Analysis of Economic Equity in Regional Development Perspective on Virginia Tobacco Agribusiness in Lombok Island

ANALISIS KEADILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN WILAYAH PADA AGRIBISNIS
TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK

MUHAMMAD NURJIHADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keadilan
Ekonomi dalam Perspektif Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau
Virginia di Pulau Lombok adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Muhammad Nurjihadi
NIM. H152110021

RINGKASAN
MUHAMMAD NURJIHADI. Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif
Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok.
Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan DEDDY S.
BRATAKUSUMAH.
Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang dominan
digunakan sebagai strategi pembangunan ekonomi negara maupun wilayah.
Rasionalitas pasar dengan pilar kebebasan, individualisme dan persaingan
sempurna menjadi acuan utama para perencana kebijakan pembangunan ekonomi
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang
dikembangkan adalah penetapan sektor atau komoditas unggulan yang
disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi wilayah setempat. Komoditas
tembakau virginia merupakan salah satu komoditas unggulan yang dianggap
penting untuk membangun perekonomian di wilayah Pulau Lombok.

Tembakau adalah komoditas yang kontroversial. Sebagai bahan baku
pembuatan rokok yang berbahaya bagi kesehatan manusia, produksi dan konsumsi
tembakau seharusnya dibatasi. Namun besarnya manfaat ekonomi yang diberikan
oleh industri pertembakauan membuat komoditas ini tetap dikembangkan sebagai
salah satu komoditas unggulan dalam pembangunan ekonomi wilayah, khususnya
di Pulau Lombok. Teori Cumulative Causation (CC Theory) menjelaskan bahwa
mekanisme pasar yang digerakkan oleh motif laba dapat mendorong
berkembangnya pembangunan terpusat di wilayah-wilayah yang memiliki harapan
laba tinggi, sementara wilayah-wilayah lain hanya dijadikan sebagai pemasok
sumberdaya untuk meraih laba yang tinggi di wilayah pusat itu. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya ketidakadilan ekonomi di mana wilayah maju menjadi
semakin maju, sedangkan wilayah terbelakang tetap terbelakang. Pasar juga
merupakan pelayan yang rajin bagi orang kaya namun tidak ramah kepada orang
miskin. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan.
Penelitian ini bermaksud untuk membuktikan apakah proses sebab-akibat
kumulatif (cumulative causation) itu terjadi pada sektor ekonomi pertembakauan.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keadilan
ekonomi secara mikro dengan menghitung margin nilai tambah (value added)
antara petani dan perusahaan industri tembakau dalam setiap satu hektar
pertanaman tembakau. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menganalisis tingkat keadilan ekonomi secara makro (dalam perspektif
pembangunan wilayah) dengan menghitung besaran efek sebar (spread effect) dan
potensi efek pencucian balik atau penyedotan sumberdaya (backwash effect) pada
agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan
teknik survey dan disajikan secara deskriptif. Wilayah penelitian ditetapkan
secara purposive yang terdiri dari 10 desa yang tersebar di 8 kecamatan dan 2
kabupaten. Responden berjumlah 100 orang yang ditetapkan dengan teknik simple
random sampling di mana setiap desa sampel diwakili oleh 10 orang responden.
Data dianalisis dengan menggunakan rumus fungsi keuntungan (π = TR – TC)
yang dimodifikasi berdasarkan kondisi riil di lapangan. Analisis kewilayahan
(spread effect dan backwash effect) dilakukan dengan menghitung total nilai

tambah wilayah dari agribisnis tembakau virginia Lombok untuk kemudian
dibandingkan dengan total nilai ekonomi tembakau tersebut setelah diproduksi
menjadi rokok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan ekonomi
secara mikro dalam agribisnis tembakau virginia Lombok dalam kaitannya dengan
distribusi nilai tambah (value added). Petani dalam penelitian ini dibagi ke dalam
lima kategori di mana kategori yang mendapat nilai tambah terbesar dari

usahataninya adalah kategori petani pengomprong bermitra. Petani yang
memperoleh nilai tambah terbesar itu hanya mampu mendapatkan nilai tambah
sebesar Rp 3.975.379,- per hektar per musim tanam dengan nilai R/C ratio sebesar
1,08. Pelaku ekonomi lainnya dalam agribisnis tembakau virginia ini, yakni
perusahaan industri rokok bisa mendapatkan keuntungan atau nilai tambah sebesar
Rp 212.520.000,- per satu hektar pertanaman tembakau setiap musim tanam.
Margin nilai tambah antara petani dan perusahaan itu mencapai Rp 208.544.621,-.
Hal ini berarti, petani dengan kategori yang berhasil mendapat keuntungan
terbesar itu hanya mampu mendapatkan 1,87% dari total pendapatan perusahaan
untuk setiap satu hektar pertanaman tembakau virginia Lombok per musim tanam.
Secara makro hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi
ketidakadilan ekonomi dalam konteks interaksi ekonomi antar wilayah.
Ketidakadilan itu terjadi karena tidak adanya pabrik rokok di wilayah Pulau
Lombok meskipun wilayah ini menjadi penghasil tembakau virginia terbesar di
Indonesia. Akibatnya aglomerasi ekonomi dan akumulasi nilai tambah terjadi di
wilayah lain tempat dilakukannya pengolahan tembakau, yakni wilayah Pulau
Jawa. Nilai ekonomi tembakau virginia Lombok setelah diolah menjadi produk
rokok adalah
, dari jumlah itu, yang mengendap dan
menjadi pendapatan wilayah Pulau Lombok, baik pendapatan masyarakat ataupun

pemerintah daerah adalah
. Hal ini berarti bahwa total
potensi nilai tambah wilayah yang hilang atau dinikmati oleh wilayah lain
mencapai Rp 5.211.010.159.829,-. Artinya total nilai tambah wilayah yang bisa
diciptakan oleh adanya agribisnis tembakau virginia Lombok itu hanya sebesar
14,5% dari total nilai ekonominya. Kondisi ini merupakan indikasi bahwa telah
terjadi efek pencucian balik atau efek penyedotan (backwash effect) yang kuat
dalam agribisnis tembakau virginia Lombok, sementara efek sebar (spread effect)
yang ditimbulkannya lemah, yakni hanya mencapai Rp 511.745.080.000,-.
Hasil penelitian ini memperkuat kembali hipotesis Gunnar Myrdal tentang
faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative causation) yang menyebabkan
semakin kuatnya ketimpangan antar wilayah. Pasar jika dibiarkan bekerja secara
bebas dapat menyebabkan terjadinya pemusatan aktifitas ekonomi pada wilayah
tertentu yang memiliki potensi menghasilkan laba tinggi. Akibatnya daerah lain
sebagai penghasil bahan baku industri di daerah pusat itu dapat mengalami efek
pencucian balik (backwash effect) yang dapat menyebabkan wilayah itu tetap
tertinggal atau mengalami kemajuan pembangunan yang lamban.
Kata kunci: ekonomi pasar, keadilan ekonomi, nilai tambah, pembangunan
wilayah, tembakau virginia


