Seleksi Galur Galur Putatif Mutan Gandum (Triticum aestivum L ) di Dataran Menengah Lingkungan Tropis

SELEKSI GALUR-GALUR PUTATIF MUTAN GANDUM
(Triticum aestivum L.) DI DATARAN MENENGAH
LINGKUNGAN TROPIS

EKA BOBBY FEBRIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Seleksi Galur-Galur
Putatif Mutan Gandum (Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah
Lingkungan Tropis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Eka Bobby Febrianto
NIM A253110071

RINGKASAN
EKA BOBBY FEBRIANTO. Seleksi Galur-Galur Putatif Mutan
Gandum (Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah Lingkungan Tropis.
Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU ENDRO KUSUMO dan DESTA
WIRNAS.
Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman alloheksaploid
yang berasal dari daerah subtropis. Gandum memiliki peranan sebagai
pendukung ketahanan pangan dunia karena tanaman ini merupakan
komoditas serealia yang paling banyak diusahakan di dunia. Kebutuhan
terhadap gandum di Indonesia setiap tahun cenderung meningkat seiring
meningkatnya populasi penduduk dan meningkatnya produk olahan berbasis
tepung terigu. Pengembangan gandum di Indonesia selama ini lebih
diarahkan untuk dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 800 m di atas
permukaan laut (dpl) dan suhu sekitar 22–24 oC. Bila gandum

dibudidayakan di dataran tinggi maka akan bersaing dengan komoditas
sayuran. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan gandum
di Indonesia adalah perbedaan kesesuaian kondisi agroklimat dan belum
tersedianya varietas yang mampu beradaptasi baik pada daerah dataran
menengah. Perbedaan kesesuaian kondisi agroklimat yang dominan yaitu
perbedaan faktor temperatur. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
memperoleh genotipe gandum yang mampu beradaptasi di dataran
menengah dan memiliki potensi hasil tinggi.
Penelitian dilaksanakan dua tahap, tahap pertama pada bulan April
hingga Agustus 2012 di kebun percobaan BALITHI-Cipanas dengan
ketinggian 1100 m dpl. Tahap kedua pada bulan Januari hingga April 2013
di dua lokasi dengan ketinggian berbeda, lokasi 1 di kebun percobaan
BALITHI-Cipanas dengan ketinggian 1100 m dpl dan lokasi 2 di Cisarua
dengan ketinggian 600 m dpl. Penelitian menggunakan rancangan
perbesaran dengan genotipe sebagai perlakuan. Genotipe yang digunakan
dalam percobaan ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu galur putatif mutan
dan varietas pembanding. Galur putatif mutan yang digunakan adalah 98
galur putatif mutan generasi M5 dan M6 (16 genotipe M5-Dewata,
9 genotipe M5-Selayar, 25 genotipe M5-Oasis, 22 genotipe M5-Rabe,
21 genotipe M5-Kasifbey, dan 5 genotipe M5-Basribey) serta enam varietas

pembanding yaitu Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey, dan Basribey.
Penanaman dilakukan secara larikan dengan jarak antar larikan sebesar
30 cm, setiap plot terdiri dari tiga larikan pada M5 dan lima larikan pada M6.
Hasil studi keragaan dan keragaman genetik karakter agronomi galurgalur putatif mutan gandum generasi M5 di lingkungan optimum
menunjukkan bahwa adanya perbedaan keragaan antara varietas
pembanding dan galur-galur putatif mutan. Masing-masing populasi galur
putatif mutan M5 memiliki standar deviasi beragam dan lebih tinggi pada
tiap karakter dibandingkan varietas pembanding. Nilai heritabiltas tinggi
terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, umur
panen, panjang malai, jumlah spiklet, jumlah floret hampa, jumlah biji per
malai, bobot biji per malai dan bobot biji per tanaman. Galur-galur putatif

mutan terbaik berjumlah 30 galur dengan kisaran potensi hasil 17.1–33.1 g
per tanaman dan persentase floret hampa 1.4–16.4 %.
Hasil studi respon dan keragaman genetik galur putatif mutan M6
gandum di dua agroekosistem menunjukkan bahwa galur-galur putatif
mutan hasil seleksi generasi sebelumnya memiliki karakteristik yang
beragam disebabkan ada pengaruh lingkungan. Berdasarkan nilai indeks
sensitivitas terhadap suhu tinggi diperoleh 16 genotipe medium toleran suhu
tinggi yaitu M6-Basribey-4, M6-Basribey-5, M6-Dewata-1, M6-Dewata15, M6-Dewata-7, M6-Kasifbey-11, M6-Kasifbey-12, M6-Kasifbey-15,

M6-Kasifbey-6, M6-Oasis-10, M6-Oasis-11, M6-Oasis-14, M6-Oasis-16,
M6-Oasis-24, M6-Oasis-9 dan M6-Rabe-4; dan 14 genotipe sensitif
cekaman suhu tinggi yaitu M6-Dewata-12, M6-Dewata-16, M6-Kasifbey-14,
M6-Oasis-22, M6-Oasis-4, M6-Oasis-5, M6-Oasis-6, M6-Oasis-8, M6Rabe-18, M6-Rabe-20, M6-Rabe-3, M6-Selayar-1, M6-Selayar-2 dan M6Selayar-3. Nilai duga heritabilitas tinggi di Cipanas dan Cisarua terdapat
pada hampir semua karakter kecuali panjang malai untuk Cipanas,
sedangkan jumlah anakan dan panjang malai untuk Cisarua.
Hasil studi analisis korelasi dan lintasan karakter agronomi gandum
pada dua agroekosistem menunjukkan bahwa karakter bobot biji per malai
dan jumlah biji per tanaman memiliki korelasi positif dan nilai pengaruh
langsung yang besar terhadap hasil di dua elevasi dan musim yang berbeda.
Kedua karakter ini dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk merakit
varietas gandum yang memiliki potensi hasil tinggi. Karakter persentase
floret hampa memiliki korelasi negatif di dua elevasi dan musin yang
berbeda, sehingga dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi untuk merakit
varietas gandum toleran suhu tinggi.

