Adopsi program system of rice intensification teknik satu bibit per rumpun

ADOPSI PROGRAM SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN

ADHI PAMUNGKAS

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adopsi Program
System of Rice Intensification Teknik Satu Bibit per Rumpun adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Adhi Pamungkas
NIM I34090019

ABSTRAK
ADHI PAMUNGKAS. Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik
Satu Bibit per Rumpun. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS.

Teknik satu bibit per rumpun merupakan salah satu inovasi untuk
meningkatkan produktivitas padi sawah yang ramah lingkungan. Tujuan
penelitian ini adalah mengeksplorasi faktor individu dan sifat-sifat inovasi yang
berhubungan terhadap keputusan petani untuk adopsi pertanian teknik satu bibit
per rumpun pada petani di Desa Purwasari, Kabupaten Bogor. Responden diambil
secara acak dengan bantuan MS. Excel dengan jumlah 30 orang. Hasil penelitian
menunjukan umumnya petani berusia tua, berlahan sempit, lulusan SD, pernah
mengikuti penyuluhan, memiliki pengalaman bertani organik dan konvensional,
memiliki perilaku komunikasi interpersonal dan karakteristik petani tidak
berhubungan dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumput. Sifat inovasi
berupa keuntungan relatif, kesesuaian, kompeksitas, triabilitas, dan observabilitas

berhubungan dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumput.
Kata kunci: Teknik satu bibit per rumpun, sifat inovasi, dan adopsi inovasi

ABSTRACT
ADHI PAMUNGKAS. Adoption One Seedling per Clump Technique on System
of Rice Intensification Program. Supervised by DJUARA P. LUBIS.
One seedling per clump technique is one of the innovations to increase rice
productivity which is environmentally friendly. The purpose of this study is to
explore individual factors and innovation attributes relating to the innovation
adoption decision of farmers to one seedling per clump technique on Purwasari
village, Bogor District. Respondents were drawn at random by MS. Excel with the
number 30. The results showed generally old aged farmers, rural landless, primary
school graduates, had attended counseling, have organic and conventional farming
experience, have interpersonal communication and behavioral characteristics not
related to farmer adoption decisions one seedling per clump technique. The nature
of innovation in the form of relative advantage, compatibility, complexity,
trialability, and observability techniques associated with the adoption of one
seedling per clump technique.
Keywords: One seedling per clump technique, innovation attributes, and adoption
of innovation


ADOPSI PROGRAM SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN

ADHI PAMUNGKAS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Adopsi Program System ofRice Intensification Teknik Satu Bibit
per Rumpun
: Adhi Pamungkas

Nama
NIM
: I34090019

Disetujui oleh

MS  
Ketua Departemen

2 2 JUL 2013

セ@

Tanggal Pengesahan: _ _ __ _ __ _ _ _ _ _ __ __ __

--

-

-


-

--

Judul Skripsi : Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik Satu Bibit
per Rumpun
Nama
: Adhi Pamungkas
NIM
: I34090019

Disetujui oleh

Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS

Ketua Departemen

Tanggal Pengesahan: __________________________________________

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
penyuluhan, dengan judul Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik
Satu Bibit per Rumpun.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Djuara P Lubis, MS
selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran dan juga perbaikan. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staff pemerintah Desa
Purwasari mulai dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Ketua Kelompok Tani
Mekarsari, Ketua Kelompok Tani Hegar Sari, Ketua Kelompok Tani Rawa Sari,
Ketua Kelompok Tani Dewasa Lemah Duhur (Pak Aneng) dan anggota
Kelompok Tani Dewasa Lemah Duhur serta seluruh responden yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, dan juga teman-teman tercinta atas
segala doa dan kasih sayangnya. Beribu terima kasih penulis ucapkan kepada

seluruh rekan mahasiswa angkatan 46, utamanya teruntuk rekan satu bimbingan
Dea Rizky Kapriani dan Meilisa Asriani atas perjuangan dan doanya. Serta tidak
lupa kepada teman-teman KPM khususnya Jajang, Rangga, Echa, Icha, Cici,
Nindy, Intan, Resti, Selvi, dan Ebi yang selalu memberi doa dan dukungan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013
Adhi Pamungkas

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN


xii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

5

Manfaat Penelitian


5

TINJAUAN PUSTAKA

7

Penyuluhan Pertanian

7

System of Rice Intensification

7

Inovasi

12

Karakteristik Petani


13

Keuntungan Relatif

14

Kompabilitas

14

Kompleksitas

16

Triabilitas

16

Observabilitas


16

Adopsi Inovasi

16

Model Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi

17

Kerangka Pemikiran

19

Hipotesis

20

Definisi Operasional

20

METODE

25

Lokasi dan Waktu Penelitian

25

Pengumpulan Data

25

Penentuan Sampel

25

Prosedur Analisis Data

26

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Berdirinya Desa Purwasari

29
29

Kondisi Geografi

29

Kondisi Sosial Budaya

30

Keadaan Ekonomi

30

Gambaran Umum Gabungan Kelompok Tani Mekarsari

31

Penyuluhan SRI

32

Karakteristik Responden

36

PENILAIAN PETANI TERHADAP SIFAT INOVASI TEKNIK SATU BIBIT
PER RUMPUN
39
Keuntungan Relatif

39

Kesesuaian

40

Kompleksitas

40

Triabilitas

41

Observabilitas

42

KEPUTUSAN ADOPSI TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN DAN
FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

43

Adopsi Teknik Satu Bibit per Rumput

43

Hubungan Karakteristik Individu dengan Sifat Inovasi

45

Hubungan Karakteristik Individu dengan Adopsi Teknik Satu Bibit per
Rumpun

52

Hubungan Sifat Inovasi dengan Adopsi Teknik Satu Bibit per Rumpun

55

Ikhtisar

57

SIMPULAN DAN SARAN

59

Simpulan

59

Saran

59

DAFTAR PUSTAKA

61

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

71

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11

12

13

Beberapa hasil penelitian tentang SRI menurut sumber penelitian
Aspek dalam program dan ukuran untuk SRI
Klasifikasi faktor internal dan eksternal adopsi inovasi SRI oleh petani
Tahap dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi Rogers
sesuai dengan lima tahap perubahan Porchska
Luas lahan dan persentase menurut penggunaannya di Desa Purwasari
tahun 2011
Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pecaharian di Desa
Purwasari tahun 2011
Frekuensi dan persentase responden dilihat berdasarkan karakteristik
individu
Jumlah dan persentase responden berdasarkan sifat inovasi teknik satu
bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun 2013
Jumlah dan persentase responden berdasarkan keputusan adopsi teknik
satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun 2013
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel karakteristik individu
petani dengan sifat inovasi teknik satu bibit per rumpun di Desa
Purwasari tahun 2013
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel karakteristik individu
petani dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa
Purwasari tahun 2013
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel sifat inovasi dengan
keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun
2013
Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel independen
karakteristik petani dan sifat inovasi dengan variabel dependen
keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun
2013

