Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera Barat

1

TINGKAT PERSEPSI DAN ADOPSI PETANI PADI TERHADAP
PENERAPAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
DI DESA SIMARASOK, SUMATERA BARAT

AGUS HARIANTO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014

1

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tingkat Persepsi dan
Adopsi Petani Padi terhadap Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di
Desa Simarasok, Sumatera Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014
Agus Harianto
NIM H34100007

1

ABSTRAK
AGUS HARIANTO. Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera
Barat. Dibimbing oleh SITI JAHROH
System of Rice Intensification atau metode SRI merupakan salah satu
metode dalam teknik budidaya padi yang lebih memperhatikan kondisi
pertumbuhan tanaman yang lebih baik terutama di zona perakaran jika
dibandingkan dengan teknik budidaya tradisional. Tujuan penelitian ini adalah

mengidentifikasi tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI dalam budidaya padi serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI. Penelitian ini dilakukan di
Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Data
diperoleh dengan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling
sebanyak 35 orang responden. Selanjutnya, data diolah dengan menggunakan
analisis regresi logistik. Data hasil penelitian menunjukkan 57.1 persen responden
yang memiliki persepsi baik terhadap penerapan SRI sisanya sebesar 42.9 persen
responden memiliki persepsi tidak baik terhadap penerapan metode SRI.
Sedangkan tingkat adopsi petani terdapat 51.4 persen responden yang telah
menerapkan metode SRI sesuai dengan pedoman SRI dan terdapat 48.6 persen
petani yang tidak menerapkan sesuai dengan pedoman penerapan budidaya
metode SRI. Berdasarkan analisis regresi logistik, terdapat tiga variabel terbukti
berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode SRI
yaitu lama usahatani, usia dan tingkat persepsi.
Kata kunci: analisis regresi logistik, budidaya padi, purposive sampling

ABSTRACT
AGUS HARIANTO. Perception and Adoption of Rice Farmers in Implementing
System of Rice Intensification (SRI) at Simarasok Village, West Sumatera.

Supervised by SITI JAHROH
System of Rice Intensification or SRI is one of the methods in rice
cultivation techniques. SRI is a rice cultivation practice that gives more attention
to the conditions of better plant growth, especially in the root zone compared to
traditional cultivation techniques. The aims of this study are to identify the
perception and adoption level of farmers’ adoption in implementing SRI method
and to analyze the factors that influence the adoption of SRI method. A
questionnaire survey was conducted at Simarasok Village, Baso Sub-district,
Agam District, West Sumatera to 35 farmers by purposive sampling. The data
were processed by using logistic regression. The results showed that 57.1 percent
of respondents had a good perception of the adoption of SRI while the remaining
42.9 percent had a bad perception. Meanwhile, the adoption rate of farmers was
51.4 percent of respondents have implemented the method in accordance with the
guidelines of SRI and the remaining 48.6 percent have not yet. Logistic regression
analysis showed that there were three variables that significantly affect the rate of
SRI adoption which are farming experience, age and level of perception.
Keywords: logistic regression analysis, rice cultivation, purposive sampling

1


TINGKAT PERSEPSI DAN ADOPSI PETANI PADI TERHADAP
PENERAPAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (SRI)
DI DESA SIMARASOK, SUMATERA BARAT

AGUS HARIANTO

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

1


Judul Skripsi

Nama
NIM

: Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap Penerapan
System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok,
Sumatera Barat
: Agus Harianto
: H34100007

Disetujui oleh

Siti Jahroh, PhD
Pembimbing Skripsi

Diketahui oleh

Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen


Tanggal Lulus :

1

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai April 2014 ini
adalah usahatani, dengan judul Tingkat Persepsi dan Adopsi Petani Padi terhadap
Penerapan System of Rice Intensification (SRI) di Desa Simarasok, Sumatera
Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Siti Jahroh, Ph.D selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam
upaya penyempurnaan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. John Ismedi selaku kepala
Unit Pelayanan Pertanian Kecamatan Baso Provinsi Sumatera Barat beserta rekan
kerja yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses
pengambilan data. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Megawati

Simanjuntak, SP, M.Si dan Rico Juni Artanto, S.KH yang telah memberikan
semangat dan arahan kepada penulis. Rasa terimakasih juga penulis sampaikan
kepada Beasiswa Bidikmisi yang telah membantu penulis dalam pembiayaan
kuliah dari semester satu hingga semester delapan sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih
atas dukungan sahabat seperjuangan Ade Nurjaman, Mohammad Rizal Izzati,
Laras Lestari, Munawaroh, Ali Mahmudin, Azmal Gusri Berliansyah, Irvan
Afikri, Jaka Rahmaddan serta rekan-rekan agribisnis angkatan 47 semasa
perkuliahan yang telah menorehkan cerita dan memberikan warna indah di
kampus tercinta ini serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat diucapkan satu
per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014
Agus Harianto

1

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Ruang Lingkup
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan System of Rice Intensification
Metode System of Rice Intensification
Penggunaan Teori Persepsi dan Adopsi Rogers
Penelitian Adopsi dan Persepsi Masyarakat terhadap Metode SRI
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Populasi dan Sampel

Metode Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM DESA SIMARASOK
Lokasi dan Kondisi Geografis Desa Simarasok
Keadaan Penduduk dan Mata Pencaharian
Karakteristik Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persepsi terhadap SRI
Adopsi terhadap Metode SRI
Penilaian Model Tingkat Adopsi Metode SRI
Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Adopsi Petani terhadap
Metode SRI
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
viii
viii
1

1
2
4
4
4
4
4
5
12
13
16
16
21
23
23
23
23
23
27
27

28
30
33
33
34
39
41
45
46
49
55

2

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
18
20
21
22
23
24
25
26

Teori-teori prinsip dasar penerepan metode SRI
Pola pengaturan air metode SRI
Prinsip dasar penerapan metode SRI berdasarkan Dinas Pertanian Provinsi
Sumatera Barat
Data jumlah penduduk wilayah Desa Simarasok
Data jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian (petani dan non petani)
wilayah Desa Simarasok
Data luas penggunaan lahan usahatani wilayah Desa Simarasok
Penyebaran kategori usia pada responden
Penyebaran 4 kategori lama pendidikan pada responden
Penyebaran kategori lama pelatihan pertanian yang diterima pada responden
Penyebaran kategori lama pengalaman usahatani responden
Penyebaran kategori luas lahan responden
Persentase tingkat persepsi petani terhadap penerapan metode SRI
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI seleksi benih
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pemindahan bibit
ke lahan
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI jumlah
penanaman bibit perlubang
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI jarak tanam
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI penggunaan
pupuk organik
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengaturan air
macak-macak
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
hama secara alami
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
gulma
Tingkat adopsi responden terhadap penerapan metode SRI pengendalian
gulma sebanyak dua kali
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan omnibus test of model
coefficient dengan metode enter
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan hosmer dan lemeshow
test
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan negelkerke R square
Dugaan parameter regresi logistik biner berdasarkan variables in the
equation

