Semak Daun Island Aquatic Management Based On The Carrying Capacity in Conservation Coral Reef Ecosystem (Case Study: Water Semak Daun Island Administrative District Thousand Islands).

(1)

PENGELOLAAN PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN

BERDASARKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM

UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

(Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu)

WAN MANSUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Wan Mansur NIM C252110071


(3)

WAN MANSUR. Semak Daun Island Aquatic Management Based On The Carrying Capacity in Conservation Coral Reef Ecosystem (Case Study: Water Semak Daun Island Administrative District Thousand Islands). Guided by M. KAMAL MUKHLIS and MAJARIANA KRISANTI.

The existing floating cage culture activities in Semak Daun Island waters has enriched organic load to coral reefs ecosystem. The organic load came from food waste that enter the waters. Along with organic waste from various activities on land if not properly controlled lead to eutrophication, causing degradation of coral reefs through increased growth of macroalgae (overgrowth). Coral reef health in Semak Daun Island waters is indispensable for the success of sea ranching activities. It is necessary to study the condition coral reef ecosystems and assess the carrying capacity based on the optimal number of floating cages development activities, there for coral reefs ecosystem in Semak Daun Island waters remain sustain.

This study was conducted from May to July 2013. The method used in this study is a survey method. Data collected included primary and secondary data. Analysis was done for percentage of coral and macroalgae coverage, herbivorous fish, aquatic productivity, estimation of organic waste and aquatic carrying capacity.

Results showed that percentage of live coral coverage at Semak Daun Island waters are categorized moderate by the average percentage coverage of 44.95% and the average percentage cover of macroalgae was 42.24%. Herbivorous abundance is dominated by family Pomacentridae 32,140 individuals/ha. Chemical parameters for nitrate concentrations in the category mesotrofik, with a range of 0.136 mg/l - 0.364 mg/l. Waste loads estimation of net aquaculture that enter the waters was 1,178.1 Kg/ton/6 months of fish production (N 243.9 Kg/ton/6 months of fish and P 54.1 Kg/ton/6 months of fish). Estimated of anthropogenic waste load around the Semak Daun Island was 4,167 Kg N/6 months and 1,738.8 Kg P/6 months. Based on N load, the optimal - maximum carrying capacity of Semak Daun Island for grouper floating cages was 45 − 151 units (270 − 906 plot cages) or 2.8 – 9.4 ha of 9.99 ha area that appropriate for floating cage activities. In addition, based on dissolved oxygen, the optimal -

maximum carrying capacity was 37 − 55 units (222 − 330 plot cages) or 2.3 – 3.4 ha of 9.99 ha area that appropriate for floating cage activities.


(4)

Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan MAJARIANA KRISANTI.

Aktivitas keramba jaring apung yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun memiliki potensi untuk menyumbangkan limbah organik ke ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Limbah organik tersebut berasal dari sisa pakan yang masuk ke perairan. Bersama dengan limbah organik yang berasal dari berbagai kegiatan di darat, apabila tidak terkendali dengan baik menyebabkan terjadinya eutrofikasi sehingga terjadi degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth). Kesehatan terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun sangat diperlukan untuk keberhasilan kegiatan sea ranching. Oleh karena itu perlu adanya kajian tentang kondisi ekosistem terumbu karang serta menilai daya dukung lingkungan perairan berdasarkan jumlah optimal keramba jaring apung yang dapat di kembangkan, agar ekositem terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun tetap lestari.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Menggunakan analisis persentase tutupan karang dan makroalga, analisis ikan herbivor, analisis kesuburan perairan, estimasi limbah organik dan analisis daya dukung perairan.

Hasil penelitian ini menunjukkan persentase tutupan karang hidup di perairan Pulau Semak Daun dikategorikan baik dengan rata-rata persentase tutupan karang 44,95% dan persentase rata-rata tutupan makroalga adalah 42,24%. Kelimpahan ikan herbivor didominasi oleh famili Pomacentridae 32.140 individu/ha. Konsentrasi parameter kimia untuk nitrat termasuk dalam kategori mesotrofik dengan kisaran 0,136 mg/l – 0,364 mg/l. Estimasi beban limbah budidaya jaring apung yang masuk ke perairan Pulau Semak Daun yaitu sebesar 1.178,1 Kg /ton ikan/6 bulan produksi (N 243,9 Kg/ton ikan/6 bulan dan P 54,1 Kg/ton ikan/6 bulan). Estimasi limbah antropogenik dari daratan sekitar Pulau Semak Daun diperoleh 4.167 KgN /6 bulan dan 1.738,8 KgP /6 bulan. Berdasarkan pendekatan beban limbah N, daya dukung perairan Pulau Semak Daun untuk pengembangan KJA optimal − maksimal ikan kerapu adalah 45 − 151 unit (270 − 906 petak KJA) atau 2,8 − 9,4 ha dari 9,99 ha luasan yang sesuai untuk kegiatan KJA. Berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut, daya dukung perairan untuk pengembangan optimal-maksimal diperoleh 37 − 55 unit (222 − 330 petak KJA) atau 2,3 − 3,4 ha dari 9,99 ha luasan yang sesuai untuk KJA. Kata kunci: Terumbu Karang, Limbah Organik, Daya Dukung, Pulau Semak


(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(6)

PENGELOLAAN PERAIRAN PULAU SEMAK DAUN

BERDASARKAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DALAM

UPAYA PELESTARIAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

(Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten

Administrasi Kepulauan Seribu)

WAN MANSUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014


(7)

(8)

Judul Tesis : Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)

Nama Mahasiswa : Wan Mansur

Nomor Pokok : C 252 110 071

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr


(9)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga tesis ini berhasil diselesaikan dengan judul Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr.Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna yang telah membantu mendanai sekolah dan penelitian ini serta pengelola Balai Taman Nasional Laut yang telah memberikan ijin melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Laut. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada istri dan anak tercinta atas doa dan perhatiannya, serta kepada seluruh teman-teman terima kasih atas masukan dan sarannya. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Januari 2014


(10)

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

1.4. Kerangka Pemikiran ... 3

2. METODE PENELITIAN ... 4

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 4

2.2. Metode Pengumpulan Data ... 6

2.2.1. Pengamatan Parameter Lingkungan ... 7

2.2.2. Pengamatan Kondisi Terumbu Karang dan Makroalga ... 7

2.2.3. Pengamatan Ikan Herbivor ... 9

2.2.4. Pengamatan Kesuburan Perairan ... 10

2.2.5. Pengamatan Kondisi Oseanografi ... 11

2.2.6. Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading)... 11

2.2.7. Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Daratan (Antropogenik)(Eksternal Loading) ... 12

2.3. Analisis Data ... 13

2.3.1. Analisis Persentase Tutupan Karang dan Makroalga ... 13

2.3.2. Analisis Kelimpahan Ikan Herbivor ... 13

2.3.3. Analisis Produktivitas Primer ... 14

2.3.4. Analisis Daya Dukung ... 14

3. HASIL PENELITIAN ... 17

3.1. Kondisi Umum dan Oseanografi Perairan Pulau Semak Daun ... 17

3.2. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Semak Daun ... 18

3.3. Persentase Penutupan Karang Hidup dan Makroalga ... 21

3.4. Kelimpahan Ikan Karang dan Herbivor ... 25

3.5. Kondisi Kesuburan Perairan ... 27

3.6. Estimasi Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading)... 28

3.7. Estimasi Pendugaan Kuantitatif Limbah Yang Berasal Dari Daratan (Antropogenik)(Eksternal Loading) ... 31

3.8. Pendugaan Daya Dukung Perairan Pulau Semak Daun Untuk Pengembangan KJA Ikan Kerapu ... 32


(11)

4.2. Hubungan kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor

dalam pengelolaan perairan Pulau Semak Daun ... 36

4.3. Estimasi beban limbah serta daya dukung perairan dalam upaya pengelolaan perairan Pulau Semak Daun ... 39

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1. Kesimpulan ... 41

5.2. Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN DAFTAR TABEL 1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Yang Diukur... 7

2. Daftar Penggolongan Komponen Dasar Penyususun Ekositem Terumbu Karang Berdasarkan Lifeform Karang dan Kodenya ... 9

3. Pengelompokan Ikan Herbivor ... 10

4. Jenis Aktifitas dan Koefisien Limbah Pemukiman ... 12

5. Jenis Aktifitas dan Koefisien Limbah Peternakan ... 13

6. Hasil Pengukuran Rata-rata Parameter Fisika dan Kimia Perairan di Semua Stasiun Pengamatan ... 18

7. Persentase Tutupan Karang Hidup Pada Setiap Stasiun Pengamatan ... 22

8. Kelimpahan Rata-rata Ikan Herbivor perairan Pulau semak Daun ... 26

9. Klorofil-a dan Produktivitas Primer di Semua Stasiun Pengamatan Perairan Pulau Semak Daun ... 28

10. Nilai parameter Penentuan Beban Limbah Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung (KJA) ... 29

11. Nilai Hasil Pendugaan Kuantifikasi Total N dan P dari Pakan yang diberikan ... 30

12. Pendugaan Beban Limbah Antropogenik Sekitar Perairan Pulau Semak Daun ... 32

13. Rekapitulasi Dua Metode Pendekatan Pendugaan Daya Dukung Perairan Pulau Semak Daun untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu ... 35


(12)

1. Kerangka Pemikiran Penelitian: Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang ( Studi Kasus : Perairan Pulau Semak

Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ) ... 4

2. Peta Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu ... 5

3. Penentuan Titik Lokasi Sampling... 6

4. Metode Pengamatan Terumbu Karang dengan Transek Garis ... 8

5. Pencatatan Data Kelimpahan Ikan Herbivor dengan Underwater Visual Census ... 9

6. Pola arus perairan Pulau Semak Daun pada Bulan Juni ... 18

7. Persentase Komponen Terumbu Karang pada Setiap Stasiun pengamatan ... 22

8. Makroalga jenis Turf Alga Pada Stasiun pengamatan II ... 23

9. Persentase Tutupan Makroalga pada Setiap Stasiun pengamatan ... 23

10. Persentase Tutupan Makroalga berdasarkan Komposisi Kelompok Makroalga di perairan pulau semak Daun ... 24

11. Perbandingan Antara Tutupan Terumbu Karang dengan Tutupan Makroalga ... 25

12. Kelimpahan Beberapa Ikan Ekonomis Penting di Perairan Pulau Semak Daun ... 25

13 Hubungan terumbu karang dengan makroalga, hubungan makroalga dengan kosentrasi nitrat, hubungan ikan herbivor dengan makroalga ... 38

DAFTAR LAMPIRAN 1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut ... 49

2. Perhitungan Pendugaan Limbah N dan P yang dihasilkan dari Produksi 1,08 ton Ikan Kerapu ... 50

3. Perhitungan Volume Air Laut Melalui Elevasi Pasang Surut ... 51

4. Perhitungan Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Limbah N ... 52


(13)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan Kepulauan Seribu selama ini secara nyata dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik. Kondisi stok ikan di beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing). Degradasi sumberdaya alam terutama ekosistem terumbu karang akibat dari pencemaran, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, pengambilan karang yang berlebihan dan lain-lain menjadi pemicu penurunan produksi tangkapan ikan. Sehingga sebagian besar penduduk akan terperangkap dalam kemiskinan akibat produktivitas sumberdaya yang semakin berkurang dan terjadinya kerusakan lingkungan.

Fenomena penurunan produksi tangkapan dan degradasi habitat telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan. Berdasarkan potensi Kepulauan Seribu yang memiliki perairan laut dangkal yang terlindung (protected shallow sea) karang penghalang di sekitar pulau merupakan kawasan perairan yang potensial untuk lokasi kegiatan sea ranching.

Kegiatan sea ranching sudah diprogramkan sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, yang merupakan perpaduan antara mariculture dengan perikanan tangkap. tetapi dalam pelaksanaannya masih sebatas mariculture atau dikenal dengan istilah sea farming (PKSPL 2006). Ikan yang dibudidayakan di sana adalah ikan kerapu bebek dan kerapu macan. Sistem tersebut melibatkan aktivitas keramba jaring apung (marikultur), penangkapan terbatas, perbaikan habitat dan penambahan stok ikan di alam. Untuk saat ini KJA (marikultur) sudah berjalan, sementara penangkapan terbatas, perbaikan habitat dan penambahan stok ikan dalam sistem sea ranching belum dilakukan.

Kegiatan sea ranching sendiri adalah suatu kegiatan untuk mengelola sumberdaya dalam usaha menyikapi penurunan produksi tangkapan dengan adanya kegiatan pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi secara geografis atau dengan kata lain proses beternak ikan dilingkungan alaminya atau pelepasan juvenile yang makan dan tumbuh di lingkungan laut yang suatu waktu akan ditangkap kembali (Effendi, 2006; Mustafa 2003; BAPEKAB 2004; Salvanes 2001; Jia dan Chen 2001). Selain masyarakat mendapatkan manfaat secara ekonomi, keseimbangan lingkungan juga terjaga kelestariannya sehingga diharapkan terciptanya pengelolaan yang berkelanjutan didukung dengan adanya upaya perbaikan habitat terumbu karang (Mokness dan Stole 1997).

Sea ranching berbeda dengan mariculture, namun dalam pelaksanaannya ada tahapan dimana prinsip mariculture dipertimbangkan sebagai bagian yang penting dalam konsep sea ranching, karena sebelum adanya pelepasan ikan/udang/kerang-kerangan ke perairan perlu dilakukan kegiatan budidaya (Bartley & Leber 2004), yaitu kegiatan pembesaran benih pada ukuran tertentu untuk bisa dilepas pada perairan dimana ikan/udang/kerang-kerangan masih dianggap lemah. Begitu pula dengan tahapan penangkapan, ikan yang tertangkap oleh nelayan pada lokasi

ranching yang belum mencapai ukuran tertentu akan diletakkan kembali di keramba untuk pembesaran agar bisa dijual sesuai dengan permintaan pasar (PKSPL 2006; Bannister 1991; ADB 2004).


(14)

Kegiatan sea ranching sangat tergantung kondisi ekologi terutama ekositem terumbu karang. Dengan demikian perlu adanya upaya menjaga ekosistem terumbu karang agar kegiatan sea ranching tetap berkelanjutan. Aktifitas keramba jaring apung yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun tentunya memiliki potensi pula untuk mendistribusikan limbah pakan ikan berupa bahan organik. Pakan ikan yang diberikan dalam keramba jaring apung tidak semuanya bisa dikonsumsi oleh ikan, dan pastinya meninggalkan sisa bahan organik. Limbah organik dari kegiatan budidaya ikan di jaring apung dalam jangka panjang akan terakumulasi di dasar perairan dan berasosiasi dengan terumbu karang.

Bersama-sama dengan limbah organik yang berasal dari berbagai kegiatan didarat (pemukiman dan industri), apabila tidak terkendali dengan baik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi atau pengkayaan perairan dari unsur nitrogen dan fosfat yang akan berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) (McCook 1999; Nixon et al. 1996; Livingston 2001; Mason 1993; Lapointe 1989).

Berdasarkan pemikiran diatas maka perlu adanya kajian tentang kondisi ekosistem terumbu karang serta menilai daya dukung lingkungan perairan berdasarkan jumlah optimal pengembangan kegiatan keramba jaring apung, dengan melihat dampak masukan bahan organik dari sisa pakan kegiatan keramba jaring apung dan kegiatan antropogenik di sekelilingnya sehingga tidak mengganggu ekosistem terumbu karang yang ada di sekitar perairan Pulau Semak Daun.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang pada bagian sebelumnya, maka permasalahan yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aktivitas keramba jaring apung yang terdapat di perairan Pulau Semak Daun memiliki potensi untuk menghasilkan limbah dari sisa-sisa pakan berupa bahan organik. Bersama-sama dengan limbah organik yang berasal dari berbagai kegiatan di darat (pemukiman dan industri), apabila tidak dikendalikan dengan baik akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang akan berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga. Dengan demikian perlu kajian untuk menghitung daya dukung perairan agar kondisi perairan tetap ideal bagi kehidupan ekosistem terumbu karang berdasarkan jumlah optimal keramba jaring apung dilihat dari masukan limbah organik dari kegiatan keramba jaring apung dan limpasan limbah dari perairan di sekitarnya yang tidak melewati baku mutu perairan.

2. Mengidentifikasi kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor serta hubungannya dalam kaitan dengan pengkayaan nutrien di perairan Pulau Semak Daun.


(15)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung daya dukung lingkungan perairan berdasarkan jumlah optimal keramba jaring apung agar ekosistem terumbu karang tidak terganggu. Mendapatkan informasi hubungan kondisi terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor serta kaitannya dengan pengkayaan nutrien dengan adanya kegiatan keramba jaring apung di perairan Pulau Semak Daun. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai dasar ilmiah untuk pengelola kawasan perairan Pulau Semak Daun khususnya Pemerintah Daerah setempat dalam merumuskan kebijakan pengelolaan perairan berdasarkan daya dukung perairan.

1.4 Kerangka Pemikiran

Ekosistem terumbu karang perairan semak daun dinilai sangat potensial untuk dikembangkan untuk kegiatan Sea ranching, karena daerah ini merupakan perairan dangkal. Sea ranching sendiri sudah dikonsepkan sejak tahun 2004. Dilihat dari konsepnya selain ada kegiatan marikultur, terdapat berbagai kegiatan lainnya seperti penambahan stok (stock enhancement), perbaikan habitat dan penangkapan terbatas

(ranching). Semua kegiatan yang terdapat dalam konsep Sea ranching tentunya akan bisa menjawab permasalahan yang ada di perairan semak daun seperti degradasi ekosistem dan penangkapan ikan berlebihan (overfishing).

Namun seiring dengan telah berjalannya kegiatan keramba jaring apung, tentunya akan menimbulkan masalah baru yang perlu untuk diperhatikan yaitu pencemaran limbah, berupa sumbangan masukan bahan organik. Kegiatan KJA (marikultur) dan kegiatan antropogenik itu sendiri memberikan pengaruh terhadap ekosistem terumbu karang yang ada. Karena diketahui bahwa pengkayaan perairan akan berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (McCook 1999). Untuk kegiatan KJA (marikultur) sumbangan bahan organik berasal dari sisa pakan dan feses, untuk kegiatan antropogenik sumbangan bahan organik berasal dari aktivitas penduduk yang ada di daratan.

Pengaruh dari masukan sumbangan bahan organik kegiatan marukultur dan dari sumbangan antropogenik dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang, makroalga, ikan herbivor serta kondisi konsentrasi nitrat di perairan dan apabila pengaruh tersebut ada, maka perlu suatu perhitungan untuk mendapatkan nilai daya dukung lingkungan agar dapat memberikan informasi bagaimana pengelolaan perairan Pulau Semak Daun agar kondisi perairan tetap terjaga secara ekologis.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka disusun sebuah kerangka pemikiran (Gambar 1), bagaimana kondisi nutrien, terumbu karang, makroalga dan ikan herbivor dalam kaitannya dengan sumbangan bahan organik dari KJA dan antropogenik. Sehingga sebagai dasar untuk pengelolaan perairan dengan mengetahui daya dukung lingkungan perairan melalui jumlah optimal KJA yang tidak mengganggu ekosistem terumbu karang yang ada di perairan Pulau Semak Daun.