11
12
12
19
29
31
36
39
43

45

53

55

57

DAFTAR GAMBAR
1 Model tahapan proses keputusan adopsi (Rogers 2003)
2 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik individu dan sifat-sifat
inovasi terhadap keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun

18
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kerangka sampling petani di Desa Purwasari tahun 2013
2 Peta Administrasi Desa Purwasari tahun 2013
3 Kuesioner Penelitian

63
64
65

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat yang membangun berkepentingan dengan inovasi baik berupa
gagasan, tindakan atau barang-barang baru. Rogers (2003) menyebutkan, jika
kepada masyarakat di desa diperkenalkan bibit padi unggul dan diadopsi oleh
petani, dengan segera akan terlihat perubahan-perubahan di sana. Produksi para
petani itu meningkat, dan meningkat pula konsumsinya, aspirasinya terhadap
hiburan, perubahan gaya hidup dan sebagainya. Di abad ilmu pengetahuan dan
teknologi maju seperti sekarang, penciptaan inovasi bukan hal yang langka.
Hampir setiap saat muncul penemuan-penemuan baru, yang satu belum berdiri
tegak sudah disusul penemuan lain yang menggantikannya. Usaha penggalian dan
penemuan tentunya diharapkan untuk dapat merubah dunia, memperbaharuinya ke
arah yang lebih baik. Penemuan-penemuan tidak banyak artinya jika tidak tersebar
penggunaanya ke sebagian besar anggota masyarakat (Rogers 2003).
Perkembangan penggunaan teknologi pertanian sangat pesat dalam upaya
meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk memenuhi bahan pangan sebagai salah
satu kebutuhan pokok hidup manusia yang terus bertambah. Bahan pangan
diperlukan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas untuk memenuhi kecukupan
gizi dan meningkatkan kesehatan individu atau masyarakat dunia yang semakin
modern. Penerapan teknologi pertanian baik dalam kegiatan prapanen maupun
pasca panen, menjadi penentu dalam mencapai kecukupan pangan baik kuantitas
maupun kualitas produksi. Teknologi pertanian telah berperan untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahatani komoditas pangan di negaranegara maju dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia (Mosher 1970).
Menyebarkan inovasi ke masyarakat itu tidak mudah walaupun kadangkadang banyak juga inovasi tidak terbendung lagi. Jika ada 100 inovasi yang
dalam waktu bersamaan diperkenalkan ke masyarakat, seringkali 90 diantaranya
tidak berkelanjutan dan hanya 10 inovasi yang dapat bertahan. Hal tersebut
menunjukan bahwa mengkomunikasikan ide-ide baru agar diterima masyarakat
dan dipergunakan orang lain secara memuaskan merupakan bukan hal yang
sederhana. Seseorang yang bertugas membangun masyarakat berkeinginan agar
usahanya berhasil, ide-ide pembaharuan yang dibawanya dapat tersebar, diterima
masyarakat, dan digunakan secara betul sehingga mendatangkan ke perubahan
sosial yang lebih baik. Kenyataan menunjukan tidak sedikit usaha-usaha
penyebaran ide-ide baru gagal dan kandas di tengah jalan (Rogers 2003).
Rogers (2003) menjelaskan, penyebaran inovasi berlagsung selama
beberapa tahun sejak pertama kali diperkenalkan sampai merata penggunaannya
ke seluruh lapisan masyarakat. Lebih lanjut Rogers mengemukakan, terdapat lima
ciri umum inovasi yang menunjukan bagaimana persepsi seseorang terhadap sifatsifat itu yang mungkin bermanfaat untuk memperkirakan adopsinya, serta
menganalisa kasus overadopsi. Setiap sifat secara empiris mungkin selalu
berhubungan satu sama lain tetapi secara konseptual mereka itu berbeda.
Pengemukaan lima sifat inovasi berdasarkan pada tulisan dan riset-riset yang telah
ada, dan berdasarkan hipotesa. Kecepatan adopsi inovasi ditentukan oleh sifat