6
11
16
28
29
30
31
31
32
32
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
38
39

39
40
40

3

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Benih hampa dan benih bernas pada perendaman air garam
Benih muda yang siap dipindahkan ke lahan sawah
Jarak tanam dan tanam tunggal pada metode SRI
Pola pengaturan macak-macak pada metode SRI
Bagan kerangka berpikir penelitian persepsi dan tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI
Peta Kecamatan Baso
Sebaran umur penduduk Desa Simarasok

8
9
10
10
22
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Produksi, luas panen, produktivitas, dan persentase produktivitas padi di
Provinsi Sumatera Barat tahun 2013
Tabulasi hasil perhitungan tingkat persepsi petani terhadap penerapan
metode SRI
Tabulasi hasil perhitungan tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI
Output regresi logistik olahan SPSS

49
50
52
54

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan pangan merupakan kebutuhan primer manusia. Namun, dalam
proses pemenuhan pangan tersebut seringkali terjadi kendala karena adanya
ketidaksesuaian antara pangan yang tersedia dan kebutuhan bahan pangan.
Rendahnya produktivitas hasil pertanian dan masih banyaknya petani yang
kehilangan hasil pertanian saat melakukan panen menjadi kendala tercapainya
ketahanan pangan.
Pada tahun 1960-an, sebagai tanggapan atas kekhawatiran terhadap
masalah ketahanan pangan, pemerintah meluncurkan sebuah program nasional
yang sekarang kita kenal dengan nama revolusi hijau. Revolusi hijau merupakan
usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan.
Revolusi hijau mengubah metode usahatani dari pertanian yang menggunakan
teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi yang lebih
maju atau modern. Hasilnya, secara signifikan produktivitas padi meningkat lebih
dari dua kali lipat. Keberhasilan peningkatan produktivitas padi erat kaitannya
dengan dinamika intensifikasi yang didukung oleh pendekatan dan teknologi
revolusi hijau dengan andalan utama Varietas Unggul Baru (VUB) yang didukung
oleh sarana irigasi, teknologi pemupukan, dan pengendalian organisme
pengganggu tumbuhan (OPT), dukungan penggunaan benih bermutu, pergantian
varietas unggul, dan pemupukan berimbang (Las 2009).
Hingga tahun 1990-an, pendekatan dan penerapan teknologi revolusi hijau
mampu meningkatkan produksi padi di Asia dengan indeks kenaikan yang lebih
tinggi dari indeks kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan produksi padi di Asia
Tenggara secara signifikan dialami oleh Indonesia, Vietnam, dan Myanmar,
sedangkan di Asia Selatan dan Asia Timur terjadi di India dan Cina. Namun,
dalam 15 tahun terakhir, laju kenaikan produksi padi melandai (leveling off). Hal
ini terkait dengan lambatnya laju kenaikan hasil padi per satuan luas dalam
periode tersebut. Produksi padi dengan teknologi revolusi hijau ternyata telah
mencapai batas maksimal dan tidak dapat ditingkatkan lagi. Bahkan pada tahuntahun tertentu, produksi menurun akibat kemarau panjang (El Nino) dan
dampaknya berupa ledakan hama dan penyakit. Pada tahun 1999, pemerintah
kembali membuka sebuah metode baru untuk diterapkan di Indonesia demi
menjawab tantangan ketahanan pangan. Metode ini kemudian dikenal dengan
System of Rice Intensification (SRI).
System of Rice Intensification (SRI) merupakan salah satu metode dalam
teknik budidaya padi. SRI merupakan praktik pengelolaan padi yang lebih
memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan
dengan teknik budidaya secara tradisional terutama di zona perakaran. SRI
dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline.
Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Madagaskar untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun
kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and
Development (CIIFAD) mulai bekerja sama dengan Association Tefy Sains untuk
memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park, Madagaskar Timur

2

yang didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di
Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang
positif (Berkelaar 2001).
Beberapa penelitian telah membuktikan hasil yang signifikan dari metode
SRI. Percobaan-percobaan di lapangan juga telah memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Hasil percobaan pertama dilakukan di Sukamandi Jawa Barat pada
musim kemarau tahun 1999. Berdasarkan hasil penelitian, produktivitas padi
dengan metode SRI mencapai 6.2 ton/ha, sedangkan untuk tanah kontrol hanya
mencapai 4.1 ton/ha. Pada musim penghujan produktivitas padi dengan metode
SRI mencapai 8.2 ton/ha. Penelitian serupa juga dilakukan di wilayah bagian
timur Jawa Barat pada tahun 2002 oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Adventist
Development and Relief Agency (LSM ADRA) yang bekerja sama dengan tujuh
petani yang menggunakan metode SRI. Hasil yang didapatkan sebelum
menggunakan metode SRI produktivitasnya hanya mencapai 4.4 ton/ha, setelah
menerapkan metode SRI produktivitas meningkat hingga 7-11 ton/ha sedangkan
di Lampung produktivitas rata-rata mencapai 8.5 ton/ha yang awalnya hanya 3
ton/ha (Wardana et al. 2005).
Seiring dengan adanya peningkatan produksi maka penerapan metode SRI
juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Penelitian yang dilakukan oleh
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) tentang perbandingan pendapatan budidaya
padi dengan metode konvensional dan metode SRI menunjukkan penerimaan
usahatani dengan menggunakan metode konvensional sebesar Rp7 342 200 per
hektar per musim sedangkan dengan menggunakan metode SRI pendapatan petani
meningkat menjadi Rp12 277 800. Kesimpulan dari hasil penelitian yang
dilakukan, ternyata metode SRI mampu meningkatkan pendapatan hingga 59.8
persen.
Meskipun penerapan budidaya padi menggunakan metode SRI dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani tetapi di beberapa daerah belum
memperlihatkan hasil yang signifikan. Tidak semua daerah menerapkan metode
SRI sesuai dengan anjuran. Kasus di Sumatera Barat, penerapan SRI masih sedikit
meskipun sudah disosialisasikan dari tahun 2000. Demikian halnya di Desa
Simarasok, Kabupaten Agam saat ini banyak petani yang mengadopsi metode SRI
tidak sesuai dengan anjuran penerapan SRI. Oleh karena itu, perlu diketahui
alasan yang mendasari masyarakat tidak menerapkan metode SRI sesuai dengan
anjuran dan lebih lanjut mengetahui tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap
metode SRI. Tingkat persepsi petani merupakan pandangan petani terhadap
metode SRI. Sedangkan adopsi merupakan tingkat penyerapan metode baru pada
usahatani padi. Kedua hal ini diduga berhubungan. Adopsi petani diduga
dipengaruhi oleh tingkat persepsi petani. Selanjutnya, perlu juga diteliti faktorfaktor yang memengaruhi tingkat adopsi petani terhadap metode SRI.
Perumusan Masalah
Metode SRI pertama kali dikembangkan di Indonesia pada tahun 1999 ke
sentra-sentra tanaman padi di Indonesia yang salah satunya adalah Sumatera
Barat. Metode ini pertama diperkenalkan oleh rektor Universitas Andalas yaitu
Bapak Musliar Kasim. Hingga saat ini, metode SRI dikembangkan melalui
penelitian-penelitian. Dalam penerapannya, Universitas Andalas bekerja sama