(16)

-

+

-

Marikultur

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian: Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)

2

METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Pulau Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) yang secara geografis terletak pada 106°20'00' Bujur Timur (BT) hingga 106°57'00' BT dan 5°10'00' Lintang Selatan (LS) hingga 5°57'00' LS. Lokasi ini dipilih karena merupakan lokasi dilaksanakannya kegiatan sea ranching. Secara grafis lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Waktu penelitian dimulai dari bulan Mei sampai dengan Juli 2013.

Perairan dangkal Semak Daun memiliki luas 315,19 ha. Kawasan perairan dangkal tersebut terdiri atas lima goba seluas 33,3 ha dan reeflat seluas 281,89 ha. Kawasan perairan potensial seluas 2 ha dapat digunakan untuk sistem sekat (enclosure), 9,99 ha untuk keramba jaring apung/KJA (cage culture), 40,7 ha untuk sistem kandang (pen culture), dan 262,31 untuk long line. Sementara, kawasan perairan potensial untuk sea ranching meliputi semua kawasan, selain kawasan untuk sistem sekat dan sistem kandang (BAPEKAB 2004).

Kualitas Air

Kegiatan Antropogenik

Terumbu Karang Hidrooseanografi

Pengelolaan perairan berdasar daya dukung jumlah optimal KJA

dalam upaya pelestarian ekosisten

terumbu karang Makro Alga

Ikan Herbivor

Ikan Kerapu

Pakan

Sumbangan Bahan Organik

antropogenik

Sumbangan Bahan Organik

Marikultur

Nutrien? Trumbu karang?

Makroalga? Ikan Herbivor?


(17)

Sumber : Working Paper PKSPL-IPB, 2006

Gambar 2. Lokasi penelitian di Kepulauan Seribu

Penentuan titik pengamatan ditentukan berdasarkan keterwakilan seluruh ekosistem terumbu karang perairan Semak Daun. Terdapat 5 titik pengamatan dalam penelitian ini (Gambar 3). Titik pengamatan 1 (satu) ditempatkan di daerah terumbu karang pada sisi bagian barat perairan Semak Daun yang jauh dari aktivitas KJA pada 106°33'980'' BT dan 05°43'627'' LS. Titik pengamatan 2 (dua) ditempatkan di daerah terumbu karang pada bagian utara perairan semak daun yang berada dekat dengan aktifitas KJA pada 106°36'215'' BT dan 05°42'933'' LS. Titik pengamatan 3 (tiga) ditempatkan di daerah terumbu karang yang memiliki kondisi karang yang sangat baik pada sisi bagian timur perairan semak daun pada 106°36'744'' BT dan 05°43'515'' LS. Titik pengamatan 4 (empat) ditempatkan pada bagian selatan perairan semak daun yang merupakan selat sempit antara Pulau Semak Daun dengan Pulau Karya dan dekat dengan pulau-pulau padat penduduk dengan koordinat 106°36'046'' BT dan 05°43'751'' LS. Titik pengamatan 5 (lima) ditempatkan pada perairan dalam goba sekitar aktifitas KJA pada 106°35'530'' BT dan 05°43'239'' LS.


(18)

Sumber : Working Paper PKSPL-IPB, 2006

Gambar 3. Penentuan Titik Lokasi Sampling

Untuk pengambilan data tutupan karang, alga dan ikan herbivor dilakukan pada seluruh stasiun kecuali titik pengamatan 5 (lima) yang terletak pada perairan goba pada 106°35'530'' BT dan 05°43'239'' LS. Hal ini dilakukan dengan alasan berdasarkan survey awal daerah perairan goba tersebut bersubstrat pasir sehingga kecil kemungkinan terumbu karang hidup di lokasi tersebut dan menurut masyarakat sekitar di perairan goba tersebut banyak terdapat ikan barakuda (Sphyraena jello), sehingga nantinya bisa membahayakan bagi penyelam.

2.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kualitas perairan yang terdiri dari parameter fisika dan kimia serta data biologi seperti jenis dan tutupan terumbu karang serta makroalga, jenis dan kelimpahan ikan herbivor, dan jumlah pakan. Data sekunder meliputi data pasang surut perairan, peta lingkungan perairan, data publikasi ilmiah, data dari instansi terkait, maupun dari Lembaga Swadaya Masyarakat.


(19)

2.2.1 Pengamatan Parameter Lingkungan

Pengumpulan data kualitas perairan meliputi parameter fisika dan kimia yang terdiri dari 10 parameter (Tabel 1), yang dianalisis baik in situ maupun ex situ. Analisis secara ex situ dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Tabel 1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan yang diukur di Perairan Pulau Semak Daun

Parameter Satuan Alat Referensi Lokasi Analisis A. Fisika

1. Suhu °C Termometer APHA, 2005 In situ 2. Salinitas ‰ Refraktometer APHA, 2005 In situ

3. Kecerahan m Secchi disk In situ

4. Kekeruhan NTU Turbidity meter APHA, 2005 Laboratorium 5. Kecepatan Arus cm/det Current Meter In situ

B. Kimia

1. pH - pH meter APHA, 2005 In situ

2. Nitrat mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium 3. Nitrit mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium 4. Ammonia mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium 5. Fosfat mg/l Spektrofotometer APHA, 2005 Laboratorium

Pengambilan contoh air dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu per dua minggu, yaitu pada minggu ke-2 bulan Mei 2013, minggu ke-4 bulan Mei 2013 dan minggu ke-2 bulan Juni 2013 di lima stasiun pengamatan yang telah ditentukan untuk mengumpulkan data kualitas perairan. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan pada pukul 08.00 s.d. 10.00 untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang memadai terutama berkaitan dengan suhu dan kecerahan. Sampel air laut diambil di bagian dasar dimana dilakukan identifikasi terumbu karang. Untuk pengukuran parameter kimia, sampel disimpan dalam botol plastik polietilen (500 ml), sedangkan untuk parameter fisika, sampel disimpan dalam botol plastik polietilen (300 ml). Untuk sampel kimia, air laut ditambahkan 0.2 ml (3-4 tetes) larutan asam sulfat (H2SO4) untuk pengawetan nitrat dan nitrit. Masing-masing sampel air laut selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin (ice-box) untuk menjaga kondisinya agar tidak berubah. Selanjutnya sampel air dikirim ke Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis sesuai dengan parameter yang akan diukur.

2.2.2 Pengamatan Kondisi Terumbu Karang dan Makroalga

Metode yang digunakan untuk mengamati tutupan karang dan makroalga dilakukan dengan menggunakan metode transek garis (English et al. 1997), metode ini digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain, dan biasanya dilakukan oleh dua orang penyelam. Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan transek garis dengan panjang transek 50 meter sejajar


(20)

garis pantai. Pada setiap stasiun pengamatan digunakan satu transek dengan tiga kali pengulangan (Gambar 4).

Pengamatan dilakukan dengan cara mencatat jenis-jenis bentuk pertumbuhan biota penyusun ekosistem yang ditemukan di sepanjang transek serta mengukur kisaran penutupan jenis bentuk pertumbuhan biota ekosistem tersebut pada angka yang terbaca pada transek, selain itu dicatat pula kelompok abiotik yang menyinggung transek untuk memberikan gambaran tentang ekosistem terumbu karang.

Gambar 4. Metode pengamatan terumbu karang dengan transek garis

Pencatatan dilakukan dengan menggunakan alat tulis bawah air (sabak) yang dibawa oleh pengamat. Hasil pengamatan terhadap terumbu karang tersebut selanjutnya ditabulasikan berdasarkan jenis dan luas penutupan. Koloni karang yang berada di bawah atau bersinggungan dengan transek garis, diukur dan dicatat mengikuti bentuk pertumbuhannya (life form) sesuai dengan klasifikasi dari English et al (1997).

Data yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui kondisi terumbu karang terhadap persen penutupan biota karang adalah data panjang tiap kategori life form

yang ada untuk mengetahui persentase penutupan terumbu karang. Tabel 2 menunjukkan daftar penggolongan kategori penutupan karang penyusun ekosistem terumbu karang dan kode yang digunakan mengacu pada UNEP (1993).

Persentase penutupan karang hidup diperoleh dari data panjang tiap kategori

life form terumbu karang. Nilai persentase penutupan terumbu karang yang hidup dihitung dengan menggunakan persamaan menurut (UNEP 1993) yaitu :

Keterangan :

Li = Persentase penutupan biota karang ke-i

ni = Panjang total kelompok biota karang ke-i, dan L = Panjang total transek garis


(21)

Tabel 2. Daftar penggolongan kategori penutupan karang penyusun ekosistem terumbu karang dan kode yang digunakan (UNEP 1993).

Kategori Kode Kategori Kode

Hard Corals (Acropora) Algae

Branching ACB Macro MA

Tabulate ACT Turf TA

Encrusting ACE Coraline CA

Submassive ACS Halimeda HA

Digitate ACD Algal Assemblage

Hard Corals (Non Acropora) Other Fauna

Branching CB Soft Corals SC

Massive CM Sponge SP

Encrusting CE Zoanthids ZO

Submassive CS Others OT

Foliose CF

Mushroom CMR Abiotic

Millepora CME Sand S

Heliopora CHL Rubble R

Silt SI

Dead Scleractinia Water WA

Dead Coral DC Rock RCK

(With Algal Covering) DCA

2.2.3 Pengamatan ikan herbivor

Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode sensus visual berdasarkan Dartnal dan Jones (1986). Metode ini merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam survei pengamatan ikan-ikan karang dan telah disepakati menjadi metode baku dalam pengamatan ikan-ikan karang secara kuantitatif di ASEAN pada waktu lokakarya ASEAN-Australia Cooperative Program on Marine Science bulan Agustus-Oktober 1985 di Australian Institute of Marine Science.

