Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN
RTRW PROVINSI DKI JAKARTA

GEANISA VIANDA PUTRI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kesesuaian Klasifikasi
Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi
DKI Jakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013

Geanisa Vianda Putri
NIM E14090123 

ABSTRAK
GEANISA VIANDA PUTRI. Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau
menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing
oleh NINING PUSPANINGSIH.
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta menetapkan luasan ruang terbuka
hijau (RTH) sebesar 30% dari total luas daratan DKI Jakarta. Hal ini dituangkan
dalam Rencana Tata Ruang (RTRW) Provinsi DKI Jakarta yang disahkan pada tahun
2012 dan berlaku hingga tahun 2030. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra Landsat ETM+ di
Provinsi DKI Jakarta dan membandingkan hasil klasifikasi tersebut dengan tatanan
lahan RTH pada RTRW DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012. Hasil penelitian
menunjukan perubahan tutupan lahan yang terjadi di Provinsi DKI Jakarta sebagian
besar terjadi pada jenis tutupan lahan ruang terbuka hijau yang mengalami penurunan
luas sebesar 16.3%. Analisis kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka hijau yang

ditetapkan dalam RTRW dengan yang ada di lapangan menunjukan bahwa proporsi
RTH yang ada di Jakarta pada tahun 2000 mencapai 36%, sedangkan untuk tahun
2004 dan tahun 2012 persentase RTH adalah sebesar 27.5% dan 25.5%, hasil ini tidak
sesuai dengan standar RTH dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta yang dijelaskan
dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, yaitu sebesar
37.8%.
Kata kunci: pembangunan perkotaan, RTRW Provinsi DKI Jakarta, ruang terbuka
hijau, tutupan lahan
ABSTRACT
GEANISA VIANDA PUTRI. The Suitability Classification of Green Open Space
Using Landsat ETM+ to The Regional Spatial Plan of Jakarta. Supervised by
NINING PUSPANINGSIH.
Jakarta Provincial Government determine that the proportion of green open
space is as much as 30% Jakarta Province land area. It is stated in The Regional
Spatial Plan of Jakarta that was enacted in 2012 and prevail to 2030. The objectives
of this research are to analyze the results of land cover classification changes using
Landsat ETM + imagery in Jakarta Province, and to compare the classification result
toward the green open space area in The Regional Spatial Plan of Jakarta between
2000 and 2012. The result showed that land cover changes in Jakarta mostly happens
on the green open space area, which declined by 16.3%. Land suitability analysis of

green open space that set out in the Regional Spatial Plan of Jakarta compared to the
classification results showed that the proportion of Jakarta green open space in 2000
reached 36%, while for 2004 and 2012 the precentage of green open space as much as
27.5% and 25.5% , this results is not in accordance with the standard of green open
space in Jakarta Regional Spatial Plan described in DKI Jakarta Provincial Regulation
No. 1 of 2012, that is equal to 37.8%.
Keywords: urban development, green open space, land cover, The Regional Spatial
Plan of Jakarta

KESESUAIAN KLASIFIKASI RUANG TERBUKA HIJAU
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT ETM+ DENGAN
RTRW PROVINSI DKI JAKARTA

GEANISA VIANDA PUTRI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen manajemen Hutan


DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau menggunakan Citra
Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta
Nama
: Geanisa Vianda Putri
NIM
: E14090123

Disetujui oleh

Dr Nining Puspaningsih, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Ahmad Budiaman, MSc F Trop
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian ini ialah Kesesuaian Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau
menggunakan Citra Landsat ETM+ dengan RTRW Provinsi DKI Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Nining Puspaningsih, Msi
selaku dosen pembimbing, serta Ibu Dr Badriyah Rushayati, MSi dan Bapak Prof
Dr Ir Lilik Prasetyo, MSc yang telah banyak memberi saran. Di samping itu,
penghargaan penulis haturkan kepada Dinas Pendidikan Nasional atas
dukungannya melalui Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).
Penghargaan turut penulis sampaikan kepada bapak Uus Saepul dan rekan- rekan
Laboratorium Fisik Remote sensing dan GIS atas bantuan dan semangat yang
diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, adik, dan
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013
Geanisa vianda Putri

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Data
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Analisis Kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan Hasil Klasifikasi Tutupan
Lahan
HASIL DAN PEMBAHASAN

Klasifikasi Tutupan Lahan
Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi
Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Analisis Kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di Lapangan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
2
2
2

2
3
4
8
9
11
15
16
18
23
32
32
33
33
35
39

DAFTAR TABEL
Matriks kesalahan (confusion matrix)
Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000- 2012

Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000- 2004
Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004- 2012
Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004- 2012
Land use DKI Jakarta dalam RTRW 2012- 2030
Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+
tahun 2000
8 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+
tahun 2004
9 Kesesuaian tatanan tutupan lahan pada RTRW dan citra Landsat ETM+
tahun 2012
10 Persentase kesesuaian RTH pada RTRW dan RTH di lapangan
1
2
3
4
5
6
7

7

18
19
21
22
25
26
28
30
32

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Peta lokasi penelitian
Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta
Citra Landsat ETM+ tahun 2000 area DKI Jakarta
Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta
Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta
Hutan kota di lapangan hutan kota pada citra
Sawah di lapangan sawah pada citra
Rumput di lapangan rumput pada citra
Rawa di lapangan rawa pada citra
Lahan terbangun di lapangan lahan terbangun pada citra
Badan air di lapangan badan air pada citra
Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta
Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta
Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta
Grafik tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012
Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun
2000-2004
Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun
2004-2012
Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta tahun
2000-2012
Peta RTRW Provinsi DKI Jakarta tahun 2012-2030
Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta
Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta
Peta kesesuaian RTRW dengan RTH tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta

3
6
9
10
10
12
12
13
13
14
14
16
17
17
18
20
21
23
24
28
29
31

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2000
Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004
Separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2012
Matrik kontingensi tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2012