3

dengan Pemerintah Sumatera Barat khususnya Dinas Pertanian Sumatera Barat
dalam mengupayakan sosialisasi metode SRI. Nama dari SRI diubah menjadi
“Padi Tanam Sabatang” yang dikenal dengan nama PTS. Nama ini lebih lazim
digunakan masyarakat Sumatera Barat (Agustamar dan Syarif 2007). Program
PTS diterapkan di sentra-sentra produksi padi Sumatera Barat salah satunya
adalah di Kabupaten Agam yang merupakan penghasil padi terbanyak kedua yaitu
sebanyak 12.61 persen dari total produksi padi di Sumatera Barat (Produksi padi
di Sumatera Barat lihat Lampiran 1).
Tantangan utama bagi pengembang SRI adalah sulitnya meyakinkan para
petani bahwa metode yang telah digunakan selama bertahun-tahun (membanjiri
tanah pertanian, menaruh beberapa bibit per lubang, dan membajak tanah dengan
dalam) benar-benar menghambat dan bukan menghasilkan tanaman yang sehat
serta meningkatkan hasil tinggi. Sulitnya meyakinkan para petani menimbulkan
masalah rendahnya tingkat adopsi petani terhadap metode SRI. Asumsi bahwa
metode baru yang dibawa adalah metode yang berbelit-belit merupakan faktor
utama menjadi ketidakberkembangan metode SRI. Adopsi yang rendah dari petani
secara otomatis memengaruhi tingkat penerapan petani dalam menggunakan
metode SRI.
Pada kenyataannya, tidak semua daerah dapat menerima dan menerapkan
metode SRI pada sawah mereka. Banyak kendala dan faktor penyebab yang harus
ditemukan dan dikaji lebih lanjut. Hal ini menjadikan setiap daerah memiliki
karakteristik persepsi dan kecenderungan adopsi metode SRI yang berbeda-beda.
Salah satu daerah yang telah menerapkan metode SRI adalah Desa Simarasok,
Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Daerah ini merupakan salah
satu lumbung padi di Sumatera Barat. Namun, penerapan metode SRI masih
belum sesuai dengan cara dan ketentuan sebenarnya sehingga perlu dilakukan
penelitian untuk menganalisis tingkat persepsi masyarakat terhadap SRI dan
korelasi antara karakteristik petani terhadap peluang menerapkan metode SRI
sesuai anjuran.
Tingkat adopsi SRI diduga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
petani. Faktor tersebut dapat disebabkan oleh faktor sosial, karakter petani,
topografi daerah, dan kondisi politik daerah setempat. Dalam penelitian ini akan
diteliti faktor karakteristik petani yang terdiri atas umur, lama pelatihan,
pendidikan, luas penguasaan lahan, persepsi, dan pengalaman usahatani.
Sehingga, pada penelitian ini fokus menjawab beberapa pertanyaan terkait tingkat
adopsi dan persepsi petani, yaitu:
1. Bagaimana persepsi petani Desa Simarasok terhadap penerapan metode
SRI?
2. Bagaimana tingkat adopsi petani Desa Simarasok terhadap penerapan
metode SRI?
3. Apakah karakteristik dan persepsi petani memengaruhi tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi persepsi petani terhadap metode SRI.

4

2. Mengidentifikasi tingkat adopsi petani Desa Simarasok terhadap
penerapan SRI.
3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi tingkat adopsi petani
terhadap metode SRI.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetahui tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan
metode SRI dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
2. Memberikan alternatif, saran, dan masukan terhadap permasalahan tingkat
adopsi metode SRI di Desa Simarasok khususnya dan Sumatera Barat
umumnya.

Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan di Desa Simarasok, Kecamatan Baso, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat dengan target responden adalah petani padi yang telah
menerapkan metode penanaman padi secara SRI. Kabupaten Agam adalah salah
satu sentra padi di Sumatera Barat. Metode SRI juga telah diterapkan di daerah
ini. Sedangkan lingkup kajian yang akan diteliti adalah mengenai persepsi dan
tingkat adopsi petani padi terhadap metode SRI.

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan System of Rice Intensification
SRI atau System of Rice Intensification atau Le Systéme de Riziculture
Intensive bukan merupakan varietas padi baru ataupun padi hibrida, namun suatu
metode atau cara penanaman dan perawatan padi (Suitna dan Utju 2010). Dalam
istilah lain SRI (System of Rice Intensification) diartikan sebagai salah satu
pendekatan dalam praktik budidaya padi yang menekankan pada manajemen
pengelolaan tanah, tanaman, dan air melalui pemberdayaan kelompok dan
kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan (Deptan dalam
Tarbiah 2010). Berdasarkan kedua penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa
SRI merupakan sebuah terobosan baru dalam budidaya tanaman padi dengan cara
mengefisienkan input untuk memperoleh hasil output yang maksimal dan ramah
ligkungan.
Secara historis, metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di
Madagaskar antara tahun 1983 sampai 1984 oleh biarawan Yeswit asal Perancis
bernama FR. Henri de Laulani, S.J. Metode ini selanjutnya dalam bahasa Perancis
dinamakan Le Systéme de Riziculture Intensive dan bahasa Inggris dengan nama
System of Rice Intensification atau disingkat SRI. Kemudian pada tahun 1990

