Karakteristik Pengeringan Kayu di Industri Mebel Kabupaten Jepara Jawa Tengah

KARAKTERISTIK PENGERINGAN KAYU DI INDUSTRI
MEBEL KABUPATEN JEPARA JAWA TENGAH

ACHMAD SOLIKHIN

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik
Pengeringan Kayu di Industri Mebel Kabupaten Jepara Jawa Tengah adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Achmad Solikhin
NIM E24090040

∗ Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan
pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
ACHMAD SOLIKHIN. Karakteristik Pengeringan Kayu di Industri
Mebel Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Dibimbing oleh YUSUF SUDO HADI
dan MUHAMMAD YUSRAM MASSIJAYA.
Pengeringan kayu merupakan hal penting dalam pembuatan mebel
ekspor di Jepara. Pengeringan kayu di sana umumnya didasarkan pada
karakteristik lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik
khas dari pengeringan kayu hingga produk jadi, dan mengetahui kelebihan dan
kelemahan dari pengeringan kayu yang didasarkan pada kearifan lokal. Metode
penelitian ini adalah studi literatur dan penelitian lapang. Penelitian lapang
dilakukan di sembilan industri mebel Kabupaten Jepara dan di Laboratorium
Pengeringan Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB.

Metode pengeringan yang umum digunakan di industri mebel Jepara adalah
pengeringan alami, kilang pengering, dan pengasapan kayu. Rata-rata kadar air
produk mebel ekspor setelah dikeringkan sekitar 8.5 % - 11.2 %. Rata-rata
waktu pengeringan paling lama untuk pengeringan alami, pengasapan, dan
kilang pengering secara berurutan adalah 20 hari, 19 hari, dan 12 hari.
Persentase cacat untuk pengeringan alami, dan pengasapan, dan kilang
pengering adalah 21.4 %, 100 %, dan 100 %. Kualitas pengeringan kayu jati
Perum Perhutani, kayu jati rakyat, dan kayu mahoni termasuk agak baik.
Kata kunci : pengeringan alami, kilang pengering, pengasapan, kadar air, cacat
pengeringan

ABSTRACT
ACHMAD SOLIKHIN. Wood Drying Characteristics in Furniture
Industries of Jepara Regency Central Java. Supervised by YUSUF SUDO
HADI and MUHAMMAD YUSRAM MASSIJAYA.
Wood drying is an imperative process on producing exported wood
furniture in Jepara. The process tends to be based on local characteristics. The
objectives of this research were to understand characteristics of wood drying to
finished wood products; and to understand benefits and drawbacks of wood
drying based on local wise. The methods used were literature study and field

research. Field research was conducted in nine furniture industries of Jepara
Regency and in Wood Drying Laboratory, Forest Products Department,
Faculty of Forestry, IPB. Wood drying methods used in Jepara’s furniture
industries were commonly air drying, kiln drying and smoked wood. The
average of the exported wood furniture moisture content was about 8.5 % 11.2 %. The longest drying time average for air drying, smoked drying and
kiln drying were respectively 20 days, 19 days and 12 days. The percentages of
drying defects of air drying, kiln drying, and smoked wood were 21.4 %, 100
%, 100 %, respectively. Wood drying quality of Perum Perhutani teak,
community teak and mahogany wood included good enough quality.
Key words : air drying, kiln drying, smoked wood, moisture content, drying
defects

KARAKTERISTIK PENGERINGAN KAYU DI INDUSTRI
MEBEL KABUPATEN JEPARA JAWA TENGAH

ACHMAD SOLIKHIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan

pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Karakteristik Pengeringan Kayu di Industri Mebel Kabupaten
Jepara Jawa Tengah
: Achmad Solikhin
: E24090040

Disetujui oleh


Prof Dr Ir Yusuf Sudo Hadi, MAgr
Pembimbing I

Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir I Wayan Darmawan, MSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
Maret 2013 hingga Juli 2013 ini adalah pengeringan kayu, dengan judul
Karakteristik Pengeringan Kayu di Industri Mebel Kabupaten Jepara Jawa
Tengah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Yusuf Sudo Hadi
dan Bapak Prof Dr Ir Muh. Yusram Massijaya selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Trisna Priadi dan Dr Ir Noor Farikhah Haneda yang telah banyak
memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu
Nurul Izza dari PT Raisha House of Excellence, Bapak Buseri dari PT Lima
Saudara, Bapak Nukin dari PT Proliman, Bapak Sunarto dari PT Prasetya Indra
Brata, Bapak Sugiman dari PT Sugiman, Bapak Roy dari Human Resources
Development PT Kota Jati Furindo, Bapak Joko Purnama dari PT Joko Joyo
Jati Furniture, Bapak Junaidi dan Bapak Abu dari CV Arya Jati Furniture, dan
Ibu Esti Prihatini dari Laboratorium Pengeringan Kayu, Departemen Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB yang telah membantu selama pengumpulan
data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, nenek, dan
teman-teman, atas doa dan kasih sayangnya.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini
sehingga diharapkan adanya masukan dan saran untuk penyempurnaannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Achmad Solikhin

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi 
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi 
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi 
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1 
Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 2 
METODE PENELITIAN ........................................................................................ 2 
Waktu dan Tempat ......................................................................................... 2 
Alat dan Bahan ............................................................................................... 2 
Prosedur Penelitian......................................................................................... 2 
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 4 
Metode Pengeringan di Industri Mebel Jepara............................................... 5 
Perubahan Kadar Air dalam Tiap Tahapan Pengolahan Kayu....................... 5
Hubungan Perubahan Kadar Air dan Waktu Pengeringan ............................. 7 
Karakteristik Pengeringan Kayu dan Produk Mebel...................................... 9 
Cacat Pengeringan dan Kerusakan Sambungan ........................................... 10 
Sifat Fisis dan Sifat Dasar Pengeringan Kayu ............................................. 11 
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 12 
Simpulan ...................................................................................................... 12 

Saran............................................................................................................. 13 
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13 
LAMPIRAN .......................................................................................................... 16 

DAFTAR TABEL
1 Metode pengeringan kayu dan produk mebel di Kabupaten Jepara Jawa
Tengah................................................................................................................. 4 
2 Perubahan kadar air dari konversi awal log hingga produk ekspor.................... 6 
3 Pengaruh metode pengeringan terhadap cacat pengeringan ............................. 10 
4 Sifat fisis dan sifat dasar pengeringan untuk kayu mebel Jepara ..................... 11 

DAFTAR GAMBAR
1 Hubungan perubahan kadar air komponen mebel dengan waktu pengeringan .. 7 
2 Hubungan perubahan kadar air produk mebel dengan waktu pengeringan ....... 8 

DAFTAR LAMPIRAN
Nilai dan klasifikasi sifat pengeringan berdasarkan cacat yang terjadi ............ 16 
Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi, dan suhu akhir .............. 16 
Karakteristik pengeringan produk mebel di perusahaan pertama .................... 17 
Karakteristik pengeringan produk mebel di perusahaan kedua ........................ 17

