Skrining Herbal untuk Streptococcosis dan Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) Secara In Vitro

ABSTRACT
HAEZY SATRIANI CAHYA WIDYASTUTI. Screening Herbal to
Streptococcosis and Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) by In Vitro.
Supervised by Munti Yuhana and Angela Mariana Lusiastuti.
Streptococcosis is caused by Streptococcus agalactiae bacteria, while Aeromonas
hydrophila bacteria is the causative agent of MAS. This research comprised of
basic tests. Eighteen plants extracts were screened for their antibacterial activities.
These materials were extracted by maceration method that used two types of
solvents, i.e. ddH2O and 95% ethanol. The results obtained were crude extracts.
In vitro tests were conducted including the sensitivity test of bacteria to plant
extracts and the minimum inhibitory concentration (MIC). MIC was performed by
the macrodilution method. The bacteria that used were S. agalactiae and
A. hydrophila. Results of this study showed that 15 plants extracted by 95%
ethanol extraction methods, 83,0% indicated their antibacterial capability against
S. agalactiae whereas 4 plant extracts (22,2%) inhibited the growth of
A. hydrophila. Extraction method using ddH2O, showed 5 plant extracts (27,7%)
inhibited S. agalactiae, and no extracts resulted inhibition zone against A.
hydrophila. Both extraction methods were applicable for sirih (P. betle) and
kimanila (C. alata) since their extracts showed antibacterial activity to
S. agalactiae. MIC value of kunyit (C. domestica), kunyit putih (C. zedoaria),
temulawak (C. xanthorrhiza), sirih (P. betle), meniran (P. niruri), ketapang

(T. catappa) that extracted by 95% ethanol on S. agalactiae were at 25 mg/ml, and
jawer kotok (P. scutellaroides) was at 12.5 mg/mL, the remaining there were
bawang putih (A. sativum), kirinyuh (E. inulaefolium), kimanila (C. alata), petai
cina (L. leucocephala), kipahit (T. diversifolia), combrang (E. elatior), babandotan
(A. comzoides), jambu monyet (A. occidentale) were above 25 mg/ml. MIC value
of sirih (P. betle), kimanila (C. alata), jawer kotok (P. scutellaroides), jambu
monyet (A. occidentale) on A. hydrophila were more than 25 mg/ml. MIC value
of bawang putih (A. sativum), sirih (P. betle), kirinyuh (E. inulaefolium), kimanila
(C. alata), kipahit (T. diversifolia) that extracted using ddH2O on S. agalactiae
were above 25 mg/mL.
Key words :

Streptococcosis, motile aeromonad septicaemia, in vitro,
antibacterial, extraction, crude extract, sensitivity test, MIC test.

ABSTRAK
HAEZY SATRIANI CAHYA WIDYASTUTI. Skrining Herbal untuk
Streptococcosis dan Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) secara In Vitro.
Dibimbing oleh Munti Yuhana dan Angela Mariana Lusiastuti.
Streptococcosis disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae, sedangkan

penyakit motile aeromonad septicaemia (MAS) disebabkan oleh bakteri
Aeromonas hydrophila. Penelitian ini merupakan pengujian dasar untuk
mengetahui potensi antibakteri dari 18 ekstrak tanaman, dengan cara ekstraksi
menggunakan pelarut etanol 95% dan ddH2O. Hasil ekstraksi yang diperoleh
berupa ekstrak kasar. Pengujian dilakukan secara in vitro yang terdiri dari uji
sensitivitas bakteri terhadap ekstrak tanaman dan minimum inhibitory
concentration (MIC). MIC dilakukan dengan metode macrodilution. Bakteri yang
digunakan adalah S. agalactiae dan A. hydrophila. Dari 18 tanaman pada
pengujian in vitro dari ekstraksi etanol 95% sebanyak 15 tanaman (83,0%)
memiliki daya antibakteri terhadap S. agalactiae dan 4 tanaman (22,2%) terhadap
bakteri A. hydrophila. Tanaman yang diekstraksi dengan pelarut ddH2O sebanyak
5 macam tanaman (27,7%) menunjukkan daya
antibakteri terhadap
S. agalactiae dan terhadap A. hydrophila tidak ada ekstrak tanaman yang
menunjukkan zona hambat. Tanaman sirih (Piper betle) dan kimanila
(Cassia alata), yang diekstraksi dengan etanol 95% ataupun ddH2O, keduanya
memiliki daya antibakteri terhadap S. agalactiae. Nilai MIC pada ekstraksi etanol
95% terhadap S. agalactiae dari tanaman kunyit (Curcuma domestica), kunyit
putih (Curcuma zedoaria), temulawak (Curcuma xanthorrhiza), sirih (P. betle),
meniran (Phyllanthus niruri), ketapang (Terminalia catappa) adalah sebesar

