Pengaruh Ekstrak-Metanol Daun Sirsak (Annona Muricata Linn) Terhadap Daya Tetas Telus, Mortalitas Dan Perkembangan Larva Aedes Aegypti Linn

(1)

PENGARUH EKSTRAK-METANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata Linn.) TERHADAP DAYA TETAS TELUR, MORTALITAS DAN

PERKEMBANGAN LARVA Aedes aegypti Linn.

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

ALFIAH 020805049

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak (Annona

muricata Linn.) terhadap daya tetas telur, mortalitas dan perkembangan larva Aedes aegypti Linn. di Laboratorium Fisiologi Hewan, USU pada bulan Februari

2007 sampai Agustus 2007. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Penelitian ini meliputi 2 uji, yaitu uji daya tetas telur dan uji mortalitas larva. Konsentrasi yang digunakan pada kedua uji adalah kontrol, 0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %, 0.12 %. Lama pemajanan pada uji daya tetas telur adalah 24 jam, 48 jam, 72 jam dan pada uji mortalitas larva, dihitung kematian larva dalam waktu 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ekstrak metanol daun sirsak berpengaruh terhadap daya tetas telur, dan mampu menghambat perkembangan larva untuk menjadi pupa dan dewasa, dengan penghambatan sampai 100 %. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak-metanol daun sirsak, semakin tinggi pula mortalitas larva, dengan tingkat mortalitas sampai 98.75 % pada konsentrasi 0.12 % dan terdapat penghambatan perkembangan larva untuk menjadi pupa dan dewasa. Berdasarkan persamaan regresi diketahui bahwa nilai LC-50 untuk 24 jam sebesar 0.0652 %.


(3)

EFFECT OF METHANOL-EXTRACT OF SOURSOP LEAF (Annona muricata Linn.) ON EGG HATCING ABILITY, MORTALITY AND

DEVELOPMENT OF Aedes aegypti Linn. LARVAE

ABSTRACT

The experiments about effects of methanol-extract of soursop leaf (Annona

muricata Linn.) on the egg hatching ability, mortality and development of Aedes aegypti larvae has be done in Animal Physiology Laboratory of USU in February

2007 until August 2007. The experiments used Factorial Complete Random Method. The experiment comprise 2 test, that is the egg hatching ability test, and the larvae mortality test. The concentrations that was used for the both test are control, 0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %, and 0.12 %. The time for egg hatching ability was 24, 48 and 72 hours, and 24 hours for larvae mortality test. The result shows that the effects of methanol-extract of soursop leaf can inhibit the egg hatching ability and larvae development into pupae and adult until 100 %. The larvae mortality test shows that higher concentrations cause higher mortality of larvae with an inhibition of up to 98.75 % at the concentration of 0.12 % and inhibits larvae development to pupae and adult. Based on regression equation was known that LC 50 value for 24 hour is 0.0652 %.


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Lampiran xi

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka 5

2.1 Insektisida Nabati 5

2.1.1 Deskripsi Annona muricata Linn. 6

2.1.2 Annona muricata Linn Sebagai Insektisida 8

2.2 Deskripsi Aedes aegypti Linn. 10

Bab 3 Bahan Dan Metoda 16

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 16

3.2 Metode Penelitian 16

3.3 Pelaksanaan Penelitian 17

3.3.1 Pembuatan Ekstrak daun Sirsak 17

3.3.2 Pembiakan Larva A. aegypti 18

3.4 Parameter Percobaan 18

3.5 Analisa Data 20

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan 21

4.1 Daya Tetas Telur 21

4.2 Mortalitas Larva 24

4.3 Perkembangan Larva 26

Bab 5 Kesimpulan Dan Saran 29

5.1 Kesimpulan 29

5.2 Saran 29

Bab 6 Daftar Pustaka 30


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Pengaruh Ekstrak-metanol Daun Sirsak Terhadap Daya 21 Tetas Telur A. aegypti dengan 50 butir telur uji/perlakuan

Tabel 4.2 Pengaruh Ekstrak-metanol daun sirsak terhadap mortalitas 24 Larva A. aegypti, umur 5 s/d 7 hari dengan 80 larva uji/

konsentrasi

Tabel 4.3 Perbandingan Perkembangan Larva dari Uji Daya Tetas 26 Telur dengan Perkembangan Larva setelah Uji Mortalitas


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Morfologi Bunga, Daun dan Buah Sirsak 7 Gambar 2.2.1 Morfologi nyamuk A. aegypti 10 Gambar 2.2.2 Struktur Kepala dan Mulut A. aegypti. 11 Gambar 2.2.3 Larva A. aegypti pada instar III 12 Gambar 3.3. Ekstrak Daun Sirsak (A. muricata L.) 18 Gambar 4.1 Pengaruh Ekstrak-metanol daun sirsak terhadap daya 23 Tetas Telur A. aegypti dengan 50 butir telur uji/perlakuan Gambar 4.2 Pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak terhadap mortalitas 25 Larva A. aegypti

Gambar 4.3.1 Pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak terhadap 27 Perkembangan larva A. aegypti pada berbagai konsentrasi

Gambar 4.3.2 Pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak terhadap perkembangan 27 larva A. aegypti setelah uji mortalitas


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A : Bahan Uji 32

Lampiran B : Uji Daya Tetas Telur A. aegypti 33 Lampiran C : Uji Mortalitas Larva A. aegypti 34 Lampiran D : Pengaruh Ekstrak-metanol Daun Sirsak Terhadap Daya 35

Tetas Telur A. aegypti

Lampiran E : Perkembangan Larva Dari Uji Daya Tetas Telur 36 Lampiran F : Perkembangan Larva Dari Uji Mortalitas Larva 37 Lampiran G : Analisis Sidik Ragam RAL Faktorial pada Uji Daya 38 Tetas Telur A. aegypti


(8)

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak (Annona

muricata Linn.) terhadap daya tetas telur, mortalitas dan perkembangan larva Aedes aegypti Linn. di Laboratorium Fisiologi Hewan, USU pada bulan Februari

2007 sampai Agustus 2007. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Penelitian ini meliputi 2 uji, yaitu uji daya tetas telur dan uji mortalitas larva. Konsentrasi yang digunakan pada kedua uji adalah kontrol, 0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %, 0.12 %. Lama pemajanan pada uji daya tetas telur adalah 24 jam, 48 jam, 72 jam dan pada uji mortalitas larva, dihitung kematian larva dalam waktu 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa ekstrak metanol daun sirsak berpengaruh terhadap daya tetas telur, dan mampu menghambat perkembangan larva untuk menjadi pupa dan dewasa, dengan penghambatan sampai 100 %. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak-metanol daun sirsak, semakin tinggi pula mortalitas larva, dengan tingkat mortalitas sampai 98.75 % pada konsentrasi 0.12 % dan terdapat penghambatan perkembangan larva untuk menjadi pupa dan dewasa. Berdasarkan persamaan regresi diketahui bahwa nilai LC-50 untuk 24 jam sebesar 0.0652 %.


(9)

EFFECT OF METHANOL-EXTRACT OF SOURSOP LEAF (Annona muricata Linn.) ON EGG HATCING ABILITY, MORTALITY AND

DEVELOPMENT OF Aedes aegypti Linn. LARVAE

ABSTRACT

The experiments about effects of methanol-extract of soursop leaf (Annona

muricata Linn.) on the egg hatching ability, mortality and development of Aedes aegypti larvae has be done in Animal Physiology Laboratory of USU in February

2007 until August 2007. The experiments used Factorial Complete Random Method. The experiment comprise 2 test, that is the egg hatching ability test, and the larvae mortality test. The concentrations that was used for the both test are control, 0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %, and 0.12 %. The time for egg hatching ability was 24, 48 and 72 hours, and 24 hours for larvae mortality test. The result shows that the effects of methanol-extract of soursop leaf can inhibit the egg hatching ability and larvae development into pupae and adult until 100 %. The larvae mortality test shows that higher concentrations cause higher mortality of larvae with an inhibition of up to 98.75 % at the concentration of 0.12 % and inhibits larvae development to pupae and adult. Based on regression equation was known that LC 50 value for 24 hour is 0.0652 %.


(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Penyakit DBD ini belum ditemukan obat antiviral spesifiknya dan belum ada vaksin antidengue yang efektif dan komersial, sehingga wajar kasus dan kematian akibat DBD di Indonesia meningkat setiap tahun. Di Sumatera Utara dari Januari 2005 sampai 24 Januari 2006, penderita DBD sekitar 3.095 orang, sementara yang meninggal dunia ada 61 orang (Depkes, 2006).