Kata kunci: gandum, keragaan, keragaman genetik, korelasi, putatif mutan

SUMMARY
EKA BOBBY FEBRIANTO. Selection of Putative Mutant Wheat

Lines (Triticum aestivum L.) in Tropical Medium Altitude. Supervised by
YUDIWANTI WAHYU ENDRO KUSUMO and DESTA WIRNAS.
Wheat (Triticum aestivum L.) is a alloheksaploid plant originated from
subtropical regions. Wheat plays an important role in supporting world food
security because it is a cereal commodity which most widely cultivated in
the world. The demand for wheat in Indonesia each year tends to increase
with the increasing of population and wheat flour-based processed products.
The development of wheat in Indonesia applies for high altitude with more
than 800 m above sea level (asl) and a temperature of about 22–24 oC.
Meanwhile, wheat that is cultivated in the high altitude will compete with
vegetable crops. The problems encountered in the development of wheat in
Indonesia are the difference of agro-climatic conditions and unavailability
varieties that adapt well to the medium altitude areas. The dominant
differences of agro-climatic condition is temperature factor difference. The
objective of this research was to obtain wheat genotypes are able to adapt in
medium altitude and high yield potency.
The experiment was conducted in two stages. The first stage was
conducted in April to August 2012 at the Research Station BALITHICipanas with altitude 1100 m asl. The second stage was conducted in
January to April 2013 in two locations with different altitude, location 1 in
the Research Station BALITHI-Cipanas with altitude 1100 m asl and

location 2 in Cisarua with altitude 600 m asl. The research used augmented
design with genotypes as treatments. Genotypes used in this experiment
were grouped into two (putative mutant lines and check varieties). Putative
mutant lines used was 98 lines of M5 and M6 generation (16 genotypes M5Dewata, 9 genotypes M5-Selayar, 25 genotypes M5-Oasis, 22 genotypes
M5-Rabe, 21 genotypes M5-Kasifbey and 5 genotypes M5-Basribey ) and
six check varieties were Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey, and
Basribey. Planting was conducted by row spaced array of 30 cm, each plot
consists of three rows on the M5 and five rows on the M6.
The result of the genetic variability and performance of agronomic
characters putative mutant lines of M5 wheat generation in the optimum
environment showed that there was the difference in variability between
check varieties and putative mutant lines. Each population of putative
mutant lines M5 had a diverse deviation standard and higher on each
character than check varieties. High heritabilty value presented in plant
height, number of tillers, days to flowering, maturity, panicle length,
number of spikelet, the number of empty florets, number of grains per

panicle, grain weight per panicle and grain weight per plant. The best
putative mutant lines were 30 lines with potential yield about 17.1-33.1 g
per plant and percentage of empty florets about 1.4-16.4%.

The result of respons and genetic variability putative mutant lines M6
of wheat in two agroecosystems showed that the putative mutant lines of
previous generations of selection results had diverse characteristics caused
by environmental effect. Based on the value of the index sensitivity to high
temperature there was 16 tolerant medium genotypes were M6-Basribey-4,
M6-Basribey-5, M6-Dewata-1, M6-Dewata-15, M6-Dewata-7, M6Kasifbey-11, M6-Kasifbey-12, M6-Kasifbey-15, M6-Kasifbey-6, M6Oasis-10, M6-Oasis-11, M6-Oasis-14, M6-Oasis-16, M6-Oasis-24, M6Oasis-9 and M6-Rabe-4; high temperature sensitive genotypes were M6Dewata-12, M6-Dewata-16, M6-Kasifbey-14, M6-Oasis-22, M6-Oasis-4,
M6-Oasis-5, M6-Oasis-6, M6-Oasis-8, M6-Rabe-18, M6-Rabe-20, M6Rabe-3, M6-Selayar-1, M6-Selayar-2 dan M6-Selayar-3. High heritability
estimates in Cipanas and Cisarua were almost in all the characters except
panicle length in Cipanas, while the number of tillers and panicle length in
Cisarua.
The results of correlation and path analysis of agronomic characters of
wheat in two agro-ecosystem indicated that the character of grain weight per
panicle and number of seeds per plant were positively correlated and
directly influence to the outcome in two elevation and different seasons. The
characters can be used as selection criteria to create high yield wheat
varieties. Percentage of empty florets was negatively correlated in two
elevation and different seasons, it can be used as selection criteria to create
high temperature tolerant wheat varieties.

Keywords: correlation, genetic variability, performance, putative mutant,

Triticum aestivum

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SELEKSI GALUR-GALUR PUTATIF MUTAN GANDUM
(Triticum aestivum L.) DI DATARAN MENENGAH
LINGKUNGAN TROPIS

EKA BOBBY FEBRIANTO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Heni Purnamawati, MSc.Agr

Judul Tesis : Seleksi Galur-Galur Putatif Mutan Gandum (Triticum
aestivum L.) di Dataran Menengah Lingkungan Tropis
Nama
: Eka Bobby Febrianto
NIM
: A253110071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Yudiwanti Wahyu E.K, MS
Ketua

Dr Desta Wirnas, SP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Yudiwanti Wahyu E.K, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 14 Agustus 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Pengembangan gandum di Indonesia masih mengalami beberapa kendala, di
antaranya adalah kondisi suhu lingkungan yang tinggi dan belum
tersedianya varietas gandum yang mampu beradaptasi dengan baik pada
lingkungan berelevasi menengah. Sejauh ini, Indonesia baru memiliki tiga
varietas yang mampu beradaptasi pada lingkungan berelevasi tinggi yaitu
Nias, Dewata dan Selayar serta baru dirilis tiga varietas yaitu Guri-1, Guri-2
dan Ganosha.
Tesis yang berjudul Seleksi Galur-Galur Putatif Mutan Gandum
(Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah Lingkungan Tropis merupakan
salah satu upaya untuk meneruskan program pemuliaan gandum di
Indonesia dengan harapan akan menghasilkan galur-galur mutan gandum
harapan, sehingga Indonesia dapat memiliki varietas unggul gandum yang
mampu beradaptasi dan memiliki potensi hasil baik di daerah berelevasi
menengah.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terimakasih kepada :
1. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K, MS dan Dr. Desta Wirnas, SP, MSi
selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, saran, dorongan
moril, motivasi, kritikan dan masukan serta diskusi sejak awal
perencanaan dan penyusunan penelitian hingga penyelesaian tulisan.
2. Dr. Ir. Heni Purnamawati, MSc.Agr selaku dosen penguji luar komisi
pada ujian akhir tesis atas saran-saran untuk perbaikan tesis.
3. Dr. Dewi Sukma, SP, MSi selaku dosen penguji perwakilan dari
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman pada ujian akhir
tesis atas saran-saran untuk perbaikan tesis.
4. Kedua orangtua penulis (Bapak Ir. Usul dan Ibu Supiatmi), kedua
mertua (Bapak Mahmud dan Ibu Sri Martiyah), Istri tercinta Anna
Amania Khusnayaini STP, ananda Adam Zindani Alfayyad, adik-adik
(Koko Mardianto SP, Indra Wahyu Wibawa, Annisa Mardianti, Sofia
Nabila SST, Samara Rahma Dania) dan seluruh keluarga besar yang
telah memberikan motivasi, doa serta kasih sayangnya.
5. Seluruh staf pengajar di Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman yang telah mendidik dan membekali penulis tentang
pengetahuan pemuliaan tanaman.
6. Dr. Amin Nur, SP, MSi yang telah memberikan bantuan materi
genetik serta saran dalam perencanaan penelitian.
7. Koordinator Proyek Pengembangan Gandum Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc) yang telah memberikan penulis
kesempatan untuk menyelesaikan penelitian tahap kedua.
8. Aziz Natawijaya, SP, MSi dan Karlina Syahruddin, SP, MSi yang
telah banyak memberi saran.
9. Kepada seluruh teman-teman PBT 2011 dan Forsca AGH IPB yang
tidak dapat ditulis satu per satu yang telah menjadi keluarga penulis

selama masa-masa menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana
IPB.
10. Tim gandum Mayasari Yamin, SP; Sri Wardani, SP; Yushi Mardiana,
SP atas kebersamaan dan kerjasamanya selama melakukan penelitian.
11. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan
RI atas bantuan dana untuk menyelesaikan Tesis dan publikasi artikel
ilmiah.
Semoga karya kecil ini bisa bermanfaat bagi penulis dan bagi
pengembangan dan kemajuan ilmu di bidang pertanian, khususnya bidang
pemuliaan gandum tropis di Indonesia.
Bogor,