35
36
37
38

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk DKI Jakarta yang mencapai 9.04 juta jiwa (BAPPEDA
Jakarta 2013) adalah salah satu faktor yang mendorong pembangunan fisik kota
Jakarta. Pertumbuhan penduduk mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk
permukiman, industri serta perkantoran di DKI Jakarta meningkat. Hal tersebut
berdampak pada perubahan penutupan lahan termasuk luasan ruang terbuka hijau
(RTH) di DKI Jakarta. Pembangunan fisik perkotaan memberikan dampak positif
pada peningkatan kegiatan perekonomian. Walau demikian, pembangunan
perkotaan mempengaruhi lingkungan dan mengubah keadaan fisik alam,
kemungkinan terjadinya penurunan kualitas lingkungan menjadi perhatian utama
dari dampak negatif pembangunan.
Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change)
merupakan tanda dari degradasi kualitas lingkungan yang sedang terjadi di DKI
Jakarta. Tantangan global ini membutuhkan aksi perubahan iklim, baik aksi
adaptasi maupun aksi mitigasi yang perlu dituangkan dalam penataan ruang.
Rencana tata ruang terbaru DKI Jakarta adalah Rencana Tata Ruang Wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang disahkan pada tahun 2012, dan berlaku
hingga tahun 2030. Penjelasan mengenai RTRW DKI Jakarta dituangkan dalam
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012.
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 menimbang,
bahwa sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia ruang wilayah
Provinsi DKI Jakarta harus dikelola secara bijaksana, berdaya guna, dan sesuai
kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang DKI Jakarta terjaga
keberlanjutannya untuk masa kini dan masa datang. Pengendalian pemanfaatan
ruang adalah upaya mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan
rencana tata ruang. Pemanfaatan dan pengendalian pemanfatan ruang DKI Jakarta
dilaksanakan dengan mempertimbangkan daya dukung sumber daya alam serta
daya tampung lingkungan hidup secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan
peningkatan kualitas kehidupan kota serta keterpaduan antara pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang, maka pada Pasal 6 Ayat 5 dalam Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 ditetapkan kebijakan tentang
pengembangan ruang terbuka hijau (RTH). Pengembangan RTH ditetapkan
mencapai 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta yang
terdiri dari RTH publik seluas 20% dan RTH privat seluas 10%.
RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi
tambahan (ektrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi
(Fakultas Pertanian IPB 2005). Secara ekologis RTH dapat meningkatkan
kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan
suhu kota tropis. Hutan kota dan kawasan lindung adalah bentuk RTH dengan
fungsi ekologis yang dominan. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai
keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun,
dan jalur hijau di jalan-jalan kota. Fungsi sosial dari RTH ditunjukan melalui
interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Sementara itu RTH juga memiliki fungsi
ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan kosong menjadi lahan

2
pertanian (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan
yang dapat mendatangkan wisatawan.
Mengingat pentingnya fungsi RTH dan amanah Peraturan Daerah engenai
pencapaian luasan dari ruang terbuka hijau di Provinsi DKI Jakarta, maka kajian
terkait dengan kondisi ketahanan tatanan lahan ruang terbuka hijau penting
dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi perubahan tutupan lahan
melalui citra satelit Landsat 7 ETM+ antara tahun 2000 dan 2012. Trend
perubahan tutupan lahan yang diteliti dititikberatkan pada perubahan tutupan
lahan ruang terbuka hijau. Hasil dari klasifikasi tutupan lahan tersebut kemudian
dibandingkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2012- 2030,
sehingga proporsi ruang terbuka hijau sebelum dan setelah dicanangkannya
RTRW DKI Jakarta 2030 dapat diuji kesesuaiannya.

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Menganalisis perubahan tutupan lahan hasil klasifikasi menggunakan citra
Landsat ETM+ di Provinsi DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012.
2. Membandingkan dan menganalisis kesesuaian tatanan lahan ruang terbuka
hijau DKI Jakarta antara tahun 2000 dan 2012, dengan tatanan lahan ruang
terbuka hijau pada RTRW DKI Jakarta 2030.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai kesesuaian proporsi ruang terbuka hijau
sebelum dan setelah pencanangan RTRW DKI Jakarta 2030.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun
perencanaan ruang terbuka hijau agar tercipta kota dengan kualitas
lingkungan yang baik.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Mei
sampai dengan Juni 2013. Provinsi DKI Jakarta terletak pada 106°
49’35” Bujur Timur dan 06°10’37” Lintang Selatan , dengan luas
wilayah 66377.45 ha. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote
Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.

3

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Alat dan Data
Pengolahan dan analisis data spasial dan bukan spasial dilakukan dengan
menggunakan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) berupa
laptop, printer, arcGIS version 9.3, ERDAS Imagine Software version 9.1, Frame
and fill win 32, Global Mapper version 13.00, Microsoft Excel 2010 dan
Microsoft Word 2010. Alat yang digunakan untuk survey lapang atau ground
check meliputi, alat tulis, Global Positioning System (GPS) Garmin 76CSX,
kamera saku, dan tally sheet.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+
multiwaktu path/row 122/ 64 liputan tahun 2000, 2004 dan 2012. Ciri khas dari
citra Landsat 7 dengan sensor ETM+ adalah jumlah band yang terdiri dari 8 band.
Sedangkan kombinasi band yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan
dengan standar Departemen Kehutanan, yaitu komposisi 543. Landsat 7
diluncurkan pada 15 April 1999 dengan membawa instrumen Enhanced Thematic
Mapper Plus (ETM+) yang telah ditingkatkan resolusinya dari Landsat 4 dan
Landsat 5. Landsat 7 memiliki performa terbaik dibandingkan dengan generasi
pendahulunya (NASA 2010). Data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini
yaitu Peta Administrasi Kotamadya DKI Jakarta, jaringan jalan Provinsi DKI
Jakarta, Peta Rencana Pola Ruang Daratan Provinsi DKI Jakarta, serta poligon
dan titik hasil observasi lapangan.