5

dibentuk Association Tefy Sains (ATS), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Madagaskar untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell
International Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai
bekerjasama dengan Tefy Sains untuk memperkenalkan SRI di sekitar
Ranomafama National Park di Madagaskar Timur yang didukung oleh US Agency
for International Development. Metode SRI juga telah diuji di berbagai Negara di
Kawasan Asia, termasuk Asia Selatan seperti, India, Bangladesh, dan Srilangka,
serta di negara kawasan Asia Tenggara seperti, Filipina dan Vietnam serta di Cina
Daratan dengan hasil yang positif (Berkelaar 2001).
Pada tahun 1999, kerjasama Nanjing Agricultural University di China dan
AARD (Agency for Agriculture Research and Development) di Indonesia
melakukan percobaan pertama di luar Madagaskar. SRI menjadi terkenal di dunia
melalui upaya dari Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute
for Food, Agriculture and Development). Pada tahun 1997 Uphoff mengadakan
presentasi di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan
diluar Madagaskar. Sampai dengan tahun 2006, SRI telah berkembang di
beberapa negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Philipina, Thailand,
Vietnam, Banglades, Cina, India, Nepal, Srilangka, Gandia, Afganistan, Irak, Iran,
Pakistan, Burkina Faso, Ethiopia, Guinea, Mali, Zambia, Kolombia dan Republik
Dominika. Di Indonesia, uji coba teknik SRI pertama dilaksanakan oleh Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim
kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000
menghasilkan padi rata-rata 8.2 ton/ha. SRI juga telah diterapkan di beberapa
kabupaten di Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur yang sebagian besar dipromosikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
(Wardana et al. 2005).
Metode System of Rice Intensification
Penerapan budidaya padi dengan menggunakan metode SRI memberikan
beberapa keunggulan. Adapun keunggulan tersebut menurut Mutakin (2005),
yaitu:
1. Tanaman hemat air, selama pertumbuhan mulai dari tanam sampai panen
digenangi air maksimal 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan
ada periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi terputus).
2. Hemat biaya karena hanya membutuhkan benih 5 kg/ha. Metode SRI tidak
memerlukan biaya pencabutan bibit, biaya pindah bibit, dan tenaga untuk
proses penanaman kurang.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hari setelah tanam sehingga
waktu panen akan lebih awal.
4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha.
5. Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan
menggunakan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk kandang, dan mikroorganisme lokal).
Teknik budidaya tanaman padi dengan metode SRI berbeda dengan teknik
yang biasa dilakukan dengan cara konvensional. Teknik budidaya yang diterapkan
harus mengikuti prinsip SRI agar mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini

6

disampaikan oleh Berkelaar (2001), Mutakin (2005), LSK Bina Bakat Surakarta
(2011), dan Dinas Pertanian Sumatera Barat (2008) yang menjelaskan beberapa
prinsip penerapan metode SRI dalam Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Teori-teori prinsip dasar penerapan metode SRI
Prinsip Dasar Teori
Teori LSK Bina Teori Jaenal
Berkelaar
Bakas
Mutakin
Surakarta
Pemilihan
Tidak
Tidak
Tidak
bibit
dilakukan
dilakukan
dilakukan
pemilihan
pemilihan bibit pemilihan
bibit
bibit

Teori Dinas
Pertanian
Sumatera Barat
Dilakukan
dengan
perendaman air
garam

Umur
pemindahan
bibit

8-15 hari

5-15 hari

kurang dari 12 5-15 hari
hari setelah
semai atau
ketika bibit
masih
berdaun 2
helai

Jumlah
tanam bibit
per lubang

Satu bibit
per lubang

Satu bibit per
lubang

Satu bibit per
lubang

1-3 bibit per
lubang

Jarak tanam

(25x25) cm

(35x35) cm
hingga (40 x40)
cm

(30x30) cm
hingga
(35x35) cm

(25x25) cm

Penggunaan
pupuk
organik

Menggunakan

Menggunakan

Menggunakan

Menggunakan

Pengaturan
air

Macakmacak
(5mm)

Macak-macak
(5mm) kecuali
pada umur 741 hari setelah
semai tinggi air
3cm

Pemberian air
maksimal 2
cm (macakmacak/5mm)
dan periode
tertentu
dikeringkan
sampai pecah
(irigasi
berselang/terp
utus)

Macak-macak
(5mm) kecuali
pada umur 741 hari setelah
semai tinggi air
3cm

Pengendalian
hama secara
alami

Dilakukan
Dilakukan
dengan
dengan musuh
musuh alami alami hama dan

Dilakukan
Dilakukan
dengan musuh dengan musuh
alami hama
alami hama dan

7

Prinsip Dasar

Teori
Berkelaar
hama dan
perangkap

Teori LSK Bina Teori Jaenal
Bakas
Mutakin
Surakarta
perangkap
dan
perangkap

Teori Dinas
Pertanian
Sumatera Barat
perangkap

Pengendalian
gulma

Dilakukan
dengan
manual (kuil
dan gasrok)

Dilakukan
dengan manual
(kuil dan
gasrok)

Dilakukan
dengan
manual (kuil
dan gasrok)

Dilakukan
dengan manual
(kuil dan
gasrok)

Pengendalian
gulma dua
kali

Dilakukan

Dilakukan

Dilakukan

Dilakukan

Kekurangan

Tidak ada
perendaman
dengan air
garam,
jumlah bibit
untuk satu
lubang satu
bibit
sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap
hama tinggi

Tidak ada
perendaman
dengan air
garam, jumlah
bibit untuk satu
lubang satu
bibit sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap hama
tinggi, jarak
tanam terlalu
jarang jika
dibandingkan
dengan teori
lain

Tidak ada
perendaman
dengan air
garam, jumlah
bibit untuk
satu lubang
satu bibit
sehingga
tingkat
kerentanan
terhadap
hama tinggi,
jarak tanam
terlalu jarang
jika
dibandingkan
dengan teori
lain

Kelebihan

Jarak tanam sedang
(tidak terlalu
rapat dan
tidak terlalu
jarang)

-

Dilakukan
penyeleksian
benih yaitu
prendaman
dengan air
garam, jarak
tanam sedang
(tidak terlalu
rapat dan tidak
terlalu jarang

Teori-teori penerapan metode SRI pada Tabel 1 menjelaskan batasan
batasan dalam penerapan metode SRI. Secara umum prinsip-prinsip dasar
penerapan SRI hampir sama. Perbedaan antara prinsip dasar yang dijelaskan oleh

8

Dinas Pertanian Sumatera Barat dadalah adanya penyeleksian benih dengan
perendaman air garam. Berikut dijelaskan prinsip-prinsip dasar yang diterpkan
oleh Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat.
1. Perendaman dengan Air Garam
Persemaian SRI dilakukan dengan cara kering (tidak digenang).
Persemaian bisa dilakukan dilahan sawah/darat, pekarangan, atau di media buatan
seperti nampan. Media tumbuh persemaian berupa campuran tanah dengan bahan
organik dengan perbandingan 1:1. Sebelum benih disemai perlu dilakukan uji
benih bermutu/bernas dengan menggunakan larutan garam. Benih diuji dengan
melakukan perendaman dengan air garam. Benih yang dianggap bernas adalah
benih yang terendam, sedangkan benih yang terapung dianggap tidak bernas
sehingga tidak baik untuk disemai. Berikut gambar perendaman benih dengan air
garam.

