Ikat Silang Pati Sagu Dengan Gluten Untuk Meningkatkan Daya Mengembang Sagu Sebagai Bahan Utama Adonan

IKAT SILANG PATI SAGU DENGAN GLUTEN UNTUK
MENINGKATKAN DAYA MENGEMBANG SAGU
SEBAGAI BAHAN UTAMA ADONAN

ARDI PATRIADI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ikat Silang Pati Sagu
dengan Gluten untuk Meningkatkan Daya Mengembang Sagu Sebagai Bahan
Utama Adonan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Ardi Patriadi
NIM F34100045

ABSTRAK
ARDI PATRIADI. Ikat Silang Pati Sagu dengan Gluten untuk Meningkatkan
Daya Mengembang Sagu Sebagai Bahan Utama Adonan. Dibimbing oleh SAPTA
RAHARJA dan PRAYOGA SURYADARMA.
Pengikatan silang antara pati sagu dan gluten dilakukan dalam upaya
meningkatkan pemanfaatan sagu yang potensinya sangat besar di Indonesia.
Upaya pengikatan silang antara keduanya dilakukan untuk menghasilkan sagu
dengan daya mengembang yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan menghasilkan
tepung sagu yang terikatsilang dengan gluten serta mengetahui pengaruh
penambahan gluten dan suhu proses ikat silang. Penelitian dilakukan dengan
mencampur pati sagu dan gluten dengan penambahan gluten 10%, 30%, dan 50%
dari bobot sagu, baik dengan reaksi pemanasan suhu 50 dan 65 ˚C maupun tanpa
reaksi. Hasil penelitian menunjukkan tepung yang di buat dengan proses ikat
silang pada 50 ˚C dan penambahan gluten 30% (CL30P50C) memiliki swelling

power dan baking expansion terbesar yaitu 61 ± 2% dan 1.03 ml/g ± 2% dengan
derajat pengembangan sebesar 21% dari sagu murni dan kadar protein 9.44%.
Daya serap tepung terhadap air semakin meningkat dengan dilakukannya reaksi
pemanasan dan seiring ditingkatkannya penambahan gluten. Analisis FTIR
menunjukkan terjadinya ikatan silang antara pati sagu dan gluten pada produk
CL30P50C dengan menguatnya puncak spektrum inframerah ikatan C-N pada
bilangan gelombang 1158.8 cm-1.
Kata kunci: baking expansion, ikat silang, gluten, pati sagu, swelling power

ABSTRACT
ARDI PATRIADI. Crosslink of Sago Starch with Gluten to Improve Its Swelling
Capacity As Dough Material. Supervised by SAPTA RAHARJA and PRAYOGA
SURYADARMA.
Crosslink between sago starch and gluten is conducted to increase the using
of sago which has very big potential in Indonesia. The effort of the crosslink
between the two of those is to get sago product with better baking expansion. The
research aims to produce crosslinked sago flour with gluten and to know the
influence of adding the gluten content and the temperature process of the
crosslink. This research is carried out by mixing sago starch and gluten with 10%,
30%, 50% gluten adding with and without heating reaction at 50 and 65 ˚C. The

result show that flour which made by crosslink process at 50 ˚C and 30% gluten
adding has the biggest swelling power and baking expansion i.e 61 ± 2% and 1.03
ml/g ± 2% with 21% expansion degree of native starch and 9.44% protein content.
Water absorbing capacity of the flour is increasing along with gluten content
adding and heating process. Analysis of FTIR show that sago starch and gluten
was crosslinked in CL30P50C product by peak strengthening of the infrared
spectrum of the C-N bond at 1158.8 cm-1.
Keywords: baking expansion, crosslink, gluten, sago starch, swelling power

IKAT SILANG PATI SAGU DENGAN GLUTEN UNTUK
MENINGKATKAN DAYA MENGEMBANG SAGU
SEBAGAI BAHAN UTAMA ADONAN

ARDI PATRIADI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian


DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Ikat Silang Pati Sagu
dengan Gluten untuk Meningkatkan Daya Mengembang Sagu Sebagai Bahan
Utama Adonan ini berhasil diselesaikan. Kesempatan ini penulis gunakan untuk
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu mendanai
penelitian ini.
2. Bapak Dr Ir Sapta Raharja, DEA selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
Skripsi I atas nasihat dan bimbingan yang diberikan.
3. Bapak Dr Prayoga Suryadarma S.TP MT selaku Dosen Pembimbing II
Skripsi atas arahan, nasihat, dan bimbingan yang diberikan.
4. Ibu Dr Ir Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen penguji, atas arahan dan

masukan yang diberikan.
5. Ibu dan Bapakku, Ibu Maryam dan Bapak Kasino atas segala doa, keridhoan,
pengorbanan dan kasih sayang yang tidak putus selama ini.
6. Kakak-kakakku, Mas Eko, Mba Wiwik, dan Mba Iwah yang selalu
memberikan semangat dan bantuan selama Saya menjalani pendidikan di IPB
serta keponakan-keponakanku Ulya, Nadiya, Abda, Shabrina, Aisyah, Riri,
Ririn, dan Hasna yang lucu-lucu dan dapat memberi semangat dan keceriaan.
7. Para laboran di laboratorium TIN serta Bapak-Ibu yang bertugas di Unit
Pelayanan Terpadu dan Departemen TIN yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
8. Teman-teman satu bimbingan, Fairuz, Taufiq, Maya Zalena, Sugiyono, Ari
Permana, Nurul Muhibbah, dan Hijran karena telah saling menyemangati dan
membantu.
9. Teman-teman Praktik Lapangan di Indesso Aroma; Alfyandi dan Fachrizal.
10. Teman-teman Wisma Komando Bateng.
11. Teman-teman TINagers, semoga ilmu yang kita dapatkan di TIN bermanfat.
Semoga Allah membalas kebaikan kalian dan memberi keberkahan atas ilmu
dan rezeki yang didapat.
Penulis berharap agar karya ilmiah ini bermanfaat bagi berbagai pihak.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian

dan penyusunan karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan.
Bogor, Februari 2015
Ardi Patriadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Hipotesis

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian


2

Ruang Lingkup Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3

Alat

3

Tahapan Penelitian


3

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Karakteristik Bahan Baku

5

Karakteristik pati sagu

5

Karakteristik tepung gluten gandum

6

Pembuatan Tepung Sagu-Gluten


7

Sifat Tepung Sagu Termodifikasi

9

Swelling power

9

Daya serap tepung terhadap air

10

Suhu gelatinisasi

11

Baking expansion


12

Analisa spektrum inframerah

12

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Rancangan pembuatan produk tepung sagu-gluten
Karakteristik fisikokimia pati sagu
Komposisi kimia tepung gluten gandum
Kadar protein produk tepung sagu-gluten
Interpretasi puncak spektrum inframerah sagu murni, SCG30, dan
CL30P50C

