Aktivitas antijerawat formula campuran temu lawak dan meniran serta penentuan sidik jari kromatografinya

1

AKTIVITAS ANTIJERAWAT FORMULA CAMPURAN
TEMU LAWAK DAN MENIRAN SERTA PENENTUAN
SIDIK JARI KROMATOGRAFINYA

NI LUH PUTU DEBBY PRABANDARI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

2

ABSTRAK
NI LUH PUTU DEBBY PRABANDARI Aktivitas Antijerawat Formula
Campuran Temu Lawak dan Meniran serta Penentuan Sidik Jari Kromatografinya.
Dibimbing oleh LATIFAH K DARUSMAN dan WULAN TRI WAHYUNI.
Aktivitas antijerawat dari ekstrak campuran temu lawak dan meniran

dipelajari melalui uji aktivitas antioksidan dan antibakteri. Proses ekstraksi
dilakukan dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dengan dua
metode maserasi berbeda, yaitu metode Indonesia dan traditional chinese
medicine (TCM). Formula 6 (2/3 temu lawak:1/6 meniran:1/6 pati) merupakan
formula teraktif sebagai antijerawat dengan nilai IC50 untuk antioksidan sebesar
93.17 ppm, konsentrasi hambat minimum untuk Staphylococcus epidermidis
sebesar 0.25 mg/mL, dan konsentrasi bunuh minimum sebesar 0.50 mg/mL.
Metode maserasi TCM memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan teknik
Indonesia berdasarkan hasil kedua uji aktivitas yang dilakukan. Analisis sidik jari
dari formula terbaik telah dilakukan menggunakan metode kromatografi lapis
tipis. Fase gerak optimum yang digunakan untuk pemisahan formula campuran
temu lawak dan meniran adalah kloroform dengan jumlah pita sebanyak 9 buah.
Analisis menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi menggunakan kolom C18
dan fase gerak gradien asetonitril dan air menunjukkan peningkatan luas area
puncak filantin dan kurkumin ketika standar diadisikan ke dalam sampel.

ABSTRACT
NI LUH PUTU DEBBY PRABANDARI Anti-acne Activity of Formulae
Curcuma xanthorriza and Phyllanthus niruri and the Chromatography Fingerprint Analysis. Supervised by LATIFAH K DARUSMAN and WULAN TRI
WAHYUNI.

Anti-acne activity of extracts from C. xanthorriza and P. niruri has been
analyzed through antioxidant and antibacterial activity assays. Extraction process
was conducted by two different maceration methods, Indonesian and traditional
chinese medicine (TCM) with ethanol 96% as the solvent. Formula 6 (2/3 C.
xanthorriza:1/6 P. niruri:1/6 starch) was the most active anti-acne formula with
IC50 of antioxidant values of 93.17 ppm, the minimum inhibitory concentration
against Staphylococcus epidermidis was 0.25 mg/mL, and the minimum
bactericidal concentration was 0.50 mg/mL. Moreover, TCM maceration was
better than the Indonesian method in terms of antioxidant and antibacterial
activities. Fingerprint analysis of formula was undertaken using thin layer
chromatography. The optimum mobile phase was chloroform that gave 9 bands.
Further, the (HPLC) analysis with C18 as column and gradient of acetonitrile and
water as the mobile phase showed that the peak area of phyllanthin and curcumin
increased when the standard compounds were added into the sample.

3

AKTIVITAS ANTIJERAWAT FORMULA CAMPURAN
TEMU LAWAK DAN MENIRAN SERTA PENENTUAN
SIDIK JARI KROMATOGRAFINYA


NI LUH PUTU DEBBY PRABANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

4

Judul skripsi : Aktivitas Antijerawat Formula Campuran Temu Lawak dan
Meniran serta Penentuan Sidik Jari Kromatografinya
Nama
: Ni Luh Putu Debby Prabandari

NIM
: G44080007

Disetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof Dr Ir Latifah K. Darusman, MS
NIP 19530824 197603 2 003

Wulan Tri Wahyuni, SSi, MSi

Diketahui,
Ketua Departemen Kimia

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
NIP 19501227 197603 2 002


Tanggal lulus:

5

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan
judul “Aktivitas Antijerawat Formula Campuran Temu Lawak dan Meniran serta
Penentuan Sidik Jari Kromatografinya”. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
Februari hingga Juni 2012, bertempat di Laboratorium Kimia Analitik,
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Latifah K.
Darusman, MS dan Wulan Tri Wahyuni, SSi, MSi selaku pembimbing yang
senantiasa memberikan arahan, dorongan, masukan, semangat, serta doa selama
penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Pusat Studi
Biofarmaka (PSB) yang telah melibatkan penulis pada tema penelitian kosmetika
bahan alam. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada laboran di
Laboratorium Kimia Analitik, juga kepada laboran dan segenap pegawai di PSB
yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih tak

terhingga penulis ucapkan kepada Mama, Bapak, serta adik atas dukungan materi
dan moral. Terima kasih kepada teman-teman terdekat, rekan-rekan di
Laboratorium Kimia Analitik, serta keluarga besar Kimia 45 atas segala dukungan
dan bantuan dalam proses pengerjaan dan penyelesaian karya tulis ini.
Penulis berharap, karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2012

Ni Luh Putu Debby Prabandari

6

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Negara, Provinsi Bali pada tanggal 1 Desember 1990
dari pasangan I Gede Nyoman Sumertika dan Ni Ketut Minarni. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Penulis lulus dari SMAN 1 Negara pada tahun 2008 dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai staf Komunikasi dan
Informasi (Kominfo) Ikatan Mahasiswa Kimia pada tahun 2009-2010. Penulis
juga aktif dalam kegiatan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma. Tahun 2009-2011
penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum Kimia TPB (Tingkat Persiapan
Bersama), asisten praktikum Kimia Analitik 1 pada tahun 2011, dan asisten
praktikum Spektrofotometri dan Aplikasi Kemometrik pada tahun 2012. Bulan
Juli hingga Agustus 2011 penulis melaksanakan praktik lapangan di Laboratorium
Quality Control PT Bayer Indonesia Cimanggis Plant dengan judul “Penentuan
Kandungan Piridoksin pada Sediaan Effervescent dan Film Coated Tablets
Menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

7

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ....................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... ix

PENDAHULUAN ......................................................................................

1

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................

1

Temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) ..........................................
Meniran (Phyllanthus niruri) .................................................................
Ekstraksi dan Formulasi .........................................................................
Jerawat (Acne vulgaris) ..........................................................................
Staphylococcus epidermidis dan Antibakteri .........................................
Radikal Bebas dan Antioksidan ...........................................................
Analisis Sidik Jari dengan Kromatografi ...............................................

1
2
2
3

3
4
4

BAHAN DAN METODE ..........................................................................

5

Alat dan Bahan ......................................................................................
Metode ....................................................................................................

5
6

HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................