Metode ini secara garis besar hampir sama dengan metode transek garis atau

Line Intercept Transect (LIT) dimana roll meter sepanjang 50 m dibentangkan sejajar dengan garis pantai berlawanan dengan arah arus (Gambar 5). Luas pengamatan setiap transek, yakni 500 m2 ( 50 m x 2 x 5 m), dengan jarak pengamatan 5 meter disebelah kanan dan kiri dari garis transek tersebut. Luas transek yang 500 m2 tersebut dikonversikan ke Hektar (Ha) menjadi 0.05 Ha. Pengamatan ini dilakukan dengan memakai SCUBA yang dilakukan pada kedalaman 3 meter.

Gambar 5. Pencatatan data kelimpahan ikan herbivor dengan Underwater Visual Census (English et al. 1997)


(22)

Pencatatan data dilakukan dialam air dengan menggunakan sabak, kemudian dicatat spesies ikan yang ditemukan. Pencatatan data dilakukan dengan jarak pandang sejauh 5 m ke kiri dan 5 m ke kanan serta pandangan ke depan sejauh yang terlihat. Selama pengamatan tidak diperbolehkan untuk menengok kebelakang, karena akan terjadi pengulangan data yang akan membuat data tersebut menjadi tidak valid. Disamping itu, kecepatan renang dalam pengamatan perlu diatur sedemikian rupa (santai dan tidak terburu-buru) untuk mendapatkan hasil yang baik. Hasil pengamatan ikan karang ditabulasikan berdasarkan jenis dan frekuensi ditemukannya pada transek pengamatan.

Penetapan areal penelitian mengikuti metode “Line Intercept Transect” (UNEP 1993). Sedangkan pengambilan data ikan menggunakan metode “Sensus Visual” (Dartnall and Jones 1986). Hasil sensus jenis ikan dikelompokkan sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengelompokan ikan herbivor (Williams & Pollunin 2001)

No. Kelompok Keterangan

1. Semua Ikan Herbivor (TOT) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor yang ditemukan di lokasi penelitian 2. Famili Scaridae (SCAR) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor

dari famili Scaridae yang ditemukan di lokasi penelitian

3. Famili Pomacentridae (POM) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor dari famili Pomacentridae yang ditemukan di lokasi penelitian

4. Famili Siganidae (SIGA) jumlah total seluruh jenis ikan herbivor dari famili Siganidae yang ditemukan di lokasi penelitian

2.2.4 Pengamatan Kesuburan Perairan

Untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan, salah satu caranya adalah dengan melakukan pengukuran produktivitas primer dalam perairan. Tingkat kesuburan perairan dapat dilihat dari tingkat nutrisi yang dibutuhkan oleh organisme produsen dalam perairan tersebut. Produktivitas primer fitoplankton menggambarkan masukan terbesar materi organik baru ke perairan, menunjukkan tersedianya nutrisi untuk pertumbuhan fitoplankton (Wetzel, 1975).

Produktivitas primer kolom air dapat diduga dari konsentrasi klorofil-a menurut persamaan regresi sederhana. Untuk mengetahui konsentrasi klorofil-a di perairan pulau Semak Daun dilakukan pengambilan contoh air laut sebanyak 1 liter menggunakan Kemmerer water sampler pada bagian permukaan. Selanjutnya air contoh dimasukkan kedalam botol gelap dan diawetkan menggunakan MgCO3 2% agar klorofil-a tidak pecah. Kemudian dimasukkan ke dalam cool box. Contoh air untuk menganalisis nitrat dan ortofosfat dilakukan pada botol terpisah. Selanjutnya sampel air dibawa ke Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis.


(23)

2.2.5 Pengamatan Kondisi Oseanografi

Data yang digunakan dalam pengamatan hidro-oseanografi digunakan data primer maupun data sekunder, untuk data primer yang dilakukan pengambilan secara

in situ, seperti kecepatan arus, arah arus dan kedalaman. Sedangkan data untuk pasang surut diambil dari data sekunder (Kurnia 2012) yang tujuannya untuk mengetahui volume perairan baik pada saat pasang maupun surut serta polanya yang berkaitan dengan proses pengenceran (flushing time).

2.2.6 Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading)

Untuk menduga jumlah limbah budidaya ikan kerapu (berupa feses maupu sisa pakan) yang terbuang dari keramba ke lingkungan perairan di bagian luar jaring dipasang jaring halus mesh size 20 mikron. Jaring halus tersebut dipasang di luar jaring apung (tempat pemeliharaan ikan). Perangkap tersebut diikatkan pada sebuah bingkai yang terbuat dari kayu ulin berbentuk segi empat yang berukuran 3,5 x 3,5 meter, dan bagian bawah perangkap dipasangi pemberat. Pengumpulan limbah sisa pakan dan feses dilakukan sebanyak 3 kali sampling ulangan (selama kegiatan budidaya). Untuk pengumpulan sisa pakan dilakukan 2 jam setelah pemberian pakan, sedangkan untuk pengumpulan feses, dilakukan 24 jam setelah pemberian pakan. Limbah yang terkumpul kemudian dipisahkan antara feses dan sisa pakan. Baik feses maupun sisa pakan kemudian ditimbang dan selanjutnya dianalisa kadar proximat yang terdiri dari yaitu lemak kasar (Ekstraksi Soxhlet), karbohidrat (Spektrofotometer), serat kasar (Fibretex), kadar abu (Muffle), kadar air (pengeringan oven), serta N dan P (Semi Micro Kjeldahl dan Olsen).

Pendugaan total bahan organik dihitung berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Iwama (1991) in Barg (1992) dengan mengacu pada total pakan yang tidak dikonsumsi dan jumlah feses, dengan persamaan sebagai berikut :

O = TU + TFW ... (1) Keterangan:

O = total output partikel bahan organik

TU = total pakan yang tidak dimakan, yang diperoleh dengan persamaan :

TU = TF x UW ... (2) Keterangan:

TF = total pakan yang diberikan

UW = presentase pakan yang tidak dimakan (rasio total pakan yang dimakan terhadap total pakan yang diberikan).

TFW = total limbah feses, dihitung dengan persamaan :

TFW = F x TE ... (3) Keterangan :

F = persentase feses (rasio total feses terhadap total pakan yang dimakan) TE = total pakan yang dimakan, diperoleh dengan persamaan :

TE = TF – TU ... (4) TF = total pakan yang diberikan


(24)

Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P (TN dan TP) didasarkan atas data kandungan N dan P dalam pakan, dan dalam karkas ikan kerapu (Barg 1992). Pendugaan total N dan P mengacu pada metode Ackefors dan Enell 1990 in Barg 1992), dihitung dengan persamaan untuk Loading N dan P adalah :

Kg P = (A x Cdp) – (B x Cfp) ... (5) Kg N = (A x Cdn) – (B x Cfn) ... (6) Keterangan :

A = bobot basah pakan yang digunakan (kg) B = bobot basah kerapu yang diproduksi (kg)

Cd = kandungan phosphor (Cdp) dan nitrogen (Cdn) di pakan diekspresikan sebagai % bobot basah)

Cf = kandungan phosphor (Cfp) dan nitrogen (Cfn) dari karkas ikan, diekspresikan sebagai % bobot basah.

2.2.7 Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Antropogenik) (Eksternal Loading)

Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada di daratan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh San Diego-McGlone (2000), melalui

Land Ocean Interactions In the Coastal Zone (LOICZ). Pendugaan kuantitatif limbah yang bersumber dari daratan (upland) berasal dari aktivitas (1) pemukiman, dan (2) peternakan, bertujuan untuk mengetahui besaran potensi kontribusi beban limbah organik (nitrogen dan fosfor) ke perairan.

(1) Aktivitas Pemukiman. Besaran limbah organik (Total N dan P) yang berasal dari pemukiman, dihitung dengan cara sensus yaitu menghitung secara langsung jumlah penduduk yang bermukim disekitar pulau yang berdekatan dengan perairan Semak Daun. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari) dan limbah cair (liter/hari), maka jumlah penduduk tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain dari 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al. (1997), dan 3) World Bank in San Diego-McGlone (2000) (Tabel 4).

Tabel 4. Jenis aktivitas dan koefisien limbah pemukiman

No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan Aktivitas Pemukiman

1. Limbah padat 1,86 kg N/org/th Sogreah (1974) 0,37 kg P/org/th

2. Sampah 4 kg N/org/th Padilla et al (1997) 1 kg P/org/th

3. Deterjen 1 kg P/org/th World Bank (1993) Catatan : 1) Sogreah (1974); 2) Padilla et al. (1997); 3)World Bank (1993) in San Diego- McGlone (2000).

(2) Aktivitas Peternakan. Besaran volume limbah (Total N dan P) tersebut dihitung dengan menghitung secara langsung jumlah ternak yang berada atau dipelihara disekitar pulau yang berdekatan dengan perairan Semak Daun. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari), maka jumlah ternak


(25)

tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain 1) WHO (1993); 2) Valiela et al. (1997) in San Diego-McGlone (2000) (Tabel 5).

Beban limbah yang berasal dari pemukiman dan peternakan diperoleh dari data perhitungan langsung dilapangan yang mengacu pada data sekunder statistik Desa/Kecamatan. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) dari limbah antropogenik dihitung dengan mengalikan antara tingkatan aktivitas dengan koefisien limbah (N dan P). dengan persamaan sebagai berikut :

TN = tingkatan aktivitas x koefisien limbah ... (7) TP = tingkatan aktivitas x koefisien limbah ... (8)

Tabel 5. Jenis aktivitas dan koefisien limbah peternakan

No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan

Komoditas Peternakan

1. Ternak Sapi 43,8 kg N/ekr/th WHO (1993)

11,3 kg P/ekr/th

2. Ternak Kambing 4 kg N/ekor/th WHO (1993)

21,5 kg P/ekor/th

3. Ternak Ayam 0,3 kg N/ekor/th Valiela et al. (1997) 0,7 kg P/ekor/th

Catatan : 1) WHO (1993); 2) Valiela et al. (1997) in San Diego-McGlone (2000)

2.3 Analisis Data

2.3.1 Analisis Persentase Tutupan Karang dan makroalga

Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase penutupan karang hidup di ekosistem terumbu karang sebagaimana yang dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988) in English et al. (1997). Semakin kecil persentase penutupan karang hidup yang diperoleh maka semakin sedikit pula asosiasi terumbu karang yang hidup di dalamnya. Di ekosistem terumbu karang yang sehat tutupan makroalga dapat mencapai 5 – 10% (Hay 1997; Stimson et al. 2001).