4
6
7
9
13

DAFTAR GAMBAR
1 Tahapan penelitian
2 Proses ikat silang pati sagu-gluten
3 Swelling power sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu pada suhu 70 ˚C
4 Daya serap sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu terhadap air
5 Suhu gelatinisasi sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu
6 Baking expansion sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu
7 Spektrum inframerah sampel pati sagu murni, SCG30, dan CL30P50C
8 Spektrum inframerah sagu murni, SCG30, dan CL30P50C pada daerah
ikatan C-N
9 Spektrum inframerah sagu murni, SCG30, dan CL30P50C pada daerah
gugus karbonil (C=O)

3
5
10
11
11
12
13
15
15

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Prosedur karakterisasi pati sagu
Prosedur pengujian produk
Data swelling power sampel
Data daya serap sampel terhadap air
Data suhu gelatinisasi sampel
Data baking expansion

19
21
22
23
24
25

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sagu (Metroxylon sp.) memiliki potensi pemanfaatan yang sangat besar
karena 60% luas tanaman sagu dunia berada di Indonesia (Arisanti 2014).
Persebaran tanaman sagu di Indonesia mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, hingga Papua. Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau memiliki
sekitar 45.000 ha tanaman sagu yang 44%-nya merupakan semi budidaya
(Arisanti 2014). Menurut Ditjen Bina Produksi Pertanian (2003), Papua memiliki
potensi produksi sagu hingga 6 juta ton dengan produktivitas 9 ton/ha.
Potensi sagu yang besar ini tidak diiringi dengan pemanfaatannya secara
optimal. Di Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua, sagu
hanya dijadikan makanan tradisional padahal ketersediaannya sangat berlimpah.
Banyak pohon sagu yang mati dan rusak oleh usia sehingga tidak termanfaatkan
dengan baik. Menurut Kertopermono dalam Limbongan (2007) sekitar 300 000 ha
sagu produktif siap panen yang ada di Papua hanya termanfaatkan kurang dari 1%
dan sisanya rusak atau mati. Belum adanya upaya yang riil dalam
mengembangkan potensi sagu membuat tanaman sagu sedikit termanfaatkan.
Salah satu alasan masih kurangnya pemanfaatan sagu karena sagu memiliki
kelemahan dalam hal baking properties dan menurut Breemer (2012) kelemahan
sagu yaitu kurangnya kandungan protein. Sagu tidak dapat dibuat adonan yang
baik, tidak dapat mengembang atau biasa disebut bantat. Hal yang membuat sagu
sangat berbeda dengan terigu yaitu pada kandungan proteinnya. Menurut
Limbongan (2007) sagu memiliki kandungan protein yang sangat kecil sekitar
0.18–0.25%. Hal ini berbeda dengan terigu yang memiliki kandungan protein 8 –
14% yang mayoritas adalah gluten, sementara itu menurut Wieser (2007)
kandungan glutennya mengandung protein sebesar 75–85% serta 5–10% lipid.
Menurut Wieser (2007) gluten pada terigu memiliki peran kunci dalam
menentukan kualitas adonan, kohesifitas, dan kapasitas penyerapan air. Adonan
terigu dapat bersifat elastis, kuat, dan mudah mengembang dengan adanya gluten
sehingga memiliki baking properties yang baik.
Permasalahannya, terigu merupakan komoditi impor. Australia menjadi
negara importir gandum dan terigu terbesar yaitu sekitar 70%, Kanada 15%, dan
Amerika Serikat sekitar 11%, sisanya yaitu India, Pakistan, Turki, dan Rusia.
Pengembangan potensi sagu ini sangat tepat dengan diwacanakannya penghentian
impor gandum oleh Pemerintah yang menilai impor gandum bukanlah terkait
pemenuhan kebutuhan pangan nasional, namun sekedar monopoli dan bisnis yang
menghambat berkembangnya kedaulatan pangan di Indonesia (Koran Jakarta
2014).
Salah satu cara mengatasi permasalahan yang terjadi pada kurangnya
pemanfaatan sagu di Indonesia yaitu dengan membuat sifat sagu menjadi seperti
terigu. Penelitian Chowdary dan Udaya (2009) tentang ikatan silang antara pati
dan urea juga menjadi acuan dalam menentukan metode penelitian ini. Pengikatan
silang antara pati dan urea tersebut menunjukkan gugus amina pada urea dapat
mensubstitusi gugus hidroksil pada monomer pati.

2
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa gugus amina pada gluten juga dapat
diikatsilangkan pada pati sagu. Ikat silang antara pati sagu dan gluten itulah yang
nantinya diharapkan menghasilkan sagu dengan karakteristik yang baik
menyerupai terigu.

Perumusan Masalah
Pencampuran sagu dan gluten untuk membuat suatu adonan memang dapat
dilakukan sebagai suatu bahan, namun campuran tersebut memiliki kelemahan
yaitu ketidakhomogenan keduanya karena perbedaan massa jenis, bobot molekul,
ukuran partikel, dan kelarutannya terhadap suatu pelarut. Untuk
menghomogenkan keduanya diperlukan suatu perlakuan menggunakan pelarut
dan pemanasan. Pelarut yang digunakan harus memiliki kemampuan melarutkan
keduanya dalam suatu suspensi. Untuk itu, reaksi pencampuran ini menggunakan
larutan CaCl2 karena gluten merupakan protein yang larut dalam basa. Sementara
itu, untuk melarutkan pati dalam suspensi diperlukan pemanasan karena pati sagu
tidak larut dalam air dingin. Pemanasan yang digunakan dalam penelitian ini pun
berada di bawah suhu gelatinisasi pati sagu yaitu 50 ˚C dan 65 ˚C. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kerusakan granula pati atau lisisnya granula pati dan
kerusakan protein gluten. Penambahan larutan CaCl2 dan pemanasan tersebut
dilakukan untuk menghomogenkan keduanya hingga keduanya berikatan silang.
Pengeringan produk pun dilakukan pada suhu di bawah suhu gelatinisasi yaitu 65
˚C setelah dilakukan dekantasi dan pengistirahatan pada suhu ruang.

Hipotesis
Pengikatan silang pati sagu dan gluten akan meningkatkan swelling power
dan baking expansion. Selain itu, ikat silang pati sagu dengan gluten terjadi
melalui mekanisme substitusi yang dilakukan gugus amina pada gluten terhadap
gugus fungsi pada pati sagu sehingga terjadi ikatan antara gugus amina dan atom
C pati. Seiring ditingkatkannya persentase gluten dalam pengikatan silang antara
keduanya akan meningkatkan pula swelling power dan daya serap tepung terhadap
air.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan tepung sagu terikatsilang dengan
gluten dan mengetahui pengaruh penambahan gluten dan pengaruh suhu
pemanasan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang salah satu
upaya memanfaatkan potensi sagu sebagai bahan pangan pengganti terigu yaitu
dengan mengikatsilangkan pati sagu dan gluten dengan reaksi pemanasan dalam
larutan basa.