2
inovasi yang terdiri dari keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas, triabilitas
dan observabilitas. Tingkat kecepatan adopsi inovasi pun dipengaruhi
karakteristik individu petani seperti umur, pendidikan, pengalaman bertani, dan
kekosmopolitan.
Suhendrata (2008) menyebutkan peran inovasi teknologi pertanian akan
semakin penting mengingat pemerintah bertekad mewujudkan kembali
swasembada pangan (beras) pada 2010 seperti yang pernah dicapai pada tahun
1984. Dalam mencapai swasembada tersebut banyak kendala dan tantangan yang
dihadapi diantaranya terjadi pelandaian laju peningkatan produksi padi sawah,
alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, lahan “sakit”, upaya
perluasan areal sulit dilakukan dan jumlah penduduk yang terus bertambah.
Inovasi berupa varietas unggul baru berhasil meningkatkan produktivitas padi.
Hal tersebut menunjukan inovasi pertanian mempunyai peran positif dalam
peningkatan produktivitas padi sawah. Di sisi lain, inovasi memiliki dampak
negatif seperti program revolusi hijau yang menyebabkan kerusakan lingkungan
karena penggunaan bahan kimia dalam budidaya pertanian sulit dihindari oleh
petani. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan terhadap pendapatan yang
diterima petani.
Menurut Husodo (2004) kebutuhan beras nasional mencapai sekitar 36 juta
ton pada tahun 2035 dengan jumlah penduduk diperkirakan mencapai sekitar 400
juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1.6 persen per tahun, sedangkan
produksi dalam negeri tahun 2001 hanya mencapai sekitar 29 juta ton. Guna
mencapai kecukupan beras yang terus meningkat dihadapkan pada berbagai
tantangan seperti, pertambahan penduduk yang relatif masih tinggi, ketersediaan
lahan produktif semakin terbatas, petani gurem semakin meningkat, pola
usahatani masih tradisional dan subsisten, produktivitas lahan sawah masih
rendah, tenaga kerja generasi baru semakin tidak tertarik pada usahatani sawah,
adopsi inovasi teknologi pertanian masih terbatas, dan tingkat kesejahteraan
petani masih rendah.
Berdasarkan data BPS (2013) pembangunan ekonomi pada sektor pertanian
merupakan hal sangat penting untuk mewujudkan pembangunan nasional di
bidang pertanian, yaitu peningkatan produksi pangan, terutama menuju
pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Upaya yang sudah
dijalankan pemerintah kearah itu adalah dengan menerapkan program
intensifikasi, ekstensifikasi, diversivikasi, dan rehabilitasi. Wilayah Jawa Barat
memiliki lahan yang dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu lahan pertanian
dan lahan bukan pertanian. Karakteristik lahan pertanian inilah yang sangat
menentukan naik turunnya produksi hasil pertanian dan juga keragamannya.
Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah dan lahan bukan sawah (tegal, ladang,
hutan, perkebunan, kolam, dll). Jika dibandingkan dengan tahun 2011 luas lahan
sawah tahun 2012 naik sedikit dari 942.4 ribu hektar menjadi 942.9 hektar. Pada
tahun 2011 luas panen padi mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010, hal
ini diikuti pula dengan penurunan hasil produksinya. Luas panen turun sekitar 3.5
persen, sedangkan produksi padi turun sebesar 0.08 persen. Luas panen padi
sawah mengalami penurunan sebesar 2.9 persen.
Budidaya organik pada dasarnya ialah membatasi kemungkinan dampak
negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi (Sutanto 2002). Lebih lanjut,
Sutanto menyebutkan pupuk organik mempunyai berbagai keunggulan dibanding

3
pupuk kimia. Pupuk organik merupakan keluaran setiap budidaya pertanian
sehingga keluaran tersebut menjadi sumber unsur hara makro dan mikro secara
cuma-cuma.
Salah satu inovasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
padi sawah dan ramah lingkungan sekaligus menekan biaya produksi adalah
dengan metode System of Rice Intensification yang selanjutnya disingkat SRI. SRI
pertama kali ditemukan di Madagascar antara tahun 1983-1984. Usahatani padi
sawah organik metode SRI adalah usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan
efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan
kelompok tani dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan
(Kementan 2012).
Prospek ekonomis dari pertanian ini cukup baik seiring dengan berubahnya
pola konsumsi manusia, dimana manusia lebih memilih makanan yang sehat
meskipun dengan harga yang lebih mahal (Soetrisno 2002). Rusma (2005) dalam
tesisnya menyatakan bahwa beras organik sangat baik bagi kesehatan, karena
bebas dari bahan kimia berbahaya jika dibandingkan dengan beras lain,
mempunyai aroma yang khas (alami), tidak mudah berair, rasanya enak dan pulen.
Hasil penelitian Rusma (2005) menunjukan bahwa manfaat yang dicari dari
pembelian beras organik adalah kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Manfaat lain
yang dicari konsumen adalah mutu yang baik dan higienis.
Pada saat sekarang ini, walaupun pemerintah telah melaksanakan berbagai
upaya untuk menyarankan kepada para petani agar bertani metode SRI namun
masih belum banyak petani yang mau menerapkannya. Oleh karena itu, perlu
diadakan penelitian terhadap para petani yang sudah lebih dulu menerapkan
pertanian metode SRI. Tujuannya adalah mengetahui karakteristik individu petani
dan sifat-sifat inovasi yang berhubungan pengambilan keputusan petani untuk
bertani dengan metode SRI khususnya teknik satu bibit per rumpun.

Perumusan Masalah
Sejak adanya swasembada beras tahun 1984, tidak lagi terlihat
keseimbangan antara kebutuhan beras nasional dengan produksi beras nasional
(Syarif dan Agustamar 2007). Syarif dan Agustamar lebih lanjut menerangkan,
Indonesia pernah sebagai pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Tahun
2004, telah terjadi impor beras sebesar 200 ribu ton per bulan. Angka ini setara
dengan empat juta ton gabah kering giling per tahun atau setara dengan
peningkatan daya hasil sebesar 0.64 ton/hektar sawah berpengairan di Indonesia
yang seluas 6.4 juta hektar (Syarif dan Agustamar 2007). Syarif dan agustamar
lebih lanjut mengandikan, jika daya hasil semula 4.5 ton/hektar, maka dengan
daya hasil 5.14 ton/hektar sudah cukup untuk mengawali swasembada beras.
Terlebih daya hasil dapat melebihi angka dimaksud. Dengan demikian Negara
dapat mengekspor ke Negara lain yang memerlukannya. Analisis sederhana diatas
mengisyaratkan bahwa peluang untuk meningkatkan daya hasil per hektar cukup
besar terutama pada sawah yang sudah lama dibudidayakan.
Munculnya metode baru dalam sistem produksi padi yang dikenal sebagai
metode SRI dapat menghemat penggunaan air hingga 50.0 persen dibanding
metode konvensional (Saragih 2011). Metode SRI ini dapat menghasilkan padi

