Development of agropolitan policy model based on regional sustainable agribusiness livestock In Jayapura Regency

(1)

AGROPOLITAN BERBASIS AGRIBISNIS PETERNAKAN

YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA

HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, September 2011

Hermanus Budiarto Rumajomi


(3)

HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI. Development of Agropolitan Policy Model Based on Regional Sustainable Agribusiness Livestock in Jayapura Regency. Under Supervision of SURJONO H. SUTJAHJO, MULADNO, and CATUR HERISON.

Agropolitan estate development in the Regency of Jayapura is less sustainable. Of the five dimensions are analyzed to determine the status of sustainability of regional development, there are two dimensions that are categorized as showed quite sustainable (score 50-75), namely the economic dimension with a value of 53.2 index; and social dimensions (67.0). While the dimensions are less sustainable (score <50) is the dimension of ecology with an index value of 48.5; dimensions of technology (40.5), and institutional dimensions (49.3). The dimensions of ecological, technological, and institutional become the most important thing to consider in the development activities agropolitan Jayapura region because it has a sustainability index score <50. There are five key factors to consider in order to meet the future needs of stakeholders in the development of region-based agropolitan beef cattle in Jayapura District, namely: the improvement of maintenance systems, facilities and infrastructure development of agribusiness, the construction of artificial insemination post, the availability of financial institution that provides easy-interest loans lower for beef cattle raising business capital and the support of local government policy in the form of changes in budget revenues and expenditures livestock sub-sector. The design of development policies formulated by taking into account the area agropolitan key factors that have been generated from the preceding analysis. It also include the results of regional development policy review agropolitan. The formulation of this policy is carried out through FGDs with stakeholders and experts. The formulation of regional development policy design agropolitan are: (1) Improving the quality of human resources, especially farmers and ranchers farm actors through training and education, (2) Development and maintenance of infrastructure and facilities for the region to support the development of the region, (3) Increasing the number of beef cattle traded with agricultural commodities that can improve the welfare of the community, (4) Developing and strengthening partnerships in support of farming beef cattle agribusiness development activities, (5) Improvement of investment climate and increased government investment and entrepreneurs, and (6) Development of cultivation technology and the improvement of agriculture and animal husbandry agricultural business management. Regional development policy alternatives agropolitan continuing the priorities are: improving and strengthening partnerships in support of agribusiness farm commodities of superior livestock. To realize the policy is agreed upon policy implementation strategy are: to develop quality human resources in the region in strengthening the partnership agropolitan, implement construction and maintenance of facilities and infrastructure to support increased business and investment partnerships, developing economies in the region mengintensitaskan agropolitan with beef cattle population and productivity agriculture that can support business partnerships in accelerating economic growth and implement policies to improve the system of business partnerships and rental growth in the financial sector as a source of capital that can contribute to the welfare of the community by conducting inter-regional cooperation in promoting the growth of industrial sector in the region through efforts to increase the power industrial competitiveness by developing a network pattern of industrial clusters as its foundation.

Key words: priority commodities, the behavior of farmers, cattle agribusiness, agropolitan, sustainable, development, policy.


(4)

HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI. Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh SURJONO H. SUTJAHJO, MULADNO, dan CATUR HERISON.

Pendekatan pembangunan di perdesaan harus dilakukan tidak hanya pada kegiatan fisik, namun yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan di masing-masing wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep pembangunan kawasan agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di daerah perdesaan.

Pengembangan kawasan agropolitan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya.

Sektor agribisnis merupakan sektor usaha yang memanfaatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang memberikan sumbangan sangat besar bagi pembangunan Indonesia. Sumbangan sektor agribisnis terutama terlihat pada masa krisis, masih sanggup memberikan devisa negara dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas agribisnis.

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Jayapura juga mempunyai peluang untuk mengembangkan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan dikarenakan sumberdaya peternakan, merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan sistem budidaya peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak, memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), menyerap tenaga kerja, memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktifitas, patuh hukum dan berfungsinya kelembagaan peternakan. Dalam upaya mewujudkan hal tersebut maka penelitian mengenai pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan berkelanjutan di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan.

Penelitian bertujuan untuk (1) menentukan komoditas unggulan; (2) mengetahui perilaku dan karakteristik peternak; (3) menilai keberlanjutan sistem melalui penyusunan indeks dan status (kategori) keberlanjutan; (4) menganalisis faktor kunci yang menentukan keberlanjutan; dan (5) merumuskan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.

Penelitian dilakukan dengan lima tahapan penelitian yaitu menentukan komoditas unggulan peternakan, menganalisa perilaku dan karakteristik peternak, analisis keberlanjutan dan faktor pengungkit pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan, analisis faktor-faktor kunci pengembangan


(5)

Terdapat lima metode analisis yang digunakan dalam analisis data pada penelitian ini yaitu metode perbandingan eksponensial untuk menentukan komoditas unggulan peternakan, proportional cluster random sampling dipergunakan untuk analisis perilaku dan karakteristik peternak, analisis multi dimensional scaling untuk menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan dan faktor pengungkit, analisis prospektif untuk menentukan faktor-faktor kunci pengembangan kawasan transmigrasi di lahan kering, dan analytical hierarchy process untuk menentukan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan. Focus group discussion dilakukan untuk merumuskan strategi implementasi kebijakan prioritas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: komoditas unggulan peternakan adalah sapi potong dengan tujuan utama dalam memelihara ternak sapi adalah untuk menambah tingkat pendapatan keluarga, pendapatan yang diperoleh dapat digunakan sebagai tabungan bagi kebutuhan keluarga peternak. Sistem pemeliharaan ternak sapi di Kabupaten Jayapura umumnya adalah pastural sistem dengan tipe manajemen ekstensif adalah sebesar 76,36 persen (tidak memiliki kandang) dan sistem intensif, semi intensif sebesar 23,64 persen(memiliki kandang). Sumber bibit, 47,27 persen berasal dari bantuan pemerintan maupun pihak swasta, 28,18% dengan pembelian dan 24,55% merupakan warisan dari keluarga. Tipologi usaha dapat berdasarkan pendapatan peternak adalah sebesar 28,3 persen sehingga hanya merupakan usaha sambilan.

Keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Jayapura dianalisis dengan model MDS. Nilai indeks keberlanjutan yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap semua atribut yang tercakup dalam lima dimensi (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan). Berdasarkan hasil diskusi dengan stakeholders dan pakar disepakati 61 atribut yang tersebar dalam lima dimensi pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong.

Pembangunan kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura belum berkelanjutan. Lima dimensi yang dianalisis pada penelitian ini untuk menentukan status keberlanjutan pembangunan kawasan, terdapat dua dimensi yang tergolong cukup berkelanjutan (skor 50 – 75) yakni dimensi ekonomi dengan nilai indeks 53.2; dan dimensi sosial (67,0). Dimensi yang tergolong kurang berkelanjutan (skor < 50) adalah dimensi ekologi dengan nilai indeks 48,5; dimensi teknologi (40,5), dan dimensi kelembagaan (49,3). Dimensi ekologi, teknologi, dan kelembagaan menjadi hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pembangunan kawasan agropolitan Jayapura karena memiliki skor indeks keberlanjutan < 50. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologi, teknologi, dan kelembagaan belum diperhatikan dalam proses pembangunan yang dilakukan selama ini. Dengan demikian, di masa mendatang ketiga dimensi ini perlu mendapat perhatian. Dimensi ekonomi dan sosial tergolong belum berkelanjutan (nilai indeks 50 – 75).

