Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keparahan Serangan Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPARAHAN
SERANGAN WERENG BATANG COKELAT
Nilaparvata lugens STAL. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE)
PADA PERTANAMAN PADI DI KABUPATEN KLATEN

RADHY ALFITRA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

ABSTRAK
RADHY ALFITRA. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keparahan Serangan
Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae) pada
Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten.
Dibimbing oleh HERMANU
TRIWIDODO.
Ledakan populasi wereng batang cokelat di Jawa Barat bagian utara pada
tahun 2011 terhenti, tetapi ledakan populasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur

kecenderungannya justru meluas. Daerah eks Karesidenan Surakarta yang dikenal
lumbung padi Jawa Tengah termasuk di dalamnya kabupaten Klaten hingga saat
ini masih terancam oleh hama wereng batang cokelat. Faktor utama yang
berkontribusi terhadap meningkatnya populasi dan serangan wereng batang
cokelat dalam beberapa tahun terakhir ini adalah potensi biotik wereng batang
cokelat yang tinggi, faktor abiotik dan sistem budidaya padi yang mendukung
berkembangnya populasi wereng batang cokelat. Ketiga faktor tersebut bekerja
secara bersama-sama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi keparahan serangan wereng batang cokelat Nilaparvata
lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae) pada pertanaman padi di Kabupaten
Klaten. Pengumpulan data dilakukan di lima kecamatan yang mengalami
serangan wereng batang cokelat yaitu Delanggu, Juwiring, Karanganom, Trucuk
dan Wonosari. Pada setiap kecamatan dipilih 3 desa dan setiap desa dipilih 3
petak yang mengalami serangan wereng batang cokelat paling berat, sedang dan
paling ringan. Pada setiap petak contoh dilakukan pengamatan populasi wereng
batang cokelat, keragaman jenis musuh alami dan hama lain dengan mencermati 5
tanaman contoh yang dipilih secara sistematik sepanjang diagonal petak. Selain
itu untuk mengetahui praktik budidaya tanaman padi, pada setiap petak contoh
dilakukan wawancara terhadap petani penggarap. Data yang telah diperoleh
dianalisis dengan uji khi kuadrat untuk mengetahui pengaruh dari berbagai faktor

terhadap keparahan serangan wereng batang cokelat. Faktor-faktor yang memiliki
pengaruh nyata terhadap keparahan serangan wereng batang cokelat (ringan,
sedang dan berat) dalam penelitian ini adalah populasi wereng batang cokelat,
interval penyemprotan insektisida, dosis pupuk K dan jarak tanam. Sedangkan
faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh nyata terhadap keparahan serangan
wereng batang cokelat adalah keragaman jenis musuh alami, varietas padi,
keragaman jenis hama lain, rotasi tanaman, banyaknya bahan aktif insektisida
yang diaplikasikan, dosis pupuk N dan dosis pupuk P.
Kata kunci : wereng batang cokelat, kabupaten Klaten

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPARAHAN
SERANGAN WERENG BATANG COKELAT
Nilaparvata lugens STAL. (HEMIPTERA: DELPHACIDAE)
PADA PERTANAMAN PADI DI KABUPATEN KLATEN

RADHY ALFITRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian

pada Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Skripsi

: Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keparahan Serangan
Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera:
Delphacidae) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten
Nama Mahasiswa : Radhy Alfitra
NIM
: A34070069

Menyetujui,
Dosen Pembimbing


Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc
NIP. 19570122 198103 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc
NIP 19640204 19902 1 002

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Yogyakarta, pada tanggal 13 Mei 1989. Penulis
merupakan putra kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Chaider SE
dan Ibu Heris Tri Wardiani.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri
46 Jakarta. Penulis melanjutkan studinya di Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi

kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA)
IPB sebagai wakil ketua (2008-2009) dan ketua (2009-2010) serta Himpunan
Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia (HMPTI) pada divisi internal.
Penulis menerima beberapa prestasi selama kuliah yaitu juara II lomba karya tulis
ilmiah tingkat nasional yang diadakan di Universitas Bengkulu pada tahun 2009
serta program kreativitas mahasiswa didanai DIKTI pada tahun 2008 dan 2009.
Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar
Proteksi Tanaman pada tahun 2011.

vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penelitian yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keparahan
Serangan Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera:
Delphacidae) pada Pertanaman Padi di Kabupaten Klaten” disusun dalam rangka
penyelesaian tugas akhir di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman padi dan
laboratorium lapangan Klinik Tanaman IPB yang terletak di kabupaten Klaten,

Jawa Tengah dari bulan Juni sampai bulan Agustus 2011.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi yang
senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan motivasi kepada penulis
2. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
3. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS. selaku dosen penguji tamu yang telah
memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis
4. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan moral, spiritual, do’a serta
perhatian kepada penulis
5. Kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan serta perhatian kepada
penulis
6. Teman-teman seperjuangan di Departemen Proteksi Tanaman IPB angkatan 44
7. Teman-teman Go Field angkatan 45 dan 46 IPB yang telah membantu selama
proses penelitian
8. Kak Khairi, Mbak Ratih dan anggota laboratorium klinik tanaman IPB Cawas
yang telah membantu selama penelitian
9. Pak Pur, Pak War dan warga Klaten yang telah membantu selama proses
penelitian
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya.

Bogor, Desember 2011
Radhy Alfitra

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

ix

PENDAHULUAN ....................................................................................

1


Latar Belakang .................................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian ...........................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................

3

Padi (Oryza sativa Linn.) ................................................................
Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. ..........................
Taksonomi dan Morfologi ................................................................
Bioekologi .......................................................................................
Perkembangan Populasi ...................................................................

3
3

3
4
5

BAHAN DAN METODE .........................................................................

6

Tempat dan Waktu ..........................................................................
Bahan dan Metode ..........................................................................
Pengamatan Lapangan ....................................................................
Wawancara ......................................................................................
Analisis dan Penyajian Data ............................................................