Karakteristik pengeringan komponen dan produk mebel di perusahaan
ketiga ................................................................................................................ 18 
6 Karakteristik pengeringan produk mebel di perusahaan keempat .................... 19 
7 Karakteristik pengeringan papan di perusahaan kelima ................................... 19 
8 Karakteristik pengasapan papan di perusahaan keenam .................................. 20
9 Karakteristik pengeringan papan di perusahaan ketujuh .................................. 20 
10 Karakteristik pengeringan komponen dan produk mebel di
perusahaan kedelapan ....................................................................................... 21 
11 Karakteristik pengeringan komponen dan produk mebel di
perusahaan kesembilan ..................................................................................... 22 
12 Persentase kerusakan sambungan pada produk mebel setelah proses
pengeringan ...................................................................................................... 23
13 Daftar nama-nama perusahaan yang diteliti ..................................................... 23 
14 Cacat pengeringan dan kerusakan sambungan ................................................. 24 
15 Pengujian sifat dasar pengeringan kayu asal beberapa industri
mebel di Jepara ................................................................................................. 24
16 Daftar riwayat hidup ......................................................................................... 25 
1
2
3

4
5

 

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri mebel di Kabupaten Jepara memerankan peran penting dalam
perekonomian daerah dan nasional. Hal ini terbukti ekspor tahunan dari mebel
Jepara mencapai 150 juta dolar dengan tujuan ekspor di Eropa, Amerika, Australia
dan Jepang (Zainuri et al. 2012). Industri-industri tersebut telah menyumbang
pendapatan Pemerintah Kabupaten Jepara pada tahun 2009 sebesar 27 %
(Andriani et al. 2011). Tidak hanya itu, sejak dicanangkannya Jepara sebagai the
World Carving Centre pada tahun 2007 dan penetapan HAKI Indikator Geografis
untuk mebel ukiran telah memberikan nilai tambah bagi produk mebel ukiran
Jepara (Setda Jepara 2010). Akan tetapi, industri-industri tersebut mengalami
berbagai macam masalah di antaranya: bahan baku kayu yang mulai berkurang,
proses produksi mebel yang lama, sumber daya manusia kurang profesional,

proses pemasaran yang sulit, dan munculnya birokratisme dalam advokasi dan
pemerintahan (ASMINDO 2009).
Salah satu permasalahan produksi yang dialami oleh pengusaha mebel di
Jepara saat ini tidak terlepas dari rendahnya kualitas kayu yang dikeringkan
dengan berbagai alasan di antaranya adalah tuntunan untuk tetap memperhatikan
variasi sifat-sifat kayu. Proses pengeringan kayu juga mensyaratkan pengaturan
semua tahapan yang memungkinkan dapat mengurangi berkurangnya variasivariasi pada warna kayu dan pencegahan cacat-cacat pengeringan kayu. Hal ini
dikarenakan semakin rendahnya kualitas kayu yang dikeringkan tidak hanya
mempengaruhi nilai moneter dari kayu itu sendiri tetapi juga sifat kemudahan
pengerjaan kayu, misalnya planing, shaping, turning, boring, mortising, dan
sanding (Gu et al. 2004; Tenorio et al. 2012). Di sisi lain, diperlukan pula
pemograman proses pengeringan dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi
energi, meningkatkan kecepatan pengeringan, memberikan kualitas pengeringan
kayu yang lebih baik, dan mengurangi biaya pengeringan (Dashti et al.
2012).Tidak hanya itu, produk mebel kayu yang akan diperdagangkan di skala
domestik dan manca negara atau ekspor mensyaratkan kadar air produk mebel
interior tidak lebih dari 16 % (Permendag RI 2007) atau 0 % - 12 % (Bina UKM
2010). Sementara itu, menurut Basri dan Rulliaty (2008), persyaratan kadar air
untuk bahan baku produk maksimum 20 %, bahkan untuk mebel 8 % – 14 %.
Hingga saat ini, di beberapa industri mebel di Kabupaten Jepara banyak
dilakukan proses pengeringan kayu hingga produk mebel dengan menggunakan
kebiasaan turun-temurun yang khas atau kearifan lokal sehingga memberikan
keunikan tersendiri dalam proses pengeringan kayu di Kabupaten Jepara. Di
samping itu, pengeringan kayu hingga produk mebel yang didasarkan pada
kekhasan tersebut tetap mempertahankan kualitas produk mebel hingga skala
domestik dan manca negara. Ternyata, masalah pengeringan kayu dan
karakteristik pengeringan kayu di Kabupaten Jepara sangat potensial untuk diteliti
dan dikaji berdasarkan kaidah ilmiah pengeringan yang ada agar dapat
memberikan masukan kepada pengrajin dan pemerintah, berupa kearifan lokal
pengelolaan kayu terutama dalam hal aspek pengeringan kayu di Kabupaten
Jepara.

2
Tujuan Penelitian
1.
2.

Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengetahui karakteristik yang khas dari pengeringan kayu hingga produk
jadi industri mebel di Kabupaten Jepara,
Mengetahui kelebihan dan kelemahan dari pengeringan kayu yang
disandarkan pada kearifan lokal.

Manfaat Penelitian
1.
2.

Manfaat dilakukan proses penelitian ini adalah:
Memaparkan bukti-bukti dan ulasan tentang aspek pengeringan yang sesuai
kaidah ilmiah,
Menyediakan informasi dan rekomendasi kepada pengrajin dan Pemerintah
Kabupaten Jepara mengenai pengeringan kayu dan produk mebel.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Juli
2013. Pengambilan data dilaksanakan pada sembilan industri mebel di Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah dan di Laboratorium Pengeringan Kayu, Departemen Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah moisture meter,
termometer ruang, mistar, caliper, timbangan digital, desikator, oven, tabel sifat
pengeringan dan klasifikasi cacat, plastik, alumunium foil, alat tulis, alat hitung,
kamera, dan label. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sortimen kayu
gergajian dengan berbagai ukuran dan produk mebel jadi yang akan dikeringkan.
Sementara itu, untuk pengujian skala laboratorium berupa pengujian sifat
fisis kayu (kadar air, berat jenis, dan susut volume) dan sifat pengeringan kayu.
Pengujian tersebut membutuhkan contoh uji dari jati Perhutani, jati rakyat, dan
kayu mahoni. Dalam pengujian sifat fisis kayu, diperlukan tiga buah contoh uji
kayu berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm yang mengacu pada standar BS: 373 – 1957.
Sementara itu, untuk pengujian sifat pengeringan, diperlukan tiga buah contoh uji
kayu berukuran 2.5 cm x 10 cm x 20 cm yang sesuai dengan metode Terazawa.
Prosedur Penelitian
Pelaksanan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan
bahan baku log dan atau produk jadi yang akan dikeringkan, pengukuran kadar air

