Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI

PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG
LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN
CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI

LA ODE ABDUL HAFID

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Habitat
Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra
Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
La Ode Abdul Hafid
NIM C54070080

ABSTRAK
LA ODE ABDUL HAFID. Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar,
Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan
Landsat-8 OLI. Dibimbing oleh JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN.
Terumbu karang saat ini terus mengalami degradasi sehingga diperlukan
suatu manajemen terpadu untuk pelestariannya. Salah satu upaya yang dilakukan
dengan memetakan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji kelayakan pakai citra Landsat-7 SLC-Off. Metode
localized linear histogram match digunakan dalam pengisian gap citra SLC-Off.
Jenis habitat dasar diekstrak dengan metode Lyzenga dan diklasifikasi dengan
klasifikasi tak terselia ke dalam empat kategori yaitu karang hidup, karang mati,
pasir dan lamun. Pengukuran akurasi menggunakan matriks klasifikasi dengan
input 251 data survei. Uji statistik digunakan uji-t sampel bebas dan uji-z dengan
level kepercayaan 95%. Dari hasil pengukuran akurasi, citra Landsat-7 diperoleh

OA = 55,11% dan Khat = 0,34 di mana memiliki nilai rata-rata overall accuracy
dan koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-8 dengan OA = 53,65%
dan Khat = 0,30. Namun dari hasil uji statistik terhadap nilai overall accuracy dan
koefisien Kappa tersebut, baik uji-t sampel bebas maupun uji-z, keduanya
menunjukkan hasil yang tidak signifikan sehingga disimpulkan bahwa citra
Landsat-7 SLC-Off masih dapat dipergunakan untuk kajian pemetaan habitat
perairan dangkal ekosistem terumbu karang.
Kata kunci: pemetaan terumbu karang, citra Landsat-7 dan Landsat-8, akurasi peta
tematik, uji-t dan uji-z

ABSTRACT
LA ODE ABDUL HAFID. Shallow Water Habitat Mapping in Karang Lebar,
Thousand Islands, DKI Jakarta using Landsat-7 ETM+ SLC-Off and Landsat-8 OLI
Images. Supervised by JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN.
Coral reefs continue to be degraded over past decades due to human activities
so we need a unified management related its preservation. One effort proposed is to
conduct shallow water habitat mapping of coral reef ecosystems. This study aimed
to examine the usage feasibility of Landsat-7 SLC-Off images. LLHM method was
used to fill the gaps of SLC-Off images. Bottom habitat types were extracted by
using Lyzenga’s method and classified by using unsupervised classification into

four categories (i.e live coral, dead coral, sand, and seagrass). Accuracy
measurement used classification matrix with 251 survey data. Statistical test used
independent samples t-test and z-test with 95% confidence level. From the result of
accuracy measurement, Landsat-7 yielded OA = 55.11% and Khat = 0.34 had an
average value of overall accuracy and Kappa coefficient higher than Landsat-8 as
OA = 53.65% and Khat = 0.30. However, from statistical test results conducted on
those OA and Khat, either independent samples t-test or z-test, where both showed
not significant results. Thus it is concluded that the Landsat-7 SLC-Off images are
still can be utilized in shallow water habitat mapping of coral reef ecosystems.
Keywords: coral reefs mapping, Landsat-7 and Landsat-8 images, thematic map
accuracy, t-test and z-test

PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG
LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN
CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI

LA ODE ABDUL HAFID

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan
Landsat-8 OLI
Nama
: La Ode Abdul Hafid
NIM
: C54070080

Disetujui oleh


Dr. Ir. James Parlindungan Panjaitan, M.Phil
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 30 April 2014

PRAKATA
Pada tanggal 31 Mei 2003, satelit Landsat-7 ETM+ mengalami kerusakan
instrumen SLC (Scan Line Corrector) yang merupakan pengoreksi hasil sampling
cermin scan utama. Hal ini mengakibatkan setiap satu path/row citra yang dipotret
setelah tanggal tersebut kehilangan data sekitar 22%. Oleh karena itu, untuk
mengetahui apakah citra ini masih dapat untuk digunakan dalam pemetaan habitat
perairan dangkal di sekitar terumbu karang maka penulis mencoba membandingkan
dengan citra hasil pemotretan satelit Landsat-8 yang memiliki orbit dan spesifikasi
sensor serupa. Topik penelitian yang diajukan penulis terkait isu di atas diberi judul
“Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI”.
Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana. Dalam penyusunannya, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. James Parlindungan Panjaitan, M.Phil selaku dosen
pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan
bimbingannya selama penyusunan skripsi.
2. Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Hawis H. Madduppa, S.Pi, M.Si selaku dosen perwakilan Gugus
Kendali Mutu (GKM) yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi
ini.
4. Rekan-rekan ITK yang telah membantu dan memberikan sumbang saran
dalam pengolahan data dan penyusunan skripsi.
5. Kedua orang tua, kakak, dan adik atas segala dukungannya selalu.
6. Pihak lain yang secara tidak langsung ikut memberikan kontribusi dalam
pengumpulan dan pengolahan data.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan
wawasan yang berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya. Oleh karena itu

kritik dan saran yang membangun dapat digunakan penulis untuk perbaikan skripsi
ini.

Bogor, Maret 2014
La Ode Abdul Hafid

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

ix

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE

2

Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Alat dan Bahan


3

Pra-Pengolahan Citra

3

Koreksi Radiometrik dan Geometrik

3

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off

4

Penggabungan Band dan Pemotongan (Cropping) Citra

5

Transformasi Lyzenga


6

Klasifikasi Citra

7

Pengukuran Akurasi

7

Uji Statistik

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Citra Asli Landsat-7 SLC-Off dan Landsat-8


11

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off

12

Transformasi Lyzenga

13

Klasifikasi Citra

18

Pengukuran Akurasi

22

Uji Statistik

26

SIMPULAN DAN SARAN

28

Simpulan

28

Saran

28

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI
4
Matriks klasifikasi
8
Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi
8
Jumlah piksel gap citra Landsat-7 untuk lokasi penelitian
12
Koefisien atenuasi
14
Karakteristik panjang gelombang sensor ETM+ satelit Landsat-7
14
Karakteristik panjang gelombang sensor OLI satelit Landsat-8
15
Jumlah habitat berbeda hasil transformasi Lyzenga
18
Luas tutupan jenis habitat masing-masing citra
22
Producer accuracy, user accuracy, overall accuracy (OA), dan koefisien
Kappa (Khat)
23
11 Hasil uji-t sampel bebas pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
26
12 Hasil uji-z pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05)
27