September 2014

Eka Bobby Febrianto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

vi

1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penelitian
1.3 Hipotesis Penelitian

1
1
3
3

2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani dan Genetik Gandum
2.2 Lingkungan Tumbuh Gandum
2.3 Pemuliaan Gandum
2.4 Pemanfaatan Mutagen pada Gandum
2.5 Keragaman Genetik dan Heritabilitas

4
4
6
7
8
9

3

KERAGAMAN GENETIK GALUR-GALUR PUTATIF MUTAN
GANDUM GENERASI M5 DI LINGKUNGAN OPTIMUM
Abstract
Abstrak
3.1 Pendahuluan
3.2 Metode Penelitian
3.3 Hasil dan Pembahasan
3.4 Simpulan

12
12
12
13
13
15
24

KERAGAMAN GENETIK PUTATIF MUTAN M6 GANDUM
(Triticum aestivum L.) DI DUA AGROEKOSISTEM
Abstract
Abstrak
4.1 Pendahuluan
4.2 Metode Penelitian
4.3 Hasil dan Pembahasan
4.4 Simpulan

25
25
25
26
27
29
42

ANALISI KORELASI DAN LINTASAN KARAKTER
AGRONOMI GANDUM PADA DUA AGROEKOSISTEM
Abstract
Abstrak
5.1 Pendahuluan
5.2 Metode Penelitian
5.3 Hasil dan Pembahasan
5.4 Simpulan

43
43
43
44
45
47
58

PEMBAHASAN UMUM

60

4

5

6

7 SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
7.2 Saran

63
63
64

DAFTAR PUSTAKA

65

LAMPIRAN

71

RIWAYAT HIDUP

73

DAFTAR TABEL
2.1
3.1
3.2
3.3
3.4

3.5

3.6

3.7
3.8
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6

4.7
4.8
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5

Klasifikasi beberapa spesies Triticum berdasarkan kelas ploidi
Sidik ragam rancangan perbesaran (augmented design)
Hasil analisis ragam pengaruh genotipe, mutan, dan cek
terhadap karakter agronomi gandum di dataran tinggi
Keragaan varietas pembanding gandum
Hasil uji t karakter agronomi galur putatif mutan gandum
(M5-Dewata, M5-Selayar) dengan varietas tetua asalnya
(Dewata, Selayar) dan kisaran populasi galur putatif mutan
gandum generasi M5
Hasil uji t karakter agronomi galur putatif mutan gandum
(M5-Oasis, M5-Rabe) dengan varietas tetua asalnya
(Oasis, Rabe) dan kisaran populasi galur putatif mutan
gandum generasi M5
Hasil uji t karakter agronomi galur putatif mutan gandum
(M5-Kasifbey, M5-Basribey) dengan varietas tetua asalnya
(Kasifbey, Basribey) dan kisaran populasi galur putatif mutan
gandum generasi M5
Nilai duga ragam fenotipe, ragam genetik dan heritabilitas arti
luas karakter agronomi galur putatif mutan gandum generasi M5
Rataan 30 galur-galur putatif mutan gandum generasi M5 terbaik
berdasarkan bobot biji tanaman-1 dan persentase floret hampa
Analisis ragam karakter agronomi genotipe, mutan dan cek gandum
di dua lingkungan (Cipanas dan Cisarua) dan analisis gabungan
Tinggi tanaman, jumlah anakan dan luas daun bendera genotipe
gandum pada dua lingkungan (Cipanas dan Cisarua)
Kehijauan daun bendera, umur berbunga dan umur panen
genotipe gandum pada dua lingkungan (Cipanas dan Cisarua)
Panjang malai, jumlah spikelet dan kerapatan spikelet
genotipe gandum pada dua lingkungan (Cipanas dan Cisarua)
Jumlah floret hampa, persentase floret hampa dan jumlah biji per
malai genotipe gandum pada dua lingkungan (Cipanas dan Cisarua)
Bobot biji per malai, jumlah biji per tanaman dan bobot
biji per tanaman genotipe gandum pada dua lingkungan
(Cipanas dan Cisarua)
Indeks sensitivitas 30 galur putatif mutan gandum generasi M6
Parameter genetik galur putatif mutan gandum di dua lingkungan
Analisis korelasi karakter agronomi terhadap bobot biji per tanaman
Matriks korelasi karakter agronomi galur putatif mutan gandum
generasi M5 di Cipanas
Matriks korelasi karakter agronomi galur putatif mutan gandum
generasi M6 di Cipanas
Matriks korelasi karakter agronomi galur putatif mutan gandum
generasi M6 di Cisarua
Matriks analisis lintas M5 terhadap karakter bobot biji per tanaman
gandum di Cipanas

6
14
16
17

18

19

20
22
23
30
31
33
35
37

38
39
41
48
49
50
51
52

5.6
5.7

Matriks analisis lintas M6 terhadap karakter bobot biji per tanaman
gandum di Cipanas
Matriks analisis lintas M6 terhadap karakter bobot biji per tanaman
gandum di Cisarua

53
54

DAFTAR GAMBAR
1.1
5.1
5.2
5.3

Bagan alir penelitian
Diagram lintasan karakter bobot biji per tanaman
galur putatif mutan M5 di Cipanas
Diagram lintasan karakter bobot biji per tanaman
galur putatif mutan M6 di Cipanas
Diagram lintasan karakter bobot biji per tanaman
galur putatif mutan M6 di Cisarua