4
Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Untuk menganalisis perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta antara
tahun 2000, 2004, dan 2012 dibutuhkan peta tutupan lahan untuk setiap
tahun yang diteliti. Peta klasifikasi tutupan lahan dihasilkan melalui
beberapa tahapan, yaitu: pra pengolahan citra, pendahuluan (pra
processing), interpretasi visual citra satelit, pengambilan data lapangan (ground
check), pengolahan citra digital, uji ketelitian klasifikasi, penyamaan posisi awan
dan bayangan awan pada citra multi waktu, dan analisis perubahan tutupan lahan.
Pra pengolahan citra
Pra-pengolahan citra adalah pemprosesan awal sebelum dilakukan
pengolahan citra lebih lanjut, dalam proses ini data mentah direstorasi atau
dikoreksi terhadap gangguan-gangguan yang terjadi saat perekaman. Kegiatan pra
pengolahan citra dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:
1. Perbaikan citra
Citra Landsat yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari situs resmi
Landsat melalui http://usgs.glovis.gov. Sebelum diolah lebih lanjut citra Landsat
dengan tahun perekaman 2004 dan 2012 terlebih dahulu diperbaiki dari masalah
stripping yang terjadi akibat rusaknya Scan Line Corrector (SLC-OFF) Landsat 7.
Stripping citra diperbaiki menggunakan software Frame and Fill Win 32.
Software ini membantu memulihkan tampilan citra Landsat stripping menjadi
serupa dengan citra Landsat tanpa stripping. Pemulihan tampilan citra Landsat
dilakukan melalui proses gap filling atau pengisian pixel yang hilang akibat
stripping dengan pixel dari citra lain yang memiliki stripping pada lokasi berbeda.
Citra pengisi merupakan citra pada tahun yang sama namun berbeda bulan.
2. Pemotongan citra (Cropping)
Cropping citra (pemotongan citra) dilakukan pada citra Landsat tahun
perekaman 2000, 2004, dan 2012 untuk memisahkan areal yang menjadi fokus
penelitian yaitu area DKI Jakarta.
3. Koreksi geometrik (Geometric enhancement)
Koreksi geometrik dilakukan pada kesalahan geometrik yang terjadi pada
saat perekaman. Koreksi geometrik bertujuan untuk merektifikasi atau
membenarkan koordinat citra agar sesuai dengan koordinat geografi. Citra yang
belum diolah (slave image) hasil perekaman tahun 2000 sampai dengan tahun
2012 yang digunakan sebagai bahan penelitian harus dikoreksi geometrik terlebih
dahulu. Koreksi geometrik dilakukan menggunakan Citra Landsat ETM+ DKI
Jakarta yang sudah terkoreksi (master image). Tahapan koreksi geometrik ini
diawali dengan penentuan sistem koordinat, proyeksi dan datum. Sistem koordinat
yang dipilih untuk koreksi ini adalah Universal Tranverse Mercator (UTM)
dengan proyeksi yang digunakan adalah UTM zona 48, sedangkan datum yang
digunakan adalah World Geographic System 84 (WGS 84).
Selanjutnya dilakukan pemilihan titik-titik kontrol lapangan (ground control
point) yang tersebar merata di seluruh citra pada objek-objek yang relatif
permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu yang lama seperti perpotongan
jalan, jembatan, sudut bangunan, dan sungai. Setelah GCP terpilih selanjutnya

5
dihitung akar dari kesalahan rata-rata kuadrat. RMSE dianjurkan untuk memiliki
nilai lebih kecil dari 0.5 piksel (Jaya 2010).
4. Koreksi radiometrik (Radiometric enhancement)
Koreksi radiometrik dilakukan untuk mendapatkan citra multi waktu
dengan kontras yang sama. Perbaikan ini memperbaiki kesalahan yang terjadi
akibat gangguan energi elektromagnetik pada atmosfer, kesalahan pada sistem
optik, dan kesalahan karena pengaruh elevasi matahari (Purwadhi 2001).
Teknik koreksi radiometrik penyamaan histogram (histogram matching)
adalah metode penajaman kontras yang digunakan dalam penelitian ini. Jaya
(2010) menyatakan “Penyamaan histogram adalah teknik penyamaan kontras
yang tidak linier sehingga distribusi histogram dari pikselnya mendekati uniform,
atau menghasilkan histogram yang mendekati datar. Kontras hasil penajaman ini
akan menjadi merata di seluruh areal. Kontras meningkat pada puncak-puncak
histogram dan menurun pada ujung-ujung histogram”.
Pendahuluan (Pra Processing)
Kegiatan pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara
umum kondisi dan jumlah tutupan lahan di DKI Jakarta. Data yang digunakan
adalah citra Landsat 7 ETM+ tahun 2012 dengan menampilkan warna komposit
RGB (Red Green Blue) dengan komposisi band 543. Data ini kemudian
digunakan dalam interpretasi visual.
Interpretasi visual citra satelit
Interpretasi visual citra satelit merupakan perbuatan mengkaji citra dengan
maksud mengidentifikasi tutupan lahan yang tergambar di dalam citra.
Karakteristik tutupan lahan dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi
seperti warna, bentuk, pola ukuran, letak dan asosiasi kenampakan objek. Citra
yang digunakan untuk interpretasi visual adalah citra komposit 543 pada guns
RGB (Red Green Blue) sehingga menghasilkan warna komposit. Hasil interpretasi
visual tutupan lahan ini digunakan dalam penentuan titik observasi di lapangan.
Pengambilan data lapangan (Ground check)
Pengambilan data lapangan (ground check) merupakan kegiatan
pengukuran, pengamatan serta pencatatan informasi penting dari titik dan poligon
yang telah ditentukan di lapangan. Pemilihan lokasi titik pengamatan dilakukan
secara purposive. Titik pengamatan lapangan yang diamati berjumlah 44 titik
yang tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Timur.
Titik pengamatan lapangan banyak diambil pada lokasi-lokasi hutan kota,
selain itu titik pengamatan juga diambil dari setiap jenis tutupan lahan yang
didapatkan melalui interpretasi visual. Data yang diukur adalah data rekam
koordinat titik pengamatan lapangan dari GPS. Informasi yang diamati di
lapangan adalah jenis dan karakteristik fisik tutupan lahan, serta jenis vegetasi.
Peta data rekam titik pengamatan survey lapangan disajikan pada Gambar 2.

6

Gambar 2 Peta pengambilan contoh lapangan Provinsi DKI Jakarta
Pengolahan citra digital
Analisis ini merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau
pengelompokkan suatu piksel citra digital multi-spektral ke dalam beberapa kelas
berdasarkan kategori objek. Pengolahan Citra Digital dilakukan melalui beberapa
tahapan yaitu:
1. Penentuan area contoh (Training area)
Penentuan dan pemilihan lokasi-lokasi area contoh dilakukan berdasarkan
interpretasi citra secara visual, Peta Rupa Bumi dan pemilihan lokasi-lokasi area
contoh (training area). Pengambilan informasi statistik (nilai digital number)
dilakukan dengan cara mengambil contoh-contoh piksel dari setiap kelas tutupan
lahan dan ditentukan lokasinya pada citra. Informasi statistik dari setiap kelas
tutupan lahan ini digunakan untuk menjalankan fungsi separabilitas dan fungsi
akurasi.
2. Analisis separabilitas
Sebelum melakukan klasifikasi terhadap kelas-kelas tutupan lahan dari area
contoh yang telah dibuat, maka terlebih dahulu dilakukan analisis separabilitas.
Analisis separabilitas adalah analisis kuantitatif yang memberikan informasi
mengenai evaluasi keterpisahan area contoh dari setiap kelas. Metode analisis
separabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tranformasi
Divergensi (TD). Menurut Jaya (2010), metode ini digunakan untuk mengukur
tingkat keterpisahan antar kelas dengan menggunakan semua elemen dalam
matrik.
Jensen (2005) menguraikan kriteria tingkat keterpisahan antar kelas dari
nilai transformasi divergensi, “Nilai tingkat keterpisahan menggunakan metode
Transformasi Divergensi memiliki skala 0 sampai dengan 2000. Nilai 2000