6
6
6
6
7


HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................

8

Populasi Wereng Batang Cokelat ....................................................
Keragaman Jenis Musuh Alami ......................................................
Varietas Padi ...................................................................................
Keragaman Jenis Hama Lain ...........................................................
Rotasi Tanaman ...............................................................................
Banyaknya Bahan Aktif Insektisida ................................................
Interval Penyemprotan Insektisida ...................................................
Dosis Pupuk N .................................................................................
Dosis Pupuk P .................................................................................
Dosis Pupuk K ................................................................................
Jarak Tanam .....................................................................................

8
10
11
13

14
15
17
18
20
21
22

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

25

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

26

LAMPIRAN 1 ...........................................................................................

30

LAMPIRAN 2 ...........................................................................................

31

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hubungan populasi WBC dengan keparahan serangan WBC ..............
2. Hubungan keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan
WBC .....................................................................................................
3. Hubungan varietas padi dengan keparahan serangan WBC .................
4. Hubungan keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan
WBC .....................................................................................................
5. Hubungan rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC ..............
6. Hubungan banyaknya bahan aktif insektisida dengan keparahan
serangan WBC ......................................................................................
7. Hubungan interval penyemprotan insektisida dengan keparahan
serangan WBC .....................................................................................
8. Hubungan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC ..............
9. Hubungan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC ...............
10. Hubungan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC ..............
11. Hubungan jarak tanam dengan keparahan serangan WBC ..................

9
10
12
14
15
16
17
19
20
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
2.

Blanko pengamatan 1: populasi wereng batang cokelat, keragaman
jenis musuh alami dan hama lain ......................................................
Blanko pengamatan 2: budidaya tanaman padi ..................................

30
31

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Indonesia pertama kali mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan
pencapaian tersebut terancam dengan merebaknya serangan hama wereng batang
cokelat pada tahun 1985-1986. Dalam tiga tahun terakhir (2007-2009), Indonesia
mencapai swasembada beras tetapi serangan wereng batang cokelat dalam dua
tahun terakhir telah mengakibatkan ribuan hektar lahan pertanaman padi
mengalami puso.

Pada tahun 2010, luas serangan wereng batang cokelat

mencapai 30.000 ha pada periode Januari-April 2010 (Gaib 2010). Faktor utama
yang berkontribusi terhadap meningkatnya populasi dan serangan wereng batang
cokelat dalam beberapa tahun terakhir adalah potensi biotis wereng batang
cokelat yang tinggi, faktor abiotik dan sistem budidaya padi yang mendukung
berkembangnya populasi wereng batang cokelat. Ketiga faktor tersebut bekerja
secara bersama-sama (Untung & Trisyono 2010).
Ledakan populasi wereng batang cokelat di Jawa Barat bagian utara
pada tahun 2011 terhenti, tetapi ledakan populasi di Jawa Tengah dan Jawa
Timur kecenderungannya justru meluas. Daerah eks Karesidenan Surakarta yang
dikenal lumbung padi Jawa Tengah termasuk di dalamnya kabupaten Klaten
hingga saat ini masih terancam oleh hama wereng batang cokelat (Istiaji 2011).
Wereng batang cokelat pertama kali dilaporkan sebagai hama pada
tanaman padi di Indonesia tahun 1854 oleh Stal (Mochida et al. 1977), dan
sampai saat ini merupakan hama penting padi di Indonesia. Hama ini mampu
membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada
semua fase pertumbuhan dengan cara menghisap cairan pelepah daun dan
berperan sebagai vektor virus kerdil rumput dan virus kerdil hampa (Baehaki
1989 didalam DBPT 1992). Wereng batang cokelat ini sebelumnya termasuk
hama sekunder. Berubahnya wereng batang cokelat menjadi hama penting karena
adanya penyemprotan pestisida yang tidak tepat pada awal pertumbuhan tanaman,
sehingga dapat membunuh musuh alami (Syam & Wurjandari 2003).

2
Wereng batang cokelat sulit diatasi dengan satu cara pengendalian
karena wereng batang cokelat mempunyai daya berkembangbiak yang cepat dan
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Pengendalian yang dapat
dilakukan adalah pengendalian terpadu yang memberi peranan penting pada
musuh alami sebagai komponen yang tidak dapat ditinggalkan (Westen 1990).

Tujuan Penelitian
Penelitian

ini

bertujuan

untuk

mengetahui

faktor-faktor

yang

mempengaruhi keparahan serangan wereng batang cokelat Nilaparvata lugens
Stal. (Hemiptera: Delphacidae) pada pertanaman padi di kabupaten Klaten.

Manfaat Penelitian
Tersedianya informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
keparahan serangan wereng batang cokelat Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera:
Delphacidae) dapat digunakan sebagai dasar penyusunan strategi pengelolaan
wereng batang cokelat.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi
Padi (Oryza sativa Linn.)
Padi tergolong ke dalam famili Graminaeae, sub famili Oryzoideae, suku
Oryzeae, dan genus Oryza. Padi termasuk tanaman semusim yaitu tanaman yang
berumur pendek, hidup kurang dari satu tahun dan hanya satu kali bereproduksi,
kemudian tanaman akan mati atau dimatikan. Tanaman padi dikelompokkan ke
dalam dua kelompok yaitu Indica (padi bulu) dan Japonica (padi cere) (Anonim
2001).
Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ
vegetatif dan organ generatif. Bagian-bagian vegetatif meliputi akar, batang dan
daun sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah, dan bunga. Sejak
berkecambah sampai panen tanaman padi memerlukan waktu 3-6 bulan, yang
keseluruhannya terdiri dari dua fase pertumbuhan yaitu vegetatif dan generatif.
(Manurung & Ismunadji 1988).
Usaha untuk meningkatkan produksi padi senantiasa dilakukan, terutama
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sampai saat ini hama dan penyakit
menjadi faktor pembatas dalam produksi padi. Ledakan jenis hama terjadi silih
berganti dan tidak jarang diikuti oleh munculnya biotipe baru yang lebih ganas
(Manuwoto & Indriyani 1994). Wereng batang cokelat merupakan hama penting
tanaman padi di Indonesia yang sejak tahun 1985 telah mengancam target
swasembada beras.
Wereng Batang Cokelat
Taksonomi dan Morfologi
Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stal. termasuk dalam
kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Hemiptera, subordo
Auchenorryncha,
Nilaparvata.