3
55
56
57

1

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman alloheksaploid
yang berasal dari daerah subtropis. Gandum memiliki peranan sebagai
pendukung ketahanan pangan dunia karena merupakan komoditas serealia
yang paling banyak diusahakan di dunia (Sleper & Poehlman 2006).
Sebagai sumber pangan, gandum dikonsumsi oleh sekitar dua milyar
penduduk di dunia (Wittenberg 2004).
Kebutuhan terhadap gandum di Indonesia setiap tahun cenderung
meningkat seiring meningkatnya populasi penduduk dan meningkatnya
produk olahan berbasis tepung terigu. Pemenuhan kebutuhan gandum di
Indonesia sebagian besar diperoleh dari impor. Tahun 2012, Indonesia
mengimpor 121 778 ton terigu, sementara konsumsi nasional mencapai
1.22 juta ton (APTINDO 2012). Sovan (2002) menyatakan bahwa untuk
menekan impor gandum, Indonesia perlu melakukan upaya untuk
memproduksi gandum dalam negeri. Produksi gandum dalam negeri perlu
didukung oleh ketersediaan varietas gandum dan penerapan teknologi
budidaya yang sesuai dengan kondisi agroklimat di Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengembangan gandum di
Indonesia yaitu perbedaan kesesuaian kondisi agroklimat dan belum
tersedianya varietas yang mampu beradaptasi baik pada daerah dataran
menengah tropis. Perbedaan kesesuaian kondisi agroklimat yang dominan
menurut Acquaah (2007) yaitu perbedaan faktor suhu sehingga faktor
tersebut menentukan pertumbuhan dan perkembangan gandum.
Penelitian dan pengembangan gandum di Indonesia hingga tahun 2008
diarahkan pada daerah berelevasi > 1000 m di atas permukaan laut (dpl).
Penelitian dan pengembangan gandum dilakukan pada lingkungan tersebut
karena selama ini tanaman gandum dianggap tidak dapat berkembangan di
dataran < 1000 m dpl. Menurut Sastrosoemarjo (2004), pengembangan areal
pertanaman gandum di Indonesia diharapkan tidak menggunakan daerahdaerah berelevasi tinggi, karena akan bersaing dengan produksi komoditas
hortikultura. Pengembangan gandum harus diarahkan pada daerah
berelevasi menengah sampai rendah. Menurut DEPTAN (2006) elevasi
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu dataran rendah (< 350 m dpl), dataran
menengah (350–700 m dpl) dan dataran tinggi (> 700 m dpl).
Suhu tinggi menjadi salah satu faktor pembatas dalam upaya
pengembangan gandum di daerah berelevasi rendah dan medium karena
gandum merupakan tanaman subtropis yang menghendaki suhu 10–21 oC
sebagai suhu optimalnya untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya
(Ginkel & Villareal 1996). Menurut Peet dan Willits (1998) cekaman suhu
tinggi sering didefinisikan sebagai kondisi suhu yang melebihi ambang
kerusakan untuk periode waktu yang cukup menyebabkan kerusakan yang
tidak dapat balik (irreversibel) pada pertumbuhan dan perkembangan
tanaman sehingga batasan suhu tinggi untuk tiap tanaman akan relatif
tergantung wilayah atau habitat asal tanaman.

2
Cekaman suhu tinggi merupakan hambatan utama selama proses
antesis dan pengisian biji pada berbagai tanaman serealia pada wilayah
bersuhu tinggi. Sebagai contoh, cekaman suhu tinggi mempercepat durasi
pengisian biji dengan adanya reduksi pertumbuhan biji yang mengarah pada
hilangnya kepadatan dan bobot biji hingga mencapai 7% pada gandum
musim semi (Guilioni et al. 2003). Ferris et al. (1998) menambahkan
bahwa bobot dan jumlah biji pada gandum terlihat sangat sensitif terhadap
cekaman suhu tinggi, dimana jumlah biji per malai pada saat masak
berkurang seiring dengan meningkatnya suhu. Hal senada diungkapkan oleh
Maestri et al. (2002) bahwa penurunan juga terjadi untuk kandungan pati,
protein dan minyak pada biji jagung dan penurunan kualitas pada tanaman
serealia lainnya dalam kondisi tercekam suhu tinggi.
Menurut Wahid et al. (2007) bahwa terdapat dua mekanisme adaptasi
tanaman terhadap cekaman suhu tinggi, yaitu (1) mekanisme penghindaran
(avoidance) panas; (2) mekanisme toleransi. Berumur genjah merupakan
salah satu bentuk mekanisme penghindaran terhadap cekaman suhu tinggi.
Mekanisme ini akan efektif jika cekaman suhu tinggi hanya terjadi beberapa
saat atau pada fase tertentu saja. Mekanisme adaptasi ini dapat memberikan
pengaruh negatif bagi produksi tanaman, karena karakter umur genjah
umumnya berkolerasi dengan penurunan daya hasil.
Salah satu upaya untuk mendapatkan varietas gandum yang seragam
dan mampu beradaptasi dengan baik di Indonesia serta memiliki potensi
hasil tinggi dapat dilakukan dengan pendekatan pemuliaan tanaman, seperti
induksi mutasi, persilangan dan rekayasa genetik. Kegiatan mutasi dapat
memperbesar keragaman genetik sehingga memperbesar peluang
keberhasilan seleksi. Keragaman yang diperoleh disebabkan terjadinya
mutasi pada level DNA (mutasi titik), level kromosom seperti terjadinya
abreasi kromosom (delesi, duplikasi, translokasi dan inversi) dan mutasi
pada level genom (set kromosom). Tanaman hasil mutasi disebut mutan.
Mutan yang diperoleh dari hasil seleksi diharapkan mampu berkembang dan
berproduksi maksimal pada kondisi agroklimat di Indonesia.
Tim Peneliti Pemuliaan Gandum Laboratorium Genetika dan
Pemuliaan Tanaman IPB bekerjasama dengan Konsorsium Gandum
Indonesia telah mengintroduksi sejumlah varietas gandum dari beberapa
negara dan mengevaluasinya di lingkungan tropis Indonesia. Beberapa
galur-galur putatif mutan merupakan hasil pemuliaan mutasi dari peneliti
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh galur putatif mutan
berdaya hasil tinggi dan toleran suhu tinggi.
Perakitan varietas gandum berdaya hasil tinggi dan toleran suhu tinggi
merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketergantungan
terhadap gandum impor di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan dua
tahapan percobaan (Gambar 1.1). Percobaan pertama yaitu mempelajari
keragaan dan keragaman genetik galur-galur putatif mutan generasi M5,
kemudian dilakukan seleksi berdasarkan daya hasil pada kondisi lingkungan
optimum. Percobaan kedua yaitu evaluasi daya hasil di dataran tinggi dan
menengah dengan perbedaan kondisi agroekosistem terutama difokuskan
pada perbedaan faktor temperatur, sehingga diperoleh galur putatif mutan
berdaya hasil tinggi dan toleran suhu tinggi.

