Sustainability Assessment-Based Management of Marine Protected Areas Community Sebesi Island South Lampung Selatan.

(1)

KAJIAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN

DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT

PULAU SEBESI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

ITA KARLINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis, Kajian Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Pulau Sebesi Kabupaten lampung selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan dari pembimbing dan belum di ajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau di kutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah di sebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011

Ita Karlina


(3)

ABSTRACT

ITA KARLINA, Sustainability Assessment-Based Management of Marine Protected Areas Community Sebesi Island South Lampung Selatan. Under direction of ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and GATOT YULIANTO.

Sebesi Island is an area selected as a model for the development of community-based MPAs. DPL model development was undertaken to provide examples of handling damage to coral reefs that are intended to: 1) protecting coral reefs, 2) increased enhancement community participation in management of coral reefs, 3) management of coral reefs in accordance with ecological benefits. Research Assessment sustainability of Community-based Marine Protected Areas Management Community Based in Sebesi Island South Lampung regency aims to 1) analyze the sustainability of the MPAs management of MPAs and 2) provide a strategy of sustainable management of MPAs and community-based. Primary data collection is done through sampling, direct observation, of field conditions, the spread of questionnaires, interviews open interviews (open-ended) and in-depth interviews at the sites. Secondary data collected by tracing the various libraries and related institutions. Sustainability management of MPAs using analytical Flag modelling. These results are generally, quite sustainable DPL Sebesi Island quite sustainable, Flag modelling analysis showed that indicates DPL unsustainability attribute are most of the DPL 2 and DPL 3. The Alternative strategy is the integrated management system so that all the limitations of society can be overcome.


(4)

ITA KARLINA, Kajian Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Pulau Sebesi Kabupaten lampung selatan. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan GATOT YULIANTO.

Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan tropik Yang dapat memberikan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menyebutkan bahwa ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Sementara Supriharyono (2000) menyatakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi banyak biota laut.

Ekosistem terumbu karang peka terhadap perubahan lingkungan yang berupa kerusakan terutama karena aktivitas yaitu dengan adanya penangkapan ikan tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan sianida serta terjadi tindakan destruktif. Agar ekosistem terumbu karang kembali tumbuh dan berkembang biak dalam kehidupan yang seimbang, maka diperlukan upaya perlindungan terumbu karang misalnya adanya pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL). Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat merupakan salah satu upaya dalam meminimalkan tekanan-tekanan kegiatan manusia terhadap ekosistem terumbu karang.

Pulau Sebesi merupakan salah satu daerah terpilih sebagai lokasi pengelolaan model DPL. DPL Pulau Sebesi terbentuk berdasarkan SK Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi No 140/02/KDTPS/ 16.01/I/2002. Adanya inisiasi dan dukungan masyarakat yang tinggi maka pengelolaan DPL Pulau Sebesi ini merupakan pengelolaan berbasis masyarakat. Keberhasilan DPL Pulau Sebesi dalam pengelolaanya didasarkan pada asumsi untuk melindungi nilai-nilai sumberdaya yang ada di Pulau Sebesi. Tujuan penelitian adalah 1). Menganalisis keberlanjutan pengelolaan DPL Pulau Sebesi dan 2). Menentukan strategi pengelolaan DPL Pulau Sebesi berbasis masyarakat.

Penelitian ini dilaksanakan di DPL Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada bulan Juni 2010 sampai bulan Juni 2011. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yang melalui observasi, survey dan wawancara dengan masyarakat dan stakeholder/pengelola. Sedangkan data sekunder merupakan jenis data yang diperoleh dari studi kepustakaan di dinas atau instansi terkait dalam bentuk laporan dan publikasi.

Pengambilan data penutupan terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dengan menentukan bentuk pertumbuhan (lifeform) karang dan persentase luasan penutupan karang (English et al. 1994). Pengambilan data ikan karang menggunakan metode Underwater Visual Census (UVC) (English et al. 1994).


(5)

Metode penarikan contoh dalam penentuan responden dalam rangka menggali data yang dibutuhkan ditentukan dengan teknik memilih secara purposive sampling dengan responden yang dipilih sesuai dengan kebutuhan data penelitian. Penentuan jumlah responden didasarkan pada pengambilan sampel sebesar 10% dari populasi atau minimal 30 orang (Azwar S 1999 in Anggraini 2009), sehingga responden yang terpilih telah merepresentasikan dari masing-masing stakeholder

Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan terhadap pengelolaan DPL Pulau Sebesi dilakukan dengan teknik wawancara dan hasil dari jawaban responden di analisis secara deskriftif kuantitatif. keberlanjutan dianalisis berdasarkan frekwensi kombinasi bendera (flag modelling) yang merupakan persyaratan dalam menentuakan keberlanjutan pengelolaan kemudian dilakukan kajian. Analisis ini dilakukan dengan tahapan yang sama sebagaimana dilakukan oleh Nijkamp dan Ouwersloot (1997).

Berdasarkan hasil analisis ekologi Kawasan DPL mengalami peningkatan persentase terumbu karang dibandingkan tahun sebelum dibentuk DPL. kondisi sosial ekonomi dan secara umum masayarakat paham akan pngelolaan DPL Pulau sebesi, namun pada tahap partisipasi pengelolaan hanya sedikit yang berpartisipasi aktif. Hal ini di karenakan tidak adanya lagi perdampingan oleh motivator dalam tahap pengelolaan, sehingga dalam jangka panjang dipastikan partisipasi masyarakat akan terus menurun bila tidak ada tindak lanjut dari para motivator. Pendapatan masyarakat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sangat tidak mendukung untuk keberlanjutan pendidikan. Bentuk partisipasi pengelola terhadap pengelolaan DPL Pulau Sebesi didapatkan bahwa yang berpartisipasi aktif sebesar 44% hal ini menunjukkan bahwa partisipasi kelompok pengelola DPL Pulau Sebesi kurang maksimal dilakukan. kelembagaan DPL Pulau Sebesi dalam hal aturan perlindungan DPL Pulau Sebesi yaitu yang tidak begitu paham 66.67%. Kondisi seperti ini menggambarkan tingkat pelanggaran yang terjadi di DPL Pulau Sebesi diduga dilakukan oleh penduduk dari luar Pulau Sebesi. Kelembagaan DPL Pulau Sebesi dalam hal konflik yaitu penduduk yang bekerja sebegai nelayan, dimana ada beberapa nelayan kurang mengetahui zona-zona penangkapan disebabkan tanda batas DPL Pulau Sebesi yang dulunya ada namun sekarang tidak ada lagi.

Adanya peraturan dalam kaitan perlindungan sumberdaya adalah peraturan informal yang berarti peraturan di buat dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Hasil wawancara dengan pihak pengelola bahwa DPL Pulau sebesi menerima pendanaan terkahir pada tahun 2006, dari tahun 2007 hingga sekarang tidak ada masukan pendanaan dari pihak manapun. Permodelan Bendera (flag modelling) dengan kriteria ekologi DPL, sosial ekonomi dan kelembagaan. DPL 2 dan 3 merupakan DPL yang mempunyai atribut dengan frekuensi warna merah terbanyak sehingga menunjukkan ketidak berlanjutan paling banyak dibanding DPL 1 dan 4. Sehingga strategi yang bisa diterapkan adalah pembentukan kembali struktur kelembagaan DPL Pulau Sebesi dan adanya sistem pengelolaan secara terpadu agar semua keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dapat diatasi.


(6)

1. Dilarang mngutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentu apapun tanpa izin IPB


(7)

Judul Tesis : Kajian Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan

Nama Mahasiswa : Ita Karlina Nomor Pokok : C252090011

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Ir. Gatot Yulianto, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr


(8)

Sesungguhnya hanya karena berkat dan karunia-Nya jualah maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kajian Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Pelindungan Laut Pulau Sebesi Berbasis Masyarakat Kabupaten Lampung Selatan“. Tesis disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Sains pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Tesis ini berisikan kajian keberlanjutan Pengelolaan Daerah Pelindungan Laut Berbasis Masyarakat, dan tingkat keberlanjutan berdasarkan nilai ambang batas kritis yang dikemas dalam sebuah permodelan bendera (Flag modeling).