infraordo

Fulgoromorpha,

famili

Delphachidae,

genus

Ada beberapa spesies yang diketahui termasuk dalam genus

4
Nilaparvata, bahkan 14 spesies di antaranya sudah dideterminasi. Walaupun
demikian di antara spesies-spesies yang termasuk dalam genus Nilaparvata, hanya
Nilaparvata lugens yang menjadi hama penting pada pertanaman padi khususnya
di Indonesia (DBPT 1992). Anggota genus Nilaparvata mempunyai ciri berupa
tarsi terbagi atas tiga ruas, antena pendek dengan terminal arista, pada ujung tibia
tungkai belakang terdapat taji yang besar dan pada pertemuan sayap depan
terdapat titik hitam atau ptereo-stigma serta pada ruas pertama tarsus tungkai
belakang terdapat dua atau lebih duri kecil.

Ciri lainnya adalah pada

punggungnya (scutellum) terdapat tiga garis memanjang berwarna coklat muda.
Dilihat dari sisi samping (ventral), garis ubun-ubun (vertex) rata dan sejajar
dengan garis batas leher (Mochida & Okada, 1979).
Bioekologi
Wereng batang cokelat Nilaparvata lugens Stal. daerah penyebarannya
selain di Indonesia juga terdapat di Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan dan
Kepulauan Pasifik (Harahap & Tjahjono 1988). Padi (Oryza sativa L) adalah
tanaman inang utama bagi wereng batang cokelat. Wereng batang cokelat juga
banyak ditemukan pada tanaman lain sebagai inang antara seperti; Eleusine
coracana, Leersia hexandra, L. japonica, Saccharum officinarum, Zea mays,
Zizania latifolia, dan Zizania longifolia (Dyck et al. 1979).
Faktor-faktor yang optimum untuk perkembangan populasi wereng
batang cokelat adalah tersedianya padi sepanjang tahun, jarak tanam yang rapat
untuk varietas padi yang memiliki anakan banyak sehingga tercipta iklim mikro
yang sesuai untuk perkembangan populasinya, pemakaian varietas yang memiliki
hasil yang tinggi namun rentan terhadap wereng batang cokelat, pemberian pupuk
N yang berlebihan, kondisi suhu lingkungan 18-30 ºC, kelembaban relatif antara
70-85%, dan penggunaan insektisida dengan tidak bijaksana yang dapat
menyebabkan terbunuhnya musuh alami dan menimbulkan masalah resistensi
serta resurjensi pada populasi hama wereng batang cokelat. Kerusakan yang
disebabkan oleh wereng batang cokelat lebih umum terjadi di daerah yang
ditanam padi secara terus menerus, tanam serempak dan waktu panen yang

5
bersamaan dapat mencegah terjadinya kerusakan oleh wereng batang cokelat
(Dyck et al. 1979).
Berkaitan dengan wilayah Klaten, hasil wawancara dengan petani
menemukan indikasi penyebaran ledakan populasi wereng batang cokelat.
Ledakan populasi bermula dari daerah yang menanam padi terus menerus
(kecamatan Delanggu dan Polanharjo) atau daerah tergenang (kecamatan Juwiring
dan Wonosari). Kecamatan Karangdowo dan Pedan berbatasan langsung dengan
Juwiring, dan ledakan populasi wereng batang cokelat terjadi kemudian. Pada
saat itu petani tidak bisa menanam palawija karena genangan air (Istiaji 2011).
Perkembangan Populasi
Perkembangan populasi wereng batang cokelat di sawah dimulai dari
imago makroptera yang datang sebagai imigran dari pertanaman lain. Wereng
batang cokelat pendatang ini kemudian berkembang biak dan selama stadia
vegetatif tanaman dapat mencapai satu atau dua generasi tergantung dari saat
migrasinya.

Bila migrasi terjadi pada umur 2-3 MST, maka selama stadia

vegetatif tanaman, wereng batang cokelat dapat berkembang biak selama dua
generasi. Jika imigrasi terjadi saat 5-6 MST maka akan dijumpai satu puncak
populasi pada 9-10 MST (Soemawinata & Sosromarsono 1986). Migrasi wereng
batang cokelat didaerah tropik pada umumnya disebabkan oleh habisnya sumber
daya makanan misalnya saat padi menjelang panen (Istiaji 2011).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman padi dan laboratorium
lapangan IPB yang terletak di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dari bulan Juni
2011 sampai bulan Agustus 2011.

Bahan dan Metode
Pengamatan Lapangan
Pengumpulan data dilakukan di lima kecamatan yang mengalami
serangan wereng batang cokelat yaitu Delanggu, Juwiring, Karanganom, Trucuk
dan Wonosari. Pada setiap kecamatan dipilih tiga desa yang mengalami serangan
wereng batang cokelat paling berat, sedang dan paling ringan. Penentuan tingkat
serangan dan pemilihan desa berdasarkan informasi dari petugas pertanian dan
petani setempat.
Pada setiap desa contoh dipilih tiga petak yang mengalami serangan
wereng batang cokelat berat, sedang dan ringan.

Pada setiap petak contoh

dilakukan pengamatan kelimpahan populasi wereng batang cokelat, keragaman
jenis serangga musuh alami dan hama lain dengan mencermati 5 tanaman contoh
yang dipilih secara sistematik sepanjang diagonal petak.
Frekuensi (banyaknya) petak contoh yang diamati dalam penelitian ini
adalah 45 petak contoh yang terbagi dalam 15 petak contoh serangan WBC
ringan, 15 petak contoh serangan WBC sedang dan 15 petak contoh serangan
WBC berat.