Pemberantasan vektor DBD dengan menggunakan insektisida telah banyak menimbulkan dampak negatif antara lain peningkatan resistensi nyamuk, pencemaran lingkungan, keracunan, kematian mahluk bukan residu (Murtanti & Astuti, 2005). Selanjutnya Naria (2005), menambahkan bahwa umumnya insektisida yang diperjualbelikan di pasar adalah insektisida yang dibuat dari bahan-bahan kimia. Pemakaian insektisida kimia sangat mudah dan membunuh organisme pengganggu dengan cepat. Namun begitu, efek yang ditinggalkannya adalah berupa residu yang dapat masuk ke dalam komponen lingkungan karena bahan aktif sangat sulit terurai di alam. Dampak negatif lain dari insektisida kimia yang penggunaannya tidak sesuai dengan aturan pemakaiannya adalah resisten serangga sasaran sehingga memungkinkan berkembangnya strain baru, adanya residu insektisida dalam makanan maupun lingkungan, dan efek lain yang tidak diinginkan terhadap manusia dan binatang peliharaan.


(11)

Menurut Untung (2006), saat ini penggunaan pestisida kimia di Indonesia dan seluruh dunia masih tinggi di berbagai sektor pembangunan, seperti sektor pertanian dan kesehatan. Dari hasil kegiatan deteksi dan monitoring, resistensi jumlah dan keragaman jenis serangga yang menunjukkan fenomena ketahanan terhadap satu atau beberapa jenis atau kelompok pestisida semakin meningkat. Setiap jenis organisme, termasuk Aedes aegypti, mempunyai kemampuan mengembangkan populasi tahan terhadap pestisida. Ketahanan di lapangan diindikasikan oleh menurunnya efektivitas pengendalian dengan pestisida. Proses seleksi pengembangan ketahanan pestisida tidak terjadi dalam waktu singkat, tetapi berlangsung selama banyak generasi yang diakibatkan oleh perlakuan pestisida secara terus-menerus.

Indonesia memiliki sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk jenis tumbuhan yang mempunyai bahan aktif untuk dikembangkan sebagai insektisida nabati, senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri dan steroid (Kardinan, 2000).

Annona muricata L. (sirsak) merupakan tanaman yang tersebar di daerah

subtropik dan tropik, berbentuk pohon, perdu, tergolong ke dalam famili Annonaceae. Bahan aktif yang terkandung dalam tumbuhan ini adalah alkaloid, annonine, muricine dan muricinine serta saponin yang dapat berperan sebagai anti makan dan insektisida (Grainge & Ahmed, 1998 dalam Yus, 1996). Pada sirsak ditemukan juga senyawa bersifat bioaktif yang dikenal dengan nama acetogenin (Naria, 2005). Daun sirsak mengandung bahan aktif annonain, saponin, flavonoid, tanin. Selain itu, bijinya mengandung minyak antara 42-45%. Daun dan bijinya dapat berperan sebagai insektisida, larvasida repellent (penolak serangga) dan anti

feedant (penghambat makan) (Kardinan, 2004).

Bories et al (1991, dalam Yus, 1996) telah membuktikan adanya aktifitas antiparasit ekstrak metanol dari biji A. muricata terhadap Nippostrongylus


(12)

dan 25 mg/l. Nilai LC 50, 96 jam untuk N. brasiliensis adalah 20 mg/l dan LC 50, 168 jam untuk M. dessetae adalah 6 mg/l.

Mardihusodo (1992, dalam Murtanti & Astuti, 2005) melakukan penelitian terhadap beberapa jenis insektisida botani, salah satunya daun dan biji Annona

muricata Linn. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa A. muricata mampu

menghambat pertumbuhan larva menjadi stadium pupa dan dewasa.

Famili Annonaceae lain yaitu A. squamosa pernah diuji daunnya terhadap larva Aedes aegypti. Untuk membunuh 50 % larva A. aegypti diperlukan konsentrasi antara 0.03008 % - 0.03823 % dan membunuh 90 % larva A. aegypti diperlukan konsentrasi berkisar antara 0.05632 %-0.8324 %. Kematian rata-rata larva A. aegypti pada uji umur residu LC 90 pada konsentrasi ekstrak daun srikaya tua 0.06568 % pada hari ke-1 Sampai dengan ke-8 berturut-turut sebesar 92, 86, 74, 61, 43, 26, 2.2 dan 0 % (Noraida, 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas ekstrak-metanol daun sirsak sebagai dasar pengendalian nyamuk A. aegypti. Untuk tujuan jangka panjang, daun sirsak diharapkan dapat digunakan sebagai larvasida botani.

1.2 Permasalahan

Pemberantasan nyamuk A. aegypti yang merupakan vektor potensial penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan menggunakan insektisida telah banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain peningkatan resistensi nyamuk, pencemaran lingkungan, keracunan, kematian mahluk bukan sasaran dan terbentuknya residu. Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain untuk membasmi nyamuk, yaitu dengan menggunakan bioinsektisida nabati. Senyawa-senyawa bioaktif dari daun sirsak, selain toksik terhadap serangga, juga mudah mengalami biodegradasi dari alam, sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan.


(13)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak (A. muricata) terhadap daya tetas telur, mortalitas dan perkembangan larva A. aegypti.

1.4 Hipotesis

Peningkatan konsentrasi ekstrak-metanol daun sirsak (A. muricata) menghambat daya tetas telur dan perkembangan larva A. aegypti serta meningkatkan mortalitas larva A. aegypti.

1.5 Manfaat Penelitian

Diharapkan hasilnya dapat digunakan sebagai dasar untuk pengendalian vektor nyamuk A. aegypti. Untuk jangka panjang, daun sirsak diharapkan dapat digunakan sebagai larvasida botani, yang efektif dalam pengendalian vektor nyamuk A. aegypti.


(14)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Insektisida Nabati

Insektisida nabati atau insektisida botani adalah bahan alami yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, fenolik dan zat kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang terinfeksi organisme pengganggu tidak berpengaruh terhadap fotosintesis, pertumbuhan atau aspek fisiologi tanaman lainnya, namun berpengaruh terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Sistem yang berpengaruh pada OPT adalah sistem saraf atau otot, keseimbangan hormon, reproduksi, perilaku, sistem pernafasan, dan lain-lain. Senyawa bioaktif ini juga dapat digunakan untuk mengendalikan serangga yang terdapat di lingkungan rumah (Naria, 2005).

Insektisida nabati seperti nikotin, piretrin dan ratenoid sudah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruhnya terhadap insekta. Tetapi sedikit yang mengetahui banyak tanaman lain yang bersifat toksik untuk kehidupan insekta. Pada tahun 1945 dilaporkan ada 1.180 spesies tumbuhan yang mengandung racun serangga, kebanyakan belum diinvestigasi. Toksisitas dari senyawa kimia tumbuhan bersifat relatif, tergantung dari dosis yang diberikan pada periode waktu tertentu, umur dan kondisi tubuh hewan, mekanisme absorbsi dan model ekskresi (Harborne, 1982).

Senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman dapat dimanfaatkan seperti layaknya insektisida sintetik. Perbedaannya adalah bahan aktif pada insektisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran). Bagian tumbuhan seperti daun, buah, bunga, biji, kulit, batang dan


(15)

sebagainya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun ekstraksi (dengan air, ataupun senyawa pelarut organik). Insektisida nabati dapat dibuat secara sederhana dan kemampuan yang terbatas. Bila senyawa atau ekstrak ini digunakan di alam, maka tidak mengganggu organisme lain yang bukan sasaran (Naria, 2005). Insektisida nabati merupakan bahan alami, bersifat mudah terurai di alam

(biodegradable) sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi

manusia karena residunya mudah hilang. Senyawa yang terkandung dalam tumbuhan dan diduga berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri dan steroid (Kardinan, 2000).

Menurut Naria (2005), penggunaan insektisida nabati memiliki beberapa keunggulan, antara lain :

a. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen lingkungan dan bahan makanan sehingga dianggap lebih aman daripada insektisida sintesis/kimia.

b. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.

c. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana. Teknik untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat dilakukan dengan penggerusan, penumbukan, pembakaran, atau pengepresan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu, atau pasta. Kemudian dilakukan perendaman untuk produk ekstrak, selanjutnya ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus.

d. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian insektisida.

2.1.1 Deskripsi Annona muricata Linn.

Menurut Tjitrosoepomo (1991), sistematika dari sirsak (Annona muricata Linn.) adalah sebagai berikut :


(16)

Divisi : Spermatopyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dikotil

Sub Kelas : Dialypetalae Ordo : Ranales Famili : Annonaceae Genus : Annona

Spesies : Annona muricata Linn.

a. Bunga b. Daun c. Buah

Gambar 2.1. Morfologi Bunga, Daun dan Buah Sirsak (A. muricata)

(Http://images.google.co.id/imgres?imgurl)

Nama sirsak berasal dari bahasa Belanda, Zuurzak yang berarti kantung yang asam. Sirsak dalam bahasa Indonesia disebut nangka sabrang, nangka landa atau nangka walanda (Jawa), sirsak (Sunda), nangka buris (Madura), srikaya jawa (Bali), deureuyen belanda (Aceh), durio ulondro (Nias), durian batawi (Minangkabau), jambu landa (Lampung), langelo walanda (Gorontalo), sirikaya balanda (Bugis dan Ujungpandang), wakano (Nusa Laut), naka walanda (Ternate), naka (Flores), Ai ata malai (Timor) (CoData, 2000).