25 mg/ml, dari tanaman jawer kotok (Plectranthus scutellaroides) adalah sebesar
12,5 mg/ml. Delapan jenis tanaman lainnya, yaitu bawang putih (Allium sativum),
kirinyuh (Eupatorium inulaefolium), kimanila (C. alata), petai cina (Leucaena
leucocephala), kipahit (Tithonia diversifolia), combrang (Etlingera elatior),
babandotan (Ageratum conyzoides), jambu monyet (Anacardium occidentale) di
atas 25 mg/ml. Pada pengujian terhadap A. hydrophila, tanaman sirih (P. betle),
kimanila (C. alata), jawer kotok (P. scutellaroides), jambu monyet
(A. occidentale) memiliki nilai MIC di atas 25 mg/ml. Nilai MIC tehadap
S. agalactiae dari kelima tanaman uji, yaitu bawang putih (A. sativum), sirih
(P. betle), kirinyuh (E. inulaefolium), kimanila (C. alata), kipahit (T. diversifolia)
yang diekstraksi dengan ddH2O berada di atas 25 mg/ml.
Kata kunci : Streptococcosis, motile aeromonad septicaemia, in vitro, antibakteri,
ekstraksi, ekstrak kasar, uji sensitivitas, uji MIC.

I.

PENDAHULUAN

Penyakit bakterial yang menyerang ikan budidaya air tawar di antaranya
adalah penyakit streptococcosis dan motile aeromonad septicaemia (MAS). Hardi

(2011), melaporkan bahwa streptococcosis pada ikan yang disebabkan oleh
bakteri Streptococcus agalactiae, lima tahun belakangan ini lebih sering
ditemukan dengan virulensi lebih tinggi dan umumnya menyerang budidaya ikan
nila (Oreochromis niloticus). Berdasarkan Hernandez et al. (2009), wabah bakteri
S. agalactiae bersifat akut dan dapat menyebabkan kematian tinggi hingga
mencapai 100% pada ikan budidaya.
Penyakit MAS yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila
merupakan penyebab penyakit infeksi pada ikan air tawar. Wabah bakteri
A. hydrophila bersifat akut. Di Indonesia terutama di Jawa Barat, serangan
penyakit MAS dimulai sejak tahun 1980. Pada umumnya A. hydrophila selalu
dihubungkan

dengan

tukak

dan

lesi


pada

ikan

catfish,

ikan

gabus

(Channa striata), ikan mas (Cyprinus carpio) (Angka 2005). Serangan bakteri ini
telah menimbulkan kerugian bagi para pembudidaya, misalnya pada tahun 2002,
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor melaporkan jumlah total ikan
mas yang mati akibat serangan bakteri yang diduga kuat A. hydrophila hingga
mencapai 200 ton, tahun 2006 di Provinsi Sumatra Barat terjadi kematian hampir
mencapai 47 ton ikan gurame karena serangan A. hydrophila (Hidayat 2006).
Penanggulangan

penyakit


bakterial

umumnya

dilakukan

dengan

pemberian berbagai macam antibiotik. Akan tetapi, penggunakan antibitotik
secara terus menerus dapat mengakibatkan beberapa kerugian, di antaranya adalah
mengakibatkan resistensi bakteri dan menimbulkan residu yang berbahaya pada
produk akuakultur

dan lingkungan (Direkbusarakom et al. 1998). Metode

alternatif seperti fitoterapi dengan menggunakan herbal dapat diaplikasikan pada
manajemen

penyakit


ikan

dengan

memanfaatkan

metabolit

sekunder

(natural product) yang dimiliki tanaman. Aplikasi fitoterapi sangatlah potensial
untuk dikembangkan, hal ini didukung dengan kondisi alam Indonesia yang
merupakan negara tropis sehingga memiliki biodiversitas tanaman yang tinggi
untuk dimanfaatkan.


 

Menurut Dewoto (2007), herbal adalah segala jenis tumbuhan dan seluruh
bagian-bagiannya yang mengandung satu atau lebih bahan aktif yang dapat

dipakai sebagai obat, di antaranya sebagai antibakteri. Berdasarkan Pelczar dan
Chan (2005), senyawa antibakteri didefinisikan sebagai senyawa biologis atau
kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas
bakteri. Bhuvaneswari dan Balasundaram (2006), melaporkan bahwa penggunaan
tanaman sebagai antibakteri memiliki beberapa keuntungan, di antaranya efek
samping yang kecil, mudah terurai, relatif murah, tersedia secara lokal.
Berdasarkan Rattanachaikunsopon dan Phumkhachorn (2009), langkah – langkah
untuk aplikasi herbal adalah : 1) uji sensitivitas bakteri terhadap bahan, 2)
pengujian minimun inhibitory concentration (MIC), 3) pengujian toksisitas bahan, 
dan 4) uji in vivo.
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPPBAT)
Sempur-Bogor dan Institut de Recherce Pour le Développement (IRD) Prancis
melakukan survei