DAFTAR GAMBAR
1 Peta lokasi penelitian di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu
beserta 251 data titik survei lapang
2
2 Ilustrasi moving window dalam metode LLHM (Scaramuzza et al., 2004)
5
3 Spatial subset using map ENVI 5.0
6
4 Diagram alir pengolahan data
10
5 Citra asli Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit
RB432
11
6 Hasil pengisian gap citra Landsat-7 RGB321 dan Landsat-8 komposit
RGB432
13
7 Bi-plot transformasi ln band 1/2 (Landsat-7); band 2/3 (Landsat-8) 16
8 Hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 (kiri) dan Landsat-8 (kanan) 17
9 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 29 Mei
2013
18
10 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 1 Agustus
2013
19
11 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 18
September 2013
19
12 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013
20
13 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 25 Agustus
2013
20
14 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 10
September 2013
21
15 Nilai producer accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal
24
16 Nilai user accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal
24
17 Nilai overall accuracy (OA) dan koefisien Kappa (Khat) untuk setiap
citra Landsat-7 dan Landsat-8
25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Formula yang digunakan dalam perhitungan z-skor (uji-z)
31
2 Hipotesis penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk uji-t
sampel bebas dan uji-z
32
3 Ilustrasi posisi gap piksel band 1 dan band 2 data citra Landsat-7 SLCOff beserta hasil pengisian gap-nya
33
4 Contoh perhitungan nilai gap citra utama menggunakan metode localized
linear histogram match (LLHM)
34
5 Contoh perhitungan nilai koefisien atenuasi (digunakan data citra 8 Juli
2013)
37
6 Histogram frekuensi hasil transformasi Lyzenga
38
7 Contoh perhitungan akurasi klasifikasi (digunakan matriks klasifikasi
citra 8 Juli 2013)
39
8 Matriks klasifikasi
40
9 Hasil uji-t sampel bebas (overall accuracy dan koefisien Kappa)
41
10 Contoh perhitungan uji-z antara matriks klasifikasi Landsat-7 akuisisi 29
Mei 2013 (atas) dan Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 (bawah)
42
11 Tutorial pengolahan data
44

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan tropis yang terdiri
dari biota laut penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga
berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya (Sukarno,
1995). Berdasarkan hasil estimasi tahun 2003 menunjukkan bahwa terumbu karang
dunia bisa menghasilkan keuntungan bersih sebesar 29,8 trilyun US dollar per tahun
yang berasal dari perikanan, perlindungan pantai, pariwisata, dan nilai biodiversitas
terumbu karang itu sendiri (Cesar et al., 2003). Namun demikian, saat ini terumbu
karang terus mengalami degradasi di mana 27% terumbu karang dunia telah hilang
secara permanen dan akan meningkat menjadi 30% pada 30 tahun mendatang
(Cesar et al., 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen terpadu terkait
upaya pelestariannya. Beberapa informasi penting dan mendasar terkait upaya
pelestarian ekosistem terumbu karang di antaranya informasi luasan tutupan dan
daerah sebarannya di suatu daerah. Informasi ini dapat diekstrak menggunakan data
citra satelit. Kutcher et al. (1986) mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu,
penelitian pada kawasan terumbu karang dapat menggunakan metode penginderaan
jauh memanfaatkan data citra satelit untuk memonitoring daerah terumbu karang
pada perairan dangkal dengan wilayah perairan yang luas.
Satelit penginderaan jauh yang telah banyak digunakan untuk memonitoring
terumbu karang adalah Landsat (Benfield et al., 2007). Deretan satelit Landsat telah
merekam permukaan bumi lebih dari empat dekade sejak diluncurkannya Landsat1 pada tahun 1972. USGS (2013a) mencatat bahwa sampai saat ini koleksi data
Landsat telah melebihi tiga juta data citra. Dengan demikian, dengan adanya data
ini diharapkan dapat dibangun suatu database tentang informasi luasan dan sebaran
terumbu karang dunia yang akan digunakan untuk keperluan analisis multitemporal.
Satelit Landsat yang beroperasi saat ini yaitu Landsat-7 dan Landsat-8.
Keduanya memiliki orbit yang sama serta spesifikasi sensor (resolusi spektral,
spasial, temporal, dan radiometrik) yang hampir identik. Oleh karena itu, dengan
menggabungkan data hasil perekaman kedua satelit ini maka saat ini bisa dihasilkan
data citra dengan resolusi temporal delapan hari. Hal ini disebabkan oleh offset
antara waktu akuisisi Landsat-7 dan Landsat-8 adalah delapan hari (USGS, 2013a).
Resolusi temporal delapan hari ini menunjukkan bahwa database informasi luasan
dan sebaran terumbu karang dunia bisa diperbaharui (di-update) setiap delapan hari.
Namun demikian pada tanggal 31 Mei 2003 satelit Landsat-7 mengalami
kerusakan instrumen Scan Line Corrector (SLC). Instrumen ini merupakan sebuah
alat yang didesain untuk mengoreksi (mengisi kekosongan) data hasil sampling
cermin scan utama yang disebabkan oleh gerak maju satelit (Scaramuzza et al.,
2004). Akibat kerusakan ini, citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dalam setiap satu kali
perekaman (satu path/row) kehilangan data sekitar 22% (Scaramuzza et al., 2004).
Untuk mengisi kekosongan data ini, pada penelitian ini akan digunakan metode
pengisian gap yang dikembangkan oleh pihak USGS yaitu localized linear
histogram match (LLHM). Citra hasil pengisian gap ini nantinya akan dilakukan

2
pengujian statistik untuk melihat apakah masih dapat digunakan untuk keperluan
saintifik terutama dalam pemetaan habitat perairan dangkal sekitar terumbu karang.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membandingkan hasil akurasi pemetaan
habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang menggunakan citra satelit
Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI; (2) melakukan pengujian statistik
(uji-t dan uji-z) terhadap hasil pengukuran akurasi citra satelit Landsat-7 ETM+
SLC-Off dan Landsat-8 OLI untuk memutuskan apakah citra Landsat-7 ETM+
SLC-Off masih dapat untuk digunakan bersama-sama dengan citra satelit Landsat8 OLI dalam pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini terletak di perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu,
DKI Jakarta dengan posisi koordinat 5°42’52,09”LS - 5°44’21,35”LS dan
106°33’26,64”BT - 106°36’59,44”BT (Gambar 1). Karang lebar merupakan
gosong terumbu Pulau Semak Daun yang berada sekitar 50 km sebelah barat laut
Teluk Jakarta. Luas total areal penelitian adalah 18.330.300 m2. Penelitian ini
dilakukan antara bulan Juni 2013 sampai September 2013. Survei lapang dilakukan
selama dua hari dari tanggal 15 – 16 Juni 2013. Bentuk survei lapang ini berupa
pengecekan (ground check) jenis habitat dasar pada 251 posisi titik survei yang
telah ditentukan sebelumnya secara random (random sampling) dari data piksel
citra. Luas bidang pengamatan pada setiap titik survei adalah 900 m2 atau 30 m x
30 m.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu
beserta 251 data titik survei lapang