Sirsak merupakan pohon yang tinggi dapat mencapai sekitar 3-8 meter. Daun memanjang, bentuk lanset atau bulat telur terbalik, ujung meruncing pendek, seperti kulit, panjang 6-18 cm, tepi rata. Bunga berdiri sendiri berhadapan dengan daun dan baunya tidak enak. Daun kelopak kecil. Daun mahkota berdaging, 3 yang terluar hijau, kemudian kuning, panjang 3.5-5 cm, 3 yang terdalam bulat telur, kuning muda. Daun kelopak dan daun mahkota yang terluar


(17)

pada kuncup tersusun seperti katup, daun mahkota terdalam secara genting. Dasar bunga cekung sekali. Benang sari banyak penghubung ruas sari di atas ruang sari melebar, menutup ruangnya, putih. Bakal buah banyak, bakal biji 1. Tangkai putik langsing, berambut kepala silindris. Buah majemuk tidak beraturan, bentuk telur miring atau bengkok, 15-35 kali, diameter 10-15 cm. Biji hitam dan daging buah putih (Steenis, 2003). Akar tunggang, perbanyakan dengan biji. Daun dan biji bisa dibuat untuk ramuan insektisida nabati, tetapi daun dan biji sirsak perlu dihaluskan terlebih dahulu lalu dicampur dengan pelarut. Buah yang mentah, biji, daun, dan akarnya mengandung senyawa kimia annonain. Dengan cara kerja sebagai racun kontak dan racun perut, ekstrak daun srikaya dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi hama belalang dan hama lainnya (Kardinan, 2004).

Menurut Naria (2005), buah sirsak (Annona muricata Linn.) termasuk buah semu, daging buah lunak dan empuk, berwarna putih, berserat, berbiji hitam pipih. Kulitnya berduri, tangkai buah menggunting, aromanya harum, dan rasanya manis agak asam segar. Tanaman sirsak dapat digunakan sebagai bahan insektisida.

2.1.2 Annona muricata Linn. Sebagai Insektisida Nabati

Telaah fitokimia telah mengungkapkan bahwa tumbuhan yang tergolong Annonaceae mengandung bermacam-macam alkaloid, karbohidrat, lipid, asam amino, protein, polyphenol, minyak esensial, terpen, dan senyawa aromatik (Leboeuef et al., 1982 dalam Yus 1996). Salah satu tumbuhan yang tergolong famili Annonaceae adalah sirsak (A. muricata) yang merupakan salah satu tanaman penghasil insektisida. Daun sirsak mengandung bahan aktif annonain, saponin, flavonoid, tanin (Kardinan, 2004). Bahkan Naria (2005), menyatakan bahwa pada sirsak ditemukan senyawa bersifat bioaktif yang dikenal dengan nama acetogenin.


(18)

Annonain merupakan senyawa golongan alkaloid yang terdapat pada daun sirsak. Aktifitas fisiologinya bersifat racun dan memiliki rasa yang pahit. Alkaloid memiliki sifat metabolit terhadap satu atau beberapa asam amino. Efek toksik lain bisa lebih kompleks dan berbahaya terhadap insekta, yaitu mengganggu aktifitas tirosin yang merupakan enzim esensial untuk pengerasan kutikula insekta (Harborne, 1982).

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah merah. Sementara flavonoid termasuk kelas fenol. Kelompok flavonoid yang bersifat insektisida alam yang kuat adalah isoflavon. Isoflavon memiliki efek pada reproduksi yaitu antifertilitas (Harborne, 1987).

Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma. Bila hewan memakannya, maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan termasuk serangga (Harborne, 1987). Gejala yag diperlihatkan dari hewan yang mengkonsumsi tanin yang banyak adalah menurunnya laju pertumbuhan, kehilangan berat badan dan gejala gangguan nutrisi (Howe & Westley, 1990 dalam Yus, 1996). Xu & Qin (1994, dalam Yus, 1996) juga telah membuktikan pengaruh hambatan tanin terhadap enzim protease yang dikorelasikan dengan mencerna larva Heliothis armigera.

Senyawa acetogein pada konsentrasi yang tinggi akan bersifat antifeedant bagi serangga, sehingga menyebabkan serangga tidak mau makan. Pada konsentrasi rendah dengan pemberian oral bersifat racun perut dan dapat menyebabkan kematian (Naria, 2005).


(19)

Dari hasil pengujian aktivitas biologi terungkap bahwa bahan aktif acetogenin yang berasal dari tumbuhan Annonaceae ini mempunyai kisaran pengaruh yang cukup luas, yaitu bersifat toksik terhadap sel, memiliki aktifitas anti tumor, anti mikroba, anti malaria, anti makan dan pestisida (Rupprecht et al., 1990 dalam Yus, 1996).

2.2 Deskripsi Aedes aegypti Linn.

Menurut Ross et al. (1982), sistematika Aedes aegypti yang dimodifikasi dari sistematika Henning (1969), Tuxen (1970), dan Lauterbach (1972) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Super Kelas : Hexapoda Kelas : Insecta Subkelas : Pterygota Infra Kelas : Neoptera Ordo : Diptera Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti Linn. Gambar 2.2.1 Morfologi A. aegypti

Menurut Borror dkk (1996), A. aegypti memiliki probosis panjang, memanjang jauh di belakang klipeus, terdapat sisik-sisik pada rangka-rangka sayap dan batas sayap, biasanya juga pada tubuh. Tahapan-tahapan larva adalah akuatik, dan yang dewasa dapat dikenali oleh perangka sayapan yang menciri, sisik-sisiknya sepanjang rangka-rangka sayap dan probosis yang panjang. Tidak mempunyai rambut bulu spirakel. Ujung abdomen Aedes betina biasanya meruncing, dengan sersi yang menonjol, dan toraks seringkali mempunyai


(20)

tanda-tanda putih atau keperak-perakan. Larva hanya mempunyai sepasang batang rambut pada saluran pernafasan. Saluran pernafasan relatif pendek dan gembung.

a. Struktur kepala A. aegypti b. Bagian Mulut A. aegypti Gambar 2.2.2 Struktur kepala dan Mulutnyamuk A. aegypti Linn.

(Keterangan :ant, sungut; mxp, palpus maksila; prb/bk, probosis;clp, klipeus; mata majemuk, dalam Borror dkk, 1996).

Telur Aedes lonjong, tampak seperti anyaman kasar. Larva Aedes aegypti berbentuk sifon panjang dan bulunya satu pasang, segmen anal pelana tidak menutup segmen, gigi sisir tidak berduri, lateral. Sayap Aedes berupa sisik sempit panjang dengan ujung runcing. Perilaku Aedes sp pada siang hari saja dan habitat di air jernih dan air keruh. Cara pemberantasan dengan pengendalian vektor dan mencegah gigitan vektor. Peran medis dari Aedes aegypti sebagai vektor utama DHF, filariasis, penyakit chikungunya, demam kuning (Prianto dkk, 2006).

Telur Aedes aegypti biasanya diletakkan di atas permukaan air. Larva nyamuk bernafas terutama pada permukaan air, melalui satu buluh pernafasan pada ujung posterior tubuh. Pupa nyamuk juga akuatik dan tidak seperti kebanyakan pupa serangga, sangat aktif dan seringkali disebut akrobat (tumbler). Pupa bernafas pada permukaan air melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada toraks. Kebanyakan nyamuk dewasa terbang tidak jauh dari tempat mereka hidup pada tahapan larva mereka. Jarang berada lebih dari beberapa meter dari tempat mereka muncul (Borror dkk., 1996).


(21)

Menurut Nuijda (2005), nyamuk ini memiliki jarak terbang maksimal 100 meter dengan tempat perindukannya di genangan-genangan air jernih yang ditampung pada suatu wadah buatan maupun alamiah.