etno botani pada tahun 2010 di Jawa Barat, mengenai

penggunaan tanaman sebagai obat tradisional dalam kegiatan akuakultur dengan
lokasi survei di Bandung, Bogor, Cianjur, Cirebon, Sukabumi, Subang, dan
Tasikmalaya. Dilaporkan bahwa 46,6% dari 465 pembudidaya ikan di wilayah
survei tersebut telah menggunakan tanaman dalam kegiatan budidayanya, dan

terdapat sekitar 90 jenis tanaman yang umum digunakan. Aplikasi tanaman pada
kegiatan budidaya berdasarkan pengetahuan pribadi yang umumnya diperoleh
secara turun temurun, baik untuk mengobati penyakit pada ikan ataupun
meningkatkan kualitas air (Caruso et al. 2010).
Berdasarkan penelitian di atas, maka sangatlah penting untuk menentukan
tanaman-tanaman yang memiliki potensi antibakteri, sebagai langkah awal untuk
penanggulangan penyakit bakterial. Dari 90 tanaman hasil survey IRD dan
BRPBAT Sempur, digunakan sebanyak 18 tanaman. Hal ini berdasarkan nilai
persentase penggunaan yang cukup tinggi oleh petani, dan ketersediaan tanaman.
Pada penelitian ini, pengujian awal dilakukan secara in vitro yang terdiri dari uji
sensitivitas tanaman dan selanjutnya dilakukan pengujian MIC terhadap bakteri
S. agalactiae yang mewakili bakteri Gram positif dan A. hydrophila yang
mewakili bakteri Gram negatif.


 

Menurut NCLLS (2005), uji sensitivitas merupakan pengujian yang
dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri terhadap suatu bahan antibakteri,
sedangkan MIC merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam

pengujian aktivitas zat antibakteri yang dilakukan dengan cara menentukan
konsentrasi terendah yang dibutuhkan dari zat tersebut untuk menghambat
pertumbuhan dari mikroorganisme yang diuji
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antibakteri dari
jenis tanaman yang diekstraksi dengan cara maserasi etanol 95% dan
ddH2O terhadap jenis bakteri S. agalactiae dan A. hydrophila. Selain itu, dari
penelitian ini juga ingin diketahui nilai konsentrasi penghambatan minimal
(MIC/minimum inhibitory concentration) dari ekstrak tersebut.


 

II. BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan –tahapan
tersebut terdiri dari proses penyiapan dan ekstraksi tanaman, penyediaan bakteri,
pengujian sensitivitas bakteri S. agalactiae dan A. hydrophila terhadap tanaman
yang telah diekstraksi, dan pengujian minimum inhibitory concentration (MIC).
2.1


Penyediaan Tanaman
Tanaman uji diperoleh dari

Balai Penelitian Tanaman Obat dan

Aromatika (BALITTRO) Cimanggu, Bogor (Lampiran 1). Tanaman tersebut
dibersihkan dari kotoran yang melekat dengan air mengalir, kemudian dipilih
bagian yang akan digunakan. Untuk penyiapan umbi dan rhizoma dengan cara
diiris tipis terlebih dahulu. Bagian tanaman yang telah dipilih selanjutnya
dilakukan proses pengeringan dengan menggunakan blower (Lampiran 2) pada
kisaran suhu 55-60oC. Sediaan bahan yang telah kering tersebut kemudian
dihaluskan dengan blender. Setelah itu disimpan dalam wadah tertutup dan
terhindar dari cahaya matahari. Sampel tumbuhan sebanyak 18 tanaman disajikan
pada Tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Sampel tumbuhan dan bagian yang diekstraksi
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Nama lokal
Kunyit
Ketapang
Kipahit
Babandotan
Kirinyuh
Meniran
Temu lawak
Talas
Sirih
Kunyit putih
Kimanila
Jawer kotok
Combrang
Jambu monyet

Nama ilmiah
Curcuma domestica
Terminalia catappa
Tithonia diversifolia
Ageratum conyzoides
Eupatorium inulaefolium
Phyllanthus niruri
Curcuma xanthorrhiza
Colocasia esculenta
Piper betle
Curcuma zedoaria
Cassia alata
Plectranthus scutellaroides
Etlingera elatior
Anacardia occidentale

Bagian yang
digunakan
Rhizoma
Daun
Daun
Semua bagian
Daun
Semua bagian
Rhizoma
Daun
Daun
Rhizoma
Daun
Daun
Daun
Daun


 

Lanjutan Tabel 1
No.

Nama lokal

Nama ilmiah

15.
16.
17.
18.