3
kayu dan atau produk mebel jadi dalam setiap tahapan pembuatan mebel,
identifikasi karakteristik pengeringan kayu, dan pengujian skala laboratorium.
Persiapan Bahan Baku
Ada beberapa hal yang perlu diidentifikasi selama persiapan bahan baku yang
akan dikeringkan, yaitu jenis bahan baku (sortimen kayu gergajian atau produk
mebel jadi), spesies kayu yang dikeringkan, dan ukuran bahan baku.
Pengukuran Kadar Air
Pengukuran kadar air dari proses konversi awal kayu bulat hingga
pengeksporan produk mebel merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian
ini. Pengukuran kadar air ini dilakukan dengan menggunakan moisture meter.
Pengujian dan pengukuran kadar air dilakukan pada saat sebelum log digergaji
atau saat menjadi sortimen kayu gergajian hingga menjadi produk mebel. Selama
proses tersebut, kadar air dalam proses pengeringan kayu pun perlu diukur (kadar
air sebelum dan sesudah pengeringan).
Identifikasi Karakteristik Pengeringan Kayu
Dalam pengeringan kayu ada beberapa aspek yang perlu diidentifikasi,
antara lain:
1.
Metode pengeringan, alat dan aksesoris pengeringan, waktu pengeringan,
waktu tunggu, jadwal pengeringan, cacat pengeringan, dan kerusakan
sambungan;
2.
Penumpukan kayu dan produk mebel yang dikeringkan, bahan baku yang
digunakan untuk penghasil panas, biaya pengeringan berupa jasa
pengeringan, keluhan
dari konsumen, jumlah keluhan, dan
penanggulangannya;
3.
Volume kayu yang dikeringkan dalam kilang pengeringan, perlakuan
sebelum pengeringan, perbandingan dengan teori ilmiah pengeringan yang
ada misalnya jadwal pengeringan, alat dan aksesoris pengeringan, serta
penumpukan.
Pengujian Skala Laboratorium
Pengujian skala laboratorium ini meliputi dua hal yakni pengujian sifat fisis
kayu, dan sifat dasar pengeringan. Pada pengujian sifat fisis kayu setiap kayu
contoh uji berjumlah tiga, yakni: jati Perhutani, jati rakyat, dan mahoni yang
berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm sesuai standar BS: 373 - 1957; dan dianalisis berat
jenis, kadar air, dan kembang susutnya. Sedangkan pengujian sifat dasar
pengeringan digunakan untuk menentukan nilai dan klasifikasi sifat pengeringan
berdasarkan cacat yang terjadi (Terazawa 1965). Ada tiga sample kayu jati
Perhutani, jati rakyat, dan mahoni yang berukuran 2,5 cm x 10 cm x 20 cm dan
diulang sebanyak 3 kali. Pada akhir pengeringan, sampel yang telah ditandai,
dihitung, dan diukur persentase jumlah cacat permukaan, deformasi, dan honey
combing. Penetapan tingkat kerusakan berdasarkan jumlah dan ukuran cacat yang
terjadi dalam kondisi kering mutlak (Lampiran 1 dan Lampiran 2).

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode Pengeringan di Industri Mebel Jepara
Proses pengeringan kayu sangat terkait erat dengan metode pengeringan
yang digunakan. Menurut Aytekin et al. (2009), ada dua metode pengeringan yang
umum digunakan, yaitu pengeringan secara alami (air drying) dan pengeringan
menggunakan kilang (kiln drying). Sementara itu, menurut Langrish & Walker
(2006) ada beberapa metode pengeringan kayu, antara lain: pengeringan alami,
predrier, pengeringan konvensional, solar kiln, pengeringan dengan listrik dan
microwave, dan pengeringan dengan dehumidifiers dan heat pump. Menurut
Horner (2006), metode pengeringan kayu juga dapat berupa steam-heated kiln, hot
water kiln, dan radio frequency serta vacuum kiln.
Industri mebel di Kabupaten Jepara paling banyak menggunakan metode
pengeringan alami dan kilang pengeringan serta pengasapan, sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode pengeringan kayu dan produk mebel di Kabupaten Jepara Jawa
Tengah
Perusahaan
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX

Metode pengeringan
Alami

Pengasapan





















Kilang pengeringan










Metode kilang pengeringan adalah metode yang umum digunakan oleh beberapa
perusahaan di atas, selebihnya menggunakan metode alami dan pengasapan. Akan
tetapi, penggunaan metode pengeringan kilang pengeringan kurang
memperhatikan jadwal dan cacat pengeringan, dikarenakan mereka hanya fokus
pada target kadar air ekspor yakni 12 % atau 16 % dan waktu pengeringan. Selain
itu alat dan aksesoris pengeringan, jadwal pengeringan, dan serta penumpukan
kayu dan produk pun kurang memenuhi kaidah ilmiah. Ketidaksesuaian dengan
kaidah ilmiah dapat ditinjau dari kurang lengkapnya alat dan aksesoris
pengeringan (umumnya hanya terdapat fan dan tungku pemanas), jadwal
pengeringan yang didasarkan pada estimasi seseorang, dan penumpukan kayu
yang tidak lurus dengan ketebalan ganjal yang beragam. Metode pengeringan
alami merupakan solusi kedua yang ditujukan untuk mengeringkan komponen
atau produk mebel yang sudah jadi di ruang terbuka dan di bawah sinar matahari