Benih Hampa
(tidak bernas)

Benih Bernas
Gambar 1. Benih hampa dan benih bernas pada perendaman air garam
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
2. Bibit Umur Muda
Demikian halnya dengan metode konvensional, sebelum melakukan
pembenihan terlebih dahulu dilakukan pemilihan benih yang unggul dan baik.
Pada implementasi metode budidaya padi secara konvensional, sebagian besar
petani cenderung menggunakan bibit yang relatif tua yaitu sekitar 25 hingga 30
hari. Kecendrungan ini didasari pada kemudahan dalam pencabutan benih, asumsi
ketahanan terhadap hama dan penyakit, kemudahan pada penanaman, dan asumsi
akan lebih cepat hidup. Kenyataannya, penggunaan bibit berumur tua berakibat
pada jumlah anakan yang tidak maksimal dan pertumbuhan yang terhambat
karena terjadinya stagnansi akibat tidak tercabutnya semua daya jelajah akar.
Dalam praktiknya, menanam bibit padi yang berumur 5–15 hari menghasilkan
pertumbuhan tanaman lebih cepat karena pada saat pemindahan bibit akar tercabut
semua. Bahkan, ketika tanaman padi telah berumur 13 hari setelah tanam, jumlah
anakan sudah mencapai rata‐rata 5 batang. Jumlah anakan ini berpotensi untuk
terus bertambah sesuai dengan perkembangan umur tanaman. Praktik yang sudah
dilakukan dengan menggunakan bibit tanaman umur 10 hari, menghasilkan
jumlah anakan maksimal 30 sampai 50 batang dalam setiap rumpunnya.

9

Gambar 2. Benih muda yang siap dipindahkan ke lahan sawah
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
3. Tanam Tunggal
Pada metode konvensional, petani menggunakan bibit rata-rata 3 hingga 5
batang per lubang, bahkan sebagian petani menggunakan 6 hingga 12 bibit per
lubang. Asumsi petani terhadap jumlah penanaman padi ini adalah semakin
banyaknya padi yang ditanam maka akan menghasilkan malai dan bulir yang
lebih banyak. Selain itu, dengan banyaknya batang yang ditanam maka dapat
mengantisipasi serangan hama. Kenyatannya, dengan menanam jumlah yang
banyak setiap lubang maka terjadi kompetisi hara dan matahari. Akibatnya padi
yang tumbuh tidak akan menghasilkan malai yang banyak bahkan anakan tidak
berkembang secara cepat. Dengan metode SRI penanaman bibit hanya 1 hingga 3
bibit per lubang maka proses pertumbuhan bibit akan cepat dan malai yang
dihasilkan pun lebih banyak.
4. Jarak Tanam
Jarak tanam yang umumnya diterapkan oleh petani adalah 20 x 20 cm
bahkan sebagian lainnya ada yang menanam dengan jarak 15 x 15 cm. Jarak
tanam yang rapat ini disebabkan adanya kekhawatiran petani terhadap lahan yang
sempit. Selain itu asumsi petani konvensional apabila menanam padi dengan jarak
tanam yang rapat bahkan sebagian tidak beraturan maka produksi yang dihasilkan
akan banyak dengan asumsi jumlah rumpun lebih banyak. Padahal, belum tentu
hanya dengan rumpun padi yang banyak akan menghasilkan bulir padi lebih
banyak. Praktiknya, dengan jarak tanam yang rapat menyebabkan lingkungan
sekitar rumpun gelap dan lembab. Hal ini tentu disukai hama seperti tikus dan
wereng. Selain itu, tanaman yang rapat berpotensi berkembang pesatnya jamur.
Metode SRI memberikan cara baru menanam dengan jarak yang lebih jarang yaitu
25 x 25 cm atau lebih. Jarak tanam yang renggang akan memaksimalkan
penyebaran cahaya matahari dan mempercepat tumbuh perakaran karena bidang
tanah untuk akar lebih luas.

10

Jarak tanam 25 cm

Jarak tanam 25 cm

Gambar 3. Jarak tanam dan tanam tunggal pada metode SRI
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)
5. Penggunaan Pupuk Organik
Tanaman akan tumbuh dengan baik jika berada dalam lahan yang
memiliki kualitas baik. Lahan yang berkualitas baik adalah lahan yang memiliki
unsur hara mencukupi bagi tanaman, memiliki keanekaragaman mikroorganisme
yang mampu menjaga kesuburan tanah, dan terbebas dari pencemaran.
Penggunaan pupuk kimia dan pestisida (buatan pabrik) dalam jumlah yang tinggi,
terbukti telah memberikan dampak atas turunnya kualitas tanah. Untuk itu
diperlukan perbaikan‐perbaikan penggunaan bahan organik atau pupuk organik
sebagai syarat mutlak yang harus dilakukan dalam memperbaiki kualitas tanah
tersebut. Penggunaan bahan organik telah terbukti mampu memperbaiki struktur
tanah dan menyediakan unsur hara yang dibutuhkan bagi tanaman (Barkelaar
2001).
6. Pengaturan Air
Padi telah lama diyakini sebagai tanaman air. Sejumlah ahli menyatakan
bahw padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa.
Pendapat ini berdasarkan pada adanya tipe padi yang hidup di rawa‐rawa (dapat
ditemukan di sejumlah tempat di Pulau Kalimantan).

