Critical Review of Timber Legality Policy in Private Forests (Case in Lampung Tengah Province, Buleleng, Konawe Selatan and Kulonprogo)

TINJAUAN KRITIS
KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT
(Kasus di Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung,
Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara, Buleleng Provinsi
Bali, dan Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta)

MULYANINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
 
 

 

PERYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Tinjauan Kritis
Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat: Kasus di Kabupaten Lampung

Tengah, Konawe Selatan, Buleleng, dan Kulonprogo adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Mulyaningrum
NRP E161080071

 
 

ABSTRACT
MULYANINGRUM. Critical Review of Timber Legality Policy in Private
Forests (Case in Lampung Tengah Province, Buleleng, Konawe Selatan and
Kulonprogo). Under supervisions of HARIADI KARTODIHARDJO, I.

NENGAH SURATI JAYA and BRAMASTO NUGROHO.
Timber Legality Assurance System (TLAS) issued by the Ministry of
Indonesian Forestry is aimed (1) to achieve sustainable forest management, (2)
implement good forest governance, and (3) to combat illegal logging and its
trade. This policy is enforced by mandatory, either for the harvested timber from
the state forests or from private forest. Since its formulation to implementation,
this policy reap the pros and cons. Parties are "pro" argued that in order to achieve
the above three objectives, the policy must be enforced by mandatory for all
timber businesses, while those who "cons" of this policy looked too much
intervention of the private sphere. The objective of this study was to describe the
process of policy-making timber legality in private forest, which is achieved by
analyzing: 1) the determinants of performance, 2) discursive base for the
establishment of regulation and determining influences, and 3) policy space as
well as the prospective of policies. Observations on policy implementation was
made on the private forest that had been certified with TLAS scheme. This study
applied a descriptive analysis method synthesis, analytical hierarcy procces, and
analysis of IDS. The study concluded the following: (1) the most dominant
determinant factors for development of private forest are market price formation
and organizational capacity, (2) Strong goverment, counterpart’s country, and
donor institution may cause legality narrative dominate the process of policy

making, and marginalize the economy incentives narrative, and (3) the strong
actors, networks, interest, and narrative may cause limited policy space for policy
change.
Keywords: TLAS, mandatory, private forest, policy space

 
 

RINGKASAN
MULYANINGRUM. Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat
(Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng, dan
Kulonprogo). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO selaku Ketua, I.
NENGAH SURATI JAYA. dan BRAMASTO NUGROHO sebagai anggota.
Hutan rakyat (hutan hak) dengan hasil utama berupa kayu merupakan
barang milik pribadi (Private good) dari petani hutan rakyat. Private good
berdasarkan karakteristik hak kepemilikan (property right) merupakan strata
terlengkap dalam pemenuhan haknya. Hal ini mengandung makna bahwa petani
sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan
sepenuhnya dalam pengambilan keputusan. Di lain pihak kebijakan legalitas kayu
dalam bentuk Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 jo. No. P.68/Menhut-II/2011

jo. No. P.45/Menhut-II/2012, telah mewajibkan seluruh pemegang izin maupun
hutan rakyat untuk melaksanakan Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Ini
berarti bahwa seluruh petani yang memiliki hutan rakyat di dalam pengelolaannya
wajib melakukan sertifikasi skema SVLK (mekanisme wajib). Sebagai bentuk
implementasi aturan tersebut, 5 kelompok hutan rakyat telah mengawali sertifikasi
pada tahun 2011. Kelompok hutan rakyat tersebut mengalami masa
penangguhan/pembekuan sertifikat legalitas kayu (S-LK), dan salah satu
diantaranya telah dilakukan pencabutan S-LK. Dengan demikian kebijakan SVLK
dianggap belum efisien dan efektif bagi kelompok sasaran. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan rumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat.
Tujuan tersebut dicapai melalui menganalisis: 1) faktor-faktor penentu tipologi
hutan rakyat, 2) landasan diskursif penetapan kebijakan legalitas kayu di htan
rakyat, 3) ruang kebijakan (policy space) dan masa depan kebijakan tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif
(Creswell 2012). Faktor-faktor penentu pengembangan hutan rakyat tersertifikasi
diperoleh melalui analisis sintesis deskriptif dan analisis hirarki proses.
Sedangkan landasan diskursif pada perumusan kebijakan legalitas kayu di hutan
rakyat serta ruang dan masa depan kebijakan dilakukan melalui, analisis wacana
(discourse), analisis pemangku kepentingan (stakeholder), dan analisis asumsi
(Assumption).

Berdasarkan analisis hirarki proses menunjukkan bahwa faktor-faktor
dominan yang mempengaruhi tipologi di hutan rakyat adalah faktor sosial
ekonomi (0,597), faktor kelembagaan (0,346), dan faktor biofisik (0,057). Sedang
sub-sub faktor dominan yang mempengaruhi kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat
adalah harga pasar (0,4544), organisasi (0,3026), kepadatan penduduk (0,0992),
penggunaan lahan (0,0509), pendapatan penduduk (0,0433), pola pemanenan
(0,0432), dan kelerengan lahan (0,0064). Hal ini menunjukkan bahwa dalam
menentukan tipologi di hutan rakyat adalah faktor harga pasar dengan asumsi jika
suatu unit manajemen berdekatan dengan industri pengolahan kayu yang
membutuhkan kayu bersertifikat, maka harga pasar akan terbentuk, sebaliknya
jika berjauhan akan kurang terbentuk. Walaupun unit manajemen tersebut
berdekatan dengan industri, tetapi jika tidak menyediakan jenis sertifikat kayu
yang diinginkan industri maka harga pasar tidak akan terbentuk. Industri olahan
kayu di sekitar lokasi penelitian yang bertujuan ekspor, memiliki kontrak dengan
 
 

konsumen dari luar negeri yang menginginkan produk berasal dari kayu
tersertifikasi. Jenis sertifikasi yang diminati konsumen adalah skema FSC bukan
skema SVLK.

