Metabolomic Study of Temu Lawak Rhizome Using Liquid Chromatography-Mass Spectrometry

KAJIAN METABOLOMIK RIMPANG TEMU LAWAK
MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIRSPEKTROSKOPI MASSA

SEPTHIA RACHMAWATI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
SEPTHIA RACHMAWATI. Kajian Metabolomik Rimpang Temu Lawak
Menggunakan Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa. Dibimbing oleh RUDI
HERYANTO dan EDY DJAUHARI.
Kualitas rimpang temu lawak sebagai tanaman obat ditentukan oleh
kandungan metabolit, yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan lingkungan
tumbuh tanaman. Pengamatan keragaman metabolit ekstrak etanol rimpang temu
lawak yang berasal dari 5 daerah berbeda (Sragen, Bogor, Karanganyar,
Sukabumi, dan Wonogiri) pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
metabolomik menggunakan kromatografi cair-spektroskopi massa (LC-MS).

Analisis komponen utama menghasilkan 3 kelompok sampel berdasarkan daerah
asalnya: kelompok 1 (Sragen dan Bogor), kelompok 2 (Sukabumi dan Wonogiri),
dan kelompok 3 (Karanganyar). Bioaktivitas rimpang diuji dengan metode uji
letalitas larva udang untuk mengevaluasi potensinya sebagai antikanker. Rimpang
kelompok 1 memiliki potensi antikanker terendah dan terbedakan dari kelompok
sampel lainnya akibat pengaruh variabel nilai m/z 249.964, yang belum dapat
diidentifikasi karena keterbatasan database. Rimpang kelompok 2 dan 3
mengandung senyawa penciri dengan sinyal m/z 368.115, yang diduga sebagai
kurkumin dan siklokurkumin. Sampel rimpang kelompok 3 memiliki potensi
antikanker terbaik dengan LC50 25.04 µg/mL.
Kata kunci: LC-MS, metabolomik, temu lawak.

ABSTRACT
SEPTHIA RACHMAWATI. Metabolomic Study of Temu Lawak Rhizome Using
Liquid Chromatography-Mass Spectrometry. Supervised by RUDI HERYANTO
and EDY DJAUHARI.
Quality of temu lawak rhizome as a medicinal plant, was determined by the
content of metabolites, which are influenced by geography and environment
where the plant grow. Observation on metabolite diversity of ethanol extract of
temu lawak rhizome from five differrent regions (Sragen, Bogor, Karanganyar,

Sukabumi, and Wonogiri) in this research was conducted by metabolomic
approaches using liquid chromatography-mass spectrometry (LC-MS).
Multivariate analysis PCA produced 3 groups of samples based on the region of
origin: group 1 (Sragen and Bogor), group 2 (Sukabumi and Wonogiri), and group
3 (Karanganyar). Bioactivity of the rhizome was evaluated by brine shrimp
lethality test method to determine their potential as anticancer. Rhizome group 1
had the lowest potential anticancer and could be distinguished from the other
samples due to their influence variables value of m/z 249.964, which could not be
identified due to the limited database. Group 2 and 3 contained metabolite
biomarker at m/z 368.115, which is predicted as curcumin and cyclocurcumin.
Sample group 3 had the best potential as anticancer, with an LC50 at 25.04 µg/mL.
Keywords: LC-MS, metabolomic, temu lawak.

KAJIAN METABOLOMIK RIMPANG TEMU LAWAK
MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIRSPEKTROSKOPI MASSA

SEPTHIA RACHMAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Judul : Kajian Metabolomik Rimpang Temu
Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa
Nama : Septhia Rachmawati
NIM : G44080069

Lawak

Menggunakan

Disetujui,


Pembimbing I,

Pembimbing II,

Rudi Heryanto SSi MSi
NIP 19760428 200501 1 002

Drs Edy Djauhari PK MSi
NIP 19631219 199003 1 002

Diketahui
Ketua Departemen Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor,

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi MS
NIP 19501227 197603 2 002

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ―Kajian
Metabolomik Rimpang Temu Lawak Menggunakan Kromatografi CairSpektroskopi Massa‖. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan aret Juli 2012 di
Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA), Institut Pertanian Bogor (IPB) serta Laboratorium Pusat Studi
Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (PSB IPB). Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat kelulusan Program Sarjana di Departemen Kimia FMIPA IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudi Heryanto SSi MSi
selaku pembimbing satu dan Bapak Drs Edy Djauhari PK MSi sebagai
pembimbing kedua atas semua bimbingan, masukan, arahan, serta ilmu yang telah
diberikan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada
seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia IPB dan
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (PSB IPB) yang
telah memberikan fasilitas, dukungan, dan bantuan selama penelitian berlangsung.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan keluarga besar atas
doa yang diberikan dan menjadi motivasi penulis. Ucapan terima kasih kepada
teman bimbingan (Lupi, Kiki, Anissa, dan Fakih) atas dukungan dan semangat
yang telah diberikan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.


Bogor, November 2012
Septhia Rachmawati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 20 September 1990 dari Bapak
Hari Sumardio dan Ibu Eka Mahfarini. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dengan dua adik bernama Karina Ramadhani dan Larasati. Tahun 2008
penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus
seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Departemen
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Selama kuliah, penulis mengikuti berbagai kepanitiaan dalam lingkup kimia
maupun kampus. Penulis berpartisipasi sebagai Sekretaris Umum dan Dewan
Kehormatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lingkung Seni Sunda Gentra
Kaheman 2009/2010 dan 2010/2011. Pada bulan Juli Agustus 2011 penulis
mengikuti kegiatan Praktik Lapangan di Balai Pengujian dan Identifikasi Barang
(BPIB) Jakarta, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Penulis juga pernah menjadi
asisten praktikum kimia Kimia Organik Layanan untuk mahasiswa S1 Teknologi
Pangan tahun ajaran 2010/2011, asisten praktikum Kimia Organik Berbasis
Kompetensi Departemen Kimia IPB tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012,

asisten praktikum Kimia Analitik 1 dan Kimia Analitik 2 Departemen Kimia IPB
tahun ajaran 2011/2012, serta asisten praktikum Kimia Organik dan Kimia
Pangan untuk mahasiswa Diploma tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... viii
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Temu Lawak sebagai Tanaman Obat .............................................................
Ekstraksi Temu Lawak ...................................................................................
Metabolomik .................................................................................................
Kromatografi Cair Spektroskopi Massa dan Deteksi Senyawa Penciri .........
Analisis Multivariat PCA ..............................................................................
Uji Toksisitas Ekstrak Temu Lawak ..............................................................