Perhitungan persentase tutupan karang keras dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu :

a. 75 - 100 % : Sangat baik b. 50 - 74,9 % : Baik c. 25 - 49,9 % : Sedang d. 0 - 24,9 % : Rusak

2.3.2 Analisis Kelimpahan Ikan Herbivor

Kelimpahan ikan karang dihitung dengan mencacah jumlah ikan yang ditemukan dibagi dengan luasan area transek (English et al. 1997).

... (9)

Keterangan :

X : Kelimpahan ikan karang

Xi : Jumlah total ikan karang pada stasiun pengamatan ke-i


(26)

2.3.3 Analisis Produktivitas Primer

Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara klorofil-a dengan produktivitas primer. Susilo (1999) menemukan bahwa produktivitas primer kolom air dapat diduga dari konsentrasi klorofil-a menurut persamaan regresi sederhana. Persamaan hubungan antara keduanya pada kolom air 0-5 m adalah P = 0,0207 + 0,007K sedangkan pada kolom air 0-10 m adalah P=0.0238 + 0.004K, dimana P adalah produktivitas primer (gC/m3) dan K adalah konsentrasi klorofil-a atau Chal-a (μg/l). Berdasarkan hal ini produktivitas primer dapat diduga dari kandungan klorofil-a.

Besarnya produktivitas primer fitoplankton merupakan ukuran kualitas suatu perairan. Semakin tinggi produktivitas primer fitoplankton suatu perairan semakin besar pula daya dukungnya bagi kehidupan komunitas penghuninya, sebaliknya produktivitas primer fitoplankton yang rendah menunjukkan daya dukung yang rendah pula. Oleh karena itu informasi tentang tingkat produktivitas primer sangat penting karena dengan adanya hal tersebut maka kita dapat mengetahui tingkat kesuburan dan kualitas suatu perairan.

Menurut SEPA (2002), secara garis besar suatu badan air telah mengalami proses eutrofikasi dengan ditandai adanya penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada lapisan hipolimnion, kenaikan konsentrasi nutrien N dan P, kenaikan suspended solid terutama material organik, penurunan penetrasi cahaya (kecerahan menurun), terjadi blooming alga serta keragaman jenis alga rendah tetapi padat serta tinggi produktivitasnya.

2.3.4 Analisis Daya Dukung

Dalam melakukan pendugaan daya dukung lingkungan dilakukan dalam 2 bentuk pendekatan antara lain (1) pendekatan yang mengacu pada loading total nitrogen (TN) dari sistem budidaya dan antropogenik yang terbuang ke lingkungan perairan dan (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air dan bahan organik.

Pendekatan (1)

Mengacu kepada Loading Total Nitrogen (TN)

Limbah buangan dari aktivitas budidaya mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan. Level hipernutrifikasi ditentukan oleh volume badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang surut (Gowen et al. 1989 in Barg 1992), memberikan persamaan estimasi sebagai berikut :

Ec = N x F/V ... (10) Keterangan :

Ec = Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l)

N = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal) F = flushing time dari badan air (hari)

V = volume badan air (L) terbatas pada gosong Pulau Semak Daun

Flushing time (F) yaitu waktu (jumlah hari) yang diperlukan limbah terbilas dari badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Penentuan Flushing time

ditentukan dengan menggunakan formula :


(27)

Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode pergantian pasang yaitu :

D = (Vh – Vl) / T x Vh ... (12) Keterangan :

(Vh– VI) = volume pergantian pasang

Vh = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m3) VI = volume air dalam badan air saat surut (m3)

T = periode pasang dalam satuan hari

Perhitungan Volume Badan Air diukur pada saat pasang tertinggi (MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean Low Water Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Vh = A.h1 dan Vl = A.h0 ... (13) Keterangan :

A = luas perairan dangkal Pulau Semak Daun (m2)

h1 dan h0 = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Vh = Volume air pada saat pasang tertinggi

V1 = Volume air pada saat surut terendah Vh– Vl = perubahan volume karena efek pasut.

Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [Nlp] hasil pengkayaan nutrien ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH3N) baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-51/MENLH/2004) untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya (Prodopt) nilai baku mutu dapat dilihat pada Lampiran 1. Mineralisasi bahan organik nitrogen yang terdiri dari protein dan asam amino akan menghasilkan nitrogen anorganik yaitu ammonia, nitrit dan nitrat dan lebih dari 50% buangan nitrogen dari ikan berupa ammonia (Spotte, 1992). Maka produksi optimal dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut :

[Nbm]

(Prodopt) (ton) = ... (14) [Nlp]

Keterangan :

[Nbm] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya (0,3 – 1 ppm) selang konsentrasi Ammonia (NH3N) yang dipersyaratkan.

[Nlp] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan dan antropogenik berupa Ammonia (NH3N).

Produksi optimal (Prodopt) adalah jumlah produksi ikan yang dapat dihasilkan oleh unit budidaya (unit rakit KJA) tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan. Nilai pendugaan produksi optimal adalah perbandingan antara konsentrasi [N] baku mutu dengan konsentrasi [N] limbah produksi. Bila diketahui output limbah N hasil produksi dalam 1 unit KJA, maka akan dapat diketahui jumlah produksi ikan secara optimal dan maksimal.


(28)

Pendekatan 2.

Mengacu Kepada Ketersediaan Oksigen Terlarut dan Bahan Organik

Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan kandungan oksigen terlarut dari badan air dan bahan organik, dengan mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968) in Meade (1989), dan Boyd (1990). Pergantian air akibat pasang surut akan menyediakan atau memasok oksigen terlarut. Hal ini berarti bahwa perairan pesisir dapat dibebani dengan sejumlah ikan yang menggunakan oksigen terlarut, di mana O2 dipasok baik yang berasal dari aliran air pasang surut maupun difusi dari udara.

Tahap 1. Menentukan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air adalah perbedaan antara konsentrasi O2 terlarut didalam inflow (Oin) dan konsentrasi O2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem budidaya (Oout) yaitu 4 ppm (Boyd, 1990). Jika volume air (Qo m3) diketahui, maka total oksigen yang tersedia dalam perairan (O2) selama 24 jam (1.440 menit/hari) adalah :

A = Qo m3 /min x 1.440 min/hari x (Oin – Oout)g O2 / m3 B = A g m3/hari/1000

= kg O2 Keterangan :

Qo = volume air (m3) perairan Pulau Semak Daun

Qin = kandungan oksigen terlarut didalam badan air (mg/l) Oout = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan oleh ikan (mg/l) 1.440 = jumlah menit dalam satu hari

Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik diketahui berdasarkan Willoughby (1968 in Meade 1989) bahwa setiap 1 kg limbah organik memerlukan 0,2 kg O2 / limbah organik.

Tahap 2. Untuk pendugaan daya dukung yang di izinkan dengan mengacu bahwa untuk setiap kilogram limbah bahan organik membutuhkan 0,2 kg O2 sehingga dapat diduga kemampuan perairan untuk menampung limbah bahan organik maksimal yang di izinkan. Dengan demikian, beban limbah bahan organik yang dapat ditampung tanpa melampaui daya dukung dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

B kg O2

0,2 kg O2 /kg limbah organik

Jika diketahui 1 unit rakit KJA mengahasilkan limbah bahan organik = D kg limbah bahan organik, maka kapasitas daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya kerapu adalah :

C kg limbah bahan organik D kg limbah bahan organik/1 unit KJA

= C kg limbah bahan organik ... (15)


(29)

3

HASIL PENELITIAN

3.1 Kondisi Umum dan Oseanografi Perairan Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun termasuk dalam kawasan administrasi Kelurahan Panggang yang memiliki 13 Pulau diantaranya, Pulau Karang Bongkok, Pulau Kotok Kecil, Pulau Karang Congkak, Pulau Semak Daun, Pulau Panggang dan Pulau Air. Diantara pulau tersebut terdapat 3 pulau dengan kawasan perairan laut dangkal terlindung (perairan karang dalam) yang relatif luas yaitu : Pulau Semak Daun, Pulau Karang Congkak dan Pulau Karang Bongkok. Berdasarkan prinsip keterlindungan saja perairan laut dangkal di sekitar pulau tersebut diperkirakan menyimpan potensi yang tinggi sebagai kawasan marikultur.

Bagian karang dalam yang lain dari Pulau Semak Daun adalah reef flat dan

mud flat yang merupakan bagian paling dominan. Sebelum tahun 2000 kawasan ini merupakan tempat budidaya rumput laut dengan menggunakan sistem longline. Kedalaman kawasan ini antara 0,5 – 3,0 m pada saat pasang. Sementara, pada saat surut beberapa reef flat tidak berair. Substrat reef flat berupa pasir berkarang, baik karang hidup maupun karang mati bercampur dengan pecahan karang dan cangkang moluska yang sudah kosong. Bagian reef flat yang tidak berarus pada bagian dasarnya bersubstrat pasir yang mengandung lumpur sehingga disebut mud flat.

Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin musim yang secara garis besar dapat dibagi menjadi Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim Barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari Barat Daya sampai Barat Laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam biasanya terjadi antara bulan Desember-Februari. Pada musim Timur kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah Timur laut sampai Tenggara.

