Sustainability of Marine Protected Area at Waha Village, Wakatobi

KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
DI DESA WAHA KABUPATEN WAKATOBI

IRMAN SUWANDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keberlanjutan Pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten Wakatobi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Maret 2014


Irman Suwandi
NIM C252100214

ABSTRACT
IRMAN SUWANDI. Sustainability of Marine Protected Area at Waha Village, Wakatobi.
Supervised by M MUKHLIS KAMAL and MAJARIANA KRISANTI.
Marine Protected Area (MPA) is an approach that is commonly applied to a
program of coastal and marine resource management, especially in developing countries
that have a coral reef ecosystem. The study aims to assess the chances of sustainability
management and development of marine protected area and formulate management
strategies. The study was conducted in February 2013 to May 2013 in the village of
Waha, Wakatobi, Southeast Sulawesi Province. The program is top-down management
with initiated by government by involving community as a part of subject in managing
the resources. The research method is descriptive and exploratory, while the analysis of
the sustainability status using multidimension scaling (MDS) with Rapid Appraisal
techniques for Fisheries (RAPFISH). Analysis of the results showed that the level of
sustainability in the ecological aspects, social economic, policy and institutional
respectively 64,62; 64,23; 54,02; and 59,47. This value suggests that the sustainability of
the management of MPAs including in the category of sustainable enough.


Keywords: management strategies, marine protected area, sustainability

RINGKASAN
IRMAN SUWANDI. Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha
Kabupaten Wakatobi. Dibimbing oleh M MUKHLIS KAMAL dan MAJARIANA KRISANTI.
Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk melindungi, menyelamatkan dan
melestarikan keanekaragaman hayati maupun ekosistemnya adalah dengan
mengalokasikan suatu wilayah menjadi area yang dilindungi atau diatur
pemanfaatannya. Penetapan suatu areal menjadi kawasan konservasi tidak serta merta
dapat menyelesaikan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya dan dapat
berkelanjutan karena memerlukan pengelolaan yang baik. Penelitian bertujuan mengkaji
peluang keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan daerah perlindungan laut (DPL)
Desa Waha serta merumuskan strategi pengelolaannya. Penelitian dilakukan di Desa
Waha, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada
bulan Februari 2013 sampai dengan Mei 2013. Metode penelitian adalah metode
deskriptif dan eksploratif, Hasil penentuan skor pada masing-masing aspek ekologi,
sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan kemudian diolah dengan menggunakan
teknik RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries) pada analisis aplikasi MDS.
Nilai indeks keberlanjutan pengelolaan DPL pada aspek ekologi adalah 64,62.

Atribut yang sensitif atau paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan DPL
yaitu penggunaan bom, eksploitasi karang, penggunaan alat tangkap dasar dan
eksploitasi terhadap sumberdaya lingkungan sekitar. Pada aspek sosial ekonomi nilai
indeks adalah 64,23. Atribut yang paling berpengaruh yaitu kontribusi terhadap
pendapatan masyarakat, pengaruh ganda, kegiatan lain yang mendukung DPL dan
penyerapan tenaga kerja. Pada aspek kebijakan nilai indeks adalah 54,02. Atribut yang
paling berpengaruh adalah keberadaan aturan khusus yang mendukung pengembangan
DPL, dukungan kebijakan daerah, dukungan LSM/organisasi lain dan legalitas DPL. Pada
aspek kelembagaan nilai indeks adalah 59,47. Atribut yang paling berpengaruh adalah
program pendampingan, program pelatihan, kemampuan institusi pengelola dan
hubungan dengan swasta
Aspek ekologi merupakan skor tertinggi sedangkan aspek kebijakan adalah yang
paling kecil nilainya, akan tetapi masih masuk dalam kategori cukup berkelanjutan.
Perbedaan tingkat keberlanjutan pada masing-masing aspek tersebut disebabkan karena
pencapaian dari masing-masing atribut pada setiap aspek menunjukkan perkembangan

yang berbeda. Nilai indeks keberlanjutan yang lebih rendah menunjukkan bahwa banyak
atribut-atribut keberlanjutan di DPL Desa Waha yang belum dikelola dengan baik.
Kondisi aktual pengelolaan DPL di Desa Waha dengan pendekatan analisis RAPFISH
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan yang berbeda-beda dan menunjukkan banyak

atribut-atribut keberlanjutan yang belum dikelola dengan baik.
Strategi yang perlu dilakukan dalam pengelolaan DPL Desa Waha adalah dengan
mempertahankan atribut yang memiliki sensitivitas tinggi dan telah memberikan
dampak positif pada keberlanjutan pengelolaan DPL serta melakukan upaya-upaya
dalam rangka memperbaiki atribut yang memiliki pengaruh sangat besar namun belum
memberikan dampak positif atau belum dikelola dengan baik, yaitu (1) Mengoptimalkan
dampak pengelolaan DPL bagi peningkatan pendapatan masyarakat Desa Waha; (2)
Meminimalisir kebiasaan sebagian masyarakat Desa Waha yang masih mencari ikan di
area DPL; (3) Mengupayakan untuk menghilangkan aktivitas masyarakat yang masih
melakukan eksploitasi terhadap sumberdaya lingkungan sekitar DPL; (4) Mengupayakan
dukungan aspek legalitas bagi keberadaan DPL; (5) Menyusun suatu aturan atau acuan
sebagai dasar rencana pengembangan DPL; (6) Membangun kembali komunikasi dengan
tokoh masyarakat, kelompok masyarakat dan perangkat pemerintahan; dan
(7) Mengupayakan program pendampingan yang rutin dalam pengelolaan DPL Desa
Waha.