3

Galur-galur putatif mutan
(Generasi M5)

Tahap 1

Studi keragaan dan keragaman

Seleksi

Galur terpilih

Tahap 2

Evaluasi daya hasil di dataran tinggi
dan dataran menengah
(Generasi M6)

Galur putatif toleran suhu tinggi
Gambar 1.1 Bagan alir penelitian

1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan genotipe
gandum toleran pada kondisi dataran menengah. Tujuan khusus penelitian
ini adalah untuk (1) mempelajari keragaan dan keragaman galur putatif
mutan gandum di dataran tinggi dan menengah; (2) mendapatkan informasi
tentang hubungan antara karakter dengan hasil; (3) mendapatkan galur
putatif mutan yang toleran pada kondisi dataran menengah.
1.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah :
1. Terdapat variabilitas genetik pada populasi gandum M5 dan M6 di
dataran menengah.
2. Terdapat pengaruh langsung yang besar antara karakter-karakter
agronomi dengan daya hasil pada galur-galur putatif mutan gandum di
lingkungan tropika.
3. Terdapat beberapa galur putatif mutan gandum yang toleran dan
memiliki daya hasil tinggi pada dataran menengah di lingkungan
tropika.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani dan Genetik Gandum
Gandum termasuk divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae,
subkelas Monocotylodenae, ordo Graminae, famili Graminae, dan genus
Triticum. Ada tiga jenis gandum yang dibudidayakan dan secara umum
ditanam oleh petani, yaitu Triticum aestivum (gandum roti), Triticum durum
(gandum durum), dan Triticum compactum (gandum club). Triticum
aestivum biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan roti. Pangsa pasar
gandum ini mencakup sekitar 90% dari kebutuhan gandum dunia. Triticum
durum (gandum durum) biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan
makaroni dan mie. Kebutuhan akan gandum durum mencakup sekitar 9%
dari kebutuhan gandum dunia. Gandum jenis club (Triticum compactum)
hanya mencakup sekitar 1% dari kebutuhan gandum dunia (Hanson 1982).
Tanaman gandum memiliki batang beruas (6 ruas) dan berongga
seperti tanaman padi. Seperti tanaman graminae lainnya, gandum memiliki
akar serabut. Daun tanaman gandum tumbuh tegak/melengkung (tergantung
varietas) dan berbentuk pita. Daun yang sudah tua akan mengering dan
melengkung ke bawah (Stoskoff 1985).
Pembungaan pada gandum bersifat majemuk (Stoskoff 1985). Pada
gandum, kumpulan bunga (spikelets) bertumpuk satu sama lain pada malai.
Tiap spikelet terdiri dari beberapa bulir dan kulit ari (lemma dan palea).
Biasanya tiap spikelet akan menghasilkan dua sampai tiga biji (kernel). Tiap
bulir memiliki batang yang sangat kecil yang disebut rachilla. Pada dasar
spikelet terdapat glume yang umumnya halus dan pada beberapa varietas,
glume berambut pendek. Selanjutnya, terdapat lemma dan palea yang di
dalamnya terdapat tiga anther dan dua stigma dengan sebuah ovarium.
Lemma, palea dan keseluruhan alat kelamin (yang nantinya menjadi biji
atau kernel) tersebut merupakan satu kesatuan bunga (floret). Selanjutnya
terdapat beberapa floret sebelum glume terakhir (Phoelman & Sleper 1995).
Mekarnya bunga secara normal terjadi beberapa hari setelah malai
keluar. Gandum merupakan tanaman menyerbuk sendiri. Saat glume
membuka, anther keluar dan sebagian dari pollen keluar. Saat itu,
kemungkinan masuknya pollen lain yang menyebabkan penyerbukan silang
sangat kecil (kurang dari 1%) karena pollen mulai dihasilkan sebelum bunga
mekar. Hal ini menyebabkan ovary dibuahi dahulu oleh pollen dalam satu
bunga sebelum bunga mekar. Pembungaan terjadi sangat dipengaruhi oleh
musim. Saat musim hujan, pembungaan terjadi sangat lambat dan pollen
bisa mati tercuci air. Oleh karena itu, musim dingin saat pembungaan akan
menyebabkan pengisian yang kurang pada tanaman gandum.
Gandum termasuk tanaman herba setahun atau semusim dengan
karakteristik alami melakukan penyerbukan sendiri (self-polinated),
sedangkan penyerbukan silang hanya 1–4%. Pembungaan dimulai pada
sepertiga bagian tengah malai kemudian menyebar secara bersamaan ke
arah ujung dan pangkal malai. Bunga-bunganya bermekaran pada
pertengahan pagi menjelang siang. Kemampuan reseptif stigma berkisar
antara 4–13 hari sedangkan viabilitas pollen hanya sekitar 30 menit saja.

5
Bulir yang berada pada bagian tengah malai dan bagian proksimal dari floret
cenderung membesar. Kondisi masak fisiologis dicapai apabila kandungan
kadar air dari keseluruhan bulir yang terbentuk telah menurun antara
25–35% (Ginkel & Villareal 1996).
Kernel berbentuk oval dengan panjang 6–8 mm dan diameter 2–3 mm.
Seperti jenis serealia lainnya, gandum memiliki tekstur yang keras. Biji
gandum terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kulit (bran), bagian endosperma,
dan bagian lembaga (germ). Bagian kulit dari biji gandum sebenarnya tidak
mudah dipisahkan karena merupakan satu kesatuan dari biji gandum, tetapi
bagian kulit ini biasanya dapat dipisahkan melalui proses penggilingan
(Kent 1975).
Bran merupakan kulit luar gandum dan terdapat sebanyak 14.5% dari
total keseluruhan gandum. Bran terdiri dari 5 lapisan yaitu epidermis (3.9%),
epikarp (0.9%), endokarp (0.9%), testa (0.6%), dan aleuron (9%). Bran
memiliki granulasi lebih besar dibanding pollard, serta memiliki kandungan
protein dan kadar serat tinggi sehingga baik dikonsumsi ternak besar.
Epidermis merupakan bagian terluar biji gandum, mengandung banyak debu
yang apabila terkena air akan menjadi liat dan tidak mudah pecah.
Fenomena inilah yang dimanfaatkan pada penggilingan gandum menjadi
tepung terigu agar lapisan epidermis yang terdapat pada biji gandum tidak
hancur dan mengotori tepung terigu yang dihasilkan.
Endosperma merupakan bagian yang terbesar dari biji gandum (80–
83%) yang banyak mengandung protein, pati, dan air. Proses penggilingan,
bagian inilah yang akan diambil sebanyak-banyaknya untuk diubah menjadi
tepung terigu dengan tingkat kehalusan tertentu. Pada bagian ini juga
terdapat zat abu yang kandungannya akan semakin kecil jika mendekati inti
dan akan semakin besar jika mendekati kulit (Jones et al. 1967).
Spesies-spesies
yang termasuk kedalam genus Triticum
dikelompokkan menjadi tiga kelas ploidi yaitu diploid (2n=2x=14),
tetraploid (2n=4x=28) dan heksaploid (2n=6x=42). Gandum terdiri dari tiga
genom (A, B, D). Genom A berasal dari T. monococcum, genom D berasal
dari Aegilops squarrosa (T. tauschii). Genom B belum dikenal asalnya.
T. aestivum merupakan tanaman alloheksaploid dengan susunan genom
AABBDD dan memiliki 21 kromosom yang dibagi kedalam 7 homolog
(sebagian kromosom homolog). Tanaman gandum (Triticum aestivum L.)
tergolong tanaman menyerbuk sendiri karena bersifat Cleistogami (pollen
dan stigma terdapat dalam satu bunga dan matang secara bersamaan
sebelum bunga mekar) (Acquaah 2007). Tanaman gandum secara alami
bersifat homozigot pada setiap lokus gen dan heterogenous dalam satu
populasi. Anggapan ini didasarkan kepada mekanisme pembentukan
homozigositas pada tanaman menyerbuk sendiri (Sleper & Poehlman 2006).
Pewarisan gen-gen pada tanaman gandum bersifat disomik karena secara
alami orientasi perpasangan disomik dan homolog dikendalikan oleh gen
Ph1 dikromosom 5 genom B (Acquaah 2007). Adanya orientasi
perpasangan disomik pada gandum memungkinkan pendugaan jumlah gen
dan pewarisan sifatnya dapat dilakukan dan dianalisis seperti halnya
tanaman diploid.