5
langsung. Pengeringan ini dinilai sangat efektif untuk mengeringkan produk jadi
dikarenakan lebih murah, ketersediaan panas matahari yang cukup, dan
menghasilkan cacat pengeringan yang minimal dibandingkan metode lainnya.
Metode pengasapan telah tersebar di beberapa industri mebel di Kabupaten
Jepara dikarenakan proses sederhana, murah, dan kualitas warna kayu bagian
dalam yang bagus dibandingkan dengan pengeringan kilang pengering, misalnya
pada kayu mahoni yang berwarna lebih merah setelah diasapkan. Pengasapan juga
dapat meningkatkan kualitas kayu untuk lacquer ware dikarenakan terjadi
penyusutan yang rendah dan kenaikan MOE pada static bending (Ishguri et al.
2008). Selain itu, Hadi et al. (2010), menyatakan bahwa pengasapan kayu mampu
meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap.
Metode pengeringan di Kabupaten Jepara pada umumnya kurang
memperhatikan jadwal pengeringan, cacat pengeringan, dan alat pengeringan.
Padahal diperlukan kompromi antara kecepatan pengeringan dan kemungkinan
cacat pengeringan (Horner 2006), serta kompromi jadwal pengeringan untuk
minimalisir perubah warna dan mengefisiensikan penggunaan energi (McCurdy &
Pang 2007). Selain itu, metode pengeringan secara signifikan mempengaruhi
kecepatan pengeringan di samping dimensi produk (Suranto & Mugiyono 2009)
dan bermanfaat untuk mengurangi konsumsi energi, meningkatkan kecepatan
pengeringan, menjaga kualitas kayu, dan meminimumkan biaya dalam proses
pengeringan (Shahverdi et al. 2012a).
Perubahan Kadar Air dalam Tiap Tahapan Pengolahan Kayu
Dari studi lapangan di sembilan industri mebel di Kabupaten Jepara,
diperoleh data perubahan kadar air dari konversi awal kayu hingga produk ekspor
atau hanya perubahan kadar air saat pengeringan produk mebel sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa ada empat
perusahaan, yaitu perusahaan pertama, kedua, ketiga, dan keempat yang hanya
bertugas mengeringkan produk jadi saja sebelum diekspor, dikarenakan produk
mebel tersebut adalah produk dari para supplier kecil. Hanya perusahaan keempat
yang dapat diketahui nilai kadar air produk ekspornya, yakni antara 10.1 % - 12.7
% pada tiap ulangan dengan rata-rata nilai kadar air ekspor adalah 11.2 %. Jika
ditinjau berdasarkan Permendag RI (2007), produk mebel ekspor perusahan
tersebut pada setiap ulangan memenuhi syarat ekspor yakni kurang dari 16%.
Akan tetapi, jika ditinjau berdasarkan nilai kadar air yang ditetapkan Bina UKM
(2010), produk mebel pada ulangan pertama tidak memenuhi syarat ekspor.
Ada lima perusahaan, yaitu perusahaan kelima, keenam, ketujuh, kedelapan,
dan kesembilan yang dapat ditinjau proses perubahan kadar air dari konversi awal
kayu hingga produk ekspor. Nilai kadar air konversi awal atau papan dari lima
perusahaan di atas berkisar antara 31.4 % - 52.7 %, kemudian setelah melalui 1 - 2
proses pengeringan, rata-rata kadar air yang diperoleh adalah 7.4 % - 11.8 %. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa dengan proses pengeringan kadar air yang
diinginkan dapat dicapai (Muhammad 2012).
Sementara itu, rata-rata kadar air produk ekspor dari lima perusahaan, yakni
perusahaan kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan adalah 8.5 %11.1 % dengan kadar air produk ekspor tiap rotasi sekitar 8.5 %-11.4 %. Kelima
perusahaan tersebut, untuk produk mebel yang akan diekspor telah memenuhi

6
Tabel 2 Perubahan kadar air dari konversi awal log hingga produk ekspor

Perusahaan

I

II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX

Ulangan

Konversi
awal

1
2
3
1
2
3
1
2
1
2
3
1
2
1
1
2
1
2
1
2

52.7
47.5
47.8
32.7
38.3
52.2
31.4
43.1
42.4

Kadar air pengolahan kayu (%)
Pengeringan
Pengeringan
komponen
produk
Produk
ekspor
awal akhir awal
akhir
54.9
43.2
48.1
21.4
25.3
46.0
35.0
41.2
44.3

7.4
10.4
11.8
10.0
8.4
34.1
24.4
20.2
18.3

20.3
14.4
24.6
34.3
32.7
15.7
11.4
21.0
11.9
21.3
13.0
30.8
13.3
21.6
12.3

8.7
9.5
8.2
9.5
8.6
13.9
9.7
14.9
9.9
9.9
10.3
8.4
10.2
10.0
11.4

12.7
10.1
10.8
11.2
10.3
8.5
9.5
9.3
10.0
9.2
10.7
11.4

Rata-rata
kadar air
produk
ekspor
-

-

11.2
10.8
8.5
9.4
9.6
11.1

standar kadar air yang telah ditetapkan oleh Permendag RI dan Bina UKM.
Apabila dilihat dari rata-rata kadar air produk ekspor dari lima perusahaan di atas,
rata-rata kadar air tersebut tergolong kadar air titik jenuh serat yang berkisar
kurang lebih 30% dan merupakan kondisi di mana kondisi serat kayu jenuh
dengan air tetapi dalam rongga sel tidak terisi kadar air (Nin 2000). Akan tetapi,
setelah melalui beberapa proses pengeringan ternyata pada setiap perusahaan
terjadi proses kembang susut dikarenakan perubahan kadar air meskipun
perubahan kadar air tersebut tidak terlihat signifikan. Dalam kondisi kering atau
setelah dikeringakan, kayu dapat mengabsorbsi air, dan dalam kondisi basah kayu
dapat kehilangan air dan menyebabkan perubahan pada dimensinya yang
tergantung pada kondisi lingkungan (Aytekin et al. 2009). Kondisi cuaca yang
berubah-ubah di Kabupaten Jepara juga ikut mempengaruhi proses perubahan
kadar air dalam pengeringan kayu di perusahan-perusahaan tersebut. Berdasarkan
BMKG (2013), Kabupaten Jepara sering terjadi hujan ringan dengan suhu: 25 - 32
°C, kelembaban sekitar 60 - 93 % dan kecepatan angin 25 km/jam.
Data nilai kadar air produk mebel yang diekspor dari lima perusahaan, yaitu
perusahaan kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan di atas berkisar
8.5 % - 11.4 %, dan telah memenuhi standar kadar air yang ditetapkan oleh
Permendag RI dan Bina UKM. Hal ini dapat dijelaskan bahwa proses pengeringan
kayu di lima perusahaan tersebut memainkan peran penting dalam menurunkan
kadar air sehingga kekhawatiran akan penolakan produk mebel ekspor dapat
diatasi, dengan syarat yakni kadar air yang dicapai sesuai dengan standar yang

7
ditentukan untuk produk ekspor. Selain itu, dengan adanya pengeringan kayu
diharapkan mampu meningkatkan stabilitas dimensi (Shahverdi et al. 2012b),
meningkatkan sifat mekanis dan ketahanan dari biodegradasi (Moya & Munoz
2008), dan meningkatkan kekuatan dan kekakuan, penampilan, sifat rekat, sifat
finishing, sifat perekatan dan pengerjaan kayu (Aytekin et al. 2009).
Hubungan Perubahan Kadar Air dan Waktu Pengeringan
Menurut Bektha et al. (2006), waktu dan kecepatan pengeringan adalah
parameter penting yang mempengaruhi kualitas pengeringan. Hal ini sesuai
dengan data penelitian bahwa waktu pengeringan pada sembilan perusahaan
sangat berpengaruh terhadap perubahan kadar air yang ditargetkan. Data
penelitian tersebut diklusterkan berdasarkan perusahaan yang mengeringkan kayu
atau komponen (Gambar 1) dan produk mebel jadi (Gambar 2) dengan kondisi
lingkungan yang berbeda-beda.