Gambar 4. Pola pengaturan macak-macak pada metode SRI
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)

11

Tanaman padi memang membutuhkan air pada sebagian tahap kehidupannya,
sehingga dalam praktik budidaya, tanaman padi selalu diupayakan dalam
genangan. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek sebagai syarat tumbuh.
Untuk itu, tanaman padi sebenarnya tidak perlu air yang melimpah
(penggenangan), namun juga tidak dalam situasi tanah kering. Dengan demikian,
diperlukan pengaturan air dengan bijaksana. Dalam praktiknya, air yang
diperlukan adalah macak‐macak (becek). Dengan pengaturan air yang baik, akan
terjaga aerasi tanah yang baik pula. Aerasi yang baik adalah syarat tumbuh yang
baik bagi tanaman padi. Jika sawah selalu digenangi air maka aerasi (siklus udara
dalam tanah) tidak maksimal sehingga tanah menjadi asam, tanaman menjadi
mengkrek (jawa; keasaman) yang akhirnya dibutuhkan pengapuran dan
pengeringan. Berikut disajikan pola pengaturan air dengan metode SRI:
Tabel 2 Pola pengaturan air metode SRI
Umur (hst)
Keadaan tanaman
0-7
Saat tanaman pindah
7-41
Anakan aktif sampai mejelang
anakan maksimum

Pengaturan air
Air macak-macak
Pemberian air berselang 5
hari digenangi maksimal
3 cm
41-90
Primordia, pembuangan,
Digenangi air maksimal 3
pengisian gabah hingga sepuluh
cm, paling tidak macakhari sebelum panen
macak
90-100
10 hari sebelum panen
Lahan dikeringkan
Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat (2008)

7. Pengendalian hama
Pengendalian hama dalam metode SRI harus menerapkan cara organik
dengan konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu pada dasarnya menjaga
kesehatan tanaman mengendalikan hama dengan memperhatikan sisi ekonomi
serta melestarikan sumber daya hayati. Penggunaan pestisida harus dibatasi agar
tidak terjadi kekebalan hama.
8. Pengendalian gulma dengan metode organik
Pengendalian gulma dilakukan secara manual seperti wangkil dan landak
dengan cara dicabut menggunakan tangan merupakan cara yang bijak. Teknologi
PHT akan lebih efektif dengan menggunakan sistem jajar legowo karena padi
akan mendapatkan udara yang cukup dan memudahkan dalam perawatan
tanaman.
9. Pengendalian gulma 2 kali
Penyiangan pada metode SRI menganjurkan dengan menggunakan Gasrok
atau Lalandak sebanyak 2-3 kali. Tujuannya adalah untuk membersihkan gulma
dan memperbaiki struktur tanah serta meningkatkan aerasi tanah.

12

Penggunaan Teori Persepsi dan Adopsi Rogers
Beberapa peneliti seperti Putri (2011), Pamungkas (2013), dan Nurfitri
(2014) menggunakan teori Rogers dalam mengkaji persepsi dan adopsi petani
terhadap suatu inovasi. Putri (2011) menggunakan acuan tahapan proses adopsi
teori Rogers yaitu 5 tahapan pengambilan keputusan inovasi. Pengambilan
keputusan oleh petani, baik berupa penolakan maupun penerimaan suatu inovasi
tidak terlepas dari berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak
menguntungkan suatu teknologi bagi pengusahanya (petani). Terdapat beberapa
tahapan dalam proses pengambilan keputusan inovasi menurut Rogers (1983),
yaitu terdiri dari (1) knowledge, yaitu individu mulai mengenal adanya inovasi
dan memperoleh berbagai pengertian tentang bagaimana fungsi/kegunaan dari
inovasi tersebut; (2) persuasion, yaitu individu mulai membentuk sikap suka-tidak
suka terhadap inovasi; (3) decision, yaitu individu melakukan aktivitas yang akan
membawanya kepada pembuatan suatu pilihan untuk memutuskan menerima atau
menolak inovasi; (4) implementation, yaitu individu menggunakan inovasi yang
telah ia putuskan untuk digunakan; dan (5) confirmation, yaitu individu mencari
penguatan atas keputusan yang telah ia ambil, atau dapat menolak inovasi tersebut
apabila bertentangan dengan pengalaman sebelumnya.
Putri (2011) meneliti hubungan antara persepsi petani terhadap penerapan
padi organik yang dilihat dari lima aspek karakteristik inovasi. Adapun kelima
aspek persepsi tersebut meliputi aspek keuntungan relatif (relative advantage),
kesesuaian (compatibility), kerumitan (complexity), kemungkinan untuk dicoba
dalam skala yang lebih kecil (trialability), serta kemungkinan hasilnya dapat
diamati (observability). Pengkategorian persepsi dilihat dari dua kategori, yaitu
persepsi yang netral dan persepsi yang positif.
Hasil penelitian menunjukkan, sebesar 100 persen petani menilai bahwa
inovasi pertanian padi organik menguntungkan, sehingga tergolong ke dalam
tingkat persepsi petani yang positif. Sebagian besar para petani tergolong ke
dalam kategori tingkat persepsi terhadap karakteristik inovasi pertanian padi
organik yang positif dengan persentase sebesar 86 persen dan sebanyak 14 persen
petani lainnya tergolong ke dalam persepsi yang netral/sedang pada aspek
karakteristik kesesuaian (compatibility). Aspek kerumitan (complexity)
menunjukkan bahwa para petani di Kampung Ciburuy sebagian besar tergolong
ke dalam tingkat persepsi yang positif dengan persentase sebesar 95 persen dan 5
persen petani lainnya tergolong ke dalam tingkat persepsi yang netral tentang
karakteristik inovasi pertanian padi organik. Aspek karakteristik inovasi pertanian
padi organik pada kemungkinan untuk dicoba dalam skala kecil (trialability)
menunjukkan sebagian besar petani tergolong ke dalam tingkat persepsi yang
positif dengan persentase sebesar 95 persen dan 5 persen petani lainnya tergolong
ke dalam kategori persepsi yang netral/sedang tentang karakteristik inovasi
pertanian padi organik. Semua petani di Kampung Ciburuy tergolong ke dalam
kategori persepsi yang postif tentang karakteristik inovasi pertanian padi organik
dengan persentase sebesar 100 persen pada aspek kemungkinan hasilnya dapat
diamati (observability).
Teori Rogers digunakan oleh Pamungkas (2013) terkait hubungan antara
karakteristik inovasi terhadap tingkat adopsi metode SRI di Desa Purwasari
Bogor. Pamungkas (2013) menggunakan teori persepsi Rogers berdasarkan 5

