Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai

KEEFEKTIFAN EKSTRAK Annona muricata Linn. DAN
Tephrosia vogelii Hook. TERHADAP MORTALITAS
Bemisia tabaci Genn. PADA TANAMAN CABAI

BIDANG KEGIATANPKM PENE
LITIA
ELSA DWI JULIANA
Dian Fitria

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
ELSA DWI JULIANA. Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan
Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman
Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan NINA MARYANA.
Bemisia tabaci merupakan salah satu spesies kutu kebul yang dapat
mengakibatkan kerusakan langsung maupun kerusakan tidak langsung pada

tanaman. Kerusakan langsung mengakibatkan gejala bintik klorosis pada daun
sehingga dapat mengurangi kandungan klorofil. Sementara itu, kerusakan tidak
langsung berkaitan dengan peran B. tabaci sebagai vektor virus yang dapat
menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Virus gemini merupakan salah satu
virus penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan
oleh B. tabaci. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengendalikan hama tersebut.
Pengendalian hama menggunakan sumber daya hayati merupakan salah satu
altenatif pengendalian karena termasuk komponen Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yang aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mempelajari keefektifan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia
vogelii untuk mengendalikan B. tabaci. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan dua ekstrak tanaman, yaitu A. muricata dan T. vogelii dengan enam
konsentrasi yaitu 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima
kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi perkembangan serangga uji, tingkat mortalitas semakin rendah.
Nimfa instar satu menunjukkan fase yang paling efektif untuk dilakukan tindakan
pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam
mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90
ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan ekstrak T. vogelii. Ekstrak
A. muricata dan T. vogelii pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap lama

perkembangan berbagai fase B. tabaci.
Kata kunci: Tephrosia vogelii, Annona muricata, Bemisia tabaci, lethal
concentration (LC)

ABSTRAK
ELSA DWI JULIANA. Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan
Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman
Cabai. Dibimbing oleh DADANG dan NINA MARYANA.
Bemisia tabaci merupakan salah satu spesies kutu kebul yang dapat
mengakibatkan kerusakan langsung maupun kerusakan tidak langsung pada
tanaman. Kerusakan langsung mengakibatkan gejala bintik klorosis pada daun
sehingga dapat mengurangi kandungan klorofil. Sementara itu, kerusakan tidak
langsung berkaitan dengan peran B. tabaci sebagai vektor virus yang dapat
menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Virus gemini merupakan salah satu
virus penyebab penyakit kuning pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan
oleh B. tabaci. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengendalikan hama tersebut.
Pengendalian hama menggunakan sumber daya hayati merupakan salah satu
altenatif pengendalian karena termasuk komponen Pengendalian Hama Terpadu
(PHT) yang aman terhadap lingkungan. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mempelajari keefektifan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia

vogelii untuk mengendalikan B. tabaci. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan dua ekstrak tanaman, yaitu A. muricata dan T. vogelii dengan enam
konsentrasi yaitu 1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima
kali ulangan untuk setiap perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi perkembangan serangga uji, tingkat mortalitas semakin rendah.
Nimfa instar satu menunjukkan fase yang paling efektif untuk dilakukan tindakan
pengendalian. Berdasarkan nilai LC50, ekstrak T. vogelii lebih efektif dalam
mengendalikan nimfa instar satu, sedangkan berdasarkan nilai LC75 dan LC90
ekstrak A. muricata lebih efektif dibandingkan ekstrak T. vogelii. Ekstrak
A. muricata dan T. vogelii pada konsentrasi 1% berpengaruh terhadap lama
perkembangan berbagai fase B. tabaci.
Kata kunci: Tephrosia vogelii, Annona muricata, Bemisia tabaci, lethal
concentration (LC)

KEEFEKTIFAN EKSTRAK Annona muricata Linn. DAN
Tephrosia vogelii Hook. TERHADAP MORTALITAS
Bemisia tabaci Genn. PADA TANAMAN CABAI

ELSA DWI JULIANA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skrips

Nama Mahasiswa
NIM

: Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan
Tephrosia vogelii Hook. terhadap Mortalitas Bemisia

tabaci Genn. pada Tanaman Cabai
: Elsa Dwi Juliana
: A34080016

Disetujui,
Dosen Pembimbing 1

Dosen Pembimbing 2

Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc.
NIP 196402041990021002

Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si.
NIP 196209041987032002

Diketahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si.
NIP 196506211989102001


Tanggal lulus:

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 Juli 1990, sebagai anak ke
dua dari dua bersaudara pasangan Bapak Bambang Abdullah Arifin dan Ibu
Nining Sariningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA
Negeri 1 Cibadak. Tahun 2008 penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Saringan Masuk
IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan
dan organisasi di IPB, antara lain sebagai anggota bidang acara Asrama Putri TPB
IPB tahun 2008-2009, sekretaris Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa
(PSDM) dalam Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) tahun 2008-2009, Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian sebagai sekretaris Komisi
Internal (2009-2010) dan sebagai Ketua Biro Rumah Tangga (2010-2011). Selain
itu, penulis juga mengikuti berbagai kepanitiaan di IPB. Tahun 2008-2009 penulis
menjadi Penanggung Jawab Kelompok (PJK) dalam Masa Perkenalan Kampus
Mahasiswa Baru (MPKMB), sekretaris Divisi LINK dalam kepanitiaan Salam

ISC dan anggota divisi acara kegiatan Migratoria dan Masa Perkenalan
Departemen pada tahun 2010. Tahun 2011 penulis menjadi sekretaris dalam
kepanitiaan Kuliah Kerja Profesi (KKP) wilayah Tegal dan tahun 2012 penulis
bergabung dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Fakultas (MPF) sebagai Kakak
Kelompok (KK).
Beberapa kegiatan seminar yang pernah diikuti oleh penulis selama
menjadi mahasiswa IPB, di antaranya adalah Seminar English of Translating and
Interpreting Study yang diselenggarakan oleh International Forestry Strudents’s
Association, Seminar Pertanian Nasional dan Seminar Wereng Batang Cokelat
yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian. Beberapa kegiatan pelatihan yang
pernah diikuti penulis yaitu ESQ Training dan Legislative School.