Peran yang sangat besar di berikan oleh pihak kepada penulis sejak proses masa perkuliahan sampai pada penyelesaian tesis, maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengaturkan terimakasih dan hormat yang sebesar-besarnya pada:

1. Bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi. M.Sc dan Bapak Ir. Gatot Yulianto M.Si sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing dengan penuh kesabaran meluangkan waktu untuk senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan serta masukan pada penulis sejak penyusunan hingga akhir penyelesaian tesis. 2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc yang telah bersedia sebagai penguji

luar komisi terimakasih atas segala arahan dan masukan pada penulis.

3. Prof. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascsarjana IPB. Serta seluruh Dosen pengajar dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Keluarga tercinta atas do’a dan dukungannya yang begitu besar hingga pada tahap penyelesaian tesis ini. Terkusus buat Ayahanda Tulam Efendi dan Ibunda Ida roya, Ibunda Sumarmi (Alm), Adik tercinta Endang Resturina dan semua keluarga besar penulis.

5. Keluarga besar Pulau Sebesi yaitu Ahyar sekeluarga dan dan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi.

6. Rekan-rekan SPL 2009 terimaksih atas dorongan dan kerjasama seta kebersamaannya selama ini.

7. Rekan-rekan SPL 2008 Yar Johan M.Si, terimakasih atas kerjasamanya dan masukan, serta rekan-rekan yang lainnya terimakasih atas semangat dan do’anya hingga akhir penyelesaian tesis ini.

Dengan kerendahan hati penulis mengharapkan masukan dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini. Sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2011 Penulis


(9)

(10)

Penulis dilahirkan di Lumajang Propinsi Jawa Timur tanggal 28 September 1986 dari Ayah Tulam Efendi dan Ibu Sumarmi (Alm). Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pada tahun 2008 Penulis Berhasil menyelesaikan program Sarjana Ilmu Kelautan di Fakultan Perikanan dan Kelautan Universitas Riau. Tahun 2009 penulis melanjutkan Studi pada Program Magister Sains di program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(11)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN... xxv

1. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 4

1.5 Kerangka Pikir Penelitian... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Ekosistem Terumbu Karang... 7

2.2 Ikan Karang ... 8

2.3 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat ... 9

2.4 Kelembagaan ... 11

2.5 Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut... 12

2.6 Penelitian Terdahulu... 14

3. METODOLOGI PENELITIAN... 15

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 15

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 15

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 15

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 17

3.4.1 Data Perameter Lingkungan ... 17

3.4.2 Data Komunitas Terumbu Karang... 17

3.4.3 Membandingkan Kondisi Terumbu Karang t0, t1 dan t2... 19

3.4.4 Data Ikan Karang... 19

3.4.5 Data Sosial Ekonomi dan Kelembagaan... 19

3.5 Analisis Data ... 20

3.5.1 Analisis Kondisi Biofisik... 20

3.5.2 Analisis Sosial Ekonomi... 21

3.5.3 Analisis Kelembagaan ... 22

3.5.4 Keberlanjutan pengelolaan DPL dengan Menggunakan Permodelan Bendera (Flag Modelling)... 23

3.6 Defenisi Operasional ... 26

4. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 27

4.1 Letak Geografis dan Administrasi Pulau Sebesi ... 27


(12)

4.2.1 Kapal Motor/Perahu... 27

4.2.1 Jenis Alat Tangkap ... 27

4.3 Iklim dan Musim Penangkapan ... 28

4.4 Penduduk ... 29

4.5 Sarana dan Prasarana ... 30

4.6 Kedaan Umum DPL Pulau Sebesi ... 34

5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1 Kondisi Parameter Kualitas Perairan Pulau Sebesi ... 37

5.2 Kondisi Terumbu Karang DPL Pulau Sebesi ... 39

5.2.1 Kondisi Terumbu Karang DPL 1 (Sianas)... 39

5.2.2 Kondisi Terumbu Karang DPL 2 (Gosong Sawo)... 40

5.2.3 Kondisi Terumbu Karang DPL 3 (Pulau Umang) ... 41

5.2.4 Kondisi Terumbu Karang DPL 4 (Kayu Duri) ... 42

5.3 Perbandingan antara pengamatan Waktu to, t1 dan Kondisi Sekarang ... 43

5.3.1 Kondisi Ikan Karang... 45

5.4 Analisis Sosial Ekonomi... 47

5.4.1 Aspek Sosial... 47

5.4.2 Persepsi Masyarakat ... 48

5.4.3 Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan DPL ... 49

5.4.4 Aspek Ekonomi ... 51

5.5 Analisis Kelembagaan ... 53

5.5.1 Situasi sebagai sumber interdepedensi dalam pengelolaan DPL berbasis masyarakat Pulau Sebesi ... 53

5.5.2 Analisis Struktur kelembagaan dalam pengelolaan DPL di Pulau Sebesi... 54

5.6 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebsesi... 58

5.6.1 Penyusunan Indikator dan Nilai Batas Kritis (Crritical thershold Value/CTV) ... 58

5.6.2 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Dpl Pulau Sebesi Dengan Flag Modelling ... 59

5.7 Strategi Kebijakan Pengelolaan DPL Berdasarkan Analisis Flag Modelling dan Analisis Kelembagaan... 61

5.7.1 Kebijakan Ekologi ... 61

5.7.2 Kebijakan Sosial Ekonomi ... 62

5.7.3 Kebijakan Kelembagaan... 62

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1 Kesimpulan ... 65

6.2 Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA... 67


(13)

xxi

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Penelitian Terdahulu ... 14 2. Jenis dan Sumber Data... 17 3. Data parameter lingkungan ... 17 4. Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu

karang berdasarkan life form karang dan kodenya... 18 5. Kategori kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan

karang hidup, Data kondisi penutupan terumbu karang yang

diperoleh dari persamaan diatas... 20 6. Instrumen Skala Likert yang telah dimodifikasi... 22 7. Instrumen Skala Likert yang telah dimodifikasi menjadi tiga alternative .. 26 8. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di

Pulau Sebesi Tahun 2010... 30 9. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Pulau

Sebesi Tahun 2010... 30 10. Parameter kualitas perairan setiap stasiun pengamatan ... 37 11. Perbandingan persentase tutupan terumbu karang t0, t1 dan kondisi

sekarang 2010 ... 44 12. kelompok ikan karang DPL Pulau Sebesi... 45 13. Persepsi masyarakat mengenai arti pentingnya ekosistem terumbu karang 48 14. Persepsi masyarakat mengenai kondisi terumbu karang dan pengeloaannya

saat ini ... 48 15. Persepsi masyarakat mengenai manfaat Daerah Perlindungan Laut bagi

Nelayan ... 49 16. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan Daerah


(14)

17. Partisipasi masyarakat dalam Musyawarah yang berkaitan dengan

Pengeloaan daerah perlindungan laut... 51 18. Partisipasi masyarakat dalam Pengawasan... 51 19. Aturan representative di dalam kawasan DPL Pulau Sebesi

mengacu pada Kepdes Tejang tahun 2002 ... 57 20. Nilai Ambang Batas Kritis (Crritical thershold Value/CTV) setiap

atribut keberlanjutan pengelolaan DPL 1, DPL 2, DPL 3 dan


(15)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pikir penelitian... 6 2. Peta lokasi stasiun penelitian Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan ... 16 3 Rentang Nilai CTV berdasarkan warna (Nijkamp dan Ouwersloot 1997) .... 25 4. (a) Pelabuhan Canti, (b) Dermaga Desa Tejang, (c) Dermaga

Dusun Regahan Lada) dan (d) Dermaga Dusun Segenom. ... 31 5. (a ) Puskesmas Pembantu, (b) ) Posyandu Pulau Sebesi... 32 6. PLN Pulau Sebesi... 32 7. (a) TK Pulau Sebesi, (b) Sekolah Dasar (SD), (c) SLTP dan SMK

Kelautan, (d) TPK II Paud di Regan Lada 35 ... 33 8. Zonasi Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi di empat lokasi yang

Mewakili... 35 9. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan

substrat pada kedalaman 3 meter dan 10 meter di DPL 1 (Sianas)... 39 10. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan

substrat pada kedalaman 3 meter di DPL 2 (Gosong Sawo) ... 40 11. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan

substrat pada kedalaman 3 meter dan 10 meter di DPL 3 (Pulau Umang) .. 41 12. Persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan

substrat pada kedalaman 3 meter dan 10 meter di DPL 4 (Kayu Duri)... 42 13. Grafik persentase tutupan karang hidup pada t0,t1,t2 untuk setiap