Kata kunci: daerah perlindungan laut, keberlanjutan, strategi pengelolaan

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
DI DESA WAHA KABUPATEN WAKATOBI

IRMAN SUWANDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

75

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc

Judul Tesis

: Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha
Kabupaten Wakatobi

Nama

: Irman Suwandi

NIM

: C252100214


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc

Dr Majariana Krisanti, SPi, MSi

Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan


Dr Ir Luky Adrianto, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Desember 2013

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa
Waha Kabupaten Wakatobi
: Irman Suwandi
Nama
: C252100214
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Mao riana Krisanti SPi MSi

Anggota

Dr Ir M Mukhlis Kamal, MSc
Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc

Tanggal Ujian: 24 Desember 2013

TanggalLulus:

24

MAR 20 14


77

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Desa Waha Kabupaten
Wakatobi. Dengan harapan program pengelolaan pesisir dan laut tetap
berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menjadi proyek
sesaat yang terhenti setelah program terhenti.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir M Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr
Majariani Krisanti, SPi, MSi selaku pembimbing serta Dr Ir Isdradjad
Setyobudiandi dan Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku dosen penguji.
Semoga keikhlasannya dalam mendidik menjadi pahala yang tak terputus. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala dan Staf Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi, Aparat dan masyarakat Desa Waha
yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada istri dan anak tercinta yang selama penyelesaian kuliah telah

sabar melewati banyak hari tanpa ditemani, serta seluruh keluarga, 12 teman
sekelas, Kang Dindin dan rekan kantor, atas segala bantuan dan pengertiannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014

Irman Suwandi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Januari 1981 sebagai anak
bungsu dari pasangan Nursin dan Cicih. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 2004.
Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada sekolah pasca sarjana Institut Pertanian
Bogor melalui izin belajar pada tahun 2011.
Penulis bekerja sebagai auditor pada Inspektorat Jenderal Kementerian
Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang

79

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
2
3
3
3

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Metode Analisis Data

5
5
6
6
7
11

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

25
25
48

5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

73
73
73

DAFTAR PUSTAKA

74

LAMPIRAN

78

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan sumber data primer
2 Jenis dan sumber data sekunder
3 Kode pencatatan data pada transek permanen dalam kegiatan
Monitoring kesehatan terumbu karang, versi CRITC-COREMAP
4 Skala keberlanjutan pengelolaan DPL
5 Pembagian luasan wilayah Desa Waha
6 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin
7 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
8 Komposisi nelayan berdasarkan alat tangkap
9 Koordinat batas DPL Desa Waha
10 Tutupan komponen terumbu karang
11 Frekuensi aktivitas yang mencurigakan di DPL Desa Waha
12 Jumlah wisatawan wisata pantai Desa Waha tahun 2013
13 Tarif sewa atau biaya wisata pantai Desa Waha
14 Perkembangan kondisi keuangan WTC
15 Daftar kelompok masyarakat penerima dana WTC
16 Nilai pada atribut-atribut keberlanjutan pengelolaan DPL Desa Waha
17 Nilai Stress dan derajat koefisien determinasi

6
7
10
16
21
22
23
24
25
26
30
33
34
35
44
48
69

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Keberlanjutan Pengelolaan
DPL di Desa Waha Kabupaten Wakatobi
2 Peta Lokasi Penelitian
3 Tahapan Analisis Aplikasi MDS dalam Teknik RAPFISH
4 Perkembangan tutupan karang tahun 2008-2011 dan 2013
5 Kondisi tutupan karang tahun 2008-2011 dan 2013
6 Komposisi kelimpahan ikan karang berdasarkan ikan indikator, ikan
mayor dan ikan target dalam 250 m2
7 Aktivitas nelayan Desa Waha
8 Perkembangan pendapatan rumah tangga nelayan
9 Kegiatan wisata pantai di Desa Waha
10 Posisi keberlanjutan aspek ekologis pada pengelolaan DPL Desa Waha
11 Hasil analisis leverage pada aspek ekologis
12 Hasil analisis monte carlo pada aspek ekologis
13 Posisi keberlanjutan aspek sosial ekonomi pada pengelolaan DPL Desa
Waha
14 Posisi analisis leverage pada aspek sosial ekonomi
15 Posisi analisis monte carlo pada aspek sosial ekonomi
16 Posisi keberlanjutan aspek kebijakan pada pengelolaan DPL Desa
Waha
17 Posisi analisis leverage pada aspek kebijakan

4
5
13
27
27
28
31
33
35
50
52
52
55
55
56
61
61

81
18 Posisi analisis monte carlo pada aspek kebijakan
19 Posisi keberlanjutan aspek kelembagaan pada pengelolaan DPL Desa
Waha
20 Posisi analisis leverage pada aspek kelembagaan
21 Posisi analisis monte carlo pada aspek kelembagaan
22 Diagram layang-layang keberlanjutan pengelolaan DPL Desa Waha

62
64
66
66
69

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Parameter Keberlanjutan
Quesioner Wawancara
Hasil Pengamatan Terumbu karang
Hasil Pengamatan Ikan karang

78
82
87
88

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Tingginya
keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan lautan Indonesia, baik dalam
bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang
sangat berharga untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini erat
kaitannya dengan fungsi keanekaragaman hayati yang dapat memberikan manfaat
bagi lingkungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, baik yang bersifat langsung
maupun tidak langsung (Dahuri 2003). Namun pada sisi yang lain, karena
sumberdaya pesisir dan lautan dianggap bersifat open access seringkali di dalam
pemanfaatannya terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya menjadi
ancaman bagi kelestariannya. Seiring dengan berjalannya waktu, tingkat
pemanfaatan sumberdaya menjadi semakin tinggi. Pemanfaatan sumberdaya yang
melebihi kemampuan untuk pulih, dapat membahayakan keberlanjutan bagi
kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan. Sumberdaya perikanan termasuk
kedalam sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), akan tetapi
akan berdampak buruk terhadap keberlanjutannya jika di dalam pemanfaatannya
tidak dikelola dengan benar.
Menyadari hal tersebut maka pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang
lestari menjadi sebuah kebutuhan. Salah satu kebijakan yang ditempuh untuk
melindungi, menyelamatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati maupun
ekosistemnya adalah dengan mengalokasikan suatu wilayah menjadi area yang
dilindungi atau diatur pemanfaatannya. Implementasi program pengelolaan
sumberdaya pesisir dan lautan diantaranya pengelolaan kawasan konservasi
dengan menetapkan kawasan konservasi perairan.
Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat merupakan pendekatan
yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di
dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu
karang. Daerah perlindungan laut dapat dianggap sebagai manifestasi dari
keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk
menikmati, memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari, kebutuhan untuk
menikmati keindahan alam dan kebutuhan untuk melindungi hak sebagai pemilik

83
sumberdaya dari pengguna luar (Faiza 2011). Salah satu program yang
mengadopsi konsep daerah perlindungan laut adalah Daerah Perlindungan Laut di
Desa Waha Kabupaten Wakatobi. Program ini adalah bagian dari Program
COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) di Kabupaten
Wakatobi. Pemberdayaan masyarakat pesisir agar mampu melestarikan terumbu
karang dan ekosistem lainnya melalui pengelolaan bersama dengan pembentukan
Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu tujuan pengelolaan berbasis
masyarakat Program COREMAP. Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu
lokasi lokasi COREMAP II di wilayah timur Indonesia. Sedangkan Desa Waha
merupakan salah satu desa pertama yang menjadi lokasi Program COREMAP II
di Kabupaten Wakatobi, yang dimulai sejak tahun 2006. Keberadaan daerah
perlindungan laut dalam pelaksanaannya diharapkan tidak hanya memberikan
manfaat bagi sisi ekologis tetapi juga berdampak pada perbaikan kondisi sosial
dan ekonomi masyarakat. Mengingat pentingnya keberadaan daerah perlindungan
laut, maka perlu melihat peluang keberlanjutannya, baik didasarkan pada
indikator ekologis, sosial ekonomi maupun tata kelola.

