Modifikasi Pati Sagu Sebagai Bahan Baku Perekat Bubuk

MODIFIKASI PATI SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU
PEREKAT BUBUK

MAYA ZALENA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Modifikasi Pati Sagu
sebagai Bahan Baku Perekat Bubuk” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Maya Zalena
NIM F34100073

ABSTRAK
MAYA ZALENA. Modifikasi Pati Sagu sebagai Bahan Baku Perekat Bubuk.
Dibimbing oleh SAPTA RAHARJA.
Sebagian besar perekat saat ini terbuat dari bahan sintetis yang dapat
menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia. Bahan alami seperti pati sagu
diperkirakan memiliki daya rekat sehingga berpotensi untuk menggantikan bahan
perekat sintetis. Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk perekat dalam
bentuk bubuk (powder) dengan memanfaatkan dekstrin hasil modifikasi pati sagu
sebagai bahan baku perekat. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk menguji
karakteristik perekat, aplikasi penggunaan produk serta membandingkan daya rekat
produk. Tiga produk dekstrin yang dijadikan sebagai bahan baku perekat yaitu
dekstrin putih, kuning dan British gum yang telah dimodifikasi melalui pemanasan
kering pada suhu 90 ⁰C dengan penambahan katalis HCl 0.1N. Selanjutnya,
dilakukan uji karakteristik dekstrin dan diproses menjadi larutan perekat serta diuji
kualitasnya, kemudian dijadikan perekat bubuk serta dilakukan formulasi produk
untuk mendapatkan hasil terbaik pada tahap pengaplikasian dengan daya rekat

sebagai faktor penentu. Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik dekstrin dan
kualitas perekat memenuhi batas toleransi yang telah ditetapkan. Larutan perekat
terbaik dihasilkan dari dekstrin putih yang didiamkan selama 10 menit dengan daya
rekat sebesar 10.58 kg/cm2. Pada tahap aplikasi penggunaan perekat bubuk dengan
formulasi yang telah diuji sebelumnya, yaitu metode perendaman dengan rasio
perekat bubuk dan air 50:50, hasil terbaik diperoleh dari perekat bubuk dekstrin
putih dengan daya rekat sebesar 10.50 kg/cm2.
Kata kunci: Pati sagu, dekstrin, perekat, perekat bubuk, daya rekat.

ABSTRACT
MAYA ZALENA. Modified Sago Starch as a Raw Material for Adhesive Powder.
Supervised by SAPTA RAHARJA
Adhesive products used nowadays are mostly produced from synthetic
materials that can pose adverse health effect to human. Natural materials like sago
starch are predicted to have adhesion strength, therefore they might be potential to
substitute synthetic materials. This research was intended to develop adhesive
powder using dextrin derived from modified sago starch as a raw material. The
expected outputs of this research were information about the characteristic of
adhesive solution, application of the adhesive powder, and comparison of adhesion
power of various adhesive strength. Three dextrin products (white, yellow and

British Gum dextrin) utilized as raw materials for adhesive are chemically modified
through dry heating at 90 ⁰C with the addition of HCl 0.1 N as the catalyst. The
dextrins were analyzed for their characteristics, processed into solution and then
the quality of the solution was evaluated. Furthermore, the dextrin solution was

dried into powder and formulated so that in this application stage, the best adhesive
powder, determined by its adhesion strength were obtained. The findings suggested
that characteristics of the dextrin and quality of the adhesive reached the
established tolerance limit. The best adhesive solution was derived from white
dextrin rested for 10 minutes with adhesion strength of 10.58 kg/cm2. In the
application stage, the best result for adhesive powder with the previously set
formula, which was soaking method with powder to water ratio of 50:50, was
obtained from white dextrin with adhesion strength of 10.50 kg/cm2.
Keywords: sago starch, dextrin, adhesive, adhesive powder, adhesion strength

MODIFIKASI PATI SAGU SEBAGAI BAHAN BAKU
PEREKAT BUBUK

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah
teknologi hilir, dengan judul Modifikasi Pati Sagu Sebagai Bahan Baku Perekat
Bubuk. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Sapta Raharja, DEA selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
memberikan arahan dan bimbingannya selama pelaksaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
2. Prof Dr-Ing Ir Suprihatin dan Dr Farah Fahma STP, MT selaku dosen penguji

dalam ujian skripsi.
3. Ayah (M.Munir, SE) dan ibu (Nurleli) serta keluarga besar atas segala doa dan
dukungannya.
4. Laboran TIN atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian.
5. Keluarga besar TIN 47 atas kebersamaannya serta semua pihak yang tidak
dapat disebutkan oleh penulis, yang senantiasa membantu dalam pelaksanaan
penelitian.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun
agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Februari 2015
Maya Zalena

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

ix

DAFTAR TABEL


x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah


1

Tujuan Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Bahan dan Alat

2

Metode Penelitian


2

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Persiapan bahan baku

4

Pembuatan dekstrin

7

Pembuatan perekat

9

Aplikasi Produk

SIMPULAN DAN SARAN

12
15

Simpulan

15

Saran

16

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

19


RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Karakteristik pati sagu alami
Karakteristik dekstrin
Kualitas perekat dekstrin
Daya rekat formula rasio bubuk dan air
Waktu pencampuran formula bahan
Daya rekat perekat bubuk dekstrin


5
7
10
12
13
15

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Struktur amilosa
Struktur amilopektin
Formulasi HCl 0.1N terhadap warna dekstrin
Dekstrin putih, kuning dan british gum
Larutan perekat dekstrin
Formulasi rasio bubuk dan air
Pencampuran metode pengadukan
Pencampuran metode perendaman
Penggunaan perekat bubuk dekstrin

4
5
6
7
10
13
14
14
14

DAFTAR LAMPIRAN
1. Foto alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
2. Diagram alir proses pembuatan dan formulasi dekstrin
3. Diagram alir proses pembuatan perekat
4. Pengujian daya rekat
5. Diagram alir formulasi aplikasi perekat bubuk
6. Prosedur analisis pengujian
7. Dokumentasi selama penelitian
8. Hasil analisis karakteristik dekstrin
9. Hasil analisis kualitas larutan perekat dekstrin
10. Hasil analisis daya rekat perekat bubuk dekstrin