DPLSuhendra (2002), Muttaqin(2006), Data primer diolah 2010... 44 14. Sampah-Sampah yang di buang di sekitar pantai di salah satu

Dusun Pulau Sebesi... 53 15. Keberlanjutan kriteria ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan... 59 16. Keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi ... 60


(16)

(17)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Tabulasi data persen tutupan karang berdasarkan bentuk pertumbuhan

(life form) dan komponen lainnya ... 75

2. Jumlah dan jenis lifeforms terumbu karang di lokasi penelitian Pulau Sebesi ... 76

3. Tabulasi data Jenis-jenis ikan karang, Indeks Keragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominasi (C) yang teramati pada terumbu karang di DPL 1 pulau Sebesi (Juli 2010)... 78

4. Tabulasi data Jenis-jenis ikan karang, Indeks Keragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominasi (C) yang teramati pada terumbu karang di DPL 2 pulau Sebesi (Juli 2010)... 79

5. Tabulasi data Jenis-jenis ikan karang, Indeks Keragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominasi (C) yang teramati pada terumbu karang di DPL 3 pulau Sebesi (Juli 2010)... 80

6. Tabulasi data Jenis-jenis ikan karang, Indeks Keragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominasi (C) yang teramati pada terumbu karang di DPL 4 pulau Sebesi (Juli 2010)... 81

7. Analisis Permodelan Bendera (Flag modeling) ... 82

8. Photo Terumbu Karang di Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi ... 83

9. Kuisioner Untuk Kelembagaan ... 87


(18)

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algaeberkapur. Sumich 1992 dalamAprilliani 2009, menjelaskan bahwa adanya fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 + H20+CO2

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk teumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Zooxanthellae adalah suatu jenis algae yang bersimbiosis dalam jaringan karang. Zooxanthellae ini melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen yang berguna untuk kehidupan hewan karang. di lain pihak, hewan karang memberikan tempat berlindung bagi zooxanthellae. Cahaya matahari memiliki peranan penting dalam proses pembentukan terumbu karang (Thamrin 2006).

Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia (Claudet 2006).

Secara global, sebaran terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20°C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18°C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25°C, dan dapat mentoleransi suhu sampai dengan 36-40°C (Claudet 2006).

Salinitas merupakan faktor pembatas dalam penyebaran terumbu karang. Terumbu karang dapat hidup pada kisaran 32-35‰ namun ada juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai 42‰ (Thamrin 2006). Nontji (1987)


(19)

8

menemukan bahwa toleransi organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27-42‰.

Cahaya dan Kedalaman merupakan Kedua faktor yang berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellaeyang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Claudet 2006).

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni rumah bagi lebih dari 25% dari semua spesies ikan laut yang diketahui sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata (Pelletier et al 2005).

Terumbu karang diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan dalam produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjuatan (Claudet 2006).

2.2 Ikan Karang

Ikan karang merupakan jenis ikan yang habitat umumnya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak. (Brokovich et al2006). Keberadaan ikan-ikan karang ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan dengan persentase tutupan karang hidup (McClanahan and Graham 2005).

Beberapa bentuk pertumbuhan karang yang beragam seperti bercabang, pipih, meja, daun, padat memungkinkan adanya celah atau ruang. Celah dan ruang yang ada inilah yang dijadikan habitat serta tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan dan mencari makan, maupun tempat bersembunyi oleh ikan demersal maupun ikan pelagis yang mempunyai nilai pasar (carr et al. 2002).


(20)

McClanahan and Graham (2005) menuturkan umumnya ikan habitatnya menetap pada daerah terumbu karang, jarang ikan-ikan tersebut keluar untuk mencari makan ataupun berlindung di daerah lain. Batas wilayah tersebut didasarkan pada pasokan makanan, keberadaan predator, daerah tempat hidup, dan derah pemijahan. Ikan karang terbagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ikan target adalah ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti famili Lutjanidae, Serranidae, Haemulidae; (2) kelompok jenis ikan indikator yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator kondisi kesuburan terumbu karangn misalnya chaetodontidae. 2.3 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

Pengelolaan lingkungan laut terkait dengan interaksi sosial, yang mana dalam pengambilan keputusan agar sesuai dengan tujuan yang di harapkan tak lepas dari beberapa faktor utama yaitu kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan (Douvere. 2008, Pemeroy dan Fanny. 2008 ). Partisipasi aktif satakeholder dalam kelembagaan merupakan bagian dari keberhasilan suatu pengelolaan lingkungan laut (Pemeroy dan Fanny. 2008). Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat merupakan kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et al. 2003)

Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain dikarenakan efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya (Charles et al. 2009).


(21)

10

Mengingat pentingnya sumber daya laut untuk manusia, maka semakin bertambah jumlah penduduk, maka akan semakin meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya (Strub et al. 2011). Dengan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya maka akan memberikan tekanan-tekanan terhadap sumberdaya, setiap faktor yang mempengaruhi ekosistem sumberdaya juga mempengaruhi sosial dan ekonomi masyarakat, dengan demikian setiap pengguna sumberdaya di perlukan pemahaman yang baik agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang berkelanjutan (Alpizar 2006).

Daerah perlindungan berbasis masyarakat merupakan pendekatan dalam upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal akan kebutuhan dimasa sekarang hingga masa akan datang dengan mengutamakan aspirasi mereka, menjadikan mereka berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya lokal, dan meningkatkan kesehjatraan ekonomi (Vodouhe et al.2010)

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Iskandar 2001). Pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan daerah perlindungan laut merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan (Pemda Lampung 2000).

Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai (Charles et al. 2009).

Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan daerah perlindungan laut ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini.


(22)

Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif (Dahuri 2003). Menurut UU No. 32/2004, Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut. Otonomi daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif (Dahuri 2003).

Glaser (2010) menguraikan adanya pengelolaan DPL berbasis masyarakat dengan keragaman ekosistem sumber daya yang dikelolanya, agar menjadi efektif maka dilakukan pengelolaan secara adaptif. Dalam rangka mencapai stabilitas dan kemampuan beradaptasi, unsur-unsur lokal yang membentuk inti adaptif perlu diidentifikasi dan dievaluasi secara spesifik.

2.4 Kelembagaan

Adanya sumberdaya yang komplek, beragam dan rentan terhadap tekanan-tekanan yang ada dan bersifat dinamis, maka dalam suatu pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan harus ada kelembagaan yang di bentuk berdasarkan proses sosial (Berghofer et al. 2008). Syahyuti (2003) menyatakan bahwa kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1) berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu.

Pelembagaan nilai-nilai dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan


(23)

12

perundangan, peraturan daerah, tata ruang wilayah pesisir dan lautan, dan bentuk-bentuk lain yang dihasilkan oleh lembaga tersebut (Dahuri 2003).

Menurut Dahuri (2003), pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan beserta hasilnya adalah merupakan proses politik, dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keefektifan daerah perlindungan laut dan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholderstersebut.

Pengelolaan DPL berbasis masyarakat dibentuk berdasarkan inisaiasi masyarakat, bila tidak ada tindak lanjut motivator maka pengelolaan tidak akan berkelanjutan, dikarenakan terkait kebutuhan masyarakat maka dalam jangka panjang masyarakat akan melakukan aktivitas di zona-zona yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan (Fernandez 2007).

Tulungen et al. (2003) menyatakan dalam konteks pengelolaan daerah perlindungan laut, inisiator program telah membentuk sebuah lembaga baru yang disebut dengan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut Adapun tugas dari badan pengelola ini adalah: (1) Membuat perencanaan pengelolaan daerah perlindungan laut yang disetujui oleh masyarakat melalui keputusan bersama; (2) Bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk Pengelolaan Wilayah Perlindungan Laut yang berkelanjutan; (3) Mengatur, menjaga kelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat; (4) Melakukan pengawasan dan berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini; (5) Melaksanakan penyitaan, dan pemusnahan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama masyarakat.

2.5 Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Jenning (2009) menguraikan Fungsi utama dalam pengelolaan adalah untuk memodifikasi tekanan-tekanan manusia terhadap ekosistem sumberdaya maka berbagai model pengelolaan telah dilakukan, salah satunya adalah pembentukan DPL, telah diusulkan untuk mendukung pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Daerah Perlindungan laut diakui di seluruh dunia, sebagai desaign untuk melindungi


(24)

sumberdaya dengan cara melindungi habitatnya, serta dapat menyelesaikan masalah konflik sumberdaya dan salah satu upaya pengembalikan sumberdaya yang telah tereklpoitasi serta kawasan yang terdegradasi (Maliao et al.2004).

