Analysis of farmer’s perceptions and strategies in smallholder timber plantation business (case studies of smallholder timber plantations at Gunungkidul District, Special Province of Yogyakarta and Tanah Laut District, Province of South Kalimantan)

(1)

ANALISIS PERSEPSI DAN STRATEGI PETANI DALAM

USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT

(STUDI KASUS USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI

KALIMANTAN SELATAN)

DEDE ROHADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Analisis Persepsi dan Strategi Petani dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012 Dede Rohadi NIM. E. 061 060 121


(4)

(5)

ABSTRACT

DEDE ROHADI. Analysis of Farmer’s Perceptions and Strategies in Smallholder Timber Plantation Business (Case studies of Smallholder Timber Plantations at Gunungkidul District, Special Province of Yogyakarta and Tanah Laut District, Province of South Kalimantan). Under direction of HARIADI KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO and DUDUNG DARUSMAN. Smallholder timber plantations play strategic roles in forestry development in

Indonesia, particularly on improving farmers’ livelihood at rural areas, supplying

wood materials for forest industries and supporting forest rehabilitation program. The potential for developing smallholder timber plantations in Indonesia is huge, given the vast areas of critical land in Indonesia as well as high demand for wood. The facts however showed that the development of smallholder timber plantations in Indonesia only concentrates in Java. This dissertation aims to identify alternatives on policy intervention to support the development of smallholder

timber plantations in Indonesia through better understanding on farmer’s

perceptions and strategies on timber plantation practices. The study was conducted through case studies of smallholder timber plantations at Gunungkidul district, the province of Yogyakarta and Tanah Laut district, the province of South Kalimantan. Data was collected through household surveys, interviews with key informants, focus group discussions, inventory of smallholder timber plantation plots, and by collecting secondary publication materials at the two case study sites. The results showed that timber plantations play major roles as household

saving accounts and as farmers’ safety net. Farmer’s investment of timber

plantations management depends on the relative benefits of timber plantations as compared to other farming options. Access to markets and timber selling price are the main driving factors for farmers to invest more on their timber plantations. The availability of land area ownership and production-input capital are also important factors. Governments need to develop policies that strengthen farmers' access to timber markets, such as through institutional strengthening of farmer groups on timber marketing collective action, developing micro credit facilities for farmers and simplifying timber transport document regulations. Governments

are also advised to strengthen farmers’ capacity on timber value-added activities and building business partnership with timber industries.

Keywords: smallholder timber plantations, institution analyses, policy intervention, Gunungkidul, Tanah Laut.


(6)

(7)

RINGKASAN

DEDE ROHADI. Analisis Persepsi dan Strategi Petani dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO, BRAMASTO NUGROHO dan DUDUNG DARUSMAN.

Tanaman kayu rakyat memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan kehutanan di Indonesia, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan, penyediaan bahan baku kayu bagi industri kehutanan dan rehabilitasi sumber daya hutan. Potensi pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia sangat besar mengingat luasnya areal lahan kritis di Indonesia serta tingginya permintaan terhadap bahan baku kayu. Namun demikian, fakta sejauh ini menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Diperlukan intervensi kebijakan yang lebih baik agar pertumbuhan tanaman kayu rakyat di Indonesia dapat lebih ditingkatkan.

Disertasi ini bertujuan untuk memahami persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman tersebut penting untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang lebih sesuai dengan kondisi petani, sehingga lebih efektif dalam memotivasi petani untuk menanamkan investasi di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pendekatan analisa dan pengembangan kelembagaan digunakan di dalam disertasi ini untuk memahami proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani sebagai aktor utama di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat.

Data dan informasi yang digunakan di dalam analisa ini didasarkan atas studi kasus tanaman kayu rakyat di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Pada kedua lokasi studi kasus tersebut, dilakukan pengamatan tanaman kayu rakyat melalui inventarisasi tanaman kayu petani, survey rumah tangga terhadap sejumlah responden petani, diskusi kelompok terfokus atau Focus Group Discussion (FGD), wawancara dengan sejumlah tokoh masyarakat dan aparat instansi pemerintah dan pengumpulan data sekunder dari bahan-bahan publikasi yang tersedia.

Hasil penelitian disertasi ini memperlihatkan bahwa pada umumnya petani memandang usaha tanaman kayu sebagai salah satu upaya dalam meragamkan (diversifikasi) sumber pendapatan keluarga. Tanaman kayu dianggap mempunyai peranan penting sebagai tabungan keluarga. Persepsi lainnya dari petani terhadap usaha tanaman kayu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kondisi setempat (site specific).

Di Kabupaten Gunungkidul, budaya masyarakat yang telah lama berkembang (sejak tahun 1960 an) dalam penanaman kayu jati pada umumnya diwariskan kepada para petani generasi kini. Masyarakat di Gunungkidul yang pernah mengalami dampak dari kondisi lingkungan yang gersang (tutupan hutan hanya sekitar 3% dari luas wilayah) turut membangun apresiasi petani atas manfaat tanaman kayu bagi perbaikan lingkungan. Akses pasar yang relatif mudah serta nilai jual kayu jati yang cukup menguntungkan membentuk perspektif ekonomi yang positif oleh petani atas tanaman kayu jati. Disamping itu dukungan


(8)

pihak luar, baik dari pihak pemerintah daerah maupun berbagai lembaga swadaya masyarakat turut meningkatkan motivasi petani di dalam usaha budidaya tanaman jati rakyat. Persepsi yang positif terhadap usaha penanaman kayu jati di Gunungkidul dijumpai secara merata pada seluruh petani.

Di Kabupaten Tanah Laut persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu lebih didominasi oleh aspek ekonomi. Para petani memandang usaha tersebut mempunyai prospek yang baik dalam upaya diversifikasi pendapatan keluarga, terutama karena pengaruh intervensi pihak luar, yaitu perusahaan yang menjanjikan akan menampung kayu hasil tanaman (pada kasus di Desa Asam Jaya) dan pemerintah daerah (Dinas Kehutanan dan instansi kehutanan lainnya) dalam rangka program pengembangan hutan rakyat (pada kasus di Desa Ranggang). Namun demikian, pandangan positif terhadap usaha tanaman kayu di Kabupaten Tanah Laut tersebut hanya terbatas pada sebagian kecil petani.

Strategi yang diterapkan petani di dalam sistem usaha tanaman kayu berbeda antara Kabupaten Gunungkidul dan Tanah Laut. Di Kabupaten Gunungkidul, karena keterbatasan luas kepemilikan lahan, sementara prospek ekonomis kayu jati yang cukup baik, para petani menerapkan strategi subsisten (coping strategy) dan diversifikasi (diversified strategy) sumber pendapatan. Fokus usaha tani masih terletak pada produksi tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri untuk menimbulkan rasa aman terhadap ancaman kekurangan pangan (safety first), sedangkan tanaman jati berfungsi sebagai tabungan keluarga yang mudah diuangkan apabila petani dihadapkan kepada kebutuhan mendesak akan uang tunai. Pola budidaya tanaman jati dilakukan secara tumpang sari (pola agroforestri) dengan umur tanaman yang beragam untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dengan luas yang terbatas dalam rangka memenuhi kedua tujuan di atas. Strategi pemanenan kayu lebih dikaitkan dengan saat petani membutuhkan uang tunai (tebang butuh) daripada rencana pemanenan dengan rotasi tebang tertentu. Di Kabupaten Tanah Laut, strategi petani dalam usaha tanaman kayu lebih bersifat diversifikasi pendapatan dengan pola budidaya yang lebih spesialis (specialized strategy), dalam pengertian penanaman kayu dilakukan secara monokultur dan umur tegakan seragam dan dengan target rotasi tebang tertentu.

Faktor pasar merupakan hambatan utama yang secara umum dijumpai di dalam sistem usaha tanaman kayu rakyat di kedua kabupaten yang diteliti, walaupun dalam konteks dan tingkat kesulitan yang berbeda. Di Kabupaten Gunungkidul, akses pasar dan permintaan terhadap kayu jati rakyat sudah relatif baik. Namun demikian, para petani masih memiliki posisi tawar yang rendah dalam transaksi jual beli kayu, sehingga mereka lebih condong berada pada posisi penerima harga (price takers). Berbagai aturan dalam tata niaga kayu jati rakyat, khususnya kewajiban atas kelengkapan dokumen transportasi kayu dalam bentuk Surat Izin Tebang (SIT) dan Surat Keterangan Asal Usul kayu (SKAU) menjadi kendala pasar (market barriers) bagi petani untuk memanfaatkan peluang memasarkan kayu secara langsung ke industri. Aturan tersebut juga menyebabkan biaya transaksi yang tinggi bagi para pedagang kayu, sehingga memaksa mereka untuk menekan harga beli di tingkat petani. Keterbatasan luas kepemilikan lahan juga menjadi kendala bagi upaya ekspansi tanaman kayu jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul. Di Kabupaten Tanah Laut, keterbatasan pasar (thin market) menjadi faktor hambatan utama dalam usaha tanaman kayu rakyat. Keterbatasan pasar


(9)

menyebabkan harga jual kayu yang rendah dan kurang kondusif untuk memotivasi investasi petani di dalam usaha tanaman kayu.