Diperoleh 19 faktor pengungkit pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis sapi potong secara berkelanjutan di Jayapura. Dalam proses pembangunan, semua faktor ini harus diperhatikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas pembangunan. Secara operasional, faktor ini memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Namun demikian, dalam proses implementasinya diperlukan pemilihan faktor yang paling berpengaruh dan memiliki keterkaitan dengan faktor lainnya yang paling tinggi


(6)

kebijakan dan strategi implementasi pengembangan komoditi unggulan peternakan yakni sapi potong. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan pembangunan kawasan agropolitan Jayapura dan pakar. Hasil analisis prospektif diperoleh tiga faktor kunci keberhasilan pembangunan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang yaitu: luas lahan yang ditanami, ketersediaan mitra usaha, dan kondisi jalan.

Terdapat lima faktor kunci yang perlu diperhatikan guna memenuhi kebutuhan stakeholder di masa mendatang dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis sapi potong di Kabupaten Jayapura yaitu perbaikan sistem pemeliharaan, pengembangan sarana dan prasarana agribisnis, pembangunan pos inseminasi buatan, ketersediaan lembaga keuangan yang memberikan kemudahan pinjaman dengan bunga rendah untuk modal usaha beternak sapi potong dan adanya dukungan dari kebijakan pemerintah daerah berupa perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah sub sektor peternakan.

Rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan dirumuskan dengan memperhatikan faktor-faktor kunci yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya. Selain itu juga memasukkan hasil tinjauan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan. Perumusan kebijakan ini dilakukan melalui FGD dengan stakeholder dan pakar. Rumusan rancangan kebijakan pembangunan kawasan agropolitan adalah: (1) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya petani peternak dan pelaku usahatani melalui pelatihan dan pendidikan; (2) Pembangunan dan pemeliharaan prasarana dan sarana kawasan guna menunjang pengembangan kawasan; (3) Peningkatan jumlah sapi potong yang diusahakan dengan komoditi pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (4) Pengembangan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan pengembangan agribisnis sapi potong; (5) Perbaikan iklim investasi dan peningkatan investasi pemerintah dan pengusaha; dan (6) Pengembangan teknologi budidaya pertanian dan peternakan dan perbaikan manajemen usaha tani.

Alternatif kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berkelanjutan yang menjadi prioritas, yaitu peningkatan dan penguatan kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi peternakan unggulan. Dalam rangka mewujudkan kebijakan tersebut disepakati strategi implementasi kebijakan yaitu mengembangkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dalam penguatan kemitraan usaha, melaksanakan pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk mendukung peningkatan kemitraan usaha dan investasi. Alternatif lainnya adalah mengembangkan ekonomi dengan mengintensitaskan populasi ternak sapi potong dan produktifitas pertanian yang mendukung kemitraan usaha dalam percepatan pertumbuhan ekonomi dan melaksanakan kebijakan sistem kemitraan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan sektor keuangan dan persewaan sebagai sumber modal yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dengan melakukan kerjasama antar wilayah dalam mendorong pertumbuhan sektor industri di wilayah sekitarnya melalui upaya meningkatkan daya saing industri.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

AGROPOLITAN BERBASIS AGRIBISNIS PETERNAKAN

YANG BERKELANJUTAN DI KABUPATEN JAYAPURA

Oleh:

HERMANUS BUDIARTO RUMAJOMI

P062054744

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(9)

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada : 9 Juli 2011 Penguji Luar Komisi :

(1) Dr. Ir. Widiatmaka, DAA

(2) Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada : 27 September 2011

Penguji Luar Komisi : (1) Dr. Ir. Asnath Maria Fuah (2) Dr. Ir. Suyitman, M.P.


(10)

(11)

Kabupaten Jayapura

Nama : Hermanus Budiarto Rumajomi

NIM : P062054744

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Anggota

Dr. Ir. Catur Herison, MSc Anggota

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(12)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas semua berkat dan kasih-Nya yang telah diberikan, maka penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA dan Dr. Ir. Catur Herison, MSc masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah berkenan membimbing, memberikan masukan kepada penulis serta memberikan dorongan moril mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini.

Terimakasih juga disampaikan kepada Gubernur Provinsi Papua Bapak Barnabas Suebu, SH dan Sekretaris Daerah Provinsi Papua, Bapak drh. Constant Karma serta Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Papua, Bapak Ir. Melkianus Monim, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan program doktoral di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jayapura beserta staf, dan Universitas Negeri Papua yang telah membantu pelaksanaan penelitian. Kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riany, Bapak Dr. Albert Napitupulu, MSi dan teman-teman PS-PSL angkatan VI yang telah banyak memberikan semangat dan juga membantu pada pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi penulis juga menghaturkan terimakasih. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada petani peternak para stakeholder serta instansi terkait yang telah memberikan berbagai keterangan (data primer) pada saat FGD dan pada saat diwawancara serta telah memberikan berbagai data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini juga dihaturkan terimakasih. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda, isteri tercinta dan anak-anakku tersayang Maura Adgina Jasmine dan Almanda Blessilia Hadasa, Bapak Hengki Bonsapia serta seluruh keluarga yang terkasih; Kak Endang dan adik-adikku, Ningsih, Yayuk, Richard dan Vita, atas segala doa dan kasih sayangnya.


(13)

saja yang membacanya.

Bogor, September 2011


(14)

Penulis dilahirkan di Kota Senja Kaimana, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat pada tanggal 9 Januari 1973 sebagai anak kedua dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak Samuel Rumajomi dan Ibu Muryati. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis adalah pada tahun 1984 menamatkan sekolah dasar pada SD Fatima di Fakfak, menamatkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri I Fakfak pada tahun 1987, dan menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri I Fakfak pada tahun 1990. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih, Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan.

Pada tahun 1996 penulis bekerja pada PT. Freeport Indonesia di Timika-Tembagapura dan pada tahun 1997 penulis diterima sebagai CPNS di Pemerintah Provinsi Papua dan ditempatkan pada Dinas Peternakan Provinsi Papua pada Sub Dinas Program.

Pada tahun 2002, penulis diberikan kesempatan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua untuk melanjutkan pendidikan di Program Pasca Sarjana (S-2) Magister Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor (MMA-IPB) dengan konsentrasi di bidang strategi manajemen. Penulis bergabung dengan Angkatan Reguler XXV. Pada Tahun 2003 penulis menyelesaikan program pasca sarjana (S-2) di Institut Pertanian Bogor (MMA-IPB).

Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah terbaru ditulis akan diterbitkan (in press) pada jurnal ilmiah (Jurnal Rekayasa Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terakreditasi) dengan judul Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan yang Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.