19
20
22
23
24
25
28
30
31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perekat mampu menggabungkan satu bahan dengan bahan lain dengan cara
pengikatan permukaan. Ikatan permukaan terjadi karena cairan perekat masuk ke
dalam pori-pori bahan yang dilekatkan, kemudian mengeras karena adanya gaya
adhesi (Sutigno dalam Purwadi 1999) yang ditimbulkan oleh gaya valensi atau
penyambungan antara molekul perekat dengan molekul bahan yang direkatkan
(Skeist dalam Purwadi 1999).
Bahan perekat di Indonesia saat ini sebagian besar terbuat dari bahan sintetis
yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan manusia, sehingga
diperlukan bahan penggantinya. Bahan alami merupakan alternatif untuk
mengganti bahan sintetis, namun bahan alami memiliki sifat perekatan yang kurang
baik, sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk meningkatkan kualitas perekat
(Risnasari 2008). Bahan alami yang dapat diolah sebagai bahan baku pembuatan
perekat terbuat dari tepung berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti jagung, kentang,
singkong, sagu, gandum, beras dan kedelai (Lubis 2012). Produktivitas pati sagu
dapat mencapai 25 ton/ha/tahun tertinggi diantara tanaman penghasil pati lainnya
(Ishizski 1997), sehingga dapat dijadikan salah satu alternatif bahan baku perekat.
Menurut Wina et.al (1986), sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman
multiguna yang dapat dimanfaatkan seluruh bagiannya terutama bagian tengah
batang (empulur atau putih). Bagian tengah batang adalah tempat terakumulasi pati
yang dapat dimanfaatkan dan diolah untuk menghasilkan berbagai macam produk.
Pati alami merupakan polisakarida kompleks yang tidak larut dalam air, sehingga
perlu dilakukan modifikasi melalui dekstrinasi (Winarno 1989). Dekstrinasi pati
dapat dilakukan dengan tiga proses yaitu proses konversi basah dan katalis asam,
konversi basah dengan enzim serta proses konversi kering. Proses konversi kering
menggunakan penyangraian pada suhu 79-190 ⁰C Selama 3-24 jam dengan
penambahan sejumlah katalis asam untuk menghasilkan produk yang disebut
dekstrin (Gaman dan Sherington 1981). Dekstrin dapat meningkatkan kemampuan
senyawa hidrofobik dan menambah kelarutan dalam air (Tombs dan Harding 1998).
Larutan dekstrin dapat digunakan sebagai bahan perekat untuk karton, kertas,
amplop dan perangko (Shreve 1977).
Produk perekat saat ini sebagian besar diproduksi dalam bentuk cair yang
mudah mengering bila terpapar udara terlalu lama, sehingga diperlukan
pengembangan produk. Pengembangan produk yang dilakukan adalah membuat
produk perekat dalam bentuk bubuk (powder) yang dapat digunakan dan disimpan
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
memanfaatkan dekstrin pati sagu sebagai bahan baku perekat alami.

Perumusan Masalah
Dekstrin adalah hasil modifikasi pati tidak sempurna yang dapat dijadikan
berbagai produk pangan dan non pangan. Produk non pangan yang dihasilkan dari
dekstrin salah satunya adalah perekat. Perekat secara umum memiliki bentuk cair

2
yang mudah mengering bila terlalu lama terpapar udara terbuka dan akan terbuang
karena tidak dapat digunakan serta didaur ulang kembali. Penelitian ini dilakukan
untuk meminimalkan penggunaan perekat berlebih dengan memodifikasi produk
perekat dalam bentuk bubuk yang dapat disimpan dan digunakan dalam waktu yang
lebih lama.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan produk perekat dalam bentuk
bubuk (powder) yang bersifat kering dengan memanfaatkan pati sagu yang telah
dimodifikasi menjadi dekstrin serta menguji karakteristik dekstrin tersebut. Selain
itu, penelitian ini bertujuan menguji kualitas perekat berserta aplikasinya.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi proses pembuatan dekstrin secara
kering menggunakan pemanasan dengan katalis HCl, menguji karakteristik bahan
baku pati alami dan dekstrin, pembuatan perekat cair, perekat bubuk, pengujian
kualitas perekat, serta aplikasinya.

METODE
Bahan dan Alat
Bahan utama pembuatan dekstrin adalah HCl 0.1N dan larutan iodin. Dekstrin
hasil buatan, akuades, tawas, gliserin, dan fenol digunakan sebagai bahan
pembuatan perekat. Bahan yang digunakan untuk analisis karakteristik dekstrin
yaitu natrium tiosulfat 0.1N, HCl 3%, NaOH 30%, CH3COOH 3%, luff schoorl,
H2SO4 25%, KI 20%, larutan kanji 0.5%, larutan lugol, Pb asetat setengah basa,
Na2HPO4 10%, alkohol 95%, NaOH 0.1N dan karton dupleks. Alat yang digunakan
adalah sejumlah peralatan gelas dan pipet, neraca analitik, sudip, plate tetes, shaker
bath, oven, pH meter, viscometer, water bath, alat sangrai dan fource gauge
digunakan untuk mengukur kekuatan tarik yang disajikan pada Lampiran 1.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu, tahap persiapan bahan dan
formulasi penggunaan katalis, tahap pembuatan dekstrin beserta analisis
karakteristik, tahap pembuatan larutan perekat beserta analisis kualitas, pembuatan
perekat bubuk serta formula aplikasi perekat.

3
Tahap Persiapan Bahan Baku
a. Persiapan dan karakteristik bahan baku
Bahan baku yang digunakan yaitu pati yang berukuran kurang dari 100 mesh
dalam keadaan kering. Karakteristik bahan baku meliputi kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein, dan kadar serat kasar. Prosedur analisis untuk
karakterisasi bahan ini disajikan pada Lampiran 6.
b. Formulasi katalis asam
Formulasi katalis asam untuk bahan pembuatan dekstrin yaitu larutan HCl
0.1N sebanyak 50, 100 dan 150 ml. Volume tersebut dicampurkan ke dalam pati
sagu sebanyak 500 g serta dihomogenkan, kemudian disangrai pada suhu 90 ⁰C
selama 7 jam. Selanjutnya, dilakukan analisis warna untuk pengujian terbentuknya
dekstrin menggunakan larutan iodin. Berdasarkan hasil analisis tersebut akan
dilakukan pemilihan volume yang akan digunakan untuk pembuatan dekstrin.
Pembuatan dekstrin
Pembuatan dekstrin menggunakan metode yang mengacu pada Satterwaite
dan Iwinski (1973) serta Puspawardhani (1989). Dekstrin dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu putih, kuning dan british gum deng an waktu penyangraian berbeda-beda.
Penyangraian dekstrin dilakukan selama 4 jam untuk dekstrin putih, selama 7 jam
untuk dekstrin kuning dan british gum selama 11 jam tanpa menggunakan katalis
asam. Diagram alir pembuatan dekstrin disajikan pada Lampiran 2.
Analisis karakteristik fisik-kimia meliputi warna fisik, rendemen, bagian
yang terlarut (solubility), warna dengan lugol, viskositas (SNI 01-2997-1992),
kadar air dan abu (SNI 3729-2008), serta kadar dekstrosa (SNI 01-2593-1992).
Prosedur analisa tercantum pada Lampiran 6.
Pembuatan perekat
a. Pembuatan perekat cair
Perekat dibuat dengan metode Pizzi A dan Mittal (1994). Proses pembuatan
larutan perekat menggunakan bahan baku dekstrin komersial dan dekstrin dari hasil
penelitian sebanyak 350 g serta bahan tambahan lainnya. Bahan tambahan tersebut
adalah akuades 500 ml, gliserin 35 ml, tawas 17.5 ml diaduk sampai homogen,
kemudian dipanaskan dalam water bath sampai suhu mencapai 85 ⁰C selama 2 jam.
Selanjutnya, larutan didinginkan sampai suhu mencapai 48 ⁰C selama ±30 menit,
lalu ditambahkan larutan fenol 17 ml. Diagram alir proses pembuatan perekat
disajikan pada Lampiran 3. Larutan perekat tersebut siap untuk dianalisis kualitas
perekat meliputi viskositas, berat jenis, kadar padatan, derajat keasaman (pH) dan
uji daya rekat (SNI 06-4565-1998). Proses pengujian daya rekat dilakukan
menggunakan karton dupleks yang disajikan pada Lampiran 4.
b. Pembuatan perekat padat (bubuk)
Larutan perekat dikeringkan menggunakan blower (mesin pengering) dengan
suhu 70-80 ⁰C selama 3 hari. Setelah bahan kering, dilakukan pengecilan ukuran
menggunakan disc mill sampai halus menjadi bubuk perekat.
Aplikasi produk
Pengujian formulasi untuk aplikasi produk dilakukan sebagai prosedur
pemakaian produk saat diaplikasikan. Pengujian ini dilakukan menggunakan dua
formulasi dan kedua formula dianalisis uji daya rekat, kemudian hasil daya rekat