8

SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 15
Simpulan ................................................................................................ 15

Saran ....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 15
LAMPIRAN ................................................................................................ 19

8

DAFTAR TABEL
Halaman

1 Formula campuran yang digunakan dalam percobaan ...........................

6

2 Komposisi fase gerak dengan SCD ........................................................

8

3 Fitokimia ekstrak temu lawak, meniran dan campurannya ....................

9


4 Nilai IC50 (ppm) formula uji ................................................................... 10
5 Aktivitas antibakteri formula uji ............................................................ 11
6 Jumlah noda pada elusi fase gerak tunggal untuk formula 6 .................. 12
7 Jumlah noda pada elusi formula 6 dengan menggunakan
fase gerak campuran berdasarkan SCD .................................................. 12
8 Nilai Rf dari masing-masing noda pada elusi formula 6
menggunakan fase gerak kloroform ....................................................... 13

9

DAFTAR GAMBAR
Halaman

1

Rimpang temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) ..........................

2

2

Struktur kimia kurkumin .....................................................................

2

3

Daun meniran (Phyllanthus niruri L) ..................................................

2

4

Struktur kimia filantin .........................................................................

2

5

Bakteri Staphylococcus epidermidis ....................................................

3

6

Reaksi penangkapan radikal DPPH ....................................................

4

7

Proses kerja kromatografi lapis tipis ....................................................

4

8

Bagian-bagian instrumen KCKT ........................................................

5

9

Titik eksperimen berdasarkan SCD .....................................................

5

10 Rendemen ekstrak temu lawak, meniran, dan formula
campuran dengan teknik TCM.............................................................

9

11 Reaksi penangkapan radikal bebas DPPH
oleh molekul asam askorbat ................................................................. 11
12 Profil KLT formula 6 dengan menggunakan fase gerak
campuran berdasarkan SCD pada = 366 nm ..................................... 12
13 Profil KLT dari elusi formula 6 menggunakan fase gerak
klorofom sebanyak 6 kali ulangan pada = 366 nm ........................... 12
14 Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bis-demetoksikurkumin........................................................................ 13
15 Pola kromatogram formula 6 tanpa standar (A) dan
dengan penambahan standar (B) .......................................................... 14

10

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Bagan alir lingkup kerja penelitian ...................................................... 20

2

Kadar air dan abu sampel temu lawak dan meniran ............................ 21

3

Rendemen ekstrak kasar etanol temu lawak dan meniran ................... 22

4

Hasil uji aktivitas antioksidan formula 5 ............................................. 23

5

Hasil uji perbandingan berganda Duncan ............................................ 24

6

Profil KLT elusi formula 6 menggunakan fase gerak tunggal pada
366 nm (a) dan 254 nm (b)................................................................... 25

7

Daftar perbandingan komposisi eluen yang telah
digunakan selain SCD .......................................................................... 26

8

Profil kromatogram dari standar filantin (1), standar kurkumin (2),
standar campuran (3), dan sampel formula 6 (4) ................................. 27

9

Pola kromatogram sampel dan standar yang dihasilkan dari
hasil analisis metode KCKT ................................................................ 28

10 Luas area dari masing-masing puncak pada kromatogram sampel
dengan dan tanpa standar ..................................................................... 29

1

PENDAHULUAN
Salah satu masalah kulit yang sering
melanda remaja adalah jerawat. Jerawat (Acne
vulgaris) merupakan penyakit kulit yang
umumnya melibatkan peradangan kelenjar
polisebasea.
Patogenesis
dari
jerawat
dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain
peningkatan produksi sebum, komedogenesis,
dan peradangan (Leyden 2003). Penyakit ini
tidak berbahaya, namun dapat menyebabkan
berkurangnya kepercayaan diri seseorang
(Lachman et al. 1994). Dreno dan Poli (2003)
bahkan menyatakan bahwa jerawat adalah
gangguan paling umum pada kulit manusia
yang dapat memengaruhi hingga 80%
kehidupan seseorang.
Antijerawat
merupakan
salah satu
komponen yang dapat mengatasi timbulnya
jerawat. Suatu komponen yang bersifat
antijerawat harus mampu menghambat
pertumbuhan bakteri, menghambat aktivitas
lipase, dan menghambat stres oksidatif
(Katzman & Logan 2007). Salah satu bakteri
penyebab jerawat adalah Staphylococcus
epidermidis. Bakteri tersebut akan memicu
terjadinya radang pada kulit (Wasistaatmadja
2002) sehingga jerawat akan menjadi lebih
parah. Pengobatan yang lazim dilakukan
untuk mengobati penyakit infeksi adalah
dengan menggunakan antibiotik. Namun
demikian, penggunaan antibiotik yang kurang
tepat dan dalam dosis yang cukup tinggi dapat
menyebabkan resistensi. Timbulnya resistensi
populasi bakteri terhadap berbagai jenis
antibiotik menyebabkan banyak masalah
dalam pengobatan penyakit infeksi.
Jerawat juga dapat disebabkan oleh
kondisi stres oksidatif, yaitu suatu kondisi saat
antioksidan di dalam tubuh tidak mampu
menetralisasi peningkatan konsentrasi radikal
bebas sehingga dapat merusak komponen sel
(Chen et al. 1996). Penggunaan antioksidan
sintetik mulai dibatasi karena dapat bersifat
toksik dan memberikan efek buruk terhadap
kesehatan (Chen et al. 1992; Kahl & Kappus
1993; Miyake & Shibamoto 1997).
Penggunaan antibakteri dan antioksidan alami
sebagai obat tradisional dapat menjadi solusi
kedua permasalahan tersebut. Jenis tumbuhan
yang umum digunakan sebagai obat
tradisional antara lain temu lawak dan
meniran.
Temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan tanaman yang memiliki aktivitas
sebagai antibakteri, penghambat enzim lipase,
dan antioksidan (Batubara et al. 2009).
Senyawa aktif dalam temu lawak yang

berperan sebagai antibakteri adalah xantorizol
(Hwang et al. 2000), sedangkan kandungan
kurkumin pada temu lawak berperan sebagai
antioksidan. Temu lawak juga tidak
menyebabkan iritasi sehingga aman bagi kulit
(Tilaar et al. 2008). Tanaman meniran
(Phyllanthus niruri L) juga memiliki aktivitas
antibakteri. Senyawa aktif yang berperan
sebagai antibakteri pada meniran adalah
filantin (Murugaiyah & Chan 2007) dan
terpenoid (Gunawan et al. 2008).
Kelemahan penggunaan bahan alam
sebagai obat dibandingkan dengan bahan
sintetik adalah komponen aktif penyusunnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
lingkungan tempat tumbuh, pemilihan bibit,
umur tumbuhan, dan penanganan pascapanen.
Oleh karena itu, analisis sidik jari penting
dilakukan untuk kontrol kualitas (autentisitas,
identitas, mutu, dan reliabilitas) obat herbal.
Metode kromatografi dapat digunakan sebagai
alat bantu untuk mengetahui konsistensi
kualitas dan stabilitas ekstrak atau produk
herbal lewat pengamatan secara visual
(kromatogram) dengan membandingkan pola
sidik jari sampel dengan sidik jari standar
(Rajkumar & Sinha 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas,
penelitian ini bertujuan memastikan formula
campuran temu lawak dan meniran terbaik
sebagai antijerawat dengan melakukan uji
aktivitas antibakteri dan antioksidan. Analisis
sidik jari kromatografi dari komponen aktif
formula terbaik antara temu lawak dan
meniran juga dilakukan.