Sejarah perkembangan legalitas kayu di Republik Indonesia (RI) tidak
terlepas dari pengaruh kebijakan perdagangan kayu internasional. Dengan proses
perumusan kebijakan legalitas kayu dikeluarkan oleh birokrat yang dibangun
secara multipihak. Proses ini didorong cukup kuat oleh lembaga donor MFP dan
dipengaruhi oleh berbagai kesepakatan didorong oleh Uni Eropa (Europe
Union/EU). Pemerintah RI berusaha memenuhi persyaratan EU dengan
menciptakan mekanisme verifikasi legalitas kayu yang diterapkan baik untuk
kayu yang berasal dari hutan negara dan privat. Kebijakan ini terlahir sebagai
tekanan dunia internasional dan diterapkan di hutan rakyat sebagai pengalihan
beban ketidakberdayaan pemerintah dalam melindungi asset negara berupa hutan.
Kekuatan hubungan Kemenhut (key stakeholder) lebih besar terhadap EUFLEGT dan MFP-II (secondary stakeholder) daripada kepada Petani hutan rakyat
(primary stakeholder), sebagai akibat dari ketidakseimbangan 3Rs (Right,
Responsibility, Revenues) pada key stakeholder. Ketidakseimbangan 3Rs yang
terjadi pada key stakeholder terjadi akibat ketidakmampuannya menyelesaikan
persyaratan penopang (enabling condition) sehingga sertifikasi tidak bekerja
secara optimal. Petani hutan rakyat sebagai subyek kebijakan memiliki pengaruh
yang rendah dan memposisikan diri tidak berkepentingan dalam kebijakan
tersebut, artinya petani hutan rakyat belum merasakan kemanfaatan kebijakan
legalitas kayu tersebut. Rendahnya kepentingan petani hutan rakyat adalah
kehadiran kebijakan legalitas kayu bukan karena kebutuhan masyarakat, tetapi

lebih dikarenakan untuk memenuhi kehendak nasional dan internasional.
Proses pembuatan kebijakan legalitas kayu berlangsung masih kurang
terbuka. Terdapat dua kelompok narasi kebijakan yang yang muncul yaitu sebagai
pro-narratives terdiri dari legalitas, illegal logging & trade, sertifikasi, sedangkan
kelompok narasi berikutnya berupa cons-narratives adalah price-premium,
legitimasi, dan hak milik. Pro-narratives merupakan kelompok mainstream yang
didukung oleh Kemenhut, EU-FLEGT, akademisi pendukung dan MFP-II,
sedangkan cons narratives merupakan kelompok non-mainstream. Kelompok nonmainstream membentuk diskursus command and control sebagai instrumen
kebijakan yang bersifat paksaan hukum (coersive regulation) sedangkan kelompok
non-mainstream membentuk diskursus economic incentives sebagai instrumen
kebijakan yang berdasarkan mekanisme pasar (market-based). Kelompok nonmainstream ini didukung oleh akademisi kritis dan petani hutan rakyat. Memahami
proses kebijakan melalui pengujian pengetahuan/narasi, aktor/jaringan dan
politik/kepentingan dapat membantu mengidentifikasi perubahan ruang kebijakan
(policy space). Jaringan, aktor, kepentingan, dan narasi yang kuat saat ini
menyebabkan policy space untuk mengubah kebijakan sangat terbatas. Nonmainstream sebagai narasi kebijakan tandingan (counter policy narrative) hanya
sebatas difahami pembuat kebijakan, tetapi tidak dapat diwujudkan untuk
memperbaiki kebijakan yang ada. Sertifikasi skema SVLK tetap dipertahankan
harus dilakukan dengan cara voluntary mechanism, dan dapat menciptakan harga
premium. Sebaiknya, untuk memperbaiki kebijakan perlu penguatan jaringan yang
mendukung diskursus economic incentives.

Kata Kunci: SVLK, mandatory, hutan rakyat, ruang kebijakan.

 
 

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

 
 

TINJAUAN KRITIS
KEBIJAKAN LEGALITAS KAYU DI HUTAN RAKYAT

(Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan,
Buleleng, dan Kulonprogo)

MULYANINGRUM

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 
 

 


Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Leti Sundawati MSc.F.
Dr. Ir. Iin Ichwandi MSc.F.Trop.
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.
Dr. Ir. Boen M Purnama, M.Sc

 
 

Judul Disertasi

Nama
NIM
Mayor

: Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat:
Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan,
Buleleng, dan Kulonprogo
Mulyaningrum

EI61080071

Ilmu Pengelolaan Hutan

Di setujui Oleh
Komi si Pembimbing

Prof. Dr. Jr. Hariadi Kartodihardjo, MS
Ketua

Dr.

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr
Anggota

11". Bramasto Nll groho, MS
Anggota

Diketahui Oleh
Ketlla Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Prof. Dr. Ir. Hari adi Kartodihardjo, MS

..

21

j UN

2m3

Tanggl UJwn: ....... ................ ............. .

3 1 JUL 2013
Tanggal Lulus: ........................... .

Judul Disertasi

Nama
NIM
Mayor

: Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat:
Kasus di Kabupaten Lampung Tengah, Konawe Selatan,
Buleleng, dan Kulonprogo
: Mulyaningrum
: E161080071
: Ilmu Pengelolaan Hutan

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS
Ketua

Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya M.Agr
Anggota

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS
Anggota

Diketahui Oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggl Ujian: .....................................

Tanggal Lulus: ............................

 
 

PRAKATA

Disertasi yang berjudul “Tinjauan Kritis Kebijakan Legalitas Kayu di
Hutan Rakyat (Kasus di Kabupaten lampung Tengah, Konawe Selatan, Buleleng,
dan Kulonprogo)” pada akhirnya dapat diselesaikan di tahun 2013 ini.
Penelitiannya telah dilaksanakan sejak bulan Desember 2010 sampai Desember
2012. Disertasi ini memuat hasil penelitian kualitatif dan kuantitatif melalui
pendekatan analisis narasi kebijakan untuk mengungkapkan proses pembuatan
kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat, sehingga dapat diketahui perubahan
ruang kebijakan (policy space) dan masa depan kebijakan tersebut.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Allah SWT atas petunjukNya. Disampaikan pula terima kasih pada ketiga pembimbing, yaitu Prof. Hariadi
kartodihardjo, Prof. I Nengah Surati Jaya. dan Dr. Bramasto Nugroho, atas
kesabarannya dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun
disertasi ini. Begitupula diucapkan terima kasih kepada para penguji dalam ujian
tertutup yaitu Dr. Ir. Leti Sundawati MSc.F. dan Dr. Ir. Iin Ichwandi MSc.F.Trop.,
serta para penguji dala ujian terbuka yaitu Dr. Ir. Boen M Purnama, M.Sc dan
Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.
Akhir kata, semoga disertasi ini memberikan manfaat bagi pembaharuan
kebijakan khususnya di hutan rakyat, dan pembangunan kehutanan pada
umumnya. Masukkan sangat terbuka dinanti penulis untuk memberikan arah
perbaikan di dalam disertasi ini.
Bogor, Juli 2013
Mulyaningrum