Cebreng
Petai
Bawang putih
Petai cina

Gliricidia sepium
Parkia speciosa
Allium sativum
Leucaena leucocephala

2.2

Bagian yang
digunakan
Daun
Daun
Umbi
Daun

Ekstraksi Tanaman
Ekstraksi tanaman dilakukan dengan metode maserasi atau perendaman

dari Pachanawan et al. (2008) dengan beberapa modifikasi. Ekstraksi komponen
bioaktif tanaman pada Tabel 1 di atas menggunakan metode maserasi dengan
pelarut etanol 95% (Pro Analis) dan double distilled water (ddH2O).
a)

Maserasi dengan Etanol 95%
Serbuk tanaman direndam pada pelarut dengan perbandingan 1:10 (w/v),

pada penelitian ini digunakan 10 gram serbuk /100 mL. Masing-masing tanaman
dilakukan sebanyak tiga ulangan. Diagram alir maserasi dengan pelarut etanol
disajikan sebagai berikut (Gambar 1).
Serbuk tanaman (10 gram)

Sebuk tanaman dimaserasi 72 jam dengan etanol 95% (100 mL)

Hasil maserasi difiltrasi (filter 1,2,3)

Filtrat dievaporasi

Ekstrak kasar

Gambar 1. Diagram alir metode maserasi komponen bioaktif tanaman dengan
pelarut etanol 95%.
Sebanyak 10 gram serbuk tanaman direndam pada 100 mL etanol 95%
selama 72 jam pada suhu ruang, untuk melarutkan komponen bioaktif pada
tanaman tersebut. Setelah 72 jam larutan tersebut difilter dengan saringan teh
ukuran ±1,2 mm (filter 1). Penyaringan selanjutnya digunakan saringan yang lebih

 

kecil ±0,6 mm (filter 2). Setelah tahapan filter kedua, digunakan kertas saring
Whatman no. 125 sebagai filter ke tiga. Kemudian tahapan terakhir adalah
dilakukan evaporasi. Rendemen ekstrak hasil evaporasi tersebut kemudian
disimpan di freezer.
b)

Maserasi dengan ddH2O
Serbuk tanaman direndam dengan ddH2O dengan perbandingan 1:10

(w/v). Digunakan 10 gram serbuk /100 mL ddH2O dan dilakukan sebanyak tiga
ulangan. Diagram alir maserasi dengan pelarut ddH2O disajikan sebagai berikut
(Gambar 2).
Serbuk tanaman (10 gram)

Serbuk tanaman dimaserasi 72 jam dengan ddH2O (100 mL)

Hasil maserasi difiltrasi (filter 1,2,3)

Filtrat disentrifugasi 5.000 g (10 menit)

Supernatan difiltrasi dengan saringan bakteri 0,22 dan 0,20 µm

Supernatan

Gambar 2. Diagram alir metode maserasi komponen bioaktif tanaman dengan
pelarut ddH2O.
Sebanyak 10 gram serbuk tanaman dilarutkan pada 100 mL ddH2O selama
72 jam pada suhu ruang. Setelah 72 jam larutan tersebut disaring dengan
menggunakan saringan teh ukuran ±1,2 mm (filter 1). Saringan yang lebih kecil
±0,6 mm digunakan sebagai filter ke dua. Selanjutnya setelah melewati filter ke
dua, difilter kertas saring Whatman no.125 (filter 3). Untuk mendapatkan
supernatan, ekstrak yang telah melewati filter ke tiga disentrifugasi dengan
kecepatan 5.000 g selama 10 menit.

Supernatan kemudian diambil dengan

menggunakan syringe 50 mL dan difiltrasi dengan saringan bakteri ukuran 0,22
dan 0,20 µm. Kemudian supernatan tersebut disimpan di freezer.


 

2.3

Penyediaan Bakteri
Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah A. hydrophila dan

S. agalactiae. Kedua bakteri ini adalah koleksi Laboratorium Patologi BPPBAT
Sempur, Bogor. Sebelum dipergunakan bakteri tersebut diidentifikasi terlebih
dahulu dengan metode pewarnaan Gram dan uji Biokimia. Bakteri A. hydrophila
ditumbuhkan pada media Müller Hinton Agar (MHA) dan Müller Hinton Broth
(MHB), sedangkan untuk bakteri S. agalactiae ditumbuhkan pada media
brain heart infusion agar (BHIA) dan brain heart infusion broth (BHIB).
2.4

a)

Pengujian Sensitivitas Bakteri S. agalactiae dan A. hydrophila terhadap
Ekstrak Tanaman
Persiapan Suspensi Bakteri
Persiapan bakteri untuk uji sensitivitas dilakukan dengan metode

direct colony suspension (NCLLS 2005). Bakteri digores pada cawan petri yang
telah berisi medium MHA untuk A. hydrophila dan medium BHIA untuk
S. agalactiae, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 34o C. Setelah
24 jam, dipilih beberapa koloni dengan ose dan dihomogenkan dengan vortex
pada phosphate buffer saline (PBS) steril. Selanjutnya suspensi bakteri disamakan
turbiditasnya dengan McFarland 0,5 yaitu dengan nilai absorbansi 0,08-0,1 pada
panjang gelombang 625 nm. Nilai absorbansi tersebut kira-kira setara dengan
1,5x108 CFU/mL (NCLLS 2005). Suspensi bakteri tersebut diupayakan disebar
dengan waktu pengerjaan tidak lebih dari 15 menit.
b)