Gambar 1 Hubungan perubahan kadar air komponen mebel
dengan waktu pengeringan
Berdasarkan Gambar 1 diperoleh data bahwa terjadi perubahan kadar air
pada komponen mebel setelah melalui proses pengeringan dengan waktu
pengeringan yang berbeda-beda. Untuk mencapai kadar air kurang dari 12 %,
perusahaan kelima membutuhkan waktu pengeringan selama 19 hari untuk kayu
mahoni yang dikeringkan dengan proses pengasapan, dan perusahaan keenam
membutuhkan waktu pengeringan selama 6 hari untuk kayu mahoni yang
dikeringkan dengan kilang pengeringan, sedangkan perusahaan ketujuh
membutuhkan waktu pengeringan selama 12 hari untuk mengeringkan kayu jati
dengan metode kilang pengeringan. Sementara itu, pada perusahaan kedelapan

8
dan kesembilan, untuk mengeringkan komponen kayu jati dengan menggunakan
metode pengeringan alami, waktu pengeringan yang dibutuhkan adalah 3 hari dan
10 hari dikarenakan adanya perbedaan dimensi komponen kayu yang dikeringkan.
Penggunaan metode pengeringan yang sama untuk komponen kayu yang sama
atau berbeda akan membutuhkan waktu pengeringan yang berbeda. Hal ini terjadi
dikarenakan adanya faktor perbedaan ketebalan komponen kayu yang dikeringkan
dan faktor berat jenis kayu. Pengaruh jadwal pengeringan, penumpukan kayu, dan
proses pengeringan pun sangat mempengaruhi kadar air yang dicapai.

Gambar 2 Hubungan perubahan kadar air produk mebel
dengan waktu pengeringan
Berdasarkan Gambar 2 diperoleh data bahwa untuk mengeringkan produk
mebel dengan kadar air kurang dari 12 %, pada perusahaan keempat waktu
pengeringan yang dibutuhkan untuk mengeringkan produk jadi dari kayu mahoni
dengan kilang pengeringan adalah 1 hari, sedangkan perusahaan pertama, kedua,
dan ketiga waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk mengeringkan produk jadi
dari kayu jati dengan kilang pengeringan adalah 6 hari, 5 hari, dan 7 hari.
Sementara itu, perusahaan kedelapan dan kesembilan waktu pengeringan yang
dibutuhkan untuk mengeringkan produk jadi dari kayu jati dengan pengeringan
alami adalah 4 hari dan 10 hari. Perusahaan ketiga mengeringkan produk dari
kayu gmelina sekitar 7 hari. Ditinjau dari jenis kayu yang digunakan, kayu jati
memiliki berat jenis (BJ) sebesar 0.67 lebih tinggi dari BJ kayu mahoni sebesar
0.54 dan kayu gmelina sebesar 0.46. Semakin tinggi berat jenis kayu dan
kerapatan kayu, maka semakin tinggi air terikat dalam dinding sel. Hal ini

9
berakibat pada semakin lamanya proses pengeringan produk kayu jati
dibandingkan produk kayu mahoni dan kayu gmelina.
Perubahan kadar air yang terjadi secara signifikan pada komponen dan
produk kayu dikarenakan adanya sirkulasi udara yang cukup dan laju pengeringan
yang baik pada waktu pengeringan kayu. Menurut Khater et al. (2004), aliran
udara dalam kilang pengeringan berperan sebagai pengangkut panas dan perantara
untuk mengabsorsi kadar air yang menguap. Sirkulasi udara yang cukup sangat
penting untuk memindahkan uap air di sekitarnya dan menggantikannya dengan
udara yang hangat dan kering. Faktor lain yang mempengaruhi waktu pengeringan
adalah laju pengeringan.
Karakteristik Pengeringan Kayu dan Produk Mebel
Sembilan perusahaan mebel di atas memiliki karakteristik pengeringan kayu
yang berbeda-beda. Karakteristik perusahaan tersebut dapat dilihat di Lampiran 3
– Lampiran 11. Secara umum, ada 3 perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa
pengeringan yakni perusahaan pertama, kedua, dan ketiga. Perusahaan tersebut
memberikan fasilitas dan tempat untuk mengeringkan kayu dari beberapa
perusahaan lain tidak memiliki kilang pengering. Kebanyakan perusahaan di
Jepara tidak memiliki kilang pengering karena proses pembuatan kilang pengering
berkisar antara Rp 10 - 15 juta/kamar.
Perusahaan pertama dan perusahaan kedua menetapkan biaya pengeringan
berdasarkan kubikasi dan sistem sewa kamar. Biaya pengeringan kayu yang
ditetapkan untuk sistem kubikasi sebesar Rp 200.000 per-m3/hari, sedangkan
untuk sewa kamar diterapkan harga sebesar Rp 250.000 perhari untuk kamar
ukuran kecil dan Rp 300.000 perhari untuk kamar ukuran besar. Sedangkan untuk
perusahaan ketiga menetapkan biaya pengeringan dengan dua sistem yakni sistem
kubikasi dan sistem sewa kamar. Sistem kubikasi per-m3 dari papan dan produk
jadi ditetapkan biaya pengeringan sebesar Rp 210.000 perhari. Sementara itu,
sistem sewa kamar ditetapkan harga sebesar Rp 9 juta persepuluh hari untuk tiap
kamar.
Secara umum, tipe kilang pengeringan kayu di sembilan industri tersebut
adalah compartment kiln. Industri-industri yang mempunyai kiln pengeringan atau
oven dilengkapi dengan beberapa alat dan aksesoris pengeringan, di antaranya
mesin pemanas (boiler), pipa instalasi panas, heater (penyimpan panas), panel,
platform sebagai pembatas, fan atau blower, spraying, dan moisture meter. Mesin
pemanas berfungsi sebagai sumber panas untuk mengeringkan kayu yang
dihasilkan dari uap panas. Alternatif sumber panas lainnya adalah melalui
penggunaan heater yang berfungsi untuk penyimpan panas. Pipa instalasi panas
digunakan untuk menyalurkan panas dari boiler ke ruang pengeringan melalui
heating coils. Sementara itu, dalam panel otomatis terdapat pengontrol kipas,
pengontrol temperatur, pengontrol kelembaban, dan pengontrol valve.
Kilang pengeringan juga dilengkapi dengan fan atau blower dengan jumlah
tertentu. Fan berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara dalam ruang pengeringan
agar udara panas dapat merata ke seluruh ruangan. Untuk pengaturan suhu dan
kelembaban udara, diperlukan jadwal pengeringan yang sesuai agar waktu
pengeringan yang diperoleh dapat lebih singkat dan cacat pengeringan yang
dihasilkan dapat diminimumkan. Jadwal pengeringan kebanyakan diatur melalui