Wawancara
Pada setiap petak contoh dilakukan pengamatan tentang praktek budidaya
tanaman padi dengan melakukan wawancara terhadap petani penggarap.

7
Analisis dan Penyajian Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan populasi wereng batang
cokelat, keragaman jenis serangga musuh alami dan hama lain serta praktik
budidaya tanaman padi disajikan dalam bentuk diagram dengan penjelasan
deskriptif . Data dianalisis dengan uji khi-kuadrat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan serangan WBC (3 kategori:
ringan, sedang dan berat) yang diuji dalam penelitian ini meliputi:
1.

Populasi wereng batang cokelat (WBC)

2.

Keragaman jenis musuh alami

3.

Varietas padi

4.

Keragaman jenis hama lain

5.

Rotasi tanaman

6.

Banyaknya bahan aktif insektisida

7.

Interval penyemprotan insektisida

8.

Dosis pupuk N

9.

Dosis pupuk P

10. Dosis pupuk K
11. Jarak tanam
Keterkaitan antara berbagai faktor dengan tingkat keparahan serangan
wereng batang cokelat dianggap memiliki pengaruh yang nyata jika nilai-p < 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Klaten merupakan salah satu sentra produksi beras di
Indonesia. Saat ini, lebih dari 80% hasil produksi pertanian pangan di kabupaten
Klaten adalah beras. Budidaya padi dilakukan secara intensif. Umumnya pola
tanam didaerah ini adalah padi-padi-palawija. Walaupun demikian, pada musimmusim kemarau basah, pola tanam menjadi padi-padi-padi (Istiaji 2011).
Faktor-faktor lingkungan dan praktik budidaya tanaman padi yang diduga
memiliki pengaruh terhadap keparahan serangan wereng batang cokelat di
kabupaten Klaten akan dibahas dalam bab ini. Dari 11 faktor yang diuji dengan
uji khi kuadrat, 4 faktor menunjukkan pengaruh yang nyata dengan keparahan
serangan wereng batang cokelat, yaitu populasi wereng batang cokelat, interval
penyemprotan insektisida, dosis pupuk K dan jarak tanam.

Populasi Wereng Batang Cokelat (WBC)
Banyaknya populasi WBC dalam suatu rumpun tanaman akan
menentukan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Hubungan antara populasi
WBC dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 1.

Hasil

penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan
dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui keseluruhan petak contoh terdapat
populasi WBC kurang dari 20 ekor/rumpun. Sedangkan untuk kategori sedang
dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 13 petak terdapat populasi WBC
kurang dari 20 ekor/rumpun serta 2 petak terdapat populasi WBC lebih dari atau
sama dengan 20 ekor/rumpun dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 9 petak terdapat populasi WBC kurang dari 20 ekor/rumpun
dan 6 petak terdapat populasi WBC lebih dari atau sama dengan 20 ekor/rumpun.

Frekuensi Relatif (%)

9
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

< 20 ekor/rumpun
≥ 20 ekor/rumpun

Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 1. Hubungan populasi WBC dengan keparahan serangan WBC di
Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata
antara populasi WBC dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,01). Data
penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat keparahan serangan WBC
maka akan semakin banyak ditemukan petak contoh yang populasi WBCnya lebih
dari atau sama dengan 20 ekor/rumpun, nilai tersebut merupakan batas ambang
ekonomi untuk WBC dapat menimbulkan kerugian ekonomis sehingga perlu
dilakukan tindakan pengendalian (BPTP Jawa Barat 2010). Tetapi walaupun
keberadaan WBC kurang dari 20 ekor/rumpun, tetap harus dilakukan pengamatan
populasinya secara intensif dikarenakan serangga WBC memiliki kemampuan
perkembangan populasi yang tinggi dan daya adaptasi yang cepat. Peledakan
populasi WBC yang merupakan peningkatan populasi secara eksplosif ada
hubungannya dengan berubahnya lingkungan eksternal seperti perubahan cuaca,
perubahan iklim dan penyemprotan pestisida (Heong & Hardy 2009).

Wereng

batang cokelat adalah serangga bertipe strategi-r yang memiliki karakteristik
kemampuan bermigrasi yang tinggi dari lahan yang telah dirusak ke lahan baru
yang belum dirusaknya dan memiliki kemampuan berkembang biak yang cepat
sehingga dapat menimbulkan kehilangan hasil panen yang tinggi dengan gejala
yang ditimbulkan berupa “hopper burn” dan merupakan vektor virus kerdil
rumput dan kerdil hampa (Pathak & Khan 1994).

10
Keragaman Jenis Musuh Alami
Musuh alami merupakan faktor pembatas yang diduga paling berperan
dalam menekan perkembangan populasi WBC sehingga keberadaan dan
keragamannya perlu diketahui. Hubungan antara keragaman jenis musuh alami
dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 2. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15
petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak terdapat keragaman musuh alami
sebanyak 3 jenis, 5 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis dan 3
petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis.

Sedangkan untuk

kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak terdapat
keragaman musuh alami sebanyak 3 jenis, 5 petak terdapat keragaman musuh
alami sebanyak 2 jenis, 3 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis
serta 1 petak terdapat keragaman musuh alami sebanyak 4 jenis dan untuk
kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 5 petak terdapat
keragaman musuh alami sebanyak 2 jenis, masing-masing 4 petak terdapat
keragaman musuh alami sebanyak 1 jenis dan 3 jenis, 1 petak terdapat keragaman
musuh alami sebanyak 4 jenis dan 1 petak diketahui tidak terdapat keberadaan
musuh alami.

Frekuensi Relatif (%)

50
40
Tidak Ada

30

1 jenis

20

2 jenis
3 jenis

10

4 jenis

0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 2. Hubungan keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan
WBC di kabupaten Klaten, 2011.