4
10-15 ton/ha atau 3-4 kali lipat dari cara konvensional (Syarif dan Agustamar
2007). Defeng dikutip Syarif dan Agustamar (2007) menyebutkan, keunggulan
dari metode SRI adalah suatu metode yang bekerja secara sinergi antara tanaman,
tanah, unsur hara dan air. Empat pokok yang bersinergi berupa bibit semai lebih
muda 12-15 hari, satu bibit per rumpun, lebar jarak tanam 30x30 cm hingga
50x50 cm, masukan bahan organik sebagai pengganti pupuk kimia, dan adanya
proses aerobik (pengeringan) pada fase vegetatif. SRI mengembangkan praktek
pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih
baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara
konvensional. Pada SRI, semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan
dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka.
Perlakuan-perlakuan yang berbeda ini diharapkan dapat memberikan produktivitas
yang lebih baik, dan juga lebih menghemat air. Pertanian metode SRI merupakan
upaya untuk mengurangi dampak negatif dan ketergantungan petani dari
penggunaan input anorganik dalam usahataninya khususnya pada komoditi padi.
Pada penelitian ini, inovasi dari SRI yang akan di teliti khusus pada satu bibit per
rumpun karena hal ini diduga banyak diabaikan oleh petani padi organik. Metode
ini membuat jumlah bibit yang digunakan untuk bertani lebih sedikit karena hanya
satu bibit per rumpun. Penggunaan bibit yang sedikit berdampak pada
pengeluaran biaya usahatani untuk bibit lebih rendah (Saragih 2011). Berdasarkan
penelitian Rangkuti (2007) ukuran untuk kompabilitas teknologi sesuai dengan
kondisi lahan dan ketersediaan air. Penanaman satu bibit per rumpun ditanam di
sawah irigasi seperti kondisi pada pertanian konvensional. Trubus (2008)
menyatakan bahwa dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari
perebutan cahaya atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran dan
pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Sebaliknya jika penanaman terdiri atas
sembilan bibit per lubang menyebabkan terjadinya kompetisi hara pada tanaman.
Pertanian organik seperti metode SRI memberikan dampak yang baik bagi
kesejahteraan kehidupan petani, karena harga dan kualitasnya yang bermutu
tinggi. Kegiatan pertanian organik perlu diadopsi oleh petani untuk keberlanjutan
usahatani. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi bahaya pestisida
bagi kesehatan manusia, beragam informasi yang disampaikan seputar bahaya
pestisida dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas pertanian
disebarluaskan melalui kegiatan penyuluhan, organisasi, dan kelompok tani, dan
serta tidak ketinggalan yaitu media massa. Pada kenyataanya, kebiasaan para
petani yang melakukan pertanian konvensional tersebut sulit untuk diubah dan
digantikan oleh teknik baru berdasarkan sistem pertanian SRI. Teknik
konvensional telah dibuktikan dapat menghasilkan produksi petanian yang secara
kuantitas relatif menguntungkan dan sampai saat ini masih diterapkan secara
dominan dalam pengelolaan usahatani padi.
Desa Purwasari di Kecamatan Dramaga adalah salah satu desa yang
memiliki daerah persawahan irigasi. Petani di Desa Purwasari pada umumnya
telah mendapatkan penyuluhan mengenai SRI sebagai upaya meningkatkan
efisiensi dan produktivitas padi sawah. Metode satu bibit per rumpun merupakan
hal baru yang terdapat dalam SRI bagi petani konvensional. Petani memerlukan
informasi mengenai sifat inovasi seperti, manfaat ekonomis, kesesuaian dengan
sosial budaya, kerumitan, kemungkinan dicoba, dan kemungkinan diamati pada
metode satu bibit per rumpun. Setiap petani memiliki karakteristik yang berbeda

5

sehingga penilaian terhadap sifat inovasi pun akan berbeda pada masing-masing
individu yang akan berdampak pada adopsi satu bibit per rumpun.
Beberapa pertanyaan pokok yang berkaitan dengan karakteristik individu,
sifat inovasi, dan adopsi satu bibit per rumpun untuk meningkatkan efisiensi dan
produktifitas pertanian padi sawah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
permasalahan yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI oleh
petani?
2. Sejauh mana karakteristik individu petani yang berhubungan dengan
keputusan adopsi satu bibit per rumpun pada pertanian SRI? dan
3. Sejauh mana hubungan antara sifat inovasi dengan keputusan adopsi
satu bibit per rumpun pada pertanian SRI oleh petani?
Tujuan Penelitian
Mengarah pada rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis proses adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI
oleh petani.
2. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan keputusan
petani untuk adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI.
3. Menganalisis hubungan antara sifat-sifat inovasi dengan keputusan
adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI oleh petani.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna:
1. bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk
penelitian selanjutnya.
2. bagi pemerintah, dengan diketahuinya karakteristik individu petani
yang berhubungan dengan keputusan adopsi inovasi pada pertanian
SRI, maka karakteristik individu tersebut dapat ditindaklanjuti untuk
memperluas skala adopsi inovasi SRI di wilayah setempat.
Penelitian diharapkan dapat mendorong pengembangan adopsi
inovasi tersebut lebih lanjut ke skala yang lebih luas.
3. bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap pertanian metode SRI.

6

TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Teoritis
Penyuluhan Pertanian
Sastraatmadja (1993) menyatakan, penyuluhan pertanian adalah sebagai
pendidikan nonformal yang ditujukan kepada petani dan keluarganya dengan
tujuan jangka pendek untuk mengubah perilaku termasuk sikap, tindakan dan
pengetahuan kearah yang lebih baik, serta tujuan jangka panjang untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Setiana (2005) menyebutkan,
penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan
proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan
yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pengertian umun,
maka penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang bersifat
nonformal di luar sistem sekolah yang biasa. Penyuluh pertanian adalah cara atau
usaha pendidikan nonformal bagi petani dan keluarganya di perdesaan (Samsudin
1994). Penyuluh pertanian adalah aktivitas pendidikan di luar sekolah yang
mengandung sifat khusus (Mosher 1987). Terdapat empat sifat khusus dalam
penyuluh pertanian. Sifat pertama, berhubungan dengan masalah petani di
pedesaan dan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pada waktu tertentu dan
berkaitan erat dengan mata pencaharian. Sifat kedua, menggunakan cara atau
metode atau teknik pendidikan khusus yang disesuaikan dengan sifat, perilaku dan
kepentingan petani. Sifat ketiga, keberhasilan pelaksanaannya memerlukan
bantuan berbagai aktivitas yang langsung maupun tidak langsung menunjang
pendidikan. Sifat keempat, pelaksanaanya dalam suasana kooperatif, toleransi,
dan musyawarah untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Titik berat dari
proses penyuluhan sebagai proses penyebarluasan informasi adalah, masyarakat
desa diharapkan dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan usahatani
mereka, bagaimana mereka sebaiknya berusaha tani yang benar, melakukan
budidaya yang tepat dan baik sehingga porduktivitas meningkat (Setiana 2005).
Proses untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang
belum diketahui untuk dilaksanakan atau diterapkan sebagai bagian dari
penerangan kepada masyarakat yang tidak tahu atau belum mengetahui. Masalah
yang timbul dan belum dipahami masyarakat desa menyangkut usahatani mereka,
terutama inovasi yang perlu dikembangkan atau diterapkan di wilayah tersebut
(Setiana 2005).
System of Rice Intensification
Kementan (2012) usahatani padi sawah organik metode SRI adalah
usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah,
tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok tani dan kearifan lokal serta
berbasis pada kaidah ramah lingkungan. Saragih (2011) System of Rice
Intensification pertama kali dikembangkan oleh seorang pastur asal Perancis
bernama Father Henri de Laulanie pada awal 1980-an di Madagaskar. Saragih
lebih lanjut menjelaskan, bahwa Father Henri de Laulanie menghabiskan waktu
selama 34 tahun bekerja bersama petani, mengamati, dan bereksperimen
mengenai metode hemat air ini, hingga eksperimennya berhasil memperoleh