Gambar 2.2.3 Larva A. aegypti pada instar III

(Keterangan :a.buluh pernafasan,b.spirakel posterior, c.abdomen d.spirakel anterior, e. kepala. Http://aaegypti.vectorbase.org/Images/OrganismImages)

Aedes aegypti adalah transmiter yang paling penting dan vektor yang

ditakuti (Little, 1963). Aedes aegypti mengalami metamorfosis (siklus hidup) yang sempurna mulai dari telur (1-3 hari), larva (4-6 hari), pupa (2 hari), dan nyamuk dewasa. Sekali bertelur nyamuk ini bisa menghasilkan sekitar 10 hingga 100 butir yang bentuknya bulat panjang seperti cerutu, dengan warna kehitam-hitaman. Setelah telur ini menetas menjadi larva, pada ekornya akan tampak semacam cerobong udara dengan semacam rambut berduri. Ciri ini tidak dimiliki sekaligus membedakannya dengan larva-larva nyamuk lainnya, seperti filariasis (penyebar kaki gajah) dan malaria. Larva ini pada waktu istirahat akan membentuk sudut 450 (seperti tampak pada Gambar 2.2.3) dengan permukaan air dan bersifat antiphototropis (menghindari cahaya bila disorot dengan sinar lampu), untuk selanjutnya akan berubah untuk menjadi pupa yang gemuk, bulat dan tajam seperti koma. Setelah lewat dari 2 hari, pupa akan berwujud nyamuk

a

b

c

d


(22)

dewasa, yang tubuhnya berwarna hitam ditandai gelang putih seprti perak di lehernya, berkepala hitam dengan garis putih di tengahnya. Pada dada nyamuk ini terdapat 2 garis sejajar dan pada kakinya terdapat gelang-gelang berwarna putih. Nyamuk ini beristirahat sejajar dengan permukaan tempat yang dihinggapinya, dan umumnya menggigit manusia pada waktu pagi atau sore hari. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan nyamuk ini menggigit di waktu malam hari bila terdapat sinar yang cukup terang (Nuijda, 2005).

Nyamuk A. aegypti mampu mengontrol tingkah lakunya pada suatu area yang luas. Larva A. aegypti berkembang dalam air. Pembersihan tempat perkembangbiakkan dengan pengurasan, menutup dan cara yang sejenisnya adalah hal yang utama. Spesies rumah (domestik), seperti nyamuk demam berdarah, mungkin dengan luas dikontrol dengan pembersihan wadah yang digenangi air seperti kaleng-kaleng, ember, tong, bak dan ban bekas. Air juga dapat dicegah menggenangi selokan, pipa saluran dan bagian yang dangkal. Permukaan air pada danau, reservoir dan sungai bebas dari vegetasi dan tumpukan material sehingga mencegah perkembangan larva. Pembersihan ini diarahkan pada sumber makanan dan tempat perlindungan (Little, 1963).

Nyamuk Aedes aegypti hidup dan berkembangbiak di lingkungan rumah, sekolah dan tempat umum lainnya. Virus Dengue demam berdarah hidup di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus selama masa hidup nyamuk tersebut, sedangkan pada tubuh manusia virus hanya hidup sekitar satu minggu. Nyamuk tersebut mendapat virus ketika menghisap darah seseorang yang mengandung demam berdarah. Virus dipindahkan oleh nyamuk kepada orang lain melalui air liurnya sewaktu menggigit. Nyamuk penyebar Virus Dengue ini memiliki kebiasaan menggigit pada waktu tertentu yaitu pada pagi hari pukul 09.00 sampai 10.00 sedangkan pada sore hari pukul 16.00 sampai pukul 17.00 (Wijayakusuma, 2004).

Menurut Noble & Noble (1989), nyamuk yang masih muda dapat dibasmi dengan menambahkan minyak ke dalam tempat hidupnya. Cara ini mencegah


(23)

mereka memperoleh oksigen oleh karena mereka tidak dapat menempelkan corong pernafasannya pada lapisan minyak dipermukaan. Walaupun demikian, efek pemusnahan utama adalah karena bahan toksik volatil yang terdapat di dalam kebanyakan minyak yang dipergunakan, misalnya tembaga sulfat, hijau paris atau naftalena, dapat juga diberikan ke dalam air untuk membunuh larva dan pupa. Semprotan serangga yang berisi peritrum, lindan, atau beberapa bahan kimia lain juga efektif terhadap nyamuk dewasa dan yang masih muda.

Upaya memberantas larva dari nyamuk Aedes aegypti yang termudah dan termurah adalah dengan cara menguras, menutup, dan mengubur (3M). Beberapa upaya lainnya juga telah sering dilakukan, seperti pemberian abate pada air-air jernih yang tergenang, maupun penyemprotan menggunakan zat-zat kimia insektisida. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dengan cara penyemprotan menggunakan bahan kimia insektisida sebenarnya dapat dikategorikan sebagai upaya terakhir, karena bagaimanapun cara ini tidak dapat memutus mata rantai atau siklus hidup nyamuk dari mulai bertelur hingga dewasa. Penyemprotan atau pengasapan ini lazim menggunakan alat yang diberi nama sing fog. Zat kimia yang digunakan umumnya adalah Malathion 96EC (emultion concentrate) dengan konsentrasi 4 sampai 5 persen, kemudian dicampur dengan solar. Biasa juga menggunakan bahan lainnya seperti Aexon atau Snops 40EC. Namun yang jelas, tujuannya adalah memberantas nyamuk dewasa, bukan memutus mata rantai siklus hidup Aedes aegypti, disamping tentu saja zat kimia yang digunakan sebagai pembunuh ini kemungkinan memiliki korelasi yang tinggi terhadap pencemaran udara maupun makanan. Apalagi bila dalam pelaksanaannya sering mengabaikan pemberitahuan penyemprotan yang sering tidak sampai ke masyarakat tidak atau belum siap, sehingga tidak seluruhnya bisa disemprot, disamping tentu saja nilai dosis tidak tepat atau cuaca yang tidak baik, maka kemungkinan besar nyamuk yang disemprot tidak akan mati seluruhnya yang akan dapat menimbulkan kekebalan atau resistensi perubahan perilaku serta perubahan faal nyamuk Aedes aegypti (Nuijda, 2005).


(24)

Menurut Sastrodoharjo (1979), insektisida dapat masuk melalui tubuh serangga melalui beberapa cara, yaitu :

a. Dinding Tubuh

Dinding tubuh merupakan bagian yang dapat menyerap insektisida dalam jumlah besar. Dinding tubuh ini memiliki lapisan membran dasar yang bersifat semipermeabel sehingga dapat memilih jenis senyawa yang dapat melewatinya.

b. Saluran Pernafasan

Saluran pernafasannya disebut trakea. Udara dan oksigen memasuki trakea secara difusi dibantu dengan pergerakan abdomen. Oksigen akan langsung berhubungan dengan jaringan. Insektisida memasuki sistem pernafasan dalam bentuk gas ataupun butir-butir halus yang dibawa ke jaringan hidup.

c. Alat Pencernaan

Alat pencernaan nyamuk memiliki struktur seperti dinding tubuhnya. Dengan demikian penyerapan insektisida pada alat pencernaan sama dengan penyerapan pada dinding tubuh.


(25)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2007 sampai Agustus 2007 di Laboratorium Fisiologi Hewan, Departemen Biologi FMIPA, Universitas Sumatera Utara. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur nyamuk A. aegypti yang merupakan hasil pembiakan Laboratorium Parasitologi, Universitas Gajah Mada dan daun sirsak (A. muricata) yang diperoleh dari sekitar Kampus FMIPA USU.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian Uji Daya Tetas Telur dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial, dengan faktor konsentrasi ekstrak (K) dan lama pemajanan (W) sebagai berikut :

K (Konsentrasi ekstrak) W (Lama Pemajanan)

K1 = 0.0 % W1 = 24 jam

K2 = 0.02 % W2 = 48 jam

K3 = 0.04 % W3 = 72 jam

K4 = 0.06 % K5 = 0.08 % K6 = 0.10 % K7 = 0.12 %


(26)

Dengan demikian terdapat 21 perlakuan dengan kombinasi :

K1W1 K5W1 K2W2 K6W2 K3W3 K7W3

K2W1 K6W1 K3W2 K7W2 K4W3

K3W1 K7W1 K4W2 K1W3 K5W3

K4W1 K1W2 K5W2 K2W3 K6W3

Penelitian Uji Mortalitas Larva dilakukan dengan menggunakan konsentrasi yang sama dengan Uji Daya Tetas Telur dalam waktu 24 jam. Konsentrasi ekstrak (K) yang digunakan adalah:

K1 = 0.0 % K5 = 0.08 % K2 = 0.02 % K6 = 0.10 % K3 = 0.04 % K7 = 0.12 % K4 = 0.06 %

3.3 Pelaksanaan Penelitian

3.3.1 Pembuatan Ekstrak Daun Sirsak

Daun sirsak diekstrak dengan metode maserasi di Laboratorium Penelitian, Departemen Kimia FMIPA, Universitas Sumatra Utara. Daun sirsak dicuci dan dibersihkan lalu dikeringanginkan. Setelah kering, daun tumbuhan dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil dan dihaluskan dengan blender hingga diperoleh serbuk kering atau yang disebut simplisia.