7
menunjukan keterpisahan antar kelas yang sangat baik. Nilai di atas 1900
mencerminkan tingkat keterpisahan yang baik, sedangkan nilai di bawah 1700
dapat dikatakan buruk.
3. Klasifikasi terbimbing (Supervised classification)
Metode yang digunakan dalam kegiatan klasifikasi citra ini adalah metode
kemungkinan maksimum (maximum likelihood method). Pada metode ini terdapat
pertimbangan berbagai faktor, diantaranya adalah peluang dari suatu piksel untuk
dikelaskan ke dalam kelas atau kategori tertentu. Klasifikasi menggunakan
maximum likelihood method menyangkut beberapa dimensi, sehingga
pengelompokkan jenis tutupan lahan dilakukan pada jenis tutupan lahan yang
memiliki nilai piksel yang sama dan identik pada citra yang diklasifikasi
(Purwadhi 2001).
Uji ketelitian klasifikasi
Uji ketelitian klasifikasi digunakan untuk melihat tingkat kesalahan yang
terjadi pada klasifikasi area contoh sehingga dapat ditentukan besarnya persentase
ketelitian pemetaan. Evaluasi ini menguji tingkat keakuratan secara visual dari
klasifikasi terbimbing. Akurasi ketelitian pemetaan dilakukan dengan membuat
matrik kontingensi atau matrik kesalahan (confusion matrix) seperti yang
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Matriks kesalahan (confusion matrix)
Data acuan
(training area)
A
B
C
D
Total kolom
User’s
accuracy

Diklasifikasikan ke dalam kelas
(data kelas di peta)
A
B
C
D
Xii

Total baris

Producer’s
accuracy

Xi+

Xii /Xi+

Xii
X+i
Xii/X+i

N

Akurasi yang bisa dihitung berdasarkan tabel di atas antara lain, User’s
accuracy, Producer’s Accuracy dan Overall accuracy. Secara matematis akurasi
di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:
kk
x 100
User’s accuracy
k

kk

Producer’s accuracy
verall accuracy

∑rk

k
kk

n

x 100
x 100

Keterangan:
Xkk
= Nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i
Xk+ = Jumlah piksel dalam kolom ke-i
X+i = Jumlah piksel dalam baris ke-i
Menurut Jaya (2010), saat ini akurasi yang dianjurkan adalah akurasi
kappa, karena overral accuracy secara umum masih over estimate. Akurasi kappa

8
ini sering juga disebut dengan indeks kappa. Secara matematis akurasi kappa
disajikan sebagai berikut:
N ∑rk kk ∑rk k
k
Kappa k
x 100
2
r
N ∑k k k
Keterangan : N : Jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan
Ki : ∑ ij (jumlah semua kolom pada baris ke-i)
K+j : ∑ ij (jumlah semua kolom pada lajur ke-j)
Penyamaan posisi awan dan bayangan awan pada citra multi waktu
Posisi awan yang berbeda pada citra tahun 2000, 2004, dan 2012 akan
mengganggu hasil perhitungan perubahan luas jenis tutupan lahan pada rangkaian
tahun yang diamati. Untuk mereduksi gangguan ini maka posisi awan dan
bayangan awan harus disamakan pada semua tahun. Awan dan bayangan awan
pada tahun 2012 dihilangkan menggunakan fungsi Update Polligon pada ArcGIS,
proses ini berkerja dengan mengganti poligon awan beserta bayangan awan
dengan poligon hasil ground check yang tutupan lahannya telah diketahui dengan
pasti. Selanjutnya poligon citra tahun 2012 yang tidak memiliki tutupan awan dan
bayangan awan kembali diupdate dengan poligon awan dan bayangan awan dari
tahun 2000 yang sebelumnya telah diekspor. Proses ini menghasilkan citra tahun
2012 yang memiliki tutupan awan dan bayangan awan yang berlokasi sama
dengan citra tahun 2000. Citra tahun 2004 pada dasarnya merupakan citra yang
tampilannya tanpa awan, sehingga perlakuan yang dikenakan terhadap citra tahun
2004 adalah pemberian poligon awan dan bayangan awan dari tahun 2000,
melalui fungsi update polligon yang terdapat pada ArcGIS.
Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan
Analisis perubahan tutupan dan penggunaan lahan dilakukan dengan
menumpang tindihkan (overlay) dua citra yang telah diklasifikasi secara terpisah.
Proses ini dilakukan menggunakan menu identify. Selanjutnya dengan
menggunakan model perubahan land cover, luas perubahan tutupan lahan dan
arah perubahan penutupan lahan yang terjadi dapat diidentifikasi dan dianalisis.

Analisis Kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan Hasil Klasifikasi Tutupan
Lahan
Analisis kondisi dan kesesuaian Rencana Tata Ruang DKI Jakarta
dengan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2000, 2004, dan 2012
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
Pengolahan awal peta RTRW DKI Jakarta
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah DKI J akarta yang memiliki
format KMZ perlu diubah ke dalam format vektor agar proses
pengolahan data selanjutnya dapat dilaksanakan. Transformasi format
data ini dilakukan menggunakan Global Mapper version 13.00.
Selanjutnya, peta RTRW dalam format vektor yang memiliki proyeks i
geografis diubah menjadi peta dengan proyeksi UTM zona 48, sedangkan
untuk datum yang digunakan adalah World Geographic System 84 (WGS 84).

9
Peta RTRW yang telah dikoreksi geometrik tersebut belum memiliki
data atribut berupa jenis land cover, sehingga atribut berupa jenis
penggunaan lahan harus diinput terlebih dahulu. Setelah data atribut
selesai diinput maka data siap untuk ditumpang tindihkan dengan peta
hasil klasifikasi dalam format vektor.
Analisis kesesuaian RTRW DKI Jakarta dengan hasil klasifikasi tutupan
lahan
Analisis kesesuaian antara land cover DKI Jakarta dengan land use yang
sesungguhnya di lapangan ini dilakukan dengan menumpang tindihkan (overlay)
dua data tersebut. Melalui proses overlay dan penggunaan model perubahan
tutupan lahan, kondisi antara perencanaan tata kota DKI jakarta dengan kondisi
aktual dapat dibandingkan dan dianalisis.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Citra Landsat yang digunakan untuk analisis tutupan lahan terlebih dahulu
dipotong untuk membatasi area penelitian dan mengurangi beban kerja komputer
dalam processing data. Area penelitian tidak serta merta dipotong dengan batas
administrasi DKI Jakarta, melainkan dipotong dengan bentuk area of interest
berupa persegi. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terpotongnya piksel saat
klasifikasi tutupan lahan dilakukan. Setelah area penelitian pada citra disekat,
kemudian citra diperbaiki secara geometrik dan radiometrik agar memiliki
proyeksi koordinat yang tepat dan tampilan yang sama pada tiap tahunnya.
Gambar 3, 4 dan 5 merupakan citra tahun 2000, 2004 dan 2012 yang telah dibatasi
sesuai area penelitian dan dikoreksi secara geometrik dan radiometrik.