SUMMARY
MUHAMMAD NURJIHADI. Analysis of Economic Equity in Regional
Development Perspective on Virginia Tobacco Agribusiness in Lombok Island.
Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and DEDDY S.
BRATAKUSUMAH.
Market economic system is a dominant economic system which was
chosen as national or regional economic development strategy. Market rationality
with freedom, individualism and perfect competition as its pillar had been a main
reference for development policy makers who make economic growth as the main
orientation. One of the strategies is establishment special commodities as leading
sector. Tobacco is one of a commodity which was chosen as important
commodity to develop regional economic in Lombok Island.
Tobacco is a controversial commodity. As raw material for cigarette
industries which have negative effect for human health, its production and
consumption should be restricted. Because of its favorability in economic
development, tobacco was become one of the important commodities, especially
for Lombok island. Circular cumulative causation theory explained that market
mechanism which was driven by profit motive could encourage economic
development centralized in certain regions which have high profit expectation,
meanwhile other regions are only as supplier of resources to achieve high profits

in the central region. This causes economic inequity in which developed regions
become more advanced regions, whereas the backward region remains
underdeveloped. Moreover, market is also a good waiter for the rich people but
unfriendly for the poor. This causes economic inequity in income distribution.
This study intends to prove whether the process of cumulative causation occurred
in the tobacco economic sector. In particular, this study aims to analyze the level
of economic equity (micro) by calculating margin of value added between the
farmers and the tobacco industry companies in every hectare of tobacco field.
Moreover, the purpose of this study is to analyze the level of economic equity (in
the perspective of regional development/macro level) by calculating the amount of
spread effect and backwash effect on virginia tobacco agribusiness in Lombok
Island.
This research is using quantitative and qualitative method in survey
technique. Report of the study is present in the form of descriptive. Research areas
were determined purposively. The selected research areas consist of 10 villages
which are spread in 8 districts. There were 100 respondents which were chosen by
simple random sampling technique. Each village is represented by 10 respondents.
Data was analyzed by profit function formula (π = TR – TC) with some
modification based on real condition in the field. While regional economic
analysis (spread effect and backwash effect) analyzed by calculating regional

income (value added) from virginia tobacco agribusiness and compare it with total
economic value of virginia tobacco.
Research result showed that there was economic inequity in micro level on
Lombok virginia tobacco agribusiness. Farmers with the biggest profit category in
virginia tobacco agribusiness were only able to get value added of Rp 3,975,379, -

per hectare per cropping season with the R / C ratio of 1.08. While the tobacco
industry companies could benefit (value added) of Rp 212,520,000, - for each
hectare of tobacco field in one cropping season. Thus the margin of value added
between the farmers and the companies is Rp 208,544,621, -. It means that
farmers in the biggest benefit category were only able to get 1.87% of the
company total income for every one hectare of virginia tobacco field in Lombok
Island.
At the macro level, research result showed that there is economic inequity
in Lombok virginia tobacco agribusiness in the context of economic interaction
between two regions. In this case, Lombok Island as producer of virginia tobacco
and Java Island as industrial center to produce a cigarette. The economic value of
Lombok virginia tobacco after being processed into tobacco products (cigarette) is
Rp 6,098,400,000,000, -. Of that amount, which settles and becomes regional
income for Lombok Island region, either the community value added or the local

government income is Rp 887,389,840,171, -. Thus, the total of potential regional
lost value or enjoying by other regions is Rp 5,211,010,159,829, -. It means that
the total of regional value added which can be created by the presence of virginia
tobacco agribusiness is only 14.5% from the total economic value of Lombok
virginia tobacco. This means that there has been strong backwash effect, while the
spread effect resulting is weak, which only reached Rp 511,745,080,000, -.
Results of this study reinforce the hypothesis of Gunnar Myrdal on
circular cumulative causation theory that free market causes the growing
inequality across the regions. If the market is allowed to work freely, it can lead
the concentration of economic activity in certain regions that have a high potential
for generating profits. While other regions as a producer of industries raw material
in the central region can experience backwash effect. This causes the region
stagnant to growth or slow progress in development.
Keywords: economic equity, market economy, regional development, tobacco of
virginia, value added

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KEADILAN EKONOMI DALAM PERSPEKTIF
PEMBANGUNAN WILAYAH PADA AGRIBISNIS
TEMBAKAU VIRGINIA DI PULAU LOMBOK

MUHAMMAD NURJIHADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

2

Penguji pada Ujian Tesis:

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, MS, DEA

Judul Tesis : Analisis Keadilan Ekonomi Dalam Perspektif Pembangunan Wilayah
Pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok
Nama

: Muhammad Nurjihadi

NTM

: H1521 10021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

M.Sc. PhD

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan
I

セN@
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Tanggal Ujian: 1 Juli 2013

Tanggal Lulus:

2 3 AU G20 13

3

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang dengan karunia dan
rahmatNya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2013 ini adalah
keadilan ekonomi dengan judul Analisis Keadilan Ekonomi dalam Perspektif
Pembangunan Wilayah pada Agribisnis Tembakau Virginia di Pulau Lombok.
Pengembangan agribisnis tembakau di Indonesia selalu dihadapkan pada
dilema tentang dampak negatif rokok sebagai produk olahan tembakau terhadap
kesehatan pada satu sisi dan manfaat ekonomi yang diciptakannya pada sisi lain.
Kemampuan menyerap tenaga kerja, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) serta sumbangannya terhadap pendapatan nasional melalui cukai selalu
menjadi alasan dipertahankannya sektor ekonomi tembakau di tengah kuatnya
kampanye anti tembakau global. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui
seberapa besar manfaat ekonomi yang diterima masyarakat pelaku ekonomi
tembakau serta untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah wilayah yang dapat
diciptakan di wilayah penghasilnya, yakni Pulau Lombok. Penelitian ini khusus
mengkaji fenomena keadilan ekonomi pada agribisnis tembakau itu untuk
tembakau jenis virginia yang dominan diusahakan di Pulau Lombok.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Arya Hadi
Dharmawan, M.Sc.Agr dan Bapak Ir. Deddy S. Bratakusumah, BE., MURP.,
M.Sc., PhD selaku pembimbing. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
bapak Prof. Dr. Didin S Damanhuri, MS, DEA selaku penguji yang telah banyak
memberikan masukan dalam penyempurnaan karya ilmiah ini. Penghargaan yang
tinggi juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah turut berkontribusi
dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan
satu per satu. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang telah mensponsori penulis dalam
menjalankan studi S2 melalui program Beasiswa Unggulan (BU).
Karya ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta. Untuk ayah dan
ibu, meski tidak akan bisa membacanya, do‟a dan harap yang mereka pelihara
hingga akhir hayat telah mengantar saya sampai titik ini. Buat kak Agus, kak Heri,
kak Dina dan semua adik-adikku, terimakasih untuk segenap korbanan dan cinta
kalian. Persembahan ini juga saya tujukan untuk sahabat saya di Squad; Lisma,
Edwin, Nadhirah, Efa, Evan, Saiful dan Retno. Juga untuk orang yang bayangnya
menemani imajinasiku menyelesaikan karya ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi diri saya sendiri, keluarga,
masyarakat, agama, bangsa dan negara. Penulis terbuka untuk kritik dan saran
yang membangun.

Bogor, Juli 2013
Muhammad Nurjihadi

4

5

DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

10

Manfaat Penelitian

10

TINJAUAN PUSTAKA
Mazhab-Mazhab Pembangunan Ekonomi

11

Sistem Ekonomi Pasar (Market Economic)

11

Sistem Ekonomi Terpusat (State Based Economy)

16

Sistem Ekonomi Heterodoks

20

Ekonomi Wilayah

25

Keterkaitan Ekonomi dan Wilayah

25

Kebocoran Ekonomi Wilayah

26

Keterkaitan Desa – Kota

30

Pusat Pertumbuhan (Growth Pole) dan Faktor Sebab-Akibat Kumulatif (Circular Cumulative Causation) Gunnar Myrdal

31

Konsep Agribisnis

35

METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Operasional

36

Hipotesis Penelitian

43

Lokasi dan Waktu Penelitian

43

Rancangan Penelitian

43

Unit Analisis

43

6

Data

44

Kualifikasi Data

44

Teknik Pengumpulan Data

44

Metode Penentuan Wilayah Sampel dan Responden

45

Variabel yang Diamati

47

Metode Analisis Data

48

Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Jumlah Nilai Tambah dan Margin Nilai Tambah Petani-Perusahaan

48

Analisis Keadilan Ekonomi Berdasarkan Efek Sebar (Spread Effect) dan Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)

49

Definisi Operasional

57

GAMBARAN UMUM PULAU LOMBOK
Wilayah Administrasi dan Kondisi Alam Pulau Lombok

58

Penduduk dan Ketenagakerjaan

59

Struktur Perekonomian Wilayah

61

Agribisnis Tembakau di Pulau Lombok

62

Potensi Pengembangan Wilayah Pulau Lombok

67

KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU
VIRGINIA LOMBOK: MARGIN NILAI TAMBAH PETANI PERUSAHAAN
Tingkat Keuntungan Usahatani

68

Tingkat Keuntungan Perusahaan

84

Margin Nilai Tambah Petani-Perusahaan

87

Ekonomi Politik Tembakau Dalam Agribisnis Tembakau Virginia
di Pulau Lombok

89

Bisnis Gelap Oknum Perusahaan

94

Ketergantungan Ekonomi Petani

96

Fenomena Self Exploitation

98

7

KEADILAN EKONOMI DALAM AGRIBISNIS TEMBAKAU
VIRGINIA LOMBOK: EFEK SEBAR (Spread Effect) DAN EFEK
PENCUCIAN BALIK (Backwash Effect)
Nilai Ekonomi Tembakau Virginia Lombok

100

Efek Sebar (Spread Effect)

102

Efek Pencucian Balik (Backwash Effect)

106

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

114

Saran

115

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

8

DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 3.1. Wilayah sampel yang dipilih beserta alasannya

46

Tabel 4.1. Komposisi penduduk Nusa Tenggara Barat berdasarkan
kelompok umur

59

Tabel 4.2. Jumlah pekerja menurut sektor di Pulau Lombok tahun
2011

60

Tabel 4.3. Distribusi nilai tambah dan laju pertumbuhan PDRB
pada tiga kabupaten Pulau Lombok menurut sektor atas
dasar harga konstan tahun 2000

61

Tabel 4.4. Perkembangan luas areal dan produksi tembakau di
Pulau Lombok

63

Tabel 4.5. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi
NTB

64

Tabel 4.6. Jumlah dan prosentase penduduk miskin di Provinsi
NTB tahun 2002-2011

67

Tabel 5.1. Rekapitulasi analisis usahatani tembakau virginia
Lombok selama empat tahun terakhir di PT.Djarum
station Lombok

70

Tabel 5.2. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
petani pengomprong bermitra

72

Tabel 5.3. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
petani pengomprong swadaya

75

Tabel 5.4. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
petani swadaya tidak mengomprong

77

Tabel 5.5. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
pengomprong bermitra

80

Tabel 5.6. Analisis usahatani tembakau virginia Lombok untuk
pengomprong swadaya

82

Tabel 5.7. Rekapitulasi analisis usahatani dalam agribisnis
tembakau virginia Lombok

82

Tabel 5.8. Bobot, harga dan biaya cukai rokok yang diamati

85

Tabel 5.9. Distribusi dana bagi hasil cukai tembakau di Provinsi
NTB

90

Tabel 6.1. Analisis usahatani petani pengomprong bermitra

103

Tabel 6.2. DBHCT yang diterima pemerintah daerah se Provinsi
NTB

111

9

DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1.1. Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004,
2007, 2010