Simplisia selanjutnya dimaserasi ± 5 hari dalam pelarut metanol 70 % kemudian dikocok. Maserat kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga diperoleh filtrat dan residu. Filtrat yang diperoleh dipisahkan dengan rotavapor pada suhu 400 C sehingga terpisah pelarut dan ekstrak kental tumbuhan . Hasil ekstraksi yaitu ekstrak kental dilarutkan dengan Tween 80, seperti pada gambar berikut :


(27)

Gambar 3.3 Ekstrak Kental Daun Sirsak (Annona muricata L.) setelah dirotavapor

3.3.2 Pembiakan Larva A. aegypti

Serangga uji yang digunakan adalah telur nyamuk A. aegypti yang merupakan hasil pembiakan Laboratorium Parasitologi, Universitas Gajah Mada. Air dimasukkan dalam suatu wadah biakan, kemudian dimasukkan telur yang berada dalam lembaran kertas. Telur-telur yang telah berkembang menjadi larva diberi makanan hati ayam yang telah dikeringkan. Makanan diberikan 1-2 butir ukuran dadu kecil dan diletakkan pada sudut wadah. Untuk mendapatkan larva instar 3 dibutuhkan waktu 4-5 hari (Nuijda, 2005). Wadah ditutup dengan kain kasa.

3.4 Parameter Percobaan Parameter yang diamati adalah :

a. Daya Tetas Telur (%) dalam setiap konsentrasi (K)

Uji daya tetas telur dilakukan sebagai berikut: dibuat rangkaian konsentrasi yang akan digunakan yaitu : 0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %,


(28)

0.12 % dan kontrol.Dalam tiap-tiap cawan petri yang berisi 30 ml larutan ekstrak-metanol, ditambahkan 50 butir telur uji pada lama pemajanan 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Setiap perlakuan dilakukan 2 kali ulangan.

Daya tetas telur diperoleh dengan membagi jumlah telur yang menetas setiap perlakuan lama pemajanan pada setiap konsentrasi dengan jumlah seluruh telur yang digunakan (50 butir).

Daya tetas telur (%) = Rata-rata telur yang menetas setiap perlakuan 50

x 100%

b. Mortalitas Larva

Perlakuan uji mortalitas larva A. aegypti dilakukan dengan menyediakan 28 botol kaca yang berisi 100 ml larutan eksrak-metanol pada konsentrasi 0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %, 0.12 % dan kontrol. Ke dalam setiap botol kaca dimasukkan 20 ekor larva instar III selama 24 jam.

Mortalitas larva diperoleh dengan membagi jumlah larva yang mati dalam 24 jam dengan larva uji yang dipakai pada 4 ulangan (80 larva uji).

Mortalitas Larva (%)= Jumlah Larva yang mati pada 4 ulangan x 100% 4 x 20

c. Perkembangan Larva

Telur yang menetas dipindahkan ke dalam botol kaca untuk diamati perkembangan larva yang menjadi pupa dan nyamuk selama 10 hari pada setiap konsentrasi. Pada Uji mortalitas larva juga diamati perkembangan larva sampai menjadi dewasa.

d. Penentuan LC-50

LC-50 (Letal Concentration 50%) adalah besarnya konsentrasi yang dapat membunuh 50% hewan percobaan. Dalam hal ini penulis menggunakan persamaan regresi linear.


(29)

3.5 Analisis Data

Data dari tiap perlakuan pada uji daya tetas telur, perkembangan larva dan uji mortalitas larva dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Bila dari sidik ragam didapatkan perbedaan nyata hingga sangat nyata, dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).


(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Daya Tetas Telur A. aegypti

Dari hasil penelitian diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1 Pengaruh Ekstrak-metanol Daun Sirsak Terhadap Daya Tetas Telur A. aegypti dengan 50 butir telur uji/perlakuan.

Keterangan : Menurut Uji Duncan Notasi yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5 % .

K1 : kontrol W1 : 24 jam K2 : 0.02 % W2 : 48 jam K3 : 0.04 % W3 : 72 jam K4 : 0.06 %

K5 : 0.08 % K6 : 0.10 % K7 : 0.12 %

Dari Tabel 4.1.1 dapat diketahui bahwa pada semua lama waktu pemajanan, daya tetas telur menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi. Dilihat dari konsentrasi ekstrak-metanol yang digunakan

Kosentrasi W1 W2 W3 Total Rata-rata K1 80 a 77 a 82 a 239 39.8

K2 65 b 63 b 80 a 208 34.8

K3 51 c 60 b 75 a 186 31

K4 40 d 56 c 67 ab 163 27.16

K5 28 e 32 e 40 d 100 16.67

K6 14 fh 18 fh 19 fh 50 8.33

K7 9 h 12 h 17 fh 38 6.33

Total 287 318 379


(31)

tampak bahwa persentase daya tetas telur paling kecil terdapat pada konsentrasi 0.12 % (perlakuan K7W1) yaitu 9 %. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak-metanol daun sirsak, maka larutan semakin bersifat toksik sehingga menghambat penetasan telur nyamuk A. aegypti.

Menurut Grainge & Ahmad, 1998 dalam Yus (1996), sifat toksik yang terdapat pada larutan ekstrak-metanol daun sirsak diduga disebabkan oleh bahan aktif yang terkandung dalam daun sirsak (A. muricata) yaitu alkaloid, flavonoid, annonine, muricine dan muricinine serta saponin yang berperan sebagai anti makan dan insektisida. Juneja dkk (2001, dalam Wurlina & Sastrowardoyo, 2002) menyatakan bahwa golongan alkaloid maupun flavonoid tanaman dapat menyebabkan gangguan pada membran sel dengan berakibat komponen penyusun membran akan berubah pada proses fisiologi dan membran akan terganggu dengan terjadinya kerusakan pengkerutan pada membran tersebut.

Dilihat dari lama waktu pemajanan menunjukkan bahwa peningkatan lama waktu pemajanan secara umum meningkatkan persentase daya tetas telur. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menetaskan telur secara optimal adalah 72 jam.

Menurut WHO (1972, dalam Mardihusodo (1988) dalam Yudhastuti & V idiyani, 2005) telur nyamuk tampak telah mengalami embriosasi lengkap dalam waktu 72 jam. Nuijda (2005) juga menyatakan bahwa Aedes aegypti mengalami metamorfosis (siklus hidup) yang sempurna mulai dari telur (1-3 hari).

Dilihat dari konsentrasi dan lama waktu pemajanan diperoleh bahwa perlakuan dengan konsentrasi 0.12 % dalam waktu 24 jam mampu menghambat persentase daya tetas telur hingga 91 %. Jika dibandingkan dengan perlakuan pada konsentrasi yang sama dalam waktu 72 jam hanya mampu menghambat 83 %. Dari tabel juga terlihat peningkatan lama waktu pemajanan cenderung meningkatkan daya tetas telur dan bukan penurunan daya tetas telur. Padahal dengan peningkatan lama waktu pemajanan, semakin memperlama telur terpapar


(32)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14

Konsentrasi(%) P e rs e n ta s e D a y a T e ta s T e lu r( % ) 24 jam 48 jam 72 jam

senyawa toksik pada larutan ekstrak. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik dari dinding telur A. aegypti.

Pada telur A aegypti, karena ia tertutup oleh dua penutup yaitu korion dan membran vitelin, jadi masuknya senyawa berbahaya masih bisa ditoleransi. Menurut Wigglesworth (1972), permukaan telur dibungkus oleh lapisan semen yang dikeluarkan oleh kelenjar koleteral dari induk. Hal ini mengokohkan telur untuk mempertahankan diri dari gangguan luar.

Pengaruh konsentrasi terhadap daya tetas telur A. aegypti dapat dilihat dalam Grafik 4.1 berikut :

Gambar 4.1 Pengaruh Ekstrak-metanol Daun Sirsak Terhadap Daya Tetas Telur

A. aegypti dengan 50 butir telur uji/perlakuan

Sementara pada kontrol diperoleh persen daya tetas telur sebesar 80 % (K1W1), 77 % (K1W2), dan 82 % (K1W3). Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Soesilohadi (2005), menunjukkan bahwa persentase daya tetas telur A.

aegypti pada kontrol sebesar 78.09 %. Hal ini menunjukkan bahwa kisaran

persentase daya tetas telur A. aegypti pada kondisi tidak diperlakukan (kontrol) sekitar 75 % - 85 %.


(33)

Berdasarkan analisa statistik ANOVA pada Lampiran G diperoleh F hitung (46.12) > F tabel (p; α 5%) berarti terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan yang bermakna maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test).