Prediksi pasut untuk stasiun terdekat dengan perairan Semak Daun adalah posisi 5°LS dan 106,5°BT, tipe pasut di perairan ini tergolong pasut campuran dominan ganda, yaitu mengalami dua kali pasang surut selama 24 jam. Kisaran pasut terendah terlihat pada pasang perbani (neap tide) yaitu 42,45 cm sedangkan kisaran tertinggi mencapai 124 cm saat pasang purnama (spring tide). Dengan rata-rata elevasi pasang surut berkisar antara +50 cm dan -50 cm.

Arus merupakan kekuatan air laut yang dapat mendistribusikan bahan terlarut maupun bahan tersuspensi dari satu lokasi ke lokasi lain. Arus sangat berpengaruh positif terhadap penyebaran biota laut dan nutrisi, namun juga dapat berpengeruh negatif bila ia membawa bahan pencemar. Arah dan kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang surut (pasut) dan hembusan angin permukaan. Sistem arus yang berkembang di perairan Semak Daun sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Penelitian dilakukan saat musim timur pada bulan Juni, arus datang dari sebelah timur menuju arah barat Laut Jawa dimana di daerah tenggara Sumatera terjadi divergensi, yaitu sebagian menuju utara dan lainnya memasuki Selat Sunda dengan tinggi gelombang mencapai 0,6 m (Gambar 6).


(30)

Sumber : Diolah dari Data PKSPL-IPB 2006

Gambar 6. Pola arus perairan Pulau Semak Daun pada Bulan Juni

3.2 Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Semak Daun

Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Pulau Semak Daun yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil pengukuran rata-rata parameter fisika dan kimia perairan di semua stasiun pengamatan.

Parameter ST I ST II ST III ST IV ST V Baku Mutu Air Laut*

A. Fisika

1. Suhu (°C) 29,5±0,86 29,8±1,04 29,7±0,87 29,7±0,87 30,2±1,04 28-32

2. Salinitas (‰) 30,6±0,28 31,2±0,25 31,2±0,25 32,2±0,75 31,6±0,76 33-34 3. Kecerahan (m) 9,40±0,50 5,60±0,57 8,20±0,25 7,40±0,40 6,60±0,50 >5 4. Kekeruhan (NTU) 0,45±0,01 0,40±0,06 0,57±0,02 0,37±0,02 0,87±0,03 <5 5. Kecepatan Arus (m/dt) 0,16±0,03 0,15±0,03 0,45±0,05 0,38±0,08 0,09±0,03 0,15-0,25

B. Kimia

1. pH 8,01±0,06 8,11±0,02 8,04±0,03 8,02±0,05 8,00±0,01 7-8,5 2. Nitrat (NO3-N) (mg/l) 0,136±0,05 0,364±0,03 0,216±0,01 0,187±0,03 0,228±0,05 0,110-0,290* 3. Nitrit (NO2-N) (mg/l) <0,004 <0,004 <0,004 <0,004 <0,004 -

4. Ammonia (NH3-N) (mg/l) 0,067±0,05 0,040±0,02 0,046±0,01 0,052±0,02 0,028±0,02 0,3 5. Orto Fosfat (PO4-P) (mg/l) <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 <0,002 0,015 Keterangan : * Kategori perairan mesotrofik (Hakanson dan Bryhn 2008).

* Baku Mutu Air Laut (Kep Men LH No.51/2004).

Kisaran suhu di perairan ini masih mendukung kelangsungan hidup organisme di ekosistem terumbu karang dengan suhu optimal > 18 °C atau dalam kisaran 25 °C – 30 °C (Bengen 2002; Randall 1983). Parameter suhu di lokasi penelitian berkisar antara 29°C – 30°C dengan rata-rata 29,78°C. Nilai rata-rata suhu terendah pada


(31)

stasiun I sebesar 29,5°C dengan standar deviasi 0,86 dan tertinggi pada stasiun V sebesar 30,2°C standar deviasi 1,04 artinya nilai rata-rata suhu pada semua stasiun pengamatan hampir tidak ada perbedaan yang nyata. Beberapa spesies karang dapat bertahan terhadap suhu 14 °C akan tetapi laju klasifikasi menjadi sangat menurun. Demikian pula dengan suhu yang tinggi, metabolisme meningkat sampai kecepatan tertentu hingga pertumbuhan kerangka menurun (Tomascik 1987)

Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang relatif homogen dengan kisaran nilai antara 30‰ – 33‰, dengan nilai rata-rata salinitas terendah terdapat di stasiun I (30,6‰±0,28). Perbedaan nilai salinitas antar stasiun pengamatan sangat kecil diketahui dengan standar deviasi yang relatif kecil nilainya, hal ini diduga karena tidak adanya masukan air tawar dari daratan yang dapat menurunkan nilai salinitas akibat pengeceran. Nilai salinitas di lokasi penelitian masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2004) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar antara 30‰ - 40‰. Sedangkan menurut Nybakken (1988) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 27-40 ‰ dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36‰. Namun demikian pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam seperti run-off, badai, dan hujan. Sehingga kisaran salinitas bisa sampai dari 17,50 – 52,50 ‰ (Supriharyono 2007). Kasjian & Juwana (2009) menambahkan bahwa terumbu karang dapat hidup pada sainitas air yang tetap diatas 30 ‰ tetapi dibawah 35 ‰.

Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena berpengaruh terhadap berlangsungannya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton.

Hasil pengukuran menunjukan nilai parameter kecerahan di semua stasiun adalah >5 m. Tingginya nilai kecerahan pada semua stasiun dikarenakan perairan tersebut hampir tidak ada aktivitas sehingga sedikit mendapat masukan partikel terlarut dari aktivitas manusia. Nilai rata-rata kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,37 sampai dengan 0,87 NTU. Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun 2004 yaitu < 5 NTU.

Tingkat kekeruhan yang tinggi dapat membuat organisme laut mengeluarkan energi lebih untuk menghalau sedimen yang masuk (Supriharyono 2007) sehingga energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan berkurang. Akibat dari berkurangnya energi untuk tumbuh tersebut maka organisme laut tersebut memilih untuk pergi atau mati. Bagi hewan-hewan yang bersifat bergerak (mobile) seperti ikan herbivor dapat pergi untuk mencari lingkungan yang lebih baik, namun bagi hewan yang bersifat menetap (sessile) seperti karang dan makroalga cenderung mati.

Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya relatif bervariasi dengan kisaran 0,080 m/s – 0,50 m/s. Kecepatan arus di dalam kawasan perairan karang dalam berbeda dengan karang luar atau di daerah tubir. Arus dan gelombang di luar


(32)

kawasan karang dalam setelah melewati karang penghalang (barrier reef) akan berubah sama sekali. Arus dan gelombang akan berubah dengan cepat menjadi arus dan gelombang laminer (tenang) dan lambat dengan kecepatan arus berkisar antara 0,08 m/dt sampai dengan 0,10 m/dt. Kecepatan arus relatif kuat di temui di tepi timur dan selatan perairan Pulau Semak Daun, dengan arah aliran menuju barat laut dengan kecepatan berkisar 0,30 m/dt – 0,50 m/dt dengan nilai rata-rata 0,45±0,05. Kontribusi arus terhadap ekosistem terumbu karang yaitu dengan tetap menjamin aliran massa air yang mengandung nutrient dan mengurangi tingkat sedimentasi. Kecepatan arus mempengaruhi densitas massa air yang masuk ke laut sehingga semakin tinggi kecepatan arus maka semakin banyak massa air yang dibawanya khususnya massa air yang membawa sedimen dan nutrien dari daratan (Nontji 2007).

Secara umum arah arus menuju barat laut. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi.

Nilai rata-rata pH di semua stasiun pengamatan relatif sama berkisar antara 8,00 sampai dengan 8,11. Nilai pH tersebut masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan biota khususnya plankton. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2004) yang menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 sampai 8,5. Kisaran parameter pH ini menunjukkan kondisi perairan masih dalam batas normal untuk kelangsungan hidup suatu organisme perairan. Kisaran ini sesuai dengan Kepmen LH No. 51 tahun 2004 dalam

Mukhtasor (2007) tentang baku mutu pH untuk kehidupan organisme laut yaitu sebesar 7,00 – 8,50. Selain itu, hasil pengamatan ini menunjukan bahwa kondisi perairan cenderung bersifat basa. Kondisi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan organisme laut, terutama pada organisme yang berfotosintesis seperti alga dan fitoplankton (Mukhtasor 2007).

Konsentrasi rata-rata nilai nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian nilainya berkisar antara 0,136±0,05 mg/l – 0,364±0,03 mg/l. Nilai rata-rata terendah terdapat di stasiun I sebesar 0,136±0,05 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun II 0,364 ±0,03 mg/l. Menurut Effendi (2004) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran antropogenik dari aktivitas manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Berdasarkan kandungan nitrat maka tingkat kesuburan perairan di Pulau Semak Daun termasuk ke dalam kategori perairan mesotrofik yaitu kadar nitrat antara 0,110 – 0,290 mg/l (Hakanson dan Bryhn 2008).

Senyawa nitrogen di perairan laut terbagi dalam bentuk nitrat (NO3), nitrit (NO2 dan ammonia (NH4) berguna bagi jasad hidup (Romimohtarto dan Juwana 2009). Sebelum dapat digunakan, nitrogen harus dikonversi terlebih dahulu dari N2 ke bentuk reaktif lainnya, seperti ammonia (NH3) atau nitrat (NO3-) yang dikenal dengan proses nitrifikasi.

Penyerapan nitrat yang banyak oleh makroalga mendorong laju pergerakan tumbuh makroalga (Mahasim et al. 2005). Dampak positif dari cepatnya pertumbuhan tersebut adalah banyaknya ketersediaan makanan bagi ikan herbivor yang merupakan konsumen tingkat pertama dalam rantai makanan. Sedangkan


(33)

dampak negatif dari proses tersebut adalah berkurangnya tempat bagi karang keras untuk tumbuh karena alga (zooxanthellae) yang bersimbiosis dengan hewan karang memiliki struktur tubuh yang lebih kecil daripada makroalga sehingga volume ortofosfat dan nitrat yang diserap lebih sedikit.