4
tertinggi akan dijadikan formula terbaik, untuk prosedur aplikasi produk disajikan
pada Lampiran 5.
a. Formulasi perbandingan rasio bubuk perekat dan air
Formula yang dilakukan yaitu, 40:60, 50:50 dan 60:40 dengan total larutan
sebanyak 20 ml. Pengujian ini dilakukan untuk mencampurkan berapa banyak
bahan yang digunakan dalam satu kali penggunaan.
b. Formulasi pencampuran bubuk perekat dan air
Prosedur pencampurkan bubuk perekat atau air dilakukan dengan dua
perlakuan, yaitu: 1) menyediakan air biasa dan panas terlebih dahulu kemudian
ditambahkan bubuk perekat dan 2) menyediakan bubuk perekat terlebih dahulu
kemudian ditambahkan air biasa dan panas. Selanjutnya, pencampuran dilakukan
dengan metode pengadukan dan perendaman, serta menghitung waktu yang
dibutuhkan untuk pencampuran bahan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan bahan baku
Pati merupakan polisakarida yang terdapat pada tanaman dalam bentuk granula.
Granula pati banyak tersimpan pada bagian batang, akar, umbi, biji dan buah. Pati
berbeda dengan tepung. Tepung merupakan bahan yang dihancurkan sampai halus
sedangkan pati merupakan polisakarida komplek yang tidak larut dalam air dan
digunakan oleh tumbuhan untuk menyimpan cadangan glukosa (Anonim 2006).
Pati mengandung dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin. Menurut
Smith (1982), amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α(1.4)-D-glukosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa.
Sedangkan, amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1.4)-Dglukosidik dan ikatan α-(1.6)-D-glukosidik di tempat percabangan rantai, setiap cabang
terdiri atas 25-30 unit D-glukosa (Smith dan Lindsay 2001).

Gambar 1 Struktur amilosa

5

Gambar 2 Struktur amilopektin
Karakteristik bahan baku
Pengujian karakterisasi pati alami berupa analisis proksimat mengacu pada
SNI 3729-2008, hasil karakterisasi bahan baku penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik pati sagu alami
Komponen
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Serat Kasar
Kadar Lemak
Kadar Protein
a

Persen (b/b)
14.32
0.32
0.16
0.11
1.21

Persen (b/b)a
Max. 13
Max. 0,5
Max. 0,5
-

Sumber: SNI 3729-2008

Tabel 1 menunjukkan adanya perbedaan hasil dari literatur dan hasil
penelitian yaitu pada pengujian kadar air. Kadar air pati berpengaruh terhadap daya
simpan bahan, semakin tinggi kandungan air maka semakin besar peluang
kerusakan bahan, sehingga umur simpan dari bahan semakin rendah. Berdasarkan
hasil analisis, kadar air pati sagu sebesar 14.32%, melewati batas toleransi yang
ditetapkan oleh standar mutu yaitu 13%, sehingga diperlukan pengeringan lebih
lanjut untuk menurunkan kandungan air dalam bahan. Pengeringan bertujuan
mengurangi kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba
dan aktifitas enzim dapat dihambat.
Kadar abu menunjukkan total mineral dalam suatu bahan pangan. Sejumlah
kecil mineral dan garam anorganik pada pati dianalisis sebagai abu (Luallen 2004).
Hasil analisis pada tabel menunjukkan kadar abu sebesar 0.32% masih dalam
toleransi yang ditetapkan literatur yaitu maksimal 0.5%. Kadar abu dapat
berpengaruh terhadap warna dan tekstur pati, sehingga semakin besar kadar abu
maka semakin tinggi pula mineral yang terkandung dalam bahan.
Kadar serat merupakan komponen minor yang terdapat dalam pati yaitu
selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin. Sifat umum serat sukar diuraikan seperti
tidak larut dalam air biasa maupun air panas, umumnya terdapat pada bahan nabati
yang memiliki kadar serat tinggi, hal ini yang menyebabkan tumbuhan memiliki
dinding sel. Hasil analisis diperoleh kadar serat yang rendah sebesar 0.16% belum

6
melewati batas toleransi yang ditetapkan yaitu 0.5%, sehingga kandungan serat
dapat lebih mudah diuraikan.
Lemak dan minyak adalah bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari
tumbuhan dan hewan, merupakan trigliserida serta berbagai jenis asam lemak
(Buckle et al. 1985). Kadar lemak pati sagu menurut Haryanto dan Pangloli (1992)
sebesar 0.23% sedangkan hasil analisis sebesar 0.11%, sehingga kandungan lemak
dalam pati masih dalam batas toleransi yang ditetapkan literatur.
Pati sagu mengandung komponen nitrogen seperti protein, peptida, amida,
asam amino, asam nukleat dan enzim diduga berasal dari dalam granula pati
(Kaletunc dan Breslauer 2003). Kadar protein pati sagu menurut Ruddle et al.
(1978) sebesar 0.27% sedangkan menurut Haryanto dan Pangloli (1992) sebesar
0.81% dan menurut Djoefrie (1999) 0.80%. Berdasarkan hasil analisa kadar protein
pati sagu sebesar 1.21%, perbedaan hasil kadar protein disebabkan oleh tempat
tumbuhnya tanaman sagu yang berbeda.
Formulasi katalis asam
Modifikasi pati bertujuan mengubah struktur molekul pati dengan berbagai
proses salah satunya menggunakan proses hidrolisis asam. Hidrolisis asam
merupakan metode modifikasi yang digunakan untuk menghidrolisis ikatan
glikosidik pati menggunakan asam sebagai katalisator. Proses hidrolisis mula-mula
memecah rantai panjang molekul pati menjadi unit-unit rantai glukosa dengan
ukuran yang lebih pendek atau disebut juga dekstrin (Somaatmadja 1970). Dekstrin
merupakan polisakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati terutama amilosa,
memiliki struktur linier yang dibentuk oleh unit D-glukosa, kemudian dihubungkan
satu sama lain dengan ikatan α-1.4-glikosidik (Kusnandar 2010).
Pembuatan dekstrin dalam penelitian ini diawali dengan tahap persiapan
bahan, yaitu memformulasi penggunaan larutan HCl 0.1N sebanyak 50, 100 dan
150 ml. Formulasi katalis dicampurkan dalam pati sagu sebanyak 500 g dan
disangrai pada suhu 90 ⁰C selama 7 jam, kemudian dilakukan analisis perubahan
warna untuk pengujian terbentuknya dekstrin menggunakan larutan iodin. Warna
dekstrin dari perlakuan formulasi katalis asam disajikan pada Gambar 3.