13

aspek karakteristik inovasi sama halnya dengan penelitian Putri (2011). Setiap
prinsip dasar penerapan SRI dikaji berdaraskan karakteristik inovasi secara
deskriptif. Pengkategorian aspek karakteristik inovasi berdasarkan atas dua
kelompok yaitu aspek karakteristik tergolong rendah dan tinggi.
Selanjutnya, karakteristik inovasi dikorelasikan dengan tingkat adopsi
petani terhadap penerapan metode SRI. Berdasarkan penelitian, sebanyak 60
persen petani telah mengadopsi teknik satu bibit per rumpun. Dengan teknik SRI
ini produktivitas hasil usahatani meningkat 80 persen dan penggunaan pupuk
menurun hingga 33 persen. Sifat inovasi (keuntungan relatif, kesesuaian,
kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas) berhubungan positif dengan
keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun. Hal tersebut menunjukan bahwa
petani di Desa Purwasari sudah berfikir secara rasional dalam mengadopsi inovasi
pertanian. Keputusan adopsi inovasi oleh petani didasarkan pada penilaian secara
obyektif dari sifat-sifat yang dimiliki inovasi.
Nurfitri (2014) mengkaji hubungan antara karakteristik petani terhadap
tingkat adopsi pada penerapan budidaya sayur organik di Desa Cikarawang
Bogor. Teori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada teori Rogers
dan Shoemaker (1971) yang mengatakan bahwa karakteristik seseorang akan ikut
memengaruhi persepsi dan selanjutnya akan memengaruhi tindakan atau perilaku.
Karakterisitik personal menurut Rogers (1983) meliputi status sosial-ekonomi, ciri
kepribadian, dan perilaku komunikasi. Secara lebih rinci karakteristik personal
tersebut dijabarkan lagi ke dalam umur, pendidikan formal, pendidikan non formal,
jumlah keluarga, pengalaman berusahatani, usaha keluarga, penghasilan keluarga,
kekosmopolitan, partisipasi, kelembagaan masyarakat, partisipasi dalam kelompok,
dan kontak media. Karakteristik adopter diduga kuat memiliki hubungan dengan
persepsi seseorang dalam kaitannya dengan proses adopsi inovasi, menyangkut
pencaharian terhadap ide-ide baru. Nurfitri (2011) menduga terdapat tujuh
karakteristik petani yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani yaitu umur,
pendidikan formal, luas penguasaan lahan, pengalaman usahatani, lama bermitra,
status pekerjaan, dan status lahan yang diusahakan. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat dua karakteristik petani berpengaruh nyata terhadap penerapan budidaya
sayur organik yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman usahatani.
Teori-teori Rogers yang digunakan oleh para peneliti tentang adopsi dan
inovasi merupakan proses adopsi yang terdiri dari tahapan-tahapan adopsi, teori
persepsi yang disebut sebagai lima karakteristik inovasi, dan keterkaitan antara
karakteristik adopter terhadap tingkat adopsi. Teori-teori ini kemudian
dikembangkan dalam sudut pandang yang berbeda untuk mengidentifikasi
permasalahan terkait adopsi inovasi.
Penelitian Adopsi dan Persepsi Masyarakat terhadap Metode SRI
Kajian tentang System of Rice Intensification (SRI) merupakan kajian yang
selalu menjadi trend topik untuk dibicarakan terbukti dengan banyaknya tulisan
jurnal yang membahas tentang SRI. Banyak penelitian yang mengkaji dan
meneliti tentang segala aspek terkait metode SRI. Kajian tersebut diantaranya
tingkat pendapatan, efesiensi metode SRI, keunggulan, dan tingkat penerimaan
masyarakat tertentu terhadap metode SRI.
Secara logis, salah satu penyebab petani akan menerapkan atau menerima
sebuah teknologi termasuk metode SRI adalah ketika teknologi tersebut

14

memberikan keuntungan lebih kepada petani. Dengan demikian, hal ini akan
memengaruhi persepsi dan adopsi petani terhadap teknologi tersebut. Penelitian
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) tentang perbandingan keuntungan yang
diperoleh ketika seorang petani menerapkan metode SRI dengan metode
konvensional terlihat perbedaan penerimaan antara keduanya. Metode yang
digunakan adalah survei dan wawancara, dengan membandingkan hasil data
sebelum menggunakan SRI dan setelah menggunakan SRI di desa yang sama.
Berdasarkan analisis usahatani penggunaan biaya ternyata dengan menggunakan
metode SRI mengeluarkan biaya lebih banyak dibanding metode konvensional
yaitu Rp 4 160 000 dengan metode SRI dan Rp 3 825 000 untuk metode
konvensional. Hasil penerimaan usahatani dengan menggunakan metode SRI
pendapatan petani meningkat menjadi Rp 12 277 800 sedangkan dengan metode
konvensional penerimaan hanya sebesar Rp 7 342 200 per hektar per musim.
Kurniadiningsih dan Legowo (2011) juga menganalisis faktor eksternal
pendorong dalam percepatan adopsi metode SRI oleh petani. Data dianalisis
dengan metode kualitatif deskripsi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
beberapa hal yang menjadi kunci utama penerimaan petani untuk menerapkan
metode SRI. Adapun hal tersebut adalah sistem penyuluhan yang mudah
dimengerti petani, frekuensi penyuluhan yang intensif setiap minggu, lokakarya
petani yang dilakukan setiap dua bulan secara bergilir oleh petani sendiri di tiap
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dan orientasi pembelajaran petani yang
menekankan perubahan pola pikir dan perilaku yang ramah lingkungan.
Penelitian lain dijelaskan Richardson (2010) tentang kemampuan petanipetani Indonesia menerima metode SRI untuk diterapkan sebagai sebuah
terobosan baru dalam budidaya tanaman padi. Richardson menggunakan metode
kualitatif dalam mengolah dan menyajikan data hasil penelitian tentang adopsi
SRI di Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitian diketahui faktor-faktor eksternal
responden yang paling berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani terhadap
metode SRI adalah peranan penyuluh. Petani diyakinkan untuk menerapkan
metode SRI oleh penyuluh pertanian yang mengerti tentang situasi petani di
Indonesia. Penyuluh mengajarkan petani di sekolah lapangan dalam bahasa yang
sederhana. Hal terpenting adalah petani merasa nyaman dan memercayai orang
yang mengajari mereka. Petani lebih mungkin mengubah metode penanaman padi
yang penuh dengan resiko, jika resiko untuk mencoba metode baru lebih rendah
atau jika dapat berbagi resiko pada kelompok petani. Oleh karena itu, petanipetani dan keluarganya sangat puas dengan metode SRI. Berdasarkan petani yang
diwawancarai, semuanya percaya bahwa prospek usahatani berhasil di masa
depan dengan metode SRI bahkan mereka ingin terus memakai metode SRI dan
melakukan lebih banyak dengan prinsip setiap tahun.
Penelitian lain terkait tingkat persepsi petani dan tingkat adopsi petani
terhadap penggunaan teknologi Varietas Unggul Baru (VUB) yang dilakukan oleh
Sugandi dan Astuti (2011). Penelitian ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, dan Kabupaten Bengkulu
Tengah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara survei dengan
menyebar kuesioner. Sampel diambil berdasarkan target yang telah ditentukan
yaitu petani yang telah menerapkan teknologi VUB yaitu sebanyak 61 responden
di tiga kabupaten. Kuesioner persepsi disusun berdasarkan skala likert. Variabel
penyusun persepsi terhadap VUB adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman

15

usahatani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan status keanggotaan kelompok
tani. Sedangkan pertanyaan terhadap persepsi disusun berdasarkan atas 10
pernyataan terkait pendapat responden terhadap produktivitas VUB, keuntungan
yang dapat diperoleh, kemudahan teknis budaya, resiko kegagalan, kebiasaan,
kesesuaian agroekosistem, harga gabah, rasa nasi, dan kesesuaian permintaan
pasar. Untuk mengetahui hubungan tingkat adopsi dengan variabel bebas tersebut
Sugandi dan Astuti (2011) menggunakan analisis regresi logistik yang kemudian
diolah dengan software SPSS versi 17. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi
petani terhadap VUB diolah secara deskriptif diperoleh 53 responden. Sebanyak
86.89 persen memiliki persepsi yang baik terhadap VUB, sedangkan yang lainnya
sebanyak 13.11 persen memiliki persepsi yang kurang baik. Selanjutnya, setelah
dilakukan pengolahan data dengan SPSS untuk melihat pengaruh variabel bebas
terhadap persepsi petani terhadap VUB. Berdasarkan enam variabel bebas yang
diasumsikan berpengaruh nyata terhadap persepsi petani hanya variabel
pengalaman berusahatani yang berpengaruh nyata terhadap usahatani dengan nilai
p-value 0.059 dan taraf nyata α=10 persen sedangkan variabel lain berpengaruh
tidak nyata. Saat dilakukan uji likelihood secara keseluruhan variabel bebas
mampu menjelaskan ketepatan persepsi sebesar 33.9 persen sedangkan 66.10
persen dijelaskan oleh faktor lain.
Selanjutnya, minat adopsi petani terhadap penerapan teknologi VUB
dianalisis secara deskriptif. Berdasarkan hasil survei, dari 53 orang petani yang
memiliki persepsi baik terhadap VUB hanya 39 petani yang menggunakan VUB
di lahan sawah mereka. Kendala yang dihadapi petani adalah harga VUB yang
relatif masih mahal dan biaya produksi pupuk yang tinggi untuk menghasilkan
produktivitas yang tinggi.
Penelitian lainnya terkait pembahasan tingkat penerimaan petani terhadap
metode SRI adalah penelitian yang dilakukan oleh Ishak dan Afrizon (2011).
Penelitian ini dilakukan di Desa Bukit Peninjauan I Kecamatan Sukaraja
Kabupaten Seluma. Penelitian dilaksankan dari bulan Maret sampai bulan April
2011 dengan cara sensus terhadap 65 orang anggota Gapoktan Bumi. Secara garis
besar metode penelitian hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sugandi dan Astuti (2011). Perbedaannya, dalam menganalisis tingkat adopsi
petani terhadap metode SRI, Ishak dan Afrizon (2011) menggunakan metode
kuantitatif dengan mengkaji hubungan antara variabel bebas karakteristik petani
terhadap kemungkinan mengadopsi teknologi. Sedangkan untuk tingkat persepsi
menggunakan metode kualitatif dengan mendeskripsikan hasil wawancara saja
dan tidak memasukkan variabel pengalaman usahatani sebagai salah satu variabel
yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani. Alat analisis yang digunakan
untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi masyarakat
adalah regresi logistik. Alat ini dinilai baik karena bertujuan untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang akan diambil dua alternatif
hasil yaitu menerapkan sesuai anjuran atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian,
diperoleh 100 persen petani memiliki persepsi yang baik terhadap penerapan
metode SRI. Sedangkan variabel bebas karakteristik internal petani terhadap
tingkat adopsi petani dipengaruhi oleh empat faktor yaitu umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, dan besar pendapatan. Cara untuk mengetahui variabel
mana yang paling berpengaruh dengan menggunakan uji Wald. Berdasarkan hasil
analisis diperoleh tidak ada satu pun variabel bebas yang berpengaruh nyata

16

terhadap tingkat adopsi petani. Hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai
Negelkerke R2 yang mampu menjelaskan variabel ketepatan adopsi sebesar 13.40
persen sedangkan sisanya sebesar 86.60 persen dijelaskan oleh faktor lain.
Berdasarkan penelitian ini terlihat bahwa faktor-faktor yang telah ditetapkan
sebenarnya tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan petani dalam penerapan
metode SRI.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang penerapan metode
SRI baik terkait tingkat adopsi, keuntungan dan kerugian, bahkan analisis
usahatani. Secara keseluruhan menunjukkan penerapan metode SRI pada
hakikatnya menguntungkan petani hal ini dilihat dari jumlah pendapatan yang
diterima oleh petani. Selain itu, keuntungan dari metode ini dapat menghindari
lingkungan dari kerusakan karena dalam proses penerapan metode tidak
menggunakan bahan-bahan perusak lingku

Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

4 102 81

Analisis Komparasi Pendapatan Petani Sistem Tanam SRI (System of Rice Intensification) Dengan Petani Sistem Tanaman Legowo (Studi Kasus: Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai)

2 84 123

Analisis Adopsi Sri (System Of Rice Intensification) Dan Dampaknya Terhadap Efisiensi Usahatani Padi Di Kabupaten Solok Selatan.

0 7 103

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 5 120

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 1

Analisis Dampak Adopsi Metode System of Rice Intensification (SRI) terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah di Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang

0 0 7

Tingkat Adopsi Teknologi SRI (System of Rice Intensification) dan Analisis Usahatani Padi di Kecamatan Nagrak Kabupaten Sukabumi I.Solihah

0 0 9

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

0 0 10

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

0 0 17