3
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
(1) Perahu motor digunakan untuk menjangkau daerah penelitian.
(2) GPS (Global Positioning System) Garmin eTrex model Yellow H digunakan
untuk pengambilan titik uji.
(3) Seperangkat laptop berbasis Intel Celeron dengan Sistem Operasi Windows 8
64-bit digunakan untuk pengolahan data.
(4) Perangkat lunak frame_and_fill_win32 digunakan untuk pengisian gap citra
Landsat-7 SLC-Off.
(5) Perangkat lunak ERMapper 7 dan ENVI 5.0 digunakan untuk pengolahan citra
berbasis image.
(6) Perangkat lunak Microsoft Excel 2013 digunakan untuk pengolahan citra
berbasis numerik.
(7) Perangkat lunak MapSource 6.13.7 dan GPSBabel 1.4.4 digunakan untuk
mengolah data GPS.
(8) Perangkat lunak Google Earth 7.1.2.2041, Global Mapper 13, GeoTIFF Tools,
dan ArcGIS 9.3 digunakan untuk pembuatan layout peta.
(9) Perangkat lunak SPSS Statistics 17.0 digunakan untuk uji-t
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
(1) Citra SLC-Off satelit Landsat-7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+)
path/row 122/64 akuisisi 29 Mei 2013, 1 Agustus 2013, dan 18 September
2013.
(2) Citra satelit Landsat-8 Operational Land Imager (OLI) path/row 122/64
akuisisi 8 Juli 2013, 25 Agustus 2013, dan 10 September 2013.
(3) 251 data titik uji (tanggal survei 15 – 16 Juni 2013) yang digunakan untuk
pengukuran akurasi citra terklasifikasi.

Pra-Pengolahan Citra
Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Semua bahan citra yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan citra
level-one terrain-corrected (L1T). Citra L1T merupakan produk Level 1G di mana
citra telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik. Pada produk L1T, akurasi
koreksi geometriknya telah lebih ditingkatkan. Peningkatan akurasi geometrik ini
dilakukan dengan menerapkan ground control point (GCP) dan digital elevation
model (DEM) dalam proses koreksi geometriknya (NASA, 2013). Root Mean
Square Error (RMSE) untuk semua bahan citra yang digunakan memiliki nilai
kurang dari 7 meter (Tabel 1). Nilai RMSE yang kurang dari 7 meter ini sudah
cukup baik mengingat resolusi spasial citra Landsat-7 dan Landsat-8 adalah 30
meter sehingga daerah suatu piksel antara citra yang satu dengan yang lainnya akan
relatif sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan posisi koordinat antara citra yang
satu dan citra lainnya tidak lebih dari 7 meter.

4
Tabel 1. Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI
Satelit

Landsat-7

Landsat-8

4,120

Sudut
azimuth
matahari
(0)
44,30

Sudut
elevasi
matahari
(0)
51,11

96

4,044

51,07

51,64

09:56 WIB

26

4,825

75,19

61,62

10:02 WIB

36

6,029

43,70

50,33

25 Agustus 2013

10:02 WIB

32

6,229

59,26

57,81

10 September 2013

10:02 WIB

20

5,174

68,59

61,47

Tanggal akuisisi

Waktu
akuisisi

Jumlah
GCP

RMSE
(meter)

29 Mei 2013

09:56 WIB

57

1 Agustus 2013

09:55 WIB

18 September 2013
8 Juli 2013

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off
Pata tanggal 31 Mei 2003 satelit Landsat-7 ETM+ mengalami kerusakan Scan
Line Corrector (SLC). SLC merupakan sebuah alat yang didesain untuk mengisi
gap (kekosongan) hasil sampling cermin scan utama yang disebabkan oleh gerak
maju satelit. Akibat dari kerusakan SLC ini, dalam setiap satu path/row citra
kehilangan data sekitar 22% (Scaramuzza et al., 2004).
Untuk mengisi gap ini, dibutuhkan citra SLC-Off lain dengan tanggal
perekaman yang berbeda. Dalam pemilihan citra pengisi, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan yaitu, (1) gap antara citra utama dan citra pengisi tidak saling
menimpa, (2) waktu perekaman antara citra utama dan citra pengisi diupayakan
sedekat mungkin, (3) memilih citra pengisi dengan tutupan awan yang sangat
sedikit atau tidak ada sama sekali (USGS, 2004).
Formula yang digunakan untuk mengisi gap piksel yang kosong yaitu
(Scaramuzza et al., 2004):
Y≈GX+B ................................................ (1)
di mana: G
B
X
Y

= gain yang digunakan untuk menyesuaikan histogram antara citra
pengisi dan citra utama
= bias yang digunakan untuk menyesuaikan histogram antara citra
pengisi dan citra utama
= data piksel citra pengisi
= data piksel citra utama

Gain dan bias masing-masing dihitung dengan formula:
σ
G= Y .................................................. (2)
σX

di mana: �

̅
̅

=
=
=
=

̅ ................................................ (3)
B=Y̅ -GX

standar deviasi data piksel citra pengisi
standar deviasi data piksel citra utama
rata-rata data piksel citra pengisi
rata-rata data piksel citra utama

Metode yang digunakan dalam pengisian gap ini adalah localized linear
histogram match (LLHM). Dalam metode LLHM diterapkan sebuah moving
window untuk membatasi sampling data piksel yang selanjutnya akan digunakan