Hasil penelitian disertasi ini memberikan beberapa implikasi kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah dalam rangka mendorong perkembangan usaha tanaman kayu rakyat di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat perlu dilakukan dengan memperhatikan permasalahan-permsalahan pada kondisi lokal. Secara umum kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk memperkuat akses pasar dan posisi tawar petani di dalam pemasaran hasil tanaman kayu mereka. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam upaya pemasaran kayu secara bersama merupakan salah satu program yang perlu dilakukan secara intensif oleh pemerintah daerah. Upaya pemasaran kayu secara bersama tersebut dapat diintegrasikan dengan penyediaan kredit mikro bagi petani untuk mencegah penebangan kayu yang terlalu dini (premature harvesting) sehingga belum mencapai nilai jual optimal. Penguatan kelembagaan kelompok tani dalam rangka pemasaran bersama dapat menjadi batu loncatan untuk mengembangkan kontrak kerjasama penjualan kayu antara kelompok tani dengan industri pengolahan kayu atau industri hutan tanaman. Pemerintah (pusat dan daerah) juga perlu menghilangkan aturan tata niaga kayu (SIT dan SKAU) yang cenderung menjadi kendala pemasaran kayu rakyat serta menimbulkan biaya transaksi tinggi. Pemerintah juga disarankan untuk meningkatkan kapasitas petani di dalam proses pengolahan kayu, agar petani memiliki peluang untuk terlibat di dalam aktivitas peningkatan nilai tambah bahan baku kayu menjadi produk-produk olahan setengah jadi.

Kata kunci: tanaman kayu rakyat, analisa kelembagaan, persepsi petani, strategi petani, Gunungkidul, Tanah Laut.


(10)

(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(12)

(13)

ANALISIS PERSEPSI DAN STRATEGI PETANI DALAM

USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT

(STUDI KASUS USAHA TANAMAN KAYU RAKYAT DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN KABUPATEN TANAH LAUT, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN)

DEDE ROHADI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir.Nurheni Wijayanto, MS. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Hariyatno Dwi Prabowo, MSc.


(15)

Judul Disertasi : Analisis Persepsi dan Strategi Petani Dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan)

Nama : Dede Rohadi NIM : E. 061 060 121

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Ketua

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Naresworo Nugroho, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr.


(16)

(17)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi yang

berjudul “Analisis Persepsi dan Strategi Petani Dalam Usaha Tanaman Kayu Rakyat (Studi Kasus Usaha Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan

Selatan)” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dalam rangka disertasi ini telah dilakukan pada tahun 2007 sampai 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA., selaku anggota komisi, atas segala bimbingan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS dan Bapak Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS. yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup dan kepada Bapak Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, MSc. serta Dr. Ir. Supriyanto selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka. Penulis juga menyadari bahwa disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa dukungan yang diberikan dari segenap jajaran pimpinan IPB, khususnya Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Kehutanan IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, dan Ketua Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Center for International Forestry Research dan Australian Center for International Agricultural Research yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang sangat berarti di dalam pelaksanaan penelitian disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan atas dukungan yang diberikan selama penulis melaksanakan pendidikan doktor ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan dengan setulus-tulusnya kepada

isteri, anak, ibu, ayah (alm) dan sanak saudara yang telah memberikan do’a dan


(18)

Kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis, namun tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan semoga Allah Yang Maha Pemurah jua lah yang akan berkenan membalas kebaikan Ibu/Bapak/Saudara tersebut.

Akhirnya penulis berharap agar disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi upaya pengembangan ilmu serta program pembangunan kehutanan di Indonesia.

Bogor, Februari 2012


(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 22 Maret 1959, merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara dari pasangan Sambas Adiwidjaja (alm) dan Ilis Idah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana S1 pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1982. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan S2 (Master in Forestry Science) pada The University of Melbourne, Australia dengan dukungan beasiswa dari Australian International Development Assistance Bureau (AIDAB). Penulis menempuh program pendididikan S3 Pascasarjana IPB sejak September tahun 2006.

Saat ini penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Penulis memulai karir Pegawai Negeri Sipil dengan bekerja sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Hasil Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Penulis pernah ditugaskan sebagai Kepala Balai Penelitian Kehutanan di Makassar dan Pematang Siantar, serta sebagai Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Ciheuleut Bogor. Penulis pernah diperbantukan sebagai Seconded Scientist pada lembaga penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 1999 sampai 2001 dan sebagai Project Leader pada proyek penelitian “Improving Economic Outcomes for Smallholders Growing Teak in Agroforestry Systems in Indonesia” pada lembaga yang sama pada tahun 2007 sampai 2011.

Penulis telah menyusun beberapa publikasi ilmiah yang terkait dengan topik kebijakan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, baik dalam bentuk tulisan pada jurnal ilmiah, bagian dari buku, makalah seminar atau poster. Diantara publikasi ilmiah tersebut ada yang telah diterbitkan di dalam jurnal internasional, sebagai bagian dari buku yang diterbitkan oleh CIFOR atau berupa makalah-makalah seminar internasional.


(20)

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan penelitian ... 5

1.4.Ruang lingkup Penelitian ... 6

1.5.Manfaat Hasil Penelitian ... 6

1.6.Kebaruan ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1.Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global ... 9

2.2.Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia ... 16

2.3.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat ... 24

2.4.Kerangka Analisa Kelembagaan dalam Konteks Persepsi dan Strategi Petani dalam Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat ... 29

III. METODE PENELITIAN... 37

3.1.Pendekatan dan Kerangka Analisa Penelitian ... 37

3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3.Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 41

3.4.Analisa Data ... 47

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 49

4.1.Kabupaten Gunungkidul ... 49

4.2.Kabupaten Tanah Laut ... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59

5.1.Tanaman Jati Rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 59

5.1.1. Faktor-faktor Eksternal yang Mempengaruhi Sistem Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 59

5.1.2. Praktek Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 62

5.1.3. Analisa Kelembagaan: Konsepsi dan Strategi Petani Dalam Pengusahaan Tanaman Jati Rakyat ... 69

5.1.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengembangan Usaha Tanaman Kayu Rakyat ... 74

5.2.Tanaman Kayu Rakyat di Kabupaten Tanah Laut ... 77

5.2.1. Faktor-Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Sistem Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat ... 77


(22)

5.2.2. Praktek Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat ... 80 5.2.3. Analisa Kelembagaan: Persepsi dan Strategi Petani Dalam

Pengusahaan Tanaman Kayu Rakyat ... 91 5.2.4. Permasalahan dan Peluang Petani Dalam Pengusahaan

Tanaman Kayu Rakyat ... 97 5.3.Pembelajaran dan Implikasi Kebijakan ... 99 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 105 6.1.Kesimpulan ... 105 6.2.Saran ... 108 DAFTAR PUSTAKA ... 111 LAMPIRAN ... 119


(23)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia ... 14 2. Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan

rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003

(Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004) ... 23 3. Lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa

Yogyakarta ... 39 4. Komposisi jumlah petani responden pada survey rumah tangga

di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ... 43 5. Kriteria yang digunakan dalam teknik ranking kesejahteraan

keluarga di Desa Ranggang ... 43 6. Distribusi penggunaan lahan di Desa Asam Jaya, Kecamatan,

Jorong Kabupaten Tanah Laut ... 58 7. Harga kayu bulat jati di tingkat pedagang kayu desa pada berbagai

kelas kualitas ... 60 8. Jumlah tanaman jati pada berbagai tipe penggunaan lahan petani

di Kabupaten Gunungkidul ... 63 9. Analisa finansial usaha tani rakyat berbasis tanaman jati ... 68 10. Komponen biaya input dan pendapatan usaha tani kitren dan

tegalan ... 68 11. Persepsi dan strategi petani kayu di dalam sistem pengusahaan

tanaman jati rakyat ... 73 12. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsinya di Provinsi Kalimantan

Selatan ... 79 13. Ringkasan strategi petani dalam sistem pengusahaan tanaman

kayu rakyat di Kabupaten Tanah Laut ... 96 14. Perincian harga kayu yang diterima pabrik PT. Navatani


(24)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia... 22 2. Produksi kayu bulat Indonesia ... 23 3. Kerangka analisa kelembagaan (Ostrom, 2006)... 30 4. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Gunungkidul, Daerah

Istimewa Yogyakarta... 40 5. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Tanah Laut, Provinsi

Kalimantan Selatan ... 41 6. Berbagai pola penanaman jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 62 7. Alasan petani menanam jati berdasarkan hasil survey rumah tangga

di Kabupaten Gunungkidul ... 64 8. Distribusi luas kepemilikan lahan petani jati rakyat di Kabupaten

Gunungkidul ... 65 9. Alokasi penggunaan lahan petani jati rakyat di Kabupaten

Gunungkidul ... 65 10. Struktur pendapatan petani jati rakyat di Kabupaten Gunungkidul ... 67 11. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden penanam kayu

di Desa Ranggang ... 81 12. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden non penanam

kayu di Desa Ranggang ... 82 13. Alokasi penggunaan lahan petani responden penanam kayu di