Prosedur uji sensitivitas bakteri terhadap bahan
Pengujian sensitivitas bakteri S. agalactiae dan A. hydrophila terhadap

tanaman yang telah diekstraksi dilakukan dengan metode Kirby Bauer
(NCLLS 2005). Tahap pertama pada pengujian sensitivitas bakteri terhadap bahan
uji ini adalah persiapan ekstrak pada kertas cakram. Ekstrak kasar dilarutkan
dengan etanol 95% hingga konsentrasinya 100.000 ppm, kemudian ekstrak
diteteskan pada kertas cakram yang berdiameter 6 mm sebanyak 20 µL dan
ditunggu hingga pelarut etanol 95% menguap (± 3 menit). Konsentrasi ekstrak
tiap kertas cakram adalah 2000 µg/kertas cakram (Lampiran 3).
Tahap kedua adalah mempersiapkan bakteri A. hydrophila dan
S. agalactiae pada masing-masing medium agar. Sebanyak 100 µL bakteri yang


 

telah disamakan nilai absorabansinya dengan McFarland 0,5 diteteskan pada
permukaan medium agar yang telah mengeras. Bakteri yang telah diteteskan
tersebut disebar secara merata pada permukaan agar dengan teknik swabbing.
Digunakan cotton bud steril sebagai alat penyebarnya. Masing-masing kertas
cakram yang telah berisi ekstrak kemudian ditempelkan pada permukaan agar
yang telah disebar bakteri dengan bantuan pinset steril secara aseptik. Cawan petri
tersebut kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 34°C. Ekstrak tanaman
yang positif memiliki zat antibakteri, akan terbentuk zona bening pada sekeliling
kertas cakram (Lampiran 4). Diameter zona bening dihitung secara total
menggunakan jangka sorong. Metode untuk uji sensitivitas bakteri terhadap bahan
uji dapat dilihat pada Gambar 3.

Suspensi bakteri diukur absorbansinya 0,08-0,1 pada 625 nm
Suspensi bakteri disebar dengan teknik swabbing
pada permukaan agar sebanyak 100 µL

Kertas cakram ditetesi ekstrak 20 µL

Kertas cakram diuapkan hingga pelarut
menguap atau hingga permukaannya kering

Kertas cakram diletakkan secara aseptik pada
permukaan agar yg telah disebar bakteri uji

Agar yang berisi bakteri dan kertas
cakram diinkubasi selama 24 jam

Pengamatan dan pengukuran zona bening

Gambar 3. Tahapan uji sensitivitas antibakteri

2.5

Uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Uji minimum inhibitory concentration (MIC) ini dilakukan dengan metode

Macrodilution (NCLLS 2005) dengan beberapa modifikasi. Uji MIC ini dilakukan
pada dua macam hasil ekstraksi yakni ekstraksi dengan ddH2O dan dengan etanol
95%.


 

a)

Persiapan Suspensi Bakteri
Persiapan bakteri untuk uji MIC dilakukan dengan mengkultur bakteri uji

pada masing-masing media cair, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam. Media
MHB untuk bakteri A. hydrophila dan

BHIB untuk S. agalactiae. Setelah

diinkubasi selama 24 jam, kultur bakteri diukur turbiditasnya pada panjang
gelombang 625 nm. Dicari nilai absorbansi 0,08-0,1 atau disetarakan dengan
McFarland 0,5. Bakteri dengan nilai absorbansi 0,08-0,1 dikatakan setara dengan
108 CFU/mL. Setelah itu kultur bakteri tersebut diencerkan sehingga didapatkan
stok 106 CFU/mL.
b)

Prosedur uji MIC dengan metode macrodilution pada ekstraksi
dengan ddH2O.
Ekstraksi dengan ddH2O dilakukan tanpa melalui proses evaporasi,

sehingga nilai konsentrasinya didapat dari perbandingan serbuk tanaman dengan
pelarutnya. Untuk uji MIC pada ekstrak hasil maserasi dengan ddH2O, digunakan
double strength broth atau media cair dengan kuantitas serbuk medianya dua kali
dosis (Lampiran 5). Pertama-tama dipersiapkan larutan stok dari ekstrak tanaman
yang diperoleh dengan mencampurkan 1 mL larutan ekstrak dengan 1 mL media
cair double strength untuk masing-masing bakteri. Larutan stok ini nilai
konsentrasinya setengah dari nilai konsentrasi awal, konsentrasinya adalah sebesar
50.000 ppm.
Setelah larutan stok dipersiapkan, selanjutnya dipersiapkan tabung reaksi
sebanyak 12 buah untuk masing-masing ekstrak tanaman. Tabung reaksi diisi
dengan media cair double strength untuk masing-masing bakteri sebanyak 1 mL
dimulai dari tabung nomor 2 hingga tabung nomor 12. Tabung pertama dan kedua
diisi dengan larutan stok, tabung ke-2 yang telah berisi larutan ekstrak 1 mL dan
media cair double strength sebanyak 1 mL dihomogenasi vortex kemudian
diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung nomor 3, dilakukan seterusnya
hingga tabung ke-11. Pada tabung ke-11, sebanyak 1 mL larutan tidak
dimasukkan ke tabung ke-12 tetapi dibuang. Tabung ke-12 merupakan kontrol
yang berisi media saja. Setelah keduabelas tabung tersebut berisi masing-masing
konsentrasi larutan, kemudian masing-masing tabung diisi suspensi bakteri