TINJAUAN PUSTAKA
Temu Lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Temu lawak (C. xanthorriza Roxb.)
merupakan salah satu tumbuhan aromatik asli
Indonesia yang umumnya ditemukan di
daerah Jawa, Bali, dan Maluku. Temu lawak
diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae,
divisi
Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo
Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies
xanthorrhiza Roxb. (Dalimartha 2005).
Tumbuhan ini termasuk tumbuhan tahunan
yang tumbuh merumpun. Tiap rumpun
tanaman terdiri atas beberapa tanaman anakan
dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun.
Daging rimpang berwarna kuning dengan citra
rasa pahit dan berbau tajam (Rukmana 1995).

2

Bagian yang digunakan adalah rimpang
(Gambar 1).

filtetralin, dan niranrin. Struktur kimia filantin
dapat dilihat pada Gambar 4.

1 cm

Gambar 1

Rimpang temu lawak (C.
xanthorriza Roxb.).

Rukmana (1995) menyatakan bahwa
komponen utama rimpang temu lawak adalah
zat kuning (kurkumin), pati, dan minyak atsiri.
Minyak atsiri rimpang temu lawak
mengandung xantorizol dan oleoresin (BPOM
2004). Kandungan kurkumin (Gambar 2) dari
ekstrak rimpang temu lawak memiliki
berbagai khasiat. Tanaman temu lawak
dipergunakan oleh masyarakat maupun
produsen obat tradisional dan kosmetika
dalam menjaga dan meningkatkan kesehatan.
Selain sebagai bahan baku industri seperti
minuman dan pewarna alami, manfaat lain
temu lawak adalah dapat meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, antibakteri, antidiabetes,
antihepatotoksik, antiradang, antioksidan,
antitumor,
diuretika,
depresan,
dan
hipolipodemik (Purnomowati & Yoganingrum
1997; Raharjo & Rostiana 2003).

1 cm

Gambar 3 Daun meniran (Phyllanthus niruri
L).
Meniran memiliki aktivitas sebagai
antibakteri, terutama untuk Staphylococcus
aureus, Salmonella thypi, dan Escherichia coli
(Gunawan et al. 2008; Sumathi & Paravathi
2010) dan sebagai antioksidan (Harish &
Shivanandappa 2006). Aktivitas antibakteri
yang dimiliki meniran dapat diteliti lebih
lanjut sebagai antijerawat sebab jerawat
umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri
Propionibacterium acnes dan S. epidermidis.
Bakteri S. epidermidis tergolong satu genus
dengan S. aureus. Aktivitas sebagai
antioksidan juga berfungsi mengurangi
oksidasi pada jerawat (Katzman & Logan
2007).

Gambar 2 Struktur kimia kurkumin.
Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Meniran merupakan tumbuhan liar yang
berasal dari Asia Tropik dan tersebar di
seluruh Asia, termasuk Indonesia (Kardinan &
Kusuma 2004). Meniran (Gambar 3) memiliki
batang berbentuk bulat, basah, dan tingginya
kurang dari 50 cm. Daun bersirip genap dan
setiap satu tangkai daun terdiri atas daun
majemuk yang berukuran kecil dan berbentuk
lonjong (Yuniarti 2008). Senyawa yang
terkandung dalam meniran antara lain lignin,
terpena, flavonoid, lipid, alkaloid, steroid,
tanin, serta vitamin C dan K (Kardinan &
Kusuma 2004). Murugaiyah & Chan (2007)
menyatakan bahwa meniran mengandung
senyawa aktif antara lain filantin, hipofilantin,

Gambar 4 Struktur kimia filantin.
Ekstraksi dan Formulasi
Ekstraksi atau penyarian merupakan
peristiwa perpindahan massa zat dari dalam
bahan oleh cairan penyari sehingga zat-zat
aktif larut dalam cairan penyari. Prinsip
ekstraksi mengikuti prinsip kelarutan, yaitu

3

pelarut polar melarutkan senyawa polar,
sedangkan pelarut nonpolar melarutkan
senyawa nonpolar (Harborne 1987). Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam pemilihan
pelarut adalah selektivitas, kemampuan
mengekstraksi, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga. Pada penelitian ini
digunakan metode ekstraksi maserasi. Metode
ini digunakan untuk mengekstraksi komponen
kimia yang tidak tahan panas dengan
menggunakan
peralatan
sederhana.
Kekurangan teknik ini ialah banyak
menggunakan pelarut pengekstrak dan
membutuhkan waktu ekstraksi yang relatif
lama (Zahid & Gray 2006).
Formulasi campuran dibuat dengan 2 cara
ekstraksi, cara Indonesia dan cara traditional
chinese medicine (TCM). Pada cara Indonesia,
formula campuran dibuat dengan melakukan
ekstraksi dari sampel tunggal, kemudian
ekstrak yang diperoleh dicampur dengan
berbagai formulasi untuk menghasilkan
campuran yang diinginkan. Sementara cara
TCM
merupakan
konsep
pengobatan
tradisional dari Cina yang mencampurkan
semua simplisia tumbuhan obat yang
digunakan, baru kemudian diekstraksi hingga
menghasilkan ramuan obat tertentu. Teknik
tersebut kemudian diadaptasi menjadi sebuah
teknik ekstraksi komponen aktif tumbuhan.
Jerawat (Acne vulgaris)
Jerawat adalah penyakit kulit akibat
peradangan menahun folikel polisebasea
(kelenjar sebasea atau kelenjar minyak) yang
ditandai dengan adanya erupsi komedo, papul,
pustul, nodus, dan kista (Rosyad 2009).
Jerawat disebabkan oleh kondisi abnormal
kulit akibat produksi berlebihan minyak kulit
(sebum) oleh kelenjar minyak sehingga
menyumbat saluran folikel rambut dan poripori kulit (Harmanto 2006). Jerawat tidak
hanya menyerang wajah, tetapi dapat juga
menyerang punggung, dada, dan lengan atas.
Terjadinya
jerawat
dipengaruhi
oleh
mikroorganisme seperti P. acne, S.
epidermidis atau Pityrosporum ovale, dan S.
aureus (Rosyad 2009). Sistem pertahanan
tubuh dengan antioksidan yang lemah dapat
pula menyebabkan timbulnya jerawat.
Senyawa antioksidan tersebut berfungsi
mengatasi faktor stres oksidatif pada penderita
jerawat (Katzman & Logan 2007). Stres
oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme
antioksidan tidak cukup untuk memecah spesi
oksigen reaktif (Halliwel et al. 1995).