2
3

3
4
5
6

METODE
Bahan dan Alat ............................................................................................... 7
Lingkup Penelitian ......................................................................................... 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Rimpang Temu Lawak ................................... 9
Identifikasi Profil Metabolit Rimpang Temu Lawak .................................... 10
Pengenalan Pola Pengelompokan Metabolit dengan PCA ............................. 13
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 15
LAMPIRAN ........................................................................................................ 18

DAFTAR TABEL
Halaman
1


Informasi rimpang temu lawak .................................................................... 7

2

Kondisi daerah asal sampel ........................................................................... 9

3

Kadar air, kadar abu, rendemen, dan toksisitas rimpang temu lawak ........... 10

4

Komposisi metabolit dominan rimpang temu lawak .................................... 12

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1

Rimpang temu lawak..................................................................................... 2


2

Struktur kurkuminoid .................................................................................... 2

3

Struktur xantorizol ........................................................................................ 3

4

Prinsip PCA................................................................................................... 6

5

Bagan alir pemrosesan data ........................................................................... 9

6

Kromatogran LC-MS ekstrak etanol rimpang temu lawak Sragen ............... 11


7

Grafik metabolit dominan ............................................................................. 12

8

Plot skor analisis multivariat PCA sebelum reduksi outlier ......................... 13

9

Plot skor analisis multivariat PCA setelah reduksi outlier............................ 14

10 Plot loading analisis multivariat PCA ........................................................... 14

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1

Bagan alir penelitian ..................................................................................... 19

2

Tahap pemrosesan kromatogram LC-MS dengan MZmine .......................... 20

3

Tahap pemrosesan PCA data mass array dengan The Unscrambler ............ 24

4

Kadar air serbuk rimpang temu lawak .......................................................... 27

5

Kadar abu serbuk rimpang temu lawak ......................................................... 28

6

Rendemen ekstrak etanol rimpang temu lawak ............................................ 29

7

Hasil uji toksisitas ekstrak etanol rimpang temu lawak ................................ 30

8

Analisis probit nilai LC50 ekstrak etanol rimpang temu lawak ..................... 34

9

Uji statistika ANOVA dan Duncan terhadap toksisitas temu lawak ............ 35

10 Komposisi dugaan senyawa kimia rimpang temulawak ............................... 36
11 Peta Metabolit Genus Curcuma ................................................................... 40

1

PENDAHULUAN
Indonesia kaya akan biodiversitas sumber
daya alam. Salah satu komoditas bahan alam
yang telah lama dimanfaatkan di bidang
kesehatan sebagai tanaman obat ialah temu
lawak (Curcuma xanthorrhiza). Temu lawak
merupakan tanaman yang terdistribusi di
wilayah Asia, seperti Indonesia dan Malaysia,
serta banyak dimanfaatkan sebagai obat
tradisional, zat pewarna alami, industri jamu
dan kosmetik, maupun sebagai bahan pangan
(Ravindran et al. 2007). Senyawa metabolit
sekunder utama yang terdapat dalam rimpang
temu
lawak
adalah
xantorizol
dan
kurkuminoid. Kurkumin diketahui memiliki
aktivitas antiradang, antioksidan, antitumor,
hipokolesterolemik, dan antihepatotoksik
(Paryanto dan Srijanto 2006). Sementara
xantorizol diketahui memiliki potensi sebagai
antibakteri, antifungi, antikanker, dan
antiradang (Nurcholis 2008).
Penggunaan bahan alam sebagai bahan
baku obat memerlukan adanya jaminan
terhadap mutu dan keamanannya. Mutu
rimpang temu lawak sebagai bahan baku obat
diprioritaskan pada kandungan senyawa aktif,
yang ditentukan oleh faktor lingkungan
tumbuh tanaman maupun faktor genetik.
Faktor lingkungan meliputi kandungan tanah,
iklim, spesies, serta daerah tumbuh tanaman
(Choi et al. 2010). Keragaman simplisia dari
segi tempat asal dan proses produksi akan
memengaruhi mutu suatu sediaan obat bahan
alam. Pengamatan keragaman senyawa
metabolit yang terdapat dalam rimpang temu
lawak dari berbagai daerah dapat dilakukan
dengan pendekatan metabolomik. Kajian
metabolomik melalui identifikasi profil
metabolit dapat digunakan untuk evaluasi dan
kendali mutu produk obat tradisional. Selain
itu, juga untuk mengidentifikasi kandungan
dalam bahan pangan, yang berguna pada
penentuan kualitas dan deteksi terhadap
pemalsuan suatu produk (Krastanov 2010).
Teknik analisis yang dapat digunakan
dalam pemrofilan metabolit ialah spektroskopi
inframerah, resonans magnet inti (NMR), dan
spektroskopi massa (Theodoridis et al. 2012).
Identifikasi
profil
metabolit
secara
menyeluruh dari suatu sampel yang kompleks
membutuhkan metode analisis dengan resolusi
tinggi, seperti kromatografi cair-spektroskopi
massa
(LC-MS),
kromatografi
gasspektroskopi massa (GC-MS), kromatografi
cair-spektroskopi massa-spektroskopi massa
(LC-MS/MS), dan elektroforesis kapilerspektroskopi massa (CE-MS). Pada penelitian

ini, ekstrak etanol rimpang temu lawak
dianalisis dengan LC-MS karena memiliki
kemampuan memisahkan dan mendeteksi
molekul dengan kisaran yang luas, serta dapat
digunakan untuk analisis kuantitatif maupun
analisis struktural dengan sensitivitas yang
sangat baik, mencapai pg/mL. Spektroskopi
massa memiliki sensitivitas yang lebih baik
dibandingkan dengan spektroskopi NMR 1H
dan mampu mendeteksi metabolit di bawah
ambang deteksi NMR (Theodoridis et al.
2012). Selain itu, spektroskopi massa
menghasilkan fragmentasi bobot molekul
yang spesifik untuk mengidentifikasi ataupun
mengonfirmasi senyawa yang diduga (Patnaik
2004).
Kajian metabolomik dengan instrumen
LC-MS sebelumnya telah dilakukan untuk
mempelajari keterkaitan jalur biosintesis
terhadap keragaman metabolit kunyit dari 16
daerah berbeda (Xie et al. 2009),
mengklasifikasikan dan menentukan kualitas
biji kopi yang diambil dari berbagai daerah
(Choi et al. 2010), menentukan keragaman
metabolit Angelica gigas yang diambil dari 3
daerah berbeda di wilayah Korea (Kim et al.
2011), klasifikasi metabolit taksoid dari
tanaman Taxus chinensis var. berdasarkan
variasi perbedaan umur tanaman (Tanaka et al.
2011), serta kendali mutu Fuzi (akar Aconitum
carmichaelii Debx) yang umum digunakan
sebagai bahan baku obat tradisional Cina,
yang diamati berdasarkan tahap preparasinya
(Sun et al. 2012). Penelitian-penelitian
tersebut menyatakan bahwa pemrofilan
metabolit dengan instrumen LC-MS yang
disertai analisis kemometrik dapat digunakan
untuk mendiskriminasi komposisi fitokimia
berdasarkan perbedaan daerah asal, umur
tanam, tahap preparasi, maupun varietasnya.
Analisis menggunakan instrumen LC-MS
menghasilkan kumpulan data hasil percobaan
dengan ukuran yang sangat besar dan
kompleks. Penanganan kompleksitas data
dapat dilakukan dengan beberapa metode dan
perangkat lunak yang mendukung untuk
menyederhanakan dimensi data, salah satunya
dengan perangkat lunak MZmine. Hasil
pengolahan data disebut tabel spektra mass
array yang mengandung informasi mengenai
nilai m/z, waktu retensi, luas area, dan
intensitas puncak (Theodoridis et al. 2008).
Dugaan identifikasi metabolit rimpang temu
lawak pada penelitian ini dilakukan dengan
mencocokkan nilai m/z pada tabel mass array
terhadap massa akurat senyawa metabolit
genus Curcuma yang dipublikasikan pada
Dictionary of Natural Products (DNP). Data