 
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, pada tanggal 13 Oktober 1974
dari (Alm.) H. Tatang Karyadhara BSc.dan Hj. Etti Suhaetti, merupakan anak ke2 dari 3 (tiga) bersaudara.
Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan Universitas Winaya Mukti Bandung pada tahun 1993 dan lulus pada
Tahun 1998, dan Pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Penulis bekerja di Universitas Winaya Mukti sejak tahun 2001 sampai 2011.
Tahun 2011 sampai sekarang Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, selanjutnya pada tahun
2008 penulis melanjutkan pendidikan S-3 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan
Hutan, di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Mulyaningrum
NRP. E161080071

 
 

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

DAFTAR ISTILAH

iv

DAFTAR SINGKATAN

v

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan (Novelty)

1
1
5
6
7
7

2

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Kebijakan
Konsep Hak Kepemilikan
Hutan Rakyat

9
9
11
14

3

METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Waktu dan Lokasi
Prosedur
Data
Pengumpulan data
Teknik penentuan informasi kunci
Analisis tipologi hutan rakyat tersertifikasi
Analisis landasan diskursif penetapan kebijakan legalitas kayu
di hutan rakyat

19
19
21
21
21
22
25
25

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Community Logging Giri Mukti Wana Tirta
Letak dan luas
Kependudukan
Struktur organisasi
Kehutanan
Koperasi Serba Usaha Asosiasi Pengrajin Industri Kecil
Letak dan luas
Pemerintahan
Kependudukan
Kehutanan
Koperasi Hutan Jaya Lestari
Letak dan luas
Pemerintahan
Kependudukan
Kehutanan

33
33
33
33
34
34
34
34
36
36
37
37
37
38
39
40

4

27

Koperasi Wana Lestari Menoreh
Letak dan luas
Pemerintahan
Kependudukan
Kehutanan
5

TIPOLOGI KESESUAIAN SERTIFIKASI DI HUTAN RAKYAT
Sertifikasi di Hutan Rakyat
Hasil Analisis Tipologi Hutan Rakyat

6

LANDASAN DISKURSIF PENETAPAN KEBIJAKAN LEGALITAS
KAYU DI HUTAN RAKYAT
Sejarah Perkembangan Legalitas Kayu di Hutan Rakyat
Kebijakan perdagangan kayu di EU
Kebijakan standar verifikasi legalitas kayu
Proses Pembuatan Kebijakan Standard Verifikasi Legalitas Kayu
di Hutan Rakyat
Narasi Kebijakan dan diskursus
Analisis pemangku kepentingan
Kesenjangan kebijakan SVLK di hutan rakyat dengan interaksi
sosial yang menyertainya
Peristiwa penentuan asumsi non-mainstream
Kekuatan konsep non-mainstream
Ruang Kebijakan (Policy Space) Legalitas Kayu di Hutan Rakyat
Masa depan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat

7

SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Simpulan
Rekomendasi

40
40
41
41
42
43
43
45
55
55
55
59
61
65
68
76
81
83
84
85
87
87
87

DAFTAR PUSTAKA

89

LAMPIRAN

97

DAFTAR TABEL
1 Faktor-faktor penentu tipologi kesesuaian sertifikasi
2 Kelas kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat
3 Pendekatan, pengumpulan dan analisis data pada masing-masing
sub tujuan penelitian
4 Batas-batas wilayah untuk 6 Kecamatan di Kabupaten Buleleng
5 Luas fungsi kawasan hutan di 6 Kecamatan Kabupaten Buleleng (ha)
6 Batas-batas wilayah kecamatan di unit manajemen KHJL, Kabupaten
Konawe Selatan
7 Jumlah penduduk per kecamatan di unit manajemen KHJL pada tahun 2011
8 Faktor penentu tipologi hutan rakyat tersertifikasi
9 Proses pembentukan kebijakan legalitas kayu di Indonesia
10 Identifikasi dan kategorisasi stakeholder
11 Kapasitas stakeholder berdasarkan responsibilities, rights, dan revenues
12 Aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di
Hutan rakyat
13 Mainstream pembentuk asumsi
14 Narasi kebijakan dalam proses pembuatan legalitas kayu

26
27
32
35
37
38
40
45
61
62
66
69
73
80

DAFTAR GAMBAR
1
2

Kerangka pemikiran penelitian
20
Peta lokasi penelitian di Kecamatan Pubian Kabupaten Lampung Tengah
Provinsi Lampung
23
3 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Andolo, Baito, Lainea, Pelangga
Selatan dan Palngga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi
Tenggara
23
4 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Gerokgak, Banjar, Sukasada, Buleleng,
Sawah, dan Kubutambahan Kabupaten Buleleng Provinsi Bali
24
5 Peta lokasi penelitian di Kecamatan Girimulyo, Kalibawang, Nanggulan,
dan Samigaluh Kabupaten Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta
24
6 Peta kesesuaian sertifikasi huta rakyat pada lokasi unit manajemen koperasi
Giri Mukti Wana Tirta
52
7 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen
Koperasi Hutan Jaya Lestari
52
8 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen
Koperasi serba Usaha Asisiasi Pengrajin Industri Kecil
53
9 Peta kesesuaian sertifikasi hutan rakyat pada lokasi unit manajemen
Koperasi Wana Lestari Menoreh
53
10 Tonggak kebijakan perumusan legalitas kayu
60
11 Matrik hubungan antar stakeholder
68

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Sub-sub faktor penentu tipologi kesesuaian sertifikasi di hutan rakyat
Daftar teks untuk analisis diskursus
Daftar peraturan perundangan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat

95
103
109

 

 

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan hak atau sering disebut sebagai hutan rakyat yang merupakan lahan
milik dengan hasil utama berupa kayu merupakan barang milik pribadi (private
good) dari petani hutan rakyat. Private good berdasarkan karakteristik hak
kepemilikan (property right) merupakan strata tertinggi dalam pemenuhan haknya
(Bromley & Cernea 1989; Schlager & Ostrom 1992; Hanna & Munasinghe 1995;
Ostrom 2000; Heltberg 2002). Berdasarkan hal tersebut mengandung makna
bahwa petani sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki
kewenangan sepenuhnya dalam pengambilan keputusan.
Kebijakan legalitas kayu yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan
(Kemenhut) telah memasuki ranah private, yaitu turut dalam pengaturan
pemanfaatan kayu yang berasal dari lahan milik, sehingga menuai pro dan kontra
di dalam implementasinya. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam bentuk
Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 jo. No. P.68/Menhut-II/2011 jo. No.
P.45/Menhut-II/20121. Kebijakan ini di dalam konsiderannya tertuang tujuan
sebagai berikut; 1) menuju pengelolaan hutan produksi lestari (sustainable forest
management), 2) penerapan tata kelola kehutanan (good forest governance), dan
pemberantasan pembalakan liar dan perdagangannya (illegal logging and trade).
Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai jawaban pemerintah Republik Indonesia
terhadap dunia dalam memberantas pembalakan liar dan perdagangannya melalui
pemenuhan tuntutan transparansi dan jaminan akuntabilitas dalam pengelolaan
sumberdaya hutan.
Namun diawal implementasinya telah banyak mengundang pertanyaan dan
bahkan keraguan banyak pihak, baik

terkait substansi peraturan dan

pengaturannya, lembaga-lembaga yang terlibat, kelompok sasaran, proses audit,
kredibilitas SVLK maupun tentang kemanfaatannya di lapangan. Sementara itu
Permenhut No. 38/Menhut-II/2009 telah memandatkan pelaksanaannya dimulai
                                                            