6
Tabel 2.1 Klasifikasi beberapa spesies Triticum berdasarkan kelas ploidi
Species
Genome
Status
Spesies Diploid (2n = 2x = 14)
T. Monoccocum var. monoccocum
AA
Budidaya
T. Monoccocum var. boeoticum
AA
spesies liar
T. Dichasians
CC
spesies liar
T. Tauschii
DD
spesies liar
T. Comosum
MM
spesies liar
T. Speltoides
SS
spesies liar
T. Umbellatum
UU
spesies liar
Spesies Tetraploid (2n = 4x = 28)
T. turgidum L. var. dococcon
AABB
Budidaya
T. turgidum L. var. durum
AABB
Budidaya
T. turgidum L. var. turgidum
AABB
Budidaya
T. turgidum L. var. polonicum
AABB
Budidaya
T. turgidum L. var. carthlicum
AABB
Budidaya
T. turgidum L. var. dicoccoides
AABB
spesies liar
T. timopheevii var. araraticum
AAGG
spesies liar
T. cylindricum
DDCC
spesies liar
T. ventricosum
DDMM
spesies liar
T. triunciale
UUCC
spesies liar
T. ovatum
UUMM
spesies liar
T. kotschyi
UUSS
spesies liar
Spesies Heksaploid (2n = 6x = 42)
T. aestivum L. var. aestivum
AABBDD
Budidaya
T. aestivum L. var. spelta
AABBDD
Budidaya
T. aestivum L. var. compactum
AABBDD
Budidaya
T. aestivum L. var. sphaerococcum
AABBDD
Budidaya
T. syriacum
DDMMSS
spesies liar
T. juvenile
DDMMUU
spesies liar
T. triaristatum
UUMMMM spesies liar
Fehr (1987)
2.2 Lingkungan Tumbuh Gandum
Kondisi yang paling cocok untuk tanaman gandum adalah daerah
beriklim dingin dengan suhu 10–21 oC dan curah hujan sedang. Suhu dingin
diperlukan pada awal penanaman dan awal pertumbuhan tanaman gandum.
Gandum juga dapat ditanam di dataran tinggi tropis ataupun di dataran
rendah jika tingkat kelembabannya rendah (Ginkel & Villareal 1996).
Batasan garis lintang sangat menentukan pertumbuhan tanaman gandum.
Gandum dapat tumbuh baik di sebelah utara khatulistiwa antara 30o sampai
50o LU dan di sebelah selatan khatulistiwa antara 25o sampai dengan 40o LS
(Ginkel & Villareal 1996).
Curah hujan efektif yang dibutuhkan tanaman gandum 825 mm/tahun
dengan ketinggian di atas 800 m dpl (Musa 2002). Gandum juga dapat
tumbuh dengan bantuan irigasi apabila curah hujan sangat minim. Musim
kering yang panjang tanpa irigasi akan menurunkan hasil panen. Gandum

7
yang ditanam di daerah panas dan kekurangan air produksinya akan lebih
rendah walaupun gandum dapat berkembang cepat di daerah panas dan
lembab.
2.3 Pemuliaan Gandum
Kegiatan pemuliaan gandum diarahkan untuk mengevaluasi keragaan
(performance) pada kondisi kelembaban dan suhu tinggi dikaitkan dengan
serangan penyakit utama (major diseases) seperti Fusarium, karat (rust),
smut, bercak daun (leaf blight), dan foot rot (Ginkel & Villareal 1996).
Poehlman dan Sleper (1995) menambahkan bahwa kegiatan pemuliaan
gandum ditujukan untuk memperoleh kultivar berpotensi hasil tinggi dan
meningkatkan kualitas produk serta mampu beradaptasi luas pada berbagai
kondisi lingkungan.
Dasar genetik pemuliaan pada tanaman serealia terhadap toleransi
tidak dikontrol oleh gen tunggal. Pada tanaman gandum seberapa besar
heritabilitas dan jumlah gen yang terlibat dalam toleransi suhu tinggi masih
belum diketahui secara pasti. Sebagian hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh sitoplasma dan interaksi antara sitoplasma dan inti dalam
mengontrol toleransi suhu tinggi, akan tetapi kesimpulan kesimpulannya
terhadap karakteristik genetic sangat bervariasi (Maestri et al. 2002).
Keberhasilan program pemuliaan gandum di Indonesia sangat
ditentukan oleh ketersediaan keragaman genetik dan ketepatan metode
seleksi dengan memanfaatkan informasi genetik dan heritabilitas (Roy
2000). Gandum sebagai tanaman subtropis, materi genetik pada umumnya
diintroduksi dari berbagai Negara, khususnya bekerjasama dengan lembaga
internasional yaitu CIMMYT. Materi genetik yang diintroduksi selanjutnya
diadaptasikan di lingkungan agroekosistem tropis sebagai langkah awal
penyesuaian lingkungan tumbuh dan sekaligus melakukan penapisan pada
kondisi cekaman suhu tinggi.
Salah satu upaya untuk meningkatkan keragaman genetik dan
sekaligus menyeleksi pada lingkungan bercekaman dari galur-galur
introduksi adalah iradiasi sinar gamma. Nur (2013) telah melakukan
penelitian mutasi gandum di Indonesia. Varietas yang digunakan adalah
Basribey, Kasifbey (Turki), OASIS/SKAUZ//4*BCN, RABE/MO 88 (India)
serta varietas nasional yaitu Dewata dan Selayar. Materi genetik yang telah
diiradiasi (M1) dengan sinar gamma diperbanyak pada lingkungan optimal,
kemudian keragaman populasi generasi M2 diseleksi pada lingkungan
bercekaman suhu tinggi. Generasi M3 dikembalikan pada lingkungan
optimal dilanjutkan dengan seleksi pada generasi M4 langsung dikondisikan
pada lingkungan bercekaman suhu tinggi. Seleksi pada populasi putatif
mutan generasi M4 dilakukan berdasarkan karakter bobot biji per petak dan
jumlah biji per tanaman, sehingga diperoleh populasi putatif mutan
sebanyak 124 nomor. 124 nomor terpilih tersebut kemudian diseleksi,
sehingga diperoleh 98 galur putatif mutan yang akan dilanjutkan pada
generasi M5. 98 galur putatif mutan terpilih yaitu 16 genotipe M5-Dewata,
9 genotipe M5-Selayar, 25 genotipe M5-Oasis, 22 genotipe M5-Rabe, 21
genotipe M5-Kasifbey, dan 5 genotipe M5-Basribey.