Produksi minyak yang berlebih oleh
kelenjar minyak akan menyebabkan pori-pori
banyak menimbun kotoran dan juga
mengandung bakteri. Kondisi tersebut akan
menimbulkan radang. Asam lemak dan
minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika
jerawat disentuh, peradangan akan meluas
sehingga padatan asam lemak dan minyak
kulit yang mengeras akan semakin membesar
(Brook et al. 2005). Potensi antijerawat dapat
dilihat dari aktivitas sebagai antibakteri,
penghambat aktivitas lipase, dan antioksidan
(Batubara et al. 2009).
Beberapa bahan telah digunakan sebagai
obat antijerawat seperti belerang yang
memiliki sifat antijamur, benzoil peroksida
yang bersifat antibakteri, dan zink yang dapat
mengurangi peradangan jerawat (Abbasi et al.
2010). Namun, penggunaan bahan yang
sifatnya tidak alami tersebut dikhawatirkan
dapat menyebabkan racun bagi tubuh.
Staphylococcus epidermidis dan Antibakteri
S. epidermidis (Gambar 5) diketahui dapat
menyebabkan infeksi oportunistik (menyerang
individu dengan sistem kekebalan tubuh yang
lemah) (Lindsay 2008). Beberapa karakteristik
bakteri ini adalah fakultatif, koagulase negatif,
Gram positif, berbentuk kokus, dan
berdiameter 0.5-1.5 µm (Shimeld & Rodgers
1998). Bakteri ini secara alami hidup pada
kulit dan membran mukosa manusia (Lindsay
2008). Infeksi bakteri S. epidermidis dapat
menyebabkan kerusakan pada kulit, seperti
terbentuknya jerawat atau luka pada
permukaan kulit (Burkhart et al.1999).

Gambar 5 Bakteri S. epidermidis (Nilsson et
al. 1998).
Antibakteri adalah zat yang dapat
mengganggu pertumbuhan atau bahkan
mematikan bakteri dengan cara mengganggu
metabolisme
mikrob
yang
merugikan
(Madigan 2005). Senyawa antibakteri dapat
bekerja sebagai bakteristatik, bakterisidal, dan

4

bakterilitik (Pelczar & Chan 1986).
Pengukuran aktivitas antibakteri dapat
dilakukan dengan metode difusi dan metode
pengenceran (British Pharmacopeia 1993).
Metode pengenceran atau dilusi dilakukan
dengan membuat pengenceran antibakteri
pada media cair yang ditambahkan bakteri
uji. Aktivitas antibakteri dapat ditentukan dari
nilai konsentrasi hambat minimum (KHM)
dan konsentrasi bunuh minimum (KBM).
Semakin rendah nilai KHM dan KBM,
semakin baik kerja senyawa tersebut sebagai
antibakteri. Faktor-faktor yang memengaruhi
aktivitas senyawa antibakteri antara lain pH,
suhu stabilitas bakteri tersebut, lamanya
inkubasi, dan metabolisme bakteri (Madigan
2005).

dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi ekstrak
yang
dibutuhkan
untuk
menurunkan
konsentrasi DPPH sebesar 50% (Blois 1958).

Radikal Bebas dan Antioksidan

Kromatografi
adalah
pemisahan
komponen-komponen secara fisik melalui
pendistribusian di antara 2 fase (Day &
Underwood 2002). Analisis sidik jari dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi dan kontrol
kualitas multikomponen tanaman obat (Liang
et al. 2004). Analisis ini memberikan
informasi komponen kimia dalam bentuk
spektrum, kromatogram, dan grafik lainnya
yang diperoleh dari teknik analitik yang
menentukan identitas, kualitas, dan keaslian
tanaman obat (Borges et al. 2007). Analisis
sidik
jari
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT)
dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

Radikal bebas merupakan molekul yang
sangat reaktif karena mempunyai satu atau
lebih elektron yang tidak berpasangan
(Masuda et al. 1992). Radikal bebas dalam
jumlah berlebih di dalam tubuh sangat
berbahaya karena menyebabkan kerusakan
sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak.
Reaksi radikal bebas yang berlangsung-terus
menerus dapat menimbulkan berbagai
penyakit kulit seperti jerawat yang bila
dibiarkan dapat berkembang menjadi kanker
kulit (Ng et al. 2000; Pourmorad et al. 2006).
Oleh karena itu, tubuh memerlukan
antioksidan yang mampu menangkal radikal
bebas tersebut sehingga tidak dapat
menginduksi penyakit (Jitoe et al. 1992).
Antioksidan adalah senyawa kimia yang
dapat menyumbangkan satu atau lebih
elektron kepada radikal bebas sehingga
radikal bebas tersebut dapat dihambat.
Komponen kimia yang berperan sebagai
antioksidan adalah senyawa golongan fenolik
dan polifenolik. Senyawa golongan tersebut
banyak terdapat di alam, terutama pada
tumbuhan
dan
memiliki
kemampuan
menangkap radikal bebas (Shahidi & Naczk
1995).
Salah satu metode yang digunakan untuk
pengujian aktivitas antioksidan adalah metode
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil
(DPPH).
Prinsipnya adalah reaksi penangkapan
hidrogen dari senyawa antioksidan oleh
radikal bebas DPPH yang mengubahnya
menjadi 2,2-difenil-1-pikrilhidrazina (Gambar
6). Kontrol positif yang dapat digunakan
berupa vitamin C, kuersetin, tokoferol, dan
butil hidroksi toluena (BHT) (Rahman et al.
2008). Aktivitas antioksidan dinyatakan

(antioksidan)

2,2-Difenil-1-pikrilhidrazil 2,2-Difenil-1-pikrilhidrazina

Gambar 6 Reaksi penangkapan radikal DPPH
(Yamaguchi et al. 1998).
Analisis Sidik Jari dengan Kromatografi

Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis memisahkan
campuran komponen berdasarkan distribusi di
antara fase diam dan fase gerak. Pemisahan
dilakukan pada lapisan tipis fase stasioner,
umumnya pada silika gel yang ditempatkan
pada pelat kaca, plastik, atau aluminium
dengan ukuran 11 m. Untuk mempertahankan
fase diam dan untuk menjamin kohesi
partikel, pengikat lembam seperti gipsum
(atau pengikat organik) dicampur ke dalam
fase diam selama pembuatan pelat tipis
(Rouessac & Rouessac 2007). Proses kerja
KLT dapat dilihat pada Gambar 7.

Pelat KLT
Uap eluen
eluen
Titik awal

Gambar 7

Proses kerja kromatografi lapis
tipis (Rouessac & Rouessac
2007).

5

Pergerakan zat relatif terhadap garis depan
pelarut dalam sistem KLT didefinisikan
sebagai nilai retention faktor (Rf). Rf
merupakan nisbah jarak tempuh zat dengan
jarak tempuh garis depan pelarut. KLT
memiliki
banyak
keuntungan
dalam
menganalisis tanaman herbal, antara lain
mudah, cepat, preparasinya tidak rumit, dan
dapat digunakan untuk menganalisis berbagai
macam sampel (Funk & Droeschel 1991).
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Kromatografi cair kinerja tinggi termasuk
yang paling sering digunakan dalam teknik
analisis, menggunakan cairan sebagai fase
gerak
untuk
memisahkan
komponen
campuran. Fase diam dapat berbentuk cair
atau padat. Komponen dilarutkan kemudian
dipaksa untuk mengalir melalui kolom
kromatografi di bawah tekanan tinggi. Di
dalam kolom campuran dipisahkan ke dalam
komponen-komponennya
(Rouessac
&
Rouessac 2007). Bagian-bagian instrumen
KCKT dapat dilihat pada Gambar 8.
Peredam pulsa

kemampuan
elusi
menurun
meningkatnya polaritas pelarut.