Desa Ranggang ... 83 14. Alokasi lahan petani responden non penanam kayu di Desa Ranggang .. 83 15. Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Ranggang... 84 16. Alasan petani menanam beberapa jenis komoditas usaha tani di

Kabupaten Tanah laut ... 85 17. Ilustrasi tanaman mahoni rakyat di Desa Ranggang... 87 18. Distribusi luas kepemilikan lahan petani responden di Desa

Asam Jaya... 87 19. Alokasi penggunaan lahan petani responden di Desa Asam Jaya ... 88 20. Sumber pendapatan keluarga petani responden di Desa Asam Jaya ... 89 21. Ilustrasi tanaman jabon rakyat di Desa Asam Jaya ... 89 22. Tanaman akasia model kemitraan antara PT. Hutan Rindang Banua


(25)

23. Tanaman jabon rakyat yang ditebang oleh pemiliknya karena akan


(26)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data kepemilikan lahan petani responden di Kabupaten Gunungkidul ... 119 2. Data kepemilikan lahan petani responden di Kabupaten Tanah Laut ... 126 3. Alasan penanaman kayu menurut respon petani di lokasi penelitian ... 131 4. Rangkuman hasil Focus Group Discussion (FGD) tentang manfaat

tanaman jati bagi keluarga petani (Wonosari, 2 Desember 2007) ... 132 5. Hasil inventarisasi tanaman jati rakyat pada lahan petani responden di

Kabupaten Gunungkidul ... 135 6. Hasil inventarisasi tanaman kayu pada lahan petani responden di

Kabupaten Tanah Laut ... 142 7. Analisa biaya manfaat usaha tanaman jati rakyat di Kabupaten

Gunungkidul ... 147 8. Ilustrasi transaksi pembelian dan penjualan kayu jati rakyat di

Kabupaten Gunungkidul ... 149 9. Analisa biaya manfaat usaha tanaman kayu jabon di Kabupaten

Tanah Laut ... 150 10. Analisa biaya manfaat usaha tanaman karet di Desa Asam Jaya,


(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman kayu rakyat (smallholder timber plantations) secara umum dapat diartikan sebagai tanaman kayu yang ditanam dalam bentuk kebun atau sistem agroforestry, yang dibangun dan atau dikelola oleh rakyat, baik secara individu maupun berkelompok dan terutama bertujuan untuk memproduksi kayu. Tanaman kayu rakyat di dalam pengertian ini khususnya mencakup Hutan Rakyat atau Hutan Hak menurut Undang-undang (UU) No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 3 Tahun 2004; Hutan Tanaman Rakyat (HTR) menurut batasan Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2007 atau Permenhut No. 23 Tahun 2007; Hutan Kemasyarakatan (HKm) menurut Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007.serta bentuk-bentuk tanaman kayu lainnya yang menempatkan rakyat di tingkat pedesaan sebagai pelaku utama di dalam kegiatan penanaman dan atau pengelolaannya. Tanaman kayu rakyat dapat dibedakan dengan Hutan Tanaman Industri (HTI) terutama dari aspek pengelolanya dan skala operasionalnya. Dibandingkan dengan HTI, tanaman kayu rakyat dikelola oleh masyarakat pada tingkat rumah tangga dengan skala luasan yang relatif kecil.

Tanaman kayu rakyat di Indonesia memiliki peran yang sangat penting di dalam pembangunan kehutanan. Tanaman kayu rakyat berperan sebagai sarana pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan lahan, pemasok bahan baku kayu bagi industri perkayuan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang tinggal di wilayah pedesaan. Walaupun belum banyak data yang tersedia tentang potensi kayu dari areal tanaman kayu rakyat, hasil sensus tahun 2003 mencatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat di Indonesia adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara dengan 14 juta1 m3, sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m3 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis tanaman hutan rakyat yang paling dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, namun belum mencakup berbagai jenis lainnya yang lebih spesifik ditanam di wilayah-wilayah

1


(28)

2

tertentu di Indonesia. Potensi tersebut relatif sangat besar apabila bila dibandingkan dengan kemampuan pasokan kayu berdasarkan Jatah Penebangan Tahunan (JPT) nasional tahun 2009, yang hanya mencapai 9.1 juta m3 (SK. Dirjen BPK No SK.432/VI-BPHA/2008).

Mengingat peranannya yang cukup nyata dalam pembangunan kehutanan, berbagai dukungan kebijakan telah dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat luas di dalam upaya penanaman kayu. Diawali dengan Instruksi Presiden (INPRES) No. 8 pada tahun 1976, kegiatan tanaman kayu rakyat telah digalakkan di Indonesia melalui program penghijauan dan reboisasi. Pada tahun 2003 pemerintah bahkan telah

menjadikan “perhutanan sosial” (social forestry) sebagai payung dalam pembangunan kehutanan (Rusli 2003) yang pada intinya menempatkan masyarakat sebagai elemen penting di dalam pengelolaan hutan, termasuk dalam kegiatan penanaman kayu. Setelah itu berbagai program pemerintah diluncurkan, seperti Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan kemudian menjadi GERHAN), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan desa dan baru-baru ini program One Man One Tree (OMOT) dan One Billion Indonesian Trees (OBIT).

Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa luas total areal tanaman kayu rakyat di Indonesia dewasa ini baru mencapai sekitar 3.7 juta ha yang sebagian besar berupa hutan rakyat (3.5 juta ha) dan sisanya merupakan gabungan dari HKm, hutan desa dan HTR (Pusat Humas Kemenhut 2011). Dari jumlah tersebut, sebagian besar tanaman berupa hutan rakyat yang terkonsentrasi di Jawa, di mana ketersediaan lahan sangat terbatas. Sementara itu areal lahan kritis di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan tanaman kayu rakyat kini telah mencapai sekitar 42 juta ha (Hindra 2006). Nampaknya berbagai dukungan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah masih belum cukup efektif untuk meningkatkan motivasi masyarakat luas di dalam usaha penanaman kayu rakyat. Oleh karena itu berbagai upaya masih perlu dilakukan agar kebijakan-kebijakan yang diterapkan lebih tepat sasaran dalam memotivasi masyarakat luas di dalam usaha penanaman kayu.


(29)

3

1.2. Perumusan Masalah

Pengalaman di berbagai belahan dunia menunjukkan banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan tanaman kayu rakyat. Zhang dan Owiredu (2007) melaporkan bahwa harga jual kayu merupakan faktor pendorong bagi perkembangan tanaman kayu rakyat di Ghana. Permintaan yang tinggi atas kayu serta keterbatasan pasokan kayu dari areal hutan alam telah mendorong perkembangan hutan tanaman, termasuk tanaman kayu jati rakyat di Laos (Midgley et al. 2007). Demikian pula di Filipina, perkembangan tanaman kayu rakyat dipicu oleh permintaan atas kayu yang meningkat serta harga kayu yang menguntungkan (Bertomeu 2006). Intensitas kebijakan pemerintah yang tinggi, khususnya yang mendukung perkembangan hutan tanaman memiliki korelasi yang kuat dengan pertumbuhan hutan tanaman pada skala global (Rudel 2009).

Manfaat ekonomis usaha tanaman kayu rakyat dilaporkan secara kontradiktif oleh berbagai penulis. Pada kasus di Costa Rica, Kishor dan Constantino (1993) melaporkan bahwa usaha tanaman kayu rakyat lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha tanaman pertanian lainnya, apabila tingkat suku bunga cukup rendah Akan tetapi beberapa kasus yang lain menunjukkan hasil yang sebaliknya (van Bodegom et al. 2008). Bahkan di negara maju seperti Jepang, agar usaha tanaman kayu rakyat cukup menarik petani, kadang-kadang subsidi pemerintah masih diperlukan (Ota 2001). Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa usaha tanaman kayu rakyat hanya memberikan keuntungan finansial yang marjinal (Race et al. 2009), sementara Siregar et al. (2007) melaporkan kasus tanaman sengon di Kediri yang ditanam dengan berbagai pilihan tanaman pertanian memberikan keuntungan pada tingkat suku bunga yang cukup tinggi (17.53%). Usaha tanaman kayu rakyat pada umumya berperan hanya sebagai usaha sampingan para petani dan belum menjadi sumber pendapatan utama (Darusman dan Hardjanto 2006; Lubis 2010; Sitanggang 2009). Beberapa hal masih menjadi hambatan dalam upaya pengembangan tanamanan kayu rakyat, seperti masa tunggu yang lama, keengganan para petani untuk melakukan penjarangan tegakan dan keterbatasan akses mereka terhadap bibit tanaman yang berkualitas (Midgley et al. 2007). Kebijakan pemerintah yang kurang kondusif, seperti penetapan pajak eksploitasi kayu yang terlalu rendah


(30)

4

dapat menyebabkan usaha tanaman kayu rakyat kurang kompetitif dengan harga kayu dari hutan alam (Herbohn 2001). Di Kanada, dimana sebagian besar sumber daya hutan dikuasai negara dan perusahaan besar, kebijakan-kebijakan atas tanaman kayu sering lebih berpihak kepada perusahaan-perusahaan besar tersebut dan menyediakan sedikit ruang bagi tanaman kayu rakyat untuk berkembang (Mitchell-Banks 2001).