Bogor, September 2011


(15)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 5

1.3 Rumusan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 13

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

1.6 Kebaruan (Novelty) ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1 Pembangunan Berkelanjutan ... 15

2.1.1. Konsep dan Definisi ... 15

2.1.2. Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 17

2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ... 19

2.2 Pengembangan Wilayah ... 21

2.3 Agropolitan ... 25

2.3.1. Pengertian ... 28

2.3.2. Batasan Kawasan Agropolitan ... 28

2.4 Pembangunan Agribisnis yang Berkelanjutan Berdasarkan Sumberdaya Lokal ... 31

2.5 Agribisnis Sapi Potong ... 33

2.5.1. Subsistem Agribisnis Hulu ... 35

2.5.2. Subsistem Agribisnis Budidaya ... 36

2.5.3. Subsistem Agribisnis Hilir ... 36

2.5.4. Subsistem Agribisnis Lembaga Penunjang ... 39

2.6 Pembangunan Peternakan di Era Otonomi Daerah ... 40

2.6.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong ... 41

2.6.2. Kendala dan Peluang Pengembangan Sapi Potong ... 45

2.6.3. Strategi Pengembangan Sapi Potong ... 46

2.7 Penggunaan Model ... 49

2.8 Analisis Kebijakan ... 50

2.9 Hasil Penelitian Terdahulu ... 53

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 56

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 56

3.2 Metode Penelitian ... 56

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 57

3.3.1. Jenis dan Sumber Data ... 57

3.3.2. Teknik Penentuan Responden dan Pengambilan Contoh .... 58

3.4 Metode Analisis Data ... 59

3.4.1. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 59

3.4.2. Analisis Perilaku dan Karakteristik Peternak ... 61

3.4.3. Analisis Keberlanjutan ... 61

3.4.4. Analisis Prospektif ... 66


(16)

4.2 Keadaaan Biofisik dan Lingkungan ... 72

4.2.1. Klimatologi ... 72

4.2.2. Fisiografi ... 73

4.2.3. Geomorfologi ... 75

4.2.4. Klasifikasi Tanah ... 76

4.2.5. Kesuburan Tanah ... 80

4.2.6. Hidrologi ... 82

4.2.7. Penutupan Lahan ... 87

4.2.8. Sebaran Luas Lahan Menurut Fungsinya ... 91

4.3 Keadaaan Penduduk ... 95

4.3.1. Kepadatan Penduduk ... 95

4.3.2. Ratio Seks ... 95

4.3.3. Ketergantungan Penduduk ... 96

4.3.4. Keluarga Penduduk ... 97

4.3.5. Mata Pencaharian Penduduk ... 98

4.4 Keadaaan Ekonomi ... 98

4.4.1. Pendapatan Rumah Tangga ... 99

4.4.2. Jenis Tanaman ... 100

4.4.3. Pemasaran ... 101

4.5 Keadaaan Sosial Budaya ... 103

4.5.1. Struktur Sosial ... 103

4.5.2. Interaksi Sosial ... 105

4.5.3. Pola Kepemimpinan ... 107

4.5.4. Pola Penguasaan dan Pengusahaan Tanah ... 108

4.6 Sarana dan Prasarana Sosial Ekonomi dan Budaya ... 110

4.6.1. Prasarana dan Sarana Umum/Infrastruktur ... 110

1. Transportasi ... 110

2. Pos dan Telekomunikasi ... 111

3. Listrik ... 112

4. Air Bersih ... 113

4.6.2. Prasarana dan Sarana Kesejahteraan Sosial ... 113

1. Kesehatan ... 113

2. Pendidikan ... 114

3. Prasarana dan Sarana Ibadah ... 114

4.6.3. Prasarana dan Sarana Ekonomi ... 115

1. Pasar ... 115

2. Koperasi Unit Desa dan Kios Sarana Produksi ... 115

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 118

5.1. Penentuan Komoditas Unggulan Peternakan (MPE) ... 118

5.2. Analisa Potensi Pengembangan Ternak Sapi Potong dan Karakteristik Peternak di Kabupaten Jayapura ... 123

5.2.1. Tujuan pemeliharaan ... 123

5.2.2. Sistem pemeliharaan ternak ... 124

5.2.3. Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan secara intensif dan semi intensif ... 125

5.2.4. Kompetensi Teknis Berdasarkan Sistem Pemeliharaan Secara Ekstensif ... 127


(17)

5.2.9. Penyakit dan Penanganannya ... 139

5.2.10. Sistem Tata Niaga ... 140

5.2.11. Aspek Ekonomi ... 143

5.2.12. Tipologi Usaha ... 143

5.2.13. Aspek Sumberdaya Alam Kondisi Agroklimat ... 144

5.2.14. Infrastruktur ... 145

5.2.15. Kelembagaan ... 145

5.2.16. Karakteristik Peternak Sapi Potong ... 147

5.2.17. Penggunaan Teknologi oleh Sampel ... 149

5.3. Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong di Kabupaten Jayapura ... 151

5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ... 154

5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ... 159

5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya ... 163

5.3.4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi ... 169

5.3.5. Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan ... 173

5.4. Faktor Kunci Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Berbasis Agribisnis Sapi Potong ... 180

5.5. Kebutuhan Stakeholder Dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 182

5.6. Rancangan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong ... 186

5.7. Analytical Hierarchy Process ... 187

5.8. Strategi Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Sapi Potong ... 193

5.9. Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura ... 206

5.9.1. Kriteria Kawasan ... 208

5.9.2. Kelestarian Lingkungan Hidup ... 213

5.9.3. Pengembangan Kawasan Agropolitan Grime-Sekori ... 214

5.9.4. Strategi Pengembangan Kawasan ... 216

5.9.5 Program Pengembangan ... 219

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 240

DAFTAR PUSTAKA ... 244


(18)

(19)

1 Batas kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam

pengelolaan sumberdaya peternakan ... 42

2 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ... 58

3 Perincian jumlah responden penelitian ... 59

4 Matriks nilai untuk setiap kriteria alternatif keputusan (NK) ... 61

5 Dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong . 63 6 Dimensi teknologi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ... 64

7 Dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ... 64

8 Dimensi sosial keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ... 65

9 Dimensi kelembagaan keberlanjutan pengembangan agribisnis sapi potong ... 65

10 Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengembangan agropolitan berbasis peternakan sapi potong ... 67

11 Skala perbandingan berpasangan ... 69

12 Jumlah kelurahan dan kampung serta luas keempat distrik kawasan pengembangan agropolitan Kabupaten Jayapura ... 70

13 Jarak tempuh antar ibukota distrik dalam kawasan pengembangan agropolitan dan dengan ibukota kabupaten (km) ... 70

14 Sebaran luas lahan menurut fisiografi lahan setiap distrik dalam kawasan agropolitan ... 73

15 Sebaran luas Sub DAS dalam kawasan agropolitan ... 86

16 Debit air sungai-sungai besar di dalam kawasan pengembangan agropolitan ... 87

17 Sebaran luas lahan menurut tipe penutupan lahan tiap distrik dalam kawasan agropolitan ... 90

18 Sebaran luas lahan menurut fungsi hutan di setiap distrik dalam kawasan agropolitan ... 93

19 Kepadatan penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ... 95

20 Sebaran jumlah penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berdasarkan jenis kelamin tahun 2003 ... 96

21 Sebaran jumlah penduduk berdasarkan golongan umur di kawasan agropolitan tahun 2003 ... 96

22 Hasil analisis keluarga penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ... 97

23 Sebaran penduduk kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 menurut mata pencaharian ... 98

24 Pendapatan kotor rumah tangga di wilayah penelitian berdasarkan macam jenis tanaman yang diusahakan ... 99

25 Sebaran prasarana dan sarana telekomunikasi di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ... 112

26 Keadaan prasarana dan sarana listrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ... 112

27 Sebaran jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ... 113

28 Sebaran jumlah prasarana dan sarana pendidikan di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura ... 114


(20)

tahun 2003 ... 115 31 Hasil perhitungan penentuan komoditas unggulan agribisnis

peternakan Kabupaten Jayapura dengan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 118 32 Nilai rata-rata 7 (tujuh) responden perhitungan bobot kriteria

agribisnis komoditas unggulan peternakan Kabupaten Jayapura ... 120 33 Kompetensi teknis berdasarkan sistem pemeliharaan ... 125 34 Pemilikan dan kondisi kandang peternak sapi potong per distrik di