 

dengan kepadatan 106 CFU/mL sebanyak 1 mL (Lampiran 6). Pengenceran
konsentrasi dilakukan dengan deret geometrik (Lampiran 7).
Tabung-tabung yang telah berisi ekstrak dan bakteri tersebut diinkubasi
pada suhu 34°C selama 24 jam. Setelah diinkubasi, diamati tabung yang relatif
bening dibandingkan kontrol (tabung 12) secara visual. Kemudian campuran
ekstrak dan suspensi bakteri tersebut disebar sebanyak 50 µL di media agar BHIA
untuk S. agalactiae dan MHA untuk A. hydrophila pada cawan petri, dimulai
dari tabung yang relatif bening hingga tabung ke-1. Kemudian diinkubasi selama
24 jam, selanjutnya dihitung jumlah koloninya. Jumlah bakteri pada uji MIC ini
dalam bentuk log koloni/mℓ. Berdasarkan Pankey dan Sabath (2010), MIC adalah
konsentrasi terendah ekstrak tanaman uji yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba sebanyak 90%-99% (1 log koloni dari jumlah koloni awal).
c)

Prosedur uji MIC dengan metode Macrodilution pada ekstrak hasil
maserasi dengan etanol 95%.
Ekstraksi hasil maserasi dengan etanol 95% dilakukan melalui tahap

evaporasi sehingga didapatkan ekstrak kasar. Untuk membuat larutan stok,
dilakukan pencampuran ekstrak kasar dengan pelarut broth sehingga didapatkan
konsentrasi yang diinginkan yaitu 50.000 ppm. Karena ekstrak kasar hasil
evaporasi dengan ethanol 95% sebagian besar berupa pasta yang agak berminyak.
Pencampuran ekstrak kasar dengan broth ditambahkan emulsifier Polysorbate 80
(Tween 80) supaya ekstrak terlarut sempurna. Hal ini menurut Purseglove et al.
(1981) dalam Fadhilla (2010), penggunaan alkohol dengan konsentrasi lebih dari
70% akan menghasilkan ekstrak dengan kandungan fixed oil tinggi. Broth
dipanaskan terlebih dahulu pada suhu sekitar

45o C sebelum ekstrak dilarutkan.

Ditambahkan Tween 80 sebanyak 0,1 gram untuk melarutkan 0.1 gram ekstrak
kasar. Setelah ekstrak kasar dan broth terlarut sempurna, sebelum dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dilakukan filtrasi terlebih dahulu menggunakan filter bakteri
dengan ukuran pori-pori 0,20 µm. Langkah selanjutnya relatif sama dengan
prosedur uji MIC dengan metode macrodilution pada ekstrak hasil maserasi
dengan ddH2O.

10 
 

11 
 

III.. HASIL DAN
D
PEM
MBAHASA
AN

3
3.1.

Hasiil Ekstraksi Tanaman
Renddemen padaa setiap tanaaman uji yaang diekstraak dengan etanol
e
95%

d
disajikan
paada Gambarr 4. Rendemen meruppakan perbaandingan anntara bobot
e
ekstrak
yangg dihasilkan dengan bobot awal yangg digunakann dan dinyataakan dalam
p
persen
(Harrborne 20066).

Berdasaarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,

r
rendemen
tiaap bahan ujii cukup beraggam (Lampiiran 8), hal inni diduga kaarena setiap
t
tanaman
meemiliki komp
posisi bahan aktif yang berbeda
b
yangg dapat terlaarut dengan
p
pelarut
yangg tepat. Farrrel (1990) menyatakann bahwa daalam prosess ekstraksi,
k
komposisi,
w
warna,
arom
ma dan renddemen yang dihasilkan akan
a
dipeng
garuhi oleh
j
jenis,
ukuraan dan tingkkat kematanngan bahan baku, jeniss pelarut, suuhu, waktu

Rendemen Ekstrak (%)

e
ekstraksi
dann metode ekkstraksi.
18
8
16
6
14
4
12
2
10
0
8
6
4
2
0

Tanaman
n uji

G
Gambar
4. Reendemen darri masing-m
masing ekstraaksi etanol taanaman.