3

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini antara lain karaktearisasi bahan baku,
pembuatan produk pati sagu-gluten dengan tiga tingkat penambahan gluten dalam
pati sagu (10%, 30%, dan 50%) tanpa dan dengan ikat silang serta karakterisasi
produk yang meliputi swelling power, suhu gelatinisasi, daya serap terhadap air,
baking expansion serta konfirmasi ikat silang yang terjadi pada produk
menggunakan uji FTIR (Fourier Transform Infra Red).
METODE
Bahan
Pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pati sagu murni
yang berasal dari pabrik ekstraksi batang sagu yang berada di Kedunghalang,
Tanah Baru, Bogor. Bahan yang digunakan dalam proses ikat silang pati sagu
dengan gluten yaitu tepung gluten gandum, CaCl2 dan akuades.
Alat
Alat utama yang digunakan dalam proses ikat silang pati sagu dengan gluten
antara lain water bath, seperangkat agitator, pengering blower, termometer, dan
gelas piala. Alat lain yang digunakan antara lain oven, centrifuge, neraca analitik,
crusher, loyang alumunium, plastik PE, dan instrumen FTIR.

Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada Juni–Oktober 2014. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan penelitian

4
Karakterisasi bahan baku (Sagu dan gluten)
Karakterisasi bahan baku dilakukan dengan uji proksimat untuk mengetahui
kualitas pati sagu dan gluten meliputi komposisi kimia dan karakteristik
fisikokimia keduanya. Pengujian kualitas pati sagu yang dilakukan adalah
pengujian komposisi kimia yang meliputi kadar air dengan metode oven, kadar
abu, dan kadar lemak dengan metode ekstraksi soxhlet, kadar protein dengan
metode Kjeldahl, dan kadar karbohidrat dengan metode by difference (AOAC
2005). Prosedur uji proksimat pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rancangan pembuatan produk
Pembuatan tepung campuran pati sagu-gluten dilakukan tanpa dan dengan
reaksi pemanasan dalam larutan basa. Perlakuan tanpa reaksi dilakukan hanya
dengan mencampur pati sagu dengan gluten dengan komposisi yang telah
ditentukan menggunakan blender tanpa adanya perlakuan suhu dan penambahan
bahan lainnya, sedangkan perlakuaan menggunakan reaksi dilakukan dengan
pemanasan suhu 50 dan 65 ˚C serta penambahan larutan kalsium klorida dengan
konsentrasi 2%. Rancangan pembuatan tepung campuran sagu-gluten tanpa dan
dengan reaksi pemanasan secara ringkas disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rancangan pembuatan tepung sagu-gluten
Perlakuan
Tanpa reaksi
Melalui
reaksi

Penambahan gluten ke dalam pati sagu
10%
30%
50%
SCG10
SCG30
SCG50
CL10P50C
CL30P50C
CL50P50C
CL10P65C
CL30P65C
CL50P65C

Suhu Reaksi
50 ˚C
65 ˚C

Proses Ikat Silang Sagu-Gluten
Proses pengikatan silang dilakukan dengan reaksi pemanasan pati di bawah
suhu gelatinisasinya dalam larutan basa. Pati sagu dicampur gluten dengan
konsentrasi gluten yang telah ditentukan (10%, 30%, dan 50% dari bobot sagu)
hingga merata. Campuran tersebut kemudian ditambahkan akuades dengan
volume 1.2 kali bobot campuran pati sagu dan gluten. Setelah itu, suspensi diaduk
dengan kecepatan 30 rpm sambil dipanaskan dalam water bath pada suhu yang
telah ditentukan (50 ˚C atau 65 ˚C) lalu ditambahkan larutan CaCl2 dengan
konsentrasi 2%. Volume larutan CaCl2 yang ditambahkan sebanding dengan
bobot campuran pati sagu dan gluten. Setelah suhu dalam suspensi mencapai
kestabilan, pengadukan dan pemanasan dilanjutkan hingga 10 menit. Setelah itu
suspensi diendapkan dan didinginkan pada suhu ruang. Endapan dikeringkan
dalam pengering blower dengan suhu 65 ˚C selama 16–18 jam. Kemudian
endapan yang telah kering ditepungkan hingga halus. Proses selengkapnya
disajikan dalam diagram alir pada Gambar 2.

5

Gambar 2 Proses ikat silang pati sagu-gluten

Pengujian dan analisis produk
Pengujian produk dilakukan dengan menguji swelling power, daya serap
tepung terhadap air, suhu gelatinisasi, dan baking expansion serta uji FTIR untuk
mengetahui gugus fungsi yang terbentuk dengan dilakukannya reaksi pemanasan
dan ditambahkannya gluten ke dalam pati sagu. Prosedur pengujian produk
terdapat pada Lampiran 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bahan Baku
Karakteristik pati sagu
Analisa fisikokimia sagu dilakukan untuk mengetahui karakteristik sagu
yang akan digunakan dalam penelitian. Karakterisasi penting dilakukan untuk

6
mengetahui mutu dan kondisi bahan sebelum diproses agar perlakuan yang
diberikan tidak merusak bahan dan sesuai harapan. Analisa yang dilakukan
meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat.
Karakteristik fisikokimia pati sagu disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik fisikokimia pati sagu
No.

Parameter

1
2
3
4
5

Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar lemak kasar (%)
Kadar protein kasar (%)
Kadar karbohidrat by
difference (%)
Suhu gelatinisasi (˚C)

6

Hasil
uji
14.76
0.21
0.60
1.14
83.29

Jading et al.
(2011)
13.96
0.20
0.76
0.46
84.89

71.50

71.50

Yuliasih et al.
(2007)
14.08
0.20
0.51
1.82

Kadar air pati sagu hasil pengujian memiliki persentase yang lebih besar
dari pati sagu yang diuji oleh Jading et al. (2011) dengan pengeringan secara
konvensional dan sagu yang diuji oleh Yuliasih et al. (2009). Kadar abu yang
diuji tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan yaitu sekitar 0.20–0.21%.
Kadar lemak pati sagu kurang dari 1%, kadar protein sebesar 1.14% dan diperoleh
kadar karbohidrat melalui by difference sebesar 83.29%.
Secara umum, pati sagu yang dikeringkan secara konvensional memiliki
suhu gelatinisasi yang sama yaitu sekitar 65–71 ˚C. Suhu 65 ˚C merupakan suhu
pada saat pati sagu mulai tergelatinisasi sedangkan 71 ˚C merupakan puncak
gelatinisasi. Menurut Radley (1976) dalam Jading et al. (2011) struktur dan
ukuran granula pati sagu berkaitan dengan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi
yang tidak berbeda antara sampel yang diuji dengan literatur menunjukkan bahwa
pati sagu memiliki kualitas yang baik untuk digunakan dalam penelitian.
Karakteristik tepung gluten gandum
Karakteristik kimia tepung gluten gandum yang diuji antara lain kadar air,
kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein yang disajikan pada Tabel 3.
Kadar air tepung gluten yang digunakan memiliki kadar air yang cukup
tinggi jika dibandingkan dengan kadar air pada Cloudualdo et al. (1994) yaitu
sebesar 9.18%. Hal tersebut terjadi karena menurut Wieser (2007) gluten memiliki
kapasitas penyerapan air yang cukup baik sehingga pada proses produksinya
memungkinkan terjadinya penyerapan air yang banyak disamping metode
produksi tepung gluten yang digunakan. Cloudualdo et al. (1994) menunjukkan
bahwa gluten dengan kadar air yang cukup tinggi hingga 8.20% merupakan gluten
yang diproduksi menggunakan metode flash dried.
Kadar abu tepung gluten gandum yang hasil uji relatif lebih kecil dari kadar
abu gluten pada Cloudualdo et al. (1994) yang dibuat dengan metode flash dried.
Sementara itu, kadar lemak gluten hasil uji relatif jauh lebih besar dari gluten
yang diproduksi menggunakan metode flash dried pada Cloudualdo et al. (1994).
Kadar protein gluten yang digunakan dalam penelitian ini lebih besar 1.25%
dari gluten yang dihasilkan dengan metode flash dried pada Cloudualdo et al.