Kabupaten Jayapura ... 134 35 Reproduksi ternak sapi potong per distrik di Kabupaten Jayapura ... 139 36 Jenis penyakit dan cara pengobatan pada berbagai jenis ternak di

Kabupaten Jayapura ... 140 37 Distribusi karakteristik per distrik di Kabupaten Jayapura ... 148 38 Populasi ternak sapi pada lokasi penelitian di Kabupaten Jayapura ... 149 39 Penggunaan teknologi oleh sampel dalam pengembangan ternak

sapi di Kabupaten Jayapura ... 150 40 Hasil analisis Rap-BANGSAPO untuk nilai stress dan koefisien

determinasi (r2) ... 153 41 Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan dengan

Analisis Rap-BANGSAPO ... 149 42 Laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten

Jayapura menurut lapangan usaha tahun 2001 – 2005 ... 161 43 Distribusi PDRB Di Kabupaten Jayapura Tahun 2001 – 2005 (%) ... 161 44 Tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten

Jayapura ... 166 45 Tingkat pendidikan non formal peternak pada 4 Distrik di Kabupaten

Jayapura ... 167 46 Faktor pengungkit setiap dimensi pengembangan kawasan berbasis

ternak sapi potong ... 180 47 Kebutuhan stakeholder pengembangan kawasan agropolitan

Kabupaten Jayapura ... 183 48. Jenis Prasarana Dan Sarana Pendukung yang Dibutuhkan pada

Setiap Struktur dan Hirarki Kawasan Agropolitan Jayapura ... 233 49. Program Jangka Pendek (3 tahun) pengembangan sarana/prasarana

Di Kawasan Agropolitan Grime Sekori ... 236 50. Program Jangka Menengah (5 tahun) Pengembangan Sarana/

prasarana Dikawasan Agropolitan Grime-Sekori ... 237 51. Program jangka panjang (10 tahun) pengembangan


(21)

1 Kerangka pemikiran model pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan sapi potong ... 7

2 Perumusan masalah model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong ... 12

3 Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan ... 20

4 Lingkup pembangunan agribisnis sapi potong ... 35

5 Pola umum saluran tataniaga tenak dan daging ... 37

6 Pohon industri sapi potong ... 38

7 Peta administrasi lokasi penelitian ... 56

8 Proses aplikasi MDS... 62

9 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 67

10 Letak pusat kegiatan kawasan agropolitan ... 71

11 Suhu udara maksimum mutlak tahun 2004 – 2006 (dalam oC) Stasiun Klimatologi Genyem. ... 72

12 Suhu udara minimum mutlak tahun 2004 – 2006 (dalam oC) Stasiun Klimatologi Genyem... 72

13 Peta fisiografi lahan kawasan agropolitan. ... 74

14 Peta tipologi tanah kawasan agropolitan. ... 79

15 Peta tanah hijau mendalam kawasan agropolitan. ... 83

16 Curah hujan (mm) tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem .. 84

17 Data hari hujan tahun 2004 – 2006 Stasiun Klimatologi Genyem ... 84

18 Curah Hujan (mm) Tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani ... 85

19 Data hari hujan (mm) Tahun 2004 – 2006 Stasiun Meteorologi Klas III Sentani ... 85

20 Peta batas Sub DAS kawasan agropolitan ... 88

21 Peta liputan lahan kawasan agropolitan ... 92

22 Peta tata guna lahan kawasan agropolitan ... 92

23 Tata niaga pemasaran produk usahatani penduduk di wilayah penelitian ... 102

24 Sebaran jumlah KUD dan Kios SAPROTAN berdasarkan distrik di kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura tahun 2003 ... 116

25 Peta sarana dan prasarana kawasan agropolitan ... 117

26 Sistem pemeliharaan ternak sapi potong di Kabupaten Jayapura ... 124

27 Sumber air peternak di Kabupaten Jayapura ... 131

28 Saluran Pemasaran Ternak Sapi di Kabupaten Jayapura ... 141

29 Status keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Jayapura berbasis agribisnis peternakan sapi potong ... 146

30 Atribut ekologi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak ... 150

31 Data curah hujan dan hari hujan Tahun 2006 ... 151

32 Atribut ekonomi yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak ... 156

33 Rata-rata tingkat pendidikan formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura... 159

34 Rata-rata tingkat pendidikan non formal peternak pada 4 distrik di Kabupaten Jayapura... 160

35 Atribut sosial budaya yang menjadi faktor pengungkit keberlanjutan pengembangan ternak ... 161


(22)

pengelolaan ternak ... 166 38 Pemetaan faktor pengungkit pengembangan agribisnis sapi potong . 173 39 Hasil analisis prospektif faktor kunci pembangunan kawasan

agropolitan berdasarkan kebutuhan stakeholder ... 176 40 Bobot faktor-faktor pada setiap level penentuan kebijakan ... 178 41 Bobot masing-masing alternatif kebijakan pengembangan kawasan


(23)

1.1. Latar Belakang

Beberapa dekade yang lalu paradigma pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih menitikberatkan pada pembangunan fisik tanpa diikuti pembangunan ekonomi sosial dan lingkungannya yang dilakukan secara terpadu. Hal ini menimbulkan masalah di dalam pengelolaannya, karena masyarakat belum punya kemampuan untuk mengelola agar investasi yang telah dilaksanakan dapat lestari/berfungsi. Investasi dalam skala besar/masif yang dilaksanakan di daerah perkotaan, diharapkan dapat memberikan efek penetesan ke wilayah sekitarnya namun tidak terjadi secara serta merta. Berdasarkan pada paradigma tersebut di atas, maka pembangunan perdesaan juga harus diperhatikan. Pendekatan pembangunan di perdesaan harus dilakukan tidak hanya pada kegiatan fisik, namun yang lebih penting sebagai entry point-nya adalah kegiatan ekonomi berdasarkan pada potensi unggulan di masing-masing wilayah. Terkait dengan pendekatan ini maka melalui konsep pembangunan kawasan agropolitan menjadi relevan untuk dilaksanakan di daerah perdesaan.

Pengembangan kawasan agropolitan, pada dasarnya memiliki keunggulan-keunggulan yaitu (1) mendorong ke arah terjadinya desentralisasi pembangunan maupun kewenangan, (2) menanggulangi hubungan saling memperlemah antara perdesaan dengan perkotaan, dan (3) menekankan kepada pengembangan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal dan diusahakan dengan melibatkan sebesar mungkin masyarakat perdesaan itu sendiri (Rustiadi et al., 2006). Pengembangan kawasan agropolitan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan, dan pelayanan lainnya.