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Berkehendak atas
segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul
“Keefektifan Ekstrak Annona muricata Linn. dan Tephrosia vogelii Hook.
terhadap Mortalitas Kutu Kebul Bemisia tabaci Genn. pada Tanaman Cabai”
dapat terselesaikan. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terimakasih
kepada Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. dan Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku dosen

pembimbing atas bimbingan, saran, dan masukan selama penelitian berlangsung
hingga penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
Ir. Djoko Prijono, M.Agr.Sc., Herma Amalia, S.P., M.Si., Bapak Sodik, dan
Bapak Saefudin atas bantuannya dalam proses penelitian. Ucapan terimakasih
juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak, dan keluarga terkasih atas
doa, dukungan, kasih sayang, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis
untuk dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.
Penulis mengucapkan terimakasih juga kepada sahabat seperjuangan; Mbak
Anis, Pipit, Intan, Uun, dan Wulan, sahabat Proteksi Tanaman angkatan 45, dan
rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga; Dian, Rizky,
Anita, Yan, Miranti, Rini, dan Yuke atas kebersamaan, bantuan, dukungan, dan
kerjasamanya selama di IPB. Tidak ada yang dapat penulis berikan kepada
seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, doa, bantuan, bimbingan, dan
pengorbanan kecuali doa semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan rahmat
dan balasan yang jauh lebih baik kepada semuanya. Akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan
pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Bogor, Oktober 2012
Elsa Dwi Juliana


DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................

ix

PENDAHULUAN .......................................................................................

1


Latar Belakang .................................................................................
Tujuan Penelitian .............................................................................
Manfaat Penelitian .........................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................

4

Bioekologi Bemisia tabaci dan Kerugian yang Ditimbulkannya ....
Budidaya Cabai (Capsicum annum L.) dan Nilai Ekonominya .......
Potensi Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata) sebagai
Pengendali Hama .............................................................................
Potensi Ekstrak Kacang Babi (Tephrosia vogelii) sebagai
Pengendali Hama .............................................................................

4

5

BAHAN DAN METODE ............................................................................

8

Tempat dan Waktu ..........................................................................
Bahan Tanaman Sumber Ekstrak .....................................................
Penanaman Cabai .............................................................................
Identifikasi Serangga ........................................................................
Pemeliharaan Serangga Uji ..............................................................
Ekstraksi ...........................................................................................
Pengujian Ekstrak Tanaman .............................................................
Analisis Data ....................................................................................

8
8
8
8
9
9
10
10

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................

11

Identifikasi Kutu Kebul B. tabaci ......................................................
Keefektifan Ekstrak Annona muricata ..............................................
Pengaruh Mortalitas Ekstrak A. muricata terhadap B. tabaci ..
Pengaruh Ekstrak A. muricata terhadap Lama Perkembangan
B. tabaci ................................................................................
Keefektifan Ekstrak Tephrosia vogelii ..............................................
Pengaruh Mortalitas Ekstrak T. vogelii terhadap B. tabaci ......
Pengaruh Ekstrak T. vogelii terhadap Lama Perkembangan
B. tabaci ....................................................................................

11
11
11

18

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................

22

Kesimpulan ......................................................................................
Saran .................................................................................................

22
22

6
7

14
17
17

vi

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

23

LAMPIRAN ...............................................................................................

26

DAFTAR TABEL

Halaman
1
2
3
4

Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ...........................

12

Penduga parameter toksisitas ekstrak A. muricata terhadap beberapa
fase B. tabaci ........................................................................................

14

Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................

17

Penduga parameter toksisitas ekstrak T. vogelii terhadap beberapa
fase B. tabaci ........................................................................................

19

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1
2

3

Eksuvium pupa B. tabaci; caudal setae (A); lingula (B); operculum
(C); vasiform orifice (D); dan caudal furrow (E) ................................

11

Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa
instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E) B. tabaci
akibat perlakuan beberapa konsentrasi A. muricata .............................

15

Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa
instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E) B. tabaci
akibat perlakuan beberapa konsentrasi T. vogelii ................................

20

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Tingkat mortalitas fase telur B. tabaci yang diberi perlakuan
beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ............................................

27

Tingkat mortalitas fase nimfa instar satu B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ...........................

27

Tingkat mortalitas fase nimfa instar dua B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ...........................

27

Tingkat mortalitas fase nimfa instar tiga B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ...........................

27

Tingkat mortalitas fase nimfa instar empat B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata ...........................

28

Lama perkembangan B. tabaci yang diberi perlakuan beberapa
konsentrasi ekstrak A. muricata ...........................................................

29

Tingkat mortalitas fase telur B. tabaci yang diberi perlakuan
beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................................

30

Tingkat mortalitas fase nimfa instar satu B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................

30

Tingkat mortalitas fase nimfa instar dua B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................

30

10 Tingkat mortalitas fase nimfa instar tiga B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................

30

11 Tingkat mortalitas fase nimfa instar empat B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................

31

12 Lama perkembangan B. tabaci yang diberi perlakuan beberapa
konsentrasi ekstrak T. vogelii ...............................................................

32

1
2
3
4
5
6
7
8
9

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu
spesies kutu kebul yang diketahui dapat menyerang lebih dari 600 spesies
tanaman dari berbagai famili, seperti Compositae, Cucurbitaceae, Cruciferae, dan
Solanaceae (Kalshoven 1981). Serangga ini dapat mengakibatkan kerusakan
langsung

maupun

tidak

langsung

pada

tanaman.

Kerusakan

langsung

menimbulkan gejala bintik klorosis pada daun yang mengakibatkan berkurangnya
kandungan klorofil. Selain itu, eksresi B. tabaci menghasilkan embun madu yang
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan embun jelaga sehingga proses
fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Sementara itu, kerusakan tidak langsung
berkaitan dengan peran serangga ini sebagai vektor virus yang dapat
menyebabkan penyakit pada tanaman inangnya, salah satunya adalah tanaman
cabai (Kalshoven 1981). Untuk itu diperlukan suatu tindakan pengendalian untuk
mengurangi atau mencegah kerugian secara ekonomi yang dapat ditimbulkan.
Virus gemini merupakan salah satu virus penyebab penyakit kuning
keriting pada tanaman cabai di Indonesia yang ditularkan oleh B. tabaci (Sudiono
et al. 2006). Gejala pada tanaman cabai yang terserang virus ini menunjukkan
daun berwarna mosaik kuning atau hijau muda mencolok, pucuk keriting diikuti
dengan bentuk helaian daun menyempit atau cekung, dan tanaman menjadi lebih
kerdil dibandingkan tanaman yang normal (Duriat 2009). Kerusakan yang
diakibatkan oleh virus gemini ini sering lebih merugikan dibandingkan dengan
kerusakan langsung yang disebabkan oleh B. tabaci itu sendiri. Penyakit yang
ditimbulkan oleh virus gemini yang ditularkan oleh B. tabaci dapat menyebabkan
kegagalan panen (Hidayat et al. 2004).