Berdasarkan uraian di atas, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana sistem usaha tanaman kayu rakyat berlangsung. Mempertimbangkan bahwa petani kayu merupakan aktor utama di dalam usaha tanaman kayu rakyat tersebut, maka diperlukan pemahaman yang lebih baik terhadap proses pengambilan keputusan oleh petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Pemahaman tersebut akan sangat bermanfaat dalam perumusan kebijakan yang lebih tepat untuk mendorong perkembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia.

Armstrong di dalam Clement (2007) menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh persepsi pembuat keputusan tersebut. Persepsi biasanya sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena persepsi didasarkan atas informasi yang diperoleh langsung dari subyek yang diamati, dan lebih kuat pengaruhnya daripada informasi yang disampaikan secara tidak langsung oleh pihak lain. Persepsi, menurut kamus bahasa (http://kamusbahasaindonesia.org/persepsi# ixzz1j QA00R3g, diakses tanggal 14 Januari 2012; http://dictionary.reference.com/ browse/ perception, diakses tanggal 12 Januari 2012) dapat diartikan sebagai perolehan pengetahuan melalui indra atau pikiran. Persepsi dibedakan dengan sekedar “tahu” atau “awareness”. Persepsi mengandung pengertian bahwa informasi yang diketahui mempunyai relevansi dengan kebutuhan subyeknya sehingga memberi pengaruh kepada perilaku subyek. Perilaku petani akan berubah apabila awareness dan persepsi berkaitan atau berasosiasi (Oladele dan Fawole 2007).

Blaikie dalam Clement (2007) menyatakan bahwa persepsi terhadap suatu realitas (biofisik) tergantung kepada representasi bentuk sosial yang terbentuk dari beberapa tahap. Yang pertama adalah bahwa persepsi berubah melalui pengalaman dan yang kedua melalui proses interpretasi atas fakta-fakta ilmiah.


(31)

5

Dalam konteks fakta ilmiah tersebut, Searle dalam Clement (2007) menegaskan perlunya membedakan antara fakta-fakta alamiah (brute facts) dan fakta-fakta kelembagaan (institutional facts). Fakta alamiah relatif bersifat netral karena merupakan penjelasan atau deskripsi dasar atas suatu realitas biofisik, sedangkan fakta kelembagaan sarat dengan nilai dimana nilai-nilai tersebut tidak harus sama di antara kelompok-kelompok sosial yang berinteraksi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pemahaman atas persepsi petani di dalam usaha tanaman kayu perlu dilakukan melalui pengumpulan informasi atas pandangan petani terhadap usaha tersebut, serta dengan menganalisa fakta-fakta alamiah dan kelembagaan yang dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan oleh petani. Selanjutnya, melalui pengamatan atas fakta-fakta di lapangan, penelitian ini mencoba memahami strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut pada kondisi realitas kehidupan yang mereka hadapi. Hasil analisa atas persepsi dan strategi petani tersebut selanjutnya digunakan untuk mencari pilihan intervensi kebijakan yang lebih efektif untuk mendorong investasi masyarakat di dalam usaha penanaman kayu rakyat.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menganalisa persepsi dan strategi petani di dalam usaha tanaman kayu rakyat dalam rangka penentuan pilihan-pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja pengusahaan tanaman kayu rakyat di Indonesia.

Pertanyaan pokok penelitian yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah persepsi petani terhadap usaha tanaman kayu rakyat dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi persepsi petani tersebut?

b. Bagaimanakan strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut pada kondisi realitas kehidupam yang mereka alami?

c. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh para petani dan peluang-peluang yang tersedia bagi mereka untuk meningkatkan manfaat tanaman kayu rakyat bagi mereka?


(32)

6

d. Apakah pilihan-pilihan intervensi kebijakan yang dapat dilakukan untuk mendorong upaya peningkatan kinerja pengusahaan tanaman kayu rakyat di Indonesia?

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Tanaman kayu rakyat yang dikaji di dalam penelitian ini difokuskan pada hutan rakyat pada lahan-lahan milik petani. Beberapa informasi yang berkaitan dengan bentuk tanaman kayu rakyat lainnya, seperti HKm dan HTR digunakan sebagai pelengkap bahan kajian. Analisa didalam penelitian didasarkan atas kasus-kasus pengusahaan tanaman kayu rakyat yang terdapat di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan.

Analisa atas persepsi dan strategi di dalam pengusahaan tanaman kayu rakyat difokuskan kepada para petani sebagai aktor utama di dalam usaha ini. Persepsi dari para aktor lainnya yang terlibat di dalam sistem ini digunakan dalam konteks untuk menjelaskan persepsi dan strategi petani tersebut. Analisa terhadap persepsi didasarkan atas respon langsung para petani responden atas pertanyaan yang disampaikan melalui wawancara dan atau survey rumah tangga serta dengan mengamati perilaku mereka di dalam tatacara pengusahaan tanaman kayu rakyat. 1.5. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat, terutama kepada:

a. Para pengambil keputusan, khususnya para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan kabupaten: Penelitian ini menyajikan informasi yang menjelaskan bagaimana persepsi petani atas usaha tanaman kayu rakyat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal mereka serta mempengaruhi strategi petani di dalam menjalankan usaha tanaman kayu rakyat tersebut. Informasi tersebut sangat berguna sebagai bahan pertimbangan untuk merumuskan intervensi kebijakan yang lebih adaptif dengan pola pikir para petani sebagai aktor utama di dalam usaha tanaman kayu rakyat.

b. Kaum akademisi: Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan di dalam penelitian bidang ilmu-ilmu sosial, khususnya bagi penelitian yang


(33)

7

akan mendalami perilaku petani di dalam usaha penanaman kayu sebagai respon atas kondisi lingkungan dan berbagai pengaruh lainnya.

c. Agen-agen pembangunan: Hasil penelitian ini memberikan informasi dan pembelajaran dari studi kasus sistem usaha tanaman kayu rakyat di Jawa dan luar Jawa, khusunya tentang hambatan yang dihadapi dan peluang intervensi yang tersedia dalam rangka pengembangan usaha tanaman kayu rakyat tersebut.

d. Masyarakat, khususnya para petani penanam kayu rakyat: Penelitian memberikan manfaat secara tidak langsung kepada masyarakat melalui adopsi hasil-hasil penelitian oleh para pengambil kebijakan di dalam merumuskan kebijakan yang baru yang lebih kondusif bagi pengembangan usaha tanaman kayu rakyat.

e. Para pengusaha atau penanam modal, khususnya perusahaan-perusahaan kehutanan: Penelitian ini memberikan informasi dan pembelajaran tentang potensi dan cara-cara untuk menjalin kemitraan yang berkesinambungan dengan para kelompok petani tanaman kayu rakyat.

1. 6. Kebaruan

Kebaruan yang dihasilkan dari penelitian ini terletak pada penggunaan kerangka analisa kelembagaan untuk memahami hubungan sebab akibat antara strategi petani di dalam sistem pengusahaan tanaman kayu rakyat dengan persepsi petani atas usaha tersebut serta faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi persepsi dan strategi petani tersebut. Pada tataran operasional, penelitian ini juga menghasilkan beberapa pilihan intervensi kebijakan yang dapat dipertimbangkan di dalam upaya pengembangan usaha tanaman kayu rakyat.


(34)

(35)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kayu Rakyat pada Skala Global

Pada skala global, tanaman kayu rakyat dijumpai dalam beragam tipe, baik dalam konteks peristilahan, kepemilikan, luasan, tujuan serta tatacara pengelolaannya (Harrison et al. 2002). Di Amerika Serikat, istilah yang paling sering digunakan adalah Non Industrial Private Forest (NIPF) dan pada umumnya diartikan sebagai kawasan hutan yang dimiliki oleh petani, perseorangan atau perusahaan yang tidak memiliki pabrik pengolahan kayu. Terdapat berbagai istilah lain yang biasa digunakan namun dengan frekuensi yang lebih jarang. Luas total areal NIPF mencakup hampir 60% dari keseluruhan tanaman kayu di Amerika Serikat dan memasok sekitar 50% dari produksi kayu nasional mereka. Areal NIPF dimiliki oleh sekitar 7 juta perorangan dimana sekitar 600,000 pemilik mengelola areal lebih dari 40 ha (Harrison et al. 2002). Zhang et al. (2009) melaporkan bahwa perkembangan tanaman kayu rakyat di Amerika Serikat pada akhir-akhir ini cenderung meningkat. Dengan luas total areal hutan sekitar 248 juta ha, sekitar 2/3 atau 157 juta ha kini dimiliki secara pribadi. Sekitar 2/3 dari areal hutan milik tersebut kini dikelola oleh lebih dari 10 juta individu keluarga.