5
untuk menghitung gain dan bias. Ilustrasi moving window dalam metode LLHM
dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi moving window dalam metode LLHM (Scaramuzza et al.,
2004).
Pada ilustrasi di atas digunakan band 30 meter citra Landsat-7 ETM+ di mana
lebar maksimum gap SLC adalah 14 piksel. Lebar window 17 piksel seperti yang
ada pada gambar dipilih sesuai dengan lebar window minimum yang diinginkan.
Dalam window 17 x 17 piksel ini, data piksel citra pengisi maupun citra utama yang
ada di dalamnya dikumpulkan. Lalu dari data piksel yang dikumpulkan tersebut
dilakukan pengeluaran piksel yang tidak sesuai (misal piksel awan) dan selanjutnya
dilakukan penghitungan nilai gain dan bias. Nilai gain dan bias ini digunakan untuk
menghitung nilai piksel yang berada di tengah window. Sehingga misalnya jika
terdapat 100 piksel yang perlu diisi maka terdapat pula 100 moving window.
Tahapan ini dilakukan hingga gap piksel semuanya terisi.
Penggabungan Band dan Pemotongan (Cropping) Citra
Landsat-7 ETM+ memiliki 8 band sedangkan Landsat-8 OLI memiliki 9
band. Namun karena obyek penelitian adalah habitat bawah air maka hanya
beberapa band saja yang akan digunakan terkait daya penetrasinya terhadap badan
perairan. Untuk Landsat-7, band-band yang digunakan yaitu band 1 (sinar tampak
biru 0,45 – 0,52 µm) dan band 2 (sinar tampak hijau 0,52 – 0,6 µm); sedangkan
untuk Landsat-8, band-band yang digunakan yaitu band 2 (sinar tampak biru 0,45
– 0,515 µm) dan band 3 (sinar tampak hijau 0,525 – 0,6 µm).
Untuk pemisahan darat dan perairan bisa digunakan band inframerah dekat
(NIR) yang memiliki fungsi memperjelas kontras antara darat dan perairan (Jensen,
2000). Namun mengingat pada saat perekaman citra sekitar pukul 10:00 WIB
(Tabel 1) merupakan waktu air laut di lokasi penelitian umumnya masih dalam
keadaan surut sehingga pada waktu-waktu tertentu akan ada beberapa habitat
dangkal (umumnya habitat pasir dan karang mati) yang terekspos ke udara bebas
maka penggunaan band inframerah dekat sebagai pemisah antara darat dan perairan
akan kurang efektif. Oleh karena itu pada penelitian ini akan digunakan band
masking yang merupakan hasil rasterisasi shapefile daratan yang ada pada lokasi
penelitian. Shapefile daratan itu sendiri merupakan hasil digitasi citra Google Earth
akuisisi 11 Desember 2009 (resolusi spasial < 3 meter). Diasumsikan bahwa
tutupan daratan tersebut hingga tahun 2013 adalah konstan. Selain dilakukan
masking darat, pada penelitian ini juga dilakukan masking laut dengan
menggunakan citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013. Alasan penggunaan citra ini

6
karena secara visual batas antara perairan dalam dan habitat perairan dangkal
tampak jelas. Tujuan utama dari kedua masking tersebut yaitu untuk mendapatkan
hasil klasifikasi yang lebih akurat dengan memperkecil kemungkinan adanya
campuran dari piksel daratan dan perairan dalam.
Penggabungan (stacking) band-band ke dalam satu file dimaksudkan agar
dalam pengolahan selanjutnya menjadi lebih mudah. Setelah penggabungan bandband tersebut dilakukan, masing-masing citra memiliki tiga band yaitu Landsat-7
terdiri dari band 1, band 2, dan band mask; Landsat-8 terdiri dari band 2, band 3,
dan band mask. Setelah semua band-band yang dibutuhkan digabungkan maka file
gabungan tersebut dipotong (cropping) untuk membatasi daerah penelitian dan
mendapatkan daerah yang sama. Semua citra di-cropping menggunakan perangkat
lunak ENVI 5.0 dengan metode spatial subset using map (Gambar 3). Batas
koordinat kiri atas (upper left) digunakan 672465mE 9368125 mN (SUTM 48)
sedangkan batas koordinat kanan bawah (lower right) digunakan 679005mE
9365365mN (SUTM 48). Nilai-nilai batas koordinat di atas merupakan hasil
konversi dari lat/lon lokasi penelitian.

Gambar 3. Spatial subset using map ENVI 5.0

Transformasi Lyzenga
Formula yang digunakan dalam transformasi Lyzenga yaitu (Lyzenga, 1978;
Green et al., 2000):
k

depth invariant indexij =ln Li - [(ki) ln(Lj )] ................... (4)
j

di mana:

Li
Lj

ki
kj

= radiansi (DN) piksel band hijau
= radiansi (DN) piksel band biru

= rasio koefisien atenuasi antara band biru dan band hijau
k

Untuk mencari nilai ki digunakan formula:
ki
kj

j

=a+√a2 +1 ; a=

varb1 -varb2
2covarb1b2

................................ (5)

7
di mana:

varb1
varb2
covarb1b2

= varian ln radiansi (DN) piksel band biru tersampling
= varian ln radiansi (DN) piksel band hijau tersampling
= covarian ln radiansi (DN) piksel band biru tersampling
dan band hijau tersampling

Klasifikasi Citra
Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi tak terselia ISOCLASS
(ISOCLASS unsupervised classification) dengan menggunakan perangkat lunak
ERMapper 7. Dalam melakukan klasifikasi tak terselia ini digunakan beberapa
parameter pembatas yang terdiri dari jumlah maksimum kelas, jumlah minimum
piksel setiap kelas, standar deviasi maksimum setiap kelas, dan jarak minimum
antar rata-rata kelas. Pada penelitian ini digunakan jumlah maksimum kelas 50 agar
pada proses penggabungan kelas ketika melakukan reclass ke dalam empat kelas
baru bisa meminimalisir over estimate maupun under estimate terhadap sebaran
masing-masing habitat; jumlah minimum piksel setiap kelas 0,01% untuk
mengantisipasi adanya suatu cluster piksel yang jumlah anggotanya minimum yaitu
hanya terdiri dari dua piksel; standar deviasi maksimum ditentukan berdasarkan
nilai hasil transformasi Lyzenga di mana 0,003 untuk Landsat-7 dan 0,001 untuk
Landsat-8; serta jarak minimum antar rata-rata kelas 0,01 berdasarkan nilai hasil
transformasi Lyzenga. Perbedaan standar deviasi yang digunakan antara Landsat-7
dan Landsat-8 disebabkan oleh jumlah tipe habitat hasil transformasi Lyzenga
Landsat-8 yang jauh lebih besar dibanding Landsat-7 (Tabel 8). Selanjutnya dari
hasil klasifikasi masing-masing citra yang terdiri dari 50 cluster (kelas) ini akan
dikelompokkan ke dalam empat kelas baru yaitu karang hidup, karang mati, pasir,
dan lamun.

Pengukuran Akurasi
Akurasi klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari akurasi
penghasil (producer accuracy), akurasi pengguna (user accuracy), akurasi
keseluruhan (overall accuracy), dan koefisien Kappa (Khat). Penjabaran dari
masing-masing akurasi ini yaitu sebagai berikut:
(1) Producer accuracy menunjukkan persen kemungkinan jumlah piksel data
referensi memiliki kategori yang sama dengan piksel data klasifikasi citra
(Congalton, 1991).
(2) User accuracy menunjukkan persen kemungkinan jumlah piksel data
klasifikasi citra memiliki kategori yang sama dengan piksel data referensi
(Congalton, 1991).
(3) Overall accuracy menunjukkan keakurasian klasifikasi secara keseluruhan
namun dalam perhitungan masih mengabaikan nilai omisi dan komisi masingmasing kategori (Green et al., 2000).
(4) Oleh karena pada perhitungan overall accuracy masih mengabaikan nilai omisi
dan komisi masing-masing kategori maka perlu dilakukan perhitungan
koefisien Kappa untuk melengkapi kekurangan ini. Nilai omisi menunjukkan
jumlah piksel data referensi yang memiliki kategori berbeda dengan data