4.2 Mortalitas Larva

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 4.2 Pengaruh Ekstrak-metanol daun sirsak terhadap mortalitas larva A. aegypti, umur 5 s/d 7 hari dengan 80 larva uji/konsentrasi Konsentrasi

(%)

Kematian dalam 24 jam Mortalitas larva (%)

1 2 3 4

0.0 0 0 0 0 0

0.02 0 2 1 0 3.75

0.04 2 1 1 2 7.5

0.06 5 12 6 5 35.0

0.08 18 16 12 12 72.5

0.1 20 19 19 20 97.50

0.12 20 20 19 20 98.75

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa pada konsentrasi 0 % (kontrol) tidak ada larva A. aegypti yang mati, sedangkan larutan ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda-beda (0.02 %, 0.04 %, 0.06 %, 0.08 %, 0.1 %, 0.12 %) dapat menyebabkan kematian pada larva nyamuk A. aegypti. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi pula persentase kematian larva uji.

Kematian larva diduga karena zat yang terkandung dalam daun sirsak, terutama acetogenin dan tanin yang bersifat toksik. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin banyak acetogenin dan tanin yang masuk ke dalam tubuh larva, sehingga ketahanan larva terhadap zat tersebut semakin berkurang dan larva menjadi lebih rentan, akibatnya akan terjadi kematian yang lebih tinggi. Dengan kata lain ketahanan hidup larva berkurang seiring dengan kenaikan konsentrasi. Pergerakan larva menjadi lambat kemudian diikuti oleh kelumpuhan, dan


(34)

0 20 40 60 80 100 120

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14

Konsentrasi (%) M o rt a li ta s l a rv a ( % )

akhirnya larva mati. Larva yang mati lama kelamaan menjadi pucat dan akhirnya tenggelam.

Gambar 4.2 Pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak terhadap mortalitas larva A.

aegypti. (Persamaan regresi : Y= -13.75 + 978.57 x (r = 0.96),

dengan LC 50 = 0.0652 %).

Berdasarkan persamaan regresi linear, dapat diketahui bahwa pemberian ekstrak-metanol daun sirsak terhadap larva nyamuk A. aegypti mengakibatkan kematian separuh jumlah larva (LC-50) selama 24 jam pada konsentrasi 0.0652%. Mortalitas larva diamati selama 24 jam, dimana semua larva pada kelompok kontrol tidak ada yang mati, sementara pada kelompok perlakuan, terutama pada konsentrasi yang lebih tinggi, ada larva yang mati bahkan mencapai 98.75 % pada konsentrasi 0.12 %.

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dapat dipahami bahwa kematian larva pada konsentrasi yang lebih besar disebabkan oleh efek toksis tanaman yang lebih besar, artinya semakin tinggi konsentrasi semakin banyak larva yang mati, karena semakin banyak senyawa toksik yang masuk ke dalam


(35)

tubuh larva sehingga makin cepat kematian larva. Dinding tubuh larva dapat menyerap senyawa toksis yang dapat menyebabkan kerusakan sel saraf, sistem pernafasan, dan sistem pencernaan (Sastrodoharjo, 1979).

4.3 Perkembangan Larva

Dari penelitian terhadap Uji Daya Tetas Telur dan Mortalitas Larva diperoleh hasil perkembangan larva sebagai berikut :

Tabel 4.3 Perbandingan Perkembangan Larva dari Uji Daya Tetas Telur dengan Perkembangan Larva setelah Uji Mortalitas (10 hari pengamatan)

Konsentrasi Persentase Larva Persentase Pupa Persentase Dewasa

% a b a b a b

0 61.6 100 31.6 97.5 10.6 91.2

0.02 47.3 96.2 21.6 90.0 5.6 51.2

0.04 36.3 92.5 15.0 86.2 4.0 20.0

0.06 32.3 65.0 17.3 57.5 7.5 13.5

0.08 18.6 27.5 5.3 22.5 1.6 7.5

0.1 8.6 2.5 2.6 1.25 0.6 0

0.12 6.3 1.25 1.3 0 0.3 0

Keterangan :

a. Perkembangan larva dari Telur yang diperlakukan dengan Ekstrak-Metanol daun sirsak

b. Perkembangan larva setelah Uji Mortalitas.

Berdasarkan Tabel 4.3, terlihat bahwa perkembangan larva dari telur dengan perkembangan larva setelah uji mortalitas menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Akan tetapi pada konsentrasi 0.1 % dan 0.02 %, keduanya tidak berbeda, yaitu dengan tidak adanya pupa yang berkembang menjadi dewasa. Pada konsentrasi 0.12 % juga ditemukan tidak adanya larva dari Uji Mortalitas yang berkembang menjadi pupa dan dewasa. Perbedaan hasil kemampuan pertumbuhan larva ditunjukkan pada konsentrasi diatas 0.1 %, yaitu bahwa baik larva yang dari telur yang ditetaskan maupun dari larva setelah uji mortalitas menunjukkan bahwa larva tetap mampu berkembang menjadi pupa dan berkembang lebih lanjut menjadi dewasa dengan hasil yang bervariasi.


(36)

0 20 40 60 80 100 120

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14

Konsentrasi (%) P re se n ta si ( % )

larva yang hidup larva yang menjadi pupa larva yang menjadi dewasa

0 10 20 30 40 50 60 70

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14

Konsentrasi (%) P re s e n ta s e ( % )

larva yang hidup larva yang menjadi pupa larva yang menjadi dewasa

Gambar 4.3.1 Pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak terhadap perkembangan larva A. aegypti pada berbagai konsentrasi.

Perkembangan larva dari telur yang diperlakukan dengan ekstrak-metanol daun sirsak tidak menunjukkan penurunan persentase yang mencolok. Sementara perkembangan larva setelah uji mortalitas menunjukkan penurunan persentase yang mencolok pada konsentrasi 0.1 % dan 0.12 % di stadium pupa dan dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak-metanol daun sirsak lebih efektif diberikan pada stadium larva.

Gambar 4.3.2 Pengaruh ekstrak-metanol daun sirsak terhadap perkembangan larva A. aegypti setelah uji mortalitas


(37)

Sunarjo (1990 dalam Yus, 1996) mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan molting yang berhasil, epidermis harus bertindak bersama. Semua sel epidermis harus sepakat untuk membuat satu jenis kutikula untuk instar larva, pupa atau dewasa. Mereka harus melaksanakan kesepakatan ini secara sinkron. Keputusan untuk melakukan ganti kulit, pilihan instar dan berbagai peristiwa metabolik dalam siklus ganti kulit diatur oleh aliran hormon.

Penghambatan pertumbuhan larva menjadi pupa dan dewasa sangat erat kaitannya dengan ketidaksepakatan epidermis dalam melakukan proses pergantian kulit. Hal ini sudah jelas disebabkan karena gangguan pada sistem hormon yang bersumber dari makanan yang mengandung senyawa toksik, sehingga kuantitas makanan yang diambilnya juga berkurang.

Penghambatan pertumbuhan larva ini diduga juga karena daun sirsak mengandung senyawa kimia tanin. Menurut Howe & Westley (1990, dalam Yus 1996), tanin ini bersifat sebagai penghambat makan dan mengganggu pencernaan serangga karena dapat memblok enzim pencernan dan melekat pada protein yang akan dicerna. Disamping itu juga mengganggu aktivitas protein pada dinding usus. Gejala yang diperlihatkan dari hewan yang mengkonsumsi tanin yang banyak adalah menurunnya laju pertumbuhan, kehilangan berat badan dan gejala gangguan nutrisi.

Menurut Simpson & Simpson (1990, dalam Yus 1996) bahwa apabila terjadi perubahan nutrisi pada serangga karena adanya senyawa allelokimia dalam makanannya, maka serangga akan melakukan suatu respon terhadap perubahan ini, yang dinamakan dengan respon kompensasi. Respon ini dilakukan serangga sebagai upaya untuk mempertahankan kehidupannya, yaitu dengan cara mengubah laju konsumsi, menyeleksi makanan yang akan dimakan dan mengubah efisiensi pencernaan dan metabolismenya. Pengaruhnya akan terlihat pada pertumbuhan, perkembangan dan mortalitas serangga.


(38)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Ekstrak-metanol daun sirsak (A. muricata) mampu menghambat penetasan telur A. aegypti, dari penelitian diperoleh bahwa yang paling besar menekan daya tetas telur adalah konsentrasi 0.12 % pada lama pemajanan 24 jam.

b. Ekstrak-metanol daun sirsak (A. muricata) mampu menghambat perkembangan larva A. aegypti menjadi stadium lanjut yaitu pupa dan dewasa dengan penghambatan sampai dengan 100 % pada konsentrasi 0.1 % untuk dewasa dan konsentrasi 0.12 % untuk pupa.

c. Ekstrak-metanol daun sirsak (A. muricata) menyebabkan peningkatan mortalitas larva A. aegypti dengan tingkat mortalitas larva sampai dengan 98.75 % pada konsentrasi 0.12 %, dengan nilai LC-50 24 jam adalah 0.0652 %.