2
mass array dievaluasi dengan analisis
komponen utama (PCA) menggunakan
perangkat lunak The Unscrambler untuk
mendiskriminasi sampel rimpang temu lawak
berdasarkan kemiripan kandungan metabolit.
Selain itu, juga untuk menentukan senyawa
penciri yang berkaitan dengan bioaktivitasnya,
yang ditentukan melalui metode uji letalitas
larva udang (BSLT), sehingga sampel
rimpang temu lawak dapat diklasifikasikan
berdasarkan daerah asalnya. Nurcholis (2008)
meneliti profil senyawa penciri dan
bioaktivitas rimpang temu lawak. Berdasarkan
penelitian tersebut, rimpang yang diambil dari
tiga daerah berbeda (Cileungsi, Sumedang,
dan Boyolali) menghasilkan nilai konsentrasi
letal 50% (LC50) berbeda, yang berkisar antara
60 dan 180 µg/mL karena komponen
metabolit penyusun temu lawak dipengaruhi
oleh kondisi geografis tempat tumbuh
tanaman.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi
profil metabolit rimpang temu lawak dengan
usia tanam 9 12 bulan yang berasal dari 5
daerah sentra penanaman di Pulau Jawa
(Indonesia), yaitu Sragen, Bogor, Sukabumi,
Karanganyar, dan Wonogiri menggunakan
analisis metabolomik dengan instrumen
kromatografi cair-spektroskopi massa-ionisasi
semprotan elektron-waktu terbang (LC-ESITOF MS). Selain itu, penelitian bertujuan
mengevaluasi data metabolit menggunakan
analisis kemometrik PCA. Hasil analisis
kemometrik dievaluasi untuk mendiskriminasi,
menentukan senyawa penciri (biomarker), dan
menjelaskan kualitas rimpang temu lawak
yang ditinjau dari keterkaitan diferensiasi
kandungan metabolit rimpang temu lawak
terhadap bioaktivitas dan daerah asalnya.

Rimpang temu lawak (Gambar 1) memiliki
ukuran paling besar dibandingkan rimpang
tanaman marga Curcuma lainnya. Rimpang
dapat dipanen setelah memasuki usia 8 12
bulan. Tanaman yang siap dipanen memiliki
daun dan bagian tanaman yang telah
menguning dan mengering, serta memiliki
rimpang besar berwarna kuning kecoklatan
(Kurniawan 2011).

Gambar 1 Rimpang temu lawak.
Kandungan senyawa metabolit rimpang
temu lawak menentukan efek farmakologis
yang ditimbulkan terhadap konsumen,
sehingga penentuan profil metabolit menjadi
hal penting untuk evaluasi kualitas suatu
produk herbal yang berpengaruh terhadap
harga pasar. Investigasi senyawa fitokimia
dari temu lawak dikaitkan dengan jenis
metabolit sekunder yang terkandung di
dalamnya. Khasiat temu lawak disebabkan
oleh kandungan kimianya, yaitu kurkuminoid
dan minyak atsiri. Fraksi kurkuminoid pada
temu lawak terdiri atas kurkumin dan
desmetoksikurkumin (Gambar 2). Kurkumin
yang terkandung pada rimpang temu lawak
sekitar 1.6-2.22% (Paryanto dan Srijanto
2006).

TINJAUAN PUSTAKA
Temu Lawak sebagai Tanaman Obat
Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza)
adalah tanaman genus Curcuma dan banyak
dimanfaatkan sebagai obat tradisional, zat
pewarna alami, industri jamu dan kosmetik,
maupun sebagai bahan pangan (Ravindran et
al. 2007). Secara lengkap, klasifikasi temu
lawak adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza.

Gambar 2 Struktur kurkuminoid
(Ravindran et al. 2007).
Minyak atsiri temu lawak terdiri dari 32
komponen yang secara umum bersifat
meningkatkan produksi getah empedu dan
mampu menekan pembengkakan jaringan
(Paryanto dan Srijanto 2006). Kandungan
utama minyak atsiri temu lawak terdiri atas
komponen volatil, yang berupa xantorizol
(Gambar 3), α-aromadendrena, trisiklina,

3
germakrena, dan isofuranogermakrena. Selain
itu, terdapat pula germakron, turmerol,
turunan bisabolena, bisakuron A, bisakuron B,
turmeron, seskuiterpena, felandrena, kamfer,
borneol, dan sineal (Pandiangan 2009).
Xantorizol diketahui memiliki potensi sebagai
antibakteri, antifungi, antikanker, dan
antiradang (Nurcholis 2008).

Gambar 3 Struktur xantorizol
(Ravindran et al. 2007).
Kandungan metabolit pada rimpang temu
lawak ditentukan oleh faktor lingkungan
maupun genetik. Faktor lingkungan meliputi
kandungan tanah, iklim, spesies, serta daerah
tumbuh tanaman tersebut (Choi et al. 2010).
Selain itu, terdapat pula faktor waktu
pemaparan cahaya matahari, suhu, dan curah
hujan (Kim et al. 2011). Keragaman simplisia
dari segi daerah asal dan proses produksi akan
memengaruhi mutu suatu sediaan obat bahan
alam. Pengamatan variasi senyawa metabolit
yang terdapat dalam sampel temu lawak dari
berbagai daerah dapat dilakukan dengan
pendekatan metabolomik melalui identifikasi
profil metabolit.
Ekstraksi Temu Lawak
Ekstraksi ialah suatu metode pemisahan
komponen aktif dalam sampel menggunakan
pelarut dengan polaritas yang sesuai.
Pemisahan komponen dari fase padat
dilakukan dengan menambahkan pelarut yang
sesuai sehingga terjadi kontak antara fase
padat dan fase cair, yang menimbulkan
terjadinya difusi komponen pada fase padat ke
fase cair. Ekstraksi dengan metode maserasi
dilakukan dengan cara penghancuran sampel
menggunakan pelarut, perendaman beberapa
hari, dan dilakukan pengadukan, kemudian
dilakukan proses penyaringan hingga didapat
ekstrak berupa cairan. Efektivitas metode
ekstraksi dipengaruhi oleh ukuran partikel,
suhu, pemilihan pelarut yang sesuai, dan
waktu perendaman (Pandiangan 2009).
Pemilihan pelarut merupakan faktor yang
menentukan dalam ekstraksi. Pelarut yang
digunakan dalam ekstraksi harus memiliki
kemampuan menarik komponen aktif dari
campuran. Hal penting
yang harus