Pengembangan agropolitan, seperti resdistribusi tanah, prasarana dan sarana pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan, sehingga masyarakat petani tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan produksi, pemasaran, sosial budaya dan


(24)

kehidupan setiap hari (Syahrani, 2001). Prasarana dan sarana fisik sebagai modal sosial masyarakat yang memiliki keterkaitan kuat dengan kesejahteraan masyarakat (Dardak, 2004). Pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan memungkinkan penciptaan lapangan pekerjaan, kompetisi pemanfaatan lahan yang dapat ditanami untuk kepentingan non pertanian dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat perdesaan dapat ditingkatkan melalui kegiatan agribisnis atau agroindustri (Dardak dan Elestianto, 2005).

Sektor agribisnis merupakan sektor usaha yang memanfaatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang memberikan sumbangan sangat besar bagi pembangunan Indonesia. Sumbangan sektor agribisnis terutama terlihat pada masa krisis, masih sanggup memberikan devisa negara dengan meningkatnya nilai ekspor komoditas agribisnis. Menurut Gumbira-Said dan Intan (2001) sektor agribisnis sangat potensial dikembangkan untuk orientasi ekspor dan pembangunan agribisnis dapat memberdayakan potensi ekonomi rakyat dan potensi ekonomi daerah. Pemberdayaan ekonomi rakyat tidak cukup dilaksanakan hanya dengan membagi dana kepada masyarakat, tanpa kejelasan pemanfaatannya, namun peningkatan ekonomi rakyat dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Menurut Saragih (1998) kegiatan sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia, yang dapat menyerap 70 % angkatan kerja nasional serta melibatkan 90 % usaha kecil menengah dan koperasi. Sektor agribisnis dapat menghidupi atau menyokong hampir 80 % penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 210 juta jiwa.

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat dan pelaksanaan otonomi daerah, Kabupaten Jayapura juga mempunyai peluang untuk mengembangkan agropolitan yang berbasis agribisnis peternakan. Hal ini didukung oleh misi Kabupaten Jayapura dalam meningkatkan pembangunan, antara lain (1) pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah terutama usaha kecil menengah dan koperasi, (2) mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dan berbasis sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Sumberdaya peternakan, merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah. Menurut Saragih (2000) hal ini


(25)

didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu pertama, kegiatan peternakan, khususnya subsistem budidaya, relatif bersifat tidak tergantung pada ketersediaan lahan dan tidak menuntut kualitas tenaga kerja yang tinggi. Kedua, kegiatan budidaya peternakan memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes. Ketiga, produk ternak sapi merupakan produk yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi. Keempat, sifat produk peternakan yang memiliki nilai elastisitas permintaan terhadap perubahan pendapatan yang tinggi dan kegiatan peternakan yang dilihat sebagai suatu sistem agribisnis, akan mampu menciptakan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan peningkatan pendapatan. mulai pada agribisnis hulu, budidaya, agribisnis hilir dan kegiatan jasa terkait seperti transportasi, perbankan dan lain-lain.

Dalam pengembangan peternakan terdapat beberapa aspek sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil budidaya peternakan. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang (Santosa, 2000). Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan (Sugeng, 2002). Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan ternak, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan.

Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan (2002) sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan peternakan adalah 1) sarana produksi, yaitu adanya industri bibit/bakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2) untuk pengamanan budidaya antara lain tersedianya pos keswan dan pos inseminasi buatan (IB), 3) untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4) untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5) untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan (permodalan), penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan


(26)

pasar dan 6) untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan. listrik dan air. Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan (bibit) sangat penting diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun penggemukan sapi (Sarwono dan Arianto, 2002), begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong (Hadi dan Ilham, 2002).

Dalam rangka mendapatkan manfaat yang optimal, pengembangan sistem budidaya peternakan perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan (Saragih dan Sipayung 2000). Fauzi (2002) mengemukakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana (how best) mengelola sumberdaya alam tersebut di dalam suatu wilayah untuk dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam. Menurut Budiharsono (2001) ada enam aspek pembangunan wilayah terpadu yang harus diperhatikan yaitu aspek biofisik, ekonomi wilayah, sosial budaya dan politik, kelembagaan, lokasi, dan lingkungan. Dahuri et a/. (1996) mengemukakan bahwa kriteria-kriteria pembangunan berkelanjutan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial-politik, serta hukum dan kelembagaan. Selanjutnya Kay dan Alder (1999) serta OECD (1993) juga menyebutkan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan pembangunan berkelanjutan, yang pada prinsipnya juga menyangkut dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, serta hukum dan kelembagaan.

Pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas dapat menjadi acuan dalam pengembangan agribisnis peternakan dalam kawasan agropolitan di Kabupaten Jayapura, dengan melakukan penilaian dan pengkajian sumberdaya peternakan sehingga dapat menentukan pembenahan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya peternakan di Kabupaten Jayapura. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengembangan sistem agribisnis peternakan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan peternak, memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), menyerap tenaga kerja, memeratakan pendapatan, mengaplikasikan teknologi untuk meningkatkan produktifitas, patuh hukum dan berfungsinya kelembagaan peternakan. Dalam


(27)

upaya mewujudkan hal tersebut maka penelitian mengenai pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan berkelanjutan di Kabupaten Jayapura perlu dilakukan.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pembangunan nasional mengamanatkan bahwa pendayagunaan sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan tersebut di atas yang telah dijalankan selama ini, ternyata masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan kawasan perdesaan, bahkan cenderung menyebabkan kesenjangan antar wilayah perkotaan (urban) dan wilayah perdesaan (rural). Daerah perkotaan selama ini telah diarahkan sebagai pusat industri dan perdagaangan, disamping sebagai pusat pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari pesatnya pembangunan sarana dan prasarana perdagangan, perkantoran, dan industri. Di daerah perdesaan diarahkan sebagai pusat produksi pertanian (Pranoto, 2005). Program pembangunan untuk daerah perdesaan selama ini ditekankan pada peningkatan produksi pertanian/peternakan/perkebunan, seringkali kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Hal ini juga dapat dilihat dari penerapan konsep intensifikasi untuk peningkatan produksi oleh petani, seperti pengolahan tanah, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit di daerah-daerah kawasan sentra produksi.

Pengelolaan tanah yang dilakukan di lokasi penelitian pada umumnya kurang memperhatikan konsep konservasi tanah dan air, seperti penanaman intensif tanaman monokultur yang dilakukan terus-menerus sepanjang tahun, atau pengusahaan tanaman semusim pada areal dengan kelerengan curam, sehingga dapat menyebabkan degradasi lahan. Kebergantungan petani pada pupuk anorganik akibat penggunaan varietas responsif pemupukan dan kebiasaan pemberian pupuk secara tidak berimbang pada dosis tinggi, menyebabkan kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Pengendalian hama dan penyakit dengan mengandalkan penggunaan pestisida, yang pada umumnya melebihi anjuran, menyebabkan musnahnya musuh alami dan timbulnya ras-ras


(28)

hama dan penyakit resisten. Program-program pembangunan tersebut pada akhirnya mengakibatkan peningkatan produksi, maupun ekonomi yang tercapai tidak dapat berkelanjutan karena malah menimbulkan degradasi lingkungan secara fisik, kimia, dan biologis.