Konsentrasi nitrit untuk semua stasiun pengamatan < 0,004 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore 1991 in Effendi 2004). Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organisme karena kadarnya masih kurang dari 0,05 mg/l.

Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,006 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan (Moore 1981 in Effendi 2004). Tingkat pencemaran suatu perairan berdasarkan nilai nitrit dibagi ke dalam tiga kriteria yaitu perairan tercemar ringan antara 0,001-0,023 mg/l, tercemar sedang antara 0,024-0,083 mg/l dan tercemar berat lebih dari 0,083 mg/l (Schitz 1970 in Retnani 2001).

Konsentrasi rata-rata ammonia selama pengamatan berkisar antara 0,028 mg/l sampai 0.067 mg/l. Kadar ammonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l dapat bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Effendi 2004). Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organisme karena kadarnya masih kurang dari 0,2 mg/l. Pengaruh banyaknya masukan nutrien pada badan air, menjadikan rendahnya tingkat oksigen terlarut pada area yang luas, dan tingginya kandungan BOD serta konsentrasi ammonia di dalam kolom perairan (Warren 1982).

Fosfor di perairan terlarut sebagai fosfat yang merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan bagi fitoplankton. Senyawa anorganik fosfat yang terkandung dalam air laut umumnya berada dalam bentuk ion ortofosfat, dan pada

umumnya fosfor bukan merupakan faktor pembatas dalam produktivitas laut (Romimohtarto dan Juwana 2009). Hasil pengamatan menunjukkan nilai ortofosfat

pada semua stasiun <0,002 mg/l. Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organisme karena kadarnya masih kurang dari 0,015 mg/l. Banyaknya kadar ortofosfat yang diserap oleh makroalga pada saat proses fotosintesis mempercepat proses pembentukan jaringan dalam tubuh (Steven dan Atkinson 2003).

3.3 Persentase penutupan karang hidup dan makroalga

Pada Tabel 7 terlihat bahwa pada stasiun I, II, dan IV pengamatan persentase tutupan karang hidup termasuk dalam kategori sedang, sedangkan pada stasiun III tutupan karang hidup dapat dikategorikan sangat baik. Dan jika dirata-ratakan dari seluruh stasiun pengamatan yang dianggap mewakili kondisi terumbu karang perairan Pulau Semak Daun, maka kondisi tutupan karang hidup untuk perairan pulau Semak daun adalah 44,95 % dikategorikan sedang.


(34)

Tabel 7. Persentase tutupan karang hidup pada setiap stasiun pengamatan Stasiun Persentase Tutupan Kategori

Karang Hidup (%)

I 41,63 Sedang

II 29,67 Sedang

III 77,67 Sangat baik

IV 30,83 Sedang

Sumber: Diolah dari data primer, 2013

Gambar 7 memperlihatkan persentase komponen terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pulau Semak Daun. Pada stasiun III memiliki persentase tutupan karang hidup yang tinggi yaitu sebesar 77,67 %, di dominasi oleh komponen Acropora (19,33%) dan Non Acropora yaitu sebesar 58,33 %. Sedangkan komponen karang mati sekitar 21,67 % dan alga 0,33 %. Tingginya tutupan karang hidup di stasiun ini mengindikasikan bahwa pada daerah timur perairan Pulau Semak Daun masih dalam keadaan baik.

Pada umumnya terumbu karang di laut tropis hidup pada perairan oligotropik (D’Elia dan Wiebe 1990). Terumbu karang lebih subur pada daerah yang bergelombang besar. Gelombang itu memberi sumber air yang segar, menghalangi pengendapan pada koloni karang (Nybakken 1988; Dahuri et al. 1996). Substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk penempelan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru (Nontji 2007). Pertumbuhan terumbu karang kearah atas dibatasi oleh udara, dan banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka keatas hanya terbatas sampai tingkat pasang surut terendah (Nybakken 1988).

Stasiun II memiliki persentase tutupan karang yang rendah sebesar 29,67%, didominasi oleh komponen karang mati (50,17 %), Acropora (3,67%), Non Acropora

yaitu sebesar 26,00 % dan alga 11,83%. Rendahnya tutupan karang di stasiun II mengindikasikan bahwa pada daerah tersebut telah terjadi kerusakan.

Gambar 7. Persentase komponen terumbu karang pada setiap stasiun pengamatan

Rendahnya tutupan karang pada stasiun II dibandingkan stasiun lainnya diduga akibat dari aktivitas penangkapan ikan yang sifatnya merusak oleh masyarakat di masa lalu sehingga di lokasi penelitian banyak ditemukan karang-karang keras yang patah dan rusak. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan rendahnya tutupan karang keras adalah faktor lingkungan yaitu sedimen dan pengkayaan nutrient. Apalagi di lokasi penelitian terdapat aktivitas KJA yang

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

Acropora Non Acropora

Dead Scleractinia

Algae Other Fauna Abiotic

ST I ST II ST III ST IV


(35)

tentunya memberikan kontribusi pengkayaan nutrien ke perairan melalui sisa pakan dan feses dari ikan budidaya. Dengan mengetahui pola arus di perairan pulau Semak Daun pada bulan penelitian yaitu bulan Juli merupakan musim angin timur dimana angin bertiup dari timut ke barat, arus datang dari sebelah timur menuju arah barat laut jawa dimana di daerah tenggara sumatera terjadi divergensi, yaitu sebagian menuju utara (Laut Cina Selatan) dan lainnya memasuki selat sunda. Sehingga diduga bahan-bahan nutrien yang masuk ke perairan Pulau Semak Daun baik dari pulau sekitar maupun aktivitas KJA akan bergerak ke arah barat laut Pulau Semak Daun yaitu pada stasiun II. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa pada musim ini tutupan makroalga pada stasiun II tinggi, dan kadar nitrat juga tinggi saat penelitian pada stasiun II.

Pengamatan pada perairan pulau Semak Daun diketahui bahwa pada stasiun II dan IV telah terjadi perubahan fase dimana tutupan makroalga lebih tinggi dari tutupan terumbu karang. Hal ini diduga selain adanya pengaruh aktivitas manusia di sekitar terumbu baik itu penangkapan ikan yang merusak maupun penambangan karang, juga adanya tekanan pengkayaan nutrien yang dialirkan dari kegiatan KJA maupun kegiatan antropogenik dari daratan yang membawa aliran nutrien berlebih sehingga meningkatkan pertumbuhan makroalga (Gambar 8).

Gambar 8. Makroalga jenis Turf alga pada stasiun pengamatan II

Pengamatan tutupan makroalga diperoleh hasil bahwa pada perairan Pulau Semak Daun memiliki rata-rata total persentase tutupan berkisar antara 22 – 62 % dengan rata-rata total persentase tutupan makroalga adalah 42,24%. Tutupan makroalga tertinggi terdapat pada stasiun II dengan persentase tutupan 62 % dan tutupan makroalga terendah terdapat pada stasiun III dengan persentase 22 % (Gambar 9).

Gambar 9. Persentase tutupan makroalga pada setiap stasiun pengamatan

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00


(36)

Berdasarkan komposisi kelompok makroalga di perairan Pulau Semak Daun di peroleh hasil bahwa kelompok turf alga memiliki tutupan lebih besar dengan 17,63%, kemudian kelompok makro dengan 16,33% dan kelompok yang memiliki tutupan sedikit adalah coralline 0,67% (Gambar 10).

Tingginya tutupan alga di beberapa stasiun penelitian akibat pengkayaan nutrien menunjukan adanya hubungan kompetisi dalam pemakaian tempat antara karang dan makroalga (Tomascik dan Sander 1987). Terumbu karang dan makroalga merupakan kelompok mayoritas dalam pemakaian tempat (Benayahu dan Loya, 1981). Pengkayaan nutrien dapat menyebabkan kematian karang dan peningkatan tutupan alga (Szmant 2002) dampak lain yang juga bisa timbul adalah meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang (Hallock 1988). Terumbu karang dan makroalga berasosiasi dalam pemakaian tempat karena keduanya membutuhkan cahaya untuk tumbuh (Cronin dan Hay, 1996). Beberapa jenis makroalga (Crustose Calcerous Alga) banyak memberikan kontribusi positif bagi pembuatan kerangka pada terumbu karang, namun demikian jika terjadi

overgrowth maka akan timbul perubahan habitat, dimana terumbu karang akan digantikan dengan makroalga (Diaz Pulido dan Mc Cook, 2008).

Gambar 10. Persentase tutupan makroalga berdasarkan komposisi kelompok makroalga di perairan Pulau Semak Daun

Sebagaimana di jelaskan, ekosistem terumbu karang sangat sensitif terhadap pengaruh kegiatan manusia, pada umumnya ekosistem terumbu karang sudah mengalami tekanan seperti eutrofikasi (penyuburan), pengembangan pesisir, sedimentasi dan penangkapan berlebih sehingga kondisi terumbu karang banyak mengalami penurunan. Akibat dari tekanan tersebut di antaranya adalah pergantian fase komunitas dimana makroalga yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dari pada terumbu karang sendiri ( Jompa dan Mc Cook 2002; Lardizabal 2007).

Salah satu penyebab utama terjadinya blooming alga makro pada ekosistem terumbu karang di Jamaika adalah meningkatnya unsur hara yang menyebabkan peningkatan laju pertumbuhan alga sampai pada kondisi dimana ketersediaan populasi hewan herbivor tidak sanggup lagi mengontrol kelimpahan alga ini yang pada gilirannya menyebabkan kematian karang akibat tertutup alga. Walaupun hipotesa ini mendapat kritikan dari Hughes et al. (1999), tapi dari banyak penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang baik cepat atau lambat akan menyebabkan perubahan keseimbangan menuju ke terumbu yang didominasi oleh alga makro (Jompa dan McCook 2002).