7

Gambar 2.1. Konsep Agribisnis Suharjo

35

Gambar 3.1. Kerangka pemikiran penelitian

42

Gambar 4.1. Luas areal dan produksi tembakau virginia Lombok
tahun 1995-2012

63

Gambar 4.2. Sebaran kesesuaian lahan untuk pertanaman tembakau di
Pulau Lombok

65

Gambar 4.3. Peta kesesuaian ekonomi tembakau di Pulau Lombok

66

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara produsen daun
tembakau terbesar di dunia. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat
bahwa pada tahun 2007 total produksi tembakau dunia mencapai 6.311.103 ton.
Indonesia menyumbang 164.851 ton (2,6%) dari total produksi tembakau dunia
tersebut. Jika diranking, Indonesia berada pada urutan ke 5 sebagai produsen daun
tembakau terbesar dunia. Adapun produsen terbesar adalah China dengan
2.397.200 ton (38%), disusul Brasil dengan 919.393 ton (14,6%), India dengan
produksi 555.000 ton (8,8%), dan Amerika Serikat yang memproduksi 353.177
ton (5,6%). Sisanya tersebar di beberapa negara seperti Pakistan, Italia, Turki,
Zimbabwe, Yunani, dan negara-negara lainnya (FAO, 2007).
Tembakau merupakan komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian
masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona,
jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma
menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini
dihadapkan pada fakta lain di mana tembakau merupakan bahan baku utama
produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Perdebatan tentang bahaya
kesehatan rokok dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan industri itu sudah
berlangsung sejak dekade 1990-an dan tidak pernah menemukan titik temu. Hal
itu menyebabkan pemerintah kesulitan untuk mengambil sikap yang tegas dan
jelas terhadap industri pertembakauan ini. Akibatnya pertumbuhan dan
perkembangan industri ini digerakkan oleh mekanisme pasar yang bertumpu pada
tiga pilar, yaitu kebebasan, menjunjung tinggi hak-hak individu, dan persaingan.
Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan penyumbang produksi daun
tembakau terbesar ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI), pada tahun
2009, produksi tembakau nasional mencapai 235.987 ton yang terdiri dari
172.450 ton tembakau rakyat dan 63.537 ton tembakau virginia. Provinsi NTB
menyumbang 57.707,2 ton atau 24,5% dari total produksi nasional tersebut yang
terdiri dari 51.353 ton tembakau virginia (80,8% total produksi tembakau virginia
nasional) dan 6.354,2 ton tembakau rakyat (3,7% total produksi tembakau rakyat
nasional). Berdasarkan data diatas didapat pula informasi bahwa 89% dari total
produksi tembakau di NTB merupakan jenis tembakau virginia dan sisanya
merupakan jenis tembakau rakyat (Kementan RI, 2011). Daerah sebaran utama
penanaman tembakau di Provinsi NTB adalah Kabupaten Lombok Timur. Basuki,
et al. (2003) menjelaskan bahwa pada tahun 2003 kabupaten Lombok Timur
memproduksi 21.972 ton tembakau atau 76,81% dari total produksi tembakau di
NTB saat itu.
Dinas Perkebunan Provinsi NTB (Disbun NTB) menjelaskan bahwa
agribisnis tembakau virginia mulai diusahakan di Pulau Lombok sejak tahun
1969 bersamaan dengan masuknya PT. Faroka Tbk. Langkah PT. Faroka ini
kemudian diikuti oleh PT. British American Tobacco (BAT) Indonesia pada tahun

2

1971 serta PTP.XXVII dan NV GIEB pada tahun 1974. Memperhatikan
keberhasilan rintisan usahatani tembakau virginia di Pulau Lombok, maka secara
bertahap hadir perusahaan-perusahaan lain untuk turut mengembangkan tembakau
virginia. Perusahaan – perusahaan yang dimaksud adalah PT. Djarum pada tahun
1980, PT. Anugrah Alam Abadi, PT. Mangli Jaya Raya, PT. Cakrawala pada
tahun 1987 serta PT. Tresno Bentoel pada tahun 1989. Langkah ini disusul oleh
PT. Trisno Adi, PT. HM. Sampoerna, PT. Sadhana Arifnusa dan PT. Gelora Djaja
dan UD. Nyoto Permadi tahun 1999. (Disbun NTB, 2002).
Susrusa dan Zulkifli (2009) menjelaskan bahwa agribisnis tembakau
virginia di Pulau Lombok dikembangkan dengan sistem kemitraan melalui pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di mana perusahaan-perusahaan industri rokok
menjadi inti dan petani sebagai plasma. Perusahaan berkewajiban memberikan
bantuan kepada petani baik bantuan teknis maupun non teknis dalam proses
usahatani. Praktek di lapangan yang dilakukan perusahaan umumnya adalah
memberikan bantuan kredit kepada petani dalam bentuk penyediaan sarana
produksi seperti pupuk, pestisida, benih, dan lain-lain. Selain itu, perusahaan juga
memberikan bantuan penyuluhan dan pembimbingan teknis kepada petani dalam
menjalankan usahatani tembakau, baik pada saat ditanam (on farm) maupun pada
proses pengolahan atau pengomprongan tembakau (off farm). Sebagai imbalan
atas bantuan itu, perusahaan mewajibkan petani menjual hasil panennya hanya
kepada perusahaan yang memberikan bantuan itu. Selanjutnya kredit yang
diberikan perusahaan itu dihitung sebagai hutang yang harus dilunasi ke
perusahaan. Hutang sarana produksi yang sudah diberikan kepada petani itu
secara otomatis akan dibayar saat petani menjual produk tembakaunya ke
perusahaan dengan cara memotong atau mengurangi nilai pembayaran tembakau
petani oleh perusahaan. Pada satu sisi, pola kemitraan ini memberikan keuntungan
kepada kedua belah pihak, di mana petani mendapatkan keuntungan karena
mendapat bantuan, bimbingan dan sekaligus memiliki tujuan pasar yang jelas
sehingga petani tidak perlu khawatir soal pemasaran, perusahaan juga
diuntungkan karena dengan pola ini perusahaan dapat menghimpun hasil produksi
tembakau petani yang sesuai dengan kebutuhannya. Tapi pada sisi lain, pola ini
justeru merugikan petani karena dalam prakteknya, harga ditentukan secara
sepihak oleh perusahaan, sementara petani kian tergantung pada perusahaan.
Berkembangnya agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok secara
signifikan telah meningkatkan pendapatan petani. Studi yang dilakukan Nurjihadi
(2011) membuktikan bahwa agribisnis tembakau telah berhasil meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup itu terlihat pada peningkatan daya
beli, perbaikan kondisi perumahan, peningkatan tingkat pendidikan dan perubahan
gaya hidup. Beberapa tahun terakhir ini petani tidak lagi merasakan peningkatan
pendapatan yang signifikan dalam agribisnis tembakau virginia yang dilakukan.
Hal ini disebabkan karena harga ditentukan secara sepihak oleh perusahaan
sebagai konsekuensi dari pola kemitraan yang diterapkan.
Tembakau merupakan komoditas komersial bernilai tinggi (high value
commodity), oleh karenanya tembakau merupakan salah satu komoditas yang
tidak luput dari perhatian para pemilik modal. Artinya industri tembakau
merupakan salah satu tujuan investasi penting bagi para pemilik modal, baik
pemodal asing maupun domestik untuk mengakumulasi modal dan menumpuk