Gam
mbar 4 menu
unjukkan juumlah rendeemen ekstraak tiap tanaaman yang
d
diekstraksi
dengan
d
etannol 95%. Ketapang (T. catappa)
c
(155,20%), jam
mbu monyet
( occidenttale) (16,200%), cebrengg (G. sepium) (12,40%
(A.
%), petai (P.. speciosa)
(
(10,03%),
kiimanila (C. alata)
a
(9,10%
%) memilikii nilai rendem
men yang reelatif tinggi
a
apabila
dibaandingkan deengan rendem
men ekstrakk tanaman laainnya. Nilaii rendemen

11

tanaman yang relatif rendah di antaranya adalah kunyit putih (C. zedoaria)
(1,40%), babandotan (A. conyzoides) (2,06%), dan sirih (P. betle) (2,60%).
Metode ekstraksi yang dipergunakan pada penelitian ini adalah dengan
cara maserasi atau perendaman. Menurut Harborne (2006), maserasi merupakan
proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang dilakukan pada
temperatur ruang. Proses ini menguntungkan untuk isolasi senyawa bahan alam
karena dengan perendaman akan terjadi pemecahan dinding sel akibat perbedaan
tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga senyawa metabolit sekunder di
dalam sitoplasma akan larut dalam pelarut organik melalui proses difusi.
Pelarut etanol 95% (Pro Analis) dan akuabides digunakan sebagai bahan
pelarutnya dengan perbandingan 1:10 (w/v). Suliantari (2009), memaparkan
bahwa penggunaan etanol sebagai pelarut adalah dengan alasan etanol merupakan
pelarut yang relatif aman digunakan dalam bahan pangan. Meskipun menurut
beberapa penelitian pelarut yang sangat efektif untuk mengekstraksi komponen
aktif dari bahan alam adalah metanol, tetapi metanol merupakan senyawa toksik
apabila terhisap maupun terserap pada permukaan kulit. Oleh sebab itu metanol
tidak diizinkan digunakan dalam bahan pangan. Cowley (1973) dalam Fadhilla
(2010), melaporkan bahwa perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi
hasil ekstraksi, dan pebandingan yang baik antara bahan dan pelarut adalah 1:10,
di mana konsentrasi pelarut akan mempengaruhi ekstrak.
Sampel tanaman yang akan diekstraksi dibuat dalam bentuk serbuk kering.
Hal ini bertujuan untuk memaksimumkan luas permukaan bahan dan
menyeragamkan ukuran partikel agar mempermudah kontak antara bahan dengan
pelarutnya, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik (Harborne 2006).

3.2

Penyediaan Bakteri
Setelah dilakukan uji pewarnaan Gram dan uji biokimia menunjukkan

bahwa kedua bakteri yang digunakan adalah bakteri A. hydrophila (A) dan
S. agalactiae (B). Nielsen et al. (2001), yang melaporkan bahwa A. hydrophila
merupakan bakteri Gram negatif, motilitas (+), oksidase (+), katalase (+), indol
(+), fermentatif, hemolisis (+). Dan Evans et al. (2002), memaparkan bahwa
S. agalactiae merupakan bakteri Gram positif, motilitas (-), fermentatif, katalase

12 
 

(-), oksidase (-), D-mannitol (-), hemolisis (-), bile salt 40% (+), pertumbuhan di
NaCl 6,5% (+), aesculin hydrolysis (-), dan berbentuk kokus. Hasil pengujian
disajikan pada Tabel 2 di bawah ini:

Tabel 2. Hasil identifikasi bakteri.
Isolat

Morfologi Koloni

Uji Biokimia

Warna

Elevasi

Tepian

Gram

Motilitas

O/F

katalase

oksidase

gelatinase

A

Krem

cembung

halus

-

+

F

+

+

+

B

Putih

cembung

halus

+

-

F

-

-

+

3.3

Pengujian Sensitivitas Antibakteri Tanaman
Tahapan awal untuk mengetahui ada atau tidaknya aktivitas senyawa

antibakteri dari tanaman, dilakukan uji kualitatif dengan metode kertas cakram
Kirby Bauer. Hasil maserasi tanaman dengan pelarut etanol 95% dan ddH2O
diujikan terhadap bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae.
30

Zona Hambat (mm)

25
20
15
S. agalactiae

10

A. hydrophila

5

Kontrol pelarut (etanol 95%)

A. occidentale

Chlorampenicol

T. catappa

P. niruri

A. comzoides

E. elatior

P. scutellaroides

C. esculenta

T. diversifolia

P. speciosa

L. leucocephala

C. alata

E. inulaefolium

P. betle

G. sepium

C. xanthorriza

C. zedoaria

C. domestica

A. sativum

0

Tanaman Uji

Gambar 5. Aktivitas antimikroba berbagai tanaman uji hasil ekstraksi dengan
etanol 95% pada konsentrasi 100 mg/mL terhadap bakteri
A. hydrophila dan S. agalactiae.