50 ml

100 ml

150 ml

Gambar 3 Formulasi HCl 0.1N terhadap warna dekstrin
Berdasarkan analisis secara kualitatif, dekstrin menghasilkan warna yang
berbeda dengan memvariasikan jumlah HCl, yaitu warna krem (HCl 50 ml), cokelat
(HCl 100 ml) dan sangat coklat (HCl 150 ml), sehingga perlu dilakukan volume
pemilihan untuk penggunaan HCl. Pemilihan dilakukan agar warna fisik dekstrin
putih berwarna putih hingga cream dengan pemanasan selama 4 jam. Formulasi
yang terpilih yaitu formula dengan menggunakan HCl sebanyak 50 ml, pemilihan

7
ini diperkuat dengan pernyataan Subagio et.al (2008) bahwa dekstrin memiliki
warna cream sampai kecoklatan.

Pembuatan dekstrin
Hasil pemilihan formulasi volume HCl, selanjutnya digunakan sebagai acuan
untuk pembuatan tiga jenis dekstrin. Menurut Wurzburg (1989) berdasarkan waktu
pemanasan dekstrin dikelompokkan menjadi dekstrin putih, kuning dan british gum.
Pemanasan (sangrai) dekstrin pada suhu 79-190 ⁰C selama 3-24 jam mengacu pada
Satterwaite dan Iwinski (1973) serta Puspawardhani (1989). Penyangraian dalam
penelitian ini dilakukan pada suhu 90 ⁰C selam 4 jam untuk dekstrin putih, selama
7 jam untuk dekstrin kuning dan selama 11 jam tanpa menggunakan katalis asam
untuk british gum. Hasil ketiga jenis dekstrin disajikan pada Gambar 4.

a

b

c

Gambar 4 Dekstrin putih (a), kuning (b) dan british gum(c)
Berdasarkan hasil warna fisik dekstrin putih berwarna cream, dekstrin kuning
berwarna agak kecoklatan dan british gum berwarna cream. Penambahan katalis
HCl dan lamanya waktu pemanasan akan berpengaruh terhadap warna bahan,
semakin lama waktu pemanasan akan membuat warna bahan semakin gelap.
Penyangraian dan pemanggangan juga akan menyebabkan dekstrin terpolimerisasi
membentuk senyawa coklat yang disebut pirodekstrin (Gaman dan Sherington
1981). Hasil karakterisasi dekstrin disajikan pada Tabel 2 mengacu pada SNI 012997-1992 dan SNI 3729-2008.
Tabel 2 Karakteristik dekstrin
Standar dekstrinc
P
K
B
a
Warna fisik
krem
coklat coklat
Rendemen (%)
Kadar dekstrosa (%) Max. 5 Max. 4 Max. 5
Derajat asam (%)
Max. 8 Max. 6 Max. 5
Bagian terlarut (%) Min.
Min.
Min.
97
99
97
Warna lugol
Ungu- Ungu- Ungucoklat coklat coklat
Viskositas (cps)
3-4
b
Kadar air (%)
Max. 11
Kadar abu (%)
Max. 0.5
Komponen

a

Hasil pengujian dekstrinc
P
K
B
krem kecoklatan
krem
83.29
79.05
84.40
0.94
0.98
0.59
3
4.40
3
99
100
99.65
Ungucoklat
4
2.48
0.16

Ungucoklat
2
7.77
0.35

Ungucoklat
4
8.30
0.23

Sumber: SNI 3729-2008; b Sumber: SNI 01-2997-1992; c Dekstrin P (putih), K (kuning), B (British
gum).

8
Pembuatan dekstrin menggunakan basis sebanyak 1000 gram bahan, namun
dekstrin yang dihasilkan mengalami penurunan bobot bahan. Kehilangan bobot
disebabkan oleh beberapa faktor, seperti bahan yang menempel pada alat, bahan
berkurang saat proses pengadukkan dan bahan yang tidak lolos saat proses
pengayakan, sehingga rendemen dekstrin putih, kuning dan british gum berturutturut sebesar 83.29%, 79.05% dan 84.40%.
Pengujian kadar dekstrosa bertujuan mengetahui seberapa jauh pati
terhidrolisis menjadi molekul dengan rantai yang lebih pendek khususnya saat
terbentuk gula-gula sederhana. Prinsip dalam pengujian ini adalah gula pereduksi
dapat mereduksi larutan garam kupri dalam larutan Luff, sehingga dapat
menentukan jumlah gula pereduksi yang terbentuk. Nilai kadar dekstrosa tinggi
menunjukkan bahwa sebagian besar pati sudah terurai lebih jauh menjadi maltosa
dan glukosa (Winarno 1989). Berdasarkan hasil pengujian kadar dekstrosa dekstrin
putih, kuning dan british gum berturut-turut yaitu 0.94%, 0.98% dan 0.59%. Hasil
tersebut menunjukkan sesuai dengan dekstrin yang diinginkan dalam penelitian ini
yaitu memiliki nilai kadar dekstrosa rendah, sehingga dapat meningkatkan kekuatan
daya rekat.
Derajat asam menyatakan banyaknya asam yang terkandung dalam bahan,
semakin tinggi kandungan asam maka semakin rendah pH yang dihasilkan (Jati
2006). Hasil analisis derajat asam dekstrin putih, kuning dan british gum berturutturut sebesar 3%, 4.4% dan 3%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa bahan dalam
kondisi asam yang berasal dari penambahan katalis asam dapat menjaga bahan
terhindar dari pertumbuhan mikroorganisme.
Dekstrin putih, kuning dan british gum menghasilkan bagian terlarut berturutturut sebesar 99%, 100% dan 99.65%. Berdasarkan hasil analisa, pati yang telah
mengalami proses modifikasi memiliki daya larut lebih tinggi dibandingkan pati
asli. Hal ini disebabkan dekstrin hasil modifikasi tidak mampu mengikat fraksi air,
sehingga dekstrin lebih mudah larut di dalam air (Jati 2006).
Lugol merupakan larutan yang digunakan untuk menguji kandungan pati
dalam suatu bahan. Bahan yang mengandung pati akan menimbulkan warna biru
sampai keunguan, serta bahan yang mengandung gula pereduksi dalam
monosakarida maupun disakarida akan menghasilkan warna kecoklatan sampai
kuning bila diteteskan larutan lugol (Winarno 1989). Pengujian ini dilakukan secara
kualitatif menghasilkan warna ungu kecoklatan saat diteteskan pada dekstrin putih,
kuning dan british gum. Warna ungu kecoklatan menunjukkan bahwa bahan
mengandung gula pereduksi dengan jumlah yang lebih banyak.
Hasil viskositas dekstrin putih sebesar 4 cps, kuning 2 cps dan british gum
sebesar 4 cps. Kekentalan dekstrin kuning lebih rendah dibandingkan literatur yaitu
3-4 cps, hal ini disebabkan pada saat hidrolisis pemecahan ikatan α-D-glukosa dari
molekul pati melemahkan struktur granula pati, sehingga akan mengubah
kekentalannya (Smith dan Bell 1986), semakin tinggi suhu hidrolisis pati dapat
mengakibatkan semakin berkurang fraksi terlarut, sehingga viskositas yang
dihasilkan semakin menurun (Winarno 1992).
Hasil kadar air dekstrin putih, kuning dan british gum berturut-turut sebesar
2.48%, 7.77% dan 8.3% nilai ini sangat rendah bila dibandingkan dengan
kandungan air yang berasal dari literatur yaitu 11%. Hal tersebut dipengaruhi oleh
proses dekstrinasi, terutama pada proses lamanya waktu penyangraian dapat