Eropa, dengan luas total areal hutan sekitar 215 juta ha atau sekitar 30% dari luas total lahan (tidak termasuk bekas negara-negara yang tergabung dalam Uni Sovyet Socialist Republic/USSR), areal hutannya terkonsentrasi di negara-negara Eropa Utara (Nordic countries), daerah Balkan (Baltic countries) dan di beberapa bagian di Eropa Tengah. Swedia dan Finlandia, yang termasuk ke dalam Nordic countries, memiliki lebih dari 50 juta ha areal hutan (Hyttinen 2001). Di negara-negara Eropa Utara (Finlandia, Swedia dan Norwegia) telah lama dikenal istilah

Family Forestry”. Individu masyarakat mengelola hutan disamping aktivitas ekonomi lainnya seperti usaha tani dan kegiatan non usaha tani. Di negara-negara ini hutan yang dimiliki individu masyarakat mencakup sekitar 60%-70% dari luas hutan total. Di Finlandia sendiri terdapat lebih dari 600,000 pemilik hutan yang menguasai 62% dari total luas hutan (Harrison et al. 2002). Luas kepemilikan lahan hutan adalah antara 25 – 40 ha per keluarga (Harrison et al. 2002), namun


(36)

10

cukup banyak individu keluarga (36% di Swedia dan 14% di Finlandia) yang mengelola hutan dengan luas lebih dari 50 ha (Hyttinen 2001).

Inggris dan Belanda termasuk negara-negara yang hanya sedikit memiliki sumber daya hutan. Di Inggris, luas total areal hutan hanya sekitar 2.5 juta ha (Harrison et al. 2002), sementara di Belanda luas kepemilikan hutan hanya sekitar 0.2 ha per keluarga (Hyttinen 2001). Sekalipun luas hutannya tergolong kecil, istilah “farm woodlands”, “farm forest” dan “privately owned forests” sudah lama digunakan di Inggris. Di negara ini, sekitar 2/3 dari areal hutannya dimiliki oleh individu atau perusahaan (Harrison et al. 2002). Di Perancis dan Belgia, lebih dari 90% kepemilikan mempunya luas kurang dari 5 ha. Di negara-negara yang berbahasa Jerman (Jerman, Austria dan Swiss) luas kepemilikan hutan bervariasi, dimana sebagian besar (36%) kurang dari 5 ha, namun sekitar 29% pemilik mengelola lebih dari 1,000 ha (Hyttinen 2001).

Di Eropa bagian timur, sebagian besar areal hutan dimiliki publik, walaupun proses privatisasi kini sedang terjadi, khususnya di negara-negara bekas pemerintahan sosialis atau USSR. Pada sebagian besar negara, kepemilikan hutan dipegang oleh sejumlah besar individu dengan unit pengelolaan yang relatif kecil. Saat ini luas hutan milik di beberapa negara Eropa Timur masih sangat bervariasi, sebagai contoh di Rumania dan Republik Czechnya, areal hutan yang dimiliki secara pribadi masing-masing adalah 6% dan hampir 60%. Secara umum, kepemilikan lahan hutan secara individu berkisar antara 2-3 ha per keluarga. Dengan proses privatisasi yang sekarang sedang terjadi, diperkirakan sekitar 35-40% dari seluruh areal hutan akan dimiliki secara pribadi (Harrison et al. 2002).

Pada umumnya di negara-negara Eropa, para pemilik hutan telah terorganisasi dengan baik dalam bentuk berbagai asosiasi yang mengedepankan praktek-praktek pengelolaan hutan secara lestari. Organisasi-organisasi tersebut berperan sebagai sarana penghubung di antara pemilik hutan dan menjadi perwakilan mereka di dalam proses penentuan kebijakan, termasuk memberikan pelayanan dalam pemasaran hasil kayunya dan praktek-praktek silvikultur dalam pengelolaan hutan. Pada tingkat wilayah Eropa, salah satu asosiasi yang menjadi payung berbagai organisasi pada tingkat nasional tesebut dikenal sebagai The Confederation of European Forest Owners (CEPF) (Hyttinen 2001).


(37)

11

Di Jepang, hutan rakyat sudah mempunyai sejarah panjang sejak lebih dari tiga abad yang lalu. Dengan luas total areal hutan sebesar 2.51 juta ha atau sekitar 66.5% dari luas total wilayah daratan, seluas 14.6 juta ha merupakan hutan milik yang dikelola oleh individu keluarga, perusahaan atau kelompok masyarakat. Terdapat sekitar 2.5 juta individu keluarga pemilik hutan yang sebagian besar (60%) mengelola hutan dengan luasan kurang dari 1 ha. Selebihnya mengelola areal hutan dengan luasan antara 1 – 5 ha per keluarga. Perusahaan dan kelompok masyarakat mengelola areal hutan dengan luasan yang juga relatif kecil, yaitu masing-masing sekitar 34.6 dan 19.3 ha. Hutan tanaman rakyat di Jepang didominasi oleh dua jenis kayu, yaitu Sugi (Cryptomeria japonica) dan Hinoki (Chamaecyparis obtusa) (Ota 2001).

Jepang merupakan negara pengimpor kayu yang sangat besar dimana selama kurun waktu tahun 1990an jumlah kayu yang diimpor sekitar 3 sampai 4 kali produksi kayu domestik. Usaha tanaman kayu rakyat kurang dapat bersaing dengan harga kayu impor yang relatif lebih murah, sehingga banyak areal hutan tanaman yang diterlantarkan karena alasan ketidak-layakan ekonomi. Keberadaan hutan milik di Jepang dapat bertahan karena subsidi pemerintah, antara lain melalui bantuan sampai 68% atas biaya pengadaan tanaman hutan dan penjarangan komersil pertama. Bantuan juga diberikan setiap tahun dalam bentuk biaya pemeliharaan jalan dan sumbangan mesin-mesin bagi pembangunan pedesaan. Peluang di masa depan untuk mempertahankan keberadan tanaman kayu rakyat di Jepang adalah dengan kebijakan pemerintah yang akan mendukung fungsi hutan sebagai penghasil jasa lingkungan serta dengan program sertifikasi hutan rakyat untuk memperoleh harga kayu yang tinggi (premium price) di pasar internasional (Ota 2001).

Di Australia. hutan milik dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu hutan tanaman industri berskala besar, hutan tanaman skala kecil dan tanaman untuk konservasi. Sesuai dengan namanya, hutan tanaman industri bertujuan untuk produksi kayu dan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau melalui program kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah. Tanaman konservasi pada umumnya dilakukan di areal-areal yang memiliki sensitifitas lingkungan yang tinggi, seperti sepanjang aliran sungai.


(38)

12

Tanaman konservasi terutama bertujuan untuk mencegah erosi sepanjang aliran sungai dan mencegah peningkatan permukaan air tanah (water tables) yang menyebabkan salinitas tinggi. Upaya penanaman untuk konservasi ini khususnya didukung oleh program pemerintah yang disebut “landcare” (Herbohn 2001).

Hutan tanaman skala kecil lebih umum disebut sebagai “farm forestry” yang mencakup kebun kayu (woodlots), tanaman pelindung angin (windbreaks), tanaman penaung (shelterbelts), agroforestry atau tanaman sekat terasering (slope break plantings). Kadang-kadang isitlah farm forestry juga diterapkan pada tanaman kayu hasil program kemitraan antara individu masyarakat dengan perusahaan hutan tanaman industri. Di luar program kemitraan tersebut, diperkirakan luas areal hutan tanaman skala kecil di Australia mencapai sekitar 76, 250 ha yang terkonsentrasi di negara-negara bagian Victoria, New South Wales, Western Australia dan Tasmania.

Di India, terdapat berbagai istilah untuk menggambarkan tanaman kayu rakyat. Hobley (1996) menggolongkannya ke dalam lima kelompok, yaitu Social Forestry, Farm Forestry, Community Forestry, Joint Forest Management (JFM) dan Rural Development Forestry (RDF). Social Forestry dalam konteks ini didefinisikan sebagai hutan tanaman yang pembangunannya disponsori oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) pada areal-areal lahan tidur seperti lahan-lahan untuk penggembalaan ternak masyarakat, lahan-lahan-lahan-lahan milik negara, pinggiran jalan dan sungai. Social Forestry pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970 an dan pembangunannya dilakukan dengan berbagai tingkatan keterlibatan masyarakat. Farm Forestry adalah hutan tanaman yang dibangun oleh masyarakat pada lahan-lahan milik dengan subsidi bibit dari pemerintah, baik secara cuma-cuma atau dengan harga yang rendah. Community Forestry mempunyai pengertian yang luas, mencakup sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat atau hutan tanaman yang dibangun melalui program pemerintah dengan partisipasi masyarakat. Joint Forest Management sering digolongkan juga ke dalam kelompok ini. Joint Forest Management adalah sistem pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan pemerintah dengan model pembagian hasil, tanggung jawab, pengawasan dan pengambilan keputusan dan diikat dalam bentuk kontrak. Rural Development Forestry adalah hutan yang dibangun dengan dukungan


(39)

13

pemerintah, namun model pengelolaan tanaman dan pengembilan keputusan dalam pengelolaan terutama dilakukan oleh pengguna tanaman, baik secara individu maupun kelompok. Menurut Harrison et al. (2002) unit pengelolaan tanaman kayu rakyat di India relatif kecil, yaitu sekitar 0.1 ha. Kadang-kadang tanaman kayu hanya ditanam sepanjang batas pagar atau pinggiran sungai atau saluran air.