Gambar 3 Citra Landsat ETM+ tahun 2000 area DKI Jakarta

10

Gambar 4 Citra Landsat ETM+ tahun 2004 area DKI Jakarta

Gambar 5 Citra Landsat ETM+ tahun 2012 area DKI Jakarta
Ketiga citra tersebut menjadi data dasar dalam klasifikasi tutupan lahan di
DKI Jakarta. Pada Gambar 3 dan Gambar 5 dapat dilihat kondisi citra yang
banyak mengandung awan dan bayangan awan, sehingga daerah yang tertutupi
tersebut tidak dapat diklasifikasi. Selanjutnya, perbedaan posisi awan setiap
tahunnya akan menghasilkan luas tutupan lahan multi waktu yang tidak akurat,
karena itu posisi awan setiap tahun yang diteliti harus disamakan.
Berdasarkan hasil ground check yang dilakukan pada awal tahun 2013 dapat
diketahui jenis tutupan lahan yang berada di balik awan dan bayangan awan,
sehingga awan dan bayangan awan pada tahun 2012 dapat dihilangkan melalui
proses update polygon. Untuk kasus citra tahun 2000 yang juga memiliki tutupan
awan dan bayangan awan, perlakuan mengubah poligon tidak dapat dilakukan
karena data ground check yang didapatkan pada tahun 2013 tidak valid bila
digunakan pada tahun 2000, atau dengan rentang waktu terlalu jauh. Selanjutnya,
awan dan bayangan awan pada tahun 2000 dijadikan patokan posisi awan untuk
setiap tahun penelitian. Proses update polygon kembali dilakukan pada citra tahun
2004 dan 2012 untuk mengimport data awan dan bayangan awan tahun 2000,
sehingga setiap citra akan memiliki lokasi tutupan awan dan bayangan awan yang
sama.

11

Klasifikasi Tutupan Lahan
Klasifikasi penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta yang dilakukan
berdasarkan hasil cek lapangan menghasilkan 6 kelas tutupan lahan yaitu hutan
kota, sawah, rumput, rawa, lahan terbangun, dan badan air. Selanjutnya, kelas
tutupan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelas besar, yaitu kelas
tutupan lahan ruang terbuka hijau, lahan terbangun dan badan air. Jenis tutupan
lahan yang dapat dikategorikan ke dalam ruang terbuka hijau adalah hutan kota,
sawah, dan rumput.
Hutan kota
Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2002 menyatakan bahwa hutan kota
adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat
di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang
ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat berwenang.
Batasan hutan kota yang digunakan dalam klasifikasi adalah seluruh
kenampakan area dengan tegakan pohon yang dominan dan terlihat pada citra.
Hutan kota ini meliputi ruang terbuka hijau privat dan ruang terbuka hijau publik
dengan ketentuan memiliki tegakan pohon yang kompak di atasnya. Ruang
terbuka hijau privat dalam penelitian ini terdiri atas halaman rumah, halaman
kantor, dan kebun warga. Ruang terbuka hijau publik terdiri atas jalur hijau,
makam, taman kota, hutan lindung, kawasan konservasi, dan hutan kota yang
disahkan pemerintah. Jenis vegetasi dominan yang berada di hutan kota DKI
Jakarta adalah Mahoni (Swietenia mahagoni), Ketapang (Terminalia cattapa),
Trembesi (Samanea saman), Flamboyan (Delonix regia) dan Akasia (Acacia
auriculiformis).
Menurut BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2012), jumlah hutan kota di DKI
Jakarta yang telah disahkan oleh pemerintah adalah 59 hutan kota yang tersebar di
5 Kotamadya. Hutan kota terbanyak berada di Kotamadya Jakarta Timur dengan
jumlah 20, kemudian disusul oleh Jakarta Selatan 19 hutan kota, Jakarta Utara
sebanyak 12 hutan kota, Jakarta Pusat sebanyak 5 hutan kota, dan Jakarta Barat
sebanyak 3 hutan kota. Hutan lindung yang tercatat berada dalam wilayah DKI
Jakarta adalah Hutan Lindung Muara Angke di Jakarta Utara, sedangkan untuk
kawasan konservasi terbagi atas Suaka Marga Satwa Muara Angke dan Taman
Wisata Alam Angke Kapuk.
Komposisi band yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan standar
Departemen Kehutanan, yaitu komposisi 543. Pada citra komposisi band 543
obyek bervegetasi dengan non vegetasi lebih mudah dibedakan. Karakteristik
pantulan spektral dari vegetasi terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pada bagian
spektrum tampak dan pada spektrum infra merah dékat. Komposit 543
menempatkan warna merah pada saluran 5, warna hijau pada saluran 4 dan warna
biru pada saluran 3, jika pantulan vegetasi tertinggi berada pada saluran 4
(inframerah), maka pada komposit 543 vegetasi akan berwarna hijau atau gradasi
dari hijau. Hal tersebut ditunjukan dengan tampilan pada citra untuk jenis tutupan
lahan hutan kota yang memiliki warna hijau tua. Gambar 6 menampilkan gambar
hutan pada citra dan foto lapangan.

12

(a)
(b)
Gambar 6 Hutan kota di lapangan (a) hutan kota pada citra (b)
Keterangan:
: Deliniasi hutan kota
Sawah
Jenis tutupan lahan sawah memiliki batasan, yaitu kenampakan semua
aktivitas pertanian lahan basah. Klasifikasi ini meliputi sawah dengan padi di
dalamnya dan sawah yang telah mengalami kegiatan panen sehingga memiliki
warna kekuningan pada citra. Jenis tutupan lahan sawah paling banyak ditemui di
daerah Kotamadya Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Tampilan tutupan lahan
sawah di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 7.