Untuk itu, diperlukan tindakan

pengendalian hama ini.
Menurut UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,
aplikasi pestisida dalam suatu sistem pengendalian merupakan tindakan atau
alternatif terakhir yang dilakukan bila cara pengendalian lain tidak efektif.
Tindakan pengendalian yang saat ini banyak dilakukan adalah tindakan
pengendalian dengan menggunakan insektisida sintetik. Jika penggunaan

2

insektisida sintetik dilakukan tidak bijaksana, maka dapat memicu ketahanan
hama terhadap insektisida tertentu yang akhirnya dapat menyebabkan populasi
hama sulit untuk dapat dikendalikan.
Mengingat dampak negatif penggunaan insektisida sintetik, pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan tentang sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Pelaksanaannya dengan menciptakan dan menerapkan teknologi pengendalian
hama yang berwawasan lingkungan, antara lain dengan memanfaatkan bahanbahan alami. Pengendalian hama dengan memanfaatkan potensi sumber daya
hayati seperti insektisida nabati merupakan salah satu altenatif pengendalian
karena murah dan termasuk komponen PHT yang aman terhadap lingkungan.
Insektisida nabati memiliki peluang yang lebih baik untuk digunakan dalam PHT,
baik untuk pertanian organik maupun pertanian konvensional. Kelebihan lain dari
insektisida nabati dibandingkan dengan insektisida sintetik di antaranya mudah
terurai di lingkungan, umumnya cukup aman terhadap organisme bukan sasaran,
dapat dipadukan dengan komponen PHT lainnya, tidak cepat menimbulkan
resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen-komponen
ekstrak dapat bersifat sinergis, dan dapat disiapkan secara sederhana dengan
menggunakan peralatan yang dimiliki petani (Prijono 2010).
Beberapa jenis tanaman yang saat ini sudah dikenal dan banyak digunakan
sebagai insektisida nabati yaitu sirsak Annona muricata (Annonaceae) dan kacang
babi Tephrosia vogelii (Fabaceae). Ekstrak metanol dan heksan biji sirsak
mempunyai

efek

larvisida

terhadap

Chrymysomya

bezziana

Calliphoridae) yaitu sebagai racun perut dan racun kontak

(Diptera:

(Muharsini et al.

2006). Selain itu, A. muricata efektif terhadap serangga Callosobruchus
masculatus (Coleoptera: Bruchidae) karena dapat mematikan hampir 100% pada
konsentrasi 0.365% (Dadang dan Prijono 2008). Morallo-Rejesus (1986)
melaporkan bahwa ekstrak daun

T. vogelii dapat membunuh, menghambat

makan, dan menolak larva Plutella xylostella (Lepidoptera: Plutellidae). Menurut
Wulan (2008), fraksi heksana daun T. vogelii pada pengujian dengan metode
residu pada daun dan metode kontak dapat mengakibatkan kematian,
memperlambat perkembangan larva, dan menghambat makan pada larva
Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Crambidae).

3

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari keefektifan ekstrak
A. muricata dan T. vogelii dalam pengendalian B. tabaci (Hemiptera:
Aleyrodidae).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
keefektifan ekstrak A. muricata dan T. vogelii sebagai insektisida nabati untuk
mengendalikan B. tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) yang ramah lingkungan.

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Bemisia tabaci dan Kerugian yang Ditimbulkannya
B. tabaci termasuk dalam famili Aleyrodidae, superfamili Aleyrodidea,
subordo Sternorryncha, dan ordo Hemiptera. Serangga ini memiliki kisaran inang
yang cukup luas. Serangga betina meletakkan telur pada jaringan tanaman inang
dan telur memiliki pedicel. Nimfa yang bertungkai hanya pada instar satu yang
disebut crawler. Setelah ganti kulit, nimfa akan menetap dengan tungkai tereduksi
(Kalshoven 1981).
Siklus hidup B. tabaci terdiri dari fase telur, nimfa, pupa, dan imago.
Telur berukuran 0.2 mm, berwarna putih dan berbentuk oval dengan tangkai
pendek untuk menempel pada daun. Rata-rata jumlah telur yang diletakkan pada
daun yang terserang virus adalah 77 butir, sedangkan pada daun sehat hanya 14
butir. Betina umumnya mampu menghasilkan telur sekitar 160 butir dan menetas
antara 5-9 hari tergantung spesies inang, temperatur, dan kelembaban udara.
Nimfa transparan dengan stadium nimfa rata-rata 9.2 hari (Ditlintan Hortikultura
2008). Bentuk pupa bulat memanjang, berwarna kuning, bagian toraks agak
melebar dan cembung (Badri 1983). Tubuh imago berukuran kecil antara 1-1.5
mm, berwarna putih, dan sayapnya jernih ditutupi lapisan lilin yang bertepung
(Kalshoven 1981). Serangga dewasa biasanya berkelompok pada bagian
permukaan daun dan bila tanaman tersentuh biasanya akan berterbangan seperti
kabut atau kebul putih. Lama siklus hidup (telur – nimfa – imago) kutu kebul
pada tanaman sehat rata – rata 24.7 hari, sedangkan pada tanaman terinfeksi virus
mosaik kuning hanya 21.7 hari (Ditlintan Hortikultura 2008).
B. tabaci sebagai vektor virus gemini pada beberapa tanaman hortikultura
menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi. Kehilangan hasil akibat serangan
B. tabaci dan virus gemini berkisar antara 20 - 100% (Setiawati et al. 2011).
Menurut laporan Direktorat Perlindungan Hortikultura (2012), total kerugian pada
tanaman cabai akibat serangan virus kuning pada tahun 2007 tercatat lebih dari 20
miliyar rupiah dengan harga cabai di tingkat petani sebesar Rp 6 000/kg.

5

Budidaya Cabai (Capsicum annum L.) dan Nilai Ekonominya
Tanaman cabai merupakan tanaman sayuran dan tergolong tanaman
setahun yang berbentuk perdu dari suku terung-terungan (Solanaceae).
Sistematika tanaman cabai sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi

: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub Divisi

: Angiospermae (berbiji tertutup)

Ordo

: Polemoniales

Famili

: Solanaceae

Genus

: Capsicum

Spesies

: C. annum L.