8
klasifikasi citra sedangkan nilai komisi menunjukkan jumlah piksel data
klasifikasi citra yang memiliki kategori berbeda dengan data referensi
(Congalton, 1991). Koefisien Kappa bernilai antara 0 sampai 1 (Green et al.,
2000). Akurasi akan dianggap baik sekali jika nilai koefisien Kappa > 0,75;
nilai antara 0,4 – 0,75 akan dianggap akurasinya sedang, serta nilai < 0,4 akan
dianggap akurasinya tidak baik (Maingi et al., 2002).
Perhitungan akurasi klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan
matriks klasifikasi pada Tabel 2 (Congalton, 1991; Green et al., 2000; Purwadhi,
2001). Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi ini dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Matriks klasifikasi
Data referensi
Data klasifikasi citra

j1

j2

j3

jk

Total kolom

i1

n11

n12

n13

n1k

n1.

i2

n21

n22

n23

n2k

n2.

i3

n31

n32

n33

n3k

n3.

ik

nk1

nk2

nk3

nkk

nk.

Total baris

n.1

n.2

n.3

n.k

n..=n

Komisi

Omisi
Producer accuracy (%)
User accuracy (%)
Overall accuracy (%)
Error (%)
Koefisien Kappa

Tabel 3. Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi
Formula
k

Total kolom
Total baris
Producer accuracy
User accuracy
Komisi
Omisi
Overall accuracy
Error
Koefisien Kappa

ni. = ∑

j=1
k

n.j = ∑

i=1

nij
nij


×100%
n.j

×100%
ni.
ni. -
n.j -

(∑ki=j=1 nij )
n

×100%

n-(∑ki=j=1 nij )

×100%
n
k
k


n i=j=1 nij - i=j=1(ni. ×n.j )
n2 - ∑ki=j=1(ni. ×n.j )

9
Uji Statistik
Uji statistik dilakukan untuk membandingkan hasil klasifikasi (dilihat dari
dua aspek yaitu overall accuracy dan koefisien Kappa) antara citra Landsat-7 SLCOff dan citra Landsat-8 sehingga dapat ditarik kesimpulan apakah hasil akurasi
tersebut berbeda nyata (signifikan) atau tidak berbeda nyata (tidak signifikan).
Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% (α = 0,05).
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis uji statistik, yaitu uji-t sampel bebas
(independent-samples t-test) dan uji-z (z-test). Uji-t sampel bebas digunakan untuk
menguji dua rata-rata sampel bebas (Benfield et al., 2007); sedangkan uji-z
digunakan untuk membandingkan matriks klasifikasi secara individu antara citra
yang satu dan lainnya (Congalton, 1991). Uji-t sampel bebas dihitung
menggunakan perangkat lunak SPSS Statistics 17.0. Uji-z dihitung secara manual
menggunakan formula pada Lampiran 1 (Congalton et al., 1983). Hipotesis
penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk kedua jenis uji-statistik ini
dilampirkan pada Lampiran 2.

10
Secara umum, tahapan-tahapan pengolahan data citra dapat dilihat pada
Gambar 4. Tutorial pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 11.

Gambar 4. Diagram alir pengolahan data

11

HASIL DAN PEMBAHASAN
Citra Asli Landsat-7 SLC-Off dan Landsat-8
Gambar 5 menunjukkan posisi gap (strip) citra Landsat-7 (kiri) sebelum
dilakukan pengisian gap dibandingkan dengan citra Landsat-8 (kanan).
Landsat-7

Landsat-8

29 Mei 2013

8 Juli 2013

1 Agustus 2013

25 Agustus 2013

18 September 2013

10 September 2013

Gambar 5. Citra asli Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit
RGB432
Citra Landsat-8 pada sebelah kanan yang digunakan sebagai citra
pembanding dengan waktu akuisisi berdekatan merupakan citra tanpa kerusakan
SLC. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya strip-strip berwarna hitam. Citra
pada sebelah kiri merupakan citra Landsat-7 yang mengalami kerusakan SLC
sehingga menyebabkan adanya strip-strip berwarna hitam. Strip-strip ini
menunjukkan bahwa piksel-piksel yang ada pada lokasi tersebut tidak memiliki
nilai atau bernilai nol. Hal ini disebabkan karena pada saat perekaman data, lokasi
strip-strip ini tidak terekam oleh sensor satelit. Jumlah piksel gap (strip) citra
Landsat-7 pada Gambar 5 disajikan pada Tabel 4.

12
Tabel 4. Jumlah piksel gap citra Landsat-7 untuk lokasi penelitian
Citra utama

Citra pengisi 1

Citra pengisi 2

Jumlah piksel
gap
B1
B2

% gap
B1

B2

29 Mei 2013

18 Sept 2013

-

6.101

6.171

29,96

30,30

1 Agu 2013

29 Mei 2013

18 Sept 2013

6.245

6.312

30,66

30,99

18 Sept 2013

29 Mei 2013

-

6.215

6.279

30,52

30,83

6.187

6.254

30,38

30,71

Rata-rata
Ket: band 1 (B1), band 2 (B2)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah piksel gap untuk
lokasi penelitian adalah sebanyak 6.187 piksel (30,38%) untuk band 1 serta 6.254
piksel (30,71%) untuk band 2. Untuk citra akuisisi 29 Mei 2013 memiliki piksel
gap sebanyak 6.101 piksel pada band 1 dan 6.171 piksel pada band 2; untuk citra
akuisisi 1 Agustus 2013 memiliki piksel gap sebanyak 6.245 piksel pada band 1 dan
6.312 piksel pada band 2; serta untuk citra akuisisi 18 September 2013 memiliki
piksel gap sebanyak 6.215 piksel pada band 1 dan 6.279 piksel pada band 2. Posisi
gap piksel band 1 dan band 2 dari ketiga citra akuisisi ini dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Piksel-piksel gap inilah yang nanti pada proses selanjutnya akan diisi
menggunakan data citra lain menggunakan metode localized linear histogram
match (LLHM). Contoh perhitungan matematik dari metode LLHM ini disajikan
pada Lampiran 4. Piksel gap yang ada pada citra akusisi 29 Mei 2013 diisi
menggunakan data piksel citra akuisisi 18 September 2013; pada citra akuisisi 1
Agustus 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 29 Mei 2013 dan akuisisi
18 September 2013; serta pada citra akuisisi 18 September 2013 diisi menggunakan
data piksel citra akuisisi 29 Mei 2013. Overlay antara gap citra utama dan gap citra
pengisinya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off
Hasil pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off yang dibandingkan dengan citra
Landsat-8 OLI disajikan pada Gambar 6.