Perumusan Masalah
Konservasi merupakan upaya untuk melindungi, melestarikan dan
memanfaatkan fungsi suatu wilayah dalam rangka menjamin keberadaan dan
keseimbangan sumberdaya ikan dan ekosistemnya. Total kawasan konservasi
perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan, sampai dengan bulan Juni
2012 luasnya mencapai 15,78 juta hektar dari target 20 juta hektar pada tahun
2020 (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012). Upaya pengembangan
kawasan konservasi ini diinisiasi oleh berbagai kalangan, baik oleh masyarakat
sekitar, Pemerintah ataupun stakeholders yang lain. Namun demikian, beberapa
daerah yang telah dikonservasi tujuan dan sasarannya tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan (Pomeroy et al. 2004).
Penetapan suatu areal menjadi kawasan konservasi tidak serta merta dapat
menyelesaikan

permasalahan

dalam

pengelolaan

sumberdaya

di

daerah

perlindungan laut, karena memerlukan pengelolaan yang baik sehingga dapat
menjaga kelestarian sumberdaya di dalamnya. Selain itu banyak program-program

yang dilaksanakan di Indonesia, namun sebagian besar dari program tersebut
berakhir seiring dengan berhentinya bantuan dari penyandang dana. Padahal bila
ditinjau dari lingkup kegiatan, program-program pengelolaan pesisir di Indonesia
selama ini sudah cukup dan menyeluruh (Faiza 2011). Oleh karena itu perlu
diketahui seberapa besar peluang keberlanjutan keberadaan daerah perlindungan
laut ini memberikan manfaat dan perubahan dari aspek sosial dan ekonomi bagi
masyarakat, mengingat daerah perlindungan laut di Desa Waha merupakan daerah
perlindungan hasil inisiasi dari pihak luar (melalui Program COREMAP).
Dari uraian di atas, dalam penelitian Keberlanjutan Daerah Perlindungan
Laut di Desa Waha ini maka dirumuskan permasalahan, yaitu sejauhmana peluang
keberlanjutan keberadaan daerah perlindungan laut di Desa Waha serta strategi
apa yang dapat disusun agar keberadaannya tetap berlanjut.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.

Mengkaji peluang keberlanjutan pengelolaan dan pengembangan daerah
perlindungan laut Desa Waha.

2.

Merumuskan strategi pengelolaan daerah perlindungan laut di Desa Waha.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk:
1.

Sebagai informasi peluang keberlanjutan daerah perlindungan laut di Desa
Waha.

2.

Masukan

bagi

Pemerintah

Daerah

dalam

mengembangkan

daerah

perlindungan laut di Desa Waha.

Kerangka Pemikiran
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan meliputi banyak aspek yang
menyangkut fungsi wilayah pesisir dan lautan, yaitu aspek ekologi, sosial dan
ekonomi. Berbagai macam aktivitas pemanfaatan dilakukan di wilayah pesisir dan
lautan yang dianggap sebagai common property serta pemanfaatan sumberdaya
yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan memberikan tekanan dan

85
berdampak negatif terhadap sumber daya. Dalam rangka menjaga ketiga aspek
tersebut terpenuhi upaya yang dilakukan salah satunya dengan menetapkan suatu
daerah perlindungan laut.
Penetapan daerah perlindungan tidak hanya berkaitan dengan tujuan
kelestarian ekologis tetapi juga diharapkan memberikan keuntungan sosial dan
ekonomi

bagi

perlindungan

masyarakat.
laut

Dalam

menghadapi

implementasinya

berbagai

pengelolaan

permasalahan,

terutama

daerah
dalam

keberlanjutannya setelah program ini berakhir. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
kajian untuk menilai peluang keberlanjutan baik dari aspek ekologis, sosial
ekonomi, kebijakan dan kelembagaannya. Diagram Alir Kerangka Pendekatan
Studi Keberlanjutan Pengelolaan DPL di Desa Waha Kabupaten Wakatobi
ditampilkan pada Gambar 1.
Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan

Fungsi sosial

Fungsi ekologis

Fungsi ekonomi

Tujuan Pembentukan Daerah perlindungan Laut

Evaluasi Indikator Ekologi, Sosek, Kebijakan dan Kelembagaan

Analisis Peluang Keberlanjutan
tidak
Berlanjut?

Perbaikan
Pengelolaan

Feedback

ya
Mempertahankan Pengelolaan

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi Keberlanjutan Pengelolaan
DPL di Desa Waha Kabupaten Wakatobi

2 METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Mei 2013 di
Desa Waha, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pengambilan sampel ekologi seperti tutupan terumbu karang dan
kelimpahan ikan karang dilaksanakan di Daerah Perlindungan Laut (DPL) di desa
tersebut. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan, Desa Waha merupakan salah satu lokasi kegiatan Coremap II
Kabupaten Wakatobi dan terdapat DPL yang dibentuk melalui program Coremap
II (Gambar 2).

Waha

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
(Sumber: Coremap II 2009)

87
2.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan
eksploratif untuk mengumpulkan data, gambaran sifat dan keadaan yang sedang
berlangsung pada saat penelitian dilaksanakan, serta memeriksa sebab-sebab dari
suatu gejala yang terjadi.