diperhatikan dalam pemilihan pelarut antara
lain selektivitas, sifat pelarut, kemampuan
mengekstraksi, tidak bersifat racun, mudah
diuapkan, dan memiliki harga yang relatif
murah. Perendaman suatu bahan dalam
pelarut dapat meningkatkan permeabilitas
dinding sel dalam 3 tahapan, yaitu masuknya
pelarut ke dalam dinding sel tanaman yang
diikuti
terjadinya
pembengkakan
sel;
kemudian senyawa yang terdapat pada
dinding sel akan terlepas dan masuk ke dalam
pelarut; selanjutnya terjadi difusi senyawa
yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari
dinding sel (Supriadi 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Pandiangan (2009), rendemen ekstrak
temu lawak yang diperoleh dengan metode
maserasi menggunakan pelarut etil asetat
sebesar 6.67%, sementara penggunaan pelarut
etanol menghasilkan rendemen yang lebih
tinggi, yaitu 8.63%. Kurniawan (2011)
melakukan ekstraksi temu lawak dengan
metode maserasi menggunakan pelarut etanol
96% dengan perbandingan simplisia dan
pelarut (b/v) sebesar 1:10 selama 24 jam dan
dipekatkan dengan penguap putar pada suhu
50 °C. Proses ekstraksi pada penelitian ini
dilakukan
dengan
teknik
maserasi
menggunakan pelarut etanol 70% selama satu
malam dengan perbandingan simplisia dan
pelarut (b/v) sebesar 1:10.
Metabolomik
Metabolomik merupakan salah satu
cabang penelitian ―omik‖ yang fokus pada
karakterisasi molekul metabolit dalam matriks
biologis
secara
keseluruhan,
melalui
identifikasi profil metabolit total dalam suatu
organisme. Pendekatan metabolomik dapat
diaplikasikan terhadap sistem biologis, seperti
manusia, tanaman, dan mikroorganisme.
Selain itu, metabolomik dapat diaplikasikan di
bidang kesehatan, diagnostik, industri pangan,
maupun mikrobiologi. Berdasarkan kualitas
data dan jumlah metabolit yang terdeteksi,
kajian metabolomik dapat diklasifikasikan
menjadi 3, yaitu analisis metabolit target,
identifikasi profil metabolit, dan metabolite
fingerprinting. Analisis metabolit target
dilakukan dengan mendeteksi dan kuantifikasi
sekelompok kecil metabolit maupun senyawa
target tunggal. Identifikasi profil metabolit
dilakukan dengan deteksi, identifikasi, dan
perkiraan kuantifikasi sekelompok besar
metabolit yang dikaitkan dengan jalur
biosintesis yang spesifik. Teknik metabolite
fingerprinting dapat dilakukan dengan analisis

4
spektra dari komposisi total tanpa perlu
mengidentifikasi kelompok senyawa tersebut
(Krastanov 2010).
Studi metabolomik dapat digunakan untuk
diferensiasi profil molekul kecil. Metodologi
metabolomik yang dilakukan pada penelitian
Choi et al. 2010 meliputi empat tahap dasar,
yaitu (1) pengayaan informasi metabolit
melalui analisis menggunakan instrumen LCMS, GC-MS, CE-MS, dan lain sebagainya;
(2) reduksi dan penyusunan data untuk
mengubah spektrum menjadi data yang dapat
diolah secara statistika; (3) analisis statistika
multivariat, seperti PCA atau analisis kuadrat
terkecil parsial (PLS); (4) tinjauan dan
interpretasi terhadap hasil pengolahan
kemometrik. Kelebihan analisis metabolomik
ialah dapat digunakan pada analisis kualitatif
maupun kuantitatif yang bermanfaat dalam
kendali mutu sampel. Selain itu, pendekatan
metabolomik menggunakan pola pengenalan
algoritma yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan pengetahuan baru yang tidak
diduga sebelumnya (Choi et al. 2010).
Instrumen yang sering digunakan pada
analisis metabolomik antara lain spektroskopi
inframerah transformasi Fourier (FTIR), GCMS, LC-MS, CE-MS, dan NMR 1H
(Theodoridis et al. 2008). Kajian metabolomik
temu lawak menggunakan instrumen LC-ESITOF MS pada penelitian ini dilakukan melalui
pemrofilan metabolit. Penelitian metabolomik
sebelumnya dilakukan oleh Choi et al.
terhadap biji kopi yang diambil dari berbagai
daerah di wilayah Asia, Amerika Utara, dan
Afrika. Kim et al. (2011) menggunakan kajian
metabolomik terhadap Angelica gigas yang
diambil dari 3 daerah berbeda di wilayah
Korea. Penelitian tersebut menyatakan bahwa
terdapat perbedaan komposisi metabolit dari
ketiga sampel. Selain itu, penelitian tersebut
menyatakan bahwa pemrofilan metabolit
dengan teknik LC-MS yang disertai analisis
kemometrik
dapat
digunakan
untuk
mendiskriminasi obat herbal berdasarkan
daerah asalnya. Tanaka et al. (2011)
menggunakan
pendekatan
metabolomik
dengan LC-MS/MS untuk menentukan
klasifikasi metabolit taksoid yang berpotensi
sebagai antikanker dari tanaman Taxus
chinensis var. berdasarkan variasi perbedaan
umur
tanaman.
Pemrofilan
metabolit
menggunakan LC-MS juga diaplikasikan pada
penelitian Sun et al. (2012) terhadap Fuzi
(akar Aconitum carmichaelii Debx) yang
umum digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional Cina untuk terapi rematik yang
diamati berdasarkan tahap preparasinya.

Kromatografi Cair-Spektroskopi Massa
dan Deteksi Senyawa Penciri
Teknik analisis yang umum digunakan
dalam identifikasi profil metabolit, yaitu
spektroskopi NMR 1H dan spektroskopi massa.
Penggunaan spektroskopi massa lebih populer
dibanding instrumen NMR karena relatif lebih
murah (Theodoridis et al. 2012). Spektroskopi
massa merupakan teknik analisis yang
berfungsi memberikan informasi karakterisasi
struktur molekul yang didasarkan pada
penentuan massa atom maupun molekul yang
terdapat dalam sampel dengan menggunakan
jumlah material analit yang sangat sedikit.
Metode
ini
dapat
digunakan untuk
kepentingan analisis kualitatif maupun
kuantitatif terhadap komposisi atom maupun
molekul, serta struktur kimia dari material
organik dan anorganik (Rouessac dan
Rouessac 2007). Identifikasi profil metabolit
secara umum dari suatu sampel yang
kompleks, seperti ekstrak temu lawak
membutuhkan metode analisis dengan resolusi
tinggi, salah satunya menggunakan LC-MS.
Kromatografi cair-spektroskopi massa banyak
digunakan di sektor bioanalisis, karena
memiliki kemampuan memisahkan dan
mendeteksi molekul dengan kisaran yang luas,
serta dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif maupun analisis struktural, dengan
sensitivitas mencapai ukuran pg mL-1
(Theodoridis et al. 2012). Selain itu, LC-MS
cocok untuk analisis senyawa yang tidak
stabil pada suhu tinggi, memiliki polaritas
atau bobot molekul tinggi (Rouessac dan
Rouessac 2007).
Pada prinsipnya, sejumlah sampel yang
diaplikasikan dalam instrumen spektroskopi
massa diubah menjadi fase gas, kemudian
terionisasi dan menghasilkan spesi bermuatan
di bawah kondisi vakum. Selanjutnya, ion
tersebut diakselerasi oleh medan elektrik atau
magnetik, yang terukur sebagai rasio massa
terhadap muatan (m/z). Metode ini bersifat
destruktif yang dapat menghancurkan sampel,
namun memiliki sensitivitas yang tinggi dan
hanya membutuhkan sampel dalam jumlah
yang sangat sedikit. Hasil analisis dengan
spektoskopi massa digambarkan sebagai
grafik yang disebut spektrum massa yang
terbentuk dari
kelimpahan
ion dan
dikelompokkan untuk meningkatkan intensitas
nisbah massa terhadap muatan (Rouessac dan
Rouessac 2007). Spektroskopi massa memiliki
sensitivitas yang lebih baik dibanding
spektroskopi NMR 1H dan mampu mendeteksi
metabolit di bawah ambang deteksi NMR