8
2.4 Pemanfaatan Mutagen pada Gandum
Proses mutasi adalah perubahan susunan atau konstruksi dari gen
maupun kromosom suatu individu tanaman sehingga memperlihatkan
penyimpangan (perubahan) dari individu asalnya dan bersifat baka
(diturunkan). Mutasi dapat terjadi secara alamiah, tetapi frekuensinya sangat
rendah, yaitu 10-6 pada setiap generasi. Untuk mempercepat terjadinya
mutasi dapat dilakukan secara buatan dengan memberikan perlakuanperlakuan sehingga terjadi mutasi (induced mutation). Mutasi pada tanaman
dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada bagian-bagian tanaman baik
bentuk maupun warnanya juga perubahan pada sifat-sifat lainnya (Herawati
& Setiamihardja 2000).
Mutagen kimia maupun mutagen fisika memiliki energi nuklir yang
dapat merubah struktur materi genetik tanaman. Perubahan yang terjadi
pada materi genetik dikenal dengan istilah mutasi (mutation). Secara relatif,
proses mutasi dapat menimbulkan perubahan pada sifat-sifat genetis
tanaman baik ke arah positif maupun negatif, dan kemungkinan mutasi yang
terjadi dapat juga kembali normal (recovery). Mutasi yang terjadi ke arah
“sifat positif” dan terwariskan (heritable) ke generasi-generasi berikutnya
merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia tanaman. Sifat positif
yang dimaksud adalah relatif, tergantung pada tujuan pemuliaan tanaman.
Iradiasi adalah suatu pancaran energi yang berpindah melalui partikelpartikel yang bergerak dalam ruang atau melalui gerak gelombang cahaya.
Zat yang dapat memancarkan iradiasi disebut zat radioaktif. Zat radioaktif
adalah zat yang mempunyai inti atom tidak stabil, sehingga zat tersebut
mengalami transformasi spontan menjadi zat dengan inti atom yang lebih
stabil dengan mengeluarkan partikel atau sifat sinar tertentu. Proses
tranformasi spontan ini disebut peluruhan, sedangkan proses pelepasan
partikel atau sinar tertentu disebut iradiasi. Iradiasi yang terjadi akibat
peluruhan inti atom dapat berupa partikel alfa, beta, dan sinar gamma. Pada
umumnya sinar gamma yang digunakan untuk radiasi adalah hasil peluruhan
inti atom Cobalt-60. Cobalt-60 adalah sejenis metal yang mempunyai
karateristik hampir sama dengan besi atau nikel (Sinaga 2000).
Penggunaan sinar gamma neutron dalam pemuliaan mutasi
berkembang dengan pesat setelah perang Dunia II. Lebih dari 10 tahun
berbagai penelitian ditujukan untuk meneliti pengaruh perlakuan radiasi atau
perlakuan tambahan sebelum dan sesudah radiasi sehingga hasilnya akan
lebih terarah dan lebih praktis. Semenjak itu penggunaan mutasi buatan
dalam pemuliaan tanaman mulai berkembang di negara-negara berkembang
terutama di Asia. Beberapa varietas tanaman hasil mutasi buatan telah
diperoleh dan dikembangkan sebagai varietas baru (Mugiono 2001).
Mutasi radiasi menyebabkan pecahnya benang kromosom. Pecahnya
kromosom menyebabkan terjadinya perubahan struktur kromosom yang
dapat berupa translokasi, inversi, duplikasi dan delesi. Kromosom terdiri
dari gen-gen yang bertanggung jawab atas pengendalian sifat-sifat yang
diturunkan dari tetua ke generasi selanjutnya (Amien & Carsono 2008).
Perlakuan radiasi akan menyebabkan kerusakan sel atau terhambatnya
metabolisme sel karena adanya gangguan sintesa RNA sehingga sintesis

9
enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan terhambat. Struktur DNA yang
terganggu akan menyebabkan enzim yang dihasilkan kehilangan fungsinya.
Perlakuan radiasi dapat menyebabkan enzim yang merangsang pertunasan
menjadi tidak aktif, sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (Cassaret
1961). Perlakuan dengan mutagen dapat menyebabkan sterilitas, yaitu :
terhambatnya pertumbuhan sehingga menghalangi pembungaan,
terbentuknya bunga yang tidak sempurna, terbentuknya bunga dengan
tepung sari mandul, pembentukan embrio yang gugur sebelum masak, biji
terbentuk tetapi tidak mampu berkecambah (Mugiono 2001).
Pengaruh peningkatan dosis mutagen terhadap kerusakan fisiologis
memberikan kurva sigmoid, dimana kerusakan atau kematian tidak terjadi
sekaligus sesuai dengan meningkatnya dosis. Hal ini menunjukkan bahwa
suatu molekul atau sel yang peka maka molekul atau sel tersebut akan rusak
atau mati. Sebaliknya apabila yang terkena radiasi adalah molekul atau sel
yang tidak peka maka sel atau molekul tersebut tidak mati. Makin tinggi
dosis maka makin banyak terjadi mutasi dan makin tinggi pula
kerusakannya (Mugiono 2001).
Berbagai macam mutasi menurut Sastrosumarjo et al. (2006) dan
Acquaah (2007) yaitu :
1 Mutasi genom, poliploidi pada tanaman mencerminkan bahwa satu set
atau lebih set kromosom ditambahkan pada kromosom diploid misalnya
triploid disimbolkan 2x + x = 3x, tetraploid 2x + 2x = 4x (dimana x
adalah jumlah kromosom dasar). Pengaruh beberapa mutagen dapat
merubah tingkat ploidi pada genom tanaman.
2 Mutasi kromosom, pengaruh bahan mutagen, khususnya radiasi yang
paling banyak terjadi pada kromosom tanaman adalah pecahnya benang
kromosom. Pecahnya benang kromosom dibagi dalam 4 kelompok
yaitu : translokasi, inversi, duplikasi, dan delesi.
3 Mutasi gen, bahan mutagen tertentu dapat menginduksi perubahan
spesifik susunan pasangan basa dalam struktur DNA. Perubahan yang
terjadi disebut mutasi gen.
4 Mutasi di luar inti sel, pada kenyataannya tidak semua materi genetik
(DNA) berada di dalam inti sel. Sitoplasma sel terdapat banyak organel
diantaranya kloroplas (chloroplast) dan mitokondria (mitochondria)
yang masing-masing berfungsi dalam proses fotosintesis dan sintesa
adenosin triposfat (ATP). Kloroplas dan mitokondria ternyata
mengandung materi genetik (gen atau DNA) yang juga dapat termutasi.
Mutasi gen kloroplas atau mitokondria sering disebut mutasi diluar inti
atau extranuclear mutation.
2.5 Keragaman Genetik dan Heritabilitas
Perbedaan kondisi lingkungan memberikan kemungkinan munculnya
variasi yang akan menentukan penampilan akhir tanaman tersebut. Bila ada
variasi yang timbul atau tampak pada populasi tanaman yang ditanam pada
kondisi lingkungan yang sama maka variasi tersebut merupakan variasi atau
perbedaan yang berasal dari genotipe individu anggota populasi
(Mangoendidjojo 2003).