Desain Campuran (Simplex Centroid
Design)
Desain
campuran
digunakan
pada
percobaan dengan beberapa parameter. Pada
penelitian ini, desain campuran digunakan
dalam penentuan eluen terbaik. Desain
campuran terdiri atas simplex lattice, simplex
centroid, dan extreme vertices. Simplex
centroid design (SCD) diperkenalkan untuk
memberikan ulasan percobaan dari respons
permukaan di bagian pusat bidang. Salah satu
cara pemodelan SCD (Gambar 9) adalah
dengan mempertimbangkan struktur dari
percobaan 3 faktor. Rancangan 3 komponen
dapat digambarkan dengan segi tiga sama sisi
dalam 2 dimensi (Soares et al. 2007).

Injektor loop
(1/2,0,1/2)

Katup
proporsi pelarut
pompa

(1/2,1/2,0)

Kolom
penjaga
(0,0,1) C

Gambar 9
kolom

Wadah
fase gerak

dengan

(0,1,0) B

Titik eksperimen berdasarkan
SCD (Borges et al. 2007).

BAHAN DAN METODE
detektor

Gambar 8 Bagian-bagian instrumen KCKT
(Harvey 2000).
Elusi dapat dilakukan dengan cara
isokratik (komposisi fase gerak tetap selama
elusi) atau gradien (komposisi fase gerak
berubah-ubah selama elusi) yang analog
dengan pemrograman suhu pada kromatografi
gas. Elusi gradien digunakan untuk
meningkatkan resolusi campuran yang
kompleks terutama jika sampel mempunyai
kisaran polaritas yang luas (Kenkel 2002).
Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh
polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase
diam, dan sifat komponen-komponen sampel.
Untuk fase normal (fase diam lebih polar
daripada fase gerak), kemampuan elusi
meningkat dengan meningkatnya polaritas
pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase
diam kurang polar daripada fase gerak),

Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan adalah neraca
analitik, eksikator, tanur, pembakar bunsen,
penguap putar, bejana KLT, cawan porselen,
oven, inkubator, microplate reader, autoklaf,
96-well-plates, mikropipet, sentrifus, Camag
Linomat 5, Camag Reprostar 3, dan KCKT
Shimadzu.
Bahan yang digunakan adalah rimpang
temu lawak (C. xanthorriza Roxb.) dan
tanaman meniran (P. niruri L.) yang berasal
dari kebun Biofarmaka, bakteri S. epidermidis
yang berasal dari koleksi laboratorium
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
media trypticase soy broth (TSB), standar
kurkumin, standar filantin, etanol, metanol, nheksana, kloroform, etil asetat, dietil eter,
diklorometana, asam asetat, HCl, amil
alkohol, serbuk Mg, H2SO4, NaOH, FeCl3 1%,
anhidrida asetat, pereaksi Mayer, Wagner,

6

Dragendorf, dimetil sulfoksida (DMSO),
DPPH, vitamin C (asam askorbat),
klindamisin, dan silika gel G60F254 dari Merck.

lalu ditimbang. Penentuan kadar abu
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan (triplo).
Kadar abu (%) =

Metode
Metode penelitian yang dilakukan meliputi
penentuan kadar air dan abu, ekstraksi sampel
menggunakan metode maserasi dengan teknik
Indonesia dan teknik TCM, serta uji fitokimia
ekstrak temu lawak, meniran, dan campuran
keduanya. Formula yang diperoleh diuji in
vitro yang terdiri atas uji antibakteri dan uji
antioksidan. Analisis sidik jari kromatografi
dari formula terbaik dilakukan dengan
kromatografi lapis tipis dan kromatografi cair
kinerja tinggi (Lampiran 1).
Preparasi Sampel
Sampel rimpang temu lawak dan daun
meniran dibersihkan kemudian diiris tipis dan
dikeringkan. Setelah kering, sampel digiling
hingga menjadi serbuk dengan ukuran 40
mesh. Sampel siap digunakan untuk analisis
selanjutnya.
Penentuan Kadar Air (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu
105 °C selama 30 menit lalu didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang. Sebanyak 2 g
contoh dimasukkan dalam cawan dan
dipanaskan pada suhu 105 °C selama 5 jam,
kemudian didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang. Proses ini dilakukan sampai
diperoleh bobot konstan. Penentuan kadar air
ini dilakukan berdasarkan bobot kering contoh
dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan
(triplo).
Kadar air (%) = A  B  100%
A

Keterangan:
A = bobot contoh sebelum dikeringkan (g)
B = bobot contoh setelah dikeringkan (g)
Penentuan Kadar Abu (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan di dalam
tanur listrik bersuhu 600 °C selama 30 menit.
Selanjutnya cawan didinginkan dalam
eksikator selama 30 menit dan ditimbang
bobot kosongnya. Sebanyak 2 g contoh
dimasukkan ke dalam cawan, kemudian
dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen
sampai tidak berasap lagi. Setelah itu,
dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan
suhu 600 °C selama 2 jam. Setelah abu
berwarna putih, cawan berisi abu diangkat
dari dalam tanur, didinginkan dalam eksikator,

× 100%

Keterangan:
A = bobot contoh (g)
B = bobot abu (g)
Ekstraksi
Pada cara Indonesia, simplisia temu lawak
(formula 1) dan meniran (formula 2) masingmasing dimaserasi, kemudian kedua ekstrak
yang
diperoleh
dicampurkan
dengan
komposisi tertentu (formula 3 dan 4). Pada
cara TCM, kedua simplisia contoh dicampur
dengan nisbah tertentu kemudian dimaserasi
(formula 5 dan 6). Formula yang digunakan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Formula campuran yang digunakan
dalam percobaan
Formula
F1
F2
F3
F4
F5
F6

Komposisi (b/b/b)
Temu lawak Meniran Pati
1
0
0
0
1
0
1/2
1/2
0
2/3
1/6
1/6
1/2
1/2
0
2/3
1/6
1/6