 Tentang Standard Pedoman Pelaksanaan penilaian Kinerja pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas
Kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak. Kebijakan ini dikenal dengan regulasi Standard Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) yang bersifat wajib (mandatory), dan unit usaha yang telah melalui tahapan SVLK akan memperoleh Sertfikat
Legalitas kayu (S-LK). 
1


 

sejak 1 September 2009. Khusus untuk pelaksanaan SVLK di hutan rakyat baru
terealisasi pada tahun kedua yaitu tahun 2011. Sebagai bentuk implementasi
aturan tersebut, lima kelompok hutan rakyat telah mengawali sertifikasi di hutan
hak pada tahun 20112. Akan tetapi, di dalam perjalanannya proses SVLK di hutan
rakyat mendapat kendala. Kelima kelompok hutan rakyat tersebut mengalami
masa penangguhan/pembekuan S-LK, dan salah satu diantaranya telah dilakukan
pencabutan S-LK.
Terlihat adanya kesenjangan antara kebijakan dan implementasi, sehingga
implementasi kebijakan SVLK dianggap belum efisien dan efektif bagi kelompok
sasaran sebagai subyek kebijakan secara kelembagaannya. Kesenjangan tersebut
perlu diwaspadai terhadap keragaan implementasi SVLK yang di kemudian hari
mungkin bukan sebagai sistem untuk mengatasi masalah. Sistem ini mungkin
hanyalah sebagai tambahan kewajiban yang secara mikro tidak menjawab
tujuannya, dan secara makro mengurangi daya saing usaha kehutanan Indonesia
secara umum dan dapat merugikan upaya-upaya perbaikan lingkungan melalui
perbaikan tutupan lahan dengan vegetasi tahunan. Pada akhirnya muncul berbagai
perdebatan dalam proses perumusan kebijakan hingga perdebatan tataran
implementasi, di mana kelompok sasaran mempertanyakan kemanfaatan bagi
mereka yang memperoleh S-LK. Rendahnya efektivitas implementasi kebijakan
dapat terjadi jika penetapan dan pendefinisian masalah dalam proses perumusan
kebijakan tidak tepat (Dunn 2003).
Di tingkat makro, mengemuka pemikiran kritis seberapa jauh kebijakan
SVLK ini benar-benar dapat mencapai tujuannya dan menjawab tiga persoalan
sekaligus (sustainable forest management, good forest governance, dan illegal
logging

and

trade).

Bahkan

kelompok

sasaran

peraturan

juga

telah

mempertanyakan dan menagih harga premium (price-premium) yang dijanjikan
sebagai insentif penerapan sertifikasi. Persoalan yang mencuat, bukan
mendapatkan harga premium tetapi SVLK sendiri tidak mampu untuk dapat
dijadikan sarana menekan biaya transaksi dalam bisnis berbasis perkayuan.

                                                            

2
Siaran Pers Kemenhut No: S.518/PHM-1/2011 tentang penyerahan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) oleh Menhut kepada
5 unit usaha, yaitu Comlog Koperasi Giri Mukti Wana Tirta, Koperasi Wana Manunggal Lestari, Asosiasi Pemili,
Gabungan Kelompok Tani Hutan Rakyat Wonosobo Jati Mustika, dan Koperasi Hutan Jaya Lestari. 


 

Kasus tersebut merupakan situasi masalah yang dalam prakteknya di
lapangan telah menimbulkan penurunan kinerja, dibuktikan dengan tidak efektif
dan efisiennya kebijakan tersebut pada tataran implementasi. Efektivitas
implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan
atas dasar penetapan masalah yang tepat serta terdapat kemampuan dan kapasitas
menjalankan solusinya di lapangan (Dunn 2003). Apabila pandangan ini diikuti,
maka fenomena penurunan kinerja pembangunan kehutanan merefleksikan
hadirnya masalah-masalah pokok, terutama belum tepatnya penetapan dan
pendefinisian masalah dalam proses perumusan kebijakan selama ini.
Patton & Savicky (1993) menyatakan adanya kekeliruan dalam memandang
implementasi kebijakan, yaitu dengan menganggap implementasi sebagai masalah
manajemen saja, sementara itu perumusan kebijakan diasumsikan telah dilakukan
dengan baik sehingga menghasilkan keputusan yang terbaik. Sutton (1999) dan
IDS (2006) telah mengungkapkan bantahan proses pembuatan kebijakan model
rasional dari berbagai sudut pandang, baik antropologi, ilmu politik, sosiologi,
hubungan internasional, dan manajemen. Pendekatan analisis proses kebijakan
seharusnya

dibangun

melalui

kerangka

fikir

yang

menghubungkan

diskursus/narasi, aktor/jaringan, dan politik/kepentingan. Juma dan Clark (1995)
berpendapat bahwa proses pembuatan kebijakan sebagai proses evolusi bersifat
tidak menentu (chaotic), dengan hasil-hasil yang ditentukan oleh komplikasi
kepentingan politik, sosial, dan kelembagaan.
Clay dan Schaffer (1984) menyatakan bahwa seluruh ‘hidupnya’ kebijakan
berjalan atas maksud dan tujuan tertentu atau merupakan ‘kecelakaan’ belaka dan
sama sekali bukan sebagai proses rasional yang berjalan melalui pemilihan
strategi terbaik yang biasanya dilakukan oleh para pembuat kebijakan.
Berdasarkan ilustrasi tersebut dapat fahami sebagai suatu makna bahwa kebijakan
dapat terlahir dari sebuah ketidakteraturan. Oleh karenanya perlu adanya
pemahaman proses bagaimana kebijakan dibangun dan diimplementasikan,
termasuk bentuk-bentuk di mana kebijakan makro diterjemahkan atau tidak, dan
diintegrasikan ke dalam proses-proses operasional dari lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab untuk implementasi (Blaikie & Soussan