10
panel otomatis dengan suhu yang telah ditetapkan dari awal. Dari sembilan
industri mebel yang diteliti, jadwal yang sesuai dengan kaidah ilmiah adalah
perusahaan ketujuh.
Karakteristik lain dari proses pengeringan kayu di sembilan industri mebel
yang diteliti adalah proses penumpukan kayu dan produk mebel. Proses
penumpukan kayu ada yang sesuai dengan kaidah ilmiah dan ada yang tidak
memperhatikan kaidah ilmiah. Kurangnya perhatian pada proses penumpukan
kayu yang baik mengakibatkan timbulnya cacat-cacat pengeringan dan kerusakan
sambungan. Cacat pengeringan dan kerusakan sambungan yang terjadi banyak
menyebabkan keluhan dari pelanggan sehingga produk mebel yang mengalami
cacat pengeringan dan kerusakan sambungan akan ditolak atau reject oleh
konsumen. Produk mebel yang ditolak oleh konsumen, selanjutnya akan
dilakukan proses perbaikan atau service dengan cara pemberian lem dan
penyambungan ulang.
Cacat Pengeringan dan Kerusakan Sambungan
Pengeringan kayu merupakan tahap penting yang membantu peningkatan
nilai penggunaan kayu. Sifat-sifat fisika kayu dan teknologi kayu serta kerentanan
spesies kayu terhadap cacat pengeringan misalnya splits, checks, collapse, dan
honey-combing adalah hal yang fundamental untuk diketahui (Ofori & Brentuo
2005). Dari sembilan perusahaan, ternyata cacat pengeringan pada papan dan
produk jadi dipengaruhi oleh metode pengeringan yang digunakan (Tabel 3).
Tabel 3 Pengaruh metode pengeringan terhadap cacat pengeringan
Perusahaan

I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX

Pengeringan alami
(%)
tidak cacat
Cacat














100
0
78.6
21.4

Metode pengeringan
Pengasapan
Kilang Pengering
(%)
(%)
tidak cacat
cacat
tidak cacat
Cacat
25.0
75.0


57.9
42.1


7.1
92.9


36.8
63.2


0
100


0
100


57.1
42.9


90.0
10.0





Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pengeringan pada produk jadi
dengan pengeringan konvensional banyak menimbulkan cacat. Cacat terbesar dari
pengeringan secara konvensional adalah 100 % pada perusahaan keenam.
Kemudian cacat pengeringan terbesar lainnya adalah sebesar 92.9 % pada
perusahaan ketiga. Cacat pengeringan yang terjadi karena pengaturan jadwal

11
pengeringan kayu yang tidak sesuai. Selain itu, kondisi kilang atau kiln pun tidak
tertata rapi dan beberapa alat pengeringan telah banyak yang mengalami
kerusakan. Cacat pengeringan yang paling banyak terjadi pada produk mebel yang
dikeringkan adalah cacat permukaan dan pecah ujung. Cacat permukaan dan
pecah ujung terjadi karena hilangnya kadar air pada permukaan luar kayu yang
lebih cepat dibandingkan bagian dalam sehingga mengakibatkan tegangan (Horner
2006).
Sementara itu, persentase cacat pengeringan lainnya adalah sebesar 100 %
pada metode pengasapan. Cacat yang paling banyak terjadi pada metode tersebut
adalah serangan jamur pada ujung permukaan kayu, pecah permukaaan, dan pecah
ujung. Berdasarkan Langrish & Walker (2006), serangan jamur tersebut
dinamakan sebagai cacat staining yang terjadi akibat serangan jamur dan sap
stain. Hal tersebut terjadi karena kondisi lembab kayu yang diasapkan karena
tertutup oleh terpal dan pengaruh hujan.
Tidak hanya cacat pengeringan yang terjadi saat pengeringan kayu, akan
tetapi kerusakan sambungan juga menjadi masalah ketika yang dikeringakan
adalah produk jadi (Lampiran 12). Ternyata kebanyakan sambungan mengalami
kerusakan berupa pecah dan longgar setelah proses pengeringan. Kerusakan
sambungan juga sangat dipengaruhi oleh metode pengeringan yang digunakan.
Sesudah dilakukan pengeringan, kerusakaan sambungan paling banyak pada
pengeringan alami adalah pecah dengan persentase 64.3 % dan sambungan
longgar sebesar 0 %, sedangkan kerusakan sambungan paling banyak pada kilang
pengering adalah pecah sebesar 85.7 % dan sambungan longgar sebesar 60 %.
Kerusakan sambungan terjadi dikarenakan pengaruh jadwal pengeringan yang
tidak sesuai dan kembang susut dimensi produk mebel saat dikeringkan.
Sifat Fisis dan Sifat Dasar Pengeringan Kayu
Berdasarkan hasil pengujian sifat fisis dan sifat dasar pengeringan,
didapatkan data sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sifat fisis dan sifat dasar pengeringan untuk kayu mebel Jepara
Jenis kayu

Sifat pengeringan

Kadar

Berat

Susut

air (%)

jenis

volume (%)

Pecah
permukaan
dan ujung

Deformasi

Pecah
dalam

Jati Perum
Perhutani
Jati Rakyat

33.3

0.66

3.4

I

II

I

21.2

0.45

1.4

I

III

III

Mahoni

31.0

0.51

9.1

I

II

II

Berdasarkan hasil pengujian sifat fisis, dapat diketahui kadar air, berat jenis,
dan susut volume dari kayu jati Perum Perhutani, jati rakyat, dan mahoni. Dari
data di atas, berat jenis kayu jati Perum Perhutani adalah 0.66, sedangkan kayu jati
rakyat adalah 0.45. Hal ini sesuai dengan Susetyo (2001), bahwa rentang berat

12
jenis kayu jati Perum Perhutani dari Purwakarta adalah 0.46 - 0.67 dengan ratarata 0.60. Akan tetapi, untuk berat jenis kayu jati rakyat berada di luar rentang
berat jenis di atas. Hal ini dikarenakan bahwa kayu jati rakyat yang digunakan
oleh beberapa industri mebel di Kabupaten Jepara memiliki porsi kayu muda yang
lebih tinggi dibandingkan kayu jati Perum Perhutani. Sementara itu, berat jenis
kayu mahoni dari penelitian ini adalah sebesar 0.57 dan nilai berat jenis kayu
mahoni tersebut masih berada di rentang 0.54 - 0.66 (Eric 2013).
Ditinjau dari susut volume kayu di atas, kayu jati memiliki kembang susut
yang besar dibandingkan kayu mahoni. Berdasarkan LPP Mebel dan Kayu Olahan
(2008), kayu jati memiliki susut yang kecil dan kayu mahoni memiliki susut
volume yang sedang. Penyusutan dimensi kayu mulai diperhitungkan setelah kayu
mencapai kadar air 30% (kadar air titik jenuh serat) karena di atas nilai tersebut
biasanya penyusutan sangat kecil sehingga diabaikan (LPP Mebel dan Kayu
Olahan 2008).
Berdasarkan hasil pengujian sifat pengeringan suhu tinggi, maka kualitas
kayu jati Perum Perhutani, jati rakyat, dan mahoni memiliki sifat pengeringan
yang sangat baik terhadap pecah permukaan dan ujung. Kayu jati Perum Perhutani
dan kayu mahoni memiliki kualitas pengeringan yang baik terhadap deformasi,
sedangkan kayu jati rakyat memiliki kualitas pengeringan yang agak baik terhadap
deformasi. Sementara itu, kayu jati Perum Perhutani, jati rakyat, dan mahoni
memiliki kualitas pengeringan secara berurutan adalah sangat baik, agak baik, dan
baik terhadap pecah dalam. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa kayu jati
Perum Perhutani, jati rakyat, dan mahoni memiliki sifat pengeringan yang agak
baik. Menurut Basri (2009), kayu Jati Plus Perhutani memiliki sifat pengeringan
yang jelek hingga sangat jelek, dan kayu jati konvensional memiliki sifat
pengeringan yang sedang hingga baik. Kebanyakan cacat yang terjadi adalah cacat
deformasi berupa cup atau memangkuk pada kayu jati rakyat. Hal ini dikarenakan
kayu jati rakyat didominasi oleh sel berdinding sel tipis dan lebih pendek sehingga
mengurangi kualitas pengeringannya (Basri 2009).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1.

