncak densitogram dan pendaran pita kromatogram.
Secara keseluruhan, sidik jari KLT terbaik ekstrak jamu antidiabetes
dihasilkan dengan parameter komposisi 4 dengan pendekatan fase gerak optimum
dan eluen etil asetat dengan pendekatan fase gerak tunggal. Kedua komposisi ini
menghasilkan 5 pita komponen kimia penyusun ekstrak jamu. Fase gerak pada
komposisi 4 sedikit lebih unggul karena menghasilkan pita-pita yang lebih
terpisah dibandingkan sidik jari jamu yang dielusi menggunakan fase gerak etil
asetat. Nilai faktor retensi (Rf) tiap pita yang diperoleh pada kedua kondisi analisis
tersebut ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 Jumlah pita dan nilai Rf pita hasil pemisahan komponen ekstrak jamu
antidiabetes menggunakan KLT pada fase gerak terbaik
Pita
1
2
3
4
5

Nilai Rf
Komposisi 4
0
0.06
0.53
0.86
0.94

Etil Asetat
0
0.17
0.28
0.82
0.88

13

a

b

e

c

f

d

g

Gambar 6 Profil sidik jari KLT ekstrak jamu dan densitogram hasil pengolahan
perangkat lunak ImageJ pada fase gerak tunggal etanol (a), toluena
(b), aseton (c), diklorometana (d), etil asetat (e), kloroform (f), nheksana (g)
Analisis Sidik Jari Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Ekstrak Jamu
Antidiabetes
Analisis KCKT dilakukan terhadap ekstrak jamu menggunakan parameter
kondisi sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 3. Pemisahan pada kondisi 1, 3,
dan 4 menggunakan fase gerak air dan metanol. Sedangkan pada kondisi 2
keberadaan fase gerak metanol digantikan oleh asetonitril. Pemisahan komponen

14
kimia ekstrak jamu pada kondisi 2 dan 4 memberikan hasil yang lebih baik
daripada kondisi 1 dan 3 (Lampiran 8). Hal ini ditandai oleh resolusi puncak yang
lebih baik karena cukup terpisah satu sama lain. Pola sidik jari KCKT terbaik dari
ekstrak jamu antidiabetes terjadi pada kondisi 2 yang mampu menghasilkan
puncak relatif lebih banyak dibandingkan kondisi 4. Hasil ini seiring dengan
penelitian Badrunanto (2013) yang menyatakan bahwa penggantian metanol
dengan asetonitril dapat meningkatkan resolusi dan jumlah puncak pada analisis
sidik jari KCKT. Hal ini disebabkan kemampuan asetonitril yang lebih baik dalam
berinteraksi dengan komponen-komponen organik yang terkandung dalam sampel.
Sehingga fitur-fitur puncak yang dihasilkan menjadi lebih kaya. Selain itu jenis
elusi yang digunakan turut berkontribusi pada keterpisahan puncak. Jenis elusi
gradien yang digunakan pada kondisi 2 dan 3 lebih baik dibandingkan elusi
isokratik kondisi 1 dan 4. Keunggulan ini disebabkan sifat kepolaran fase gerak
yang terus berubah seiring waktu sehingga beberapa komponen dengan polaritas
berbeda akan lebih terpisahkan satu sama lain. Meskipun pada kondisi 3
kenyataannya terjadi penumpukan puncak di awal proses elusi yang menyebabkan
sidik jarinya kurang informatif. Hal ini disebabkan kondisi awal elusi gradien
yang menggunakan 100% fase gerak metanol dan 0% air. Akibatnya komponenkomponen kimia yang bersifat polar pada ekstrak jamu akan segera terelusi
mencapai detektor pada awal proses pemisahan.
Selanjutnya dilakukan injeksi standar 6,8,10-gingerol, 6-shogaol dan
kuersetin pada KCKT dengan kondisi 2 untuk membandingkan waktu retensi
komponen ekstrak jamu terhadap waktu retensi senyawa standar. Gingerol dan
shogaol merupakan senyawa penanda untuk ekstrak jahe yang menjadi salah satu
tanaman penyusun formula jamu antidiabetes ini. Sedangkan kuersetin digunakan
sebagai senyawa penanda ekstrak sembung berdasarkan Kemenkes RI (2009)
dalam Farmakope Herbal Indonesia. Urutan kepolaran standar meningkat dari 10gingerol, 6-shogaol, 8-gingerol, 6-gingerol, dan kuersetin. Komponen yang lebih
polar terelusi lebih awal karena jenis elusi yang digunakan adalah fase terbalik.
Fase diam pada jenis elusi ini berupa kolom nonpolar dan fase geraknya adalah
pelarut polar. Komponen polar kurang berinteraksi dengan fase diam sehingga
akan terelusi lebih dahulu. Pada Gambar 7 terlihat bahwa senyawa yang
berpotensi sebagai senyawa penciri (marker compound) ekstrak jamu antidiabetes
adalah komponen yang memiliki intensitas puncak paling signifikan yaitu dengan
Tabel 3 Parameter kondisi analisis KCKT terhadap ekstrak jamu antidiabetes
Kondisi
Kondisi 1
Kondisi 2