5.2 Saran

Disarankan untuk dilakukan penelitian selanjutnya terhadap tanaman lain yang memiliki efek toksik dalam membunuh serangga, mengingat bahwa pemberantasan vektor nyamuk sampai saat ini belum memperoleh hasil yang signifikan


(39)

BAB 6

DAFTAR PUSTAKA

Borror, dkk. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Terjemahan Partosoedjono S. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: hlm. 671-673, 963.

CoData, Tim Indonesia. 2000. Tanaman Obat Indonesia. 31 Agustus, 2006.

Depkes, 2006. Kasus dan Kematian DBD Per Bulan Di Indonesia Tahun 2006. Diakses tanggal 1 Nopember, 2006

Harborne, J.B. 1982. Intruduction to Ecological Biochemistry. Second Edition. Academic Press, New York : hlm. 66-67.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia ; Penuntun Cara Modren Menganalisis

Tumbuhan. Edisi Kedua. Terjemahan Padmawinata K & Soediro I. ITB

Press, Bandung : hlm. 5-7, 102-103, 151.

Kardinan, A. 2004. Pestisida Nabati ; Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Yogyakarta : hlm. 30.

Little, V.A. 1963. General and Aplied Entomology. Third Edition. Harper & Row Publisher, New York : hlm. 325.

Metcalf, C.L & Flint, W.F. 1962. Destructive and Useful Insects. Fourth Edition. Mc Graw Hill Book Company, San Fransisco : hlm. 396, 1000-1002.

Murtanti, D & Astuti, U.N.W, 2005. Pengaruh Ekstrak-Etanol Daun Mindi, Melia

azedarach L. Terhadap Daya Tetas Telur, Perkembangan Dan Mortalitas

Larva Aedes albopictus. Forum MIPA. Volume 4, Nomor 1: hlm. 13.

Naria, E. 2005. Insektisida Nabati Untuk Rumah Tangga. Info Kesehatan

Masyarakat. Volume IX, Nomor I. Penerbit FKM USU : 28-31.

Noble, E.R & Noble, G.A. 1989. Parasitologi. Terjemahan drh. Wadiarto. Edisi Kelima. UGM Press, Yogyakarta : hlm. 749.

Noraida. 2000. Daya Bunuh Insektisida Ekstrak Daun Srikaya (Annona squamosa Linn) Terhadap Larva Aedes aegypti Di Laboratorium.


(40)

tanggal 22 April, 2006.

Nuidja, IN. 2005. Air Tergenang, Aedes aegypti Berkembang.

http://www.balipost.co.id/BaliPoscetak/2005/12/3/op2.HTM. Diakses tanggal 22 April, 2006.

Prianto, dkk. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta : hlm. 183.

Ross, et al. 1982. Entomolgy. Fourth Edition. John Willey & Sons, Canada.

Sastrodoharjo. 1979. Pengantar Entomologi Terapan. Penerbit ITB, Bandung.

Steenis, C.G.G.J. 2003. Flora. Cetakan Kesembilan. Terjemahan Surjowinoto M dkk. PT Pradnya Paramita, Jakarta: hlm. 193.

Tjitrosoepomo, G. 1991. Taksonomi Tumbuhan. Penerbit UGM Press, Yogyakarta.

Untung, Prof Dr Ir Kasumbogo Untung MSc. 2006. Ketahanan "Aedes Aegypti" -

Terhadap Pestisida di Indonesia.

Wijayakusuma, H. 2004. Cegah Dan Atasi Demam Berdarah Secara Alamiah Hembing

Diakses tanggal 6 Juli, 2008.

Wardhana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi. Penerbit Andi, Yogyakarta: hlm. 65-66.

Wigglesworth, V.B. 1972. The Principles of Insect Physiology. Seventh Edition. The University of Cambridge, London: hlm. 1.

Wurlina, W.S. 2002. Pengaruh Perasan Achyranthes aspera Linn. Terhadap Perkembangan Embrio (Cleavage) Mencit (Mus musculus). Jurnal

Penelitian Medika Eksakta. Volume 3, Nomor 3 : hlm. 269.

Yus, Yusnarti. 1996. Pengaruh Ekstrak Biji Annona muricata L Terhadap Indeks

Nutrisi, Kelulushidupan, Pertumbuhan dan Perkembangan Larva Heliothis (Helicoverpa) armigera Hubner. M.S Tesis. Bandung, Indonesia: Institut

Teknologi Bandung.

Yudhastuti, R & Vidiyani, A. 2005. Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik. Jurnal Kesehatan


(41)

LAMPIRAN A Bahan Uji

Daun Sirsak (Annona muricata L. folium)

Telur nyamuk Aedes aegypti (diperoleh dari Laboratorium Parasitologi UGM)


(42)

LAMPIRAN B

Uji Daya Tetas Telur A aegypti

1 2 3 4 5 6 7

Keterangan :

1. Kontrol

2. Larutan ekstrak 0.02 % 3. Larutan ekstrak 0.04 % 4. Larutan ekstrak 0.06 % 5. Larutan ekstrak 0.08 % 6. Larutan ekstrak 0.10 % 7. Larutan ekstrak 0.12 %


(43)

LAMPIRAN C

Uji Mortalitas Larva A aegypti

1 2 3 4 5 6 7

Keterangan :

1. Larutan ekstrak 0.02 % 2. Larutan ekstrak 0.04 % 3. Larutan ekstrak 0.06 % 4. Larutan ekstrak 0.08 % 5. Larutan ekstrak 0.10 % 6. Larutan ekstrak 0.12 % 7. Kontrol


(44)

LAMPIRAN D

Pengaruh Ekstrak-Metanol Daun Sirsak Terhadap Daya Tetas Telur A. aegypti

Perlakuan Ulangan Total Rata-rata

Daya Tetas Telur

(%)

Notasi I II

K1W1 40 40 80 40.0 80 aA a

K1W2 38 39 77 38.5 77 abAB a

K1W3 42 40 82 41.0 82 aA a

K2W1 30 35 65 32.5 65 bcdBCD b

K2W2 31 32 63 31.5 63 cdeCD b

K2W3 40 40 80 40.0 80 aA a

K3W1 24 27 51 25.5 51 efDE c

K3W2 30 30 60 30.0 60 cdeCD b

K3W3 40 35 75 37.5 75 abcABC a

K4W1 20 20 40 20.0 40 fgEF d

K4W2 32 24 56 28.0 56 defDE c

K4W3 38 29 67 33.5 67 abcdABCD ab

K5W1 15 13 28 14.0 28 ghiFG e

K5W2 18 14 32 16.0 32 ghFG e

K5W3 20 20 40 20.0 40 fgEF d

K6W1 6 8 14 7.0 14 ijGH fh

K6W2 11 7 18 9.0 18 hijGH fh

K6W3 7 11 18 9.0 18 hijGH fh

K7W1 2 7 9 4.5 9 jH h

K7W2 7 5 12 6.0 12 jH h

K7W3 10 7 17 8.5 17 ijGH fh

Total 984

Keterangan : Menurut Uji Duncan Notasi yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5 % .

Jika pada notasi terdapat : aA ditulis sebagai a cdCD ditulis sebagai b efDE ditulis sebagai c fgEF ditulis sebagai d ghFG ditulis sebagai e iG ditulis sebagai f jH ditulis sebagai h


(45)

LAMPIRAN E

Perkembangan Larva A aegypti dari Uji Daya Tetas Telur

Perlakuan Telur Menetas Larva Pupa Dewasa

I II I II I II I II

K1W1 40 40 32 30 17 15 5 4

K1W2 38 39 30 31 15 15 6 5

K1W3 42 40 32 30 17 16 7 5

K2W1 30 35 23 23 10 10 2 2

K2W2 31 32 25 7 11 4 1 3

K2W3 40 40 23 23 11 11 3 4

K3W1 24 27 14 15 7 5 2 1

K3W2 30 30 20 17 9 7 2 2

K3W3 40 35 23 20 10 7 3 2

K4W1 20 20 19 7 10 3 3 1

K4W2 32 24 25 7 11 4 1 3

K4W3 38 29 30 9 20 4 5 2

K5W1 15 13 11 3 1 2 1 0

K5W2 18 14 15 4 5 1 1 0

K5W3 30 20 18 5 5 2 2 1

K6W1 6 8 4 2 2 0 1 0

K6W2 11 7 8 2 4 0 0 0

K6W3 7 11 7 3 1 1 0 1

K7W1 2 7 2 1 1 1 1 0

K7W2 7 5 5 1 0 0 0 0

K7W3 10 7 9 1 1 1 0 0

Keterangan : K1 : kontrol W1 : 24 jam K2 : 0.02 % W2 : 48 jam K3 : 0.04 % W3 : 72 jam K4 : 0.06 %