2.3 Jenis dan Sumber Data
Data Primer
Jenis data primer yang diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi
penelitian melalui wawancara langsung dengan masyarakat dan stakeholders serta
observasi di lapangan yang terkait biofisik, sosial ekonomi, kebijakan maupun
kelembagaan dengan berpedoman pada kuisioner yang telah dirancang
sebelumnya. Komponen, jenis, dan sumber data Primer yang dikumpulkan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Jenis dan sumber data primer
No

Komponen

Jenis Data

Sumber Data

1

Biofisik

1.1. Tutupan terumbu karang

In situ

1.2 Kelimpahan ikan karang

In situ

2.1. Pendapatan

In situ

2.2. Partisipasi

In situ

2.3. Persepsi

In situ

2

Sosial ekonomi

Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi biofisik, kondisi sosial
ekonomi seperti jumlah penduduk, mata pencaharian, kondisi demografi serta
data-data yang terkait kelembagaan yang diperoleh dari studi kepustakaan atau
laporan/publikasi dari instansi terkait seperti Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Kantor Desa/Kecamatan/Dinas Kelautan dan Perikanan, Biro Pusat
Statistik, dan sebagainya. Data Sekunder yang dikumpulkan dapat dilihat pada
Tabel 2.

Tabel 2 Jenis dan sumber data sekunder
No

Komponen

Jenis Data

Sumber Data

1

Biofisik

1.1.Tutupan terumbu karang

LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW

1.2 Kelimpahan ikan karang

LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW

Sosial

2.1. Jumlah penduduk

LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa

ekonomi

2.2. Mata Pencaharian

LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa

2.3. Kondisi Demografi

LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa

2.4. Pendidikan

LIPI/DKP Wktb/KKP/TNW/desa

2

2.4 Metode Pengambilan Sampel
Data Komponen Ekologi
Kondisi Terumbu Karang
Pengamatan kondisi tutupan terumbu karang dilakukan untuk mengetahui
besaran tutupan per satuan luas areal pengamatan. Pengamatan kondisi terumbu
karang dilakukan pada transek permanen yang telah ada di lokasi daerah
perlindungan laut. Di daerah perlindungan laut COREMAP II World Bank, data
baseline ekologi terumbu karang ditentukan dengan metode Point Intercept
Transect (PIT), untuk mengakses kondisi terumbu karang berdasarkan persen
tutupan karang batu hidup. Kegiatan pengamatan kondisi tutupan terumbu karang
dilakukan dengan teknik pengamatan yaitu Point Intercept Transect (PIT).
Metode PIT, merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau
kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang
dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat (Hill dan Wilkinson 2004).
Metode ini dapat digunakan di daerah yang ingin diketahui kondisi
terumbu karang untuk tujuan pengelolaan. Suatu daerah yang ingin mengelola
terumbu karangnya tentu ingin mengetahui terumbu karangnya yang rusak, dan
terumbu karangnya yang masih sehat untuk kepentingan pengelolaannya. Metode
ini dapat memperkirakan kondisi terumbu karang di daerah berdasarkan persen
tutupan karang batu hidup dengan mudah dan cepat. Secara teknis, metode Point
Intercept Transect (PIT) adalah cara menghitung persen tutupan (% cover)
substrat dasar secara acak, dengan menggunakan tali bertanda di setiap jarak 0,5
meter atau juga dengan pita berskala (roll meter).

89
Cara kerja adalah sebagai berikut :


Posisi DPL sebelumnya ditentukan dengan menggunakan GPS.



Pita berskala (roll meter) sepanjang 25 meter atau tali bertanda diletakkan di
dasar, ditentukan atau diikatkan pada titik nol (0).



Tiap koloni karang, yang berada di bawah tali transek, dicatat jumlah
kehadirannya per titik, dimulai dari titik ke 1, 2, 3 dan seterusnya sampai ke
ujung akhir yaitu pada titik ke 50 (ujung meter ke-25). Diutamakan untuk
karang, pencatatan dilakukan pada karang batu hidup. Biota lain atau substrat
dasar, dicatat sesuai dengan keberadaannya di bawah masing-masing titik.



Kategori yang harus dicatat pada alat tulis ialah : karang batu dengan kode
AC dan NA, biota lain dan substrat dan seterusnya.



Jumlah titik yang di bawahnya terdapat koloni karang batu atau biota lain
atau substrat, masing-masing dikelompokkan dan dihitung sebagai persentase
tutupan (%). Data pengamatan selanjutnya disusun dalam bentuk tabel untuk
analisa selanjutnya.

Pengamatan ikan di terumbu karang
Pengamatan ikan di terumbu karang dilakukan di lokasi transek permanen
yang sama dengan pengamatan karang. Metode yang digunakan ialah sensus
visual (Under water Fish Visual Census, UVC), pada bidang pengamatan seluas
5 x 25 meter persegi.
Dalam penelitian ikan karang, ikan dikelompokkan kedalam 3 kategori, yakni :


Ikan target : kelompok ikan yang menjadi target nelayan, umumnya
merupakan ikan konsumsi dan bemilai ekonomis. Kelimpahannya dihitung
secara ekor per ekor (kuantitatif). Untuk kegiatan di lokasi DPL, kelompok
ikan target utama yang disensus terdiri atas suku : Serranidae (kelompok ikan
kerapu); Suku Lutjanidae (kelompok ikan kakap); Lethrinidae (kelompok
ikan lencam); dan Haemulidae (kelompok ikan bibir tebal). Sebagai catatan,
untuk kelompok ikan target tersebut diatas juga harus dibatasi ukurannya,
yaitu yang berukuran > 20 cm.



Ikan indikator : kelompok ikan karang yang dijadikan sebagai indikator
kesehatan terumbu dalam penelitian ini kelompok ikan indikator diwakili

oleh Chaetodontidae (kelompok ikan kepe-kepe). Kelimpahannya dihitung
secara kuantitatif.


Ikan major : kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu karang
yang tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut di atas. Pada umumnya
peran utamanya belum diketahui secara pasti selain berperan di dalam rantai
makanan. Kelompok ini terdiri dari ikan-ikan kecil < 20 cm yang
dimanfaatkan sebagai ikan hias. Kelimpahannya dihitung secara (kuantitatif).
Untuk ikan lainnya yang mempunyai sifat bergerombol (schooling),
kelimpahan dihitung dengan cara taksiran (semi kuantitatif).

Cara kerja


Pengamatan dilakukan disepanjang garis transek dengan jarak pandang sejauh
2,5 m ke sebelah kiri dan 2,5 meter ke sebelah kanan garis transek (pengamat
berada di tengah).



Pengamat mencatat semua jenis ikan dan mengitung jumlah kehadiran ikan
yang ada di dalam area transek.



Untuk ikan target dan ikan indikator, jumlah dihitung secara kuantitatif,
sedangkan untuk ikan lainnya (major group) yang berkelompok, jumlah ikan
dihitung secara semi kuantitatif.