2001). Proses

pembuatan kebijakan harus mengintegrasikan berbagai perbedaan pendekatan


 

berdasarkan perspektif yang lahir dari lembaga pendidikan dan berbagai disiplin
ilmu untuk mengeksplorasi bagaimana pelaku (actors) membuat dan menyusun
berbagai bentuk narasi kebijakan (policy narrative) dengan berbagai kepentingan
(interests) atas berbagai keterbatasan yang ada saat itu (Keely & Scoones 2003).
Masalah-masalah kehutanan di Indonesia-pun telah pula dirumuskan dan
solusi untuk mengatasinya telah pula direkomendasikan. Hasil analisis 324 paper
dan non paper yang dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan, dapat
ditunjukkan bahwa hampir seluruh aspek pembangunan kehutanan telah dibahas
selama periode tersebut (Kartodihardjo et al. 2006). Namun, dari hasil analisis
tersebut rekomendasi yang dibuat belum efektif sebagai bahan pembaruan
kebijakan maupun pembaruan praktek kehutanan di lapangan. Ketidakefektifan
proses pembaruan dan implementasi kebijakan, dipengaruhi faktor jaringan
kekuasaan dan kepentingan maupun hambatan birokrasi, prasyarat berjalannya
suatu kebijakan belum dipertimbangkan sebagai bagian dari masalah, dan
tingginya biaya transaksi yang timbul akibat pelaksanaan suatu peraturan
(Kartodihardjo et al. 2006; Kartodihardjo 2008).
Berdasarkan hal tersebut, perdebatan masalah teknis kehutanan dan
solusinya dipandang tidak banyak manfaat, karena hanya akan mengulang hal
yang sudah dibahas. Masalah yang dihadapi selama ini ternyata bukan tidak ada
pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk melakukan pembaruan
kebijakan dan praktek-praktek kerja di lapangan, melainkan lemahnya prakondisi,
cara, maupun pembaruan kerangka pemikiran yang mempengaruhi adposi
pengetahuan dan informasi sebagai dasar pembaruan kebijakan dan praktekpraktek kerja di lapangan (Lackey 2007).

Secara sederhana kebijakan dapat

diartikan sebagai resep untuk mengatasi suatu persoalan nyata, sehingga kinerja
yang diharapkan dapat tercapai. Dengan demikian yang seharusnya dihadapi para
penentu kebijakan adalah bagaimana mereka menemukan masalah yang
sebenarnya, bukanlah symptom dari suatu masalah, sehingga resep yang
diformulasikan dan digunakan benar-benar mendatangkan perubahan nyata untuk
meningkatkan kinerja. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat dicirikan dengan
dapat dilaksanakan, mendatangkan perubahan, dan memperbaiki kinerja
sebagaimana yang diinginkan (Kartodihardjo et al 2006).


 

Perumusan Masalah
Perumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat dilakukan berdasarkan
pendekatan administratif, belum berdasarkan pendekatan fakta interaksi sosial
yang terjadi di dalam suatu komunitas sosial. Hutan rakyat dengan hasil utama
berupa kayu rakyat merupakan barang milik pribadi (private good) yang dimiliki
petani hutan rakyat berdasarkan rejim hak kepemilikan (property right regime)
merupakan strata paling lengkap (tertinggi) karena memiliki hak memasuki
(access right), hak memanfaatkan (withdrawal right), hak menentukan
keikutsertaan atau mengeluarkan pihak lain (exclusion right), dan hak
memperjualbelikan (alienation right). Hal ini mengandung arti bahwa petani
sebagai pemilik hutan rakyat dalam struktur kelembagaan memiliki kewenangan
sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusan. Sementara itu di dalam
kebijakan SVLK mensyaratkan bahwa seluruh kayu yang berasal dari lahan milik
masyarakat yang beredar wajib melakukan proses SVLK (mandatory mechanism).
Kekuatan petani hutan rakyat sebagai pemilik kayu untuk menjalankan kebijakan
tersebut perlu dipertimbangkan karena dengan hak kepemilikan pribadi ini maka
petani berhak menentukan atas keputusan yang akan diambilnya, yaitu apakah
mereka akan mengikuti proses SVLK atau tergantung pada keinginan mereka
(voluntary mechanism). Selain itu perlu dicermati pula seberapa jauh urgensi dari
penerapan kebijakan tersebut terhadap meningkatan kesejahteraan rakyat.
Selama ini kebijakan secara intrinsik dianggap sebagai urusan teknis dan
rasional, yaitu sebagai alat pemerintah untuk memecahkan masalah dan mengubah
keadaan. Dengan kata lain bahwa implementasi hanya dianggap sebagai masalah
manajemen belaka dan perumusan kebijakan diasumsikan telah dilakukan dengan
baik, sehingga beranggapan bahwa keputusan yang dihasilkan adalah keputusan
yang terbaik. Pandangan tersebut di sektor kehutanan pada umumnya tidak
memenuhi asumsi dasar. Sehingga perumusan peraturan verifikasi legalitas kayu
perlu dianalisis melalui pendekatan fungsional, yaitu dengan menekankan
bagaimana masalah didefinisikan dari sejumlah fenomena empiris yang muncul
dari kegiatan pengelolaan kehutanan. Sekaligus pula bagaimana berbagai
keputusan yang bersifat solusi diambil, dan seberapa jauh kesenjangan antara
masalah dan keputusan solusi ini terhadap teks kebijakan yang ada.


 

Para pembuat kebijakan pada umumnya berpandangan bahwa suatu
keputusan kebijakan merupakan perwujudan dari pemikiran yang bersifat rasional
dan memisahkan keputusan tersebut dari implementasinya. Pandangan tersebut di
sektor kehutanan pada umumnya tidak memenuhi asumsi dasar, sehingga
perumusan peraturan legalitas kayu perlu dianalisis melalui pendekatan
fungsional, yaitu dengan menekankan bagaimana masalah didefinisikan dari
sejumlah fenomena empiris yang muncul dari kegiatan pengelolaan kehutanan.
Sekaligus bagaimana berbagai keputusan yang bersifat solusi diambil, dan
seberapa jauh kesenjangan antara masalah dan keputusan solusi ini terhadap teks
kebijakan yang ada. Kebijakan legalitas kayu yang merupakan prosedur legalformal, pada dasarnya terjadi interaksi sosial di saat menginterpretasikan dan
menginformasikan teks kebijakan tersebut pada tataran implementasi di lapangan.
Interaksi sosial tersebut akan mempengaruhi kinerja suatu lembaga.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, perlu dikaji lebih mendalam
sejauhna kebijakan SVLK telah menyentuh tataran implementasi secara nyata.
Seringkali kebijakan hanya diarahkan kepada bagaimana kepentingan administrasi
dan politik pemerintah agar dapat dilaksanakan, sehingga permasalahan yang ada
sulit atau bahkan tidak pernah terselesaikan dengan baik dan akan selalu berulang
menjadi sebuah tradisi kesalahan di setiap periodenya. Hal tersebut dapat
dirasakan kesulitan berbagai pihak dalam mengimplementasikan kebijakan di
lapangan. Uraian rumusan masalah di atas memunculkan pertanyaan penelitian
berikut ini: a) apakah permasalahan perkembangan hutan rakyat dilatarbelakangi
oleh kebijakan legalitas kayu? b) mengapa terjadi kesenjangan antara proses
pembuatan kebijakan legalitas dengan interaksi sosial yang menyertainya? dan c)
bagaimanakah ruang kebijakan untuk perubahan masa depan kebijakan legalitas
kayu rakyat yang seharusnya?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mendapatkan
rumusan kebijakan legalitas kayu di hutan rakyat. Tujuan tersebut dapat dicapai
melalui: 1) analisis faktor penentu tipologi hutan rakyat; 2) analisis landasan