7
(1994). Sedangkan menurut Wieser (2007) gluten mengandung protein sebesar 75
– 85% yang terbentuk dari dua komponen terbesarnya yaitu gliadin dan glutenin.
Tabel 3 Komposisi kimia tepung gluten gandum
No. Komponen
1
2
3
4

Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Kadar lemak (%)
Kadar protein (%)

Hasil uji
9.18
0.62
4.55
70.25

Clodualdo et al.
(1994)
8.20
1.00
1.80
69.00

Pembuaatan Tepung Sagu-Gluten
Proses ikat silang pati sagu-gluten dilakukan dalam gelas piala dengan
sumber panas berasal dari water bath. Prosesnya yaitu gluten gandum
dicampurkan ke dalam pati sagu dengan perbandingan yang telah ditentukan (10%,
30%, dan 50% dari bobot sagu) dan ditambahkan akuades. Setelah itu dilakukan
pengadukan dengan kecepatan 30 rpm disertai pemanasan dengan suhu yang telah
ditentukan yaitu 50 ˚C atau 65 ˚C. Sesaat setelah dilakukan pemanasan, larutan
CaCl2 dengan konsentrasi 2% dimasukkan ke dalam suspensi sagu-gluten.
Volume larutan CaCl2 yang digunakan sebanding dengan bobot campuran sagugluten.
Penambahan akuades dilakukan untuk memudahkan pengadukan bahan dan
distribusi panas di dalam reaktor. Sementara itu penambahan larutan CaCl2
dilakukan dalam upaya melarutkan gluten dalam air. Pemanasan di bawah suhu
gelatinisasi dilakukan hanya untuk melemahkan atau menurunkan interaksi
hidrogen dalam pati sehingga struktur pati menjadi lebih amorf dan mudah
dimasuki oleh air, tidak sampai membuat granula pati lisis. Melemahnya ikatan
hidrogen memungkinkan gluten yang terlarut ikut masuk ke dalam granula pati
bersama air.
Proses pemanasan pada suspensi sagu-gluten ini berlangsung selama 10
menit dihitung sejak stabilnya suhu suspensi sagu-gluten dalam reaktor.
Penentuan lamanya reaksi dilakukan dengan pertimbangan bahwa semakin lama
proses pemanasan dengan air berlebih dilakukan, semakin banyak pula air yang
terserap dan membuat granula pati rentan dengan kerusakan sebagaimana menurut
Salim dan Widya (2015) yang mengatakan bahwa penyerapan air semakin banyak
seiring peningkatan waktu perendaman bahan.
Setelah itu, suspensi didekantasi untuk memisahkan endapan pati-gluten dan
larutan sisa proses (residu). Dekantasi dilakukan pada suhu ruang hingga
campuran sagu-gluten mengendap. Bersamaan dengan itu, suhu campuran sagugluten diturunkan perlahan-lahan hingga suhu ruang sebelum dikeringkan dalam
oven blower.
Residu dari proses dekantasi berupa larutan dengan warna keruh kekuningan.
Muncul dugaan bahwa larutan tersebut masih banyak mengandung protein terlarut.
Uji biuret terhadap larutan tersebut menunjukkan warna ungu atau positif

8
mengandung protein. Dengan demikian diketahui bahwa terjadi kehilangan
protein dengan dilakukannya proses ini.
Selanjutnya pengeringan dilakukan dalam oven blower dengan suhu 65 ˚C
selama 16–18 jam. Setelah kering, campuran pati sagu-gluten menjadi agak
kekuningan yang menandakan terjadinya reaksi Maillard. Menurut Aminah dan
Joko (2010) reaksi Maillard terjadi karena reaksi antara asam amino dan gula
pereduksi dengan bantuan panas. Hal ini sering terjadi pada pengeringan bahan
yang mengandung protein dan gula seperti umbi-umbian yang diolah dengan
pemanasan. Sementara itu menurut Yokotsuka (1986) dalam Rosida et al. (2011)
reaksi Maillard terjadi karena gugus karbonil (C=O) dari gula bereaksi dengan
asam amino, sedangkan menurut Palupi et al. (2007) reaksi Maillard terjadi
melalui ikat silang antara protein dan gugus karbonil atau dikarbonil pada gula
pereduksi yang terbentuk.
Selanjutnya penepungan dilakukan dengan menggunakan crusher setelah
campuran pati-gluten kering didiamkan hingga mencapai suhu ruang. Tepung
yang telah halus kemudian dikemas dalam plastik polietilen. Setelah itu, tepung
diuji kadar proteinnya untuk mengetahui banyaknya protein yang tersisa setelah
dilakukannya proses pemanasan dan pengeringan yang menyebabkan reaksi
Maillard.
Selain tepung yang dibuat dengan reaksi pemanasan dalam larutan basa,
dibuat pula tepung tanpa reaksi yang dibuat hanya dengan mencampur gluten ke
dalam pati sagu berdasarkan persentase yang telah ditentukan (10%, 30%, dan
50% dari bobot sagu) sebagai pembanding. Pencampuran dilakukan menggunakan
blender dalam kondisi kering.
Pencampuran gluten ke dalam sagu tanpa proses ikat silang dapat
meningkatkan kandungan protein tepung sagu-gluten. Semakin besar kadar
penambahan gluten ke dalam sagu, semakin besar pula kadar proteinnya (Tabel 4).
Hal tersebut terjadi karena gluten yang digunakan sudah memiliki kadar protein
yang cukup tinggi yaitu sebesar 70.25%.
Tabel 4 juga menunjukkan perbandingan kadar protein tepung yang dibuat
tanpa dan dengan reaksi pemanasan dalam larutan basa (ikat silang). Tepung yang
dihasilkan dari proses pemanasan dalam larutan basa (ikat silang) memiliki kadar
protein yang relatif lebih kecil dari tepung yang dihasilkan hanya dengan
pencampuran. Selain itu, tepung sagu-gluten hasil ikat silang mengalami
penurunan kadar protein yang semakin besar dengan ditingkatkannya konsentrasi
penambahan gluten. Penurunan kadar protein terbesar terjadi pada tepung yang
dihasilkan dengan proses pemanasan 65 ˚C dan penambahan gluten 50%
(CL50P65C) yaitu sebesar 14.16%.
Hilangnya protein pada tepung dengan reaksi pemanasan dalam larutan basa
(ikat silang) semakin besar dengan banyaknya penambahan gluten ke dalam sagu.
Hal tersebut terjadi karena semakin besar bobot sagu-gluten yang direaksikan,
semakin besar pula volume pelarut basa yang digunakan sehingga banyak protein
yang terlarut dalam larutan tersebut dan tidak digunakan lagi setelah proses
dekantasi. Selain itu, reaksi Maillard juga dapat mengurangi kadar protein yang
terkandung dalam tepung karena sebagian protein tersebut bereaksi dengan gugus
karbonil (C=O) yang berasal dari gula pereduksi pada pati saat proses
pengeringan. Kejadian ini menunjukkan bahwa tepung dapat mengalami