3

kekayaan. Badan Pusat Statistik Provinsi NTB (BPS NTB) dalam tabel InputOutput tahun 2004 mencatat bahwa share tembakau terhadap PDRB NTB adalah
Rp 466,020 miliar atau setara dengan 1, 57%. Ironisnya, dari total share terhadap
PDRB itu, Rp 348, 604 miliar diantaranya (74,80%) masuk ke kantong para
pemilik modal dalam bentuk surplus usaha sedangkan sisanya yang hanya
115,621 miliar (24, 81%) terdistribusi kepada 57. 287 orang petani dan para
pekerja perusahaan serta buruh tani (BPS NTB, 2004).
Ketimpangan ekonomi dalam agribisnis tembakau itu juga terlihat jelas
dari data yang disampaikan Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli
Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) yang mengambil data dari
statistik upah BPS tahun 2005. Data itu menunjukkan bahwa upah rata-rata petani
tembakau adalah Rp 15.900 per hari atau Rp 413.374 per bulan dengan rata-rata
lama bekerja 7 jam per hari. Jumlah itu jauh lebih kecil dari pada rata-rata upah
nasional yang mencapai Rp 883.693 (hanya 47%). Jika dibanding dengan Upah
Minimum Kabupaten (UMK) di Kabupaten Lombok Timur maka rata-rata upah
petani tembakau itu hanya 50% dari UMK Lombok Timur. Sementara pada saat
yang bersamaan, perusahaan rokok mencatat nilai keuntungan yang fantastis. Pada
triwulan ke tiga tahun 2008, HMS mencatat keuntungan bersih sebesar Rp 3,1
Triliun, sementara GG sampai pertengahan tahun 2008 mendapat keuntungan
sebesar Rp 891,3 Miliar. Belum lagi keuntungan yang didapat oleh perusahaan
rokok lainnya seperti Bentoel, BAT, PMI, dan perusahaan lainnya (TCSC IAKMI,
2008).
Ketika upah rata-rata petani tembakau jauh dibawah rata-rata upah
nasional dan perusahaan rokok meraup keuntungan dengan nilai yang fantastis,
pertanyaannya kenapa petani tembakau (khususnya di Pulau Lombok) masih
bertahan dan tetap bergantung pada agribisnis tembakau virginia. Nurjihadi
(2011) dalam laporan penelitiannya menyampaikan sebuah fakta yang tegas
tentang hal itu. Menurutnya ketergantungan petani terhadap agribisnis tembakau
virginia di Pulau Lombok terjadi karena adanya anggapan petani bahwa tembakau
merupakan usaha yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Anggapan itu
membuat petani enggan meninggalkan usahatani ini meskipun pada faktanya
terjadi penurunan hasil atau keuntungan petani dalam beberapa musim tanam
terakhir. Sebab lain dari ketergantungan ini adalah terwariskannya usahatani ini
secara turun temurun sehingga membuat petani merasa tidak memiliki keahlian
lain selain mengusahakan agribisnis tembakau. Disamping itu, kondisi iklim yang
sangat sesuai dengan tembakau juga menjadi sebab lain ketergantungan petani
terhadap agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
Kesimpulan yang disampaikan Ahsan (2008) dalam penelitiannya
memperkuat argumen ketimpangan pendapatan pada agribisnis tembakau itu
dengan menyatakan bahwa petani tembakau selama beberapa tahun terakhir
mengalami kerugian massal. Untuk kasus petani tembakau virginia Lombok,
Ahsan menyebut selama kurun waktu 2002-2008 hanya sekitar 10% petani yang
memperoleh keuntungan sementara sisanya mengalami kerugian, kecuali pada
tahun 2006. Selain karena pengaruh iklim (curah hujan yang terlalu tinggi atau
justeru kekeringan yang panjang), kerugian itu juga terjadi karena petani memiliki
posisi tawar yang lemah dalam proses penetapan harga jual tembakaunya.
Sebagaimana dikatakan Susrusa dan Zulkifli (2009), dalam agribisnis tembakau di

4

Pulau Lombok yang dikembangkan dengan model kemitraan menempatkan
perusahaan mitra sebagai pihak yang memiliki pengaruh dan posisi tawar lebih
besar dalam menentukan harga daripada petani. Kondisi ini membuat terciptanya
hubungan yang cenderung bersifat eksploitatif dan parasitik yang dilakukan oleh
perusahaan terhadap petani dalam proses kemitraan yang terjalin diantara
keduanya. Penetapan harga sepenuhnya berada di tangan perusahaan yang
menggunakan sistem grading. Grader yang ditunjuk perusahaan memiliki
kewenangan subjektif untuk menentukan grade tembakau petani yang kemudian
mempengaruhi harga jual tembakau petani tersebut. Ironisnya, petani tidak pernah
diinformasikan secara jelas tentang standar grade. Akibatnya petani sering kali
merasa bahwa tembakau yang seharusnya masuk dalam grade yang tinggi, dibeli
perusahaan dengan harga tembakau untuk grade yang lebih rendah.
Secara umum perekonomian wilayah di NTB digerakkan oleh sektor
pertanian. Sebanyak 74% masyarakat NTB menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian (BPS, 2004). Basuki, et al. (2003) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa kinerja pertanian di NTB masuk dalam kategori „baik‟
berdasarkan indikator-indikator pembangunan pertanian. NTB dalam laporan itu
dinilai berhasil dalam memenuhi kriteria indikator pembangunan pertanian seperti
(1) nilai investasi PMA sektor pertanian; (2) peningkatan produksi pangan dan
hortikultura; (3) peningkatan produksi tanaman perkebunan; (4) peningkatan
produksi peternakan dan perikanan; (5) nilai PDRB sektor pertanian, 6) serapan
tenaga kerja sektor pertanian; (7) ketahanan pangan; (8) tingkat keuntungan
usahatani; (9) pendapatan rumah tangga petani dan tingkat kemiskinan. Semenatra
itu indikator yang kinerjanya buruk adalah: (1) ekspor hasil pertanian; (2) nilai
tukar petani; (3) produksi beberapa komoditas perkebunan, pertanian dan
perikanan yang turun.
Sektor pertanian dalam arti luas (pertanian tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, peternakan, dan perikanan) merupakan salah satu sektor unggulan
dalam rencana pembangunan wilayah Provinsi NTB, khususnya Pulau Lombok.
Pada triwulan III tahun 2012 total PDRB provinsi NTB adalah Rp.13,086 Trilliun
dengan memasukkan sektor pertambangan non migas dan Rp.11,043 Trilliun
tanpa sektor pertambangan non migas. Kontribusi (share) sektor pertanian
terhadap PDRB Provinsi NTB pada triwulan III tahun 2012 mencapai Rp.3,7
Trilliun atau 28% dari total PDRB dengan memasukkan sektor pertambangan non
migas dan 34% tanpa pertambangan non migas. Secara umum struktur pembentuk
PDRB NTB ini lebih didominasi oleh sektor primer (sektor pertanian) yang
dicirikan dengan rendahnya share sektor industri pengolahan terhadap PDRB.
Adapun nilai kontribusi sektor industri pengolahan dalam PDRB NTB pada
triwulan III tahun 2012 adalah Rp.507 Milliar atau 3,87% dari total PDRB dengan
sektor pertambangan non migas dan 5% dari total PDRB tanpa sektor
pertambangan non migas (BPS NTB, 2012).
Pengaruh agribisnis tembakau dalam perekonomian wilayah NTB belum
terlihat signifikan. Efek pengganda (Multiplier effect) yang ditimbulkannya
berupa backward linkage (keterkaitan ke belakang) atau disebut juga derajat
kepekaannya sebesar 1,75 sedangkan forward linkage (keterkaitan ke depan) atau
disebut juga daya penyebarannya sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Nilai derajat
kepekaan (backward linkage) sebesar 1,75 berarti bahwa setiap Rp 1 permintaan