Bila dilihat dari elemen evaluasi menurut Hockings dan Dudley (2006), sebuah pengelolaan kawasan konservasi dikatakan efektif atau tidak, dapat diketahui pada elemen keluaran (output) dan capaian (outcome) dari proses pengelolaan. Ketika keluaran dan pencapaian sesuai dengan perencanaan untuk mencapai tujuan konservasi maka pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan efektif. Tujuan daerah perlindungan laut adalah untuk melindungi ekosistem terumbu karang sebagai bagian keanekaragaman hayati.

Keluaran dari program pengelolaan kolaboratif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat sehingga menghasilkan capaian berupa penurunan tekanan terhadap terumbu karang, maka pengelolaan daerah perlindungan laut telah berjalan dengan efektif (Made et al. 2007).

Sangat di perlukan bagi suksesnya pegelolaan berkelanjutan adalah kontinuitas dan nilai-nilai sumber daya alam, dalam hal ini sumberdaya hayati dan lingkungannya salah satunya adalah partisipatif masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal sangat efektif dalam melindungi habitat flora dan fauna, untuk itu perlu adanya menciptakan keadaan yang baik bagi sosial ekonomi masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, yaitu dapat meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, pengadaan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang sehat serta peningkatan upaya bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Hockings dan Dudley 2006).

Bila keadaan sosial-ekonomi masyarakat baik maka pengelolaan DPL akan baik, sebaliknya bila di sana-sini terjadi kesenjangan sosial-ekonomi maka DPL tidak akan berhasil dengan maksimum, karena tidak ada kekompakan antar masyarakat. Dengan demikian perlu adanya pemahaman sosial ekonomi dan budaya masyarakat, karena pada dasarnya manusia adalah pemikir, perencana dan penyelenggara kelestarian lingkungan sehingga pada akhirnya akan menunjang pembangunan di kawasan lindung laut yang seimbang antara ekologis, sosial dan ekonomi (Made et al.2007).


(25)

14

2.6 Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dilakukan di lokasi penelitian maupun pada kasus yang terjadi di lokasi lain, disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1 Penelitian Terdahulu Peneliti

dan Tahun Judul Alat Analisis Sumber laporan Hasil yang diperoleh

1 2 3 4

Riana

(2010) Efektifitas dan keberlanjutan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (kasus DPL-bm blongko, minahasa selatan, DPL-bm pulau sebesi, lampung selatan dan Apl pulau harapan Kepulauan seribu)

- Analisis De garmo untuk efektifitas DPL - Analisis

Keberlanjutan DPL Dengan

Muti dimensional scaling

- Pengelolaan daerah perlindungan laut untuk DPL Bongko dan APL Pulau Harapan belum efektif, sedangkan DPL Pulau Sebesi sudah efektif.

- Tingkat keberlanjutan yang ditunjukkan dengan indeks keberlanjutan (IB-DPL) program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi sudah tinggi, yaitu di atas nilai IB-DPL 50 pada skala 0-100. Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50. - Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk

menjaga keberlanjutan pengembangan DPL adalah: a. Peningkatan kualitas terumbu karang dan

sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui penekanan kegiatan yang merusak lingkungan. b. Pengembangan mata pencaharian alternatif guna

mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

c. Internasilisasi program DPL ke dalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu. d. Pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam

pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi.

Efin Muttaqin (2006) Kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002 dan tahun 2005 di daerah perlindungan laut pulau sebesi lampung

LIT, Persentase peneutupan karang hidup (English et al,

1994)

- Parameter biofisik perairan lokasi penelitian seperti suhu, kecerahan salinitas dan derajat keasaman pada Tahun 2002 dan Tahun 2005 tidak mengalami perubahan yang berarti dan secara keseluruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang.

- Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi pada tahun 2005 mengalami perbaikan dibandingkan kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kondisi terumbu karang pada Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002. - Penurunan indeks mortalitas karang keras (HC)

Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002 ini terjadi karena kerusakan terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia berkurang setelah ditetapkannya DPL


(26)

(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algaeberkapur. Sumich 1992 dalamAprilliani 2009, menjelaskan bahwa adanya fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 + H20+CO2

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk teumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Zooxanthellae adalah suatu jenis algae yang bersimbiosis dalam jaringan karang. Zooxanthellae ini melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen yang berguna untuk kehidupan hewan karang. di lain pihak, hewan karang memberikan tempat berlindung bagi zooxanthellae. Cahaya matahari memiliki peranan penting dalam proses pembentukan terumbu karang (Thamrin 2006).

Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia (Claudet 2006).

Secara global, sebaran terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20°C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18°C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25°C, dan dapat mentoleransi suhu sampai dengan 36-40°C (Claudet 2006).

Salinitas merupakan faktor pembatas dalam penyebaran terumbu karang. Terumbu karang dapat hidup pada kisaran 32-35‰ namun ada juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai 42‰ (Thamrin 2006). Nontji (1987)


(28)

menemukan bahwa toleransi organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27-42‰.

Cahaya dan Kedalaman merupakan Kedua faktor yang berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellaeyang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Claudet 2006).

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni rumah bagi lebih dari 25% dari semua spesies ikan laut yang diketahui sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata (Pelletier et al 2005).

Terumbu karang diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan dalam produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjuatan (Claudet 2006).

2.2 Ikan Karang

Ikan karang merupakan jenis ikan yang habitat umumnya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak. (Brokovich et al2006). Keberadaan ikan-ikan karang ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan dengan persentase tutupan karang hidup (McClanahan and Graham 2005).

Beberapa bentuk pertumbuhan karang yang beragam seperti bercabang, pipih, meja, daun, padat memungkinkan adanya celah atau ruang. Celah dan ruang yang ada inilah yang dijadikan habitat serta tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan dan mencari makan, maupun tempat bersembunyi oleh ikan demersal maupun ikan pelagis yang mempunyai nilai pasar (carr et al. 2002).


(29)

9

McClanahan and Graham (2005) menuturkan umumnya ikan habitatnya menetap pada daerah terumbu karang, jarang ikan-ikan tersebut keluar untuk mencari makan ataupun berlindung di daerah lain. Batas wilayah tersebut didasarkan pada pasokan makanan, keberadaan predator, daerah tempat hidup, dan derah pemijahan. Ikan karang terbagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ikan target adalah ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti famili Lutjanidae, Serranidae, Haemulidae; (2) kelompok jenis ikan indikator yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator kondisi kesuburan terumbu karangn misalnya chaetodontidae. 2.3 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

Pengelolaan lingkungan laut terkait dengan interaksi sosial, yang mana dalam pengambilan keputusan agar sesuai dengan tujuan yang di harapkan tak lepas dari beberapa faktor utama yaitu kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan (Douvere. 2008, Pemeroy dan Fanny. 2008 ). Partisipasi aktif satakeholder dalam kelembagaan merupakan bagian dari keberhasilan suatu pengelolaan lingkungan laut (Pemeroy dan Fanny. 2008). Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat merupakan kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et al. 2003)

Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain dikarenakan efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya (Charles et al. 2009).


(30)

Mengingat pentingnya sumber daya laut untuk manusia, maka semakin bertambah jumlah penduduk, maka akan semakin meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya (Strub et al. 2011). Dengan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya maka akan memberikan tekanan-tekanan terhadap sumberdaya, setiap faktor yang mempengaruhi ekosistem sumberdaya juga mempengaruhi sosial dan ekonomi masyarakat, dengan demikian setiap pengguna sumberdaya di perlukan pemahaman yang baik agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang berkelanjutan (Alpizar 2006).

Daerah perlindungan berbasis masyarakat merupakan pendekatan dalam upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal akan kebutuhan dimasa sekarang hingga masa akan datang dengan mengutamakan aspirasi mereka, menjadikan mereka berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya lokal, dan meningkatkan kesehjatraan ekonomi (Vodouhe et al.2010)

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Iskandar 2001). Pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan daerah perlindungan laut merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan (Pemda Lampung 2000).

Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai (Charles et al. 2009).

Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan daerah perlindungan laut ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini.


(31)

11 Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif (Dahuri 2003). Menurut UU No. 32/2004, Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut. Otonomi daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif (Dahuri 2003).

Glaser (2010) menguraikan adanya pengelolaan DPL berbasis masyarakat dengan keragaman ekosistem sumber daya yang dikelolanya, agar menjadi efektif maka dilakukan pengelolaan secara adaptif. Dalam rangka mencapai stabilitas dan kemampuan beradaptasi, unsur-unsur lokal yang membentuk inti adaptif perlu diidentifikasi dan dievaluasi secara spesifik.

2.4 Kelembagaan

Adanya sumberdaya yang komplek, beragam dan rentan terhadap tekanan-tekanan yang ada dan bersifat dinamis, maka dalam suatu pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan harus ada kelembagaan yang di bentuk berdasarkan proses sosial (Berghofer et al. 2008). Syahyuti (2003) menyatakan bahwa kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1) berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu.

Pelembagaan nilai-nilai dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan


(32)

perundangan, peraturan daerah, tata ruang wilayah pesisir dan lautan, dan bentuk-bentuk lain yang dihasilkan oleh lembaga tersebut (Dahuri 2003).

Menurut Dahuri (2003), pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan beserta hasilnya adalah merupakan proses politik, dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keefektifan daerah perlindungan laut dan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholderstersebut.

Pengelolaan DPL berbasis masyarakat dibentuk berdasarkan inisaiasi masyarakat, bila tidak ada tindak lanjut motivator maka pengelolaan tidak akan berkelanjutan, dikarenakan terkait kebutuhan masyarakat maka dalam jangka panjang masyarakat akan melakukan aktivitas di zona-zona yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan (Fernandez 2007).

Tulungen et al. (2003) menyatakan dalam konteks pengelolaan daerah perlindungan laut, inisiator program telah membentuk sebuah lembaga baru yang disebut dengan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut Adapun tugas dari badan pengelola ini adalah: (1) Membuat perencanaan pengelolaan daerah perlindungan laut yang disetujui oleh masyarakat melalui keputusan bersama; (2) Bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk Pengelolaan Wilayah Perlindungan Laut yang berkelanjutan; (3) Mengatur, menjaga kelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat; (4) Melakukan pengawasan dan berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini; (5) Melaksanakan penyitaan, dan pemusnahan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama masyarakat.

2.5 Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Jenning (2009) menguraikan Fungsi utama dalam pengelolaan adalah untuk memodifikasi tekanan-tekanan manusia terhadap ekosistem sumberdaya maka berbagai model pengelolaan telah dilakukan, salah satunya adalah pembentukan DPL, telah diusulkan untuk mendukung pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Daerah Perlindungan laut diakui di seluruh dunia, sebagai desaign untuk melindungi


(33)

13 sumberdaya dengan cara melindungi habitatnya, serta dapat menyelesaikan masalah konflik sumberdaya dan salah satu upaya pengembalikan sumberdaya yang telah tereklpoitasi serta kawasan yang terdegradasi (Maliao et al.2004).

Bila dilihat dari elemen evaluasi menurut Hockings dan Dudley (2006), sebuah pengelolaan kawasan konservasi dikatakan efektif atau tidak, dapat diketahui pada elemen keluaran (output) dan capaian (outcome) dari proses pengelolaan. Ketika keluaran dan pencapaian sesuai dengan perencanaan untuk mencapai tujuan konservasi maka pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan efektif. Tujuan daerah perlindungan laut adalah untuk melindungi ekosistem terumbu karang sebagai bagian keanekaragaman hayati.

Keluaran dari program pengelolaan kolaboratif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat sehingga menghasilkan capaian berupa penurunan tekanan terhadap terumbu karang, maka pengelolaan daerah perlindungan laut telah berjalan dengan efektif (Made et al. 2007).

Sangat di perlukan bagi suksesnya pegelolaan berkelanjutan adalah kontinuitas dan nilai-nilai sumber daya alam, dalam hal ini sumberdaya hayati dan lingkungannya salah satunya adalah partisipatif masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal sangat efektif dalam melindungi habitat flora dan fauna, untuk itu perlu adanya menciptakan keadaan yang baik bagi sosial ekonomi masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, yaitu dapat meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, pengadaan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang sehat serta peningkatan upaya bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Hockings dan Dudley 2006).

Bila keadaan sosial-ekonomi masyarakat baik maka pengelolaan DPL akan baik, sebaliknya bila di sana-sini terjadi kesenjangan sosial-ekonomi maka DPL tidak akan berhasil dengan maksimum, karena tidak ada kekompakan antar masyarakat. Dengan demikian perlu adanya pemahaman sosial ekonomi dan budaya masyarakat, karena pada dasarnya manusia adalah pemikir, perencana dan penyelenggara kelestarian lingkungan sehingga pada akhirnya akan menunjang pembangunan di kawasan lindung laut yang seimbang antara ekologis, sosial dan ekonomi (Made et al.2007).


(34)

2.6 Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dilakukan di lokasi penelitian maupun pada kasus yang terjadi di lokasi lain, disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1 Penelitian Terdahulu Peneliti

dan Tahun Judul Alat Analisis Sumber laporan Hasil yang diperoleh

1 2 3 4

Riana

(2010) Efektifitas dan keberlanjutan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (kasus DPL-bm blongko, minahasa selatan, DPL-bm pulau sebesi, lampung selatan dan Apl pulau harapan Kepulauan seribu)

- Analisis De garmo untuk efektifitas DPL - Analisis

Keberlanjutan DPL Dengan

Muti dimensional scaling

- Pengelolaan daerah perlindungan laut untuk DPL Bongko dan APL Pulau Harapan belum efektif, sedangkan DPL Pulau Sebesi sudah efektif.

- Tingkat keberlanjutan yang ditunjukkan dengan indeks keberlanjutan (IB-DPL) program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi sudah tinggi, yaitu di atas nilai IB-DPL 50 pada skala 0-100. Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50. - Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk

menjaga keberlanjutan pengembangan DPL adalah: a. Peningkatan kualitas terumbu karang dan

sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui penekanan kegiatan yang merusak lingkungan. b. Pengembangan mata pencaharian alternatif guna

mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

c. Internasilisasi program DPL ke dalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu. d. Pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam

pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi.

Efin Muttaqin (2006) Kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002 dan tahun 2005 di daerah perlindungan laut pulau sebesi lampung

LIT, Persentase peneutupan karang hidup (English et al,

1994)

- Parameter biofisik perairan lokasi penelitian seperti suhu, kecerahan salinitas dan derajat keasaman pada Tahun 2002 dan Tahun 2005 tidak mengalami perubahan yang berarti dan secara keseluruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang.

- Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi pada tahun 2005 mengalami perbaikan dibandingkan kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kondisi terumbu karang pada Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002. - Penurunan indeks mortalitas karang keras (HC)

Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002 ini terjadi karena kerusakan terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia berkurang setelah ditetapkannya DPL


(35)

(36)

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algaeberkapur. Sumich 1992 dalamAprilliani 2009, menjelaskan bahwa adanya fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 + H20+CO2

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk teumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Zooxanthellae adalah suatu jenis algae yang bersimbiosis dalam jaringan karang. Zooxanthellae ini melakukan fotosintesis menghasilkan oksigen yang berguna untuk kehidupan hewan karang. di lain pihak, hewan karang memberikan tempat berlindung bagi zooxanthellae. Cahaya matahari memiliki peranan penting dalam proses pembentukan terumbu karang (Thamrin 2006).

Keberadaan terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh lingkungan baik yang bersifat fisik maupun kimia. Pengaruh itu dapat mengubah komunitas karang dan menghambat perkembangan terumbu karang secara keseluruhan. Kerusakan terumbu karang pada dasarnya dapat disebabkan oleh faktor fisik, biologi dan karena aktivitas manusia (Claudet 2006).

Secara global, sebaran terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20°C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18°C. Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25°C, dan dapat mentoleransi suhu sampai dengan 36-40°C (Claudet 2006).

Salinitas merupakan faktor pembatas dalam penyebaran terumbu karang. Terumbu karang dapat hidup pada kisaran 32-35‰ namun ada juga terumbu karang yang dapat mentoleransi salinitas sampai 42‰ (Thamrin 2006). Nontji (1987)


(37)

8

menemukan bahwa toleransi organisme karang terhadap salinitas berkisar antara 27-42‰.