9
kehilangan protein sebanyak dua kali yaitu ketika larutan residu dibuang dan
pengeringan dalam oven blower.
Tabel 4 Kadar protein produk tepung sagu-gluten
Penambahan
gluten (% dari
bobot sagu)
10
30
50

Tepung tanpa
proses pemanasan
7.42
17.04
24.18

Kadar protein (%)
Tepung dengan
pemanasan 50 ˚C
4.67
9.44
12.28

Tepung dengan
pemanasan 65 ˚C
5.25
7.86
10.02

Sifat Tepung Sagu Termodifikasi
Analisa yang dilakukan terhadap produk meliputi analisa swelling power,
daya serap produk terhadap air, suhu gelaitinisasi, baking expansion dan analisa
gugus fungsi menggunakan uji FTIR (Fourier Transform Infra Red).
Swelling power
Uji swelling power pada suhu 70 ˚C menunjukkan peningkatan dengan
dilakukannya proses ikat silang. Penambahan kadar gluten ke dalam sagu tanpa
adanya proses ikat silang tidak dapat meningkatkan swelling power sagu. Masingmasing perlakuan memiliki swelling power terbesar pada produk dengan
penambahan gluten 30% dari bobot sagu sedangkan swelling power terbesar dari
seluruh perlakuan terdapat pada produk yang dibuat dengan reaksi pemansan 50
˚C dan penambahan gluten 30% dari bobot sagu (CL30P50C) (Gambar 3). Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya proses perebusan pati sagu-gluten di bawah
suhu gelatinisasi menghasilkan pati yang memiliki daya mengembang lebih besar
daripada sagu murni dan sagu-gluten dengan hanya pencampuran tanpa reaksi
pemanasan.
Menurut Hapsari et al. (2011) perebusan memberikan pemanasan yang
menyebabkan penyerapan air ke dalam granula pati hingga glanula membengkak
dan ikatan hidrogen dalam granula melemah. Granula yang telah membengkak
oleh pemanasan memiliki ukuran yang lebih besar daripada pati murni. Selain itu,
adanya perlakuan perebusan dan pengeringan memudahkan granula pati
mengembang dengan maksimal. Hal itulah yang menjadikan pati dengan proses
tersebut mudah dan cepat mengembang serta memiliki swelling power yang tinggi.
Penambahan gluten dan reaksi pemanasan dapat meningkatkan swelling
power karena antara gluten dan pati terbentuk matriks yang memerangkap granula
pati lainnya yang menyerap air sehingga saat diberi pemanasan 70 ˚C (uji swelling
power) granula pati dapat mengembang maksimal namun tidak sampai pecah dan
larut air. Syamsir (2011) menyatakan bahwa matriks akan terbentuk oleh ikatan
silang antar polimer gluten, antar polimer pati, dan interaksi keduanya kemudian
matriks memerangkap pati dalam berbagai bentuk baik pati yang membengkak
maupun yang tergelatinisasi.

10

Gambar 3 Swelling power sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu pada suhu 70 ˚C
Penambahan gluten sebesar 30% dari bobot sagu memberikan swelling
power tertinggi yang menunjukkan penambahan kadar gluten yang optimal. Pada
titik tersebut penyerapan air oleh pati terjadi secara maksimal di samping
penggunaan air oleh gluten dan pati sagu juga optimal dalam membentuk matriks.
Kemampuan pati dalam menyerap air yang dapat mempengaruhi daya
mengembang itulah yang disebut dengan kapasitas hidrasi pati. Menurut Bertolini
et al. (2001) dalam Tethool et al. (2012) pati dengan kapasitas hidrasi yang tinggi
mampu mengikat air lebih banyak dan mengembang lebih besar. Hal tersebut
dikarenakan besarnya penguapan air dalam granula dan tekanan saat pemanasan.
Sementara itu, penambahan gluten lebih dari 30% hingga 50% dari bobot sagu
menyebabkan penurunan swelling power. Hal tersebut terjadi karena pada produk
tersebut terdapat kelebihan gluten yang tinggi sehingga penyerapan air lebih
banyak dilakukan oleh gluten daripada pati dan menyebabkan hidrasi oleh granula
pati tidak maksimal. Data swelling power dapat dilihat pada Lampiran 3.
Daya serap tepung terhadap air
Daya serap terhadap air dari sampel semakin besar dengan dilakukannya
proses pemanasan pada pati sagu-gluten dalam larutan basa dan seiring
penambahan kadar gluten pada setiap perlakuan (Gambar 4). Peningkatan daya
serap terhadap air disebabkan kandungan gluten yang mampu menyerap air lebih
besar untuk membentuk matriks bersama pati. Setelah matriks terbentuk, air juga
terperangkap di dalam matriks bersama pati.
Kemampuan pati menyerap air juga disebabkan oleh proses pemanasan
dengan air berlebih yang diberikan. Menurut Puung (2012), interaksi hidrogen
intra dan intermolekul antar amilosa, amilosa dan amilopektin, maupun antar
amilopektin diturunkan oleh energi panas yang diberikan. Interaksi hidrogen
dalam pati yang melemah tersebut memungkinkan granula dapat menyerap air
lebih banyak dibandingkan dengan pati yang tidak dilakukan proses pemanasan
dalam air.

11
Peningkatan daya serap terhadap air seiring peningkatan penambahan kadar
gluten memiliki kecendrungan yang sama dengan swelling power produk dengan
penambahan gluten 10 dan 30% di setiap perlakuan. Hal ini menunjukkan
pengembangan produk yang besar disebabkan kemampuan produk tersebut
mengikat air yang besar pula. Data daya serap tepung terhadap air disajikan pada
Lampiran 4.