5

akhir akan menyebabkan peningkatan output perekonomian sebesar Rp 1,75. Hal
ini terjadi karena bergeraknya sektor lain untuk mendukung pelaksanaan
agribisnis tembakau itu. Sedangkan forward linkage yang hanya sebesar 1,18
menunjukkan bahwa agribisnis tembakau hanya mampu menggerakkan sedikit
sektor di hilir, dalam kasus ini agribisnis tembakau hanya menggerakkan tumbuh
dan berkembangnya industri rokok.
Pusat pengolahan daun tembakau menjadi produk rokok tersebar di Pulau
Jawa dan umumnya membuka kantor pusat di Jakarta. Daerah-daerah yang
menjadi tempat produksi rokok adalah Kediri, Surabaya, Semarang, Kudus, dan
sebagainya. Sebagian perusahaan rokok yang skalanya cukup kecil memang ada
yang menjalankan usahanya di luar Pulau Jawa, namun jumlahnya sangat sedikit.
Sementara itu Pulau Lombok sebagai salah satu penghasil daun tembakau terbesar
di Indonesia serta penghasil tembakau jenis virginia terbesar pertama di Indonesia
tidak memiliki pabrik rokok sama sekali. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana
dijelaskan Myrdal dalam Jhingan (1999:211-212) bahwa pemberlakuan pasar
bebas membuat hampir semua aktifitas ekonomi menumpuk di suatu wilayah
yang sudah lebih dulu maju, dalam hal ini wilayah Pulau Jawa adalah wilayah
yang lebih dulu maju dan wilayah Pulau Lombok adalah wilayah yang tertinggal.
Pulau Lombok sebagai wilayah tertinggal berperan sebagai pemasok bahan
mentah (raw material) berupa tembakau untuk kemudian diolah di Pulau Jawa.
Tidak adanya industri pengolahan daun tembakau di Pulau Lombok
membuat Pulau Lombok menjadi daerah Pheripery atau hinterland dalam
mendukung pembangunan ekonomi (tembakau) di Pulau Jawa sebagai pusat
pertumbuhan secara nasional. Sebagaimana hipotesis Myrdal yang dikutip
Jhingan (1999:212) bahwa wilayah maju sebagai pusat pertumbuhan cenderung
menyebabkan efek pencucian balik (backwash effect) yang lebih besar daripada
efek sebar (spread effect). Kondisi seperti itu membuat wilayah maju menjadi
semakin maju sementara wilayah tertinggal mengalami stagnasi pembangunan
dan bahkan menjadi semakin tertinggal karena semakin berkurangnya kapasitas
daya dukung lingkungan akibat penyedotan (backwash) oleh wilayah maju itu.
Indikasi adanya efek pencucian balik (backwash effect) yang lebih besar
daripada efek sebar (spread effect) dalam hubungan ekonomi pada industri
pertembakauan dapat dilihat dari struktur PDRB daerah yang menunjukkan
tingginya kontribusi sektor primer (pertanian, termasuk perkebunan tembakau)
dan rendahnya kontribusi sektor sekunder (industri pengolahan). Selain itu
indikasi backwash itu juga dapat dilihat dari data input-output provinsi NTB tahun
2004 sebagaimana dijelaskan sebelumnya di mana tingkat keterkaitan ke belakang
(backward linkage) sektor tembakau dalam perekonomian wilayah NTB hanya
1,7 sementara keterkaitan ke depan (forward linkage) hanya sebesar 1,1. Analisis
secara lebih spesifik terhadap proses terjadinya efek penyedotan atau efek
pencucian balik (backwash effect) pada industri tembakau virginia di Pulau
Lombok itu dapat didekati dengan pendekatan analisis keadilan ekonomi yang
menggunakan data sebaran nilai tambah. Cara ini dilakukan untuk melihat besaran
pendapatan petani tembakau virginia dalam usahataninya (mikroekonomi)
sekaligus menganalisis proses pembangunan wilayah berbasis tembakau
(makroekonomi). Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis keadilan
ekonomi pada agribisnis tembakau virginia Lombok secara mikro, yakni antara