Di Filipina, tanaman kayu rakyat diawali dengan program pemerintah dalam rehabilitasi hutan oleh Biro Pengelolaan Hutan Filipina (Forest Management Bureau of the Department of Environment and Natural Resources). Pada mulanya program ini terkonsentrasi kepada tanaman hutan industri, namun belakangan lebih mengarah kepada pengembangan hutan kemasyarakatan. Istilah yang sering

digunakan adalah “Community Based Forest Managament (CBFM)” dan lebih

umum lagi adalah “Community Based Resource Management (CBRM)”. Program ini biasanya diterapkan dalam bentuk penanaman kayu pada lahan-lahan komunal atau lahan-lahan milik masyarakat untuk tujuan produksi, konservasi lahan atau kombinasinya. Penanaman pada lahan-lahan milik masyarakat (farm forestry) umumnya dalam bentuk agroforestry (Harrison et al. 2002).

Keragaman dalam bentuk dan model pengelolaan tanaman kayu rakyat akan bertambah apabila memperhatikan di berbagai belahan dunia lainnya seperti di Cina dan Afrika. Namun demikian, dari paparan seperti dijelaskan di atas terdapat gambaran umum tentang bentuk-bentuk dan model pengelolaan tanaman kayu rakyat pada skala global. Tabel 1 di bawah ini merangkum berbagai tipologi pengelolaan tanaman kayu rakyat tersebut.

Penelusuran literatur tentang berbagai model tanaman kayu rakyat di berbagai belahan dunia seperti dipaparkan di atas, serta rangkumannya yang disajikan pada Tabel 1 memberikan gambaran bahwa model tanaman kayu rakyat sangat bervariasi di beberapa tempat. Nampaknya akan sulit untuk menarik model yang bersifat umum dan kecocokan model untuk pengembangannya harus lebih banyak disesuaikan dengan konteks lokal. Di negara-negara maju, hutan atau tanaman kayu rakyat cenderung telah dikelola oleh individu masyarakat yang mandiri. Pengelolaan tanaman kayu rakyat sudah lebih berorientasi bisnis. Organisasi pemilik hutan sudah berjalan lebih baik dan memiliki pengaruh yang


(40)

14

cukup kuat terhadap kebijakan pemerintahnya yang berkaitan dengan hutan. Namun demikian, dukungan pemerintah dalam bentuk subsidi kadang-kadang masih diperlukan, seperti yang diperlihatkan oleh kasus di Jepang. Kasus di Australia menunjukkan bahwa insentif yang cukup perlu tersedia di dalam usaha tanaman kayu apabila ingin usaha ini menarik bagi masyarakat luas.

Tabel 1 Tipologi tanaman kayu rakyat pada berbagai tempat di dunia2

No. Negara/ Wilayah

Terminologi tanaman kayu

rakyat

Kepemilikan Ukuran unit pengelolaan

Tujuan pengelolaan

1 USA NIPF;

Farm Forestry; Family

Forestry; Private

Forestry; Private Forest

Landholders (PFL). Perorangan Perusahaan Mulai beberapa hektar sampai mencapai 1,000 ha. Pada umumnya kurang dari 40 ha.

Terutama untuk memproduksi kayu.

2 Eropa Non-Industrial Forestry; Privately

Owned Forest; Family Forest; Small-scale

Farm Forest; Farm

Woodland; Farm Forest.

Perorangan Marga Bervariasi di antara negara-negara Eropa: Nordic countries: 25 - 40 ha;

Western countries: <5 ha per pemilik, seperti di Perancis dan Belgia (Hyttinen 2001) sampai lebih dari 1,000 ha, seperti di Jerman.

Di negara-negara bagian tengah dan timur: sekitar 2-3 ha.

Produksi kayu

Jasa lingkungan (seperti untuk wisata alam).

3 Jepang Family Owned Forest

Perorangan

Keluarga

Pada umumnya kurang dari 5 ha.

Rataan kepemilikan lahan adalah 2.7 ha.

Produksi kayu

Jasa lingkungan

2


(41)

15

Tabel 1 (lanjutan)

No. Negara/ Wilayah

Terminologi tanaman kayu

rakyat

Kepemilikan Ukuran unit pengelolaan

Tujuan pengelolaan

4 Austral-asia

Farm Forestry; Agroforestry.

Perorangan Kemitraan (antara rumah tangga dan perusahaan). Sampai ratusan hektar

Menjadi sumber pendapatan rumah tangga

Jasa lingkungan (seperti untuk penghalang angin/

windbreaks, naungan/

shelterbelts dan sekat teras/slope breaks) (Herbohn 2001)

5 India (Hobley 1996)

Social Forestry Farm Forestry Community

Forestry Joint Forest

Management Rural Development Forestry Perorangan Komunal (kelompok masyarakat) Negara Pada umumnya kurang dari 1 ha.

Produksi kayu

Rehabilitasi hutan

Pemenuhan kebutuhan subsisten

masyarakat (seperti pakan ternak dan kayu bakar). 6 Filipina Community

Based Forest Management (CBFM); Community Based Resource Management (CBRM) Perorangan Komunal (kelompok masyarakat). Pada umumnya pada luasan yang relatif kecil.

Produksi kayu

Rehabilitasi hutan

Pemenuhan kebutuhan subsisten

masyarakat (seperti pakan ternak dan kayu bakar).

Di negara-negara berkembang seperti di negara-negara Asia, nampaknya dukungan pemerintah masih sangat kental di dalam pengembangan tanaman kayu rakyat. Dukungan pemerintah tersebut meliputi hampir keseluruhan aspek pengelolaan di dalam usaha tanaman kayu rakyat. Produk hutan tanaman rakyat tidak harus difokuskan kepada kayu karena nilai ekonomisnya mungkin tidak akan optimal. Diversifikasi produk nampaknya lebih cocok untuk pengembangan tanaman kayu rakyat di negara-negara berkembang, sehingga produk hutan menjadi lebih beragam dengan berbagai produk pertanian lainnya, baik yang bersifat komersial atau untuk pemenuhan kebutuhan subsisten masayarakat. Diversifikasi produk dalam bentuk jasa lingkungan nampaknya juga menjadi kecenderungan dewasa ini di dalam pengelolaan tanaman kayu rakyat di negara-negara maju.


(42)

16

Pelajaran lain yang sangat penting dari paparan di atas adalah bahwa tanaman kayu rakyat memiliki kontribusi yang tidak dapat dianggap kecil dalam hal penyediaan bahan baku kayu. Disamping itu usaha tanaman kayu rakyat dapat dikaitkan dengan program rehabilitasi hutan yang saat ini banyak dilakukan di negara-negara berkembang. Dukungan yang bersifat komprehensif serta disesuaikan dengan kondisi lokal nampaknya perlu dilakukan untuk pengembangan tanaman kayu rakyat.

2.2. Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat di Indonesia

Perkembangan tanaman kayu rakyat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks pembangunan kehutanan secara umum. Berdasarkan catatan sejarah, kebijakan dalam penataan sumber daya hutan di Indonesia mulai dilakukan dengan diberlakukannya Undang Undang No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan (Basic Forestry Law). Berdasarkan undang-undang ini status kepemilikan hutan telah dikelompokkan menjadi hutan negara dan hutan milik. Hutan negara terdiri dari kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hutan milik ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik yang belakangan juga dikenal dengan istilah hutan rakyat.

Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, pengelolaan hutan di Indonesia lebih banyak dipusatkan kepada eksploitasi sumber daya hutan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pada masa ini sumber daya hutan dipandang sebagai sumber penghasil devisa negara dan dijadikan sebagai salah satu motor penggerak bagi pembangunan ekonomi nasional. Masyarakat tidak banyak dilibatkan di dalam pengelolaan hutan dengan anggapan bahwa manfaat sumber daya hutan bagi kesejahteraan masyarakat akan terpenuhi dengan sendirinya apabila pembangunan ekonomi di sektor kehutanan meningkat. Konsep trickle down effect menjadi paradigma dalam pembangunan di sektor kehutanan pada masa itu.

Pada tahun 1978, Jakarta menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Kehutanan Sedunia (The World Forestry Congress) yang ke VIII dengan thema

forest for people”. Di dalam kongres tersebut perhatian dunia internasional terhadap hak-hak masyarakat atas sumber daya hutan banyak dibicarakan. Namun


(43)

17

demikian, dukungan kebijakan atas hak-hak masyarakat tersebut baru diluncurkan pada tahun 1991 melalui program HPH Bina Desa, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK. Menhut) No. 61/Kpts-II/1991. Program ini selanjutnya disempurnakan menjadi program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1995 melalui penerbitan SK. Menhut No. 69/Kpts-II/1995. Program PMDH belum memberikan hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat, melainkan hanya memberikan serangkaian kewajiban kepada para pemegang HPH untuk membantu masyarakat di pedesaan, khususnya yang tinggal di sekitar areal hutan yang mereka kelola, agar meningkat kesejahteraannya dan menjadi lebih mandiri dalam perekonomiannya.