11
Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara keragaman jenis musuh alami dengan keparahan serangan WBC
(nilai-p = 0,76). Musuh alami WBC dalam agroekosistem padi memiliki jumlah
total 167 spesies yang terbagi dalam 9 kelompok inverteberata dan 5 kelompok
verteberata. Predator dari kelompok inverteberata yang paling banyak jenisnya
berasal dari ordo Araneae dan Hemiptera (Heong & Hardy 2009).

Dalam

penelitian ini keragaman jenis musuh alami tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap keparahan serangan WBC, hal ini mungkin saja terjadi karena
musuh alami yang berpindah ke petak lainnya ketika populasi WBC dalam petak
tersebut menurun sedangkan jika diketahui keberadaan telur WBC dalam jaringan
tanaman padi banyak maka setelah melewati stadia telur akan muncul nimfa WBC
yang perkembangannya dapat dengan cepat dikarenakan berkurangnya faktor
pembatas yaitu musuh alami.
Selain itu diketahui keberadaan musuh alami dipengaruhi oleh umur
tanaman.

Berdasarkan penelitian Defaosandi (2010) populasi Cyrtorhinus

lividipennis yang merupakan salah satu musuh alami WBC yang ditemukan dalam
penelitian ini lebih banyak terdapat pada tanaman padi yang berumur muda
dibandingkan tanaman padi yang berumur lebih tua. Hal tersebut terjadi karena
pada tanaman yang sudah mulai tinggi dan rindang predator lain mulai
bermunculan dan juga menjadi predator bagi C. lividipennis.
Varietas Padi
Hubungan antara varietas padi dengan keparahan serangan WBC
disajikan pada Gambar 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan
serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6
petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998, 5 petak
menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2000-2006, 3 petak tidak
menggunakan VUTW dan 1 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara
tahun 2008-2009. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 6 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 19801998, 4 petak menggunakan VUTW yang dilepas antara tahun 2000-2006, 3 petak
tidak menggunakan VUTW serta 2 petak menggunakan VUTW yang dilepas

12
antara tahun 2008-2009 dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 6 petak tidak menggunakan VUTW, 4 petak menggunakan
VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998, 3 petak menggunakan VUTW yang
dilepas antara tahun 2008-2009 dan 2 petak menggunakan VUTW yang dilepas
antara tahun 2000-2006. Dalam penelitian ini diketahui varietas padi yang tidak
memiliki ketahanan terhadap WBC adalah Situ Bagendit, Luk Ulo dan Umbulumbul.

VUTW yang dilepas antara tahun 1980-1998 terdiri dari varietas

Cisadane, IR-64 dan Way Apo Buru. VUTW yang dilepas antara tahun 20002006 terdiri dari varietas Bondhoyudho, Ciherang, Mekongga serta Mira 1 dan
VUTW yang dilepas antara tahun 2008-2009 terdiri dari varietas Inpari 1, Inpari 6
dan Inpari 13.

Frekuensi Relatif (%)

40
30
Bukan VUTW

20

VUTW 1980-1998
VUTW 2000-2006

10

VUTW 2008-2009
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 3. Hubungan varietas padi dengan keparahan serangan WBC di kabupaten
Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara varietas padi dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,63).
Penggunaan varietas padi bukan VUTW maupun semua jenis VUTW tetap
terserang WBC. Selain itu data penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan
bukan VUTW ditemukan dua kali lebih banyak pada petak dengan keparahan
serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC
ringan dan sedang.

Penggunaan VUTW yang banyak digunakan pada petak

contoh dapat menyebabkan gen dari populasi WBC akan beradaptasi sehingga
akan muncul biotipe pada WBC yang resisten terhadap VUTW (Heong & Sogawa

13
1994). Inovasi teknologi dan introduksi VUTW telah menyebabkan pergantian
secara dinamis status dari hama WBC. Sejak tahun 1979 sampai dengan 1980an,
WBC menjadi hama epidemik di selatan dan tenggara Asia, dimana ketika
varietas lokal diganti dengan VUTW merupakan salah satu penyebabnya
(Rombach & Gallagher 1994). Pada tahun 1973, IR 26 merupakan varietas padi
resisten pertama yang dilepas di Asia. IR 26 resisten terhadap WBC biotipe 1 dan
setelah pelepasannya terjadi penurunan populasi WBC secara signifikan akan
tetapi dalam waktu 2 tahun ketahanan varietas IR 26 terhadap WBC biotipe 1
terpatahkan dan kepadatan populasi WBC mulai meningkat kembali. Tahun 1976
para ilmuwan melepas varietas IR 36 yang resisten terhadap WBC biotipe 2 tetapi
pada akhir 1970an ketahanannya kembali terpatahkan. IR 56 yang mengandung
gen ketahanan WBC biotipe 3 telah tersebar sejak tahun 1982 tetapi kerusakan
akibat serangan WBC tetap terjadi di berbagai wilayah (Gallagher et al. 1994).
Keragamaan Jenis Hama lain
Hubungan antara keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan
WBC disajikan pada Gambar 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati,
diketahui 4 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 2 jenis, masing-masing
3 petak terdapat keragaman hama lain 1 jenis dan 3 jenis, 2 petak diketahui tidak
terdapat keragaman hama lain, 2 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 4
jenis dan 1 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 7 jenis. Sedangkan
untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak
terdapat keragaman hama lain sebanyak 2 jenis, 3 petak terdapat keragaman hama
lain sebanyak 1 jenis, masing-masing 2 petak terdapat keragaman hama lain 3
jenis dan 4 jenis serta masing-masing 1 petak terdapat keragaman hama lain
sebanyak 5 jenis dan 7 jenis dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 4 petak terdapat keragaman hama lain sebanyak 3 jenis, 3 petak
diketahui tidak terdapat keragaman hama lain, masing-masing 2 petak terdapat
keragaman hama lain sebanyak 1 jenis, 2 jenis dan 5 jenis serta masing-masing 1
petak terdapat keragaman hama lain 4 jenis dan 6 jenis.