Sama halnya dengan pengamatan karang, juga dicatat parameter fisik seperti
cuaca, keadaan laut, gelombang, kedalaman, kecerahan air laut dan pasangsurut dan sebagainya untuk tambahan deskripsi dalam pembuatan laporan.

Kode pencatatan data kondisi terumbu karang yang dilaksanakan pada
transek permanen sebagaimana Tabel 3.
Tabel 3 Kode pencatatan data pada transek permanen dalam kegiatan Monitoring
kesehatan terumbu karang, versi CRITC-COREMAP (Manuputty et al.
2006)
Kode
AC
NA
DC
DCA

Kategori Biota
Acropora
Non-Acropora
Death Coral
Death Coral Algae

SC
FS

Soft Coral
Fleshy Seaweed

Keterangan
Karang Acropora
Karang Non- Acropora
Karang mati masih berwarna putih
Karang mati yang warnanya berubah karena
ditumbuhi alga filamen
Jenis-jenis Karang Lunak
Jenis-jenis makro alga : Sargassum, Turbinaria,
Halimeda dll.

91
Rubble
Rock
Sand
Silt

R
RK
S
SI

Patahan karang bercabang (mati)
Substrat dasar yang keras (cadas)
Pasir
Pasir lumpuran yang halus

Data Sosial Ekonomi, Kebijakan dan Kelembagaan
Data sosial ekonomi yang dikumpulkan meliputi data pendapatan serta
persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan daerah perlindungan laut
Desa Waha. Data lain yang dikumpulkan yaitu menyangkut kelembagaan
diantaranya tata kelola atau aturan-aturan dalam pengelolaan dan dukungan dari
stakeholders.
Metode pengumpulan data sosial ekonomi, kebijakan dan kelembagaan
dilakukan dengan observasi dengan mengamati langsung aktivitas masyarakat
yang berkaitan dengan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat
Desa Waha, semistruktur wawancara atau diskusi untuk memperoleh informasi
lebih lanjut tentang lokasi penelitian dan survey lapangan dengan menggunakan
kuesioner yang telah dirancang (Polnac et al. 2000).
Penelitian ini spesifik tentang pengelolaan kawasan konservasi oleh karena
itu responden yang dimintai keterangan adalah responden yang terkait daerah
perlindungan laut berbasis masyarakat Desa Waha. Oleh karena itu penentuan
responden dengan sengaja (purposive sampling). Pengumpulan data primer
dilakukan melalui wawancara dan diskusi dengan panduan kuesioner. Responden
berasal dari nelayan setempat, perwakilan Lembaga Pengelola Sumberdaya
Terumbu Karang (LPSTK) Desa Waha, tokoh masyarakat, tokoh agama,
pemerintah desa dan kabupaten, serta kelompok lain yang terkait. Responden
rumah tangga nelayan yang diambil berjumlah 68 yang mewakili empat dusun di
Desa Waha.

3.5 Metode Analisis Data
Persentase Penutupan Karang
Persentase penutupan digunakan untuk menduga kondisi terumbu karang
pada suatu lingkungan. Semakin tinggi persentase penutupan karang hidup,

semakin baik ekosistem terumbu karang tersebut. Rumus yang digunakan untuk
menghitung persentase penutupan adalah :
x 100%
Keterangan :
C = Persentase Tutupan Karang (%)
a = jumlah titik/jenis ke-i
A = jumlah titik total transek (50)
Penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan
karang (Gomez dan Yap 1988), adalah sebagai berikut :
75% - 100%

: Sangat baik

50% - 74,9% : Baik
25% - 49,9% : Sedang
0% - 24,9%

: Rusak

Kelimpahan ikan karang
Kelimpahan komunitas ikan karang adalah jumlah ikan karang yang
dijumpai pada suatu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan.
Rumus yang digunakan untuk menghitung kelimpahan ikan karang adalah :
x 100%
Keterangan:
Xi = Kelimpahan ikan ke-i (%)
ni = jumlah total ikan pada stasiun pengamatan ke-i
A = Luas transek pengamatan
Analisis Deskriptif Kualitatif
Data dianalisis

dengan perhitungan dalam

bentuk

indeks, total

penjumlahan dan persentase dari beberapa indikator yang ada kemudian
digambarkan dalam bentuk grafik. Perbandingan juga dilakukan pada beberapa
indikator untuk melihat perbedaan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir
terhadap pengelolaan kawasan konservasi.

93
Analisis Keberlanjutan
Daerah perlindungan laut Desa Waha merupakan kawasan konservasi yang
diinisiasi melalui pihak luar (Pemerintah melalui program COREMAP), oleh
karena itu penting untuk menilai peluang keberlanjutan jika program ini
diteruskan atau dikembangkan oleh masyarakat atau dengan kata lain jika
tanggung jawab program diberikan kepada masyarakat sekitar ketika pihak
pemerintah secara langsung maupun tidak langsung tidak terlibat lagi dalam
program.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kawasan konservasi
dikelompokan menjadi empat aspek yaitu :
1. Faktor yang berkaitan aspek ekologi
Faktor yang berkaitan aspek ekologi yaitu dampak terhadap kondisi tutupan
karang, dampak terhadap sumberdaya ikan dan dampak terhadap perbaikan
lingkungan.
2. Faktor yang terkait aspek sosial ekonomi
Faktor yang berkaitan dengan aspek sosial yaitu kesesuaian dengan aspek
sosial, dampak terhadap peningkatan pendapatan dan dampak terhadap
pengembangan usaha lain.
3. Faktor yang terkait aspek kebijakan
Faktor yang berkaitan dengan aspek kebijakan yaitu Kesesuaian dengan
kebijakan setempat dan komitmen institusi lokal.
4. Faktor yang terkait dengan aspek kelembagaan
Faktor yang berkaitan dengan aspek kelembagaan yaitu kapasitas institusi
setempat, penguatan SDM dan hubungan dengan donor.
Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut
mempengaruhi peluang keberlanjutan pengembangan akan dianalisis dengan
analisis multidimension scalling (MDS). Hasil penentuan skor pada masingmasing faktor ekologi, sosial, ekonomi, kebijakan dan kelembagaan kemudian
diolah dengan analisis aplikasi MDS yang menggunakan teknik RAPFISH (Rapid
Assessment Techniques for Fisheries). Teknik RAPFISH menggunakan scoring
yang sederhana dan mudah untuk atribut yang luas dari berbagai disiplin ilmu,
sehingga dapat menghasilkan penilaian. Tahapan Analisis Aplikasi MDS dalam