Cabai merah di Indonesia merupakan komoditas sayuran yang penting
dilihat dari kebutuhan maupun jumlahnya. Cabai merupakan tanaman setahun
yang tegak dengan batang berkayu, banyak cabang, serta ukuran yang dapat
mencapai tinggi 120 cm dan lebar tajuk tanaman hingga 90 cm. Umumnya, daun
cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap, tergantung varietasnya. Daun
cabai ditopang oleh tangkai daun yang mempunyai tulang menyirip. Daun cabai
berbentuk bulat telur, lonjong, atau pun oval dengan ujung yang meruncing,
tergantung spesies dan varietasnya (Sumarni dan Agus 2008). Secara umum cabai
merah dapat ditanam di lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegalan) dan dapat
dibudidayakan di saat musim hujan dan kering. Cabai merah dapat tumbuh
dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari
permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 6-7, dan tekstur tanah
remah (Duriat 2009).
Budidaya tanaman cabai meliputi kegiatan pengolahan tanah, persemaian
benih, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, panen, pascapanen, dan pemasaran.
Pengolahan tanah meliputi kebersihan lahan, pemberian pupuk dasar, pembuatan
bedengan, dan pemasangan mulsa plastik. Dalam proses pemeliharaan tanaman
cabai perlu dilakukan penyulaman, pemasangan ajir, perempelan tunas,
penyiangan, pengairan, pemupukan susulan, serta pengendalian hama dan patogen
penyebab penyakit (Piay et al. 2010).

6

Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai
nilai ekonomi tinggi dan kemampuan adaptasi yang luas, sehingga lokasi
produksinya tersebar cukup luas di Indonesia. Luas areal pertanaman cabai di
Indonesia mencapai 162 000 ha dengan rata-rata produktivitas nasional 4.3 ton/ha
(Zulaikha dan Gunawan 2006). Namun, produktivitas cabai di beberapa daerah di
Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini dapat disebabkan
oleh serangan hama dan patogen yang menyerang tanaman cabai (Harpenas dan
Dermawan 2010).
Beberapa hama yang sering menyerang dan mengakibatkan kerugian yang
besar pada produksi cabai adalah ulat grayak Spodoptera litura (Lepidoptera:
Noctuidae), kutu kebul B. tabaci, kutudaun Myzus persicae (Hemiptera:
Aphididae), lalat buah Bactrocera dorsalis (Diptera: Tephritidae), dan trips Thrips
sp. (Thysanoptera: Thripidae). Selain hama, terdapat beberapa penyakit pada
tanaman cabai yang umumnya disebabkan oleh cendawan (Hewindati dan Yuni
2006). Kehilangan hasil dari produksi cabai karena penyakit busuk buah
(Colletotrichum spp.), bercak daun (Cercospora sp.) dan cendawan tepung
(Oidium sp.) berkisar antara 5-30% (Harpenas dan Dermawan 2010). Strategi
pengendalian hama dan patogen penyebab penyakit pada tanaman cabai
dianjurkan dengan melakukan penerapan pengendalian secara terpadu.
Potensi Ekstrak Biji Sirsak (Annona muricata) sebagai Pengendali Hama
A. muricata adalah tumbuhan berguna yang berasal dari Karibia, Amerika
Tengah dan Amerika Selatan. Buah sirsak bukan buah sejati, ukurannya cukup
besar antara 20-30 cm dengan berat mencapai 2.5 kg. Bijinya mengandung racun,
dan dapat digunakan sebagai insektisida alami, sama halnya dengan biji srikaya.
Buah yang besar dan menghasilkan produksi yang cukup tinggi dapat diperoleh di
daerah dengan kondisi tanah yang cukup mengandung air. Pengembangbiakan
tanaman sirsak yang paling baik adalah melalui okulasi dan akan menghasilkan
buah pada umur empat tahun setelah ditanam (Sukarmin 2010).
A. muricata mempunyai kandungan bioaktif yang dapat digunakan sebagai
pestisida nabati. Kandungan bioaktif yang terdapat di dalam biji sirsak adalah
senyawa alkaloid yang terdiri dari asetogenin dan annonain (Maryani 1995).
Senyawa annonain dan squamosin bersifat sitotoksik dan neurotoksik sehingga

7

menimbulkan kematian sel serangga. Senyawa asetogenin dari kelompok
Annonaceae dilaporkan mempunyai toksisitas yang cukup efektif terhadap
serangga dari beberapa ordo seperti Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera dan
Diptera (Li et al. 1990). Biji sirsak ini mudah ditemukan dan dapat bersifat
sebagai larvisida alami karena adanya kandungan aktif senyawa asetogenin yang
bertindak sebagai antifeedant yang akan menyebabkan kematian pada larva
(Maryani 1995).
Potensi Ekstrak Kacang Babi (Tephrosia vogelii) sebagai Pengendali Hama
T. vogelii merupakan tumbuhan perdu, tahunan, tumbuh tegak, bercabang
banyak, dan dapat mencapai tinggi 3-5 meter. T. vogelii berasal dari Afrika dan
diimpor ke Pulau Jawa hingga tumbuhan ini tersebar di seluruh Jawa. Daun
T. vogelii berwarna hijau dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau.