Proses ekstraksi dilakukan dengan
mencampurkan 50 g sampel yang sudah
dikeringkan dan dihaluskan dengan 250 mL
etanol 96%. Campuran dimaserasi secara
dinamik selama 6 jam dan secara
statik/didiamkan hingga 24 jam. Maserasi
dilakukan 3 kali ulangan. Selanjutnya filtrat
dikumpulkan dan dipekatkan dengan penguap
putar.
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
Uji Flavonoid dan Saponin. Sebanyak
0.1 g ekstrak ditambahkan 10 mL air panas
kemudian disaring. Sebanyak 10 mL filtrat
ditambahkan 0.5 g serbuk Mg, 1 mL HCl
pekat, dan 1 mL amil alkohol. Campuran
dikocok kuat-kuat. Uji positif terhadap
flavonoid ditandai dengan munculnya warna
merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil
alkohol. Sebanyak 10 mL filtrat dikocok
selama 10 menit dengan keadaan tertutup. Jika
terbentuk buih yang stabil, berarti ekstrak
mengandung saponin.
Uji Alkaloid. Sejumlah 1 g ekstrak
ditambah dengan 10 mL CHCl3 dan beberapa
tetes NaOH. Larutan disaring, filtratnya
ditambahkan 10 tetes H2SO4 2 M dan dikocok.
Lapisan asam dipisahkan dan masing-masing

7

ditambahkan dengan pereaksi Mayer (positif
jika terbentuk endapan putih), pereaksi
Wagner (positif jika terbentuk endapan
cokelat), dan pereaksi Dragendorf (positif jika
terbentuk endapan merah jingga).
Uji Tanin. Sebanyak 10 mL ekstrak
dipanaskan selama 10 menit. Selanjutnya
campuran tersebut disaring dan filtratnya
ditambahkan dengan FeCl3 1%. Jika terbentuk
warna biru tua atau hijau, berarti ekstrak
mengandung tanin.
Uji Steroid dan Terpenoid. Sampel
diekstraksi dengan 10 mL etanol panas,
disaring, dan diuapkan hingga kering. Residu
yang dihasilkan dilarutkan dalam eter, lalu
ditambahkan 1 tetes H2SO4 serta 3 tetes
anhidrida asetat. Jika terbentuk warna biru
atau hijau, berarti ekstrak positif mengandung
steroid. Jika terbentuk warna ungu, berarti
ekstrak positif mengandung terpenoid.
Uji Aktivitas Antibakteri (Batubara et al.
2009)
Bakteri yang digunakan adalah S.
epidermidis dengan media TSB. Sebanyak
100 µL media steril, 40 µL sampel dilarutkan
dalam DMSO 20 % atau kontrol dan 5 µL
inokulum bakteri dimasukkan ke dalam setiap
sumur pada 96-well plate. Inokulum telah
disiapkan pada konsentrasi 10-2 CFU/mL. S.
epidermidis diinkubasi dalam media selama
48 jam pada suhu 37 °C. Konsentrasi ekstrak
yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri
(bening) secara visual dideskripsikan sebagai
konsentrasi hambat minimum (KHM).
Sebanyak 100 µL dari media yang tidak
menunjukkan
pertumbuhan
bakteri
diinokulasikan pada 100 µL media baru,
kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu
37 °C. Konsentrasi yang tidak menunjukkan
pertumbuhan bakteri setelah inokulasi kedua
dideskripsikan sebagai konsentrasi bunuh
minimum (KBM). Kontrol negatif yang
digunakan adalah DMSO dan kontrol
positifnya adalah klindamisin.
Uji Aktivitas Antioksidan (Salazar-Aranda
et al. 2009)
Ekstrak pekat dibuat larutan dengan
konsentrasi berkisar 0.1–1000 µg/mL dalam
etanol dari larutan stok 1 mg/mL. Sebanyak
100 µL larutan DPPH 125 µM dalam etanol
dicampurkan dengan 100 µL larutan ekstrak
sehingga volume total menjadi 200 µL.
Campuran dikocok dan diinkubasi pada suhu
37 °C dalam gelap selama 30 menit. Serapan
kemudian diukur pada panjang gelombang

517 nm. Vitamin C digunakan sebagai kontrol
positif.
Kapasitas penangkapan radikal DPPH
dihitung menurut Batubara et al. (2009)
dengan rumus
Aktivitas penghambatan (%) =
[1 – (As – Ak)/(Ab – Akl)] × 100%
Keterangan:
As = Absorbans sampel
Ak = Absorbans kontrol
Ab = Absorbans blangko
Absorbans blangko adalah absorbans
DPPH dalam etanol sebagai blangko,
Absorbans sampel adalah absorbans DPPH
yang ditambah sampel uji, dan A kontrol
adalah absorbans DPPH yang ditambah
vitamin C sebagai kontrol. Aktivitas
penangkapan radikal pada setiap konsentrasi
dialurkan dan nilai IC50 dihitung.
Analisis Sidik Jari Formula Antijerawat
dengan KLT
Pemilihan
Fase
Gerak
Terbaik.
Sebanyak 7 macam fase gerak tunggal
diujikan, yaitu n-heksana, dietil eter, metanol,
aseton, diklorometana, etil asetat, dan
kloroform. Pelat KLT silika gel yang telah
ditotolkan ekstrak dimasukkan ke dalam
bejana kromatografi yang telah dijenuhkan
oleh
fase
gerak
tunggal.
Setelah
pengembangan dilakukan, pelat diangkat dan
dikeringkan. Deteksi dan dokumentasi
komponen dilakukan di bawah lampu UV
menggunakan Camag Reprostar 3 pada
panjang gelombang 254 dan 366 nm untuk
melihat jumlah noda yang muncul pada pelat.
Tiga fase gerak terbaik dipilih, yaitu fase
gerak yang memberikan noda terbanyak dan
terpisah sempurna satu sama lain.
Komposisi ketiga fase gerak terbaik
selanjutnya dirancang menggunakan SCD
(Gambar 9). Titik A, B, dan C berturut-turut
dimisalkan sebagai fase gerak A, B, dan C.
Komposisi yang digunakan dalam penelitian
ini ditampilkan dalam Tabel 2. Sampel pada
pelat diamati di bawah lampu UV pada
panjang gelombang 254 dan 366 nm dan
komposisi fase gerak terpilih ialah yang
memberikan noda terbanyak dan terpisah baik
satu sama lain.

8

Tabel 2 Komposisi fase gerak dengan SCD
No
Percobaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

A
1
0
0
1/2
0
1/2
1/3
1/6
1/6
2/3

Komposisi (v/v/v)
B
C
0
0
0
1
1
0
0
1/2
1/2
1/2
1/2
0
1/3
1/3
2/3
1/6
1/6
2/3
1/6
1/6