2.

Proses pengeringan kayu di industri mebel Kabupaten Jepara menggunakan
metode pengeringan alami, kilang pengering, dan pengasapan. Karakteristik
pengeringan di industri mebel Jepara adalah menggunakan jasa dan tanpa
menggunakan jasa pengeringan pada saat mengeringkan kayu. Tidak hanya
kayu saja yang dikeringkan, akan tetapi produk mebel juga dikeringkan.
Selain itu, dalam kilang pengering terdapat perbedaan alat dan aksesoris
pengeringan, jadwal pengeringan, dan penumpukan kayu.
Pengeringan produk mebel ekspor yang dilakukan di Kabupaten Jepara
memiliki kadar air berkisar 8.5 % - 11.2 %. Akan tetapi proses pengeringan
kayu dan produk mebel membutuhkan waktu relatif lama, yaitu pengeringan
alami 20 hari, kilang pengering 12 hari, dan pengasapan 19 hari di mana
pengeringan pada produk mebel dengan metode kilang pengering banyak
menyebabkan cacat pengeringan dan kerusakan sambungan.

13
Saran
1.

2.

Perlu dilakukan pengaturan jadwal pengeringan dan pengaturan
penumpukan kayu yang sesuai kaidah ilmiah untuk meminimalisir cacat
pengeringan dan kerusakan sambungan.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait pengeringan produk mebel
dan pengaruh waktu pengeringan terhadap produktivitas produk mebel.

DAFTAR PUSTAKA
[ASMINDO] Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia. 2009.
Jepara: The World Carving Centre, Directory ASMINDO KOMDA Jepara
2009. Jepara (ID): ASMINDO.
Andriani H, Achdiawan A, Purnomo H, Puntodewo A, Harini R. 2011. Spatial
modeling approach to clustering the furniture industry and regional
development in Jepara, Indonesia. 19th International Congress on Modelling
and Simulation; 2011 Des 12-16; Perth, Australia. Perth (AU) 12–16
December 2011. Bogor: CIFOR.
Aytekin A, Gündüz G, Kaygın B, Korkut S, and Onat SM. 2009. Drying
schedules calculation of Camiyani Black Pine (Pinus nigra Arn. subsp.
pallasiana var. pallasiana) by computer programming. African J Biotech.
8(8): 1703-1712.doi: 10.5897/AJB09.218.
Basri E. 2009. Kualitas pengeringan kayu jati cepat tumbuh dan jati konvensional.
Buletin Hsl. Hutan. 15(1): 1-7.
Basri E, Rulliaty S. 2008. Pengaruh sifat fisik dan anatomi terhadap sifat
pengeringan enam jenis kayu. J Pen Hsl Hutan. 4: 1-17.
Bekhta P, Ozarkiv I, Alavi S, Hiziroglu S. 2006. A theoretical expression for
drying
time
of
thin
lumber.
Biorsc
Tech.
97:1572
1577.doi:10.1016/j.biortech.2005.06.005.
[BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. 2013. Prakiraan cuca
propinsi Jawa Tengah. [Internet]. [diunduh 2013 Juni 24]. Tersedia pada:
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/.
[Bina UKM] Bina Usaha Kecil Menengah. 2010. Spesifikasi bahan baku dalam
usaha industri furniture. [Internet]. [diunduh 2013 Feb 19]. Tersedia pada:
http://binaukm.com/2010/09/spesifikasi-bahan-baku-dalam-usaha-industrifurniture/.
BS [British Standard] 373 - 1957. 1957. The British Standard Methods of Testing
Small Clear Specimens of Timber. London (GB): British Standards Institute.
Dashti H, Shahverdi M, Tayeb SHAM , Lotfizadeh H. 2012. Impact of kiln drying
schedule upon some mechanical properties of poplar wood. Not Sci Biol.
4(3):158-162.
Eric. 2013. Honduran mahogany. [Internet]. [diunduh 2013 Juli 25]. Tersedia
pada:http://www.wood-database.com/lumber
identification/hardwoods/
honduran-mahogany/.
Ginanjar RR. 2011. Sifat dan jadwal pengeringan tiga jenis kayu rakyat (Altingia
excelsa, Quercus spp., dan Podocarpus imbricatus) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.

14
Gu H, Young TM, Moschler WW, Bond BH. 2004. Potential source of variation
that influence the final moisture content of kiln-dried hardwood lumber.
Forest Prod J. 54(11): 65–70.
Hadi SY, Nurhayati T, Jasni J, Yamamoto H, Kamiya N. 2010. Smoked wood as
an alternative for wood protection against termites. Forest Prod J. 60(6):
496-500.
Horner K. 2006. Woodworkers' Essential Facts, Formulas & Short-Cuts" and
"MORE Woodworkers' Essential Facts, Formulas & Short-Cuts. California
(AS): Cambium Pr.
Ishiguri F, Iizuka K, Yokota S, Nobuo Y. 2008. Effect of smoke drying in
traditional lacquer wood on the physical properties of wood. Wood and Fib
Sci. 54(1): 11-16.
Khater HA, Helwa NH, Enayet MM, Hashish MI. 2004. Optimization of solar kiln
for drying wood. Drying Tech. 22(4): 677–701.doi: 10.1081/DRT120034257.
Langrish T, Walker J. 2006. Drying of timber. Ed ke-2. Di dalam: Walker JCF,
editor. Primary Wood Processing: Principles and Practice. Dordretcht
(NL): Springers. hlm 251-295.
LPP [Lembaga Pelatihan Profesi] Mebel dan Kayu Olahan. 2008. Furniture
Training Specialist. Semarang (ID): LPP Mebel dan Kayu Olahan.
McCurdy MC, Pang S. 2007. Optimization of kiln drying for softwood through
simulation of wood stack drying, energy use, and wood color change.
Drying Tech. 25: 1733–1740.doi: 10.1080/07373930701591077.
Moya RR, Munoz FA. 2008. Wet pockets in kiln-dried Gmelina arborea lumber.
J Trop Forest Sci. 20(1): 48–56.
Muhammad NS. 2012. Pengendalian cacat retak di dalam proses pengeringan
kayu karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.), kayu jengkol (Pithecellobium
jiringa Jack. Prain.), dan kayu durian (Durio zibethinus Murr.) [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nin A. 2000. The drying process. Di dalam: Culpepper L, editor. Softwood
Drying: Enhancing Kiln Operation. San Fransisco (US): Miller Freeman
Books. hlm. 253-275.
Ofori J, Brentuo B. 2005. Green moisture content, basic density, shrinkage and
drying characteristics of the wood of Caldera odorata grown in Ghana. J
Trop Forest Sci. 17 (2): 211-233.
Permendag RI [Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. 2007. No:
09/M-DAG/PER/2/2007 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri
Kehutanan.
[Setda Jepara] Sekertaris Daerah Jepara. 2010. Himpunan Dialog Bupati Jepara,
Drs. Hendro Martojo, MM. Jepara (ID): Bagian Hubungan Masyarakat,
Setda Jepara.
Shahverdi M, Tarmian A, Dashti H, Ebrahimi G, Tajvidi M. 2012a. Mechanical
properties of poplar wood (Populous alba) dried by three kiln drying
schedules. BioRrs. 7(1): 1092-1099.
Shahverdi M, Dashti H, Hossein MA. 2012b. Establishing a kiln drying schedule
for poplar (Populus alba L.) lumber of 7 cm thickness. BioRrs. 7(1): 26-37.