Cahaya dan Kedalaman merupakan Kedua faktor yang berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellaeyang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan (Claudet 2006).

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni rumah bagi lebih dari 25% dari semua spesies ikan laut yang diketahui sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata (Pelletier et al 2005).

Terumbu karang diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan dalam produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjuatan (Claudet 2006).

2.2 Ikan Karang

Ikan karang merupakan jenis ikan yang habitat umumnya pada karang hidup, karang mati, pecahan karang dan karang lunak. (Brokovich et al2006). Keberadaan ikan-ikan karang ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang ditunjukkan dengan persentase tutupan karang hidup (McClanahan and Graham 2005).

Beberapa bentuk pertumbuhan karang yang beragam seperti bercabang, pipih, meja, daun, padat memungkinkan adanya celah atau ruang. Celah dan ruang yang ada inilah yang dijadikan habitat serta tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan dan mencari makan, maupun tempat bersembunyi oleh ikan demersal maupun ikan pelagis yang mempunyai nilai pasar (carr et al. 2002).


(38)

McClanahan and Graham (2005) menuturkan umumnya ikan habitatnya menetap pada daerah terumbu karang, jarang ikan-ikan tersebut keluar untuk mencari makan ataupun berlindung di daerah lain. Batas wilayah tersebut didasarkan pada pasokan makanan, keberadaan predator, daerah tempat hidup, dan derah pemijahan. Ikan karang terbagi kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu: (1) ikan target adalah ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti famili Lutjanidae, Serranidae, Haemulidae; (2) kelompok jenis ikan indikator yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator kondisi kesuburan terumbu karangn misalnya chaetodontidae. 2.3 Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat

Pengelolaan lingkungan laut terkait dengan interaksi sosial, yang mana dalam pengambilan keputusan agar sesuai dengan tujuan yang di harapkan tak lepas dari beberapa faktor utama yaitu kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan (Douvere. 2008, Pemeroy dan Fanny. 2008 ). Partisipasi aktif satakeholder dalam kelembagaan merupakan bagian dari keberhasilan suatu pengelolaan lingkungan laut (Pemeroy dan Fanny. 2008). Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat merupakan kawasan pesisisir dan laut yang dapat meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya secara sendiri atau bersama-sama yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut, dan pengelolaannya yang dilakukan secara bersama antara pemerintah, masyarakat dan pihak lain, dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya (Tulungen et al. 2003)

Pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek positif secara ekologi dan dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain dikarenakan efeknya yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan demi kebaikan daerahnya (Charles et al. 2009).


(39)

10

Mengingat pentingnya sumber daya laut untuk manusia, maka semakin bertambah jumlah penduduk, maka akan semakin meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya (Strub et al. 2011). Dengan meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya maka akan memberikan tekanan-tekanan terhadap sumberdaya, setiap faktor yang mempengaruhi ekosistem sumberdaya juga mempengaruhi sosial dan ekonomi masyarakat, dengan demikian setiap pengguna sumberdaya di perlukan pemahaman yang baik agar dapat memanfaatkan sumberdaya yang berkelanjutan (Alpizar 2006).

Daerah perlindungan berbasis masyarakat merupakan pendekatan dalam upaya untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal akan kebutuhan dimasa sekarang hingga masa akan datang dengan mengutamakan aspirasi mereka, menjadikan mereka berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumber daya lokal, dan meningkatkan kesehjatraan ekonomi (Vodouhe et al.2010)

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu upaya yang dimaksudkan untuk memfasilitasi/mendorong/ membantu agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mampu menentukan yang terbaik bagi mereka dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah pesisir (Iskandar 2001). Pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan daerah perlindungan laut merupakan langkah strategis dan tepat, selain karena pertimbangan di atas, juga mengingat begitu banyak dan luas pulau-pulau kecil di propinsi Lampung yang sulit diawasi oleh aparat, karena ketebatasan personil dan peralatan (Pemda Lampung 2000).

Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti perlindungan sumber daya laut yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang. Tanpa peran serta masyarakat dalam setiap kebijakan pemerintah, tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut sulit dicapai (Charles et al. 2009).

Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan daerah perlindungan laut ini searah dengan konsep otonomi daerah dewasa ini.


(40)

Desentralisasi dengan perwujudan otonomi daerah merupakan wahana yang sangat menjanjikan untuk mencapai partisipasi masyarakat yang akan menghasilkan pengelolaan dan pengembangan DPL yang efektif (Dahuri 2003). Menurut UU No. 32/2004, Indonesia telah meninggalkan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang telah berlangsung selama 50 tahun belakangan ini dan melangkah pada suatu paradigma baru, yaitu desentralisasi pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat setempat yang berhubungan langsung dengan sumber laut tersebut. Otonomi daerah dalam hal ini mengubah infrastruktur institusi bagi pengelolaan sumberdaya kelautan dan dalam kasus tertentu membentuk basis institusi bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang partisipatif (Dahuri 2003).

Glaser (2010) menguraikan adanya pengelolaan DPL berbasis masyarakat dengan keragaman ekosistem sumber daya yang dikelolanya, agar menjadi efektif maka dilakukan pengelolaan secara adaptif. Dalam rangka mencapai stabilitas dan kemampuan beradaptasi, unsur-unsur lokal yang membentuk inti adaptif perlu diidentifikasi dan dievaluasi secara spesifik.

2.4 Kelembagaan

Adanya sumberdaya yang komplek, beragam dan rentan terhadap tekanan-tekanan yang ada dan bersifat dinamis, maka dalam suatu pengelolaan yang efektif dan berkelanjutan harus ada kelembagaan yang di bentuk berdasarkan proses sosial (Berghofer et al. 2008). Syahyuti (2003) menyatakan bahwa kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1) berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu.

Pelembagaan nilai-nilai dikembangkan dengan memasyarakatkan hasil-hasil yang dikerjakan oleh lembaga tersebut ke masyarakat yang menjadi target atau pengguna jasa lembaga tersebut. Nilai-nilai yang dilembagakan bisa berupa peraturan


(41)

12

perundangan, peraturan daerah, tata ruang wilayah pesisir dan lautan, dan bentuk-bentuk lain yang dihasilkan oleh lembaga tersebut (Dahuri 2003).

Menurut Dahuri (2003), pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan beserta hasilnya adalah merupakan proses politik, dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keefektifan daerah perlindungan laut dan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholderstersebut.

Pengelolaan DPL berbasis masyarakat dibentuk berdasarkan inisaiasi masyarakat, bila tidak ada tindak lanjut motivator maka pengelolaan tidak akan berkelanjutan, dikarenakan terkait kebutuhan masyarakat maka dalam jangka panjang masyarakat akan melakukan aktivitas di zona-zona yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan (Fernandez 2007).

Tulungen et al. (2003) menyatakan dalam konteks pengelolaan daerah perlindungan laut, inisiator program telah membentuk sebuah lembaga baru yang disebut dengan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Laut Adapun tugas dari badan pengelola ini adalah: (1) Membuat perencanaan pengelolaan daerah perlindungan laut yang disetujui oleh masyarakat melalui keputusan bersama; (2) Bertanggung jawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk Pengelolaan Wilayah Perlindungan Laut yang berkelanjutan; (3) Mengatur, menjaga kelestarian dan pemanfaatan wilayah yang dilindungi untuk kepentingan masyarakat; (4) Melakukan pengawasan dan berhak melakukan penangkapan terhadap pelaku yang terbukti melanggar ketentuan dalam keputusan ini; (5) Melaksanakan penyitaan, dan pemusnahan atas barang dan atau alat-alat yang dipergunakan sesuai ketentuan yang telah disepakati bersama masyarakat.

2.5 Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Jenning (2009) menguraikan Fungsi utama dalam pengelolaan adalah untuk memodifikasi tekanan-tekanan manusia terhadap ekosistem sumberdaya maka berbagai model pengelolaan telah dilakukan, salah satunya adalah pembentukan DPL, telah diusulkan untuk mendukung pengelolaan yang lestari dan berkelanjutan. Daerah Perlindungan laut diakui di seluruh dunia, sebagai desaign untuk melindungi


(42)

sumberdaya dengan cara melindungi habitatnya, serta dapat menyelesaikan masalah konflik sumberdaya dan salah satu upaya pengembalikan sumberdaya yang telah tereklpoitasi serta kawasan yang terdegradasi (Maliao et al.2004).