8
kesuksesan pada tahun 1983 s/d 1984. Pada tahun 1990 dibentuk Asociation Tefy
Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun
kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and
Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk
memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur,
didukung oleh US Agency for International Development.
SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan
Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2007). SRI menjadi terkenal di
dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987,
Uphoff mengadakan persentasi SRI di Indonesia dan beberapa Negara lainnya
yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar
diantaranya adalah Bangladesh, Benin, Kamboja, Kuba, Gambia, Guinea, India,
Laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philipina, Senegal,
Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan hasil pengembangan
program SRI di beberapa negara, di peroleh hasil produktivitas yang cukup
signifikan. Hasil produksi tanaman padi dapat dilihat sebagai berikut:
1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil
tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 persen. Saat ini
produktivitas padi sekitar 13 ton/ha.
2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7
ton/ha dengan produktivitas tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha.
3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 persen dan pendapatan
naik sebesar 74 persen.
4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 persen, efisiensi air 90 persen,
pendapatan bersih 112 persen, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17
– 27 persen.
5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development
(AARD, 2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani
terbaru SRI memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.
Beberapa Negara di Asia termasuk Indonesia, sedang dilanda gairah baru
dalam budidaya padi, oleh gencarnya informasi mengenai SRI yang dilaporkan
mampu member hasil panen yang tinggi melalui cara yang sederhana. SRI
dikembangkan di Madagaskar oleh Fr. Henry de Laulanie sekitar 30 tahun lalu di
Madagaskar dan telah menyebar di banyak Negara termasuk Indonesia. SRI
pertama kali diperkenalkan oleh Yayasan Padi Indonesia (YAPADI) di Garut dan
Ciamis pada tahun 2005 karena tergugah oleh presentasi Dr. Norman Uphoff
tentang SRI dalam Internasional Rice Conference (IRC) di Bali tahun 2005. Sejak
diperkenalkan pada tahun 2000, ternyata luas areal penerapan SRI di Garut baru
mencapai sekitar 50 hektar dari total 107,000 hektar luas baku sawah, tersebar di
Kecamatan Bayongbong, Tarogong Kidul, Cibatu, dan Cilawu dengan peserta
sebanyak 500 petani.Di Kabupaten Ciamis, luas lahan yang menerapkan SRI
sebanyak 78 hektar dari 104,000 hektar luas baku sawah, tersebar di Kecamatan
Banjarsari, Lakbok, Mangunjaya, dan Cikoneng dengan jumlah petani yang
terlibat sebanyak 759 orang. Di lokasi kajian, petani responden umumnya tidak
menerapkan SRI pada seluruh lahannya. Disesuaikan dengan tenaga dan waktu
yang tersedia, ketersediaan bahan organik, dan mudah tidaknya lahan dikeringkan.
Proposi sawah petani yang digunakan untuk usahatani padi dengan SRI lebih
besar di Garut yaitu 50 persen dari luas sawah yang dimiliki dibandingkan dengan

9
di Ciamis sebanyak 30 persen. Dilaporkan bahwa pada awalnya produktivitas padi
yang hanya menerima pupuk organik pada tanah Ultisols dan Inceptisols di lokasi
pengkajian turun 30-50 persen. Pada musim keempat (setelah satu setengah tahun),
akibat pemupukan organik terus-menerus, hasil semakin bertambah menyamai
produktivitas awal ketika hanya dipupuk anorganik. Rata-rata jumlah pupuk
organik (kompos) yang diberikan oleh petani adalah 4.7 ton/hektar di Garut dan
7.5 ton/hektar di Ciamis. Menurut petani SRI, peningkatan hasil tersebut
disebabkan oleh penggunaan bibit muda berumur 7-10 hari, yang ditanam satu
bibit per rumpun, jarak tanam renggang, irigasi basah kering bergantiansetiap 710 hari, dan penggunaan bahan organik. SRI mampu menghemat saprodi berupa
benih, pupuk dan insektisida, tetapi pengunaan kompos sangat tinggi. Kurang
tersedianya pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI.
(Kementan 2012)
Berdasarkan beberapa hasil penelitian SRI, berkembangnya sistem
pertanian organik berasal dari keinginan petani untuk mereduksi pupuk kimia.
Pupuk kimia mengakibatkan pencemaran lahan pertanian, sehingga sebagian
petani mulai banyak yang beralih pada pertanian organik. Pertanian organik hanya
menggunakan pupuk yang berasal dari alam, sehingga para petani dapat membuat
pupuk sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan disekitarnya. Selain itu, dari
aspek pengelolaan air secara terus-menerus, di lain pihak ketersediaan air semakin
terbatas maka efisiensi penggunaan air diperlukan dalam usahatani.
Program SRI adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi
dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. Metode tersebut
memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara
mikroba tanah yang beraneka ragam melalui bahan organik, tanpa pupuk kimia
dan tanpa pestisida kimia, serta dapat menghemat penggunaan air. Sebagai upaya
untuk mengurangi dampak negatif dan ketergantungan petani dari penggunaan
input anorganik dalam usahatani khususnya pada komoditi padi, saat ini muncul
berbagai format pertanian alternatif salah satunya yaitu padi ramah lingkungan
metode SRI. Program SRI lebih menekankan pada penerapan pertanian organik
mulai dari pembenihan dan pembibitan, hingga penggunaan pupuk. Sejalan
dengan perkembangan pertanian, teknik budidaya padi ramah lingkungan SRI
yang berbasis pada kearifan lokal mulai diadopsi oleh petani lainnya diluar
anggota kelompok tani meskipun hanya dalam hal penggunaan jenis input
produksinya yang organik (Ubaydillah 2008).
Syarif dan Agustmar (2007) menyebutkan metode SRI yang menjadi bagian
penting dan baru dalam penggunaannya mengandung empat perbedaan yang
mendasar dari cara konvensional. Pertama adalah persiapan bibit dimana benih
yang sudah direndam 24 jam dan diperam satu malam, disemaikan pada media
tanah campur pupuk kandang 1:1 setebal 5 cm dalam baki plastik, dan dibiarkan
berkecambah sehingga menjadi bibit muda pada umur 12 hari atau 2 helai daun
sudah membuka penuh dan siap untuk digunakan. Kedua adalah cara pengairan
selama periode pertumbuhan dan produksi dimana air tidak menggenang (tinggi 1
cm atau jenuh) sewaktu penanaman hingga kering pada lima hari pertama (terlihat
rekahan kecil). Periode selanjutnya pemberian air atau pembasahan ulang pada
sore hari hingga lembab dan dikeringkan pula hingga terbentuk rekahan kecil
dipermukaan tanah. Periode seperti ini berlangsung hingga masuknya fase
pembungaan atau 50 hari setelah tanam. Selama fase pembungaan hingga matang