15
Suranto Y. 2009. Penyusunan skedul suhu dan kelembaban awal untuk
pengeringan di dalam tanur pengering konvensional bagi kayu durian
bersortimen 55 mm x 195 mm. J Ilmu Keh. 3(2).
Suranto Y, Mugiyono. 2009. Pengaruh metode pengeringan dan jenis sortimen
kayu suren terhadap kecepatan dan cacat pengeringan. J Ilmu Keh. 3 (1).
Susetyo D. 2001. 2001. Kajian berat jenis dari beberapa sifat mekanis kayu jati
yang berasal dari KPH Purwakarta dan KPH Saradan [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Tenorio C, Moya R, Pineda HJQ. 2012. Kiln drying of Acacia mangium wood:
colour, shrinkage, warp, split and check in dried lumber. J Trop Forest Sci.
24(1): 125–139.
Terazawa S. 1965. An easy methods for the determination of wood drying
schedule. Wood Ind. 20(5).
Zainuri M, Waridin, Santoso PB, Susilowati I. 2012. The performance and
prospect of small medium enterprises of furniture industry in Jepara
Regency, Central Java, Indonesia. IPDER. 46 (19) : 1-5.doi.
10.7763/IPEDR.

16

LAMPIRAN

Cacat pecah
dalam

Cacat deformasi

Cacat pecah
permukaan

Lampiran 1 Nilai dan klasifikasi sifat pengeringan berdasarkan cacat yang terjadi
Nilai (%)
Klasifikasi
Sifat pengeringan
0-5
I
Sangat baik
> 5-10
II
Baik
> 10-20
III
Agak baik
> 20-30
IV
Sedang
> 30-50
V
Agak buruk
> 50-60
VI
Buruk
> 70
VII
Sangat buruk
Selisih ukuran tebal (mm)
Klasifikasi
Sifat pengeringan
0 - 0.3
I
Sangat baik
0.3 – 0.6
II
Baik
0.6 – 1.2
III
Agak baik
1.2 – 1.8
IV
Sedang
1.8 – 2.5
V
Agak buruk
2.5 – 3.5
VI
Buruk
> 3.5
VII
Sangat buruk
Jumlah cacat pecah dalam
Klasifikasi
Sifat pengeringan
0
I
Sangat baik
1 besar / 2 kecil
II
Baik
2 besar / 4 - 5 kecil
III
Agak baik
4 besar / 7 – 9 kecil
IV
Sedang
6 -8 besar / 15 kecil
V
Buruk
17 besar / banyak kecil
VI
Sangat buruk
Sumber : Terazawa (1965) dalam Ginanjar (2011)

Lampiran 2 Hubungan antara jenis cacat dan suhu awal, depresi, dan suhu akhir
Variasi
Cacat
Retak
awal

Kondisi pengeringan

Suhu awal
Depresi suhu bola basah
Suhu akhir
Deformasi Suhu awal
Depresi suhu bola basah
Suhu akhir
Retak
Suhu awal
dalam
Depresi suhu bola basah
Suhu akhir
Sumber : Suranto (2009)

1
70
6.5
95
70
6.5
93
70
6.5
95

2
65
5.5
90
66
6.0
88
55
4.5
83

3
60
4.3
85
58
4.7
83
50
3.8
77

Tingkat cacat
4
5
55
53
3.6 3.0
83
82
54
50
4.0 3.6
80
77
49
48
3.3 3.0
73
71

6
50
2.3
81
49
3.3
75
45
2.5
70

7
47
2.0
80
48
2.8
73
-

8
45
1.8
79
47
2.5
70
-

xvii
Lampiran 3 Karakteristik pengeringan produk mebel di perusahaan pertama

Aksesoris pengeringan
Panel otomatis
Tungku pembakaran
Termometer ruang (2 buah)
Moisture meter
(dari supplier)
Blower sirkulasi udara (1 buah)
Blower sirkulasi panas (4 buah)
Thermocontroller
(1 buah)
Lampu penerang
Cerobong asap

Kondisi kilang pengeringan
Jumlah dan
Jadwal pengeringan
ukuran kilang
Ada (suhu panel 45-52
4 buah kilang
o
C) dan suhu
2 kamar besar
thermocontroller
p = 6.5 m
sekitar 120 oC serta
l = 5.0 m
pengecekan kadar air
t = 3.2 m
secara manual
2 kamar kecil
p = 5.0 m
l = 5.0 m
t =3.2 m

Penumpukan produk mebel
Perkelompok barang
Produk diberi ganjal
Kondisi kilang rapi
Jarak antarganjal 50 - 70 cm
Kadar air ganjal 11 % - 12 %
Tidak penuh dengan produk
Ukuran ganjal t = 2.5 cm dan
t = 3.0 cm

Fuel
pengeringan
Limbah kayu
waru, nangka,
mangga, jati
dan mahoni

Biaya jasa
pengeringan
Ada
Kubikasi:
Rp 200.000/hari
Sewa kamar:
kamar kecil
Rp 250.000/hari
kamar besar
Rp 300.000/hari

Lampiran 4 Karakteristik pengeringan produk mebel di perusahaan kedua

Aksesoris pengeringan

Penumpukan produk mebel
Perkelompok barang
Produk diberi ganjal
Kondisi kilang rapi
Jarak antarganjal 50 - 70 cm
Kadar air ganjal besar 10 % -12
% dan ganjal kecil 9 % - 12 %
Penuh dengan produk
Ukuran ganjal kecil

Fuel
pengeringan
Kayu doyo
(kampung)
dan limbah
kayu waru,
n