Di dalam konsepsinya, pelaksanaannya program PMDH harus diawali melalui studi diagnostik yang dilakukan secara partisipatif bersama masyarakat desa hutan. Studi diagnostik tersebut harus dituangkan di dalam Rencana Karya Pengusahaan Hutan (RKPH), Rencana Karya Lima tahun (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT) di dalam pengelolaan hutan. Aspek yang dilakukan di dalam program PMDH meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dalam hal usaha tani (melalui program usaha tani menetap), peningkatan ekonomi, pengembangan sarana dan prasarana (sarpras) umum, pembangunan sosial budaya dan pelestarian sumber daya hutan dan lingkungan. Namun pada prakteknya program PMDH lebih dipandang sebagai sekedar kewajiban oleh para pemegang HPH untuk memenuhi persyaratan perolehan pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT). Program yang dikembangkan umumnya tidak sungguh-sungguh meningkatkan kemandirian masyarakat, bahkan sebaliknya mendidik masyarakat menjadi sangat tergantung kepada bantuan HPH dalam pembangunan infrastruktur desa. Para pemegang HPH lebih menggunakan prinsip “sinterklas” atau memberikan apa saja yang diminta oleh masyarakat setempat karena dikejar oleh batas waktu pelaporan pelaksanaan fisik yang wajib dibuat setiap bulan dan triwulan dari pelaksanaan kegiatan PMDHnya. Program umumnya dilaksanakan tanpa persiapan yang matang dan tidak melibatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama, sehingga pelaksanaan kegiatannya banyak mengalami hambatan di lapangan (Subarudi 2000).


(44)

18

Hak pengelolaan atas sumber daya hutan kepada masyarakat baru diberikan melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan pemerintah pada tahun 1995, berdasarkan SK. Menhut No. 622/Kpts-II/1995. Di dalam program HKm, masyarakat dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan dan memperoleh hak pemanfaatan atas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Izin pengelolaan HKm ditetapkan berdasarkan kontrak perjanjian antara pemohon (perorangan, kelompok atau koperasi) dengan Dinas Kehutanan Provinsi setempat. Izin pengelolaan HKm oleh masyarakat diperluas melalui kebijakan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) yang ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) No. 677/Kpts-II/1998. Dengan hak tersebut, masyarakat diberi kewenangan untuk memanfaatkan hasil hutan, tidak hanya HHBK, namun juga termasuk kayu (Hindra 2005). Kebijakan tersebut telah diimplementasikan melalui pemberian izin pengusahaan HKm kepada sekitar 92,000 ha di wilayah Nusa Tenggara. Dengan diberlakukannya Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ketentuan tentang HKm tersebut di atas menjadi tidak berlaku. Tahun 2001 kembali dikeluarkan kebijakan baru tentang HKm melalui SK. Menhut No. 31/Kpts-II/2001. Surat keputusan tersebut memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah Tingat II (Bupati atau Walikota) untuk memberikan izin hak pengusahaan HKm. Namun demikian ketentuan tersebut kembali menjadi tidak jelas dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2002 tentang penataan dan perencanaan pengelolan hutan, yang mengembalikan kewenangan perizinan kepada Menteri Kehutanan (Colchester 2002).

Setelah era reformasi, kondisi sumber daya hutan di Indonesia telah mengalami kerusakan yang cukup parah dengan laju kerusakan hutan yang tinggi sehingga mencapai besaran 1.9 juta ha per tahun (FAO 2007). Perhatian pemerintah mulai terpusat kepada upaya-upaya rehabilitasi hutan. Pada tahun 2003 pemerintah memperkenalkan kebijakan perhutanan sosial (Social Forestry) yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, khususnya yang tinggal di areal sekitar hutan, di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Di dalam pidato resminya pada saat penyelenggaraan The International Conference on


(45)

19

Livelihoods, Forest and Biodivesity di Bonn pada tahun 2003, perwakilan resmi Indonesia (Wardoyo 2003) menyatakan bahwa perhutanan sosial merupakan suatu pendekatan yang menyeluruh yang meliputi ideologi, strategi dan implementasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan tersebut memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk mengelola sumber daya hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan sekaligus melestarikan hutan. Azas penyelenggaraan social forestry meliputi: pemberdayaan masyarakat, pemberian hak pengelolaan areal hutan tertentu kepada masyarakat, tujuan pengelolaan hutan yang disesuaikan dengan fungsi hutan, pembagian tanggung jawab yang jelas (cost sharing) antara masyarakat dengan pemerintah dan pelaksanaan kegiatannya menggunakan pendekatan pembangunan Daerah Aliran Sungai DAS (Pasaribu 2003). Untuk memperkuat kebijakan tersebut, pada tahun 2004 Departemen Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 1/Menhut-II/2004 tentang pemberdayaan masyarakat di dalam program social forestry (Hindra 2005).

Permasalahan kerusakan hutan dan lingkungan yang semakin serius telah mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan aksi massal dalam rehabilitasi hutan. Aksi tersebut dituangkan dalam bentuk program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL dan kemudian menjadi GERHAN) sejak tahun 2003. Program GERHAN didasari oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko KESRA), Menko Perekonomian dan Menko Politik dan Keamanan (POLKAM) No. 09/KEP/MENKO/ KESRA/III/2003; KEP.16/M.EKON/03/2003; KEP.08/MENKO/ POLKAM/III/ 2003. Surat Keputusan Bersama tersebut membetuk Tim Koordinasi Perbaikan Lingkungan pada tingkat nasional. Kegiatan GERHAN mempunyai target untuk merehabilitasi areal hutan seluas 3 juta ha sampai tahun 2009, yang dipusatkan di areal DAS yang tergolong kritis. Program GERHAN dilaksanakan dengan memadukan program-program pemerintah serta dengan melibatkan masyarakat secara intensif (Fathoni 2003). Terlepas dari tingkat keberhasilannya yang kontroversial, program GERHAN telah melakukan penanaman hutan secara masif, termasuk pada areal-areal hutan milik atau hutan rakyat.


(46)

20

Perkembangan terkini dalam upaya pelibatan masyarakat di dalam rehabilitasi hutan adalah dengan peluncuran program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sejak tahun 2006. Program ini juga dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan (pro poor), menciptakan lapangan kerja baru (pro job) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro growth) (Emila dan Suwito 2007). Program HTR mempunyai target yang cukup ambisius, yaitu terbangunnya hutan tanaman yang dikelola masyarakat seluas 5.4 juta ha pada tahun 2016. Hutan tanaman tersebut akan dibangun di kawasan hutan produksi yang sudah tidak produktif dengan pemberian hak kelola atas kawasan hutan kepada individu masyarakat atau kelompok (melalui koperasi) selama 60 tahun dengan kemungkinan perpanjangan izin selama 35 tahun. Setiap pemegang izin HTR berpeluang untuk mengelola kawasan hutan produksi seluas 15 ha untuk usaha tanaman kayu dengan pilihan jenis-jenis kayu yang telah ditentukan. Pemerintah juga menyediakan dukungan finansial untuk usaha tanaman kayu tersebut dengan memberikan kredit berbunga ringan yang akan disalurkan oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU) Departemen Kehutanan (Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman 2008). Berbagai produk kebijakan telah diterbitkan untuk mendukung program HTR tersebut, diantaranya adalah:

 Permenhut No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,

 Permenhut No. P. 41/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Permenhut No. 9/Menhut-II/2009 tentang Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,

 Permenhut No. P. 5/Menhut-II/2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 23/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam Hutan Tanaman,

 Permenhut No. P. 9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani Hutan untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat,


(47)

21

 Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.

 Permenhut No. P. 69/Menhut-II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan,

 Permenhut No. P. 14/Menhut-II/2009 tentang Perubahan Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,

 Permenhut No. P. 64/Menhut-II/2009 tentang Standard Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat,

Sementara itu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan hutan rakyat (hutan milik) relatif tidak banyak. Pada awal tahun 1980an, pemerintah telah mulai menggalakkan kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan lahan dengan tanaman kayu melalui Instruksi Presiden (INPRES) No. 6 Tahun 1982. Setelah Departemen Kehutanan berdiri tahun 1983, kegiatan reboisasi dan penghijauan tersebut dilaksanakan melalui Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) di seluruh Indonesia. Di antara jenis kayu yang banyak digunakan adalah jenis sengon (Paraserianthes falcataria) sehingga program penghijauan tersebut sering

juga disebut dengan istilah ”Sengonisasi”. Kebijakan lain yang berkaitan dengan

pembangunan hutan rakyat adalah ketentuan tentang pedoman pemanfatan hutan rakyat (melalui Permenhut No. P 26/Menhut-II/2005) dan tata tertib perdagangan kayu yang dihasilkan dari areal hutan rakyat yang diatur dengan dokumen Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU), melalui Permenhut No. P. 51/Menhut-II/2006.

Data terkini mengenai potensi hutan rakyat belum terdokumentasi dengan baik dan masih memerlukan verifikasi. Data Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2008 (Departemen Kehutanan 2009) memperkirakan luas total areal hutan rakyat di Indonesia saat ini mencapai sekitar 1.8 juta ha (lihat Gambar 1). Sebagian besar areal hutan rakyat tersebut ditanam atas usaha swadaya masyarakat dan menyusul kemudian tanaman hutan rakyat yang dibangun melalui program GERHAN.