10
fisiologis, tinggi air dipertahankan 5 cm. Ketiga adalah penggunaan bahan organik
sampai batas normal kadar bahan organik tanah. Keempat adalah pengaturan jarak
tanam yang renggang yaitu 30x30 cm dan penanaman satu bibit per rumpun (titik
tanam). Cara konvensional yang sudah dijalani menggunakan bibit lebih banyak
dipersemaian dengan umur pindah 21 hari. Air selalu menggenang dalam petakan
setinggi 5 cm pada masa vegetatif. Selama masa reproduktif, air menggenang 5-7
cm dan tidak ada masukan bahan organik. Jarak tanam yang digunakan ukuran
20x20 cm dan menggunakan jumlah bibit yang banyak yaitu lima bibit per titik
tanam. Penggunaan pupuk buatan dosis anjuran yaitu Urea, TSP, dan KCL pun
cukup besar yaitu 300, 150 dan 100 kg/Ha yang diberikan berturut-turut pada saat
tanam. Urea diporsi dua kali pada awal tanam dan umur 30 hari secara sebar.
Perawatan terhadap tanaman di lapangan perlu dilakukan karena gulma
lebih mudah tumbuh akibat metode SRI yang terkondisi lembab bahkan kering.
Setiap satu minggu hingga masuknya fase berbunga dilakukan penyiangan dengan
rotary weeder sehingga tata udara tanah menjadi lebih baik. Sedangkan pada
metode konvensional, penyiangan langsung dengan tangan dan di lakukan sebulan
sekali. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika serangannya merugikan
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Program SRI menghasilkan komoditas pertanian berupa beras organik.
Beras organik merupakan produk dari pertanian padi dengan sistem budidaya
organik. Beras organik sangat baik bagi kesehatan, karena bebas dari bahan kimia
berbahaya jika dibandingkan dengan beras lain, mempunyai aroma yang khas
(alami), tidak mudah berair, rasanya enak dan gurih. Kelebihan yang terdapat
pada beras organik menjadikan beras ini semakin banyak disukai oleh konsumen.
Harga beras organik yang tergolong mahal, menyebabkan hanya kalangan
menengah ke atas yang mampu membeli. Harga beras organik yang relatif mahal
ini, disebabkan oleh besarnya manfaat beras organik bagi kesehatan (bebas dari
kandungan bahan kimia berbahaya), juga karena relatif tingginya faktor resiko
dalam produksi (usahatani) yang dihadapi oleh petani akibat tidak menggunakan
pestisida dan pupuk anorganik.
Pertanian metode SRI menggunakan jumlah bibit padi yang lebih rendah
sehingga dapat menguntungkan petani. Penggunaan bibit yang sedikit harus
dibarengi dengan penggunaan jumlah tenaga kerja dan pupuk organik yang lebih
banyak. Metode SRI memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman,
dan memelihara mikroba tanah yang berankeka ragam melalui bahan organik,
tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia, serta dapat menghemat penggunaan
air. Hasil produksi padi metode SRI lebih tinggi diikuti harga jual gabah kering
panen yang lebih tinggi pula.
Tingkat produktivitas serta harga yang tinggi membuat pendapatan petani
meningkat yang diniali dari total pendapatan dibandingkan biaya yang harus
dikeluarkan. Meskipun demikian ada pula fakta yang menyatakan setiap satu
rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan
memberikan penerimaan lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani padi
konvensional. Hal tersebut dimungkinkan karena peningkatan produktivitas padi
baru akan terlihat ketika setelah dua kali musim tanam.
Dampak sosial yang ditimbulakn dari program SRI yaitu meningkatkan
kesadaran tentang pentingnya hemat air, kemampuan merajut norma, serta
menguatnya rasa memiliki terhadap prasarana jaringan irigasi. Dampak sosial

11
sungguh merupakan dampak yang sangat berharga bagi petani sebagai suatu unit
sosial yang basis dalam pertanian. Demikian pula, dampak ekonomi berupa
meningkatnya volume produksi serta keuntungan petani SRI. Adapun beberapa
hasil penelitian SRI disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tentang SRI menurut sumber penelitian
Sumber
Saragih (2011)

Hasil Penelitian
1. Jumlah benih padi yang digunakan lebih rendah.
2. Penggunaan pupuk lebih besar.
3. Jumlah tenaga kerja yang digunakan lebih besar.
4. Hasil produksi lebih tinggi.
5. Harga jual Gabah Kering Panen lebih tinggi.
6. Penghematan penggunaan air.

Rachmiyanti (2009)

1.
2.
3.
4.