 

diskursif penetapan kebijakan; dan 3) analisis ruang dan masa depan kebijakan
legalitas kayu di hutan rakyat.

Manfaat Penelitian
Keluaran dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan
masukan penting bagi pemerintah dalam tata urutan proses pembuatan suatu
kebijakan publik, dan memberikan gambaran pengetahuan kebijakan publik
dalam pengaturan di hutan rakyat ataupun di lahan milik.

Novelty
Berdasarkan state of the art yang telah disarikan di pendahuluan, bahwa
penelitian ini mengungkapkan proses pembuatan kebijakan legalitas kayu di hutan
rakyat untuk menghasilkan ruang kebijakan (policy space) dengan pendekatan
diskursus/narasi kebijakan, politik/kepentingan, dan aktor/jaringan (IDS 2006).


 

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Kebijakan
Istilah kebijakan (policy) berdasarkan etimologis, berasal dari bahasa
Yunani yaitu “polis” berarti negara, kemudian masuk ke dalam bahasa Latin
menjadi “politia” yang berarti negara, pada akhirnya masuk ke dalam bahasa
Inggris menjadi “policie” yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan (Dunn
2003). Istilah kebijakan tersebut dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan pada
prinsipnya menitikberatkan pada penyelesaian permasalahan publik, sehingga
sering disebutkan sebagai kebijakan publik,

yang selalu membahas perihal

bagaimana isu maupun persoalan disusun, didefinisikan, dan diletakkan dalam
agenda kebijakan dan agenda politik (Parson 2008). Hal ini mengandung arti
bahwa kebijakan publik merupakan suatu ruang dalam kehidupan yang bukan
privat atau murni milik individu tetapi milik bersama.
Jenkins (1978) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan serangkaian
keputusan yang diambil oleh seorang aktor politik atau kelompok aktor yang
terkait dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut di dalam situasi
tertentu, di mana keputusan tersebut memang berada di dalam cakupan
kewenangan para pembuatnya. Penekanan pada pembuatan kebijakan publik
adalah sebagai proses dan memberi perhatian khusus pada serangkaian keputusan
yang saling berhubungan untuk mengatasi masalah tertentu. Dengan demikian
kebijakan publik merupakan kombinasi dari berbagai keputusan dan aktivitas.
Terdapat banyak kepentingan di sekitar kebijakan, sehingga kebijakan yang
dimuat melalui teks legal formal terkadang berbeda dengan implementasi di
lapangan.

Proses pembuatan kebijakan sangat berhubungan dengan ilmu,

keahlian dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jaringan.
Pembuat kebijakan tradisional memandang bahwa pemahaman kebijakan
merupakan sebuah proses linear (model linear) dimana putusan-putusan rasional
diambil pemahaman kebijakan oleh mereka dengan kewenangan dan tanggung
jawab atas sebuah area kebijakan tertentu (Sutton 1999). Pendekatan ini

10 
 

memandang pembuatan kebijakan melibatkan tahapan: a) pemahaman isu atau
permasahan kebijakan (agenda-setting); b) eksplorasi opsi-opsi yang mungkin
untuk memecahkan masalah; c) menimbang biaya dan manfaat setiap opsi, d)
membuat pilihan rasional atas opsi terbaik (decision-making); e) implementasi
kebijakan; dan f) evaluasi.

Menurut pandangan ini implementasi kebijakan

dipandang sebagai kegiatan terpisah yang dimulai dari putusan kebijakan yang
dibuat. Mengasumsikan bahwa pembuat kebijakan bersifat rasional (berdasar
bukti, ilmu, dan pengetahuan objektif), yang berangkat melalui tahapan logis dari
proses, dan mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Sedangkan
implementasi dianggap hanya sebuah prosedur teknik. Pada akhirnya dalam
pandangan

ini

jika

kebijakan-kebijakan

tidak

mencapai

target,

akan

mempersalahkan kegagalan managerial dan politik dalam mengimplementasikan
kebijakan itu, sebagai contoh melalui kurangnya kemauan politik, pengelolaan
yang buruk atau kekurangan sumbedaya.
Sementara itu, Sutton (1999) menyatakan bahwa proses pembuatan
kebijakan harus dipahami sebagai sebuah proses politik, incremental, rumit,
berantakan, selalu saja ada agenda-agenda yang tumpang tindih dan bersaing,
putusan-putusan tidaklah diskret maupun teknis, dimana berbagai fakta dan nilai
saling berhubungan dan pembenaran-pembenaran nilai memainkan peran penting,
dan implementasi kebijakan melibatkan keleluasaan dan negosiasi para pengambil
keputusan.

Para ahli teknis dan para pembuat kebijakan ‘bersama membangun’

kebijakan. Dalam pengertian bahwa ilmuwan berkontribusi mengkerangka isu-isu
kebijakan dengan menetapkan bukti melalui penyelidikan ilmiah dengan
menetapkan area yang relevan dan area yang berhubungan untuk investigasi.
Pendekatan untuk memahami proses pembuatan kebijakan adalah a)
menekankan ekonomi politik dan berbagai interaksi dari negara dan masyarakat
sipil serta kelompok kepentingan yang berbeda; b) melihat historis dan praktek
yang terkait peningkatan diskursus, dan bagaimana ini semua membentuk dan
memandu masalah-masalah dan aksi kebijakan; dan c) memberikan keunggulan
kepada peran-peran dan badan dari aktor-aktor individu.