Makro, 16.33 % Turf alga

,17.67 % Coraline,


(37)

Gambar 11 memperlihatkan perbandingan antara tutupan terumbu karang dengan tutupan makroalga, dimana perubahan keseimbangan komunitas telah terjadi pada stasiun pengamatan II dan IV. Hal ini di tunjukkan dengan tingginya tutupan makroalga serta rendahnya tutupan terumbu karang, sehingga komunitas terumbu karang perlahan mulai digantikan oleh komunitas makroalga. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penurunan tutupan karang akan disertai dengan meningkatnya tutupan makroalga (Hay 1997; Lirman 2001; Jompa dan Mc Cook 2003; Diaz Pulido dan Mc Cook 2008).

Kecepatan pertumbuhan alga yang dapat memberikan dampak negatif terhadap komunitas karang dianggap hanya muncul jika terjadi pengkayaan nutrien (Lapointe et al. 2004). Tetapi dilaporkan fakta baru bahwa jenis turf algae, Anotrichium tenue dan

Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang porites (Jompa dan Mc Cook 2003).

Gambar 11. Perbandingan antara tutupan terumbu karang dengan tutupan makroalga

3.4 Kelimpahan ikan karang dan herbivor

Hasil pengambilan data ikan karang Pulau Semak Daun yang dilakukan pada 4 stasiun penelitian (stasiun I, II, III dan IV), terdapat 88 jenis (spesies) ikan karang yang terbagi ke dalam 21 family ikan karang.

Dari seluruh stasiun penelitian yang diamati, diperoleh nilai kelimpahan ikan karang sebesar 9.880 individu per hektarnya. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari penelitian ikan kakap (Lutjanidae) yaitu 40 individu/ha, ikan kerapu (Serranidae) 60 individu/ha, ikan baronang (Siganidae) 290 individu/ha, ikan kakaktua/Parrotfish (Scaridae) 230 individu/ha, dan ikan ekor kuning (Caesionidae) 325 individu/ha. Selama pengambilan data dilakukan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) tidak dijumpai (Gambar 12).

Gambar 12. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting di Perairan pulau Semak Daun

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

STASIUN I STASIUN II STASIUN III STASIUN IV

Tutupan makroalga Tutupan Terumbukarang

0 100 200 300 400

Kakap (Lutjanidae)

Kerapu (Serranidae)

Baronang (Siganidae)

Kakak tua (Scaridae)

Ekor kuning (Caesionidae)


(38)

Ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan 290 individu/ha. Menurut Chabanet et al. (1997) terdapat korelasi positif antara Ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) dengan tutupan terumbu karang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan ikan karang (individu/ha) kelompok ikan mayor, ikan target dan ikan indikator berturut-turut adalah 8.495 individu/ha, 1095 individu/ha dan 290 individu/ha, sehingga perbandingannya adalah 29 : 4 : 1 ini berarti bahwa untuk setiap 34 ikan yang di jumpai pada satu hektar terumbu karang di perairan terumbu karang pulau Semak Daun, kemungkinan besar komposisinya adalah 29 individu ikan mayor, 4 individu ikan target dan 1 individu ikan indikator.

Untuk pengelompokan ikan herbivor berdasarkan Williams dan Pollunin 2001, diperoleh hasil bahwa total jumlah ikan herbivor yang di temui selama pengamatan adalah 34.220 ekor/ha dengan rata-rata kelimpahan 8.555 ekor/ha, kelimpahan total ikan herbivor family Pomacentridae adalah 32.140 ekor/ha dengan rata-rata 8.035 per hektar terbanyak untuk perairan Pulau Semak Daun, sementara total family Scaridae adalah 920 ekor/ha dengan rata-rata 230 per hektar dan total family Siganidae adalah 1.160 ekor/ha dengan rata-rata 290 per hektar (Tabel 8).

Tabel 8. Kelimpahan rata-rata ikan herbivor Pulau Semak Daun

No Family Ikan Kelimpahan Per Hektar Total Rata-rata

Herbivor Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV

1 Pomacentridae 3.660 12.880 7.260 8.340 32.140 8.035 2 Scaridae 300 240 160 220 920 230 3 Siganidae 380 400 0 380 1.160 290

Sumber: Diolah dari data primer, 2013

Kelimpahan ikan herbivor dapat dilihat pada setiap stasiun pengamatan berdasarkan data kelimpahan ikan karang perairan Pulau Semak Daun (Lampiran 4). Kelimpahan ikan Pomacentridae tertinggi terdapat pada stasiun II berjumlah 12.880 ekor/ha, dan yang terendah pada stasiun I berjumlah 3.660 ekor/ha. Kemudian untuk kelimpahan ikan Scaridae tertinggi terdapat pada stasiun I dengan 300 ekor/ha. Dan kelimpahan ikan Siganidae tertinggi terdapat pada stasiun II dengan 400 ekor/ha dan tidak ditemukan di stasiun III.

Makroalga merupakan biota yang sangat cepat menempati setiap ruang yang kosong. Jika herbivor dihilangkan dari kawasan tersebut, larva karang sulit mendapatkan substrat keras untuk menempel dan tumbuh. Larva planula karang sangat membutuhkan kehadiran hewan herbivor untuk membuka ruang yang penuh makroalga sehingga dapat menjadi tempat penempelan. Kehadiran hewan herbivor juga dibutuhkan anakan karang agar makroalga tidak menghalanginya dari sinar matahari. Laju kelulusan hidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya (Lirman 2001).

Beberapa penelitian dengan menggunakan analisis korelasi, menyatakan bahwa antara ikan herbivor dengan tutupan alga memiliki korelasi negatif. Artinya peningkatan satu satuan ikan herbivor maka akan terjadi penurunan alga, hal ini


(1)

Lampiran 3. Hitungan volume air laut melalui elevasi pasang surut Hari ke-i: HWLi (cm) LWLi (cm) hi (m) Volume

(m3)

1 50 -52 1.02 3,214,938

2 50 -53 1.03 3,246,457

3 50 -53 1.03 3,246,457

4 49 -52 1.01 3,183,419

5 48 -51 0.99 3,120,381

6 47.5 -50 0.98 3,073,103

7 47 -49 0.96 3,025,824

8 30 -25 0.55 1,733,545

9 25 -20 0.45 1,418,355

10 20 -20 0.40 1,260,760

11 20 -30 0.50 1,575,950

12 20 -30 0.50 1,575,950

13 25 -30 0.55 1,733,545

14 30 -40 0.70 2,206,330

15 35 -45 0.80 2,521,520

16 40 -49 0.89 2,805,191

17 42 -50 0.92 2,899,748

18 45 -52 0.97 3,057,343

19 48 -60 1.08 3,404,052

20 50 -60 1.10 3,467,090

21 51 -58 1.09 3,435,571

22 50 -52 1.02 3,214,938

23 49 -49 0.98 3,088,862

24 40 -30 0.70 2,206,330

25 30 -30 0.60 1,891,140

26 30 -40 0.70 2,206,330

27 30 -50 0.80 2,521,520

28 40 -52 0.92 2,899,748

29 52 -52 1.04 3,277,976

30 52 -53 1.05 3,309,495


(2)

Lampiran 4. Perhitungan Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Limbah N Perhitungan nutrifikasi N dengan nutrient loading model yang dimodifikasi dan dikembangkan oleh Barg (1992), yaitu:

Ec adalah konsentrasi N dalam air (mg/l); N adalah jumlah nitrogen yang masuk keperairan (g) (produksi 1,08 ton); F adalah flushing time dan V adalah volume perairan (m3). Flushing time (F) dapat dihitung dengan pendekatan tidal exchange method sebagai berikut:

Berdasarkan data perairan yang diperoleh di pulau Semak Daun, maka :

Sehingga dengan demikian didapati nilai flushing time (F) :

Dari nilai F yang didapat maka :

Perhitungan dengan nutrient loading model akan menghasilkan nilai konsentrasi N dalam perairan akibat masukan N limbah budidaya dan non budidaya. Produksi optimal (Popt) dapat diduga dengan cara sebagai berikut:

Popt adalah produksi optimal yang dapat dicapai; (Nbm) adalah N baku mutu perairan

(0,3 – 1 mg/l batas N yang disyaratkan KLH, 2004) dan (Nlp) adalah N limbah

produksi 1,08 ton kerapu/unit keramba/6 bulan. Sehingga Produksi optimal untuk N baku mutu 0,3 mg/l adalah :


(3)

Lampiran 5. Gambar Lokasi Penelitian

Pengambilan data Kualitas Air

Pengambilan Data karang Hamparan Karang dan Ikan

herbivor

Pengambilan Data karang Hamparan karang

Hamparan karang Perairan dalam Lokasi Penelitian

Lokasi Kegiatan Keramba Jaring Apung


(4)

Ikan Herbivor dan Hamparan Karang

Perairan Pulau Semak Daun

Ikan Herbivor dan Hamparan Karang


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, Propinsi Riau pada tanggal 07 Mei 1981 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Amran dan Ibu Siti Anita (alm). Setelah menamatkan SMA Handayani Pekanbaru pada tahun 1998, penulis masuk ke Universitas Riau melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negri). Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FAPERIKA), dan lulus pada bulan September 2003.

Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) melalui program tugas belajar yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Untuk menyelesaikan pendidikannya, penulis melakukan penelitian untuk tesis dengan judul

“Pengelolaan Perairan Pulau Semak Daun Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan dalam Upaya Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang (Studi kasus: Perairan Pulau Semak Daun Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu)” di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. H. Mukhlis Kamal, M.Sc dan Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si.

Penulis saat ini bekerja di Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, Sebagai staf di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna. Penulis juga telah menulis Karya

ilmiah berjudul “Estimasi limbah organik dan daya dukung perairan dalam upaya pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu” dan telah diterbitkan pada jurnal Depik Volume 2(3): 141-153, Desember 2011.


(6)