Analisis Sidik Jari. Formula ekstrak yang
memiliki aktivitas terbaik diaplikasikan pada
pelat KLT dengan KLT aplikator (Camag
Linomat 5). Setelah kering, pelat KLT
tersebut langsung dielusi dalam bejana
kromatografi yang telah dijenuhkan oleh uap
eluen pengembang. Hasil elusi diamati pada
panjang gelombang 254 dan 366 nm sehingga
diperoleh sidik jari kromatogram terbaik.
Proses elusi dilakukan sebanyak 6 kali
ulangan untuk melihat konsistensi pemisahan.
Standar kurkumin, filantin, campuran, dan
sampel kemudian diaplikasikan pada 1 pelat
dan dielusi bersama menggunakan eluen
terbaik. Hasil elusi diamati pada panjang
gelombang 254 dan 366 nm. Pola
kromatogram dari masing-masing standar
kemudian dibandingkan dengan sampel.
Analisis Sidik Jari Formula Antijerawat
dengan KCKT
Sebanyak 100 mg formula yang memiliki
aktivitas terbaik dilarutkan dengan 50 mL
metanol dan disaring menggunakan syringe
dengan filter berpori ukuran 0.45
m.
Selanjutnya sampel diinjeksikan ke dalam
KCKT (Shimadzu) dengan volume injeksi 10
µL. Masing-masing standar, yaitu kurkumin,
filantin dan campuran juga diinjeksikan. Laju
alir diatur sebesar 1 mL/menit. Digunakan
KCKT fase terbalik dengan kolom C18 dan
fase gerak asetonitril:air yang dielusikan
secara gradien selama 90 menit pada panjang
gelombang 220 nm sehingga diperoleh sidik
jari KCKT terbaik. Detektor yang digunakan
adalah detektor rangkaian diode.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Preparasi Sampel
Sampel temu lawak (Curcuma xanthorriza
Roxb.) dan daun meniran (Phyllanthus niruri

L.) dari
kebun Biofarmaka, diiris tipis,
dikeringkan, kemudian digiling hingga
berukuran 40 mesh. Pengirisan berfungsi
mempercepat proses pengeringan sampel,
sedangkan
penggilingan
berfungsi
memperkecil ukuran sampel agar semakin
banyak komponen aktif yang dapat
terekstraksi. Semakin kecil ukuran sampel,
semakin luas permukaan sampel yang
bertumbukan dengan pelarut sehingga
memudahkan senyawa aktif terekstraksi.
Ekstraksi
bahan
alam
umumnya
menggunakan sampel berukuran 40– 60 mesh.
Jika ukuran sampel terlalu kecil, maka
dikhawatirkan proses pemisahan filtrat dengan
endapan akan sulit dilakukan. Partikel yang
terlalu kecil dapat menyumbat pori-pori kertas
saring sehingga proses penyaringan menjadi
terhambat.
Penentuan Kadar Air dan Abu
Kadar air sampel rimpang temu lawak dan
daun meniran digunakan sebagai faktor
koreksi
dalam menentukan
rendemen
sebenarnya dari proses ekstraksi. Penentuan
kadar air juga berfungsi untuk memperkirakan
cara penyimpanan terbaik dari setiap sampel.
Simplisia tanaman dikeringkan di bawah suhu
50 °C hingga kandungan airnya kurang dari
10%, kemudian digiling dan ditentukan kadar
airnya menggunakan metode gravimetri
taklangsung pada suhu 105 °C. Kadar air dari
sampel rimpang temu lawak diperoleh sebesar
9.00% sedangkan daun meniran 7.60%
(Lampiran 2). Hasil tersebut masih berada di
bawah persyaratan maksimum kadar air untuk
bahan baku obat tradisional yaitu, 10% (SK
Menkes RI No 661/IMENKES/SK/VII/1994).
Pengeringan akan menguapkan air dalam
sampel sehingga menghambat pertumbuhan
mikrob dan memperpanjang masa simpan
sampel. Wadah penyimpanan sampel juga
harus kering dan tidak lembap agar
pertumbuhan mikrob dapat dihambat.
Penentuan kadar abu sampel berfungsi
untuk memperkirakan kandungan mineral
dalam sampel. Umumnya penentuan kadar
abu digunakan sebagai langkah awal
penentuan kadar logam menggunakan teknik
spektroskopi
atom.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa kadar abu daun meniran
lebih besar daripada rimpang temu lawak. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kadar mineral
dalam daun meniran lebih tinggi dibandingkan
dengan rimpang temu lawak. Kadar abu
rimpang temu lawak dan daun meniran
diperoleh berturut-turut sebesar 4.32% dan

9

7.74% (Lampiran 2). Kadar abu yang
diperoleh memenuhi standar DepKes RI yang
tercantum dalam Materia Medika Indonesia.
DepKes (1978) menyatakan bahwa kadar abu
pada herba meniran tidak lebih dari 8.3%.
Kadar abu rimpang temu lawak tidak lebih
dari 4.4% menurut DepKes (1979).
Ekstraksi
Metode ekstraksi maserasi digunakan
dalam penelitian ini digunakan untuk
memecah dinding sel sampel sehingga
komponen aktif yang diharapkan dapat
terekstraksi dengan optimum.
Pelarut yang digunakan dalam penelitian
adalah etanol 96%. Etanol dipilih karena
memiliki kepolaran yang mirip dengan
senyawa aktif pada temu lawak seperti
kurkumin serta senyawaan lignan pada
meniran. Kurkumin tidak dapat larut dalam
air, tetapi dapat larut dalam etanol (Joe et al.
2004; Chattopadhyay et al. 2004). Kemiripan
polaritas diharapkan dapat mengoptimumkan
proses ekstraksi komponen aktif dari setiap
sampel. Batubara et al. (2009) menyatakan,
ektrak etanol temu lawak memiliki aktivitas
antibakteri yang lebih baik dari ekstrak
metanolnya. Selain itu, menurut Darusman et
al. (2001), etanol adalah pelarut yang umum
digunakan dalam pembuatan jamu dan obatobatan fitofarmaka.
Ekstraksi dilakukan selama 3 kali 24 jam
untuk 4 buah formula, yaitu formula 1, 2, 5,
dan 6. Formula 1 berisi sampel tunggal temu
lawak, formula 2 berisi sampel tunggal
meniran, formula 5 merupakan campuran
temu lawak:meniran (1:1) sedangkan formula
6 merupakan campuran temu lawak:meniran
(2/3:1/6). Formula 5 dan 6 diperoleh dengan
metode ekstrasi TCM, maka simplisia sampel
sudah digabung sejak awal ekstraksi.
Rendemen hasil ekstraksi keempat formula
terhadap bentuk simplisianya diberikan pada
Lampiran 3, grafiknya diperlihatkan pada
Gambar 10. Semakin tinggi rendemen,
semakin banyak komponen dalam sampel
yang memiliki kemiripan kepolaran dengan
pelarut yang digunakan. Rendemen tertinggi
diperoleh pada ekstraksi rimapang temu
lawak, yaitu hampir mencapai 14%,
sedangkan rendemen terendah diperoleh pada
sampel daun meniran sebesar 7.83%.