13
Landsat-7

Landsat-8

29 Mei 2013

8 Juli 2013

1 Agustus 2013

25 Agustus 2013

18 September 2013

10 September 2013

Gambar 6. Hasil pengisian gap citra Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8
komposit RGB432
Dari hasil pengisian gap citra Landsat-7 (Gambar 6 sebelah kiri) dapat dilihat
bahwa strip-strip berwarna hitam yang semula ada pada citra Landsat-7 sebelumnya
(Gambar 5 sebelah kiri) sudah tidak tampak lagi. Secara visual pola sebaran habitat
perairan dangkal citra Landsat-7 hasil pengisian gap ini memiliki pola yang hampir
sama dengan citra Landsat-8 (Gambar 6 sebelah kanan). Keenam citra inilah yang
nanti pada proses selanjutnya akan ditransformasi Lyzenga untuk mengetahui
habitat perairan dangkal yang ada pada masing-masing citra akuisisi.

Transformasi Lyzenga
Ketika mencoba memetakan atau memperoleh informasi kuantitatif terkait
habitat bawah air, variabel kedalaman perairan secara signifikan mempengaruhi
hasil pengukuran menggunakan data citra penginderaan jauh. Oleh karena itu, pada
kondisi-kondisi tertentu dapat membingungkan dalam membedakan nilai spektral
(misal) antara pasir dan lamun (Green et al., 2000).
Idealnya, untuk mengeliminasi pengaruh kedalaman perairan terhadap nilai
reflektansi habitat dasar dibutuhkan pengukuran kedalaman perairan di setiap piksel
citra serta informasi tentang karakteristik atenuasi kolom perairan di setiap piksel
tersebut (misal konsentrasi bahan organik terlarut) (Mumby et al., 1998). Namun

14
Lyzenga (1978, 1981) melakukan pendekatan berbasis citra untuk mengkompensasi
pengaruh variabel kedalaman dalam pemetaan habitat dasar perairan. Pendekatan
ini disebut juga transformasi Lyzenga atau koreksi kolom air (water column
correction). Metode yang dikembangkan Lyzenga (1978, 1981) ini menggunakan
rasio dari koefisien atenuasi antara dua spektral band (ki/kj). Penggunaan rasio ini
membatalkan kebutuhan nilai parameter yang tidak diketahui (seperti kedalaman
perairan di setiap piksel citra serta informasi tentang karakteristik atenuasi kolom
perairan di setiap piksel tersebut). Dalam penelitian ini, nilai koefisien atenuasi
masing-masing citra yang digunakan dalam transformasi Lyzenga disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Koefisien atenuasi
Satelit
Landsat-7

Landsat-8

Tanggal akuisisi

Koefisien atenuasi

29 Mei 2013

0,535

1 Agustus 2013

0,453

18 September 2013

0,448

8 Juli 2013

0,521

25 Agustus 2013

0,515

10 September 2013

0,486

Nilai koefisien atenuasi pada Tabel 5 dihitung menggunakan persamaan 5.
Contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5. Dalam perhitungan nilai
koefisien atenuasi ini, band-band yang digunakan untuk Landsat-7 yaitu band 1
(0,45 – 0,52 µm) dan band 2 (0,52 – 0,6 µm) sedangkan untuk Landsat-8
menggunakan band 2 (0,45 – 0,515 µm) dan band 3 (0,525 – 0,6 µm). Band 1
Landsat-7 dan band 2 Landsat-8 keduanya merupakan band sinar tampak biru
sedangkan band 2 Landsat-7 dan band 3 Landsat-8 keduanya merupakan band sinar
tampak hijau (Tabel 6 dan Tabel 7). Alasan penggunaan band-band ini adalah
karena memiliki daya penetrasi yang baik terhadap badan perairan sehingga obyek
bawah air tampak lebih jelas pada citra. Jensen (2000) melalui hasil pengukurannya
terhadap nilai atenuasi air murni akibat absorbsi molekul air menyebutkan bahwa
absorbsi molekul air mendominasi pada spektrum ultraviolet (< 0,4 µm) dan
inframerah dekat (> 0,58 µm). Hal senada juga dikatakan oleh Lillesand dan Kiefer
(1979) bahwa penetrasi cahaya terbaik untuk air murni berada pada kisaran panjang
gelombang 0,48 – 0,6 µm.
Tabel 6. Karakteristik panjang gelombang sensor ETM+ satelit Landsat-7
Band

Spektrum

Panjang Gelombang (µm)

Resolusi spasial (m)

1

Biru

0,45 - 0,52

30

2

Hijau

0,52 - 0,6

30

3

Merah

0,63 - 0,69

30

4

Inframerah dekat (NIR)

0,79 - 0,9

30

5

Inframerah menengah (SWIR1)

1,55 - 1,75

30

6

Inframerah termal (TIR)

10,4 - 12,5

60

7

Inframerah menengah (SWIR2)

2,08 - 2,35

30

8

Pankromatik

0,52 - 0,9

15

Sumber: NASA (2013)

15
Tabel 7. Karakteristik panjang gelombang sensor OLI satelit Landsat-8
Band

Spektrum

Panjang Gelombang (µm)

Resolusi spasial (m)

1

Coastal Aerosol

0,433 -0,453

30

2

Biru

0,45 - 0,515

30

3

Hijau

0,525 - 0,6

30

4

Merah

0,63 - 0,68

30

5

Inframerah dekat (NIR)

0,845 - 0,885

30

6

Inframerah menengah (SWIR1)

1,56 - 1,66

30

7

Inframerah menengah (SWIR2)

2,1 - 2,3

30

8

Pankromatik

0,5 - 0,68

15

9

Cirrus

1,36 - 1,39

30

Sumber: USGS (2013b)

Prosedur penentuan nilai koefisien atenuasi dilakukan melalui beberapa
tahapan yaitu:
(1) Menentukan posisi-posisi piksel habitat pasir terendam pada berbagai
kedalaman berdasarkan data survei lapang. Alasan memilih habitat pasir
karena selain sangat umum dijumpai serta mudah dikenali secara visual, juga
tersebar di berbagai kedalaman.
(2) Mencatat nilai DN (digital number) masing-masing band (band biru dan band
hijau) pada posisi yang telah ditentukan pada poin 1.
(3) Menghapus nilai DN yang sama yang ada pada masing-masing band untuk
menghindari piksel saturasi (Green et al., 2000).
(4) Menghitung nilai koefisien atenuasi menggunakan persamaan 5.
Melakukan survei lapang dalam hal menentukan posisi-posisi piksel habitat
pasir terendam memiliki beberapa keuntungan. Pertama, menghindari mensampling piksel dengan kedalaman kurang dari satu meter di mana salah satu band
(pada penelitian ini adalah band biru yang memiliki panjang gelombang yang lebih
pendek) memiliki nilai saturasi yang tinggi sehingga variasi DN-nya kecil
sedangkan nilai DN band pasangannya (band hijau) bervariasi secara signifikan.
Hal ini mengakibatkan nilai koefisien atenuasi yang dihasilkan mendekati nol.
Menurut Green et al. (2000), nilai koefisien mendekati nol dianggap tidak valid.
Kedua, menghindari men-sampling daerah yang terlalu dalam di mana salah satu
band (pada penelitian ini adalah band hijau dengan panjang gelombang yang lebih
panjang) tidak mampu lagi menembus badan perairan sehingga pada piksel tersebut
hanya menghasilkan satu nilai DN saja yang berasal dari band biru. Kedua hal di
atas didukung oleh pernyataan Green et al. (2000) bahwa nilai DN piksel kedua
band yang digunakan untuk mencari nilai koefisien atenuasi mestinya menunjukkan
terjadinya atenuasi.
Grafik bi-plot transformasi ln band 1 dan band 2 untuk Landsat-7, serta band
2 dan band 3 untuk Landsat-8 dapat dilihat pada Gambar 7. Slope garis bi-plot ini
merupakan nilai koefisien atenuasi (Tabel 5) yang digunakan dalam transformasi
Lyzenga.