9
menguapkan air yang terkandung dalam dekstrin, semakin lama proses
penyangraian maka kadar air yang dihasilkan akan semakin rendah.
Prinsip pengukuran kadar abu yaitu bila suatu contoh bahan diabukan maka
zat-zat organik yang terdapat dalam bahan akan dioksidasi menjadi air dan CO2
tetapi zat anorganiknya tidak. Zat anorganik yang tidak terbakar disebut abu atau
mineral. Hasil kadar abu dekstrin putih, kuning dan british gum berturut-turut
sebesar 0.16%, 0.35% dan 0.23%, nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan
literatur yaitu 0.5%. Nilai kadar abu yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh katalis
HCl dan pemanasan saat modifikasi pati. Hal ini disebabkan panas yang diberikan
pada proses modifikasi tidak mampu membakar abu dan tidak dapat menjangkau
mineral-mineral yang terkandung dalam bahan tersebut, sehingga nilai kadar abu
berasal dari bahan baku pati yang digunakan.

Pembuatan perekat
Perekat mampu menggabungkan satu bahan dengan bahan lain dengan cara
pengikatan permukaan. Ikatan permukaan terjadi karena cairan perekat masuk ke
dalam pori-pori bahan yang dilekatkan, kemudian mengeras karena adanya gaya
adhesi (Sutigno dalam Purwadi 1999). Gaya adhesi adalah gaya yang ditimbulkan
oleh gaya valensi atau penyambungan antara molekul perekat dengan molekul
bahan yang direkatkan (Skeist dalam Purwadi 1999).
Larutan dekstrin memiliki sifat adhesive (daya rekat) yang berasal dari rasio
amilosa dan amilopektin terdapat dalam granula pati memiliki kemampuan
membentuk gel, pengentalan atau pembentukan film. Sifat tersebut diperoleh
setelah pati mengalami proses modifikasi, salah satunya dengan menggunakan
proses hidrolisis asam untuk membuka granula pati yang dapat menghasilkan
bonding perekat (Kennedy 1989). Keunggulan perekat berbahan baku dekstrin
yaitu dapat larut dalam air biasa dan digunakan sebagai bahan perekat seperti
perangko, materai, amplop, karton dan kertas (Warnijati et.al 1995). Pemilihan pati
sagu sebagai bahan utama dalam penelitian ini, dikarenakan granula pati sagu
memiliki rasio amilosa dan amilopektin sebesar 27:73, jumlah amilopektin tersebut
dapat meningkatkan daya rekat yang lebih tinggi (Ito et.al 1979).
Pembuatan perekat cair
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan perekat yaitu dekstrin,
akuades, gliserin, tawas dan fenol. Masing-masing bahan memiliki fungsi yang
berbeda. Dekstrin berfungsi sebagai bahan dasar pembuatan perekat. Dekstrin yang
digunakan yaitu dekstrin hasil penelitian dan dekstrin komersial sebagai bahan
pembanding. Akuades berfungsi sebagai pelarut dekstrin, gliserin berfungsi sebagai
plasticizer yang digunakan untuk mengontrol kerapuhan perekat dan mengatur laju
curing. Menurut Winarno (1989) gliserin adalah senyawa gliserida yang paling
sederhana dengan hidroksil yang bersifat hidrofilik. Fungsi tawas yaitu membantu
proses penggumpalan perekat karena, berdasarkan teori tawas merupakan senyawa
koagulan. Selain itu, tawas juga berfungsi sebagai bleaching agent dalam produk
perekat. Fenol berfungsi sebagai preservative atau pengawet dalam produk perekat
untuk menghasilkan produk lebih tahan lama dan menjaga aktivitas mikroba.

10
Proses pembuatan perekat yaitu mencampurkan dekstrin dan akuades sampai
merata, kemudian ditambahkan gliserin dan tawas diaduk sampai homogen.
Selanjutnya, dipanaskan dalam water bath sampai suhu larutan mencapai 85 ⁰C.
Pemanasan bertujuan memecah granula pati, mula-mula granula pati mengembang,
kemudian pecah dan menghasilkan pengentalan suspensi. Hasil penelitian pada
proses pemanasan larutan perekat menghasilkan larutan yang sangat encer pada
suhu pemanasan tinggi. Hal ini disebabkan hasil modifikasi membuat molekul pati
siap larut dalam air, sehingga larutan menjadi lebih encer serta memiliki kekentalan
rendah (Baumann dan Conner 2003).
Berdasarkan hasil penelitian tidak semua jenis dekstrin dapat digunakan
sebagai bahan baku perekat. Larutan perekat berasal dari bahan baku dekstrin
british gum, menghasilkan larutan yang menggumpal dan mengeras. Hal ini
disebabkan pada proses hidrolisis dekstrin british gum hanya dilakukan pemanasan
selama 11 jam tanpa menggunakan bantuan katalis asam, sehingga pemotongan
rantai polimer pati belum sempurna. Potongan rantai yang belum sempurna ini
membuat kandungan fraksi amilase sangat terikat kuat membentuk region-region
kristal dan amilopektin belum terbuka sempurna untuk menghasilkan zat perekat.
Berdasarkan bahan baku yang digunakan, larutan perekat dapat dihasilkan
menggunakan dekstrin putih, kuning, dan komersial. Zat yang memberikan daya
rekat berasal dari fraksi amilopektin yang dapat bekerja pada air biasa maupun air
panas. Hasil larutan perekat disajikan pada Gambar 5.