14

Frekuensi Relatif (%)

40
Tidak Ada
1 jenis
2 jenis
3 jenis
4 jenis
5 jenis
6 jenis
7 jenis
8 jenis

30
20
10
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 4. Hubungan keragaman jenis hama lain dengan keparahan serangan WBC
di Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara keragaman hama lain dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =
0,67).

Keragaman dan peningkatan populasi serangga dalam ekosistem padi

berkaitan dengan menghilangnya faktor pembatas (Heong et al. 2007). Dalam hal
ini tanaman inang dapat menjadi faktor pembatas perkembangan populasi hama
lain karena untuk memperolehnya harus berkompetisi dengan WBC.
Rotasi Tanaman
Hubungan antara rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC
disajikan pada Gambar 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan
serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 13
petak tidak melakukan rotasi tanaman dan 2 petak melakukan rotasi tanaman.
Sedangkan untuk kategori sedang dan kategori berat dari masing-masing 15 petak
contoh yang diamati, diketahui 14 petak tidak melakukan rotasi tanaman dan
hanya 1 petak yang melakukan rotasi tanaman.

Frekuensi Relatif (%)

15

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

Rotasi
Tidak Rotasi

Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 5. Hubungan rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC di kabupaten
Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara rotasi tanaman dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,76).
Tersedianya air pengairan yang cukup mendorong petani untuk menanam padi
secara terus-menerus menyebabkan tersedianya pakan dan tempat berkembang
biak WBC secara berkesinambungan. Sehingga populasi WBC akan terus
meningkat, untuk tujuan pengendalian perlu diusahakan agar fakta tersebut tidak
sesuai lagi bagi perkembangan WBC (DBPT 1992).
Banyaknya Bahan Aktif Insektisida
Hubungan antara banyaknya bahan aktif insektisida yang digunakan
dengan keparahan serangan WBC disajikan pada Gambar 6. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15
petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama
dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 5 petak tidak menggunakan insektisida dan
3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida. Sedangkan untuk kategori
sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih
dari atau sama dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 1
jenis bahan aktif insektisida, 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida
serta 2 petak tidak menggunakan insektisida dan untuk kategori berat dari 15
petak contoh yang diamati, diketahui 7 petak menggunakan lebih dari atau sama

16
dengan 3 jenis bahan aktif insektisida, 4 petak menggunakan 1 jenis bahan aktif
insektisida, 3 petak menggunakan 2 jenis bahan aktif insektisida dan 1 petak tidak
menggunakan insektisida.

Frekuensi Relatif (%)

40
30
0 Jenis

20

1 Jenis
2 Jenis

10

≥ 3 Jenis
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 6. Hubungan banyaknya bahan aktif insektisida dengan keparahan serangan
WBC di kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara banyaknya bahan aktif insektisida yang digunakan dengan keparahan
serangan WBC (nilai-p = 0,32). Pemilihan jenis bahan aktif insektisida yang akan
digunakan merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam usaha
pengendalian WBC karena penggunaan jenis bahan aktif insektisida yang tidak
tepat dapat menyebabkan resurjensi terhadap WBC.

Menanggapi terjadinya

fenomena resurjensi WBC karena penggunaan insektisida pada pertanaman padi,
Inpres 3/1986 menetapkan kebijakan teknis yaitu jenis insektisida yang dapat
menimbulkan resurjensi, resistensi, atau dampak lain yang merugikan dilarang
digunakan untuk tanaman padi.

Inpres 3/1986 merupakan tonggak sejarah

penerapan PHT di Indonesia karena melalui instruksi ini, pemerintah mulai
memberikan dukungan politik dan legal terhadap PHT. Berdasarkan pengamatan
dilapangan petani juga sudah banyak yang menggunakan insektisida yang dewasa
ini dinilai sangat efektif untuk mengendalikan hama WBC stadium telur dan
nimfa yaitu Apllaud 10 WP yang mengandung bahan aktif buprofezin (Untung
2007).

17
Interval Penyemprotan Insektisida
Hubungan antara interval penyemprotan insektisida dengan keparahan
serangan WBC disajikan pada Gambar 7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
untuk keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 7 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih
dari 15 hari, 5 petak tidak diberi insektisida, 2 petak diberi insektisida dengan
interval penyemprotan 3-7 hari dan 1 petak diberi insektisida dengan interval
penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari. Sedangkan untuk kategori
sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberi insektisida
dengan interval penyemprotan 8-15 hari, 2 petak tidak diberi insektisida, 2 petak
diberi insektisida dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2
hari, 2 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari serta 1
petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari 15 hari dan untuk
kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 6 petak diberi
insektisida dengan interval penyemprotan 3-7 hari, 4 petak diberi insektisida
dengan interval penyemprotan kurang dari atau sama dengan 2 hari, 3 petak diberi
insektisida dengan interval penyemprotan 8-15 hari, 1 petak tidak diberi
insektisida dan 1 petak diberi insektisida dengan interval penyemprotan lebih dari
15 hari.

Frekuensi Relatif (%)

60
50
40

Tidak Diberi

30

≤ 2 hari

20

3-7 hari
8-15 hari

10

> 15 hari
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 7. Hubungan interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan
WBC di kabupaten Klaten, 2011.

18
Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata
antara interval penyemprotan insektisida dengan keparahan serangan WBC (nilaip = 0,001). Data penelitian ini menunjukkan bahwa petak yang lebih sering
dilakukan penyemprotan insektisida yaitu kurang dari atau sama dengan 2 hari
sekali dan interval 3-7 hari sekali lebih banyak ditemukan pada petak dengan
keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan
WBC ringan dan sedang. Seperti halnya dengan jenis bahan aktif insektisida,
interval penyemprotan insektisida juga merupakan faktor penting yang perlu
diperhatikan. Dalam Inpres 3/1986 juga telah ditetapkan kebijakan teknis yaitu
jenis dan cara aplikasi insektisida harus memperhatikan kelestarian musuh alami
hama WBC.