(a)
(b)
Gambar 7 Sawah di lapangan (a) sawah pada citra (b)
Keterangan:
: Deliniasi sawah
Rumput
Berdasarkan pengamatan di lapangan jenis tutupan lahan rumput di DKI
Jakarta sebagian besar berupa kawasan golf dan lahan kosong di sekitar
perumahan yang hanya ditumbuhi rumput tanpa pepohonan di dalamnya. Selain
itu terdapat pula jenis penggunaan lapangan sepak bola dan kawasan berumput di
sekitar lapangan udara. Pada citra rumput memiliki warna hijau kekuningan.
Warna hijau kekuningan dihasilkan dari pantulan spektral vegetasi yang terdapat
di atas lahan tersebut. Gambar 8 menunjukan tampilan jenis tutupan lahan rumput
di lapangan dan pada citra.

13

(a)
(b)
Gambar 8 Rumput di lapangan (a) dan rumput pada citra (b)
Keterangan:
: Deliniasi rumput
Rawa
Rawa adalah genangan air yang terbentuk secara alamiah yang terjadi terus
menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai
ciri- ciri yang khusus secara fisik, kimiawi, dan biologi (Perda Provinsi DKI
Jakarta 2012: 17). Melalui hasil cek lapang diketahui lokasi rawa pada Daerah
Khusus Ibukota Jakarta berada di Jakarta Utara, khususnya di sekitar daerah
Pantai Indah. Jenis tutupan lahan rawa yang cukup luas juga dapat diamati dari
Jalan Tol Airport Prof. Sedyatmo.
Citra dengan komposit band 543 mempunyai kelebihan dalam membedakan
obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan
tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona
yang lebih gelap. Tampilan jenis tutupan rawa pada citra menyerupai badan air
yaitu hitam kebiruan dengan pola kotak teratur dan terdapat rona hijau di
dalamnya. Kenampakan rawa di lapangan dan pada citra disajikan pada Gambar 9.

(a)
(b)
Gambar 9 Rawa di lapangan (a) rawa pada citra (b)
Keterangan:
: Deliniasi rawa
Lahan terbangun
Lahan terbangun merupakan seluruh kenampakan lahan yang telah tertutupi
bangunan meliputi permukiman, industri, perkantoran, jasa, bangunan
pemerintahan, bandara, dan jalan. Pada citra lahan terbangun dapat dikenali
dengan mudah. Kelas ini ditandai dengan warna violet dan merah muda keunguan.
Pada lokasi-lokasi industri, lahan terbangun memiliki pola bangunan yang jelas
karena bangunannya yang relatif besar dan mengelompok, sedangkan untuk

14
permukiman pada citra tidak memiliki pola bangunan yang jelas. Di lapangan
lahan terbangun diobservasi dengan menggunakan 2 titik. Kenampakan lahan
terbangun berupa permukiman di lapangan dan lahan terbangun berupa
permukiman pada citra ditampilkan pada Gambar 10.

(a)
(b)
Gambar 10 Lahan terbangun di lapangan (a) lahan terbangun pada citra (b)
Badan air
Jenis tutupan lahan badan air dalam wilayah DKI Jakarta terdiri atas sungai,
danau, situ, dan waduk. Kotamadya Jakarta Utara memiliki badan air terluas
dibandingkan dengan Kotamadya lain di Jakarta, beberapa waduk dan sungai
berada pada wilayah Kotamadya ini. Pada citra badan air dicirikan dengan warna
hitam kebiruan, hal ini disebabkan pada citra dengan komposit band 543, jenis
tutupan lahan badan air akan dipresentasikan dengan rona yang gelap. Gambar 11
menunjukan tampilan badan air di lapangan dan badan air pada citra.

(a)
(b)
Gambar 11 Badan air di lapangan (a) badan air pada citra (b)
Keterangan:
: Deliniasi badan air

15
Analisis Separabilitas dan Evaluasi Akurasi
Evaluasi separabilitas dan evaluasi akurasi hasil klasifikasi adalah tahapan
yang perlu dilakukan sebelum hasil klasifikasi tutupan dan penggunaan lahan
yang valid didapatkan. Menurut Jensen (2005) nilai minimum separabilitas yang
diperbolehkan adalah 1700, sedangkan nilai separabilitas di bawah 1700 dapat
dikatakan buruk. Nilai separabilitas yang buruk menunjukan kemungkinan
pertampalan antar kelas jenis tutupan lahan, atau dengan kata lain terdapat kelaskelas yang tidak dapat dibedakan nilai spektralnya. Analisis separabilitas citra
Landsat ETM+ tahun 2000 menggunakan kombinasi band 543 memiliki nilai
keterpisahan yang bernilai sangat baik dan baik. Nilai separabilitas sebagian dari
masing-masing kelas mencapai 2000, sedangkan sebagian lagi berada di atas 1900.
Jensen (2005) menyatakan bahwa nilai separabilitas di atas 1900, memiliki makna
bahwa nilai spektral kelas tersebut dapat dibedakan dengan kelas yang lainnya.
Matriks separabilitas citra Landsat tahun 2000 disajikan pada Lampiran 1.
Nilai analisis separabilitas citra Landsat ETM+ tahun 2004 menggunakan
kombinasi band 543 memberikan nilai separabilitas dominan yang sangat baik,
yaitu bernilai 2000. Separabilitas terendah sebesar 1904.5 berada antara kelas
tutupan lahan hutan kota dan rumput karena, warna di antara kedua kelas tersebut
relatif serupa. Walaupun demikian, hasil analisis separabilitas ini dapat dikatakan
bernilai baik. Matriks separabilitas citra Landsat ETM+ dengan kombinasi band
543 ini ditampilkan pada Lampiran 2.
Hasil analisis separabilitas citra Landsat tahun 2012 menunjukan nilai ratarata yang sangat baik yaitu 2000. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada kelas
dengan nilai spektral yang bertampalan. Terdapat pula nilai separabilitas sebesar
1999.9 yang mencerminkan perbedaan antara kelas hutan kota dan rawa, serta
lahan terbangun dan sawah. Nilai-nilai separabilitas tersebut menunjukan bahwa
semua kelas jenis tutupan lahan dapat dibedakan dengan baik dan tidak ada kelas
tutupan lahan yang nilai spektralnya tidak dapat dibedakan. Matriks separabilitas
citra Landsat untuk tahun 2012 disajikan pada Lampiran 3.
Akurasi dianalisis menggunakan matriks kontingensi atau confusion matrix.
Berdasarkan matriks ini akurasi dapat diketahui akurasi pengguna dan akurasi
produser yang selanjutnya digunakan dalam perhitungan akurasi overall. Matriks
kontingensi citra Landsat tahun 2012 disajikan dalam Lampiran 4. Perhitungan
akurasi klasifikasi citra tahun 2000 dan 2004 tidak dilakukan karena dalam
mengklasifikasi kedua citra tersebut digunakan informasi berdasarkan kunci
interpretasi hasil klasifikasi citra tahun 2012. Menurut Jaya (2010) overall akurasi
menghasilkan nilai yang over estimate. Nilai akurasi overall citra Landsat ETM+
tahun 2012 adalah 95.1%. Jaya (2010) kembali menyatakan, bahwa akurasi kappa
lebih dianjurkan dalam perhitungan akurasi hasil klasifikasi tutupan lahan. secara
teoritis nilai akurasi kappa yang mengindikasikan hasil klasifikasi yang baik
adalah di atas 85%. Nilai akurasi kappa pada tahun 2012 adalah sebesar 94.4%.
Nilai hasil akurasi yang tinggi ini menunjukan bahwa hasil klasifikasi dapat
digunakan dengan baik.