6

perusahaan dan petani dan secara makro dalam konteks hubungan antar wilayah
(regional relation). Sampai saat ini belum ada penelitian yang mencoba
menganalisis keadilan ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok,
terutama yang menggunakan perspektif kewilayahan. Hal itulah yang membuat
perlunya melakukan penelitian ini.
Perumusan Masalah
Sistem ekonomi pasar merupakan sistem ekonomi yang dominan
digunakan sebagai strategi pembangunan ekonomi negara maupun wilayah.
Rasionalitas pasar dengan pilar kebebasan, individualisme dan persaingan
sempurna menjadi acuan utama para perencana kebijakan pembangunan ekonomi
dengan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu strategi yang
dikembangkan adalah penetapan sektor atau komoditas unggulan yang
disesuaikan dengan daya dukung dan kondisi wilayah setempat. Komoditas
tembakau merupakan salah satu komoditas unggulan yang dianggap penting untuk
membangun perekonomian di wilayah Pulau Lombok, utamanya tembakau jenis
virginia.
Tembakau merupakan komoditas yang kontroversial. Bagi sebagian
masyarakat, terutama di tiga provinsi penghasil utama tembakau, yaitu Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah tembakau merupakan primadona,
jalan hidup (way of life), sumber pendapatan utama, dan bahkan sudah menjelma
menjadi tradisi ekonomi yang sulit dihentikan. Fakta sosio-ekonomi seperti ini
dihadapkan pada fakta lain di mana tembakau merupakan bahan baku utama
produk rokok yang berbahaya bagi kesehatan. Perdebatan tentang bahaya
kesehatan rokok dan manfaat ekonomi yang ditimbulkan industri itu sudah
berlangsung sejak dekade 1990an. Menguatnya kampanye anti rokok global
dilawan dengan argumen kemiskinan dan tidak adanya alternatif pekerjaan untuk
masyarakat pedesaan. Kondisi itu membuat Indonesia tidak mampu mengambil
sikap tegas untuk melarang atau membatasi produksi dan konsumsi produk
tembakau.
Besarnya kontribusi industri pertembakauan terhadap perekonomian
nasional juga turut mempersulit pemerintah dalam mengambil keputusan yang
tegas untuk melarang atau membatasi produksi dan konsumsi tembakau. Setiap
regulasi perlindungan kesehatan dari bahaya merokok selalu dihadapkan dengan
argumen akan hilangnya sumber pendapatan masyarakat pertembakauan di
pedesaan. Selain itu pengetatan regulasi anti rokok juga dikhawatirkan akan
mengganggu kinerja ekonomi pada sektor yang lain seperti periklanan,
transportasi, perdagangan, dan sebagainya. Pihak mana yang sebenarnya paling
dirugikan jika regulasi anti rokok itu diberlakukan dengan ketat? Para pengusaha
besar atau para petani tembakau yang ada didesa?. Pertanyaan ini bisa dijawab
dengan mengetahui pihak mana yang menerima manfaat paling besar dari industri
pertembakauan itu.
Bisnis tembakau merupakan bisnis besar yang melibatkan banyak aktor
baik secara domestik maupun global. Fakta itu membuat bisnis ini tidak lepas dari
cengkraman para pemilik modal besar berskala internasional. Pangsa pasar rokok
dunia pada tahun 2011 bernilai US$ 378 miliar dan diproyeksikan meningkat

7

menjadi US$ 464,4 pada tahun 2012. Jika diibaratkan sebagai sebuah negara
dengan berdasar pada data bank dunia tahun 2011, maka negera tembakau itu
akan menjadi negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-23 di
dunia, jauh melampuai Norwegia dan Arab Saudi (Kinasih et al. 2012:1-2). Hal
ini menyebabkan persoalan tembakau tidak sesederhana persoalan menyediakan
lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa, tapi juga persoalan akumulasi kekayaan
oleh para pemilik modal.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 25 Mei 2009
didapatkan informasi bahwa pangsa pasar rokok Indonesia dikuasai oleh tiga
perusahaan besar, yaitu HMS yang menguasai 24,3% pangsa pasar rokok nasional,
GG menguasai 21,1% dan Dj menguasai 19,4%. Sisanya dikuasai oleh Njr (6,7%),
Btl (6%), PMI (4,7%), BAT (2%), dan lain-lain (15,8%) [Kinasih et al. 2012:76].
Adapun sasaran utama pasar industri rokok itu adalah kaum muda. Hal ini
disebabkan karena kebanyakan perokok aktif merupakan kelompok muda dan
memulai merokok di usia muda. Berikut adalah data prosentase umur mulai
merokok di Indonesia:

Gambar 1.1 Umur mulai merokok Indonesia tahun 1995, 2001, 2004, 2007,
2010 (Chamim et al. 2011)

Pada sisi lain, berdasarkan data tahun 2006 diketahui bahwa HMS
memperoleh laba bersih Rp 3,53 Triliun, GG mendapat untung Rp 1 triliun.
Sedangkan Kontribusi (share) industri pertembakauan terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) berdasarkan data input-output tahun 2005 adalah Rp 47, 7 Triliun
(1,66%) dari total PDB tahun 2005 yang mencapai Rp 2.876,9 Triliun. Selain itu
penerimaan negara dari cukai tembakau tercatat terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kontribusi cukai tembakau terhadap pendapatan
nasional adalah Rp 33, 25 Triliun, jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat
pada tahun 2011 yang mencapai Rp 60,7 Triliun (Kinasih et al., 2012:75-79).

8

Melihat data tersebut, seharusnya dapat disimpulkan dengan mudah bahwa semua
pihak yang terlibat dalam bisnis ini mendapatkan keuntungan yang besar, tidak
terkecuali petani. Faktanya petani tembakau justeru mendapatkan upah rata-rata
yang jauh dibawah upah rata-rata nasional sebagaimana yang dilaporkan oleh
TCSC-IAKMI (2008).
Ironis diatas menunjukkan bahwa ada hubungan yang bersifat eksploitatif
dan parasitik dalam industri tembakau di mana petani tembakau terposisikan
sebagai korban. Argumen ini diperkuat oleh Susrusa dan Zulkifli (2009) yang
menyebut bahwa petani dan pengomprong tembakau di Kabupaten Lombok
Timur memiliki posisi tawar yang lemah dalam proses interaksi ekonomi dengan
perusahaan mitra. Akibatnya petani hanya mampu memperoleh nilai tambah
(value added) yang relatif rendah dari aktifitas usahanya. Padahal jika
dibandingkan dengan besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam
usahataninya, nilai tambah yang diperoleh itu bisa jadi negatif (petani mengalami
kerugian). Sementara itu, perusahaan yang operasinya mendapatkan jaminan
kemanan dari pemerintah melalui serangkaian regulasi dan kebijakan, juga
mendapatkan jaminan melalui asuransi dari pihak swasta lainnya dengan tingkat
risiko yang relatif tidak begitu besar sebagaimana petani justeru memperoleh
manfaat ekonomi (value added) yang lebih besar. Karena itulah Swasono (2011)
menyebut pasar sebagai pelayan yang rajin untuk orang kaya tapi tidak ramah
kepada orang miskin. Orang kaya dibuat menjadi semakin kaya, sementara orang
miskin dibuat terjebak pada lingkaran setan kemiskinannya. Tingkat keadilan
ekonomi dalam agribisnis tembakau virginia lombok dapat dianalisis dengan
melihat distribusi nilai tambah atau margin nilai tambah yang diterima petani
dengan perusahaan mitra. Hal ini berarti bahwa perlu untuk mencari tau seberapa
besar nilai tambah (value added) yang diterima oleh petani dan perusahaan mitra
per satuan unit produk tembakau lalu menghitung margin diantara keduanya.
Petani tembakau merupakan aktor utama dalam industri tembakau. Tanpa
petani tembakau tidak akan ada industri olahan berupa rokok, oleh karenanya para
pelaku industri tembakau seharusnya memberikan perhatian khusus kepada petani
dan menjamin agar para petani tembakau itu hidup dengan layak. Faktanya,
sebagaimana yang dilaporkan Guazon (2008) dalam cycle of poverty in tobacco
farming bahwa pekerja tembakau (petani) mendapatkan nilai tambah (value
added) yang rendah dari usahataninya meskipun pasar dan output sektor ini terus
mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku industri rokok
sebagai pihak yang paling bergantung pada agribisnis tembakau tidak memiliki
kepekaan dan kepedulian kepada petani tembakau. Atau mungkin kondisi ini
memang disengaja sebagai bagian dari upaya untuk meraup keuntungan yang
sebesar-besarnya meski harus mengorbankan pihak lain yang seharusnya menjadi
partener bisnis. Akumulasi modal merupakan doktrin utama dalam sistem
ekonomi pasar. Semakin banyak modal yang terakumulasi, semakin besar peluang
untuk melakukan investasi dan menumpuk kekayaan.
Selama dua dekade terakhir, agribisnis tembakau virginia menjadi
penopang kehidupan sebagian masyarakat di Pulau Lombok, terutama di
Kabupaten Lombok Timur dan sebagian Kabupaten Lombok Tengah. Secara
signifikan agribisnis tembakau mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat
meskipun dalam beberapa tahun terakhir terjadi fenomena kerugian masal petani