Menyadari terjadinya ketidakseimbangan pembangunan, maka pemerintah telah menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah/kawasan yang dikhususkan bagi wilayah/kawasan yang selama ini kurang mendapat perhatian diantaranya melalui pembentukkan kawasan pusat pertumbuhan (KPP), kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), kawasan sentra produksi (KSP), dan kawasan industri masyarakat perkebunan (KIMBUN), dimana semua program ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan disparitas antar wilayah. Oleh karena itu strategi pembangunan yang telah dijalankan perlu dipikirkan kembali.

Menurut Tong Wu (2002), pemikiran kembali strategi pembangunan dapat mencakup: (1) redistribusi dengan pertumbuhan, (2) substitusi eksport, dan (3) penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Untuk mencegah proses degradasi lingkungan sebagai dampak negatif proses pembangunan, harus diterapkan konsep pembangunan perdesaan berkelanjutan. Model pengembangan agropolitan, merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Agropolitan adalah konsep pembangunan perdesaan yang mengintegrasikan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan wilayah secara simultan. Pemberdayaan masyarakat merupakan konsep pembangunan yang mengutamakan partisipasi (participation) dan kemitraan (partnership) yang mengarah pada pembangunan dari dan untuk rakyat. Agropolitan didasari oleh konsep pengembangan wilayah dengan penekanan pada pembangunan infrastruktur, kelembagaan, dan permodalan/investasi.

Langkah-langkah yang dltempuh dalam pengembangan agropolitan meliputi peningkatan agribisnis komoditas unggulan, pembangunan agroindustri, dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan. Sasarannya adalah infrastruktur pendukung produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran, serta permukiman terbangun secara memadai dan setara infrastruktur kota; penguatan kelembagaan perdesaan dapat terjadi; kelestarian lingkungan terjaga; perekonomian perdesaan tumbuh berkembang; dan produktivitas pertanian/peternakan meningkat.


(29)

Apabila hal tersebut dapat dicapai, maka akan terbentuk kota di daerah perdesaan dengan sarana dan prasarana permukiman setara kota dengan kegiatan pertanian/peternakan sebagai kekuatan penggerak perekonomian perdesaan. Multiplier effect selanjutnya adalah terbukanya lapangan pekerjaan sehingga dapat mengurangi pengurasan sumberdaya alam dan urbanisasi dari desa ke kota, disparitas perkembangan kota dan desa dapat ditekan, dan pembangunan dapat dirasakan lebih adil dan merata. Secara garis besar, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan

Pembangunan Nasional Rencana Strategis Provinsi, Kota/Kabupaten (Otonomi Daerah) Ekonomi Sosial-Budaya

Politik Hukum Keamanan

Perkotaan (Urban)

Perdesaan (Rural) Disparitas pembangunan

- backwash effect - Urban bias

AGROPOLITA

Pemberdayaan Masyarakat

(Partisipasi & Kemitraan)

Pengembangan Wilayah

(Infrastruktur, Kelembagaan & Modal/Investasi) Ekonomi Perdesaan Kelestarian Lingkungan Kelembagaan dan Kemitraan

Konservasi

Agro-industri Agribisnis Peternakan Pembangunan Desa Berkelanjutan Kebijakan Pembangunan Daerah Pembangunan Pertanian Kebijakan Pembangunan Nasional KSP KAPE KIMBUN KPP Infrastruktur Produksi Pertanian


(30)

1.3. Rumusan Masalah

Diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan revisi Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, memiliki konsekuensi adanya keberagaman kinerja daerah dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, meningkatnya tuntutan daerah, dan kemungkinan disintegrasi bangsa.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di DKI Jakarta hanya sekitar 3,18 persen, sedangkan di Papua sekitar 38,69 persen. Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi antar wilayah, penduduk di Jakarta rata-rata bersekolah selama 9,7 tahun, sedangkan penduduk di NTB rata-rata hanya bersekolah selama 5,8 tahun. Hanya ± 30 persen penduduk Jakarta yang tidak mempunyai akses terhadap air bersih, tetapi di Kalimantan Barat lebih dari 70 persen penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih.

Data BPS tahun 2004 mengenai penguasaan PDRB (pendapatan domestik regional bruto) seluruh provinsi dan lajur pertumbuhan PDRB antar provinsi menunjukkan bahwa provinsi di Jawa dan Bali menguasai ± 61,0 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra menguasai ± 22,2 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 9,3 persen, Sulawesi menguasai 4,2 persen. PDRB di provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar 10,71 persen, provinsi di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,72 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 11,22 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 4,34 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah.


(31)

Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Papua yang berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea (PNG). Melihat posisi Kabupaten Jayapura yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, memiliki potensi yang cukup besar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut, di mana selain sangat potensial untuk pembangunan di sektor pertanian (subsektor peternakan). Namun seiring dengan perkembangan pembangunan, kenyataan menunjukkan telah terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi di daerah ini yang disebabkan oleh disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan. Selama ini tercipta kesan kuat disparitas pembangunan antara wilayah perkotaan dan perdesaan diikuti oleh aktifitas ekonomi dan daya dukung sumberdaya yang berbeda pula. Wilayah perkotaan dicirikan oleh aktifitas ekonomi dominan berupa industri pengolahan, perdagangan dan jasa yang kuat, sumberdaya manusia berkualitas, serta tingkat pelayanan infrastruktur yang cukup dan lengkap. Sebaliknya wilayah perdesaan didominasi oleh kegiatan sektor ekonomi pertanian dalam arti luas, kualitas sumberdaya manusia rendah, kemiskinan dan infrastruktur yang terbatas.

Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan.

Kegagalan pembangunan di wilayah perdesaan selain mengakibatkan terjadinya backwash effect, juga mengakibatkan penguasaan terhadap pasar, kapital dan kesejahteraan yang lebih banyak dimiliki oleh masyarakat perkotaan. Akibatnya kondisi masyarakat perdesaan semakin terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan. Keadaan ini juga dinyatakan Yudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini melahirkan kemiskinan dan pengangguran struktural di pertanian dan perdesaan.

Berdasarkan ketimpangan-ketimpangan pertumbuhan ekonomi tersebut di atas serta dengan mengacu pada kerangka pemikiran, maka salah satu pendekatan pengembangan kawasan perdesaan untuk mewujudkan kemandirian


(32)

pembangunan perdesaan yang didasarkan atas potensi wilayah. Khusus di Kabupaten Jayapura dapat dilakukan dengan mengembangkan kawasan agropolitan yang merupakan konsep pengembangan atau pembangunan perdesaan (rural development) dengan mengkaitkan atau menghubungkan perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan (urban development) pada tingkat lokal.

Program pengembangan kawasan agropolitan bukan merupakan konsep baru, tetapi merupakan pengembangan dan optimalisasi dari program-program pembangunan sebelumnya. Pengembangan kawasan agropolitan merupakan pengembangan kawasan agribisnis yang terintegrasi dengan pembangunan wilayah. Pengembangan kawasan agropolitan adalah gerakan masyarakat karena masyarakat memegang peranan utama dalam setiap kegiatan pembangunan kawasan yang diperkuat melalui pengelolaan kelembagaan dan kemitraan dengan pihak yang terkait. Selain itu, peran pemerintah terutama pemerintah daerah sangat menentukan keberhasilan dalam pengembangan kawasan agropolitan yang berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, dan motivator.