16
Klasifikasi Tutupan Lahan pada Citra Landsat ETM+
Citra Landsat ETM+ tahun 2000, 2004 dan 2012 diolah secara digital
menggunakan metode klasifikasi terselia atau metode supervised. Klasifikasi citra
secara digital akan mengkategorisasi semua piksel ke dalam kelas tutupan lahan
atau suatu tema tertentu secara otomatis (Purwadhi 2001). Perbedaan kenampakan
klasifikasi tutupan lahan menunjukan perbedaan kombinasi dasar nilai digital
piksel pada sifat pantulan dan pancaran spektral yang dimiliki masing-masing
jenis tutupan lahan. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+ tahun 2000 disajikan
pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta tutupan lahan tahun 2000 Provinsi DKI Jakarta

Tahun 2003 Scan Line Corrector pada Landsat 7 ETM+ mengalami
kerusakan dan mengakibatkan timbulnya stripping pada citra Landsat. Stripping
adalah area pada citra yang berbentuk garis dan kehilangan nilai pikselnya,
sehingga nilai piksel pada bagian stripping tersebut adalah 0. Stripping pada citra
Landsat dapat diperbaiki melalui proses gapfill.
Hasil penelitian Bruce dan Hilbert (2006) menunjukan bahwa perbedaan
pada citra Landsat normal dan citra Landsat yang memiliki stripping bersifat
minor, sehingga klasifikasi jenis tutupan lahan secara digital dapat dilakukan
terhadap citra Landsat tahun 2004 dan 2012. Hasil klasifikasi citra Landsat ETM+
tahun 2004 dan 2012 secara berturut- turut disajikan pada Gambar 13 dan 14.

17

Gambar 13 Peta tutupan lahan tahun 2004 Provinsi DKI Jakarta

Gambar 14 Peta tutupan lahan tahun 2012 Provinsi DKI Jakarta

Hasil klasifikasi digital yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan
penggunaan dan penutupan lahan di DKI Jakarta bahwa pada tahun 2000, 2004
dan 2012 didominasi oleh lahan terbangun sebanyak 58.79%, 68.06% dan 69.91%.
Urutan ke-2 dalam dominasi penggunaan dan penutupan lahan ditempati oleh

18
hutan kota. Lahan terbangun menunjukan pola perkembangan yang positif, pola
ini ditunjukan oleh peningkatan luasan yang terjadi antara tahun 2000, 2004 dan
2012. Pola sebaliknya terjadi pada jenis tutupan lahan hutan kota yang luasannya
berkurang antara tahun 2000, 2004 dan 2012. Gambaran dari penutupan dan
penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun 2000, 2004 dan 2012 disajikan pada
Gambar 15.
Tabel 2 Luas tutupan dan penggunaan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012
Kelas tutupan
dan penggunaan
lahan
Awan
Badan air
Bayangan awan
Lahan
terbangun
Rawa
Hutan kota
Rumput
Sawah
Total luas

Luas tutupan dan penggunaan lahan
Landsat ETM+
Landsat
Landsat
tahun 2000
ETM+ tahun 2004
ETM+ tahun 2012
Hektar
%
Hektar
%
Hektar
%
911.00
1.37
911.00
1.37
911.00
1.37
477.34
0.71
638.47
0.96
541.86
0.81
1109.70
1.67
1109.70
1.67
1109.70
1.67
39026.54
616.76
21769.26
1518.15
948.33
66377.45

58.79
0.93
32.79
2.28
1.43
100.00

45179.15
455.28
14222.82
2676.61
1184.39
66377.45

68.06
0.68
21.42
4.03
1.78
100.00

46404.76
460.93
10939.56
4926.04
1083.65
66377.45

69.91
0.69
16.48
7.42
1.63
100.00

Gambar 15 Tutupan lahan tahun 2000, 2004 dan 2012

Analisis Perubahan Tutupan Lahan
Analisis perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2004, 2004-2012 dan
2000-2012 dihitung menggunakan matrik perubahan tutupan lahan. Matrik ini
dapat memberikan informasi luas dan arah dari perubahan suatu tutupan lahan ke
tutupan lahan lainnya.
Hasil analisis menunjukan antara tahun 2000 dan 2004 terjadi perubahan
tutupan lahan hutan kota menjadi lahan terbangun seluas 8827.3 ha. Perubahan
hutan kota menjadi lahan terbangun ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk

19
DKI Jakarta yang semakin meningkat. Selain itu, kedudukannya yang khas
sebagai ibukota negara membuat DKI Jakarta mengemban tugas sebagai pusat
pemerintahan, pusat kegiatan ekonomi, perdagangan dan jasa, pusat kegiatan
sosial dan budaya, dengan sarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya dan
kesehatan. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Irwan (2005) bahwa
pembangunan yang terjadi di DKI Jakarta berjalan beriringan dengan
menyusutnya luasan hutan kota dan ruang terbuka hijau.
Hutan kota di DKI Jakarta juga mengalami penurunan fungsi ekologis
dengan berubah menjadi rumput pada rentang tahun 2000 hingga 2004,
perubahan yang terjadi sebesar 1277.4 ha (Tabel 3). Selain perubahan negatif,
terdapat juga perubahan positif terhadap luasan hutan kota melalui kegiatan
penghijauan, sebanyak 3135.9 ha lahan terbangun berubah menjadi hutan kota
selama tahun selama 4 tahun pengamatan. Sebanyak 61.3 ha badan air mengalami
perubahan menjadi lahan terbangun antara tahun 2000 dan 2004, perubahan ini
terjadi di Kotamadya Jakarta Utara melalui kegiatan pengerukan badan air oleh
Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Perubahan tutupan lahan antara tahun 2000 dan
2004 di DKI Jakarta disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2004
Tahun