Bila dilihat dari elemen evaluasi menurut Hockings dan Dudley (2006), sebuah pengelolaan kawasan konservasi dikatakan efektif atau tidak, dapat diketahui pada elemen keluaran (output) dan capaian (outcome) dari proses pengelolaan. Ketika keluaran dan pencapaian sesuai dengan perencanaan untuk mencapai tujuan konservasi maka pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan efektif. Tujuan daerah perlindungan laut adalah untuk melindungi ekosistem terumbu karang sebagai bagian keanekaragaman hayati.

Keluaran dari program pengelolaan kolaboratif adalah peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat sehingga menghasilkan capaian berupa penurunan tekanan terhadap terumbu karang, maka pengelolaan daerah perlindungan laut telah berjalan dengan efektif (Made et al. 2007).

Sangat di perlukan bagi suksesnya pegelolaan berkelanjutan adalah kontinuitas dan nilai-nilai sumber daya alam, dalam hal ini sumberdaya hayati dan lingkungannya salah satunya adalah partisipatif masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat lokal sangat efektif dalam melindungi habitat flora dan fauna, untuk itu perlu adanya menciptakan keadaan yang baik bagi sosial ekonomi masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, yaitu dapat meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar daerah perlindungan laut, pengadaan sarana dan prasarana lingkungan hidup yang sehat serta peningkatan upaya bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat (Hockings dan Dudley 2006).

Bila keadaan sosial-ekonomi masyarakat baik maka pengelolaan DPL akan baik, sebaliknya bila di sana-sini terjadi kesenjangan sosial-ekonomi maka DPL tidak akan berhasil dengan maksimum, karena tidak ada kekompakan antar masyarakat. Dengan demikian perlu adanya pemahaman sosial ekonomi dan budaya masyarakat, karena pada dasarnya manusia adalah pemikir, perencana dan penyelenggara kelestarian lingkungan sehingga pada akhirnya akan menunjang pembangunan di kawasan lindung laut yang seimbang antara ekologis, sosial dan ekonomi (Made et al.2007).


(43)

14

2.6 Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini, baik dilakukan di lokasi penelitian maupun pada kasus yang terjadi di lokasi lain, disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1 Penelitian Terdahulu Peneliti

dan Tahun Judul Alat Analisis Sumber laporan Hasil yang diperoleh

1 2 3 4

Riana

(2010) Efektifitas dan keberlanjutan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat (kasus DPL-bm blongko, minahasa selatan, DPL-bm pulau sebesi, lampung selatan dan Apl pulau harapan Kepulauan seribu)

- Analisis De garmo untuk efektifitas DPL - Analisis

Keberlanjutan DPL Dengan

Muti dimensional scaling

- Pengelolaan daerah perlindungan laut untuk DPL Bongko dan APL Pulau Harapan belum efektif, sedangkan DPL Pulau Sebesi sudah efektif.

- Tingkat keberlanjutan yang ditunjukkan dengan indeks keberlanjutan (IB-DPL) program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi sudah tinggi, yaitu di atas nilai IB-DPL 50 pada skala 0-100. Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50. - Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk

menjaga keberlanjutan pengembangan DPL adalah: a. Peningkatan kualitas terumbu karang dan

sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui penekanan kegiatan yang merusak lingkungan. b. Pengembangan mata pencaharian alternatif guna

mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

c. Internasilisasi program DPL ke dalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu. d. Pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam

pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi.

Efin Muttaqin (2006) Kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002 dan tahun 2005 di daerah perlindungan laut pulau sebesi lampung

LIT, Persentase peneutupan karang hidup (English et al,

1994)

- Parameter biofisik perairan lokasi penelitian seperti suhu, kecerahan salinitas dan derajat keasaman pada Tahun 2002 dan Tahun 2005 tidak mengalami perubahan yang berarti dan secara keseluruhan masih berada dalam kisaran yang layak bagi pertumbuhan biota karang.

- Kondisi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi pada tahun 2005 mengalami perbaikan dibandingkan kondisi ekosistem terumbu karang pada tahun 2002. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan kondisi terumbu karang pada Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002. - Penurunan indeks mortalitas karang keras (HC)

Tahun 2005 dibandingkan Tahun 2002 ini terjadi karena kerusakan terhadap terumbu karang akibat aktivitas manusia berkurang setelah ditetapkannya DPL


(44)

(45)

1

3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah perlindungan Laut Pulau Sebesi Kabupaten Lampung Selatan. Lokasi titik stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi No. 140/02/KDTPS/16.01/I/2002 Pulau Sebesi terpilih sebagai lokasi pengembangan model Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (Wiryawan et al. 2002). Daerah perlindungan laut di Pulau Sebesi terdiri dari empat lokasi yang ada di pesisir Pulau Sebesi yang bernama Kebon Lebar Sianas, Pulau Sawo, Pulau Umang dan Kayu Duri yang di mulai sejak Februari 2002.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah, kapal bermotor, pita berskala, peralatan scuba diving, camera underwater, Global Positioning System, alat tulis bawah air. Bahan yang digunakan adalah kuesioner untuk wawancara dengan kelompok masyarakat dan stakeholder.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari komponen biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Data komponen biofisik diperoleh dari pengamatan langsung di lokasi daerah perlindungan laut, dan data sosial ekonomi serta kelembagaan dilakukan dengan metode wawancara langsung kepada masyarakat dan staf pengelola daerah perlindungan laut. Sedangkan data sekunder ini diperoleh dari instansi seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Selatan, Kantor Kepala Desa Tejang, Lembaga pemerhati Konservasi di lokasi penelitian dan instansi/lembaga terkait lainnya yang relevan dengan penelitian ini. Secara lengkap data primer dan sekunder yang akan dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 2.


(46)

(47)

3 Tabel 1 Jenis dan Sumber Data

No Dimensi Atribut Sumber Data 1 Ekologi Biofisik :

a. Persentase Tutupan Terumbu karang b. Spesies Ikan Target

c. Spesies Ikan Indikator d. Spesies Ikan Major

Primer/Sekunder Primer/Sekunder Primer/Sekunder Primer/Sekunder 2 Sosial Ekonomi a. Persepsi b. Sikap c. Partisipasi d. Pendapatan Primer Primer Primer Primer 3 Kelembagaan a. Keberadaan kelompok Pengelolaa

DPL

b. Tingkat Konflik Pengelolaan DPL c. Pemahaman Masyarakat Tentang

DPL

d. Pelanggaran di DPL e. Pemasukan Primer/Sekunder Primer/Sekunder Primer/Sekunder Sekunder Sekunder 3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Perameter Lingkungan

Data parameter lingkungan yang diperlukan dalam penelitian sebagai berikut:

Tabel 2 Data parameter lingkungan

No Paremeter Satuan Alat dan Bahan Keterangan

1. Posisi Stasiun Ltg-Bjr GPS In situ

2. Kecerahan Meter Secchi disc In situ

3. Suhu oC Termometer In situ

4.

5. SalinitasJenis substrat

o/oo Refractometer In situ

Pasir, Batu dan pecahan-pecahan karang 3.4.2 Data Komunitas Terumbu Karang

Stasiun pengamatan terumbu karang akan dilakukan 4 stasiun pada lokasi penelitian (Gambar 2) yang dianggap mewakili kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter dan kedalaman 10 meter. Transek pengambilan data ditetapkan setelah melihat hasil observasi. Kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter merupakan titik stasiun yang sama dengan


(48)

penelitian-Tabel 3 Daftar penggolongan komponen dasar penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan life form karang dan kodenya

Kategori Kode Keterangan

Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih atau putih kotor

Dead Coral with Alga DCA Karang masih berdiri, struktur skeletal masih terlihat

Acropora Branching ACB Paling tidak 2o Percabangan. Memiliki axial dan radial coralit

Encrusting ACE Biasanya merupakan dasar dari bentuk acropora

belum dewasa

Submassive ACS Tegak dengan bentuk seperti baji

Digitae ACD Bercabang tidak lebih 2o

Tabulate ACT Bentuk seperti meja datar

Non-Acropora Branching CB Paling tidak 2

o Percabangan. Memiliki axial dan radial coralit

Encrusting CE Sebagian besar terikat pada substrat (mengerak). Paling tidak 2opercabangan