5
(Theodoridis et al. 2012). Sensitivitas
spektoskopi massa yang tinggi dikarenakan
adanya unit penganalisis yang dapat
menyeleksi muatan terhadap massa (m/z) serta
mereduksi pengganggu terhadap background.
Selain itu, spektroskopi massa menghasilkan
fragmentasi bobot molekul yang spesifik
untuk mengidentifikasi atau mengonfirmasi
senyawa yang diduga (Patnaik 2004).
Unit penganalisis massa yang sering
digunakan ialah TOF-MS. Prinsip TOF-MS
didasarkan pada hubungan massa dengan laju
alir ion pada energi kinetik tertentu. Mesin
TOF-MS sering digunakan dalam pemrofilan
metabolit karena perolehan data yang cepat
dan akurasi massa yang tinggi. Mekanisme
pengionan juga sering digunakan dalam studi
pemrofilan
metabolit
menggunakan
kromatografi
cair-spektroskopi
massa.
Pemilihan cara pengionan yang digunakan
dalam analisis LC-MS memegang peranan
penting dalam memperoleh profil metabolit.
Teknik electrospray ionization (ESI) dengan
modus positif lebih sering digunakan dalam
LC-MS karena teknik ini menghasilkan
pengionan yang efektif dari kisaran molekul
yang bersifat semipolar hingga polar
(Theodoridis et al. 2012). Metode ESI
memiliki kemampuan lebih baik dibanding
metode lainnya karena mencakup kisaran
massa yang lebih luas hingga beberapa ratus
kilodalton (Rouessac dan Rouessac 2007).
Deteksi senyawa penciri dalam sampel
temu lawak diidentifikasi dari data pemrofilan
metabolit yang dihasilkan oleh instrumen LCMS. Data tersebut dapat diperoleh dalam
bentuk 3 dimensi, yang meliputi massa, waktu
retensi, dan intensitas puncak; yang kemudian
dilakukan pengenalan pola melalui analisis
multivariat. Analisis menggunakan LC-MS
menghasilkan kumpulan data hasil percobaan
dengan ukuran yang sangat besar dan
kompleks. Penanganan kompleksitas data
yang diperoleh dapat dilakukan dengan
beberapa metode dan perangkat lunak yang
mendukung untuk menyederhanakan dimensi
data. Sejumlah perangkat lunak telah
dikembangkan untuk menangani kompleksitas
data spektra massa penelitian metabolomik
dan proteomik, seperti perangkat lunak
MarkerLynx, MarkerView, Profile, dan
Genespring. Selain itu, terdapat pula
perangkat lunak yang dikembangkan oleh tim
peneliti, seperti MZmine dan XCMS.
Perangkat lunak dapat mengubah format data
kromatogram menjadi data yang lebih mudah
diolah, seperti dalam bentuk mzXML atau
netCDF (Theodoridis et al. 2008).

Perangkat lunak pengolah data spektra
massa memiliki kemampuan algoritma yang
mampu menyaring dan menyingkirkan data
yang dianggap sebagai derau (noise), sehingga
mampu mendeteksi ion analat yang ditandai
sebagai hubungan rasio m/z terhadap waktu
retensi. Selanjutnya, perangkat lunak akan
menyusun (alignment) dan melakukan
normalisasi terhadap kumpulan data hingga
menghasilkan mass aray berupa tabel puncak
yang merupakan matriks data berukuran besar.
Tahap berikutnya yaitu pengolahan data mass
array secara statistika menggunakan teknik
PCA atau teknik statistika lainnya.
Penggunaan
perangkat
lunak
dalam
menemukan puncak dan penyusunan data
merupakan langkah yang penting karena hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas
hasil akhir analisis. Beberapa percobaan
menunjukkan bahwa penggunaan perangkat
lunak berbeda dapat menghasilkan simpulan
yang berbeda dari kumpulan data yang sama.
Tujuan akhir pada proses ini adalah
mengidentifikasi ion dari komponen tertentu
yang menjadi fokus penelitian yang dapat
memberikan informasi mengenai biomarker
yang terkandung dalam sampel (Theodoridis
et al. 2008). Deteksi metabolit penciri
menggunakan LC-MS lebih mudah dilakukan
dibandingkan dengan identifikasi. Hal ini
disebabkan oleh database LC-MS masih
dalam tahap pengembangan. Identifikasi
sementara
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan informasi yang dihasilkan
spektra massa melalui formulasi derivat massa
atomik, fragmentasi data, pencarian pada
database metabolit, maupun menggunakan
standar metabolit yang tersedia. (Theodoridis
et al. 2008).
Analisis Multivariat PCA
Kemometrik ialah seni mengekstraksi
informasi kimia dari data yang dihasilkan dari
suatu percobaan. Kemometrik menyediakan
metode untuk mengurangi data berukuran
besar yang diperoleh dari instrumen, seperti
LC-MS. Analisis multivariat merupakan salah
satu teknik analisis kemometrik yang banyak
digunakan untuk analisis matriks kompleks
dan analisis multikomponen pada sistem yang
sederhana. Pendekatan multivariat dapat
diaplikasikan pada sampel yang memiliki
lebih dari satu peubah pengukuran. Analisis
multivariat telah banyak diaplikasikan di
bidang kimia untuk pengenalan pola.
Pendekatan metode analisis multivariat yang
dapat digunakan antara lain analisis data