2000

2004
Tutupan
Lahan (Ha)
Badan air (1)
Lahan
terbangun (2)
Rawa (3)
Hutan kota (4)
Rumput (5)
Sawah (6)
Total

1
416.0

2
61.3

-

3
-

4
-

5
-

6

Total
477.3

-

35408.2

2.7

3135.9

479.7

-

39026.5

60.6
158.5
1.4
1.9
638.4

102.5
8827.3
373.1
406.7
45179.1

390.8
61.8
455.4

54.6
10613.5
235.1
183.3
14222.8

8.2
1277.4
784.2
127.2
2676.6

830.7
124.4
229.2
1184.8

616.7
21769.2
1518.2
948.9
64356.8

Luas hutan kota yang terus berkurang dari tahun ke tahun dan pembangunan
fisik perkotaan yang semakin pesat menjadikan 2 jenis tutupan lahan ini sebagai
highlight of change dari perubahan tutupan lahan di DKI Jakarta. Kekhawatiran
terhadap ketidakseimbangan ekosistem timbul ketika pembangunan yang
dilaksanakan tidak berpihak pada lingkungan. Irwan (2005) menyatakan bahwa
perkembangan kota menyebabkan suhu di kawasan kota naik sekitar 0.4-2.1 °C.
Selain itu meningkatnya gas polutan di udara, debu, dan kebisingan juga
merupakan bagian dari kerugian yang dihadapi masyarakat karena hilangnya
ruang terbuka hijau.
Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change)
merupakan tanda dari degradasi kualitas lingkungan yang sedang terjadi di DKI
Jakarta. Permasalahan lingkungan ini dapat diminimalisir dengan menerapkan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pengembangan ruang terbuka hijau
sebagai bentuk mitigasi dan penyelesaian masalah lingkungan sudah banyak
diterapkan di beberapa Provinsi di Indonesia, termasuk Provinsi DKI Jakarta.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012, ruang
terbuka hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area memanjang/jalur

20
dan/mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Berdasarkan definisi tersebut maka jenis tutupan lahan yang termasuk dalam
ruang terbuka hijau pada hasil klasifikasi adalah hutan kota, sawah, dan rumput.
Peta degradasi ruang terbuka hijau tahun 2000 sampai dengan tahun 2004
disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Peta perubahan ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta
tahun 2000-2004
Gambar 16 menunjukan bahwa ruang terbuka hijau dengan jenis tutupan
lahan hutan kota mengalami konversi menjadi lahan terbangun dengan luasan
terbesar dan menyebar di 5 Kotamadya DKI Jakarta. Ruang terbuka hijau
berbentuk rumput di DKI Jakarta yang berada pada lokasi perumahan adalah jenis
area berumput yang termudah untuk dikonversi. Berdasarkan kenampakan pada
citra tahun 2000, area paling barat dan timur dari Kotamadya Jakarta Utara adalah
area yang masih memiliki vegetasi dan memiliki persawahan yang luas, namun
seiring berjalannya tahun 2000-2004 area tersebut banyak yang dikonversi
menjadi lahan terbangun.
Perubahan jenis tutupan lahan hutan kota menjadi bentuk lahan terbangun
dan rumput masih menjadi sorotan pada rentang tahun 2004 hingga 2012. Di
samping itu penghijauan juga terus dilakukan, tetapi hal ini tidak sepadan dengan
luasan hutan kota yang terkonversi menjadi jenis tutupan lahan lain. Lahan
terbangun di Jakarta juga terus meningkat melalui kegiatan pengerukan badan air
untuk pembangunan perkotaan di Kotamadya jakarta Utara, hal ini turut
mengurangi luasan badan air di Jakarta. Selanjutnya, jenis tutupan lahan rumput
dan sawah turut mengalami konversi menjadi lahan terbangun sebanyak 907.2 ha

21
dan 518.5 ha (Tabel 4). Perubahan tutupan lahan antara tahun 2004 dan 2012 di
DKI Jakarta disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2004-2012
Tahun

2004

2012
Tutupan
Lahan (Ha)
Badan air (1)
Lahan
terbangun (2)
Rawa (3)
Hutan kota (4)
Rumput (5)
Sawah (6)
Total

1
541.9

2
96.5

-

39757.7

541.9

55.1
5069.7
907.2
518.5
46404.8

3
-

356.7
98.7
5.1
0.4
460.9

-

4
-

5
-

6

Total
638.4

3498.3

1519.7

403.5

45179.2

31.1
6666.4
522.5
221.2
10939.6

12.4
2132.9
1093.1
167.9
4926.0

255.1
148.7
276.4
1083.7

455.3
14222.8
2676.6
1184.4
64356.8

Selama periode 2004 sampai dengan 2012, sebanyak 518.5 ha tutupan lahan
sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun, dan sebanyak 221.2 ha
sawah berubah menjadi hutan kota. Gambar 17 menunjukan konversi jenis
tutupan lahan rumput menjadi lahan terbangun terjadi di wilayah Jakarta Utara,
begitu pun dengan kelas tutupan lahan sawah di Jakarta Utara yang mengalami
pengurangan akibat pembangunan fisik kota. Perubahan hutan kota antara tahun
2004 dan 2012 lebih menuju kepada penurunan fungsi, karena sebagian besar
hutan kota berubah menjadi tutupan lahan rumput pada rentang waktu tersebut.

Gambar 17 Peta perubaha ruang terbuka hijau Provinsi DKI Jakarta
tahun 2004-2012

22
Pada interval waktu penelitian 12 tahun jenis tutupan lahan rawa, hutan
kota, rumput, dan sawah mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Hutan
kota adalah jenis tutupan lahan dengan luasan terbesar yang terkonversi menjadi
lahan terbangun, yaitu seluas 9344.0 ha. (Tabel 5). Perubahan tutupan lahan DKI
Jakarta tahun antara tahun 2000 dan 2012 disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Perubahan tutupan lahan DKI Jakarta tahun 2000-2012
Tahun

2000

2012
Tutupan
Lahan (Ha)
Badan air (1)
Lahan
terbangun (2)
Rawa (3)
Hutan kota (4)
Rumput (5)
Sawah (6)
Total

1
319.5

2
157.8

-

3
-

4
-

5
-

6

222.4
541.9

35978.9
152.5
9344.0
431.0
340.6
46404.8

372.0
85.3
2.4
1.2
460.9

2208.5
74.7
8134.9
276.1
245.4
10939.6

597.9
17.5
3438.9
707.1
164.5
4926.0

241.2
543.7
101.6
197.2
1083.7

Total
477.3
39026.5
616.7
21769.2
1518.2
948.8
64356.7

Pemerintah DKI Jakarta be