Keeley dan Scoones

(2000) dalam IDS (2006), mencoba untuk mengintegrasikan berbagai perbedaan
di atas, dengan mengeksplor bagaimana para aktor membuat dan membentuk

11 
 

narasi-narasi kebijakan dan berbagai kepentingan. Proses pembuatan kebijakan
dalam riset-riset IDS (2006), adalah dengan mengembangkan dan mengelaborasi
sebuah kerangka sederhana yang mengaitkan ketiga tema yang saling
berhubungan, yaitu narasi/diskursus, aktor/jaringan dan politik/kepentingan.
Narasi/diskursus menjelaskan mengenai bagaimana narasi (pengetahuan) dari
hasil penelitian dapat ditransformasikan menjadi kebijakan atau dengan kata lain
bahwa kebijakan tersebut dikerangkai ilmu pengetahuan ataupun penelitian. Alur
kebijakan tersebut dibatasi oleh isu-isu tertentu dengan cara pandang dan
pendekatan yang berbeda-beda, dimana narasinya yang tertanam dalam struktur
dan pelaku. Aktor/jaringan menjelaskan hubungan dan siapa saja yang terlibat di
dalam proses pembuatan kebijakan, di mana jaringan secara bertahap merubah
narasi serta menguatkannya yang membawa pelaku secara bersama-sama bertukar
ide dan strategi. Politik/kepentingan menjelaskan dinamika kekuatan kunci proses
pembuatan kebijakan. Oleh karena itu untuk memahami bentuk proses kebijakan
tertentu, maka sangat penting untuk mengetahui tidak hanya bingkai ilmu
pengetahuan terhadap isu kebijakan (narasi/diskursus) tetapi juga posisi para
pelaku dalam jejaring (aktor/jaringan) antara lain: pelaku, pendanaan, tenaga
ahli, para pihak terkait lainnya, lembaga terkait dan organisasi; dan dinamika
kekuasaan (politik/kepentingan) yang membangun atau menghambat kebijakan.
Kerangka pemikiran ini lebih bersifat suatu menu dari pada sebuah peta konsep.

Konsep Hak Kepemilikan
Hak kepemilikan (property right) berdasarkan penelusuran ilmiah oleh para
ahli hukum, ekonomi, politik dan lain-lain merupakan sesuatu yang menunjukkan
hak atas sesuatu. Hak mengandung pengertian klaim atas sesuatu yang dapat
ditegakkan atau dihormati pihak-pihak lain. Klaim atas sesuatu tanpa adanya
perlindungan hukum atau tanpa bisa ditegakan tidak mengandung makna dan
memberikan manfaat apa-apa. Oleh karena itu unsur terpenting dari property
adalah penegakan.
Walaupun pengertian property sudah mengandung makna hak (right)
tetapi banyak ditemukan adanya penggandengan kata property dengan right
sehingga muncul frase property rights (hak-hak kepemilikan). Ini merupakan

12 
 

penegasan atas kandungan makna hak yang ada di dalam kata property. Dengan
kata lain, property dapat diartikan sebagai kepemilikan atas sesuatu yang di
dalamnya terkandung makna hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu tersebut.
Property merupakan hak yang harus ditegakan atau dihormati oleh pihak
lain, maka property merupakan sebuah aturan yang di dalam penegakannya
memerlukan suatu lembaga yang berwenang untuk menjamin tegakannya hak-hak
tersebut. Property sebagai bagian dari hak azasi manusia, yaitu hak manusia untuk
memiliki yang merupakan hak paling mendasar. Bila hak tersebut tidak ada maka
manusia akan kehilangan eksistensinya. Oleh karena itu, pemerintah sebagai
pihak yang berwenang harus berupaya property manusia atas sesuatu bisa
ditegakkan.
Property rights atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian
hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau
mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain.
Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang secara wujud fisik, jasa atau
pengetahuan/informasi yang bersifat intangible. Pengertian property ini sangat
dekat dengan menguasai sesuatu secara ekslusif.
Bromley (1989) mendefinisikan property right sebagai hak untuk
mendapatkan aliran keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respek
terhadap aliran laba tersebut (terkait dengan transaksi). Makna pernyataan tersebut
adalah bahwa property right merupakan klaim seseorang secara ekslusif atas
sesuatu untuk memanfaatkan, mengelola, mengubah, mentransfer sebagian atau
seluruh hak tersebut.
Furubotn dan Pejovich (1972)

menyatakan bahwa teori kepemilikan

bermuara pada dua buah teori, yaitu teori kepemilikan individu dan teori
kepemilikan sosial.

Teori kepemilikan individu merupakan penopang utama

doktrin hak-hak alamiah (natural rights) dari ekonomi klasik yang mengarah pada
lahirnya private property right. Sedangkan teori kepemilikan sosial mendorong
lahirnya commons property atau state property yang dianut secara ekstrim oleh
negara-negara sosialis.
Ekonomi kapitalis percaya bahwa satu-satunya hak kepemilikan yang harus
dirawat adalah hak kepemilikan individu (private property rights), sedangkan

13 
 

ekonomi sosialis meyakini bahwa hak kepemilikan yang betul hanyalah hak
kepemilikan negara (state property rights). Padahal, dalam realitasnya, persoalan
hak kepemilikan di negara-negara berkembang, yang secara ekstrem tidak
menganut rezim private maupun state property rights, menghendaki analisis yang
lebih tajam dari sekadar memilih di antara dua kutub yang berseberangan tersebut.
Terutama hak kepemilikan selalu bermakna spesifik sesuai dengan konteks
lingkungan sektor ekonomi yang hendak diterapkan. Bahkan, di negara
berkembang, baik kepemilikan juga berhubungan dengan pertanyaan yang lebih
luas dari pertumbuhan ekonomi, demokrasi, politik dan kebebasan ekonomi
individu, dan persoalan lingkungan. Sementara itu, bagi pengambil kebijakan
masalahnya bukan sekadar memilih jenis hak kepemilikan, namun bagaimana hak
kepemilikan itu diregulasi dan ditegakkan sehingga

membantu proses

pembangunan ekonomi.
Kepemilikan atas sesuatu yang langka sangat penting untuk dapat
berlangsungnya proses transaksi. Semakin tinggi kepastian tersebut, biaya
transaksinya semakin rendah. Dalam konteks property right, biaya transaksi
meliputi biaya transfer hak-hak kepemilikan dan perlindungan kepemilikan
tersebut dari klaim pihak lain. Kepemilikan dibagi menjadi empat (Bromley
1991; Hanna &Munasinghe 1995), yaitu sebagai berikut: 1) private property
adalah suatu kepemilikan oleh individu/swasta di mana hak akses, pemanfaatan,
pengelolaan dan lain-lain yang melekat pada barang tersebut sepenuhnya milik
individu/swasta; 2) state property adalah suatu kepemilikan oleh negara di mana
hak akses, pemanfaatan, dan pengelolaan dikendalikan oleh negara; 3) ommunal
property adalah suatu kepemilikan yang bersifat kolektif di mana hak akses,
pemanfaatan, dan pengelolaan menjadi milik bersama dari sekelompok orang
yang sudah terdefinisi secara jelas, dan 4) open access adalah kepemilikan terbuka
yang pada hakekatnya bukanlah hak kepemilikan karena tidak ada pihak yang
dapat mengklaim sebagai pemilik dari komoditas atau sumberdaya tersebut.