13.81
14
12
10
8
6
4
2
0

11,25

12.88

7.83

Gambar 10 Rendemen ekstrak temu lawak,
meniran, dan formula campuran
dengan cara TCM.
Uji Fitokimia
Uji fitokimia bertujuan menentukan
golongan senyawa metabolit sekunder yang
terkandung di dalam ekstrak contoh. Hasil uji
pendahuluan ini dapat digunakan sebagai
dasar pendugaan golongan senyawa yang
memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan
antioksidan.
Uji fitokimia ekstrak temu lawak
menunjukkan kandungan flavonoid, alkaloid,
steroid, dan terpenoid. Hasil ini sesuai dengan
yang dilaporkan Nur (2006). Sementara
ekstrak daun meniran didapati mengandung
flavonoid, alkaloid, tanin, dan steroid. Tidak
ditemukan adanya terpenoid sebagaimana
yang dilaporkan oleh Puspita (2009).
Perbedaan hasil uji fitokimia ini dapat
disebabkan keberadaan terpenoid dalam
ekstrak daun meniran jumlahnya sedikit
sehingga sulit dideteksi secara visual.
Jika hasil uji fitokimia kedua ekstrak
digabungkan, maka campuran keduanya akan
mengandung flavonoid, alkaloid, tanin,
steroid, dan terpenoid. Hal tersebut sesuai
dengan hasil uji fitokimia pada ekstrak
campuran kedua sampel (Tabel 3).
Tabel 3

Fitokimia ekstrak temu lawak,
meniran, dan campurannya
Hasil uji
Uji
Temu
Fitokimia
Meniran
Campuran
lawak
Flavonoid
+++
+++
+++
Saponin
Alkaloid
+
+
++
Tanin
+++
+++
Steroid
+
++
+
Terpenoid
+++
++

Ket: (-): negatif (+): positif dengan intensitasnya.

10

Aktivitas Antioksidan
Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan
dengan metode DPPH (2,2 difenil-1pikrilhidrazil). Metode ini dipilih karena
mudah, cepat, dan sensitif untuk pengujian
aktivitas antioksidan senyawa tertentu
(Koleva et al. 2001). DPPH memberikan
serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm
dengan warna ungu gelap. Penangkapan
radikal bebas menyebabkan elektron menjadi
berpasangan yang akan berkurangnya
intensitas atau hilangnya warna sebanding
dengan jumlah elektron yang diambil (Sunarni
2005). Warna berubah dari ungu menjadi
kekuningan diikuti dengan penurunan serapan.
Dari penurunan serapan tersebut, aktivitas
penangkapan radikal bebas dapat ditentukan.
Aktivitas antioksidan dinyatakan dengan
nilai IC50, yaitu konsentrasi ekstrak yang
dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi
DPPH sebesar 50%. Nilai IC50 diperoleh dari
persamaan kurva hubungan konsentrasi
sampel dengan persentase penangkapan
radikal bebas (% inhibisi). Semakin kecil nilai
IC50, semakin tinggi aktivitas antioksidannya
(Molyneux 2004). Nilai IC50 dari masingmasing formula uji dan standar vitamin C
disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Nilai IC50 (ppm) formula uji
Formula
Nilai IC50
F1
95.32±4.66d
F2
56.70±4.58c
F3
10.08±0.83ab
F4
120.03±0.62e
F5
8.17±0.77a
F6
93.17±0.90d
Vitamin C
3.06±0.29
 Sampel dengan nilai IC50 diikuti huruf yang sama

pada Tabel menunjukkan nilai yang tidak berbeda
nyata berdasarkan uji perbandingan berganda
Duncan pada P = 0.05.

Formula 5 memiliki aktivitas antioksidan
tertinggi dengan nilai IC50 sebesar 8.17 ppm.
Penentuan nilai IC50 dari formula 5 dapat
dilihat pada Lampiran 4. Formula 5
merupakan campuran temu lawak:meniran
(1:1), serupa dengan formula 3. Perbedaan
keduanya terletak dari teknik maserasi yang
digunakan. Hal yang sama terjadi pada
formula 4 dan 6. Komposisi campuran
keduanya sama, namun teknik maserasi yang
digunakan berbeda. Formula 3 dan 4
menggunakan cara Indonesia, sedangkan
formula 5 dan 6 menggunakan cara TCM.

Berdasarkan nilai IC50, cara TCM
memberikan aktivitas antioksidan yang lebih
baik dibandingkan dengan cara Indonesia
pada komposisi campuran yang sama.
Hasil uji perbandingan berganda Duncan
menunjukkan bahwa formula 3 tidak berbeda
nyata dengan formula 5 pada taraf nyata 5%,
sedangkan formula 4 berbeda nyata dengan
formula 6 pada taraf nyata 5% (Lampiran 5).
Hal ini mungkin disebabkan meniran (formula
2) memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
baik daripada temu lawak (formula 1)
sehingga pada formula 4 dan 6 yang
komposisi
menirannya
lebih
sedikit,
perubahan
teknik
maserasi
dapat
menghasilkan nilai IC50 yang berbeda secara
signifikan.
Aktivitas antioksidan ekstrak meniran
yang lebih baik daripada ekstrak temu lawak
menyebabkan ketika dicampurkan, formula
dengan komposisi meniran lebih banyak
memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi.
Pati yang ditambahkan pada formula 4 dan 6
hanya berfungsi sebagai bahan pengisi.
Amilosa dan amilopektin yang merupakan
kandungan utama pati tidak mampu
menangkap radikal bebas DPPH sehingga pati
tidak memiliki aktivitas aktioksidan. Pati
merupakan bahan pengisi yang umum, aman,
dan mudah digunakan dalam industri makanan
dan farmasi.
Keenam formula menunjukkan aktivitas
antioksidan yang tinggi karena memiliki nilai
IC50 kurang dari 150 ppm (Blois 1958). Hal
tersebut dapat disebabkan oleh kandungan
flavonoid yang cukup tinggi pada ekstrak
temu lawak, meniran, maupun campurannya
yang berperan besar sebagai antioksidan
(Tabel 3).
Penelitian ini menggunakan vitamin C
sebagai kontrol positif. Vitamin C (asam
askorbat) dipilih karena merupakan senyawa
antiradikal yang memiliki kinetika reaksi yang
cepat sehingga mampu membentuk keadaan
stabil dalam waktu kurang dari 1 menit
(Brand-Williams et al. 1995). Setiap molekul
asam askorbat mampu mereduksi 2 molekul
DPPH seperti ditunjukkan pada Gambar 11.
Kedua hal tersebut menyebabkan vitamin C
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan formula 5,
dengan nilai IC50 sebesar 3.06 ppm. Hal lain
yang mendasari penggunaan vitamin C
sebagai kontrol positif adalah penggunaan
vitamin C yang umum sebagai antioksidan
dalam obat jerawat yang beredar di pasaran.

11

Asam askorbat

Semi-dehidra
asam askorbat

Gambar 11

dehidra
asam askorbat

Reaksi penangkapan radikal
bebas DPPH oleh molekul
asam
askorbat
(BrandWilliams et al. 1995).

Aktivitas Antibakteri
Analisis antibakteri dilakukan dengan
menggunakan metode dilusi menggunakan
microplate. Dalam metode ini, media,
inokulum bakteri, dan sampel disatukan di
dalam microplate sebagai sumur. Media cair
yang digunakan adalah trypticase soy broth
(TSB). Media ini mengandung kasein dan
pepton kedelai yang menyediakan asam amino
dan
sumber
nitrogen
lainnya
bagi
mikroorganisme. Media TSB yang awalnya
jernih jika ditambahkan inokulum bakteri
akan menjadi keruh. Suatu zat yang bersifat
antibakteri akan mampu