Kondisi 3
Kondisi 4

Parameter
Jenis
Fase Gerak
Laju Alir
Elusi
(Nisbah)
Isokratik Metanol:air
1 mL/menit
(52.5:27.5)
Gradien Air:asetonitril
1 mL/menit
(0-60%:40100%)
Gradien Air:metanol (0- 1 mL/menit
100%)
Isokratik Metanol:air
0.8 mL/menit
(60:40)

Deteksi

Pustaka Acuan

220 nm

(Yonanda 2011)

280 nm

(Widyastuti 2013)

280 nm

(Puspawati 2008)

290 nm

(Huang et al. 2007)

15

a
8-gingerol

6-shogaol

6-gingerol

10-gingerol

b

kuersetin

c
Gambar 7 Kromatogram KCKT hasil elusi menggunakan kondisi 2 terhadap
ekstrak jamu (a), standar gingerol dan shogaol (b), dan standar kuersetin
(c)
waktu retensi 16.447 menit. Namun ketika dihubungkan terhadap standar, waktu
retensinya cukup jauh terhadap standar gingerol, shogaol, maupun kuersetin.
Sehingga senyawa ini dikonfirmasi bukan 6,8,10-gingerol, 6-shogaol, ataupun
kuersetin. Keberadaan puncak kromatogram ekstrak jamu yang berdekatan dengan
waktu retensi standar terjadi pada posisi 23.354 menit. Senyawa ini dikonfirmasi
sebagai 8-gingerol meskipun kurang berpotensi sebagai senyawa penciri karena
intensitasnya yang rendah. Pada penelitian sebelumnya, Nurishmaya (2014)
memberikan dugaan senyawa yang berperan terhadap aktivitas penurunan kadar
gula darah dalam ekstrak jamu antidiabetes ini berasal dari golongan flavonoid
yaitu kuersetin dan krisin. Hal itu disebabkan kemampuan flavonoid untuk

16
merangsang sekresi insulin dengan meregenerasi sel-β pankreas yang rusak pada
penderita diabetes. Namun keberadaan kuersetin pada sidik jari KCKT kondisi 2
sulit teramati karena bertumpuk dengan puncak-puncak lain yang terelusi dengan
waktu retensi yang berdekatan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penggunaan larutan STZ mampu menginduksi gejala hiperglikemia pada
hewan uji setelah hari ke-21 pascainjeksi pertama dengan teknik dosis rendah
berulang. Pemberian ekstrak jamu antidiabetes kepada hewan uji terbukti mampu
menurunkan kadar gula darah selama masa perlakuan. Kadar gula darah kelompok
jamu secara statistik tidak berbeda nyata dengan kelompok normal yang tidak
mengalami diabetes. Bahkan profil penurunan kadar gula darah kelompok jamu
lebih aman karena tidak terjadi secara drastis sebagaimana kelompok kontrol
positif. Perangkat lunak ImageJ memudahkan interpretasi sidik jari KLT ekstrak
jamu berdasarkan densitogram yang dihasilkan dan meningkatkan keakuratan
kuantisasi luas pita. Hasil analisis pola sidik jari KLT jamu dengan komposisi 4
menunjukkan keterpisahan yang cukup baik sehingga dapat digunakan sebagai
kendali mutu ekstrak jamu antidiabetes. Kondisi fase gerak optimum untuk
analisis sidik jari KCKT jamu adalah kondisi 2. Pada kondisi ini dihasilkan
puncak paling banyak yang terpisah dengan baik.
Saran
Sebaiknya pendekatan metabolomik diaplikasikan pada penelitian
berikutnya sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai
khasiat jamu antidiabetes dan komponen yang berperan dalam aktivitas tersebut
pada organisme biologis.