10
Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap program
pemuliaan tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan, seperti semula
dilakukan manusia, dengan cara melakukan introduksi sederhana dan tehnik
seleksi atau dapat dimanfaatkan dalam program persilangan yang canggih
untuk mendapatkan kombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan dua
individu yang mempunyai faktor lingkungan yang sama dapat diukur, maka
perbedaan ini berasal dari genotipe kedua tanaman tersebut. Keragaman
genetik menjadi perhatian utama para pemulia tanaman, karena melalui
pengelolaan yang tepat dapat menghasilkan varietas baru yang lebih baik
(Welsh 2005). Variasi yang ditimbulkan ada yang dapat langsung dilihat,
misalnya adanya perbedaan warna bunga, daun dan bentuk biji (ada yang
berkerut, ada yang tidak), ini yang disebut variasi sifat yang kualitatif.
Namun ada pula variasi yang memerlukan pengamatan dengan pengukuran,
misalnya tingkat produksi, jumlah anakan dan tinggi tanaman
(Mangoendidjojo 2003).
Fehr (1987) menyebutkan bahwa heritabilitas adalah salah satu alat
ukur dalam sistem seleksi yang efisien dan dapat menggambarkan
efektivitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya. Korelasi
antar karakter fenotipe diperlukan dalam seleksi tanaman, untuk mengetahui
karakter yang dapat dijadikan petunjuk seleksi terhadap produktivitas yang
tinggi (Suharsono et al. 2006; Wirnas et al, 2006).
Variasi keseluruhan dalam suatu populasi merupakan hasil kombinasi
genotipe dan pengaruh lingkungan. Proporsi variasi merupakan sumber
yang penting dalam program pemuliaan karena dari jumlah variasi genetik
ini diharapkan terjadi kombinasi genetik yang baru. Proporsi dari seluruh
variasi yang disebabkan oleh perubahan genetik disebut heritabilitas.
Heritabilitas dalam arti yang luas adalah semua aksi gen termasuk sifat
dominan, aditif, dan epistasis. Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari
0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh
faktor lingkungan, sedangkan nilai 1 bila seluruh variasi disebabkan oleh
faktor genetik. Dengan demikian nilai heritabilitas akan terletak antara
kedua nilai ekstrim tersebut (Welsh 2005). Hanson (1963) menyatakan nilai
heritabilitas dalam arti luas menunjukkan genetik total dalam kaitannya
keragaman genotip, sedangkan menurut Poespodarsono (1988), bahwa
makin tinggi nilai heritabilitas satu sifat maka makin besar pengaruh
genetiknya dibanding lingkungan.
Variasi genetik akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan
seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, ini
menunjukkan individu dalam populasi beragam sehingga peluang untuk
memperoleh genotipe yang diharapkan akan besar (Bahar & Zein 1993).
Apabila pendugaan nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa pengaruh
genetik lebih besar terhadap fenotipe dibandingkan dengan pengaruh
lingkungan. Untuk itu informasi sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor
genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat
tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya.
Seleksi akan menunjukkan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat
yang dilibatkan dalam seleksi mempunyai variasi genetik dan heritabilitas
yang tinggi. Jika nilai heritabilitas tinggi, sebagian besar variasi fenotip

11
disebabkan oleh variasi genetik, maka seleksi akan memperoleh kemajuan
genetik (Zen 1995). Knight (1979) menyatakan informasi mengenai variasi
genetik dan heritabilitas berguna untuk menentukan kemajuan genetik yang
diperoleh dari seleksi. Hayward (1990) menyatakan bahwa sifat-sifat yang
dikendalikan oleh gen-gen bukan aditif menyebabkan kemajuan genetik
yang rendah. Hal ini disebabkan pengaruh gen bukan aditif tidak diwariskan
dan akan lenyap semasa seleksi (Suprapto & Kairuddin 2007).

12

3 KERAGAMAN GENETIK GALUR-GALUR PUTATIF
MUTAN GANDUM GENERASI M5
DI LINGKUNGAN OPTIMUM
Abstract
The cultivation of wheat in Indonesia has been faced with problems
such as high temperatures which has a negative effect on yield. The aims of
the research were to obtain informations on performance, genetic
variability and heritability of some agronomic characters of M5 wheat used
augmented design. Genetic meterials evaluated consist of 98 M5 putative
mutant lines and six varieties as check, namely: Dewata, Selayar, Oasis,
Rabe, Kasifbey, dan Basribey. The research was conducted at Research
Station of BALITHI, Cipanas. Data analysis revealed highly significant for
traits observed among mutant lines and check varieties evaluated. High
heritability estimates were observed for plant height, tiller number, days to
flowering, days to maturity, spike lenght, spikelet number, unfilled grain
number, seed number per spike, seed weight per spike, and seed weight per
plant. The estimated genotypic coefficient of variation (GCV) were high for
unfilled grain number and seed weight per plant. Based on seed weight per
plant were selected 30 best putative mutant lines.
Key word: heritability, putative mutant lines, Triticum aestivum
Abstrak
Budidaya gandum di Indonesia masih menghadapi beberapa kendala,
di antaranya suhu lingkungan yang cukup tinggi sehingga berdampak
negatif pada daya hasil. Tujuan penelitian ini untuk menduga keragaan,
keragaman genetik dan nilai heritabilitas beberapa karakter agronomi
genotipe M5 gandum menggunakan rancangan perbesaran. Material genetik
yang diuji terdiri dari 98 galur putatif mutan M5 dan enam varietas sebagai
cek, Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey. Penelitian
dilaksanakan di Kebun Percobaan BALITHI, Cipanas. Analisis data
menunjukkan pengaruh nyata untuk karakter-karakter yang diamati antara
galur mutan dan varietas pembanding. Nilai duga heritabilitas tinggi
terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, umur
panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret hampa, jumlah biji per
malai, bobot biji per malai dan bobot biji per tanaman. Nilai duga koefisien
keragaman genetik (KKG) tinggi terdapat pada karakter jumlah floret
hampa dan bobot biji per tanaman. Berdasarkan bobot biji per tanaman dan
persentase floret hampa diperoleh 30 galur putatif mutan terbaik.
Kata kunci: galur putatif mutan, heritabilitas, Triticum aestivum

13
3.1 Pendahuluan
Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman alloheksaploid
yang berasal dari daerah subtropis (Sleeper & Poehlman 2006).
Pengembangan gandum di Indonesia lebih diarahkan untuk dataran tinggi
dengan ketinggian lebih dari 800 m di atas permukaan laut (dpl) dan suhu
sekitar 22–24 oC.
Terbatasnya jumlah varietas gandum yang mampu beradaptasi dengan
baik di da