Komersial

putih

kuning

british gum

Gambar 5 Larutan perekat dekstrin
Kualitas perekat yang dianalisis sesuai SNI 06-4565-1998 yaitu viskositas,
berat jenis, kadar padatan, derajat keasaman (pH) dan uji daya rekat sesuai
standarisasi Jepang dalam Santoso dan Sutigno (2008). Hasil kualitas perekat
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Kualitas perekat dekstrin
Komponen
Viskositas (cps)
pH
Kadar padatan (%)
Berat jenis (ml/g)
Daya rekat (kg/cm2)b
Didiamkan 5 menit
Didiamkan 10 menit
a

Standara
130-300
3-5
Min. 40-45
1.20
7

Larutan perekat dekstrin
Komersial
Putih
Kuning
1454
141
120
3.30
3.60
3.50
83.25
86.26
82.69
1.21
1.26
1.24
7.04
10.50

8.95
10.58

Sumber: SNI 06-4565-1998; b Standar Jepang dalam Santoso dan Sutigno (2008)

6.43
6.72

11
Berdasarkan hasil analisis kualitas perekat pada Tabel 3, viskositas perekat
dekstrin putih dan kuning sangat rendah dibandingkan komersial, hal ini disebabkan
saat pemanasan suhu tinggi granula pati terus mengembang dan tidak akan mampu
lagi menampung air, mengakibatkan granula pati pecah sehingga molekul amilosa
dan amilopektin akan menyatu dengan fase air. Granula pati yang sudah pecah akan
menurunkan viskositas. Penurunan viskositas akan terus berlangsung dengan
meningkatnya suhu pemanasan (Kusnandar 2010).
Menurut Schoch dan Maywald dalam Kusnandar (2010), berdasarkan profil
gelatinisasi pati dikelompokkan dalam 4 jenis untuk memperoleh hasil pengukuran
viskositas, yaitu tipe A, B, C dan D. Tipe A menunjukkan pati memiliki
kemampuan mengembang yang tinggi viskositas maksimum serta terjadi
penurunan selama pemanasan (mengalami breakdown) contohnya pati kentang dan
tapioka. Tipe B memiliki kesamaan dengan tipe A, tetapi menghasilkan viskositas
maksimum lebih rendah contohnya pati dari serealia. Tipe C adalah pati yang
mengalami pengembangan terbatas, ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas
maksimum dan viskositas breakdown (menunjukkan ketahanan panas yang tinggi),
contohnya pati kacang hijau dan pati dimodifikasi dengan ikatan silang dan heat
moisture treatment (HMT). Tipe D adalah pati yang mengalami pengembangan
terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya profil viskositas, misalnya pati yang
mengandung amilosa lebih dari 55%. Berdasarkan literatur perbedaan viskositas
larutan perekat dekstrin komersial, putih dan kuning disebabkan bahan yang
digunakan serta perlakuan modifikasi yang dilakukan saat pembuatan dekstrin,
sehingga deksrin komersial memiliki viskositas tipe A, dekstrin putih dan kuning
memiliki viskositas tipe C. Pada kualitas perekat hasil viskositas dekstrin putih dan
kuning memenuhi batas toleransi yang ditetapkan.
Pengujian pH perekat dilakukan untuk mengetahui kestabilan perekat yang
berhubungan dengan umur simpan. Hasil pengujian pH untuk ketiga larutan perekat
komersil, putih dan kuning berturut-turut sebesar 3.3, 3.6 dan 3.5 mengacu pada
batas toleransi yang ditetapkan yaitu pH 3-9. Kondisi asam dalam larutan perekat
berasal dari dekstrin yang menggunakan katalis asam saat proses hidrolisis serta
penambahan fenol dalam pembuatan perekat sebagai preservative atau pengawet.
Kondisi pH rendah pada perekat menyebabkan perekat menjadi stabil serta dapat
mencengah pertumbuhan mikroba (Lehninger 1988).
Hasil berat jenis larutan perekat dekstrin komersil, putih dan kuning berturutturut sebesar 1.21, 1.26 dan 1.24 ml g-1. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan literatur
yang menyebutkan bahwa berat jenis perekat adalah berkaitan dengan kemurnian
bahan sebesar 1.2 ml g-1, semakin tinggi nilai berat jenis dari komponen bahan yang
digunakan maka semakin tinggi pula berat jenis produk yang dihasilkan (Setiawan
2004).
Berdasarkan hasil kadar padatan larutan perekat dekstrin komersil, putih dan
kuning berturut-turut yaitu 83.35%, 86.26% dan 82.69%. Nilai ini memenuhi batas
minimal yang ditetapkan literatur dan berkaitan dengan hasil daya rekat. Kadar
padatan menunjukkan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul
yang merekatkan (amilopektin), semakin tinggi kadar padatan maka keteguhan
perekat yang dihasilkan akan semakin meningkat (Rowell 2005).
Menurut Purwadi (1999), daya rekat adalah salah satu parameter mutu yang
sangat penting untuk menentukan kekuatan perekat. Pengukuran daya rekat adalah
menguji gaya yang bekerja untuk memisahkan permukaan bahan yang direkatkan

12
oleh perekat dalam persatuan luas (kg cm-3). Kualitas daya rekat diuji menggunakan
karton dupleks yang didiamkan selama 5 dan 10 menit sebelum direkatkan. Larutan
perekat dekstrin komersial dan putih menghasilkan daya rekat lebih besar
dibandingkan literatur yaitu 7.04 dan 8.95 kg cm-3untuk perekat yang didiamkan
selama 5 menit serta daya rekat 10.50 dan 10.58 kg cm-3 untuk perekat yang
didiamkan selama 10 menit, sedangkan daya rekat untuk dekstrin kuning di bawah
standar yaitu 6.43 kg cm-3 yang didiamkan selama 5 menit dan 6.72 kg cm-3 yang
didiamkan selama 10 menit. Hal ini dapat dikaitkan dengan hasil kadar padatan
perekat dekstrin kuning yang rendah yaitu 82.69%. Kadar padatan yang rendah
akan berpengaruh terhadap keteguhan daya rekat, sehingga semakin rendah kadar
padatan akan menghasilkan keteguhan daya rekat yang rendah. Pengujian daya
rekat berdasarkan perekat yang didiamkan selama 5 dan 10 menit, dihasilkan daya
rekat terbaik pada larutan perekat dekstrin putih yaitu 10.50 kg cm-3 dengan
pendiaman larutan perekat selama 10 menit.
Pembuatan perekat padat (bubuk)
Larutan perekat selanjutnya dikeringkan dalam blower pada suhu 70-80 ⁰C
selama 3 hari. Setelah bahan kering, dilakukan pengecilan ukuran menggunakan
disc mill sampai halus menjadi bubuk perekat. Perekat bubuk selanjutnya dilakukan
pengujian formula untuk pengamplikasian produk.