9

(Nurjihadi, 2011; Ahsan 2008). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa
kontribusi (share) industri tembakau terhadap PDRB NTB adalah 1,57% dan
mampu menyebabkan efek pengganda (multiplier effect) berupa keterkaitan ke
belakang (backward linkage) sebesar 1,75 dan keterkaitan ke depan (forward
linkage) sebesar 1,18 (BPS NTB, 2004). Mengingat sifat komoditasnya yang
merupakan komoditas komersil bernilai tinggi (hight value commodity), industri
tembakau seharusnya mampu memberikan kontribusi lebih terhadap
perekonomian wilayah.
Gunnar Myrdal dalam Jhingan (2011:211-213) menjelaskan tentang faktor
sebab akibat kumulatif (cumulative causation) yang dapat terjadi pada sistem
ekonomi pasar yang digerakkan oleh motif laba. Jika pasar dibiarkan bekerja
secara bebas, maka pasar itu akan mendorong berpusatnya aktifitas perekonomian
di suatu wilayah tertentu yang memiliki harapan laba tinggi. Akibatnya
sumberdaya-sumberdaya wilayah lain akan ditransfer ke wilayah pusat itu untuk
diolah menjadi produk lain. Hal itu menyebabkan terakumulasinya nilai tambah
ekonomi di wilayah pusat yang umumnya merupakan wilayah maju sehingga
wilayah maju itu menjadi semakin maju, sementara wilayah terbelakang sebagai
penghasil sumberdaya justeru tetap tertinggal. Kondisi seperti itu juga terjadi pada
agribisnis tembakau virginia Lombok. Pulau Lombok sebagai wilayah penghasil
tembakau akan mengirimkan produk tembakau itu untuk diolah menjadi produk
rokok ke pabrik-pabrik rokok yang tersebar di Pulau Jawa. Terjadi transfer
sumberdaya dalam bentuk daun tembakau sebagai bahan baku pembuatan rokok
dari Pulau Lombok yang relatif masih tertinggal ke Pulau Jawa yang sudah lebih
dulu maju. Dengan mengacu pada konsep pusat pertumbuhan (growth pole), maka
Pulau Lombok dalam konteks interaksi ekonomi pada agribisnis tembakau
virginia ini termasuk dalam kategori wilayah penyangga (hinterland) yang
memiliki peran untuk mendukung proses industrialisasi di wilayah utama yang
menjadi pusat pertumbuhan (center of growth), yakni Pulau Jawa. Secara teoritis,
Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan, dalam hal ini pusat pengolahan daun
tembakau, seharusnya mampu menciptakan efek menetes ke bawah (trickle down
effect) dengan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis komoditas tembakau
dan menyerap tenaga kerja yang besar di Pulau Lombok. Fakta bahwa efek
pengganda (multiplier effect) berupa backward linkage sebesar 1,75 dan forward
linkage yang hanya sebesar 1,18 sebagaimana disebutkan sebelumnya
menunjukkan bahwa pengembangan tembakau virginia di Pulau Lombok belum
mampu memberikan daya sebar (spread effect) yang baik. Sebaliknya, hal itu
menunjukkan adanya kebocoran ekonomi (economic leakages) dalam agribisnis
tembakau virginia itu. Hal itu menunjukkan kuatnya indikasi bahwa wilayah
Pulau Jawa sebagai pusat pengolahan produk hasil tembakau menyebabkan
terjadinya efek pencucian balik (backwash effect) terhadap wilayah Pulau Lombok
sebagai penghasil daun tembakau. Untuk membuktikan indikasi itu, perlu untuk
mencari tahu dan menganalisis efek sebar (spread effect) dan efek pencucian balik
(backwash effect) yang terjadi dalam agribisnis tembakau virginia Lombok
dengan menghitung total nilai tambah wilayah Pulau Lombok dari agribisnis
tembakau virginia itu, termasuk dengan menghitung potensi nilai tambah wilayah
yang mengalir ke luar wilayah Pulau Lombok akibat adanya cumulative causation
dalam sistem ekonomi pasar. Hal ini akan menjadi acuan untuk melihat atau

10

menganalisis tingkat keadilan ekonomi dalam perspektif pembangunan wilayah
pada agribisnis tembakau virginia di Pulau Lombok.
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka secara spesifik dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana distribusi nilai tambah (value added) dan seberapa besar
margin nilai tambah yang diterima petani dengan perusahaan dalam
agribisnis tembakau virginia Lombok ?, jawaban atas pertanyaan ini
dijawab pada Bab V (lima).
2. Bagaimana dampak agribisnis tembakau virginia Lombok itu terhadap
perekonomian wilayah kaitannya dengan efek sebar (spread effect),
dan efek sedot atau efek pencucian balik (backwa