Biji

T. vogelii kecil, keras, dan berwarna hitam. Selain itu, akar tunggang dan batang
T. vogelii berwarna hijau berbentuk bulat berkayu. T. vogelii tumbuh baik pada
ketinggian 350-1200 dpl. Pertumbuhannya cepat, mempunyai banyak daun, dan
menghasilkan banyak biji. Tanaman ini mudah ditanam, yaitu dengan menaburkan
biji dengan ukuran jarak tanam 1-2 m. Apabila tanaman muda dipangkas, maka
akan tumbuh percabangan yang baik. T. vogelii tahan terhadap pemangkasan dan
apabila dipangkas akan tumbuh tunas-tunas baru sehingga pertumbuhan daunnya
menjadi lebat. Tanaman ini mudah dibudidayakan di berbagai ketinggian tempat
dan tidak memerlukan pemeliharaan yang khusus (Kardinan 2002).
Daun T. vogelii dapat digunakan sebagai pestisida nabati dengan cara
menghaluskannya lalu mencampurkannya dengan air atau pelarut lain.
Komponen aktif yang terkandung pada daun T. vogelii yaitu tephrosin dan
deguelin yang merupakan senyawa isomer dari rotenon (Kardinan 2002). Suatu
hasil penelitian di Filipina menyatakan bahwa daun T. vogelii mengandung 5%
rotenon. Ekstrak daun T. vogelii dapat menyebabkan kematian, menghambat
makan, dan menolak larva P. xylostella (Morallo-Rejesus 1986).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi
Serangga dan Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai dari
bulan Februari hingga Juli 2012.
Bahan Tanaman Sumber Ekstrak
Bahan tanaman uji yang digunakan dalam penelitian adalah biji sirsak
(A. muricata) yang diperoleh dari Pasar Cibeureum, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor dan daun kacang babi (T. vogelii) yang diperoleh dari Yayasan
Bina Sarana Bakti, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
Penanaman Cabai
Benih cabai varietas SPH 77 disemai terlebih dahulu dengan menggunakan
media tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih ditanam pada
nampan semai dan ditutup dengan tanah. Setelah berumur 6 minggu setelah
tanam (MST), bibit dipindahkan ke dalam pot berukuran 15 cm x 20 cm sebanyak
satu bibit per lubang, media tanam dikondisikan dalam keadaan lembab.
Serangan hama dan patogen pada bibit cabai dikendalikan dengan pengendalian
secara mekanik.
Identifikasi Serangga
Identifikasi serangga dilakukan untuk memastikan bahwa spesies
serangga uji yang digunakan adalah B. tabaci. Serangga yang digunakan dalam
penelitian ini diperoleh dari tanaman kapas yang dipelihara di rumah kaca Kebun
Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Eksuvium pupa dimasukkan ke dalam
alkohol 95% selama sepuluh menit. Alkohol 95% kemudian dibuang dan
eksuvium pupa selanjutkan ditetesi asam asetat glasial sebanyak dua tetes selama
sepuluh menit lalu dicuci dengan akuades. Eksuvium pupa lalu ditetesi dengan
satu tetes ’carbol xylene’ selama satu menit dan dilakukan pencucian
menggunakan akuades. Asam asetat glasial dan asam fuchsin kemudian diteteskan

9

pada eksuvium pupa sebanyak satu tetes dan didiamkan selama 60 menit.
Eksuvium pupa kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 80%, alkohol 100%, dan
minyak cengkeh masing-masing selama 10 menit. Langkah terakhir yaitu
eksuvium pupa diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan balsam canada
yang kemudian ditutup dengan kaca penutup. Setelah kering, preparat siap untuk
diidentifikasi. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop compound
dengan bantuan kunci identifikasi Malumphy (1978) dan Watson (2007).
Pemeliharaan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan adalah B. tabaci yang dipelihara di rumah
kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Serangga ini dipelihara pada
tanaman kapas berumur 8 minggu setelah tanam yang ditanam di dalam polybag
dan diletakkan di dalam kurungan serangga yang setiap sisinya ditutupi dengan
kain kasa. Tanaman kapas disiram setiap hari agar B. tabaci dapat berkembang
dengan baik. Imago B. tabaci diinfestasikan pada tanaman cabai hingga
menghasilkan telur dan berkembang menjadi nimfa. Fase telur, nimfa instar satu,
nimfa instar dua, nimfa instar tiga, dan nimfa instar empat pada tanaman cabai ini
kemudian digunakan untuk pengujian.
Ekstraksi
Ekstraksi biji sirsak dan daun kacang babi dilakukan dengan metode
maserasi. Biji sirsak dan daun kacang babi terlebih dahulu dikeringanginkan
selama 5-7 hari. Selanjutnya, masing-masing tanaman dihaluskan dengan
menggunakan blender dan disaring hingga menghasilkan serbuk. Serbuk dari
masing-masing tanaman kemudian direndam dengan metanol (1:10; w/v) dalam
labu erlenmeyer selama 24 jam. Rendaman dari masing-masing tanaman lalu
disaring menggunakan corong buchner yang dialasi dengan kertas saring. Filtrat
hasil penyaringan diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator pada tekanan
400 – 500 mmHg pada suhu 50 oC. Ekstrak yang didapat disimpan dalam lemari
pendingin pada suhu 4 oC hingga saat digunakan.
Pengujian Ekstrak Tanaman
Pengujian ekstrak tanaman dilakukan dengan menggunakan pelarut
metanol dan tween 80 (5:1) sebanyak 1.2%. Konsentrasi yang digunakan yaitu

10

1%, 0.5%, 0.25%, 0.125%, 0.0625%, dan kontrol dengan lima kali ulangan untuk
setiap perlakuan. Masing-masing ekstrak disemprotkan pada beberapa fase
serangga uji yang telah diinfestasikan pada tanaman cabai. Fase-fase tersebut
adalah telur, nimfa instar satu, nimfa instar dua, nimfa instar tiga, dan nimfa instar
empat (pupa). Tanaman perlakuan disungkup untuk mencegah adanya faktor lain
yang menyebabkan kematian serangga uji. Pengamatan terhadap kematian
serangga dilakukan untuk menghitung tingkat mortalitas dan lama perkembangan
serangga uji pada masing-masing perlakuan. Pengamatan dilakukan pada 1, 2, 3,
4, dan 5 hari setelah perlakuan.
Analisis Data
Data mortalitas dan lama perkembangan B. tabaci diolah menggunakan
ANOVA yang dilanjutkan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata
5%. Analisis data statistika dilakukan dengan menggunakan paket program
Statistical Analysis System (SAS) dan analisis probit dilakukan dengan
menggunakan POLO PC untuk menentukan nilai LC50, LC75, dan LC90.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifiksi Kutu Kebul B. tabaci
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa spesies kutu kebul yang diperoleh
dari kebun percobaaan Cikabayan adalah B. tabaci. Beberapa ciri khusus dapat
diamati dari hasil preparat eksuvium pupa B. tabaci (Gambar 1). Eksuvium
B. tabaci terdapat bagian seta kauda (caudal setae) yang kokoh dan berukuran
sedikit lebih panjang dari vasiform orifice. Lingula berbentuk agak lebar dengan
ukuran yang agak pendek. Pada bagian atas lingula terdapat operculum yang
menutupi lebih dari setengah bagian vasiform orifice. Vasiform orifice memiliki
bentuk seperti segitiga dan agak lebih panjang dari alur kauda (caudal furrow)
dengan bagian sisi yang lurus. Cauda furrow berada di bagian bawah vasiform
orifice dan terlihat dengan jelas

C

B
A

E

D

Gambar 1 Eksuvium pupa B. tabaci; caudal setae (A); lingula (B); operculum
(C); vasiform orifice (D), dan caudal furrow (E)
Menurut Watson (2007), vasiform orifice berada di bagian tepi kantung
pupa dengan jarak yang lebih pendek daripada panjang vasiform orifice. Pada
bagian pinggir eksuvium B. tabaci terdapat bukaan trakea torak yang ditandai
dengan sisir dengan gigi-gigi yang jelas. Terdapat tujuh pasang rambut dorsal
pada B. tabaci dan berkembang dengan baik.