6
eksplorasi (EDA) yang terdiri dari PCA dan
analisis faktor; pengenalan pola tak terpadu;
dan pengenalan pola terpadu (Brereton 2003).
Analisis multivariat PCA dilakukan untuk
mereduksi dimensi data dan memberi
gambaran pengelompokan data melalui
penentuan komponen utama (PC), sehingga
visualisasi pengelompokkan data dan evaluasi
kesamaan antar kelompok menjadi lebih
mudah (Theodoridis et al. 2012). Selain itu,
dapat digunakan untuk menemukan faktor
atau alasan di balik pola yang teramati melalui
korelasi berdasarkan sifat kimia atau fisikakimia sampel. Secara keseluruhan, kegunaan
PCA ialah mengklasifikasi sampel menjadi
grup yang umum, mendeteksi adanya pencilan
(outliers), melakukan pemodelan data, serta
menyeleksi variabel untuk klasifikasi maupun
untuk pemodelan (Brereton 2003).
Penyederhanaan peubah dilakukan dengan
menghilangkan korelasi di antara peubah
bebas melalui transformasi peubah bebas asal
ke peubah baru yang tidak berkorelasi sama
sekali atau biasa disebut dengan PC.
Pemilihan PC dilakukan sehingga PC 1
memiliki variasi terbesar dalam kumpulan
data, sementara PC 2 tegak lurus terhadap PC
1 dan memiliki variasi terbesar selanjutnya
(Miller dan Miller 2000). Dua PC ini
kemudian digunakan sebagai bidang proyeksi
untuk
visualisasi
data.
Berdasarkan
dekomposisi matriks data X (N×K), teknik
PCA terbagi menjadi matriks T (N×A) dan
matriks P (K×A) yang saling tegak lurus
(Gambar 4). Matriks T merupakan matriks
skor yang menggambarkan keragaman dalam
objek, sementara P merupakan matriks
loading, yang menjelaskan pengaruh peubah
terhadap komponen utama, yang terdiri atas
data asli dalam sistem koordinat baru. E
merupakan galat, sementara A adalah jumlah
PC yang digunakan untuk membuat model
(Brereton 2003).
X = T.PT + E

Gambar 4 Prinsip PCA (Brereton 2003).

Uji Toksisitas Ekstrak Temu Lawak
Uji toksisitas suatu bahan alam dapat
dilakukan dengan berbagai metode, seperti
metode BSLT, inhibisi sel tumor pada kentang,
serta uji toksisitas terhadap jentik nyamuk
Aedes aegypti. Uji bioaktivitas menggunakan
metode BSLT merupakan salah satu metode
umum yang digunakan untuk penentuan
toksisitas dari senyawa kimia berdasarkan
nilai LC50, yang berkaitan dengan potensi
suatu bahan alam sebagai antikanker. Nilai
LC50 menggambarkan konsentrasi ekstrak
yang mampu menyebabkan kematian terhadap
50% populasi hewan uji. Nilai LC50
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
umur, suhu, jumlah hewan uji, dan jenis galur
(Kurniawan 2011). Uji toksisitas terhadap
larva udang merupakan uji yang cepat,
sederhana, dan relatif murah. Hasil uji
toksisitas dapat dikorelasikan dengan sifat
antitumor dari tanaman tersebut (Ogunnusi
dan Dosumu 2008).
Larva udang (Artemia salina) merupakan
fauna invertebrata akuatik berukuran sekitar 1
mm, yang memegang peranan penting dalam
rantai makanan dan dapat digunakan sebagai
hewan uji estimasi toksisitas suatu senyawa
kimia,
aktivitas
gastro-protektif,
dan
bioaktivitas lainnya (Kanwar 2007). Larva
udang memiliki distribusi geografis yang luas
dan memiliki kemampuan adaptasi yang baik
pada kisaran salinitas yang luas (5 250 g L-1),
memiliki ukuran tubuh yang kecil, memiliki
sensitivitas yang baik, serta mampu bertahan
di lingkungan yang ekstrem, bahkan di bawah
kondisi konsentrasi oksigen yang ekstrem
(Nunes et al. 2006). Selain itu, telur Artemia
memiliki daya tahan yang lama (dapat hidup
dalam kondisi kering), lebih cepat dan mudah
menetas dalam waktu 48 jam, sehingga
mampu menghasilkan jumlah larva udang
(nauplius) dalam jumlah besar yang siap
untuk diuji. Larva udang memiliki membran
kulit yang tipis, sehingga kematian suatu larva
akibat efek sitotoksik dari senyawa bioaktif
dapat dianalogikan dengan kematian sebuah
sel dalam organisme (Meyer et al. 1982).
Selama proses inkubasi selama 24 jam,
larva udang membutuhkan proses aerasi
menggunakan aerator. Aerasi merupakan
proses terjadinya kontak antara air dan udara.
Proses aerasi dapat meningkatkan jumlah O2
di dalam air, menghilangkan CO2, H2S, dan
menghilangkan rasa serta bau yang
disebabkan oleh zat-zat organik. Persen
kematian larva dapat dihitung setelah periode
inkubasi selama 24 jam, akibat pemberian

7
sejumlah larutan uji pada media hidupnya.
Kematian tersebut terjadi karena larva udang
mengalami keracunan (toksisitas) akibat
keberadaan senyawa bioaktif yang masuk ke
dalam tubuhnya. Selain itu, sistem pertahanan
tubuh (imunitas) yang dibentuk larva udang
masih belum mampu menghambat dan
menoleransi senyawa bioaktif yang terdapat
pada media hidupnya. Kematian larva udang
dinyatakan berdasarkan hasil pengamatan
menggunakan kaca pembesar dan ditunjukkan
dengan tidak adanya motilitas (pergerakan)
dari larva udang. Selanjutnya, dapat dihitung
efek farmakologis berdasarkan nilai LC50
(Kurniawan 2011).
Nurcholis (2008) meneliti profil senyawa
penciri dan bioaktivitas tanaman temu lawak
pada agrobiofisik berbeda. Berdasarkan
penelitian tersebut, temu lawak yang diambil
dari tiga daerah berbeda (Cileungsi,
Sumedang, dan Boyolali) menghasilkan nilai
LC50 berbeda, yang berkisar antara 60 dan 180
µg/mL karena komponen metabolit penyusun
temu lawak dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, salah satunya adalah kondisi
agrobiofisik tumbuhnya tanaman tersebut.
Prasetyorini et al. (2009) meneliti pengaruh
teknik ekstraksi maserasi, soxhletasi, dan
refluks terhadap toksisitas ekstrak etanol
rimpang temu lawak. Berdasarkan penelitian
tersebut, teknik maserasi menghasilkan
ekstrak dengan aktivitas tertinggi karena
metode ini merupakan metode ekstraksi
dengan cara dingin sehingga hampir semua
komponen bioaktif terbawa dalam ekstrak.

METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
antara lain serbuk simplisia dan ekstrak etanol
rimpang temu lawak yang diperoleh dari 5
daerah (Tabel 1), kromatogram ekstrak etanol
rimpang temu lawak menggunakan LC-ESITOF MS, spektrum massa atom negatif,
akuades, air laut, dan telur A. salina. Sampel
rimpang temu lawak yang digunakan pada
penelitian ini dipanen pada umur tanam 12
bulan.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian
ini antara lain peralatan kaca, neraca analitik,
oven, tanur, aerator, multiwell, mikropipet
berukuran 200 µL, kaca pembesar, perangkat
keras komputer, serta perangkat lunak
MZmine, The Unscrambler, CorelDraw, dan
SPSS versi 16.