Penyemprotan insektisida yang dilakukan secara terus menerus

dapat menyebabkan tingginya mortalitas musuh alami dan menyebabkan
resistensi pada WBC sehingga populasi WBC akan meningkat dan mengakibatkan
tingkat kerusakan yang lebih tinggi (Untung 2007).
Permasalahan WBC di Asia memiliki karakteristik yang sama yaitu
penggunaan pestisida yang berlebihan. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, WBC
telah menimbulkan kerusakan yang parah pada lahan pertanaman padi (IRRI
1979, Heinrichs & Mochida 1984), tetapi saat ini, beberapa negara di Asia
Tenggara telah menerapkan Integrated Pest Management (IPM) dan penggunaan
insektisida telah dikurangi dengan cara sosialisasi melalui media massa sehingga
permasalahan WBC telah berkurang secara signifikan (Matesson 2000).
Dosis Pupuk N
Hubungan antara penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan
WBC disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati,
diketahui 8 petak diberikan dosis pupuk N sebanyak kurang dari atau sama
dengan 250 kg/ha setara urea, 4 petak diberikan dosis pupuk N lebih dari 250
kg/ha setara urea dan 3 petak tidak diberi pupuk N. Sedangkan untuk kategori
sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 10 petak diberi dosis pupuk
N kurang dari atau sama dengan 250 kg/ha setara urea, 4 petak diberi dosis pupuk
N lebih dari 250 kg/ha setara urea serta 1 petak tidak diberi pupuk N dan untuk

19
kategori berat dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 9 petak diberi dosis
pupuk N kurang dari atau sama dengan 250 kg/ha setara urea dan 6 petak diberi
dosis pupuk N lebih dari 250 kg/ha setara urea.

Frekuensi Relatif (%)

70
60
50
40
Tidak diberi

30

≤ 250 kg

20

> 250 kg

10
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 8. Hubungan penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC di
Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara penggunaan dosis pupuk N dengan keparahan serangan WBC (nilai-p
= 0,36). Menurut Doberman dan Fairhust (2000) N merupakan penyusun asam
amino, asam nukleat, nukleotida dan klorofil sehingga nitrogen berfungsi dalam
mendukung

pertumbuhan

vegetatif

tanaman

yang

cepat,

yaitu

dalam

meningkatkan tinggi tanaman dan meningkatkan jumlah anakan sawah.
Penggunaan pupuk N selain memberikan dampak yang positif terhadap
pertumbuhan tanaman juga dapat menyebabkan dampak negatif jika dosis yang
digunakan melebihi dosis anjuran. Aplikasi pupuk N yang tinggi tidak akan
berdampak pada biologi serangga tetapi akan merubah morfologi, biokimia dan
fisiologi dari tanaman inang sehingga akan meningkatkan kondisi nutrisi untuk
serangga pemakan tumbuhan (Bernays 1990, Simpson & Simpson 1990) dan
dapat menyebabkan penurunan resistensi tanaman inang terhadap serangga
pemakan tumbuhan (Barbour et al. 1991). Pertanaman padi dengan pemupukan
nitrogen yang tinggi akan menciptakan habitat yang disukai oleh lebih dari 200
spesies serangga pemakan tumbuhan, beberapa diantaranya adalah serangga hama

20
penting. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab status WBC berubah dari
hama sekunder menjadi hama utama padi pada tahun 1970an (Dyck et al. 1979).
Terdapat berbagai macam pupuk N diantaranya pupuk urea merupakan
pupuk tunggal yang memiliki kadar minimal N sebesar 45-46% dalam bentuk
NH4+ dengan rumus kimia CO(NH2)2. Pupuk ZA juga merupakan pupuk tunggal
dengan rumus kimia (NH4)2SO4 dengan kadar N sebesar 21% (Sianipar 2006).

Dosis Pupuk P
Hubungan antara penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan
WBC disajikan pada Gambar 9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati,
diketahui 7 petak diberikan dosis pupuk P lebih dari 100 kg/ha setara SP 36, 5
petak tidak diberi pupuk P dan 3 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama
dengan 100 kg/ha setara SP 36. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak
contoh yang diamati, diketahui 9 petak diberi dosis pupuk P lebih dari 100 kg/ha
setara SP 36, 4 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama dengan 100
kg/ha setara SP 36 serta 2 petak tidak diberi pupuk P dan untuk kategori berat dari
15 petak contoh yang diamati, diketahui 8 petak diberi dosis pupuk P lebih dari
100 kg/ha setara SP 36, 5 petak diberi dosis pupuk P kurang dari atau sama
dengan 100 kg/ha setara SP 36 dan 2 petak tidak diberi pupuk P.

Frekuensi Relatif (%)

70
60
50
40
Tidak diberi

30

≤ 100 kg

20

> 100 kg

10
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 9. Hubungan penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC di
Kabupaten Klaten, 2011.

21

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang
nyata antara penggunaan dosis pupuk P dengan keparahan serangan WBC (nilai-p
= 0,60). Menurut Doberman dan Fairhust (2000) P merupakan penyusun ATP,
nukleotida, asam nukleat, fosfolipid, penyimpan energi dan transfer energi.
Fosfor berperan dalam pembagian sel, pembentukan lemak dan albumin,
mempengaruhi kematangan tanaman, melawan pengaruh buruk nitrogen,
perkembangan akar halus dan akar rambut, meningkatkan kualitas tanaman dan
ketahanan

terhadap

penyakit

(Soepardi

1983

didalam

Sianipar

2006).