16
Landsat-8

r = 0,982 ; n = 101

5.9

ln band 2

ln band 1

Landsat-7

4.9
3.9
3.9

4.4
ln band 2

9.5
9.0

4.9

9.0

r = 0,975 ; n = 101

4.9
3.9

3.9

4.4
ln band 2

ln band 2

ln band 1

3.9

18 September 2013

9.0

9.3
ln band 3

9.6

25 Agustus 2013

4.9
4.4
ln band 2

9.5

9.0

r = 0,971 ; n = 101

3.9

9.6

r = 0,990 ; n = 101

10.0

4.9

1 Agustus 2013
5.9

9.3
ln band 3

8 Juli 2013
ln band 2

ln band 1

29 Mei 2013
5.9

r = 0,988 ; n = 101

10.0

4.9

r = 0,988 ; n = 101

10.0
9.5
9.0
9.0

9.3
ln band 3

9.6

10 September 2013

Gambar 7. Bi-plot transformasi ln band 1/2 (Landsat-7); band 2/3 (Landsat-8)
Setiap garis bi-plot pada Gambar 7 mewakili satu habitat yang sama yaitu
habitat pasir di mana semakin ke arah kanan grafik yang berubah hanyalah
kedalamannya (semakin kanan). Koefisien korelasi (r) setiap grafik bi-plot tersebut
memiliki nilai di atas 0,97 (97%) yang menunjukkan hubungan yang erat antara
band 1 dan band 2 pada Landsat-7 serta band 2 dan band 3 pada Landsat-8. Setiap
grafik bi-plot tersebut masing-masing berkorelasi positif di mana semakin besar
nilai ln band biru maka semakin besar pula nilai ln band hijau. Hal ini menyebabkan
slope (kemiringan) garis bi-plot akan selalu bernilai positif. Slope garis bi-plot ini
tidak dihitung berdasarkan Gambar 7 namun menggunakan persamaan 5. Alasan
tidak digunakannya grafik bi-plot pada Gambar 7 dalam penentuan nilai slope
adalah karena slope garis bi-plot (di mana nantinya akan mempengaruhi
perpotongan di sumbu-y) akan bergantung pada hubungan variabel dependenindependen antara band biru dan band hijau (Green et al., 2000). Dengan
menggunakan persamaan 5 maka masing-masing band merupakan variabel
independen.

17
Visualisasi hasil transformasi Lyzenga dapat dilihat pada Gambar 8. Color
table rainbow 8-bit (ERMapper) digunakan dalam pewarnaan hasil transformasi
dengan histogram enhancement 99% input aktual.
Landsat-7

Landsat-8

29 Mei 2013

8 Juli 2013

1 Agustus 2013

25 Agustus 2013

18 September 2013

10 September 2013

Gambar 8. Hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 (kiri) dan Landsat-8 (kanan)
Berdasarkan hasil survei lapang, secara umum interpretasi visual pada
Gambar 8 yaitu, (1) warna merah mewakili habitat pasir di mana pada saat surut
terendah kadangkala terekspos ke udara; (2) warna orange mewakili habitat lamun;
(3) warna kuning mewakili habitat pasir yang selalu terendam setiap saat; (4) warna
hijau mewakili karang mati; (5) warna biru dan ungu mewakili habitat karang
hidup; (6) warna hitam mewakili darat dan perairan dalam setelah di-masking.
Setiap citra pada Gambar 8 terdiri dari 9.024 piksel atau seluas 8.121.600 m2.
Hal ini disebabkan piksel perairan dalam dan darat telah di-masking sebelumnya
sehingga yang tersisa hanyalah piksel habitat perairan dangkal.
Histogram frekuensi dari hasil transformasi Lyzenga masing-masing citra
dapat dilihat pada Lampiran 6. Jumlah puncak yang ada pada setiap histogram
frekuensi tersebut mewakili jumlah habitat berbeda yang ada di lapang berdasarkan
transformasi Lyzenga nilai reflektansi hasil perekaman sensor satelit. Jumlah
habitat berbeda masing-masing citra berdasarkan nilai reflektansi tersebut disajikan
pada Tabel 8.

18
Tabel 8. Jumlah habitat berbeda hasil transformasi Lyzenga
Satelit

Tipe habitat hasil transformasi Lyzenga

Tanggal akuisisi
29 Mei 2013

Landsat-7

Landsat-8

Jumlah

Rentang

1.287

1,385 - 2,245

1 Agustus 2013

787

1,959 - 2,578

18 September 2013

1.427

1,966 - 2,762

8 Juli 2013

18.149

4,188 - 4,622

25 Agustus 2013

18.955

4,291 - 4,790

10 September 2013

19.297

4,571 - 4,902

Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah nilai berbeda pada citra
satelit Landsat-8 jauh lebih besar dibanding pada citra satelit Landsat-7. Hal ini
disebabkan karena satelit Landsat-8 memiliki resolusi radiometrik 12-bit (merekam
dalam 4.096 tingkat keabuan mulai dari 0 hingga 4.095) sedangkan Landsat-7
memiliki resolusi radiometrik 8-bit (hanya merekam dalam 256 tingkat keabuan
mulai dari 0 hingga 255). Oleh karena itu sensor satelit Landsat-8 lebih peka dalam
membedakan reflektansi obyek.
Jumlah habitat berbeda yang ada pada Tabel 8 selanjutnya akan diklasifikasi
menggunakan metode klasifikasi tak terselia (unsupervised classification) ke dalam
empat kategori habitat yaitu karang hidup, karang mati, pasir, dan lamun.

Klasifikasi Citra
Hasil klasifikasi masing-masing citra dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar
10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14.