Tabel 1 Informasi rimpang temu lawak
No
Nama sampel
Asal Daerah
Sragen
1
1
2

Sragen 2

3
4

Sragen 3
Bogor 1

5

Bogor 2

6
7

Bogor 3
Sukabumi 1

8

Sukabumi 2

9

Sukabumi 3

10

Karanganyar 1

11

Karanganyar 2

12

Karanganyar 3

13

Wonogiri 1

14

Wonogiri 2

15

Wonogiri 3

JawaTengah

Jawa Barat

Jawa Barat

Jawa Tengah

Jawa Tengah

Lingkup Penelitian
Metode keseluruhan pada penelitian ini
diacu dari penelitian Tanaka et al. (2011)
melalui beberapa tahap, yang digambarkan
pada Lampiran 1. Penelitian dilakukan dalam
2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan telah
dilakukan oleh Ambarsari et al. (2012),
mencakup preparasi sampel, pembuatan
ekstrak etanol rimpang temu lawak dengan
teknik maserasi, dan analisis ekstrak etanol
temu lawak menggunakan LC-ESI-TOF MS.
Sementara penelitian utama mencakup (1)
konstruksi dan reduksi data mass array untuk
mengubah hasil analisis LC-MS menjadi data
yang dapat diolah secara statistika, (2)
identifikasi
profil
metabolit
dengan
membandingkan data mass array terhadap
literatur kandungan metabolit genus Curcuma,
serta (3) evaluasi metabolit penciri melalui
integrasi kemometrik PCA yang dikaitkan
dengan hasil uji bioaktivitas ekstrak etanol
temu lawak melalui metode BSLT untuk
mengelompokkan
dan
membandingkan
kualitas rimpang temu lawak berdasarkan
keterkaitan diferensiasi kandungan metabolit
terhadap bioaktivitas dan daerah asalnya.
Analisis Kadar Air (AOAC 2007)
Cawan porselen dikeringkan pada suhu
105 °C selama 30 menit, lalu ditempatkan di
dalam eksikator dan ditimbang. Setelah itu,
serbuk rimpang temu lawak ditimbang

8
sebanyak 2 g ke dalam cawan porselen.
Contoh beserta cawannya dipanaskan dalam
oven pada suhu 105 °C selama 5 jam
kemudian dimasukkan ke dalam eksikator
selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur
dilakukan berulang kali hingga diperoleh
bobot konstan dengan selisih kurang dari 1 mg.
Pekerjaan dilakukan triplo. Persen kadar air
serbuk rimpang temu lawak dihitung dengan
persamaan:
Kadar air = × 100%
dengan
a= bobot sampel sebelum dikeringkan (g)
b= bobot sampel setelah dikeringkan (g)
Analisis Kadar Abu (AOAC 2007)
Cawan porselen yang bersih dan kering
dimasukkan dalam tanur pada suhu 600 °C
selama 30 menit untuk menghilangkan sisa
kotoran yang menempel di cawan, lalu
didinginkan dalam eksikator dan ditimbang.
Setelah itu, serbuk rimpang temu lawak
ditimbang sebanyak 2 g ke dalam cawan
porselen. Contoh beserta cawannya dipijarkan
dengan nyala bunsen sampai tidak berasap,
lalu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu
600 °C selama 2 jam. Setelah diabukan di
dalam tanur, dimasukkan ke dalam eksikator
kemudian ditimbang. Prosedur dilakukan
berulang kali hingga diperoleh bobot konstan
dengan selisih kurang dari 1 mg. Pekerjaan
dilakukan triplo. Persen kadar abu serbuk
rimpang temu lawak dihitung dengan
persamaan:
Kadar abu = × 100%
dengan
a= bobot abu (g)
b= bobot contoh (g)
Preparasi dan Ekstraksi Temu Lawak
(Ambarsari et al. 2012)
Rimpang dikeringkan, dibuat dalam
bentuk serbuk, dan diayak dengan penyaring
berukuran 200 mesh. Serbuk kering yang
diperoleh ditimbang sebanyak 50 g dan
diekstraksi dengan merendam sampel dalam
etanol 70% sebanyak 500 mL pada suhu ruang
selama semalam. Selanjutnya, ekstrak disaring
sehingga diperoleh maserat dan residu. Residu
yang tersisa direndam kembali dengan etanol
70% melalui prosedur yang sama, hingga
diperoleh proses ekstraksi sebanyak 3 kali.
Ekstrak dari 3 kali perendaman digabungkan
kemudian dipekatkan menggunakan penguap
putar. Pekerjaan dilakukan triplo.

Uji Toksisitas Ekstrak Temu Lawak
Penetasan telur A. salina. Telur A. salina
dimasukkan ke dalam labu erlen meyer yang
berisi air laut dengan suhu penetasan ±25–30
o
C dan diberi aerator. Setelah 48 jam, telur
tersebut akan menetas menjadi larva udang
yang disebut nauplius dan siap digunakan
untuk pengujian.
Uji Toksisitas Ekstrak. Larutan stok
ekstrak rimpang temu lawak disiapkan dengan
konsentrasi 1000 µg/mL. Ekstrak diencerkan
pada konsentrasi tertentu dan kontrol
disiapkan
tanpa
penambahan
sampel.
Pengujian dilakukan dengan mengambil larva
Artemia salina menggunakan pipet mikro
sebanyak 15 ekor ke dalam masing-masing
sumur bervolume 2 mL pada multiwell yang
telah berisi air laut, kemudian ditambahkan
larutan ekstrak hingga terbentuk variasi
konsentrasi 10, 25, 50, 75, 100, 125, 150, 175,
200, dan 250 µg/mL. Selain itu, dibuat pula
blanko sebagai kontrol. Masing-masing
perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali
pengulangan.
Selanjutnya,
dilakukan
penentuan jumlah larva udang yang hidup dan
yang mati setelah 24 jam. Kematian larva
udang
dinyatakan
berdasarkan
hasil
pengamatan menggunakan kaca pembesar dan
ditunjukkan dengan tidak adanya pergerakan
dari larva udang. Persen kematian larva
dirumuskan sebagai:
× 100%
% kematian larva =
dengan
T = jumlah larva mati (ulangan 1, 2, dan 3)
K = jumlah larva mati pada kontrol
15 = jumlah larva uji.
Nilai LC50 ditentukan dari persamaan
regresi kurva hubungan antara nilai logaritma
dari konsentrasi dan angka probit. Angka
probit ditentukan melalui tabel probit
berdasarkan persen kematian larva pada setiap
perlakuan. Hasil uji bioaktivitas dengan
metode BSLT kemudian diolah melalui
analisis keragaman (ANOVA) satu arah.
Selanjutnya dilakukan uji lanjut Duncan
dengan perangkat lunak SPSS versi 16.
Analisis LC-ESI-TOF MS
(Ambarsari et al. 2012)
Ekstrak rimpang temu lawak masingmasing ditimbang sebanyak 0.1 g dan
dilarutkan dengan campuran metanol-air
(50:50) sebanyak 4 mL, kemudian dilakukan
tahap sonikasi selama 30 menit dan didiamkan
pada suhu ruang selama semalam. Ekstrak