Foliose CF Karang terikat pada satu atau lebih titik, seperti daun, atau berupa piring

Massive CM Seperti batu besar atau gundukan

Submassive CS Berbentuk tiang kecil, kenop atau baji

Mushroom CMR Soliter, karang hidup bebas dari genera

Heliopora CHL Karang biru

Millepora CML Karang api

Tubipora CTU Bentuk seperti pipa-pipa kecil

Soft Coral SC Karang bentuj lunak

Sponge SP

Zeanthids ZO

Others OT Ascidians, anemon, georgoniandan lain-lain

Alga Alga

assemblage AA

Corallinee alga CA

Halimeda HA

Macroalga MA

Turf Alga TA

Abiotik Sand S Pasir

Rubble R Patahan karang yang ukuran kecil

Silt SL Pasir berlumpur

Water W Air

Rock RCK Batu

Sumber: English et al.(1994)

Metode yang digunakan untuk penentuan kondisi terumbu karang adalah metode transek garis menyinggung (Linear Intercept Transect) dengan menentukan bentuk pertumbuhan (life form) karang dan persentase luasan penutupan karang dengan melihat nilai kategori (English et al. 1994). Teknis


(1)

91

9. Bagaimana pandangan-tanggapan masyarakat terhadap peraturan-peraturan DPL?

………

4. Pelanggaran 1. Apakah ada masayarakat lokal atau masyarakat luar yang melanggar peraturan-peraturan tersebut?

a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu

5 3 1 2. Jika terjadi pelanggaran, apakah

ada sanksinya? a. Yab. Tidak c. Tidak Tahu

5 3 1 3. Jika ada, bagaimana bentuk dan

pelaksanaan sanksi tersebut? a. Sanksi Langsungb. Tidak Langsung

5. Tingkat konflik 1. Apakah pernah terjadi konflik dalam pengelolaan DPL? Jika pernah kapan dan bagaimana konflik tersebut terjadi?

a. Pernah b. Tidak Pernah c. Tidak tahu ………

5 3 1 2. Apakah sampai sekarang konflik

tersebut masih terjadi dan belum terselesaikan

a. tidak b. Tidak tahu c. Ya

5 3 1 3. Jika sudah selesai, bagaimana

proses manajemen konflik dan solusi konfliknya?

……….

6. Pendanaan 1. Dalam pengelolaan DPL dalam kelembagaan apakah ada bantuan pendanaan?

a. Ya b. Tidak c. Tidak Tahu

5 3 1 2. Misalnya kebanyakan darimana?

3. Dari institusi mana saja

……… ………..


(2)

(3)

93

Lampiran 10 Kuisioner Untuk Sosial Ekonomi

PENGANTAR

Bersama ini saya memperkenalkan diri serta menyampaikan bahwa kegiatan

wawancara ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian mahasiswa IPB.

Keterangan yang didapat dari Bapak/lbu/Saudara/Saudari akan digunakan dalam

penyusunan Tesis yang berjudul:

Keberlanjutan Pengelolaan Daerah

Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat Kabupaten Lampung Selatan.

Disampaikan daftar pertanyaan kepada Bapak/lbu/Saudara/Saudari dan mohon

bantuannya untuk memberikan keterangan dengan menjawab pertanyaan yang

diajukan. Atas segala bantuan, informasi dan kerjasamanya saya ucapkan terima

kasih.

PETUNJUK PENGISIAN

Berilah tanda centangan ( √) pada kotak jawaban dan tanda silang (x) pada

jawaban yang telah disediakan. Jika disediakan titik-titik (…) isilah sesuai dengan

keadaan yang dialami Bapak/lbu/Saudara/Saudari.

Instrumen Skala Likert (Sugiono, 2006)

No

Jawaban

Skor

1

Sangat Setuju, Sangat Tahu,

Sangat Penting

5

2

Setuju

4

3

Ragu-Ragu, sedang

3

4

Tidak Setuju

2

5

Sangat Tidak Setuju /Tidak ada

1/0


(4)

KUISIONER UNTUK SOSIAL EKONOMI

Pewawancara

: ………...

Tanggal wawancara

: ………...

Identitas Responden

Nama

: ...

Alamat

: ...

Jenis Kelamin

: 1. Perempuan 2. Laki-laki

Pekerjaan

: Nelayan/ Pedagang/ Pengusaha yang berhubungan

dengan SDL/ Petani/ Pegawai Pemerintahan/ lainnya,

Sebutkan...

Kedudukan Responden dalam masyarakat:

Pemimpin formal/ Pemimpin informal, Ketua adat/Anggota aktif organisasi

kelembagaan/ masyarakat biasa.


(5)

95

Demensi Atribut Kuisioner Jawaban Skor

Sosial Ekonomi 1. Persepsi dan

pemahaman masyarakat

1. Apakah Anda mengetahui DPL? a. Sangat tahu b. Tahu c. Cukup tahu d. Tidak tahu e. Tidak tahu sama

sekali 5 4 3 2 1 2. Bagaimana anda menilai terumbu

karang disekitar DPL ini? a. Sangat Baikb. Baik c. Sedang d. Rusak e. Sangat Rusak

5 4 3 2 1 3. Menurut anda apakah Daerah

Perlindungan Laut (DPL) tersebut bermanfaat bagi nelayan

a. Sangat bermanfaat b. Bermanfaat c. Cukup bermanfaat d. Tidak bermanfaat e. Sangat tidak

bermanfaat 5 4 3 2 1 4. Apakah Anda mengetahui

manfaat terumbu karang? a. Sangat mengetahuib. Mengetahui c. Cukup tahu d. Tidak tahu e. Sangat Tidak Tahu

5 4 3 2 1 5. Dari mana anda mengetahui

manfaat tersebut? b. Non Penyuluhana. Penyuluhan 50

6. Apakah menurut anda terumbu karang perlu di jaga

kelestariannya?

a. Sangat Perlu b. Perlu c. Biasa saja d. Tidak Perlu e. Sangat tidak Perlu

5 4 3 2 1 7. Apakah ada pengaruh bagi anda,

apabila terumbu karang secara terus menerus di manfaatkan dan tidak dilestarikan?

a. Sangat Perbepngaruh b. Berpengaruh c. Biasa saja

d. Tidak Berpengaruh e. Sangat tidak

berpengaruh 5 4 3 2 1 8. Dibanding 10 tahun yang lalu

bagaimana kondisi sumberdaya? Ikan, TK, Bakau

...

9. Apakah setuju ada DPL untuk keberlanjutan Sumberdaya dan masyarakat di masa depan?

a. Sangat Setuju b. Setutu c. Cukup setuju d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju

5 4 3 2 1


(6)

2. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL

Bentuk Pengelolaan DPL 1. Siapa saja yang terlibat

dalam pengelolaan DPL?

a. Masyarakat dan pengelola b. Masyarakat

c. Hanya Para pengelola d. Pemerintah

e. Pemerintah Pengelola

5 4 3 2 1 2. Apakah Anda selama

ini ikut aktif dalam kegiatan musyawarah yang diadakan oleh Pengelola

a. Sangat sering (15 kali) b. Sering (10-14kali) c. Cukup Sering (6-9) d. Tidak sering (1- 5 kali) e. Tidak pernah sama sekali

5 4 3 2 1 3. Seberapa sering Anda

pernah mengikuti kegiatan pengawasan

a. Sangat sering (12 kali) b. Sering (8-11 kali) c. Sedang (4-7)

d. Tidak sering (1-3 kali) e. Tidak pernah sama sekali

5 4 3 2 1 4. Bagaimana bentuk

partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DPL, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil, maupun evaluasi?

3. Pendapatan 1. Pendapatan Harian? a. > Rp.

b. Rp. 100.000 – Rp. 500.000,-c. < Rp.

100.000,-……….. 2. Satu bulan berapa kali

menangkap?

Tempat Penangkapan tambah jauh atau dekat dari 10 tahun yang lalu?

a. 5 kali b. 5-10 c. >10 d. ………. 3. Pendapatan perbulan? a. > Rp.

b. Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000,-c. < Rp.

500.000,-d. ……….. 4. Menangkap ikan

bergantung musim atau tidak?

Jika ya musim apa tepatnya menangkap?

a. Ya b. Tidak

5. Jenis ikan apa saja yang di tangkap?

Berapa harga per kg? 6. berapa besar biaya