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan, Kabupaten Jayapura memiliki sejumlah permasalahan-permasalahan baik yang terkait dengan kelengkapan sarana dan prasarana baik sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana pendukung agribisnis. Selain itu masalah lain yang dihadapi adalah kualitas sumberdaya manusia perdesaan, bentuk kelembagaan yang ada, serta dukungan modal dalam rangka pengembangan kawasan. Namun demikian, belum pernah dilakukan pengkajian secara mendalam sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan berkelanjutan dengan menggunakan berbagai macam metode secara komprehensif yang nantinya akan diperoleh hasil penelitian secara detail dan mendalam. Dalam pengkajian tersebut, permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan adalah :

1) Apa yang menjadi komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura? 2) Bagaimana perilaku dan karakteristik peternak yang ada di Kabupaten

Jayapura untuk menunjang pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan?


(33)

3) Bagaimana keberlanjutan potensi wilayah yang dimiliki Kabupaten Jayapura yang dapat mendukung pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan?

4) Apa saja faktor-faktor strategis masa depan yang berperan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan?

5) Apa saja faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.

6) Bagaimana pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura serta bagaimana rumusan kebijakan dan skenario strategi pengembangannya ?


(34)

Gambar 2. Perumusan masalah pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan sapi potong

UU No.32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah

(Otonomi Daerah)

Pembangunan Perkotaan (urban development)

ƒ Industri

ƒ Perdagangan

ƒ Jasa

ƒ SDM berkualitas

ƒ Infrastuktur memadai

Pembangunan Perdesaan (rural development)

ƒ Pertanian

ƒ Kemiskinan

ƒ SDM rendah

ƒ Infrastuktur terbatas

ƒ Wilayah terpencil Rural-Urban

Gap

Pembangunan Kawasan Agropolitan

Agribisnis Peternakan

Backwash effect • Urbanisasi

MDS

Ekologi

Ekonomi Sosial

Teknologi Kelembagaan

Faktor-faktor strategis pengembangan

Prospektif pengembangan

Skenario dan kebijakan pengembangan

Pengembangan Model Kebijakan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan

yang Berkelanjutan Rekomendasi Kebijakan dan Strategi

Pengembangan Kawasan Agropolitan Berbasis Agribisnis Peternakan Sapi Potong


(35)

1.4. Tujuan Penelitian

1. Menentukan komoditas unggulan peternakan di Kabupaten Jayapura. 2. Mengetahui perilaku dan karakteristik peternak kawasan agropolitan di

Kabupaten Jayapura, untuk menunjang pengembangan agropolitan berbasis agribisnis peternakan.

3. Menilai keberlanjutan sistem melalui penyusunan indeks dan status (kategori) keberlanjutan model pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribsnis peternakan.

4. Mengidentifikasi faktor-faktor strategis masa depan yang berperan penting dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan.

5. Menganalisis faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan agribisnis peternakan di kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.

6. Merumuskan kebijakan pengembangan agribisnis peternakan kawasan agropolitan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk :

1. Ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan dan aplikasi cara berpikir sistem (system thinking) dan metodologi yang dapat digunakan untuk penyelesaian berbagai permasalahan melalui pendekatan sistem dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan.

2. Pengusaha/investor agar dapat memahami strategi dan prospek pengembangan usaha peternakan unggulan di Kabupaten Jayapura.

3. Pemerintah daerah khususnya Dinas Peternakan, sebagai pedoman untuk menyusun perencanaan pembangunan bidang peternakan di Kabupaten Jayapura.


(36)

1.6. Kebaruan (Novelty)

Novelty (kebaruan) dalam penelitian ini terdiri dari dua hal yaitu: (1) kebaruan dari segi metode merupakan perpaduan secara komperhensif dan partisipatif dari beberapa metode analisis untuk menyusun pengembangan model kebijakan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan di Kabupaten Jayapura, dan (2) kebaruan dari segi hasil penelitian adalah mengembangkan pembangunan pertanian yang berbasis peternakan yang berkelanjutan dilihat dari segi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan dan mengetahui faktor-faktor masa depan yang berpengaruh, serta tersusunnya skenario strategi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan unggulan di Kabupaten Jayapura.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan 2.1.1. Konsep dan Definisi

Dalam proses pembangunan yang dilakukan pemerintah pada kurun waktu tahun 1970-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an masih dititikberatkan pada pembangunan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya ketimpangan pembangunan antara di wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan menerapkan konsep keadilan antar generasi yang diadopsi oleh seluruh masyarakat di dunia walaupun dengan fokus dan penafsiran yang berbeda-beda. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan dengan ekploitasi sumberdaya, arahan investasi, dan perubahan kelembagaan yang seluruhnya dibuat konsisten dengan kebutuhan saat ini dan juga kebutuhan yang akan datang (Khanna et al. 1999). Menurut Leach dan Scooness (1997), masyarakat dilihat sebagai unit yang tepat dan peduli serta mampu secara kolektif dalam menghadapi lingkungan. Menurut Robin et al. (1997), pembangunan berkelanjutan harus berdasarkan pada solusi tingkat lokal yang diperoleh dari inisiatif masyarakat.

Pembangunan berkelanjutan adalah kerangka berpikir yang telah menjadi wacana secara internasional. Kerangka berpikir ini pada tahun 1992 dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro disepakati oleh semua Negara di dunia termasuk Indonesia untuk dlgunakan sebagai panduan. Program Aksi Dunia hasil konferensi tersebut di kenal sebagai Agenda 21. Dalam agenda tersebut Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (2000) menyatakan bahwa kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa haras menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi masa datang. Melalui kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan, maka setiap negara, wilayah dan daerah dapat mengembangkannya sendiri, baik cara maupun prioritas permasalahannya yang akan diatasi dan potensi yang akan dikembangkan. Bond et al. (2001) menyatakan bahwa berkelanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Pembangunan ekonomi, sosial dan proteksi lingkungan adalah saling memperkuat dalam pembangunan berkelanjutan.


(38)

Bosshard (2000) mengemukakan pendekatan secara komprehensif menuju pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan lima prinsip kriteria yaitu: (1) abiotik lingkungan, (2) biotik lingkungan, (3) nilai-nilai budaya, (4) sosiologi dan (5) ekonomi. Dalam hubungannya untuk memproteksi lingkungan, maka konsekuensi intervensi manusia dalam pemanfaatan dan manipulasi sumber daya lingkungan harus diantisipasi. Jika hal ini tidak dilakukan maka dapat mengakibatkan degradasi lingkungan yang akan merongrong pembangunan ekonomi (Greenland, 1992). Selanjutnya, sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan yang baik, maka harus dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi tuntutan generasi mendatang dalam mencukupi kebutuhannya sendiri (Meyer dan Harger, 1996).

Menurut Marten (2001), pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kecukupan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan tidak berarti berlanjutnya pertumbuhan ekonomi, karena tidak mungkin ekonomi tumbuh jika ia tergantung pada keterbatasan kapasitas sumber daya alam yang ada. Beberapa sumber daya alam seperti deposit mineral termasuk non-renewable dan sumber daya alam seperti makanan, dan air adalah renewable.

World Commision on Environment and Development (1987) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam naskah tersebut terkandung dua gagasan penting yaitu :

- Gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diprioritaskan.

- Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan.

Kebutuhan masa mendatang menurut Greenland dan Szabolcs (1994), adalah bahwa dunia masa mendatang bergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis.