DAFTAR PUSTAKA
Afendi FM, Sulistiyani, Aki H, Altaf-Ul-Aamin M, Hiroki T, Kensuke N, Kanaya
S. 2010. Modelling ingredient of jamu to predict its efficacy. Forum
Statistika dan Komputasi. 15(2):1-9.
Afendi FM, Okada T, Yamazaki M, Hirai-Morita A, Nakamura Y, Nakamura K,
Ikeda S, Takahashi H, Altaf-Ul-Aamin M, Darusman LK, Saito K, Kanaya
S. 2012. KNApSAcK family database: integrated metabolite-plant species
databases for multifaceted plant research. Plant Cell Physiol. 53(2):1-12.
Aziza RZ. 2012. Gambaran histomorfologi hati, usus halus, dan limpa pada tikus
hiperglikemia yang diberi ekstrak sambiloto [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.

17
Badrunanto. 2013. Pengoptimuman fase gerak kromatografi cair kinerja tinggi
untuk analisis sidik jari ekstrak temu putih (Curcuma zedoaria) [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bailey CJ, Day C. 2003. Antidiabetic drugs. Br J Cardiol. 10:128-136.
Dewi R. 2013. Bioaktivitas buah kawista (Limonia acidissima) dan penentuan
sidik jarinya menggunakan kromatografi lapis tipis [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Dor Y, Brown J, Martinez OI, Melton DA. 2004. Adult pancreatic beta-cells are
formed by self-duplication rather than stem-cell differentiation. Nature. 429:
41–46.
Federer W. 1991. Statistics and society: data collection and interpretation. 2nd ed.
New York (US): Marcel Dekker.
Elsner M, Guldbake B, Tiedge M, Munday R, Lenzen S. 2000. Relative
importance of transport and alkylation for pancreatic beta-cell toxicity of
streptozotocin. Diabetologia. 43:1528-1533.
Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthus
amarus Schum, and Thonn, and Quassia amara L. using normal phase thin
layer chromatography [tesis]. Lousiana (BR): University of Suriname.
Ferreira TA, Rasband W. 2010. The ImageJ User Guide Version 1.45. Canada
(CA): McGill University.
Fitrianti SA. 2011. Diferensiasi temulawak, kunyit, dan bangle berdasarkan
interpretasi kromatografi lapis tipis menggunakan ImageJ [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Hess AV. 2007. Digitally enhanced thin-layer chromatography: an inexpensive,
new technique for qualitative and quantitative analysis. J Chemical
Education. (84):842-847.
Huang YL, Wen YX, Zhao ZG, Zhu TC. 2007. Determination of flavanones and
flavanonols in Blumea balsanifera DC by RP-HPLC. Guangxi Sciences.
14(2): 140-142.
Jagessar RC, Mohamed A, Gomes G. 2008. An evaluation of the antibacterial and
antifungal activity of leaf extracts of Momordica charantia against Candida
albicans, Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Nature and Science.
6(1): 1-14.
Julianti ED. 2012. Pengaruh pemberian pati tapioka termodifikasi polifenol teh
hijau dan daun jambu biji merah pada tikus normal dan diabetes [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 261/MENKES/SK/IV/2009
Tentang Farmakope Herbal Indonesia Edisi Pertama. Jakarta (ID):
KEMENKES RI.
Kim JD, Kang SM, Seo BI, Choi HY, Choi HS, Ku SK. 2006. Anti-diabetic
activity of SMK001, a poly herbal formula in streptozotocin induced
diabetic rats: therapeutic study. Biol Pharm Bull. 29(3): 477-482.
Liang XM, Jin Y, Yan PW, Jin GW, Fu Q, Xiao YS. 2009. Qualitative and
quantitative analysis in quality control of traditional chinese medicines. J
Chromatogr A. 1216: 2033-2044.

18
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinata K,
penerjemah. Bandung (ID): Penerbit ITB. Terjemahan dari: Techniques of
Flavonoid Identification.
Nissen SE, Wolski K. 2007. Effect of rosiglitazone on the risk of myocardial
infarction and death from cardiovascular causes. The New England journal
of medicine. 356(24):2457–2471.
Noffritasari B. 2006. Pengaruh pemberian infusa daun kacapiring (Gardenia
augusta, Merr.) terhadap kadar glukosa darah tikus wistar yang diberi beban
glukosa [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Nurishmaya MR. 2014. Pendekatan bioinformatika formulasi jamu baru
berkhasiat antidiabetes dengan ikan zebra (Danio rerio) sebagai hewan
model [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Oktavia JD. 2011. Pengoptimuman ekstraksi flavonoid daun salam (Syzygium
polyanthum) dan analisis sid