Jumlah benih yang digunakan lebih rendah.
Penggunaan pupuk lebih besar.
Jumlah tenaga kerja yang digunakan lebih besar.
Hasil R/C diketahui Rp. 1.98

Ubaydillah (2008)

1. Membutuhkan biaya usahatani yang lebih besar.
2. Lembaga pemasaran yang menerima keuntungan
paling besar yaitu petani (100 persen)

Suriadi (tanpa tahun)

1. Dampak sosial berupa peningkatan kesadaran
tentang pentingnya hemat air, kemampuan merajut
norma, serta menguatnya rasa memiliki terhadap
prasarana jaringan irigasi.
2. Dampak ekonomi berupa meingkatnya volume
produksi serta semakin meningkatnya keuntungan
petani

Kurniadiningsih
(2012)

1. Peningkatan hasil padi berkisar antara 40 persen.
2. Peningkatan hasil hanya dialami oleh petani yang
telah melakukan kegiatan SRI lebih dari dua
musim,
3. Hasil R/C sebesar 2.95

Suatu program tidak lepas dari tiga hal aspek utama yang meliputi
pengukuran input, output, dan outcome. Pada aspek input terdapat empat ukuran
pada program SRI yaitu jumlah benih, jumlah tenaga kerja, jumlah pupuk dan
volume air. Adapun ukuran dalam aspek output dari pogram. SRI adalah
peningkatan produktivitas tanaman padi. Peningkatan produksi dilihat dari
perbandingan total pendapatan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani.
Terakhir adalah pengukuran outcome yang meliputi dampak sosial dan ekonomi
dari adanya program SRI. Dampak sosial dilihat dari peningkatan kesadaran
tentang pentingnya hemat air, kemampuan merajut norma, serta menguatnya rasa
memiliki terhadap prasarana jaringan irigasi. Adapun dampak ekonomi berupa
meingkatnya volume produksi serta semakin meningkatnya keuntungan petani.

12
Berikut, aspek dalam evaluasi dan ukuran evaluasi dalam program SRI disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Aspek dalam program dan ukuran untuk SRI
Aspek
Input

Output
Outcome
Impact

Ukuran
1. Jumlah benih
2. Jumlah tenaga kerja
3. Jumlah pupuk
4. Volume air
1. Peningkatan produktivitas
1. Peningkatan pendapatan
1. Sosial
2. Ekonomi

Tingkat adopsi inovasi program SRI dipengaruhi oleh faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal berasal dari umur, pengetahuan dan sikap yang
dimiliki petani. Program SRI tidak dapat berdiri sendiri. Sama halnya dengan
program lain, program SRI perlu didukung baik dengan program lain ataupun
dukungan dari pemerintah. Faktor eksternal berasal dari luar program SRI seperti
program-program yang menggalakan peningkatan produksi beras nasional, adanya
sarana pendidikan, dan dukungan dari pemerintah daerah. Klasifikasi faktor
internal dan eksternal adopsi inovasi pertanian metode SRI tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi faktor internal dan eksternal adopsi inovasi SRI oleh petani
Faktor
Adopsi inovasi SRI
Internal
1. Umur
2. Pengetahuan
3. Sikap
Eksternal
1. Adanya program Peningkatan Produksi
Beras Nasional
2. Adanya Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu
3. Adanya kebijakan Pemda
Inovasi
Pengertian inovasi menurut Rogers dan Shoemaker 1971 yang dikutip
Setiana (2005) diartikan sebagai ide-ide baru, paktik-praktik baru atau obyekobyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau
masyarakat sasaran penyuluhan. Lionberger dan Gwin 1982 dikutip Setiana
(2005), mengartikan inovasi sebagai sesuatu yang dinilai baru atau sesuatu yang
dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat lokalitas atau
komunitas tertentu.
Penyebaran inovasi berlagsung selama beberapa tahun sejak pertama kali
diperkenalkan sampai merata penggunaannya ke seluruh lapisan masyarakat.
Rogers (2003) mengartikan sifat inovasi sebagai ciri umum pada inovasi yang
dapat mempengaruhi persespsi seseorang dalam mengambil keputusan adopsi.
Setiana (2005) mengartikan sifat inovasi adalah ciri umum yang melekat dari
inovasi yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam laju pengambilan

13
keputusan adopsi. Terdapat lima ciri umum inovasi yang menunjukan bagaimana
persepsi seseorang terhadap sifat-sifat itu yang mungkin bermanfaat untuk
memperkirakan adopsinya, serta menganalisa kasus overadopsi. Menurut Rogers
(2003), terdapat lima macam sifat inovasi. Setiap sifat secara empiris mungkin
selalu berhubungan satu sama lain tetapi secara konseptual mereka itu berbeda.
Pengemukaan lima sifat inovasi berdasarkan pada tulisan dan riset-riset yang telah
ada, dan berdasarkan hipotesa. Lima sifat tersebut ialah keuntungan relatif,
kompabilitas, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas. Sifat-sifat inovasi
tersebut berdasarkan pengamatan penerima, bukan menurut para ahli atau agen
pembaharu. Sifat-sifat itulah yang mempengaruhi kecepatan inovasi. Seperti
halnya keindahan, inovasi hanya ada dalam pandangan penontonnya saja dan
persepsi penonton itulah yang mempengaruhi tingkah lakunya (Rogers 2003).
Menurut Setiana (2005) sifat inovasi dapat digolongkan lagi kedalam sifat
dari dalam sifat inovasi itu sendiri, yang dikenal dengan istilah intrinsik dan sifat
yang datangnya dari luar inovasi, yang disebut sebagai sifat ekstrinsik. Sifat
intrinsik meliputi informasi ilmiah yang melekat pada inovasi tersebut, nilai
keunggulan inovasi, tingkat kerumitan inovasi, mudah tidaknya inovasi tersebut
dikomunikasikan, dan mudah tidaknya inovasi tersebut diamati. Sifat ekstrinsik
terdiri dari kesesuaian inovasi dengan lingkungan setempat, tingkat keunggulan
relatif inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada atau yang telah
berkembang di daerah tersebut.
Karakteristik Petani
Cepat atau tidaknya proses adopsi inovasi tergantung dari faktor intern dari
adopter itu sendiri. Latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau politik sangat
berpengaruh dalam proses tersebut. Beberapa hal penting lain yang mempengaruhi
proses adopsi inovasi adalah (Soekartawi, 2005) :
Umur
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu, sehingga
mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi.
Pendidikan
Mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi relatif lebih cepat
melaksanakan adopsi inovasi daripada mereka yang berpendidikan rendah.
Keberanian mengambil resiko
Biasanya petani kecil berani mengambil resiko kalau adopsi inovasi itu benarbenar telah mereka yakini.
Pola hubungan
Biasanya petani yang berada dalam pola hubungan kosmopolit, lebih cepat
melakukan adopsi inovasi daripada petani yang berada dalam pola hubungan
lokalitas.
Sikap terhadap perubahan
Kebanyakan petani kecil lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan
karena sumberdaya yang mereka miliki, khususnya sumberdaya lahan terbatas.
Motivasi berkarya
Bagi petani-petani kecil menumbuhkan motivasi berkarya tidak mudah karena
keterbatasan sumberdaya lahan, pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya yang
dimiliki oleh petani tersebut.