Definisi lain juga dikemukakan oleh Hanley (2001), bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi bagian penting sebagai suatu pendekatan nasional dan internasional untuk mengintegrasikan ekonomi, lingkungan sosial dan etika sehingga kualitas kehidupan yang baik bagi generasi sekarang dan generasi


(39)

mendatang dapat dipenuhi. Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic dan Meppem (1997), bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang (1) skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Dalam kajian ini Djojohadikusumo (1994) mengemukakan bahwa penafsiran tentang pembangunan berkelanjutan yang diartikan sebagai daya upaya untuk memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi-generasi mendatang. Dengan kata lain, proses pembangunan harus bisa berlangsung secara terus-menerus dan sambung-menyambung.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, secara umum dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan suatu pendekatan pembangunan yang tidak bertentangan antara tujuan dan sasaran dalam kebijakan pembangunan ekonomi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi mendatang.

2.1.2. Prinsip - Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Berdasarkan publikasi Our Common Future, banyak upaya telah dilakukan untuk mengembangkan pedoman dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Pertimbangannya adalah bahwa tanpa pedoman atau prinsip, tidak mungkin ditentukan apakah suatu kebijakan atau kegiatan dapat dikatakan berkelanjutan, atau apakah suatu prakarsa konsisten dengan pembangunan berkelanjutan.

Mitchell (1997) menyatakan bahwa prinsip keberlanjutan antara lain: 1) Prinsip lingkungan/ekologi, yaitu melindungi sistem penunjang kehidupan,

memelihara integritas ekosistem, dan mengembangkan dan menerapkan strategi preventif dan adoptif untuk menanggapi ancaman perubahan lingkungan global.

2) Prinsip sosial politik, yaitu mempertahankan skala fisik dari kegiatan manusia dibawah daya dukung atmosfer, mengenali biaya lingkungan dari kegiatan manusia, dan menyakinkan adanya kesamaan sosio, politik dan ekonomi dalam transisi menuju masyarakat yang berkelanjutan.

Menurut Plessis (1999), pada awalnya pembangunan berkelanjutan hanya diarahkan untuk mengatasi konflik antara proteksi lingkungan dan sumberdaya alam untuk menjawab kebutuhan pembangunan yang berkembang.


(40)

Selanjutnya disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan perubahan ekonomi dan sosial seperti pengurangan tingkat kemiskinan dan keseimbangan sosial.

Pembangunan berkelanjutan juga harus memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan pemenuhi kebutuhan generasi mendatang. Hal ini perlu dijaga keseimbangannya terhadap tiga persyaratan prinsip yaitu: (1) kebutuhan masyarakat (the social objective), (2) effisiensi dalam mengelola keterbatasan sumber daya alam (the economic objective) dan, (3) perlu mengurangi beban ekosistem untuk melestarikan lingkungan (the environmental objective) (Chemical Industry dan Chemistry, 2005).

Pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi. Dalam hubungan ini Soemarwoto (2001) mengemukakan bahwa faktor lingkungan diperlukan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Faktor lingkungan tersebut meliputi: pertama, terpeliharanya proses ekologi yang esensial, kedua, tersedianya sumber daya yang cukup, dan ketiga, lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.

Sitorus (2004) mengemukakan pokok-pokok pikirannya bahwa pembangunan berkelanjutan perlu menjadi pertimbangan karena ada keterbatasan planet bumi dalam empat asumsi dasar yaitu:

1) terbatasnya cadangan sumber-sumber yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources),

2) terbatasnya kemampuan lingkungan untuk dapat menyerap polusi 3) terbatasnya lahan yang dapat ditanami

4) terbatasnya produksi per satuan luas lahan, atau batasan fisik terhadap pertumbuhan penduduk dan kapital.

Sitorus (2004) selanjutnya menyatakan bahwa ciri-ciri pembangunan yang tidak berkelanjutan antara lain adalah:

1) Prakarsa biasanya dimulai dari pusat

2) Proses penyusunan program bersifat statis dan didominasi oleh pendapat pakar dan teknokrat


(41)

2.1.3. Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan

Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Komisi Burtland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan yang mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Dalam rangka mengoperasionalkan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (sustainable development triangle) seperti pada Gambar 3.

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien.

Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung


(42)

lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Gambar 3. Segitiga konsep pembangunan berkelanjutan

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Pada konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan pada banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan antara lain Center for international Forestry Research (CIFOR)

mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan


(43)

memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergi dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU 23/1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas, karena tidak saja meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan melainkan juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan.

Upaya-upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia harus dilakukan tidak saja bersifat kuratif, melainkan juga bersifat preventif. Di masa depan, upaya-upaya yang lebih bersifat preventif harus lebih diprioritaskan, dan hal ini menuntut dikembangkannya berbagai opsi pengelolaan lingkungan, baik melalui opsi ekonomi maupun melalui proses-proses peraturan dan penataan penggunaan lahan (Setiawan, 2003).

2.2. Pengembangan Wilayah

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Akil, 2003). Dalam kontek ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produksi serta prasarana pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa (sub urban) adalah saling tergantung (interdependent) dalam kontek perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja (Voith, 1998). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).


(1)

284

20. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Teknologi IB

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi IB berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi

1

21. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Teknologi Keswan

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Keswan berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi


(2)

22. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Sarana dan Prasarana Agribisnis

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Sarana dan Prasarana Agribisnis berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi

1

23. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Lembaga Keuangan (Modal)

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Teknologi Lembaga Keuangan (Modal)berikut

ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi


(3)

286

24. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Sinkronisasi Kebijakan

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Sinkronisasi Kebijakan berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi

1

25. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Badan Penyuluh Pertanian

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Badan Penyuluh Pertanian berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi


(4)

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Kemitraan Lembaga Adat

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Kemitraan Lembaga Adat berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi

1

27. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Penyuluhan dan Pelatihan

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Penyuluhan dan Pelatihan berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi


(5)

288

28. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan Peran

Masyarakat Peternak

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Peran Masyarakat Peternak berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi

1

29. Penentuan bobot dan prioritas kebijakan pengembangan kawasan agropolitan

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Tingkat Pendidikan

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Tingkat Pendidikan berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi


(6)

berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan

Pertumbuhan RTP

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang

berkelanjutan dalam kaitan dengan Pertumbuhan RTP berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi

1

31. Penentuan bobot dan prioritas aktor penentuan kebijakan pengembangan

kawasan agropolitan berbasis agribisnis peternakan yang berkelanjutan

Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing ALTERNATIF

KEBIJAKAN penentuan kebijakan pengembangan kawasan agropolitan berbasis

agribisnis peternakan yang berkelanjutan berikut ini:

Alternatif Kebijakan

Peningkatan kualitas

SDM

Pembangunan sarana & prasarana

Peningktan jumlah ternak

sapi

Peningkatan kemitraan

usaha

Penerapan teknologi budidaya

Peningkatan investasi

Peningkatan

kualitas SDM 1 …. …. …. …. ….

Pembangunan sarana & prasarana

1 …. …. …. ….

Peningktan jumlah ternak sapi

1 …. …. ….

Peningkatan kemitraan usaha

1

…. …. Penerapan

teknologi budidaya

1 ….

Peningkatan investasi