9
terlarut kemudian disaring menggunakan
milipore filter unit dengan ukuran 0.45 mikron.
Sebanyak 1 µL filtrat sampel diinjeksikan ke
dalam sistem instrumen LC-ESI-TOF MS
sebanyak 3 kali ulangan untuk setiap sampel.
Instrumen yang digunakan pada penelitian
ini ialah Shimadzu LC-ESI-TOF MS.
Parameter ESI yang digunakan meliputi
sumber tegangan sebesar +4.5 kV, suhu
kapiler 200 ºC, dan gas pengabut 1.5 L/menit.
Spektrometer massa dioperasikan pada modus
pemayaran ion positif dengan kisaran m/z 200
hingga 2000. Kolom yang digunakan ialah
Water Atlantis T3 dengan dimensi 2.1 mm ×
150 mm dan suhu kolom diatur pada 40 ºC.
Fase gerak yang digunakan berupa eluen biner,
yaitu larutan (NH4)OAc 5 mM dan CH3CN,
menggunakan metode elusi gradien: 0 30
menit gradien linear dengan komposisi fase
gerak 10 hingga 100% CH3CN, 30 40 menit
isokratik dengan komposisi fase gerak 100%
CH3CN. Laju alir yang digunakan sebesar 0.2
mL/menit.
Pemrosesan Data Kromatogram LC-MS
Pemrosesan data kromatogram ekstrak
temu lawak dilakukan melalui konstruksi
mass array menggunakan perangkat lunak
MZmine (Lampiran 2). Kromatogram LC-MS
yang diperoleh dikonversi menjadi data dalam
bentuk NetCDF agar lebih mudah diolah.
Puncak kromatogram yang diperoleh dari 3
kali ulangan untuk setiap sampel dikumpulkan
dan diolah sesuai bagan alir yang ditunjukkan
pada Gambar 5 (Castillo et al. 2011).

Identifikasi Senyawa Metabolit dan
Analisis Multivariat
Identifikasi
metabolit
dugaan
dari
kromatogram LC-MS dilakukan dengan
mencocokkan nilai m/z pada tabel mass array
dengan massa akurat senyawa metabolit genus
Curcuma pada DNP (dnp.chemnetbase.com).
Data tabel mass array kemudian dianalisis
dengan metode PCA menggunakan perangkat
lunak The Unscrambler (Lampiran 3) untuk
menentukan komponen metabolit penciri pada
masing-masing sampel, sehingga dapat
dilakukan klasifikasi kualitas sampel rimpang
temu lawak yang dikaitkan terhadap sifat
bioaktivitas dan daerah asalnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Toksisitas Ekstrak Etanol
Rimpang Temu Lawak
Rimpang berasal dari 5 daerah sentra
penanaman temu lawak di pulau Jawa, yaitu
Sragen, Bogor, Sukabumi, Karanganyar, dan
Wonogiri yang memiliki kondisi geografis
dan lingkungan berbeda (Tabel 2). Sampel
dikeringkan dan diubah menjadi serbuk
berukuran 200 mesh. Pengeringan bertujuan
mendapatkan kadar air yang tidak terlalu
tinggi, karena sampel dengan kadar air tinggi
akan mudah rusak dalam penyimpanannya.
Pengecilan ukuran rimpang bertujuan
memperluas permukaan sampel sehingga
tahap ekstraksi menjadi lebih efisien (Supriadi
2008).
Tabel 2 Kondisi daerah asal sampel

Gambar 5 Bagan alir pemrosesan data.
Hasil pemrosesan data kromatogram LC-ESITOF MS berupa matriks data tabel spektra
mass array yang mengandung informasi
mengenai massa akurat dari puncak yang
terdeteksi, waktu retensi, dan intensitas
puncak ternormalisasi.

Nama
sampel

Ketinggian
(dpl)

Suhu
(°C)

Sragen
Bogor
Sukabumi
Karanganyar
Wonogiri

109
190-330
584
511
235

19-31
21-30
15-30
22-31
24-32

Curah
hujan
(mm/tahun)
≤ 3000
3500-4000
109-747
2601
300-500

Tabel 3 menunjukkan kadar air, kadar abu,
rendemen, dan toksisitas serbuk rimpang temu
lawak. Penentuan kadar air rimpang temu
lawak (Lampiran 4) dilakukan dengan
menimbang bobot bahan sebelum dan sesudah
dikeringkan pada suhu 105 °C selama periode
waktu tertentu (Harjadi 1986). Kadar air yang
diperoleh dari kelima sampel > 10%, yang
menandakan bahwa sampel rimpang temu
lawak tidak baik disimpan dalam jangka
waktu lama. Sampel yang telah diekstraksi

10

Tabel 3 Kadar air, kadar abu, rendemen, dan toksisitas rimpang temu lawak
Sampel
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Rendemen* (%)
Sragen
16.89 ± 0.12
7.37 ± 0.02
10.80 ± 3.15
Bogor
17.03 ± 0.19
4.50 ± 0.09
8.55 ± 1.63
Sukabumi
19.54 ± 1.77
5.43 ± 0.14
9.91 ± 3.20
Karanganyar
19.95 ± 1.45
5.47 ± 0.05
9.68 ± 5.75
Wonogiri
17.97 ± 0.17
6.08 ± 0.10
11.69 ± 3.63
*Data rendemen merupakan data yang diperoleh dari Ambarsari et al. (2012).

LC50 (µg/mL)
54.02 ± 2.88b
57.42 ± 5.51b
26.24 ± 2.13a
25.04 ± 2.82a
39.03 ± 4.01a

Kadar air, kadar abu, dan nilai LC50 merupakan nilai rerata yang diperoleh dari tiga kali ulangan.
Angka yang diikuti huruf superscript yang sama pada LC50 , tidak berbeda signifikan pada taraf uji (p < 0.05) (uji Duncan).

dan dipekatkan harus segera dianalisis dengan
memperhatikan faktor koreksi. Ekstraksi
serbuk rimpang temu lawak dilakukan oleh
Ambarsari et al. (2012) dengan teknik
maserasi menggunakan pelarut etanol. Teknik
maserasi merupakan metode ekstraksi dengan
cara dingin sehingga hampir semua komponen
bioaktif terbawa dalam ekstrak. Selain itu,
penggunaan etanol dapat melarutkan secara
keseluruhan semua zat aktif yang terkandung
dalam simplisia, baik yang bersifat polar
maupun kurang polar (Prasetyorini et al.
2011).
Kadar abu (Lampiran 5) menunjukkan
banyaknya kandungan mineral yang terdapat
pada rimpang temu lawak. Kandungan
mineral tertinggi dimiliki oleh rimpang Sragen
dengan nilai 7.37% pada Tabel 3. Rendemen
ekstrak etanol rimpang temu lawak (Lampiran
6) tertinggi diperoleh rimpang Wonogiri
dengan nilai 11.69%. Kadar air, kadar abu,
dan rendemen yang diperoleh memiliki nilai
berbeda yang dipengaruhi kondisi geografis
dan lingkungan tempat tumbuhnya tanaman,
seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.
Uji bioaktivitas ekstrak etanol rimpang
temu lawak dengan metode BSLT bertujuan
menentukan keragaman komposisi metabolit
temu lawak dari lima daerah berbeda
berdasarkan toksisitasnya, yang berkaitan
dengan potensinya sebagai antik