Teknik RAPFISH (Diadaptasi dari Alder et al. 2000 dalam Taryono 2003)
sebagaimana Gambar 3.
Start

Review atribut dalam
beberapa kriteria dan
kategori

Identifikasi data dan penentuan
jenis perikanan berdasar kriteria
yang ditentukan

Penyusunan nilai skor dan penentuan
titik referensi nilai tengah, Bad dan
Good
Ordinasi MDS untuk tiap set atribut, rotasi plot
ordinasi bad dan Good dalam Garis Horisontal

Simulasi Monte Carlo untuk
mengecek ketidakpastian
dari analisis

Analisis Leverage untuk
mengidentifikasi anomali
atribut yang dianalisis

Penilaian Kelestarian

Gambar 3 Tahapan Analisis Aplikasi MDS dalam Teknik RAPFISH
Masing-masing dari delapan atribut pada empat aspek diberikan pilihan
nilai antara 0 s.d. 3, yaitu 0, 1, 2 atau 3. Nilai 3 menunjukkan bahwa dampak dari
keberadaan DPL Desa Waha memberikan efek positif pada atribut tersebut.
Sedangkan nilai 0 menunjukkan hal yang sebaliknya, dimana keberadaan DPL
Desa Waha tidak memberikan dampak yang positif. Tidak semua atribut memiliki
pilihan nilai antara 0 s.d. 3, akan tetapi beberapa atribut hanya memiliki pilihan
nilai 0, 1 dan 2 serta nilai 0 dan 1 (Lampiran 1). Penentuan nilai tersebut
didasarkan banyaknya faktor-faktor yang berkaitan dengan masing-masing atribut.
Semakin sedikit faktor yang berkaitan maka pilihan nilai menjadi semakin kecil
atau semakin banyak faktor yang berkaitan maka pilihan nilai menjadi semakin
beragam (Faiza, 2011).

95
Prosedur analisis RAPFISH di dalam penelitian ini melalui beberapa
tahapan yaitu :


Analisis terhadap data pengelolaan daerah perlindungan laut di Desa Waha
melalui data hasil laporan kegiatan dan pengamatan di lapangan.



Melakukan skoring pada aspek ekologi, sosial ekonomi, kebijakan dan
kelembagaan dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak (software)
RAPFISH yang dipautkan (add-in) pada MS Excel.



Melakukan analisis MDS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress dengan
ALSCAL Algoritma.



Melakukan “rotasi” untuk menentukan posisi perikanan pada ordinasi bad dan
good dengan MS Excel.



Melakukan

leverage

analysis

dan

monte

carlo

analysis

untuk

memperhitungkan sensitivitas dan aspek ketidakpastian dari atribut yang
dianalisis.
Pemilihan MDS dalam analisis RAPFISH dilakukan mengingat metode
Multi-Variate Analysis yang lain seperti factor analysis dan Multi-Atribute Utility
Theory (MAUT) terbukti tidak melahirkan hasil yang stabil (Pitcher dan
Preikshot, 2001). Di dalam MDS, objek atau titik yang diamati dipetakan ke
dalam ruang dua dan tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan
ada sedekat mungkin terhadap titik asal (dua titik atau objek yang sama dipetakan
dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain). Sebaliknya objek atau
titik yang sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi
(penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam
ruang yang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut :

d= √
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian
diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j
dengan titik asal (dij) sebagaimana persamaan berikut:

dij = a + bdij + e

Umumnya terdapat tiga teknik yang digunakan untuk meregresikan
persamaan di atas yakni dengan metode least square (KRYST), metode least
squared bergantian yang didasarkan pada akar Euclidian distance (squared
distance) atau disebut metode ALSCAL, dan metode yang didasarkan Maximum
Likelihood. Dari ketiga metode tersebut, Algoritma ALSCAL merupakan metode
yang paling sesuai dengan untuk RAPFISH dan mudah tersedia pada hampir
setiap software statistika (SPSS dan SAS). Metode ALSCAL mengoptimasi jarak
kuadrat (squared distance= dijk) terhadap data kuadrat (titik asal= Oijk), yang di
dalam tiga dimensi ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:

S=√



∑ ∑

∑ ∑

Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis:

d2ijk = ∑

Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit

(goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangat penting.
Goodness of fit dalam MDS tidak lain mengukur seberapa tepat (how well)
konfigurasi dari suatu titik mencerminkan data aslinya. Goodness of fit ini dalam
MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di
atas. Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit sementara nilai S yang tinggi
sebaliknya. Di dalam RAPFISH model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress
yang lebih kecil dari 0.25 (Fauzi dan Anna 2005).
Hasil

analisis

total

terhadap

empat

aspek

yang mempengaruhi

keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut akan didapatkan nilai antara 0
s.d. 100. Tingkat keberlanjutan pengelolaan tersebut dibagi ke dalam empat skala
yaitu kategori tinggi, sedang, kurang dan rendah. Skala keberlanjutan pengelolaan
DPL berbasis masyarakat sebagaimana Tabel 4.
Tabel 4 Skala keberlanjutan pengelolaan DPL
Skala keberlanjutan

Kategori

Keterangan

97
75,01 s.d. 100

Tinggi

50,01 s.d. 75,00

Sedang

25,01 s.d. 50,00

Kurang

0 s.d. 25,00

Rendah

DPL akan berkelanjutan dan
memberikan hasil optimal bagi
pencapaian tujuan
Cukup berkelanjutan, dimana
DPL akan berkelanjutan namun
dengan beberapa tujuan tidak
tercapai
Kurang
berkelanjutan,
DPL
memiliki peluang kecil untuk
berkelanjutan
Tidak berkelanjutan