Gambar 4

Daya serap sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu terhadap air

Suhu gelatinisasi
Peningkatan suhu gelatinisasi terjadi seiring penambahan kadar gluten pada
setiap perlakuan, namun tidak ada perbedaan suhu gelatinisasi yang signifikan
antar perlakuan (Gambar 5). Peningkatan suhu gelatinisasi seiring penambahan
persentase gluten disebabkan energi panas yang dibutuhkan untuk
menggelatinisasikan pati juga digunakan oleh gluten sehingga energi yang
dibutuhkan lebih besar dan suhu gelatinisasinya lebih tinggi. Data lengkap suhu
gelatinisasi tepung disajikan pada Lampiran 5.

Gambar 5

Suhu gelatinisasi sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan reaksi
pemanasan serta tepung terigu

12

Baking expansion
Menurut Demiate et al. (2000) baking expansion merupakan sifat adonan
yang dinyatakan dalam volume spesifik dengan membagi volume dengan massa
hasil panggangan (ml/g). Nilai terbesar ditunjukkan oleh produk yang dibuat
dengan ikat silang bersuhu 50 ˚C, sedikit lebih kecil dari tepung terigu dengan
selisih 0.04 ml/g dan lebih besar dari sagu murni dengan selisih 0.18 ml/g
(Gambar 6). Nilai baking expansion tersebut menunjukkan derajat pengembangan
sebesar 21% dari sagu murni. Data baking expansion disajikan pada Lampiran 6.
Peningkatan volume spesifik atau baking expansion tersebut disebabkan
oleh peningkatan kapasitas hidrasi pati sagu atau daya serap terhadap air.
Peningkatan kapasitas hidrasi menyebabkan jumlah air terikat pada matriks patigluten semakin banyak. Menurut Bertolini et al. (2001) dalam Tethool et al.
(2012) pati dengan kapasitas hidrasi yang tinggi mampu mengikat air lebih
banyak sehingga dapat mengembang lebih besar karena besarnya penguapan air
dan tekanan dari dalam bahan selama proses pemanggangan.

Gambar 6 Baking expansion sagu murni, sagu-gluten tanpa dan dengan
reaksi pemanasan serta tepung terigu
Analisa spektrum inframerah
Uji FTIR (Fourier Transform Infra Red) dilakukan untuk mengetahui gugus
fungsi yang terbentuk dan perubahan yang terjadi pada struktur pati setelah reaksi
pemanasan dan penambahan gluten. Sampel yang digunakan dalam uji FTIR ini
antara lain sampel sagu murni, SCG30 dan CL30P50C. Hal yang mendasari
penggunaan sampel SCG30 dan CL30P50C tersebut karena masing-masing
mewakili sampel tepung yang dibuat tanpa dan dengan reaksi ikat silang serta
memiliki nilai swelling power terbesar.
Terdapat tujuh buah puncak spektrum sampel yang dianalisa dari diuji FTIR
(Gambar 7). Gugus yang ditunjukkan oleh puncak ketiga sampel tersebut antara
lain OH pada bilangan gelombang 3650–3100 cm-1, C-H pada 2940–2920 cm-1

13
dan 1470–1460 cm-1, C-O pada 1080 cm-1, C=O pada 1659–1650 cm-1 serta C-N
pada 1167–1159 cm-1 kecuali ikatan N-H pada 2362–2360 cm-1 yang hanya ada
pada sampel SCG30 dan CL30P50C (Tabel 5).

Gambar 7 Spektrum inframerah sampel sagu murni, SCG30, dan CL30P50C
Tabel 5 Interpretasi puncak spektrum inframerah sampel sagu murni, SCG30,
dan CL30P50C

Sampel
Sagu
murni
SCG30
CL30P50C
Keterangan

Transmitan
(%)

3650
3100
4.0

Bilangan gelombang (cm-1)
2940 2362 1659 1080 1470
2920 2360 1650
1460
6.8
19.6 2.7
7.0

1167

1159
2.9

3.0
3.0
OH

8.1
8.5
C-H

2.9
2.8
C-N

94
97
NH

13.7
8.2
C=O

2.6
2.2
C-O

8.0
9.0
C-H

Berkurangnya kuantitas ikatan C-H pada panjang gelombang 2940–2920
cm dan 1470–1460 cm-1 menunjukkan terjadinya pelepasan hidrogen dalam
granula pati karena adanya proses pemanasan. Menurut Puung (2012) energi
panas mampu menurunkan interaksi hidrogen inter dan intra molekul antar
amilosa, amilosa dengan amilopektin maupun antar amilopektin. Adanya
penurunan interaksi hidrogen dalam pati hingga ikatannya melemah dan terjadi
pelepasan hidrogen memudahkan granula pati dimasuki oleh air saat reaksi
berlangsung.
Sementara itu puncak spektrum inframerah pada bilangan gelombang 2362–
2360 cm-1 menunjukkan ikatan NH sebagaimana dalam Butoliya (2010) bahwa
ikatan NH ditunjukkan oleh bilangan gelombang 2362–2379 cm-1. Puncak
spektrum inframerah tersebut mengalami pelemahan setelah campuran sagugluten dilakukan pemanasan dalam larutan basa (ikat silang). Melemahnya puncak
spektrum inframerah ikatan NH dapat digunakan untuk menunjukkan terjadinya
penurunan kadar protein pada sampel.
-1