14
Fatalisme
Apabila adopsi inovasi menyebabkan resiko yang tinggi, maka jalannya proses
adopsi inovasi akan berjalan lebih lamban atau bahkan tidak terjadi sama sekali.
Sistem kepercayaan tertentu
Makin tertutup sistem sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar, maka
semakin sulit juga anggota masyarakatnya untuk melakukan adopsi inovasi.
Karakteristik psikologi
Apabila karakter calon adopter sedemikian rupa sehingga mendukung situasi yang
memungkinkan adanya adopsi inovasi, maka proses adopsi inovasi tersebut akan
berjalan lebih cepat.
Kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi antara satu individu dengan
indivdu lain berbeda, hal ini sangat tergantung karakter individu bersangkutan.
Fakta yang ditemukan Setiana (2005) dalam adopsi inovasi diantaranya adalah
luas usaha tani, tigkat pendapatan, keberanian mengambil risiko dan umur, tingkat
partisipasi dalam kelompok atau organisasi diluar lingkungan sendiri, ativitas
dalam mencari informasi dan ide-ide baru, dan berbagai sumber informasi yang
dapat dimanfaatkan sampai ke tempat tersebut.
Keuntungan Relatif
Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap lebih
baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif seringkali
dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi. Keuntungan relatif juga dapat
diukur dengan cara lain, yaitu dilihat dari keuntungan inovasi misalnya metode
mengontrol hama tanaman lebih sederhana atau mudah bagi pekerja (Rogers
2003). Dalam suatu segi, keuntungan relatif menunjukan intensitas imbalan atau
hukuman yang ditimbulkan oleh pengadopsian suatu inovasi. Ada beberapa subdimensi keuntungan relatif yang tidak diragukan lagi, ialah tingkat keuntungan
ekonomis, rendahnya biaya permulaan, resiko nyata lebih rendah, kurangnya
ketidaknyamanan, hemat tenaga dan waktu, dan imbalan yang segera diperoleh.
Faktor yang terakhir itu mungkin yang menjelaskan kenapa inovasi yang preventif
biasanya kecepatan adopsinya rendah seperti ide ikut asuransi, penggunaan cara
KB, suntik-an pencegah wabah penyakit, dan sebagainya. Keuntungan relatif dari
inovasi preventif semacam itu sulit didemonstrasikan kepada kliennya, karena
hasilnya baru dapat dirasakan pada masa yang akan datang atau tidak segera
(Rogers 2003). Pada SRI, salah hal baru yang ditawarkan kepada petani adalah
satu bibit per rumpun. Memanam padi menggunakan metode satu bibit per
rumpun memiliki keuntungan yaitu efisien dalam hal waktu dan jumlah bibit.
Sebagaimana penelitian Rangkuti (2007) mengenai introduksi traktor tangan,
dimana ukuran yang digunakan untuk melihat keuntungan adalah waktu dan
tenaga. Disisi lain, memiliki kelemahan yaitu membutuhkan jumlah tenaga kerja
yang banyak.
Kompabilitas
Kompabilitas menurut Rogers (2003) adalah sejauhmana suatu inovasi
dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman, masa lalu dan
kebutuhan petani. Ide yang tidak kompatibel dengan ciri-ciri sistem sosial yang
menonjol akan tidak diadopsi secepat ide yang kompatibel. Kompabilitasi
memberi jaminan lebih besar dan resiko yang lebih kecil bagi petani, dan

15
membuat itu lebih berarti baginya. Suatu inovasi mungkin kompatibel dengan
nilai-nilai kepercayaan sosiokultur, ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu,
kebutuhan klien terhadap inovasi, dan keterhubungan dengan nilai-nilai. Kurang
adanya kompabilitas konsumsi daging sapi dengan nilai budaya yang ada di India
telah mencegah pengadopsian “makan daging” karena sapi dianggap hewan yang
suci di masyarakat India. Ahli-ahli nutrisi Amerika memperkenalkan susu
kambing sebagai ganti susu sapi pada tahun 1964, karena makanan kambing
hanya seperempat makanan sapi dan relatif lebih banyak menghasilkan susu. Susu
kambing ini tidak kompatibel dengan masyarakat India karena ternak kambing
sebagai usaha “orang Paria” saja, yang menduduki tingkat strata sosial yang
paling rendah. Status sosial seseorang diukur dengan berapa banya ia punya sapi.
Kompabilitas suatu inovasi tidak hanya dengan nilai kultural yang
tertanam kokoh di masyarakat. tetapi juga dengan ide-ide yang telah dterima
sebelumnya dapat mempercepat atau menghambat kecepatan adopsi. Ide lama
adalah alat untuk mengukur ide baru. Seseorang tidak dapat mengkaitkan inovasi
dengan situasi dirinya kecuali berdasar sesuatu yang telah mereka kenal dan telah
lama diketahui. Jika suatu ide baru selaras dengan praktek yang ada, maka tidak
ada inovasi. Dengan kata lain, suatu inovasi yang kompatibel adalah yang hanya
menampakan sedikit perubahan dari kebiasaan sebelumnya. Pengenalan inovasi
yang kompatibel sangat berguna jika inovasi dilihat sebagai langkah pertama dari
serangkaian inovasi yang dimasukkan agen pembaru secara berurutan. Inovasi
yang kompatibel akan meratakan jalan untuk inovasi berikutnya yang kurang
kompatibel.
Salah satu indikasi kompabilitas inovasi adalah sejauh mana inovasi
tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan klien. Salah satu taktik bagi
agen pembaru tentu saja dengan menentukan lebih dulu apa kebutuhan klien
mereka, kemudian menyarankan suatu inovasi untuk memenuhi kebutuhan itu. Di
situasi ini agen pembaru harus memiliki tingkat empati yang tinggi da