Sumber : Modifikasi dari Susilo, 2003

3

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Keadaan Umum Kabupaten Wakatobi
Kondisi Geografis
Kepulauan Wakatobi sejak tahun 2003 telah menjadi Kabupaten sebagai
pemekaran dari Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah
Kabupaten Wakatobi seluas 1.390.000 hektar sebagian besar atau lebih dari 90%
berupa laut. Kabupaten Wakatobi terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut
Flores. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton,
sedangkan sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Flores. Di sebelah Timur dibatasi
oleh Laut Banda, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan
Laut Flores. Wakatobi merupakan kependekan dari nama empat pulau besar yang
ada di kawasan tersebut, yaitu Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Secara administratif Kabupaten Wakatobi terbagi ke dalam 75 desa, 24 kelurahan
dan 8 (delapan) kecamatan.
Gerbang utama kawasan Kabupaten Wakatobi adalah Pulau WangiWangi. Dari Kendari, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tenggara, Wangi-Wangi dapat
ditempuh melalui perjalanan laut dan udara. Melalui perjalanan laut memiliki 2
rute yaitu rute Kendari - Bau-Bau – Wangi-Wangi dan rute Kendari – WangiWangi. Rute Kendari - Bau-Bau – Wangi-Wangi ditempuh dengan menggunakan
kapal cepat menuju Bau-Bau dengan waktu tempuh ± 5 jam. Selanjutnya dari
Bau-Bau ke Wangi-Wangi dengan menggunakan kapal kayu selama ± 9 jam atau
kapal perintis dan PELNI. Rute Kendari – Wanci ditempuh dengan menggunakan
kapal kayu dengan waktu tempuh ± 12 jam.
Diantara empat pulau besar yang ada di Kepulauan Wakatobi, Pulau
Wangi-Wangi mempunyai aksesibilitas tertinggi. Aksesibilitas menuju pulaupulau di Kabupaten Wakatobi cukup sulit dicapai dengan transportasi laut karena
gelombang sangat besar pada saat musim timur (Juni – Agustus), dan musim barat
(Desember-Februari). Musim yang paling tenang untuk perjalanan laut di
Wakatobi biasanya pada bulan September sampai dengan bulan November dan
pada bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Perjalanan lain dapat melalui udara
dengan pesawat komersil melalui Bandar Udara Matohara di Pulau Wangi-Wangi,

99
dengan rute Kendari – Wanci secara regular 4 kali seminggu. Sebagai daerah
kepulauan, perhubungan antar pulau di Kabupaten Wakatobi memegang peranan
penting dalam pengangkutan orang dan barang. Tersedianya Bandar udara
membantu mempercepat mobilisasi orang dan barang dari Wakatobi ke
Kabupaten atau Provinsi lain.
Keanekaragaman Hayati
Terumbu Karang
Terumbu karang perairan Wakatobi berada di pusat wilayah yang
memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut
lainnya tertinggi di dunia yang dikenal dengan segitiga karang dunia (the heart of
coral triangle centre), yang meliputi Phillipina, Indonesia sampai Kepulauan
Solomon. Dari citra Landsat 2003, diketahui luas terumbu di Wakatobi adalah
54.500 ha. Panjang atol di Kaledupa ± 48 km, atol memanjang ke Tenggara dan
Barat Laut 49,26 km dan lebar 9.75 km merupakan atol tunggal terpanjang di Asia
Pasifik). Dari hasil penelitian WWF Indonesia tahun 2003 tercatat 396 spesies
karang scleractinia hermatipik yang terbagi dalam 68 genus dan 15 famili.
Sebanyak 10 spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipik dan 28
genera karang lunak. Disamping karang keras dan karang lunak, terdapat 590
spesies ikan karang dari 52 famili, 31 spesies karang fungi (mushroom), 31
spesies dari foraminifera. Dari data tersebut tingkat keragaman ini termasuk relatif
tinggi bila dihubungkan dengan keragaman habitat dan merupakan sebuah
indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu
karang (Coremap 2011).
Atol di bagian timur kondisinya secara umum paling baik, perairan Tomia
bagian barat laut memiliki keragaman spesies paling tinggi dan laguna Karang
Kaledupa memiliki komunitas karang paling tidak umum dengan kelimpahan
spesies langka yang paling tinggi. Terumbu karang di Wakatobi secara umum
dalam kondisi sehat. Namun demikian, kerusakan walaupun dengan tingkat yang
relatif rendah terjadi yang disebabkan oleh tiga hal yaitu penggunaan bahan
peledak, serangan mahkota berduri dan pemucatan (bleaching). Penggunaan
bahan beracun (sianida) tampak masih terjadi di banyak tempat, walau dampak
langsung pada karang belum diobservasi.

Ikan
Berdasarkan CDFI (Coral Fish Diversity Index/ Indeks Keragaman Ikan
Karang) diketahui bahwa sekitar 942 spesies ditemukan di wilayah Wakatobi.
Peringkat CFDI tersebut menempatkan wilayah Wakatobi pada kategori
keanekaragaman hayati yang sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan
Komodo di Indonesia. Famili-famili yang paling beragam spesiesnya antara lain
jenis-jenis Wrasse (Labridae), Damsel (Pomacentridae), Kerapu (Serranidae),
Kepe-kepe (Chaetodontidae), Surgeon (Acanthuridae), Kakatua (Scaridae),
Cardinal (Apogonidae), Kakap (Lutjanidae), Squirrel (Holocentridae), dan Angel
(Pomacanthidae). Kesepuluh famili ini meliputi hampir 70% dari total hewan
yang tercatat. Penelitian tersebut juga menemukan kelompok ikan target yang
bernilai ekonomis (komersial) sebanyak 647 ekor Kerapu (Serranidae) dan 29
ekor Napoleon Wrasse (Chelinus undulatus).
Penelitian yang dilakukan COREMAP II – LIPI tahun 2006 terhadap
keanekaragaman jenis ikan karang untuk empat pulau utama, menemukan 211
jenis (Pulau Kadelupa), 208 jenis (Pulau Wangi-Wangi), 221 jenis (Pulau Tomia)
dan 177 jenis (Karang Kapota). Sedangkan dengan menggunakan metode LIT
pada 15 stasiun ditemukan 319 jenis ikan karang yang terdiri dari 182 jenis ikan
major, 105 jenis ikan target dan 32 jenis ikan indikator atau dengan perbandingan
6 : 3 : 1. Hal ini menunjukkan, jika dijumpai satu ekor ikan indikator, maka akan
dijumpai pula tiga ekor ikan target dan enam ekor ikan major. Nilai kelimpahan
pada ke empat pulau adalah sebesar 14.982 individu per 350 m2.