12

Keefektifan Ekstrak Annona muricata
Pengaruh Mortalitas Ekstrak A. muricata terhadap B. tabaci
Pengujian menggunakan ekstrak A. muricata terhadap berbagai fase B.
tabaci memberikan hasil yang cukup beragam. Setiap fase menunjukkan
persentase mortalitas yang berbeda berdasarkan konsentrasi yang diberikan pada
serangga uji (Tabel 1, Lampiran 1-5).
Tabel 1 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata
Rataan tingkat mortalitas (%)±SDa

Konsentrasi
(%)

a

Telur

Instar satu

Instar dua

Instar tiga

Instar empat

1

45.42±2.39a

88.33±2.51a 66.57±1.22a 63.95±1.52a

60.29±0.71a

0.5

41.52±1.92a

83.91±2.41a 63.92±2.39a 52.76±0.90b

60.00±0.00a

0.25

23.99±0.84b

41.50±0.84b 27.05±0.71b 28.17±0.55c

22.12±0.55b

0.125

19.52±0.55bc 36.57±0.84b 26.90±0.55b 23.83±0.84cd 19.91±0.45b

0.0625

14.56±1.67c

24.69±1.00b 17.76±0.55b 17.85±0.84d 13.56±0.84bc

Kontrol

4.03±1.14d

0.00±0.00c

5.46±0.90c

0.00±0.00e

4.00±0.45c

Mortalitas dihitung pada 72 jam setelah perlakuan (JSP), SD adalah standard deviasi. Untuk setiap
rataan mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang
berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

Perlakuan ekstrak A. muricata pada konsentrasi 0.5% dan 1% terhadap
berbagai fase B. tabaci menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, namun
persentase mortalitas tertinggi terjadi pada instar satu dengan persentase kematian
serangga uji lebih dari 80%. Konsentrasi 0.5% dan 1% juga menunjukkan tingkat
mortalitas yang berbeda nyata dibandingkan dengan konsentrasi lainnya.
Konsentrasi 0.25%, 0.125%, dan 0.0625% menyebabkan rataan persentase
mortalitas kurang dari 50% dan cenderung tidak berbeda nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa instar satu B. tabaci merupakan instar yang paling rentan.
Menurut Dadang dan Prijono (2008), perbedaan kepekaan terhadap
senyawa bioaktif di antara fase perkembangan yang berbeda dalam daur hidup
serangga dapat dikaitkan dengan perubahan anatomi, fisiologi, dan ukuran
serangga yang terjadi selama perkembangan serangga. Nimfa instar satu
B. tabaci aktif bergerak di sekitar tempat penetasan kemudian menetap dan
menghisap cairan pada bagian bawah daun, sehingga nimfa instar satu lebih

13

banyak menghisap cairan tanaman yang telah mengandung bahan aktif
A. muricata yaitu annonain dan squamosin yang bersifat toksik terhadap serangga
(Isman 2001). Sementara itu nimfa instar dua, instar tiga, dan instar empat tidak
aktif bergerak dengan tungkai yang tereduksi dan menetap pada satu tempat
(Badri 1983). Hal inilah yang menyebabkan tingkat mortalitas nimfa instar satu
lebih tinggi dibandingkan nimfa instar lainnya.
Berdasarkan nilai persentase mortalitas di atas, diketahui bahwa semakin
tinggi perkembangan serangga uji, maka persentase mortalitas semakin rendah.
Nimfa instar dua dan instar tiga cenderung menunjukkan persentase mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan nimfa instar empat. Hal ini diduga karena semakin
tinggi perkembangan serangga uji, semakin tinggi pula tingkat ketahanan
serangga uji tersebut.
Telur merupakan fase awal dari suatu siklus hidup serangga. Dalam
pengujian ini, persentase mortalitas telur lebih rendah dibandingkan fase lainnya.
Rendahnya mortalitas telur kemungkinan disebabkan adanya lapisan lilin yang
menutupi telur dan telur juga memiliki kulit telur yang relatig cukup tebal yang
berperan sebagai pelindung. Hal-hal tersebut menyebabkan telur B. tabaci lebih
tahan terhadap gangguan.
Senyawa aktif utama A. muricata adalah annonain dan squamosin yang
termasuk golongan senyawa asetogenin (Isman 2001). Senyawa asetogenin ini
dilaporkan mempunyai toksisitas yang cukup efektif terhadap serangga dari
beberapa ordo seperti Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera dan Diptera (Li et
al.1990). Annonain dan squamosin bersifat sitotoksik dan neurotik yang dapat
menyebabkan kematian pada serangga. Kedua senyawa ini dapat menyebabkan
sel kehilangan energi dan pernafasan sel akan terhenti (Londershausen et al.
1991). Cara kerja kedua senyawa aktif yang terdapat pada biji A. muricata adalah
sebagai racun respirasi menyebabkan serangga menjadi lumpuh akibat otot dan
jaringan lain kekurangan energi, tubuh tampak menghitam akibat kematian sel dan
jaringan, dan akhirnya serangga mati (Dadang dan Prijono 2008).
Nilai Lethal Concentration (LC) merupakan tolak ukur toksisitas suatu
bahan, sehingga dapat diketahui konsentrasi insektisida yang tepat untuk dapat
mengendalikan hama secara efektif. Berdasarkan nilai LC50, LC75, dan LC90,

14

ekstrak A. muricata lebih efisien untuk diaplikasikan terhadap nimfa instar satu
(Tabel 2). Hal ini ditunjukkan dengan nilai LC pada instar satu yang lebih rendah
dibandingkan dengan fase B. tabaci yang lain. Nilai LC50, LC75, dan LC90 untuk
mengendalikan nimfa instar satu berturut-turut yaitu 0.19%, 0.49%, dan 1.14%.
Tabel 2 Penduga parameter toksisitas ekstrak A. muricata terhadap beberapa fase
B. tabaci
Fase

a±GB

b±GB

LC50

LC75

LC90

Telur

-0.15±0.73

0.94±0.12

1.44

7.51

33.12

Instar 1

1.18±0.15

1.67±0.20

0.19

0.49

1.14

Instar 2

0.66±0.13

1.72±0.25

0.41

1.01

2.28

Instar 3

0.26±0.14

1.04±0.16

0.55

2.46

9.44

Instar 4

0.29±0.17

1.48±0.28

0.64

1.82

4.69

a: Intersep garis regresi, b: Kemiringan garis regresi, GB: Galat baku, SK: Selang kepercayaan.

Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan B. tabaci pada fase
telur dan instar tiga cukup tinggi dibandingkan dengan fase lainnya. Nilai LC50,
LC75, dan LC90 yang diperlukan untuk mengendalikan telur B. tabaci berturutturut sebesar 1.44%, 7.51%, dan 33.12%, sedangkan untuk mengendalikan instar
tiga diperlukan LC50 sebanyak 0.55%, 2.46% untuk LC75, dan 9.44% untuk LC90.
Hal ini disebabkan nilai kemiringan garis regresi pada fase telur dan instar tiga
lebih rendah dibandingkan dengan fase lainnya. Artinya, dengan penambahan
konsentrasi ekstrak A. muricata dalam jumlah yang sedikit tidak memberikan
pengaruh yang cukup besar dalam mengendalikan B. tabaci, sehingga dibutuhkan
konsentrasi ekstrak A. muricata dalam jumlah yang lebih tinggi. Konsentrasi
yang diperlukan untuk mengendalikan B. tabaci instar empat sebanyak 50%,
75%, dan 90% berturut-turut yaitu sebesar 0.64%, 1.82%, dan 4.69%.
Pengaruh Ekstrak A. muricata terhadap Lama Perkembangan B. tabaci
Perlakuan dengan berbagai konsentrasi ekstrak A. muricata menyebabkan
B. tabaci terhambat dalam proses perkembangannya (Gambar 2, Lampiran 6). Hal
ini menunjukkan bahwa ekstrak A. muricata dapat menghambat perkembangan
B. tabaci. Menurut Kardinan (2002), biji A. muricata dapat berperan sebagai
penolak (repellent) dan penghambat makan (antifeedant) bagi serangga.

15
Lama
perkembangan (%)

100

A

80
60

A

40
20
0

Lama
perkembangan (%)

100

1

2

3

4

5

>5

1

2

3

4

5

>5

1

2

3

4

5

>5

1

2

3

4

5

>5

B

80
60
40
20
0

Lama
perkembangan (%)

100

C

80
60
40
20
0

Lama
perkembangan (%)

100
80

D

60
40
20
0

Lama
perkembangan (%)

100

E

80

1%
0.50%
0.25%
0.125%
0.0625%
Kontrol

60
40
20
0
1

2

3

4

5

>5

HSP

Gambar 2

Lama perkembangan fase telur (A), nimfa instar satu (B), nimfa
instar dua (C), nimfa instar tiga (D), nimfa instar empat (E) B. tabaci
akibat perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata
HSP: Hari Setelah Perlakuan

16

Telur B. tabaci mulai menetas pada hari ke empat setelah perlakuan.
Puncak penetasan telur terjadi pada hari ke lima setelah perlakuan. Konsentrasi
1% dapat menghambat penetasan telur hingga lebih dari lima hari setelah
perlakuan sebesar 70.68%. Menurut Purbosari (2008), rata-rata stadium telur pada
suhu 23oC adalah 7.51 hari, pada suhu ruang 5.28 hari dan 4.59 hari pada suhu
29oC. Konsentrasi 0.5% menyebabkan 68.68% telur membutuhkan waktu lebih
dari lima hari untuk dapat menjadi nimfa instar satu. Konsentrasi 0.25%, 0.125%,
dan 0.0625% memberikan pengaruh yang relatif lebih rendah dalam menghambat
penetasan telur, yaitu kurang dari 50%.
Nimfa instar satu B. tabaci pada umumnya hanya berlangsung selama dua
hari. Perlakuan ekstrak A. muricata pada konsentrasi 0.0625% tidak cukup
berpengaruh dalam menghambat perkembangan nimfa instar satu, karena pada
hari pertama setelah perlakuan lebih dari 80% nimfa instar satu telah berkembang
menjadi nimfa instar dua. Berbeda halnya dengan konsentrasi 1% dan 0.5% yang
mampu menghambat perkembangan nimfa instar satu sebanyak 50-60% hingga
lebih dari lima hari, sedangkan pada konsentrasi 0.25% dan 0.125%, sebagian
besar nimfa instar satu berhasil berkembang menjadi instar dua dan sebagian kecil
nimfa instar satu membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk dapat berganti
kulit menjadi instar dua.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ludji (2011), nimfa instar dua dan
nimfa instar tiga B. tabaci pada tanaman cabai berlangsung selama dua hari. Pada
instar dua, tingkat hambatan perkembangan masing-masing konsentrasi cenderung
merata. Terdapat sekitar 20-30% nimfa instar dua yang berkembang menjadi
instar tiga pada hari ke dua setelah perlakuan dan terdapat 18-20% nimfa instar
dua yang membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk dapat berkembang
menjadi instar tiga. Namun, pada konsentrasi 0.0625% nimfa instar dua yang
diujikan telah menjadi instar tiga hingga hari ke lima setelah perlakuan.
Perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak A. muricata terhadap nimfa instar
tiga B. tabaci menyebabkan nimfa instar tiga terhambat perkembangannya.
Perlakuan konsentrasi 0.0625% menunjukkan persentase hambatan yang
cenderung lebih rendah dibandingkan konsentrasi lainnya. Konsentrasi 1%, 0.5%,

17

0.25%, dan 0.125% yang berhasil menghambat perkembangan nimfa instar tiga
sebanyak lebih dari 70% hingga lebih dari lima hari setelah perlakuan.
Menurut Ludji (2011), nimfa instar empat berlangsung selama lima hari.
Berdasarkan data tingkat lama perkembangan B. tabaci di atas, konsentrasi 1%,
0.5%, dan 0.25% mampu menghambat perkembangan pupa berturut-turut sebesar
85.71%, 79.41%, dan 72.09% hingga lebih dari lima hari. Sementara itu pada
konsentrasi 0.125% dan 0.0625% nimfa instar empat berhasil menjadi imago pada
hari ke empat setelah perlakuan dan sebanyak 45.83% dan 25.81% yang
membutuhkan waktu lebih dari lima hari untuk menjadi imago.
Keefektifan Ekstrak Tephrosia vogelii
Pengaruh Mortalitas Ekstrak T. vogelii terhadap B. tabaci
Pengujian ekstrak T. vogelii terhadap B. tabaci dapat menyebabkan
kematian yang cukup efektif. Beberapa konsentrasi yang diujikan menunjukkan
pengaruh mortalitas yang beragam (Tabel 3, Lampiran 7-11).
Tabel 3 Persentase rataan mortalitas berbagai fase B. tabaci yang diberi beberapa
perlakuan beberapa konsentrasi ekstrak T. vogelii
Rataan tingkat mortalitas (%)±SDa