Aplikasi Produk
Penggunaan perekat bubuk dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif, yaitu
dengan memformulasi rasio bubuk yang dilarutkan dengan air, serta formula bubuk
perekat atau air yang dicampurkan terlebih dahulu. Pengujian formulasi dalam
aplikasi produk dilakukan sebagai prosedur pemakaian produk saat diaplikasikan.
Formula tersebut dianalisis daya rekat, kemudian dilakukan pemilihan formula
terbaik berdasarkan hasil daya rekat tertinggi.
Formulasi Perbandingan rasio bubuk perekat dan air
Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan berapa banyak campuran
bubuk perekat dan air yang digunakan. Formulasi dilakukan dengan perbandingan
40:60, 50:50, 60:40 dengan total larutan sebanyak 20 ml. Hasil formulasi akan
dilakukan uji daya rekat untuk membandingkan keteguhan daya rekat bubuk
dengan larutan perekat. Hasil formulasi disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 6.
Tabel 4 Daya rekat formula rasio bubuk dan air
Formula
(bubuk : air)
40:60
50:50
60:40

Tingkat kekentalan
tidak kental
kental
sangat kental

Daya rekat (kg cm-3)
Pendiaman
Pendiaman
5 menit
10 menit
8.49 ± 0.014
6.27 ± 0.176
8.74 ± 0.141
6.65 ± 0.070
5.34 ± 0.007
5.38 ± 0.028

13

40:60

50:50

60:40

Gambar 6 Formulasi rasio bubuk dan air
Berdasarkan Tabel 4 dan Gambar 6, menunjukkan nilai keteguhan daya rekat
tinggi pada perekat yang didiamkan selama 5 menit, yaitu rasio 40:60 menghasilkan
larutan yang sangat cair dengan daya rekat 8.49 kg cm-3, rasio 50:50 menghasilkan
larutan kental dengan daya rekat lebih tinggi yaitu 8.74 kg cm-3, sedangkan rasio
60:40 menghasilkan daya rekat sangat rendah yaitu 5.34 kg cm-3. Hal ini disebabkan
larutan yang dihasilkan sangat kental memiliki sedikit kandungan air, sehingga
tidak dapat berpenetrasi atau merembes ke dalam pori-pori kedua permukaan karton
yang direkatkan (Sutigno 1994). Keteguhan daya rekat yang didiamkan selama 10
menit tidak sesuai batas toleransi yang ditetapkan, karena perekat sudah mulai
mengering saat didiamkan dan tidak mampu mengikat permukaan karton lainnya.
Berdasarkan hasil analisis secara kuantitatif dan kualitatif pemilihan rasio 50:50
menjadi formula terbaik.
Formulasi pencampuran bubuk perekat dan air
Formula ini dilakukan sebagai prosedur mencampurkan bubuk perekat atau
air terlebih dahulu. Pencampuran bahan dilakukan dengan dua perlakuan yaitu: 1)
menyediakan air biasa dan panas terlebih dahulu kemudian ditambahkan bubuk
perekat dan 2) menyediakan bubuk perekat terlebih dahulu kemudian ditambahkan
air biasa dan panas. Pencampuran dilakukan dengan metode pengadukan dan
perendaman serta menghitung waktu yang dibutuhkan untuk pencampuran bahan.
Selanjutnya, perlakuan tersebut dianalisis uji daya rekat.
Waktu yang dibutuhkan untuk pencampuran bahan disajikan pada Tabel 5
dan hasil formulasi disajikan pada Gambar 7 dan 8.
Tabel 5 Waktu pencampuran formula bahan
Formulasi
Metode pengadukan
Bubuk-air biasa
Air biasa-bubuk
Bubuk-air panas
Air panas-bubuk
Metode perendaman
Bubuk-air biasa
Air biasa-bubuk
Bubuk-air panas
Air panas-bubuk

Waktu pencampuran (menit)
22
15
18
13
1
5
1
3

14

Bubuk-air

Air-bubuk

Gambar 7 Pencampuran metode pengadukan

Bubuk-air

Air-bubuk

Gambar 8 Pencampuran metode perendaman
Berdasarkan hasil, bahan yang dicampurkan menjadi menggumpal dan sukar
larut menggunakan metode pengadukan, sedangkan pencampuran menggunakan
metode perendaman bahan tercampur sempurna. Waktu pencampuran bahan
diperoleh sangat singkat menggunakan metode perendaman yaitu 1 menit, baik
menggunakan air panas dan biasa, sehingga pemilihan formula dilakukan pada
metode perendaman.
Penerapan formula pada perekat bubuk dekstrin
Hasil kedua formulasi digunakan sebagai acuan untuk pembuatan prosedur
penggunaan perekat bubuk dekstrin putih, kuning dan komersial. Hasil perekat
disajikan pada Gambar 9 serta daya rekat produk disajikan pada Tabel 6.

Putih

Kuning

Komersial

Gambar 9 Penggunaan perekat bubuk dekstrin

15
Tabel 6 Daya rekat perekat bubuk dekstrin
Perekat bubuk
Komersial
Putih
Kuning

Daya rekat (kg cm-3)
Pendiaman
Pendiam
5 menit
10 menit
10.28 ± 0.049
6.11 ± 0.608
10.50 ± 0.134
7.82 ± 0.056
2.60 ± 0.070
5.49 ± 0.219

Gambar 9 menunjukkan warna larutan perekat bubuk berbahan baku dekstrin
berbeda-beda, yaitu dekstrin putih menghasilkan warna larutan coklat terang,
dekstrin kuning menghasilkan warna larutan coklat gelap dan dekstrin komersial
menghasilkan warna larutan coklat pekat. Berdasarkan Tabel 6 hasil keteguhan
daya rekat tertinggi menunjukkan perekat bubuk yang didiamkan selama 5 menit
menghasilkan daya rekat sebesar 10.28 kg cm-3 (dekstrin komersial) dan 10.50 kg
cm-3 (dekstrin putih). Daya rekat yang tinggi terjadi akibat kerusakan permukaan
karena masuknya cairan perekat ke dalam pori-pori bahan yang direkatkan,
kemudian mengeras karena gaya kohesi antar molekul perekat dengan molekul
bahan yang direkatkan, sehingga semakin besar daya rekat akan menyebabkan
kerekatan yang besar pula pada bahan (Sutigno 1994).
Perekat bubuk dekstrin kuning menghasilkan daya rekat sangat rendah yaitu
2.60 kg cm-3. Hal ini dapat dikaitkan pada proses hidrolisis dan pembuatan larutan
perekat, menyebabkan hilangnya sifat gelatanisasi serta kelarutan dalam air yang
tinggi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga zat perekat yang terdapat
dalam molekul amilopektin larut dalam air dan menghasilkan daya rekat yang
rendah (Kusnandar 2010).
Berdasarkan hasil yang tercantum pada tabel di atas, keteguhan daya rekat
yang didiamkan selama 10 menit sangat rendah, hal ini dikarenakan perekat sudah
mulai mengering saat didiamkan dan tidak mampu mengikat permukaan karton
lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dekstrin putih sebagai bahan baku
perekat bubuk terbaik menghasilkan keteguhan daya rekat sebesar 10.50 kg cm-3.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dekstrin dihasilkan dari proses hidrolisis asam dengan bantuan pemanasan
menghasilkan 3 produk dekstrin yaitu dekstrin putih, kuning dan british gum.
Karakteristik mutu dekstrin memenuhi batas toleransi yang telah ditetapkan oleh
standarisasi. Larutan perekat yang dihasilkan menggunakan bahan dekstrin putih,
kuning dan komersial telah memenuhi standarisari kualitas perekat. Hasil terbaik
aplikasi perekat bubuk yaitu formulasi perbandingan bubuk perekat dan air
sebanyak 50:50, dengan pencampuran bahan melalui metode perendaman selama 1
menit, baik menggunakan air biasa maupun air panas. Hasil formulasi tersebut
diterapkan pada perekat bubuk dekstrin putih, kuning dan komersial menghasilkan
daya rekat terbaik sebesar 10.50 kg cm-3 pada produk perekat bubuk dekstrin putih.