14
Selain terjadinya pelemahan puncak spektrum inframerah yang
menunjukkan berkurangnya kuantitas suatu gugus fungsi, terjadi pula penguatan
puncak spektrum inframerah sampel setelah dilakukan proses pemanasan pati
sagu-gluten dalam larutan basa (ikat silang) ditandai dengan peningkatan
persentase absorbansi (berkurangnya persentase transmitan). Peningkatan
persentase absobansi sampel terjadi pada ikatan C-N, gugus hidroksil (OH), C-O
dan karbonil (C=O).
Puncak spektrum inframerah yang menguat pada bilangan gelombang
1158.8 cm-1 mengindikasikan terjadinya penambahan kuantitas ikatan C-N pada
tepung atau pengikatan antara pati sagu dan gluten (Gambar 8). Sampel campuran
sagu-gluten tanpa reaksi (SCG30) memiliki ikatan C-N yang hanya berasal dari
gluten saja, sedangkan sampel yang dihasilkan dengan reaksi pemanasan
(CL30P50C) memiliki ikatan C-N yang berasal dari gluten dan ikatan antara sagugluten. Mekanisme pengikatan keduanya yaitu dengan substitusi yang dilakukan
oleh gugus NH gluten terhadap gugus OH pada atom C2 pati sehingga
menghasilkan ikatan C-N antara pati dan gluten. Selain itu, adanya reaksi Maillard
ketika pengeringan juga memungkinkan terjadinya ikat silang antara gugus
karbonil (C=O) yang terbentuk pada pati dengan protein sebagaimana menurut
Yokotsuka (1986) dalam Rosida et al. (2011) sehingga menambah jumlah ikatan
C-N yang terbentuk.
Sementara itu, meningkatnya gugus hidroksil (OH) berdasarkan spektrum
inframerah sampel mengindikasikan peningkatan kadar air. Hal tersebut juga
ditunjukkan dengan peningkatan ikatan C-O. Ikatan tersebut menunjukkan
terjadinya penyerapan air oleh pati sehingga membentuk gugus C-OH dan
menyebabkan struktur pati menjadi lebih amorf. Menurut Sukardi et al. (2012)
proses perendaman pati dapat meningkatkan kemampuan pati dalam menahan air
melalui ikatan hidrogen, sedangkan suhu berperan terhadap penetrasi air masuk ke
dalam pati. Sementara itu, Salim dan Widya (2015) menyatakan bahwa bahan
dengan kandungan pati jika dilakukan perendaman akan menyerap air lebih
banyak seiring peningkatan waktu perendaman.
Terbentuknya gugus karbonil (C=O) dengan jumlah yang lebih banyak
ditunjukkan puncak spektrum inframerah pada bilangan gelombang 1659 – 1650
cm-1 (Gambar 9). Hal tersebut terjadi pada campuran sagu-gluten dilakukan proses
ikat silang. Menurut Wang dan Wang (2003) gugus karbonil berkontribusi
terhadap kapasitas hidrasi pati sagu, begitu pula gugus karboksil (-COOH) yang
terbentuk dari gugus OH, C-O, dan C=O. Peningkatan kapasitas hidrasi sagu
menurut Bertolini et al. (2001) dalam Tethool et al. (2012) menyebabkan jumlah
air yang terikat dalam pati semakin banyak dan mempengaruhi daya mengembang
pati.
Gugus karbonil (C=O) yang terbentuk selain berperan dalam kapasitas
hidrasi pati juga berperan dalam proses ikat silang yang terjadi akibat reaksi
Maillard. Menurut Yokotsuka et al. (1986) dalam Rosida et al. (2011) gugus
karbonil dari gula dapat bereaksi dengan asam amino yaitu pada reaksi Maillard
sedangkan menurut Palupi et al. (2007) reaksi Maillard terjadi karena karbonil
atau dikarbonil yang terdapat pada gula pereduksi berikatan silang dengan protein.
Gugus karbonil yang terbentuk pada tepung setelah pemanasan campuran
dalam larutan basa (ikat silang) tidak seluruhnya bereaksi dengan protein saat
terjadi reaksi Maillard. Hal tersebut ditunjukkan oleh kadar protein yang

15
terkandung dalam tepung masih cukup tinggi dan masih adanya gugus karbonil
yang terbaca oleh spektrum inframerah setelah uji FTIR.

Gambar 8 Spektrum inframerah sagu murni, SCG30, dan CL30P50C pada
daerah ikatan C-N

Gambar 9 Spektrum inframerah sagu murni, SCG30, dan CL30P50C pada
daerah gugus karbonil (C=O)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Proses ikat silang pati sagu-gluten dengan pemanasan di bawah suhu
gelatinisasinya dalam larutan basa dapat meningkatkan swelling power dan baking
expansion pati sagu sedangkan pencampuran pati sagu dengan gluten tanpa ikat
silang tidak dapat meningkatkan swelling power sagu. Proses ikat silang pati sagu

16
dengan gluten pada suhu 50 ˚C dan penambahan gluten 30% dari bobot sagu
(CL30P50C) memberikan nilai swelling power dan baking expansion tertinggi
yaitu masing-masing 61 ± 2% dan 1.03 ml/g ± 2% dengan derajat pengembangan
sebesar 21% dari sagu murni serta memiliki kadar protein sebesar 9.44%. Daya
serap tepung terhadap air sedikit meningkat dengan dilakukannya ikat silang pati
sagu dengan gluten. Ikatan silang ditunjukkan dengan bertambahnya jumlah
ikatan C-N yang terjadi pada sampel CL30P50C oleh puncak spektrum
inframerah pada panjang gelombang 1158.8 cm-1.
Saran
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai kualitas adonan yang
dihasilkan dari tepung sagu-gluten yang telah diikatsilang melalui proses
pemanasan dalam larutan basa meliputi daya kembang adonan mentah dan daya
kembang adonan setelah dipanggang dengan metode basic bread. Selain itu, perlu
dilakukan kajian lebih lanjut pada metode ikat silang sehingga produk tidak
mengalami kehilangan kadar protein yang cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Aminah S, Joko TI. 2010. Analisis akrilamida pada keripik dan kudapan goreng
dari umbi-umbian. Prosiding Seminar Nasional UNIMUS. Teknologi Pangan
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Anonim. 2006. Sagu Sebagai Bahan Pangan. Ebookpangan.com.
[AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 2005. Official methods of
Analysis of AOAC International. Arlington, Virginia. USA.
Arisanti. 2014. Sagu Selatpanjang Meranti dilepas sebagai varietas benih bina
tanaman perkebungan. [Internet]. [diunduh: 11 April 2014]. Tersedia pada:
http://ditjenbun.pertanian.go.id/tanhun/berita-252-sagu-selatpanjang-merantidilepas-sebagai-varietas-benih-bina-tanaman-perkebunan.html.
Arisanti. 2014. Varietas sagu baru “SAGU BARUQ”. [Internet]. [diunduh: 15 Juli
2014]. Tersedia pada: http://ditjenbun.pertanian.go.id/tanhun/berita-264varietas-sagu-baru-%E2%80%9Csagu-baruq%E2%80%9D.html.
Breemer R. 2012. Studi perbandingan tepung kedelai dan tepung sagu terhadap
mutu kue Bangket Sagu. J Budid Pertan. 8:51-54.
Butoliya SS, Gurnule WB, Zade AB. 2010. Study of non-isothermal
decomposition and kinetic analysis of 2,4-dihidroxybenzoic acid-melamineformaldehyde copolymer. J Chem. 7(3):1101-1107.
Chowdary KPR, Udaya C. 2009. Preparation and evaluation of cross linked starch
urea – a new polymer for controlled release of diclofenac. Int J Chem Sci.
7(4):2239-2245.
Clodualdo C, Maningat, Sukh B, Hesser JM. 1994. Wheat gluten in food and nonfood system. Tech Bull. 16:6.
Demiate IM, Dupuy N, Huvenne JP, Cereda MP, Wosiacki G. 2000. Relationship
between baking behavior of modified cassava starches and starch chemical
structure determined by FTIR spectroscopy. Carbohyd polym. 42:149-158.