K5 : 0.08 % K6 : 0.10 % K7 : 0.12 %


(46)

LAMPIRAN F

Perkembangan Larva dari Uji Mortalitas Larva

Konsentrasi Larva Pupa Dewasa

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

0% 20 20 20 20 20 20 18 20 18 18 18 19 0.02% 20 18 20 20 20 18 16 18 8 15 8 10 0.04% 18 19 18 18 18 17 18 16 5 4 4 3 0.06% 15 8 15 15 15 8 10 13 3 3 2 3

0.08% 2 4 8 8 2 4 5 7 2 1 1 2

0.10% 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0


(47)

LAMPIRAN G

Analisis Sidik Ragam RAL Faktorial pada Uji Daya Tetas Telur A. aegypti

DB Perlakuan = t-1 = t-1 = (3×7) -1 = 20 DB Waktu = w-1 = 3-1 = 2

DB Konsentrasi = K-1 = 7-1 = 6

DB Total = ( K×W×n ) -1 = (7 ×3×2)−1=41 DB Galat = t(n-1) = 21(2-1) = 21

Faktor Koreksi (FK) = 23053.71

42 968256 2 ) 3 7 ( 9842 2 = = × × = ×n t GT

JK Total = 402+302+...+72 −FK =29884−23053.71=6830.29 JK Perlakuan = 23053.71 6678.29

2 59464 2 17 .. 65 802 2

= − = − + + + FK

JK Galat = JKTJKP=6830.29−23053.71=152.006 JK Konsentrasi =

29 . 6195 71 . 23053 6 175494 2 3 38 ... 186 208

2392 2 2 2

= − = − × + + + + FK

JK Waktu = 23053.71 313.004

14 327134 2 7 379 318

2872 2 2

= − = − × + + FK

JK Interaksi = JKP-JK-JKW

= 6678.29-6195.29-313.004

= 169.996

Tabel Analisis Sidik Ragam RAL Faktorial

FK DB JK KT (JK/DB) Fh

(KT/7.24)

F.Tabel

5% 1%

Perlakuan(t-1) 20 6678.29 333.914 46.12++ 3.47 4.79 JK K (K-1) 6 6195.29 1032.55 142.65++ 3.30 4.47 JK W (W-1) 2 313.004 156.502 21.61++ 2.95 4.02 JK K * W 12 169.996 14.16 1.956tn 3.40 4.65

Galat 21 152.006 7.24

Total 41 6830.29

Sx = 1.902

2 24 . 7 = = n KTG


(1)

LAMPIRAN B

Uji Daya Tetas Telur A aegypti

1 2 3 4 5 6 7

Keterangan :

1. Kontrol

2. Larutan ekstrak 0.02 % 3. Larutan ekstrak 0.04 % 4. Larutan ekstrak 0.06 % 5. Larutan ekstrak 0.08 % 6. Larutan ekstrak 0.10 % 7. Larutan ekstrak 0.12 %


(2)

LAMPIRAN C

Uji Mortalitas Larva A aegypti

1 2 3 4 5 6 7

Keterangan :

1. Larutan ekstrak 0.02 % 2. Larutan ekstrak 0.04 % 3. Larutan ekstrak 0.06 % 4. Larutan ekstrak 0.08 % 5. Larutan ekstrak 0.10 % 6. Larutan ekstrak 0.12 % 7. Kontrol


(3)

LAMPIRAN D

Pengaruh Ekstrak-Metanol Daun Sirsak Terhadap Daya Tetas Telur A.

aegypti

Perlakuan Ulangan Total Rata-rata

Daya Tetas Telur

(%)

Notasi I II

K1W1 40 40 80 40.0 80 aA a K1W2 38 39 77 38.5 77 abAB a K1W3 42 40 82 41.0 82 aA a

K2W1 30 35 65 32.5 65 bcdBCD b

K2W2 31 32 63 31.5 63 cdeCD b K2W3 40 40 80 40.0 80 aA a K3W1 24 27 51 25.5 51 efDE c K3W2 30 30 60 30.0 60 cdeCD b

K3W3 40 35 75 37.5 75 abcABC a

K4W1 20 20 40 20.0 40 fgEF d K4W2 32 24 56 28.0 56 defDE c

K4W3 38 29 67 33.5 67 abcdABCD ab

K5W1 15 13 28 14.0 28 ghiFG e K5W2 18 14 32 16.0 32 ghFG e K5W3 20 20 40 20.0 40 fgEF d K6W1 6 8 14 7.0 14 ijGH fh K6W2 11 7 18 9.0 18 hijGH fh K6W3 7 11 18 9.0 18 hijGH fh

K7W1 2 7 9 4.5 9 jH h

K7W2 7 5 12 6.0 12 jH h K7W3 10 7 17 8.5 17 ijGH fh

Total 984

Keterangan : Menurut Uji Duncan Notasi yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5 % .

Jika pada notasi terdapat : aA ditulis sebagai a cdCD ditulis sebagai b efDE ditulis sebagai c fgEF ditulis sebagai d ghFG ditulis sebagai e


(4)

LAMPIRAN E

Perkembangan Larva A aegypti dari Uji Daya Tetas Telur

Perlakuan Telur Menetas Larva Pupa Dewasa

I II I II I II I II

K1W1 40 40 32 30 17 15 5 4

K1W2 38 39 30 31 15 15 6 5

K1W3 42 40 32 30 17 16 7 5

K2W1 30 35 23 23 10 10 2 2

K2W2 31 32 25 7 11 4 1 3

K2W3 40 40 23 23 11 11 3 4

K3W1 24 27 14 15 7 5 2 1

K3W2 30 30 20 17 9 7 2 2

K3W3 40 35 23 20 10 7 3 2

K4W1 20 20 19 7 10 3 3 1

K4W2 32 24 25 7 11 4 1 3

K4W3 38 29 30 9 20 4 5 2

K5W1 15 13 11 3 1 2 1 0

K5W2 18 14 15 4 5 1 1 0

K5W3 30 20 18 5 5 2 2 1

K6W1 6 8 4 2 2 0 1 0

K6W2 11 7 8 2 4 0 0 0

K6W3 7 11 7 3 1 1 0 1

K7W1 2 7 2 1 1 1 1 0

K7W2 7 5 5 1 0 0 0 0

K7W3 10 7 9 1 1 1 0 0

Keterangan : K1 : kontrol W1 : 24 jam K2 : 0.02 % W2 : 48 jam K3 : 0.04 % W3 : 72 jam K4 : 0.06 %

K5 : 0.08 % K6 : 0.10 % K7 : 0.12 %


(5)

LAMPIRAN F

Perkembangan Larva dari Uji Mortalitas Larva

Konsentrasi Larva Pupa Dewasa

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

0% 20 20 20 20 20 20 18 20 18 18 18 19 0.02% 20 18 20 20 20 18 16 18 8 15 8 10 0.04% 18 19 18 18 18 17 18 16 5 4 4 3 0.06% 15 8 15 15 15 8 10 13 3 3 2 3

0.08% 2 4 8 8 2 4 5 7 2 1 1 2

0.10% 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0


(6)

LAMPIRAN G

Analisis Sidik Ragam RAL Faktorial pada Uji Daya Tetas Telur

A. aegypti

DB Perlakuan = t-1 = t-1 = (3×7) -1 = 20 DB Waktu = w-1 = 3-1 = 2

DB Konsentrasi = K-1 = 7-1 = 6

DB Total = ( K×W×n ) -1 = (7 ×3×2)−1=41 DB Galat = t(n-1) = 21(2-1) = 21

Faktor Koreksi (FK) = 23053.71

42 968256 2 ) 3 7 ( 9842 2 = = × × = ×n t GT

JK Total = 402+302+...+72 −FK =29884−23053.71=6830.29 JK Perlakuan = 23053.71 6678.29

2 59464 2 17 .. 65 802 2

= − = − + + + FK

JK Galat = JKTJKP=6830.29−23053.71=152.006 JK Konsentrasi =

29 . 6195 71 . 23053 6 175494 2 3 38 ... 186 208

2392 2 2 2

= − = − × + + + + FK

JK Waktu = 23053.71 313.004

14 327134 2 7 379 318

2872 2 2

= − = − × + + FK

JK Interaksi = JKP-JK-JKW

= 6678.29-6195.29-313.004 = 169.996

Tabel Analisis Sidik Ragam RAL Faktorial

FK DB JK KT (JK/DB) Fh

(KT/7.24)

F.Tabel

5% 1%

Perlakuan(t-1) 20 6678.29 333.914 46.12++ 3.47 4.79 JK K (K-1) 6 6195.29 1032.55 142.65++ 3.30 4.47 JK W (W-1) 2 313.004 156.502 21.61++ 2.95 4.02 JK K * W 12 169.996 14.16 1.956tn 3.40 4.65

Galat 21 152.006 7.24