Gambar 9. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 29 Mei
2013

19

Gambar 10. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 1
Agustus 2013

Gambar 11. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 18
September 2013

20

Gambar 12. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli
2013

Gambar 13. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 25
Agustus 2013

21

Gambar 14. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 10
September 2013
Secara visual hasil klasifikasi keenam citra (Gambar 9, Gambar 10, Gambar
11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14) umumnya relatif sama. Dapat dilihat
bahwa habitat karang (baik karang mati maupun karang hidup) umumnya
ditemukan di daerah sekitar goba dan daerah terluar gosong terumbu (reef flat dan
fore reef); sedangkan habitat pasir dan lamun umumnya ditemukan di dataran
terumbu (reef flat).
Dari hasil survei lapang, jenis tutupan karang di daerah terluar didominasi
oleh jenis karang dengan struktur bercabang sedangkan di daerah goba didominasi
oleh jenis karang berukuran besar terutama struktur masif. Dominasi karang dengan
struktur bercabang di daerah terluar terutama disebabkan oleh faktor pergerakan air
seperti ombak dan arus. Hopley (2011) mengatakan bahwa daerah yang pergerakan
airnya dinamis merupakan daerah yang disukai oleh karang untuk tumbuh terkait
sirkulasi airnya yang baik, airnya yang jernih, kayanya sumber makanan dan nutrien,
serta tingkat sedimentasi yang rendah. Pada daerah ini, karang masif yang memiliki
laju pertumbuhan yang lambat (1 cm/tahun) akan kalah bersaing ruang dengan
karang bercabang yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat (30 cm/tahun)
(Hopley, 2011).
Sebaliknya, di daerah sekitar goba didominasi oleh karang dengan struktur
masif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh daya tahannya terhadap sedimentasi
pada batas-batas tertentu di mana karang dengan struktur bercabang tidak mampu
mentoleransinya lagi (Hopley, 2011). Daerah goba merupakan daerah yang
terlindungi. Oleh karena itu, kondisi air di daerah ini relatif tenang sehingga
kemungkinan terjadinya sedimentasi akan selalu ada. Bentuk daya tahan jenis
karang dengan struktur masif salah satunya terkait dengan kemampuannya dalam
memproduksi lendir di permukaan polipnya sehingga partikel sedimen akan
terperangkap di lapisan lendir tersebut (Hopley, 2011). Setelah beberapa saat,
umumnya beberapa minggu, lapisan lendir ini akan digantikan dengan lapisan
lendir yang baru. Proses ini akan berulang terus-menerus sehingga sedimentasi di
permukaan polip tidak akan terjadi.

22
Pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar
14 dapat dilihat juga bahwa makin ke arah dataran terumbu, sebaran karang hidup
akan selalu diikuti oleh karang mati. Karang mati yang ada di dekat daerah terluar
umumnya merupakan patahan-patahan karang hidup akibat hempasan ombak di
mana pada kondisi lingkungan ekstrem (seperti pengeksposan ke udara bebas dan
tingginya paparan sinar matahari) tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh sehingga
akhirnya mati dan membentuk rubble. Karang mati yang ada di dekat daerah goba
umumnya merupakan jenis karang berukuran besar yang telah mati dan ditumbuhi
makroalga. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh stres lingkungan akibat
kekeruhan, sedimentsi, polusi, serta perubahan kondisi perairan seperti salinitas dan
suhu (Nybakken dan Bertness, 2005; Castro dan Huber, 2005).
Selanjutnya pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13,
dan Gambar 14 untuk habitat pasir dan lamun keduanya mendominasi dataran
terumbu (reef flat). Kedalaman di daerah ini umumnya relatif dangkal bahkan pada
saat surut terendah terdapat beberapa daerah yang terekspos ke udara. Tumbuhnya
lamun di daerah ini terutama disebabkan, (1) memiliki habitat dasar pasir sehingga
memudahkan bagi lamun untuk menancapkan akarnya, (2) kedalaman air yang
dangkal sehingga baik sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis, serta (3)
terlindungi dari energi gelombang dan arus yang kuat sehingga akar lamun tetap
menancap di substratnya (Nybakken dan Bertness, 2005; Hopley, 2011).
Informasi tentang luas jenis tutupan habitat masing-masing citra dirangkum
pada Tabel 9.
Tabel 9. Luas tutupan jenis habitat masing-masing citra
Satelit

Landsat-7

Landsat-8

29 Mei 2013

Karang
Hidup
1.224.900

Luas Tutupan (m2)
Karang
Pasir
Mati
2.659.500
2.029.500

2.207.700

Tanggal akuisisi

Lamun

1 Agustus 2013

1.281.600

2.604.600

2.076.300

2.159.100

18 September 2013

1.208.700

2.561.400

2.181.600

2.169.900

8 Juli 2013

1.278.000

2.513.700

2.143.800

2.186.100

25 Agustus 2013

1.208.700

2.502.900

2.188.800

2.221.200

10 September 2013

1.222.200

2.623.500

2.131.200

2.144.700

1.237.350

2.577.600

2.125.200

2.181.450

Rata-rata

Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa luas tutupan habitat perairan
dangkal Karang Lebar pada pertengahan tahun 2013 didominasi oleh habitat karang
mati yaitu rata-rata seluas 2.577.600 m2, diikuti habitat lamun seluas 2.181.450 m2,
dan habitat pasir seluas 2.125.200 m2. Habitat karang hidup merupakan habitat
dengan rata-rata luas tutupan terkecil yaitu hanya memiliki luas 1.237.400 m2 atau
sekitar seperdua luas habitat karang mati.

Pengukuran Akurasi
Dalam pengukuran akurasi citra terklasifikasi di atas digunakan suatu matriks
klasifikasi. Contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil
pengukuran akurasi masing-masing citra yang terdiri dari producer accuracy, user

Satelit

L7

L8

Tanggal akuisisi

Producer accuracy (%)
Karang
Pasir
Lamun
Mati
62,96
47,29
53,13

Karang
Hidup
8,00

User accuracy (%)
Karang
Pasir
Mati
59,30
70,11

Lamun

OA
(%)

Khat

29 Mei 2013

Karang
Hidup
22,22

32,08

52,19

0,30

1 Agustus 2013

22,22

56,79

56,59

62,50

6,25

59,74

77,66

41,67

56,18

0,36

18 September 2013

22,22

62,96

53,49

65,63

8,33

60,00

75,00

42,00

56,97

0,36

Rata-rata

22,22

60,91

52,45

60,42

7,53

59,68

74,26

38,58

55,11

0,34

8 Juli 2013

33,33

58,02

54,26

46,88

10,00

60,26

70,71

34,09

53,78

0,31

25 Agustus 2013

33,33

59,26

50,39

43,75

11,11

55,81

67,01

34,15

51,79

0,28

10 September 2013