Konsentrasi
(%)

a

Telur

Instar satu

Instar dua

Instar tiga

Instar empat

1

77.52±2.39a

78.06±2.51a

66.88±1.22a

60.86±1.52a

56.00±0.71a

0.5

54.00±0.84b

74.95±2.28a

52.48±1.58b

52.00±1.87ab

45.72±1.14ab

0.25

51.07±1.58b

55.14±1.64ab

45.06±1.48b

43.76±0.55ab

34.88±1.10bc

0.125

37.86±1.30c

52.21±1.67ab

32.88±0.84c

38.83±1.34cb

30.10±0.45c

0.0625

31.50±1.10c

41.81±1.14b

24.98±2.55c

25.44±0.90c

22.25±1.22c

Kontrol

0.00±0.00d

0.00±0.00c

0.00±0.00d

0.00±0.00d

1.54±0.45d

Mortalitas dihitung pada 72 jam sejak awal perlakuan (JSP). Untuk setiap rataan mortalitas yang
diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada
taraf nyata 5%.

Secara keseluruhan, nimfa instar satu merupakan fase yang menunjukkan
tingkat mortalitas tertinggi di antara fase B. tabaci lainnya. Tingkat mortalitas
tertinggi berada pada konsentrasi 1% dengan nilai 78.06%. Nilai ini tidak berbeda
nyata dengan tingkat mortalitas instar satu pada konsentrasi 0.5%, 0.25%, dan
0.125%. Mortalitas instar tiga pada konsentrasi ekstrak T. vogelii 1%, 0.5%, dan

18

0.25% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kisaran tingkat
mortalitas 40-60%, sedangkan konsentrasi 0.0625% cenderung berbeda nyata
dengan konsentrasi 1%, 0.5%, dan 0.25% yang ditunjukkan dengan tingkat
mortalitas yang relatif lebih rendah.
Konsentrasi 1%, 0.5%, dan 0.25% merupakan konsentrasi ekstrak
T. vogelii yang memberikan efek mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan
konsentrasi lainnya pada semua fase B. tabaci. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi konsentrasi ekstrak T. vogelii, maka tingkat mortalitas serangga
uji akan semakin tinggi pula.
Seperti halnya dengan perlakuan ekstrak A. muricata, B. tabaci yang diberi
perlakuan ekstrak T. vogelii menunjukkan tingkat mortalitas yang semakin
menurun seiring dengan meningkatnya perkembangan instar B. tabaci. Instar
empat merupakan fase yang memiliki tingkat mortalitas terendah dibandingkan
fase B. tabaci lainnya. Hal ini karena pertahanan nimfa instar empat lebih tinggi
dibandingkan fase lainnya.
Komponen aktif yang terkandung pada daun T. vogelii yaitu tephrosin dan
deguelin merupakan senyawa isomer dari rotenon (Kardinan 2002). Rotenon
banyak terdapat pada bagian daun tanaman. Kandungan rotenon akan semakin
tinggi dengan bertambahnya umur tanaman. Ekstrak daun T. vogelii dapat
menyebabkan kematian dan berpengaruh terhadap penghambatan makan pada
serangga.
Rotenon bekerja sebagai racun pernafasan dengan cara menghambat
proses transfer elektron di ubiquinon dalam mitokondria, sehingga mencegah
oksidasi NADPH (Dadang dan Prijono 2008). Hal ini menyebabkan menurunnya
produksi ATP dan selanjutnya menghambat aktivitas sel, sehingga mengakibatkan
kelumpuhan pada otot dan jaringan lainnya hingga menyebabkan kematian pada
serangga (Perry et al. 1998).
Berdasarkan nilai LC50, LC75, dan LC90 fase B. tabaci yang dapat
dikendalikan dengan konsentrasi ekstrak T. vogelii terendah yaitu nimfa instar
satu (Tabel 4). Konsentrasi yang diperlukan untuk mengendalikan B. tabaci pada
fase nimfa instar satu sebanyak 50%, 75%, dan 90% yaitu 0.11%, 0.73%, dan

19

3.86%. Hal ini menunjukkan bahwa pada fase instar satu, ekstrak T. vogelii cukup
efisien untuk diaplikasikan.
Tabel 4 Penduga parameter toksisitas ekstrak T. vogelii terhadap beberapa fase
B. tabaci
Fase

a±GB

b±GB

LC50

LC75

LC90

Telur

0.69±0.83

1.07±0.14

0.22

0.95

3.51

Instar 1

0.79±0.16

0.84±0.21

0.11

0.73

3.86

Instar 2

0.29±0.14

0.79±0.18

0.43

3.05

17.69

Instar 3

0.27±0.13

0.72±0.19

0.42

3.52

24.16

Instar 4

0.96±0.14

0.77±0.21

0.75

5.63

34.62

a: Intersep garis regresi, b: Kemiringan garis regresi, GB: Galat baku, SK: Selang kepercayaan.

Telur merupakan fase yang cukup efektif untuk dilakukan pengendalian
dengan menggunakan ekstrak T. vogelii. Berdasarkan tingkat kemiringan garis
regresi, fase telur memiliki nilai yang paling tinggi di antara fase B. tabaci
lainnya. Nilai ini menunjukkan bahwa dengan penambahan atau pengurangan
konsentrasi ekstrak T. vogelii dalam jumlah sedikit, dapat berpengaruh terhadap
tingkat mortalitas telur B. tabaci. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu
senyawa aktif yang terkandung di dalam daun T. vogelii yang diduga mampu
meluluhkan kulit telur B. tabaci. Nilai LC50, LC75, dan LC90 yang diperlukan
untuk mengendalikan telur B. tabaci yaitu 0.22%, 0.95%, dan 3.51%.
Konsentrasi yang cukup tinggi diperlukan untuk mengendalikan B. tabaci
fase instar dua, instar tiga, dan instar empat. Hal ini berdasarkan nilai LC50, LC75,
dan LC90 yang cenderung lebih tinggi dibandingkan fase lainnya. Kebutuhan
konsentrasi yang cukup tinggi ini dipengaruhi oleh tingkat keefektifan ekstrak
T. vogelii. Ekstrak T. vogelii