17
Ditjen Bina Produksi Pertanian. 2003. Arah kebijakan pengembangan agribisnis
sagu di Indonesia. Dalam: Sagu untuk ketahanan pangan. Prosiding Seminar
Sagu. Manado, 6 Oktober 2003. Puslitbangbun 2003.
Hapsari TP, Zainul A, Nugroho. 2011. Pengaruh pre gelatinisasi terhadap
karakteristik tepung singkong. J Teknol Pangan. 1(1):1-14.
Jading A, Eduard T, Paulus P, Sarman G. 2011. Karakteristik fisikokimia pati
sagu hasil pengeringan secara fluidisasi menggunakan alat pengering cross
flow fluidized bed bertenaga surya dan biomassa. J Univ Neg Papua.
13(3):155-164.
Koran Jakarta. 2014. Perlu kebijakan tegas hentikan impor gandum. www.koranjakarta.com (Jumat, 11 April 2014) [Internet]. [diunduh: 14 Juli 2014].
Tersediapada:http://www.koranjakarta.com/?9790perlu%20kebijakan%20teg
as%20hentikan%20impor%20gandum.
Limbongan J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. J Litbang
Pertan. 26(1):16-24.
Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk laboratorium ilmu pengetahuan bahan
pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. PAU-Pangan dan Gizi
Institut Pertanian Bogor, Indonesia.
Palupi NS, Zakaria FR, Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai
Gizi Pangan. Modul e-Learning ENPB, Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fateta, IPB.
Puung FV. 2012. Karakteristik sifat fisiko-kimia pati ubi jalar ungu (Ipomoea
batatas L.) varietas ayamurasaki termodifikasi proses perendaman dan heat
moisture treatment (HMT) [skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.
Raina C, Singh S, Bawa A, Saxena D. 2006. Some characteristic of acetylated,
cross-linked and dual modified Indian rice starches: Eu Food Res Technol.
223:561-570.
Rosida DF, Wijaya CH, Apriyanto A, Zakaria FR. 2011. Efektifitas metode
aktivitas antioksidan pada fraksi kecap manis dan model glukosa-glisinsistein. REKAPANGAN J Teknol Pangan. 5(1):15-22.
Salim AR, Widya DRP. 2015 April. Pengaruh suhu dan lama annealing terhadap
sifat fisik-kimia tepung ubi jalar putih varietas manohara. J Pangan
Agroindust, siap terbit.
Stuart B. 2004. Infrared Spectroscopy: Fundamentals and Applications. John
Wiley and Sons, Ltd.
Sukardi M, Hindun P, Hidayat. 2012. Optimasi penurunan kandungan
oligosakarida pada pembuatan tepung ubi jalar dengan cara fermentasi. J
Teknol Indust Pert. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya,
Malang.
Syamsir E. 2011. Pesona Bakery. Kuloinologi Indonesia. 3(5):20.
Tethool EF, Abadi J, Budi S. 2012. Pengaruh konsentrasi hydrogen peroxida dan
irradiasi ultraviolet terhadap sifat fisikokimia dan baking expansion pati sagu.
J Univ Neg Papua. 0969:331-335.
Wang YJ, Wang L. 2003. Physicochemical properties of common and waxy corn
starch oxidized by different level of sodium pypochloride. Carbohyd Polym.
52:207-217.
Wieser H. 2007. Chemistry of gluten proteins. Food microbiol. 24:115-119.

18
Yuliasih I, Tun TI, Illah S, Hardaning P, Krisnani S, Titi CS. 2007. Pengaruh
proses fraksinasi pati sagu terhadap karakteristik fraksi amilosanya. J Teknol
Indust Pert.17(1):29-36.

19
Lampiran 1 Prosedur karakterisasi pati sagu
1. Kadar air (AOAC 2005)
Cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven dengan suhu 105
˚C selama 15 menit. Cawan lalu diangkat dan didinginkan dalam
desikator selama 5 menit. Setelah itu ditimbang dan dicatat beratnya.
Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan
dalam oven pada suhu 105 ˚C selama 3 jam atau hingga beratnya
konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 g). Cawan lalu
diangkat, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya.
Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
Kadar air (% b/b) =
Keterangan:
x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g)
y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
a = berat cawan kosong (g)
2. Kadar abu (AOAC 2005)
Cawan porselin dipanaskan dalam tanur selama 15 menit kemudian
didinginkan dalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang dan
dicatat beratnya. Kemudian 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan
lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih
dan beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu
tahap I bersuhu 400 ˚C lalu dilanjutkan pada suhu 550 ˚C. Cawan
lalu diangkat, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar
abu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.
Kadar abu (%b/b) =
Keterangan:
W1 = berat sampel (g)
W2 = berat abu (g)
3. Kadar lemak (AOAC 2005)
Labu lemak dikeringkan di dalam oven, didinginkan dalam desikator,
dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring
kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke
dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu
pada ujung-ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam
alat dan sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu, pelarut
didestilasi dan ditampung pada tempat lain. Labu lemak dikeringkan
di dalam oven pada suhu 105 ˚C sampai diperoleh berat tetap. Labu
lemak kemudian dipindahkan ke desikator untuk didinginkan, lalu
ditimbang dan dicatat beratnya. Berikut perhitungan kadar lemak.
Kadar lemak =

20
Keterangan:
W1 = berat sampel (g)
W2 = berat lemak (g)
4. Kadar protein (AOAC 2005)
Sampel sebanyak kurang lebih 0.2 g (kira-kira membutuhkan 3–10
ml HCl 0.01N/0.02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 2 g K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml
H2SO4 pekat, dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama
1–1.5 jam hingga jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2
ml air yang dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan
didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan
ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga
dimasukkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml
H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue = 2:1)
diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang
kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10
ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam
erlenmeyer ± 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi
dengan HCl 0.02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan
warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama
dilakukan juga untuk penetapan blanko. Berikut perhitungan kadar
nitrogen dan kadar protein.
Kadar N (%) =
Kadar protein (%) = %N x 5,95
Keterangan:
Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (mL)
Vb = volume untuk titrasi blanko (mL)
C = konsentrasi HCl (N)
W = berat sampel (mg)
5. Kadar karbohidrat (by difference)
Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference yaitu
dengan perhitungan melibatkan kadar air, kadar abu, kadar protein
dan kadar lemak. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan
dalam menghitung kadar karbohidrat dengan metode by difference.
Kadar karbohidrat (%) =
100% – (%k. air + %k. abu + %k. protein + %k. lemak)

21
Lampiran 2 Prosedur pengujian produk
1. Swelling power (Raina et al. 2006)
Pati ditimbang (0.5 g berat kering) dan dimasukkan ke dalam gelas
piala. Pati dilarutkan dalam akuades 25 mL sambil diaduk dengan
kecepatan 200 rpm selama 30 menit pada suhu 70 ˚C lalu
didinginkan pada suhu ruang sebelum disentrifugasi dengan
kecepatan 3 000 rpm selama 15 menit. Untuk mengukur swelling
power endapan hasil sentrifugasi ditimbang dan nilainya
dibandingkan dengan berat sampel kering.
2. Daya serap terhadap air (Muchtadi dan Sugiyono 1992)
Sampel sebanyak 25 g diletakkan dalam wadah dan ditambahkan air
sebanyak 10–20 mL menggunakan buret. Campuran tersebut diuleni
menggunakan tangan hingga kalis dan tidak lengket di tangan. Daya