Berdasarkan penelitian Sianipar (2006) pupuk fosfor yang sering digunakan
petani saat ini adalah SP-36 karena pupuk TSP peredarannya sedikit di pasar.
Pupuk ini merupakan pupuk superfosfat yang mengandung P2O5 sebesar 36 %.
Dosis Pupuk K
Hubungan antara penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan
WBC disajikan pada Gambar 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
keparahan serangan WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati,
diketahui 9 petak tidak diberi pupuk K, 2 petak diberi dosis pupuk K kurang dari
atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl dan 4 petak diberi dosis pupuk K lebih dari
75 kg/ha setara KCl. Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 10 petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara KCl, 3
petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara KCl
serta 2 petak tidak diberi pupuk K dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh
yang diamati, diketahui 10 petak diberi dosis pupuk K lebih dari 75 kg/ha setara
KCl, 4 petak diberi dosis pupuk K kurang dari atau sama dengan 75 kg/ha setara
KCl dan 1 petak tidak diberi pupuk K.

22

Frekuensi Relatif (%)

70
60
50
40
Tidak diberi

30

≤ 75 kg

20

> 75 kg

10
0
Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 10. Hubungan penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC di
Kabupaten Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata
antara penggunaan dosis pupuk K dengan keparahan serangan WBC (nilai-p =
0,01). Serapan tanaman akan unsur K dipengaruhi oleh jumlah K tersedia bagi
tanaman.

Semakin besar jumlah K tersedia, maka akan semakin besar pula

jumlah K yang diserap oleh tanaman.

Kecenderungan ini disebut konsumsi

berlebihan (luxury consumption), yaitu pada kondisi serapan yang besar pada
tanaman tidak diikuti oleh peningkatan produksi. Kalium dalam jumlah yang
cukup akan menjamin ketegaran tanaman dan merangsang pertumbuhan akar.
Kalium cenderung meniadakan pengaruh buruk nitrogen serta dapat mengurangi
pengaruh kematangan yang dipercepat oleh fosfor (Soepardi 1983 didalam
Sianipar 2006).

Jarak Tanam
Hubungan antara jarak tanam dengan keparahan serangan WBC disajikan
pada Gambar 11. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk keparahan serangan
WBC kategori ringan dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 12 petak
menggunakan jarak tanam antara 20-25 cm, 2 petak menggunakan jarak tanam
kurang dari 20 cm dan 1 petak menggunakan jarak tanam lebih dari 25 cm.
Sedangkan untuk kategori sedang dari 15 petak contoh yang diamati, diketahui 10

23
petak menggunakan jarak tanam kurang dari 20 cm dan 5 petak menggunakan
jarak tanam antara 20-25 cm dan untuk kategori berat dari 15 petak contoh yang
diamati, diketahui 14 petak menggunakan jarak tanam antara 20-25 cm dan 1

Frekuensi Relatif (%)

petak menggunakan jarak tanam kurang dari 20 cm.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

< 20 cm
20 - 25 cm
> 25 cm

Ringan

Sedang

Berat

Keparahan Serangan WBC
Gambar 11. Hubungan jarak tanam dengan keparahan serangan WBC di Kabupaten
Klaten, 2011.

Berdasarkan uji khi-kuadrat diketahui bahwa ada pengaruh yang nyata
antara jarak tanam dengan keparahan serangan WBC (nilai-p = 0,001).
Penggunaan jarak tanam sedang (20-25 cm) lebih banyak ditemukan pada petak
dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan
serangan WBC sedang dan ringan. Sedangkan penggunaan jarak tanam rapat
yaitu kurang dari 20 cm lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan
serangan WBC sedang dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC
ringan dan berat. Jarak tanam yang rapat disertai dengan penggunaan varietas
unggul yang mempunyai anakan banyak, tumbuh subur dan rimbun akan
menciptakan keadaan iklim mikro yang sangat sesuai untuk perkembangan WBC
(DBPT 1992).

24
Hasil pengolahan data pengaruh berbagai faktor terhadap keparahan
serangan WBC.
No.

Faktor

Nilai-p

1.

Populasi WBC

0,01

2.

Keragaman jenis musuh alami

0,76

3.

Varietas padi

0,63

4.

Keragaman hama lain

0,67

5.

Rotasi Tanaman

0,76

6.

Banyaknya bahan aktif insektisida

0,32

7.

Interval penyemprotan insektisida

0,001

8.

Dosis Pupuk N

0,36

9.

Dosis Pupuk P

0,60

10.

Dosis pupuk K

0,01

11.

Jarak tanam

0,001

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Faktor-faktor yang mempengaruhi secara nyata keparahan serangan
WBC (ringan, sedang dan berat) berdasarkan penelitian ini adalah:
1. Populasi wereng batang cokelat (WBC). Populasi WBC lebih dari atau sama
dengan 20 ekor/rumpun yang merupakan batas ambang ekonomi lebih banyak
ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak
dengan keparahan serangan WBC ringan dan sedang.
2. Interval penyemprotan insektisida. Interval penyemprotan insektisida yang
dilakukan secara intensif yaitu kurang dari atau sama dengan 2 hari sekali dan
interval 3-7 hari sekali lebih banyak ditemukan pada petak dengan keparahan
serangan WBC berat dibandingkan petak dengan keparahan serangan WBC
ringan dan sedang.
3. Dosis pupuk K. Penggunaan dosis pupuk K yang melebihi dosis anjuran yaitu
75 kg/ha ditemukan sama banyak yaitu 10 petak pada kategori keparahan
serangan WBC berat dan sedang.
4. Jarak tanam.

Penggunaan jarak tanam sedang (20-25 cm) lebih banyak

ditemukan pada petak dengan keparahan serangan WBC berat dibandingkan petak
dengan keparahan serangan WBC ringan dan sedang. Sedangkan penggunaan
jarak tanam rapat yaitu kurang dari 20 cm lebih banyak ditemukan pada petak
dengan keparahan serangan WBC sedang dibandingkan petak dengan keparahan
serangan WBC ringan dan berat.
Saran
Berdasarkan penelitian ini, usaha yang perlu dilakukan untuk
mengendalikan serangan wereng batang cokelat adalah interval penyemprotan
insektisida yang tidak berlebihan, penggunaan dosis pupuk ses