Cetaceans
Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional
Wakatobi – World Wild Fund – The Nature Conservation sampai dengan tahun
2006 di perairan Wakatobi telah tercatat paus jenis : Physester macrocephalus
(Paus Sperma), Globicephala Macrorhyncus (Paus Pemandu Sirip Pendek),
Peponocephala electra (Paus Kepala Semangka), Balaenoptera musculus (Paus
Biru), Balaenoptera edeni, dan Mesoplodon sp. Selain itu ditemukan juga lumbalumba jenis : Stenella longirostris (Lumba-lumba paruh panjang, Stenella
attenuate (Lumba-lumba totol), Steno bredenensis (Lumba-lumba gigi kasar),

101
Grampus griseus (Lumba-lumba abu-abu ) dan Tursiops truncates (Lumba-lumba
hidung botol).

Penyu
Hasil monitoring penyu oleh Balai Taman Nasional Wakatobi – World
Wild Fund – The Nature Conservation sampai dengan tahun 2006 di Kepulauan
Wakatobi ada 2 (dua) jenis penyu, yaitu Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)
dan Penyu Hijau (Chelonia mydas). Diketahui terdapat 5 lokasi peneluran Penyu
Hijau di yaitu Pulau Runduma, Pulau Anano, Pulau Kentiole, Pulau Tuwu-Tuwu
(Cowo-Cowo) dan Pulau Moromaho.

Jenis biota yang dilindungi
Di perairan Wakatobi terdapat beberapa jenis hewan yang dilindungi, antara
lain Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Hijau (Chelonia mydas),
Lumba-lumba (Delphinus delphis, Stenella longilotris, Tursiops truncatus), Ikan
Napoleon (Cheilinus undulatus), Kima (Tridacna sp), Lola (Trochus sp), dan
Ketam Kelapa (Birgus latro).
Keadaan Umum Desa Waha
Geografis dan Administrasi
Desa Waha merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah barat Pulau
Wangi-Wangi dan berada dalam wilayah Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten
Wakatobi. Desa Waha memiliki luas wilayah daratan yaitu ± 1.350 Km x 2.800
Km, sekitar 15% dari luas wilayah kecamatan Wangi-Wangi, sedangkan luas
perairan yaitu sekitar 16 Km2. Desa Waha memiliki batas-batas wilayah sebagai
berikut:
a. Sebelah Utara dengan Desa Koroe Onowa
b. Sebelah Selatan dengan Desa Wapia-Pia
c. Sebelah Timur dengan Desa Tindoi
d. Sebelah Barat dengan Selat Buton
Secara administratif pemerintahan Desa Waha terdiri dari empat dusun yaitu
Dusun Gelora, Dusun Menara, Dusun Membara dan Dusun Limbo Tonga. Jarak

Desa Waha dengan Ibu Kota Kecamatan sekitar ± 8 Km. Untuk menjangkau
Desa Waha tidak sulit, dapat ditempuh menggunakan jalur darat dan laut. Jalur
laut dengan alat transportasi mobil, sepeda motor, sepeda atau jalan kaki
sedangkan jalur laut dengan menggunakan perahu atau sampan.

Topografi dan Iklim
Bentuk topografi daratan Desa Waha yang terdekat dengan pantai relatif
datar dengan ketinggian sekitar 1-2 meter dari permukaan laut. Profil pantai terdiri
atas pantai putih dengan vegetasi pantai pada umumnya berupa pohon kelapa.
Sedangkan daerah yang lebih jauh dari pantai terdiri atas perbukitan dengan ratarata ketinggian antara 1 sampai 10 meter yang banyak dimanfaatkan untuk
kegiatan pertanian, dengan kondisi daratan yang banyak berbatu. Kondisi daratan
yang ada di Desa Waha meliputi: pemukiman penduduk, hutan, perkantoran dan
lahan pertanian. Lokasi desa ini memanjang mengikuti arah pantai. Kondisi luasan
wilayah Desa Waha sebagaimana Tabel 5.

Tabel 5 Pembagian luasan wilayah Desa Waha
No

Keterangan

Luas

1

Luas Desa

37 KM²

2

Luas Perairan

16 KM²

3

Luas Pemukiman

1,5 KM²

4

Luas Daerah Pertanian

3 KM²

Sumber : Profil Desa Waha 2010
Desa Waha sebagaimana pantai tropik lainnya mengalami dua kali
pergantian musim yaitu musim Barat dan musim Timur. Musim Barat
dikendalikan angin Barat Daya yang membawa banyak hujan jatuh pada bulan
Desember sampai April. Musim Timur membawa sedikit hujan yang dikendalikan
Angin Timur Laut jatuh pada bulan Juni sampai Oktober. Kondisi Desa Waha
pada umumnya serupa dengan daerah lain yang berada dalam wilayah tropik yaitu
memiliki suhu rata-rata 30o C, dengan curah hujan 146,50 mm/ tahun.

103
Penduduk
Desa Waha didiami hampir seluruhnya oleh suku Buton dan beragama
Islam. Penduduk yang bukan suku Buton merupakan pendatang karena mencari
nafkah atau berkeluarga dengan penduduk setempat. Penduduk Desa Waha terdiri
atas 353 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk sebanyak 1.272 jiwa,
yang terdiri atas laki-laki sebanyak 650 dan perempuan sebanyak 622 jiwa.
Komposisi jumlah penduduk Desa Waha berdasarkan jenis kelamin disajikan
dalam Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin
No

Jumlah Penduduk

Nama Dusun

Jumlah KK

L

P

L+P

1

Limbo Tonga

199

197

396

105

2

Gelora

100

96

196

59

3

Menara

139

135

274

76

4

Membara

212

194

406

113

Total

650

622

1272

353

Sumber: Data primer diolah 2013

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang berperan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan suatu masyarakat, diharapkan semakin baik kualitas sumber daya
manusia. Di Kabupaten Wakatobi, pada tahun 2009 sekitar 10,72 persen
penduduk usia sepuluh tahun ke atas tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Hal ini berarti, 1 dari 10 orang dewasa tidak pernah bersekolah.
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Waha cukup terbantu dengan
keberadaan dua buah SD Negeri yang berdiri sejak 1969 yaitu SD Negeri Waha 1
dan SD Negeri Waha 2 serta sebuah SMP Negeri yang berdiri sejak 1980 yaitu
SMP Negeri 2 Waha dan sebuah Taman Kanak-Kanak (TK). Komposisi
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Waha dapat dilihat pada Tabel
7.

Tabel 7 Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No

Tingkat Pendidikan

Jumlah (%)

1

Tidak tamat SD

8,3

2

TK

30,4

3

Sekolah Dasar (SD)

29,3

4

Sekolah Menengah Pertama (SMP)

12

5

Sekolah Menengah Umum (SMU)

12

6

Diploma

4

7

Sarjana

3

8

Pasca Sarjana

1
Total

100

Sumber: Profil Desa Waha tahun 2010

Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Waha antara lain jalan desa, kantor
desa, TK 1 buah, SD 2 buah, SMP 1 buah, mesjid 3 buah, Mushola 1 buah,
Pondok Informasi Terumbu Kara