13 
 

Gambar 5 menunjukan bahwa pada konsentrasi 100 mg/mL atau 2000
µg/kertas cakram hasil ekstraksi etanol 95%, diameter hambat pada masingmasing ekstrak tanaman berbeda-beda terhadap bakteri uji. Dari 18 tanaman pada
pengujian kualitatif ini, 15 tanaman (83,0%) terdapat zona hambat pada bakteri
S. agalactiae dan 4 tanaman (22,2%) pada bakteri A. hydrophila. Ekstrak tanaman
yang menunjukkan zona hambat baik pada A. hydrophila dan S. agalactiae adalah
tanaman sirih (P. betle), kimanila (C. alata), jawer kotok (P. scutellaroides), dan
jambu monyet (A. occidentale). Nilai zona hambat keempat ekstrak tanaman
tersebut pada S. agalactiae lebih besar daripada A. hydrophila. Tanaman sirih
(P. betle) menunjukan nilai zona hambat tertinggi dibandingkan ekstrak tanaman
lainnya baik pada bakteri S. agalactiae yaitu sebesar 18,9±0,09 mm ataupun pada
bakteri A. hydrophila yaitu sebesar 8,28±0,141 mm.

30
Zona hambat (mm)

25
20
S. agalactiae

15

A. hydrophila

10
5

Chlorampenicol

Kontrol pelarut (Akuabides)

A. accidentale

P. niruri

T. catappa

A. comzoides

P. scutellaroides

E. elatior

C. esculenta

T. diversifolia

L. leucocephala

C. alata

P. speciosa

P. betle

E. inulaefolium

G. sepium

C. zedoaria

C. xanthorriza

A. sativum

C. domestica

0

Tanaman uji

Gambar 6. Aktivitas antimikroba berbagai tanaman uji hasil ekstraksi dengan
ddH2O pada konsentrasi 100 mg/mL terhadap bakteri A. hydrophila
dan S. agalactiae.
Gambar 6 di atas memperlihatkan bahwa untuk tanaman dengan
konsentrasi 100 mg/mL yang diekstrak dengan pelarut ddH2O terdapat 5 macam
tanaman (27,7%) yang terdapat zona hambat pada S. agalactiae yaitu bawang
putih (A. sativum), sirih (P. betle), kirinyuh (E. inulaefolium), kimanila (C. alata),

14 
 

kipahit

(T. diversifolia). Tanaman sirih (P. betle) dan kimanila (C. alata),

konsisten terdapat zona hambat baik pada tanaman yang diekstrak dengan etanol
95% ataupun ddH2O pada bakteri S. agalactiae. Zona hambat untuk
kloramfenikol pada bakteri S. agalatiae adalah sebesar 28±0,172 mm, sedangkan
zona hambat untuk bakteri A. hydrophila adalah sebesar 18,05±0,08 mm. Kontrol
pelarut pada kedua jenis pelarut tersebut tidak menunjukkan zona hambat. Corner
dan Beuchat (1984) dalam Elgayyar et al. (2000), memaparkan perbedaan
kemampuan aktivitas penghambatan ekstrak dari tanaman terhadap bakteri uji ke
dalam kategori menghambat kuat apabila zona penghambatan >11 mm, sedang
(>6 -

Dokumen yang terkait

Formulasi Dan Evaluasi Secara In Vitro Kompleks Nanopartikel Alginat-Kitosan Yang Mengandung Amoksisilin Dan Bovine Serum Albumin

21 171 135

Seleksi In Vitro Untuk Toleransi Terhadap Cekaman Aluminium Pada Dua Varietas Tomat (Lycopersicon esculentum Mill..)

6 86 78

Evaluasi In Vitro Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat Sebagai Sediaan Floating Dari Ranitidin Hcl

4 108 162

Kajian Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) pada Ikan Lele Dumbo (Claries sp.) : Patologi, Pencegahan, dan Pengobatannya dengan Fitofarmaka

0 5 151

Pemanfaatan buah mahkota dewa Phaleria macrocarpa untuk pencegahan infeksi penyakit MAS Motile Aeromonad Septicaemia ditinjau dari gambaran darah ikan patin

0 57 55

Prospek Buah Mahkota Dewa Phaleria Macrocarpa Untuk Pencegahan Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia Pada Ikan Patin Pangasianodon Hypophthalmus

0 7 9

Kajian Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia (MAS) pada Ikan Lele Dumbo (Claries sp.) Patologi, Pencegahan, dan Pengobatannya dengan Fitofarmaka

0 3 141

Pemberian Ekstrak Batang Pisang Ambon Musa Paradisiaca Melalui Pakan Untuk Mencegah Penyakit Motile Aeromonad Septicaemia Pada Ikan Lele Clarias Sp

0 6 56

EKSTRAK DAUN ALPUKAT (Persea americana) DALAM CAMPURAN PAKAN IKAN LELE DUMBO (Clarias sp.) UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI PENYAKIT MAS (Motile Aeromonad Septicaemia) SKRIPSI

0 0 14

Ekstrak daun alpukat (persea americana) dalam campuran pakan ikan lele dumbo (clarias sp.) untuk pencegahan infeksi penyakit mas (motile aeromonad septicaemia) - Repository Universitas Bangka Belitung

0 0 8