16

Saran
Penelitian lanjutan memperbaiki warna produk, pengujian umur simpan
produk, menguji bubuk perekat yang telah dilarutkan bila mengering dapat
dicairkan kembali atau tidak dengan daya rekat yang memenuhi standarisasi, serta
mengkaji aspek ekonomi pemasaran produk.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2006. Malt Dekstrin [internet]. [diacu 29 Juli 2006]. Tersedia dari
http://www.wikipedia.org/search/malt -dextrin.php/.
Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 3729. Tepung Sagu. Jakarta(ID): Badan
Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2997. Uji Proksimat. Jakarta(ID):
Badan Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2593. Dekstrin. Jakarta(ID): Badan
Standarisasi Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 06-4565. Kualiatas Perekat. Jakarta(ID):
Badan Standarisasi Nasional.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GF, Wooton M. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan
oleh H. Purnomo dan Adiono. Jakarta (ID): UI Press.
Baumann MGD and Conner AH. 2003. Carbohydrate Polymers as Adhesives.
Journal of Adhesive Technology pp 22-45.
Djoefrie MHB. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan
Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri Potensial Dalam Rangka
Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian. Bogor (ID): IPB.
Gaman PM, Sherrington KB. 1981. Pengantar ilmu pangan nutrisi dan
mikrobiologi. Terjemahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Haryanto B dan Pangloli P. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Ishizaki A. 1997. Cancluding remarks for the sixth International sago symposium
at Riau, Indonesia. Journal of Sago communication 8 (pp.22-25) Japan (JP):
Tsukuba Sago Fund.
Ito T, Arai Y and Hisajima S. 1979. Utilization of sago starch. Japanese Journal of
Tropical Agriculture 23, 48–56.
Jati Parmadi W. 2006. Pengaruh Waktu Hidrolisis Dan Konsentrasi HCl Terhadap
Nilai Dextrose Equivalent (DE) Dan Karakteristik Mutu Pati Termodifikasi Dari
Pati Tapioka Dengan Metode Hidrolisis Asam. [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat.
Kalentuc G dan KJ Breslauer. 2003. Characterization of Cereals dan Flours. New
York (US): Marcel Dekker.
Kennedy H M. 1989. Starch and dextrin based adhesives. Journal of Adhesives from
renewable resources (2nd ed.). Washington (US): American Chemical
Society.pp. 326–336.

17
Lubis MR. 2012. Hidrolisis Pati Sukun Dengan Katalisator H2SO4 untuk Pembutan
Perekat. Jurnal. Rekayasa Kimia dan Lingkungan Vol 9, No 2 hal 62-67. Aceh
(ID): Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala. Luallen T. 2004.Utilizing Starch
in Product Development. Eliasson AC editor. Boca Raton (US): CRC Pr.
Lehninger AL. 1988. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Jakarta (ID): Terjemahan
Erlangga.
Pizzi A dan Mittal KL. 1994. Handbook of adhesive technology at Chapter 15. New
York (US): Inc.
Puspawardhani L. 1989. Dekstrinasi Pati Sagu (Metroxylon Sp) Secara Kering
dengan Katalatis HCl. [skripsi]. Jurusan Teknologi Pangan Gizi, Fakultas
Teknologi Pertanian. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Purwadi Tri. 1999. Pengkajian mutu dan tekno-ekonomi perekat dari tulang ikan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Risnasari, I. 2008. Pemanfaatan Limbah Lignoselulosa untuk Bahan Baku Perekat
Likuida sebagai Substitusi Alternatif Perekat Sintetis. [tesis]. Medan (ID):
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Ruddle K, Johnson D, Townsend PK, Rees JD. 1978. Palm Sago A Tropical Starch
from Marginal Lands. Honolulu (HI): East-West Center Book.
Rowell RM. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. New
York (US): CRC Pr.
Shreve RN. 1977. Journal of Chemical Process Industry 3 edition (p. 517 – 524).
New York (US): Mc Graw Hill Book Co.
Smith CN and Lindsay CD. 2001. Kojic acid reduces the cytotoxic effects of sulfur
mustard on cultures containing human melanoma cells in vitro. Journal of
Applied Toxicology 21, 435–440.
Smith PS. 1982. Strach Derivative and the use Food in: Leneback DR dan Inglett
GE (eds). Journal Food carbohydrates. Westport Connecticut: AVI Publ. Inc.
Smith PS dan H Bell. 1986. New Starches for Food Application. The Journal Cereal
food Word 36(10):724.
Satterwaite RW dan Iwinski DJ. 1973. Starch Dextrin. New York (US): Academic
Pr.
Setiawan CBN. 2004. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) Sebagai Bahan Baku Perekat Likuida Kayu dan Papan
Partikel Berkerapatan Sedang [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Somaatmadja D. 1970. Pengolahan Jagung. Bogor (ID): Balai Pendidikan Kimia.
Sutigno P. 1994. Perekat dan Perekatan. Bogor (ID): Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kehutanan. Dalam Purwadi Tri. 1999. Pengkajian Mutu dan
Tekno-Ekonomi Perekat Dari Tukang Ikan[skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Skeist I. 1977. Hanbook of Adhesive Second Edition. New York(US): Van
Nonstrand Reinhold. Dalam Purwadi Tri. 1999. Pengkajian Mutu dan TeknoEkonomi Perekat Dari Tukang Ikan[skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Santoso A dan Sutigno P. 2008. Pengaruh Tepung Gaplek Dan Dekstrin Sebagai
Ekstender Perekat Ures Formaldehida Terhadap Keteguhan Rekat Kayu Lapis
Kapur. [tesis]. Bogor (ID): Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan.
Schoch TJ and Maywald EC. 1968. Preparation And Properties of Various Lugume
Starches. America Serikat(US): American of Cereal Chemists Inc. Di dalam
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

18
Subagio AW, Siti Y, Witono dan Fahmi F. 2008. Prosedur Operasi Standar (POS)
Produksi Mocal Berbasis Klaster. Southeast Asian Food and Agricultural
Science and Technology (SEAFAST) Center. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor
Tombs MP dan Harding SE. 1998. Some bacterial and synthetic polysaccharides.
The Journal An introduction to polysaccharide biotechnology. USA: Taylor and
Francis pp.165-171.
Wina E, Evans AJ, and Lowry JB. 1986. The composition of pith from the sago
palms Metroxylon sagu and Arenga pinna. Journal of the Science of Food and
Agriculture, 37(4), 352–358.
Winarno FG. 1989. Kimia pangan dan gizi. Jakarta (ID): Gramedia
Winarno FG. 1992. Kimia pangan dan gizi. Jakarta (ID): Gramedia.
Wurzburg