14 
 

Konsep Hutan Rakyat
Sejak 1978, ketika diselenggarakan Kongres Kehutanan Sedunia dengan
tema ’Hutan untuk Rakyat’ (Forest for People) mulai terjadi pergeseran perspektif
tentang peran-peran masyarakat sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di
negara-negara sedang berkembang. Kemudian istilah hutan rakyat muncul dalam
perbendaharaan kata di bidang kehutanan di Indonesia, yang didefinisikan sebagai
hutan dalam pengertian yang sangat luas sebagai ”situasi tertentu di dalam
aktitivitasnya melibatkan rakyat setempat sebagai satu kesatuan (FAO 1978).
Aktivitas tersebut mulai dari mengumpulkan potongan-potongan kayu dan aneka
hasil hutan lainnya yang dibutuhkan masyarakat dari dalam kawasan hutan
tertentu, juga menanam pohon-pohon di areal hutan guna menyediakan kebutuhan
untuk memproses produk-produk kayu untuk keperluan rumah tangga, kesenian
atau industri kecil dalam rangka memperoleh penghasilan, hingga kegiatankegiatan bertempat tinggal di dalam kawasan hutan. Aktivitas-aktivitas tersebut
sebegitu luas cakupannya sehingga secara potensial dapat meliputi seluruh jenis
kepemilikan lahan.
Konsep hutan rakyat telah ada di dalam peraturan perundangan Indonesia,
yaitu pada UUPK No. 5 tahun 1967 yang disebut dengan istilah hutan milik.
Hutan milik berdasarkan UUPK adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik. Hutan tersebut dapat dimiliki oleh orang, baik sendiri maupun
bersama-sama orang lain ataupun Badan Hukum. Hutan yang ditanam atas usaha
sendiri di atas tanah yang dibebani hak lainnya, merupakan pula hutan milik dari
orang atau Badan Hukum yang bersangkutan. Akan tetapi dengan berjalannya
pengaturan UUPK ketidakberpihakan kepada rakyat sangat rendah, padahal pada
kenyataannya bahwa sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia lebih dari 40%
adalah hutan merupakan lahan milik atau lahan yang dikelola oleh rakyat1.
Kemudian Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah
menggantikan UUPK, dan pengakuan hutan rakyat tetap ada dengan diistilahkan
sebagai hutan hak. Definisi hutan rakyat dalam UU No. 41/1999 adalah hutan
                                                            
1

Berdasarkan hasil wawancara tokoh sejarah kehutanan Indonesia (Sadikin Djajapertjunda 2012), bahwa
UUPK (Undang-undang Pokok Kehutanan) No. 5 tahun 1967 yang merupakan reinkarnasi Bosreglement
tahun 1927, walaupun kepemilikan lahan oleh rakyat lebih besar jumlahnya saat itu, tetapi jalan pemikiran
konsep tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan kolonialisme yang mendahulukan kepentingan swasta
dan tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat di daerah untuk mengelola hutan.

15 
 

yang berada pada tanah yang dibeban hak atas tanah. Di dalam undang-undang
tersebut telah ditegaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan menjamin distribusi manfaat yang
berkeadilan dan berkelanjutan.
Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata karena adanya interaksi
alami antara komponen biotik maupun abiotik, melainkan turut sertanya peran
manusia dengan kebudayaan yang dianutnya. Budaya tersebut dapat berwujud
pola tanam dan jenis-jenis tanaman yang ditanamanya. Hal ini mengandung arti
bahwa di dalam pengelolaannya dapat bervariasi di setiap wilayah. Berdasarkan
tipenya, terdapat tiga tipe hutan rakyat (Michon 1983) diantaranya adalah:
1) pekarangan, yaitu lahan yang mempunyai sistem pengaturan tanaman yang
terang dan baik serta biasanya berada di sekitar rumah dengan luas minimum
sekitar 0,1 ha yang dipagari dengan jenis sayuran hingga pohon berukuran sedang
dengan tinggi mencapai 20 meter; 2) talun, yaitu lahan yang memiliki ukuran
yang lebih luas, penanaman pohon yang sedikit rapat, tinggi pohon mencapai 35
meter dan terdapat beberapa pohon yang tumbuh secara liar dari jenis herba atau
liana; dan 3) kebun campuran, yaitu lahan yang mempunyai komposisi tumbuhan
cenderung lebih homogen dengan satu tanaman jenis pokok cengkeh atau pepaya
dan beberapa jenis tanaman herba dan sering ditemui di sekitar desa.
Pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh masyarakat secara individual pada
lahan milik. Hutan rakyat ini tersebar (sporadis) atau tidak mengelompok dengan
lokasinya sesuai kepemilikan lahan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
pengelolaan (permudaan, pemeliharaan, pemanenan hasil, pengolahan dan
pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga. Secara ekonomi
pengelolaan hutan rakyat dipandang sebagai usaha tani yang masih bersifat
subsisten, meskipun petani telah menyatakan bahwa telah mengelola hutan
rakyatnya secara komersial (terbatas). Produk kayu yang dihasilkan secara sengaja
disiapkan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi keluarga petani.
Sifat subsisten dari pengelolaan hutan rakyat nampak pada cara pemanenan
yang dilakukan, yaitu tergantung pada kebutuhan keluarga. Bila kebutuhan
keluarga telah terpenuhi oleh hasil-hasil tanaman pertanian maka penebangan
pohon tidak dilakukan. Penebangan pohon dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

16 
 

dalam skala besar, misalnya untuk biaya sekolah, hajatan, atau untuk memenuhi
kebutuhan kayu untuk konstruksi rumah sendiri. Sepanjang kebutuhan itu tidak
ada penebangan pohon tidak dilakukan, sehingga penebangan pohon memiliki
korelasi yang kuat dengan jumlah kebutuhan petani. Sistem pemanenan ini
kemudian dikenal dengan sistem tebang butuh. Para pengusaha tidak suka dengan
konsep tebang butuh ini, kar