Mengenai produksi kayu dari areal hutan rakyat, data yang cukup akurat tersedia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003. Berdasarkan hasil sensus


(48)

22

tersebut tercatat bahwa potensi produksi kayu yang berasal dari areal hutan rakyat di Indonesia (Jawa dan luar Jawa) adalah sekitar 68.5 juta pohon atau setara dengan 14 juta3 m3, sementara jumlah cadangan tegakan mencapai lebih dari 226 juta pohon atau setara dengan 45 juta m3 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004). Angka-angka tersebut hanya memperhitungkan tujuh jenis tanaman hutan rakyat yang paling dominan ditanam oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, yaitu untuk jenis-jenis akasia (Acacia mangium), jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia macrophylla), pinus (Pinus merkusii), sengon (Paraserianthes falcataria), sonokeling (Dalbergia latifolia) dan sungkai (Peronema canescens). Tabel 2 menyajikan ringkasan dari hasil sensus produksi kayu hutan rakyat yang telah dilakukan pada tahun 2003.

Gambar 1 Kegiatan penanaman hutan rakyat di Indonesia.

Berdasarkan data tersebut maka potensi hutan rakyat sebagai pemasok bahan baku kayu sebenarnya sangat besar. Apabila dibandingkan dengan data produksi kayu bulat nasional (Departemen Kehutanan 2009), seperti terlihat pada Gambar 2, maka pada tahun 2004 potensi produksi kayu tanaman rakyat telah menempati urutan pertama. Informasi-informasi tersebut di atas memberikan beberapa bukti bahwa hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar di dalam pemenuhan pasokan bahan baku kayu.

3


(49)

23

Tabel 2 Cadangan tegakan dan potensi produksi tujuh jenis kayu hutan rakyat di Indonesia berdasarkan hasil sensus pada tahun 2003 (Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan 2004)

No.

Jenis kayu Cadangan tegakan (Jumlah pohon)

Potensi produksi (Jumlah pohon)

Nama

lokal Nama ilmiah Jawa Luar Jawa Jawa Luar Jawa 1 Akasia Acacia spp 22,611,068 9,409,011 7,730,365 4,339,330 2 Jati Tectona grandis 50,119,621 29,592,858 11,506,947 6,939,077 3 Mahoni Swietenia

macrophylla

39,990,730 5,268,811 8,323,125 1,174,067 4 Pinus Pinus merkusii 3,521,107 2,302,757 1,369,783 1,345,793 5 Sengon Paraserianthes

falcataria

50,075,525 9,758,776 19,579,689 5,033,539 6 Sonokeling Dalbergia

latifolia

2,008,272 344,379 604,525 138,018 7 Sungkai Peronema

canescens

108,550 902,223 63,088 318,192 Total 168,434,873 57,578,815 49,177,522 19,288,016

Catatan: Data sensus tidak termasuk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Gambar 2 Produksi kayu bulat Indonesia.

Data tahun 2006 melaporkan bahwa luas areal hutan rakyat di Indonesia mencapai sekitar 1.5 juta ha, dimana sekitar setengah dari jumlah tersebut tersebar di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di beberapa wilayah seperti Sumatra (14%), Sulawesi (13%), Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (12%), dan sejumlah kecil di wilayah-wilayah Kalimantan, Maluku dan Papua (Hindra 2006). Sebagian besar areal hutan rakyat tersebut dibangun oleh


(50)

24

masyarakat secara swadaya (61.7%) dan program pemerintah pusat melalui GERHAN (26.1%). Dalam jumlah yang relatif lebih kecil, hutan rakyat tersebut dibangun melalui berbagai dukungan pemerintah seperti bantuan subsidi, Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) dan Dana Alokasi Khusus-Dana Reboissai atau DAK-DR. Data terkini melaporkan bahwa luas total hutan rakyat secara nasional telah mencapai sekitar 3.5 juta ha (Pusat Humas Kemenhut 2011)

Berdasarkan kronologis singkat tersebut, nampak bahwa di Indonesia pun tanaman kayu rakyat memiliki berbagai tipe dengan karakteristik dan tujuan pengelolaan yang berbeda-beda. Campur tangan pemerintah juga cukup intensif, baik dalam konteks kebijakan, aturan maupun program pembangunan. Namun demikian data statistik menunjukkan bahwa luasan tanaman kayu rakyat (yang sebagian besar dalam bentuk hutan rakyat) masih relatif rendah, dibandingkan dengan potensi lahan yang tersedia. Disamping itu, sebagian besar pembangunan tanaman kayu tersebut adalah karena upaya swadaya masyarakat. Intervensi pemerintah yang lebih baik sangat diperlukan dalam rangka percepatan pembangunan tanaman kayu rakyat di masa depan.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Tanaman Kayu Rakyat

Upaya pemahaman terhadap faktor-faktor kunci yang menjadi pendorong perkembangan tanaman kayu rakyat telah menjadi perhatian banyak pihak. Rudel (2009) menganalisa perkembangan hutan tanaman secara global berdasarkan data Food and Agricultural Organization (FAO). Rudel (2009) menegaskan bahwa data empiris memperkuat anggapan terhadap tiga faktor kunci yang menjadi pendorong bagi perkembangan hutan tanaman di dunia, yaitu urbanisasi, intensitas kebijakan pemerintah dan faktor-faktor ekologi manusia. Urbanisasi meningkatkan tingkat konsumsi atas hasil hutan, termasuk kayu, dan meningkatkan permintaan terhadap bahan baku kayu. Pada saat yang bersamaan, urbanisasi mengurangi ketersediaan tenaga kerja di pedesaan. Tanaman kayu dianggap menjadi pilihan yang tepat pada situasi keterbatasan tenaga kerja tersebut dibandingkan dengan pilihan usaha tanaman lainnya, karena relatif tidak terlalu menuntut curahan tenaga kerja yang tingi. Fenomena ini terjadi pada sebagian besar wilayah di daratan Eropa.


(1)

Lampiran 7 (lanjutan)

Kode respon

den

Tipe lahan

Luas lahan (m2)

Pendapatan (Rp)

Biaya

(Rp) Margin (Rp)

Pendapatan per ha (Rp)

Biaya per ha (Rp)

Margin per ha (Rp) 501 Tegalan 10000 1,850,000 2,634,000 -784,000 1,850,000 2,634,000 -784,000 505 Tegalan 5000 9,676,000 1,976,000 7,700,000 19,352,000 3,952,000 15,400,000 516 Tegalan 5250 3,534,000 4,323,700 -789,700 6,731,429 8,235,619 -1,504,190 603 Tegalan 5500 6,900,000 1,692,750 5,207,250 12,545,455 3,077,727 9,467,727 609 Tegalan 4100 3,350,000 1,915,000 1,435,000 8,170,732 4,670,732 3,500,000 621 Tegalan 1000 3,402,500 2,423,425 979,075 34,025,000 24,234,250 9,790,750 627 Tegalan 2770 2,450,000 3,306,000 -856,000 8,844,765 11,935,018 -3,090,253 635 Tegalan 500 1,343,500 2,167,000 -823,500 26,870,000 43,340,000 -16,470,000 703 Tegalan 1000 1,960,000 627,400 1,332,600 19,600,000 6,274,000 13,326,000 706 Tegalan 2500 1,298,000 2,264,500 -966,500 5,192,000 9,058,000 -3,866,000 708 Tegalan 15000 5,482,000 1,415,200 4,066,800 3,654,667 943,467 2,711,200 1,002 Tegalan 1000 1,881,000 3,955,000 -2,074,000 18,810,000 39,550,000 -20,740,000 1,004 Tegalan 2500 4,069,500 2,690,825 1,378,675 16,278,000 10,763,300 5,514,700 1,005 Tegalan 15000 17,275,000 5,212,750 12,062,250 11,516,667 3,475,167 8,041,500 1,006 Tegalan 2500 2,070,000 1,450,500 619,500 8,280,000 5,802,000 2,478,000


(2)

Lampiran 8 Ilustrasi transaksi pembelian dan penjualan kayu jati rakyat di

Kabupaten Gunungkidul

Jumlah pohon yang dibeli:

8 batang

Harga beli total (Rp):

975,000

Hasil penjualan kayu:

Kelas diameter

Volume

(m3)

Harga

lokal per

m3 (Rp)

Harga

total (Rp)

UGD

0 2,600,000

348,400

UD

1 1,600,000

1,140,800

UP

0 1,000,000

333,000

DL

0

500,000

177,500

Piton

0

350,000

21,000

Total

2

2,020,700

Biaya operasional pedagang:

Jenis biaya

Jumlah

pemakaian

Satuan

Biaya

(Rp)

Surat izin tebang

1

lembar

20,000

SKSKB

1

lembar

230,000

Pekerja chainsaw

1

orang

40,000

Sewa chainsaw

1

unit

180,000

Pekerja angkut

7

orang

210,000

Langsir kayu

1

paket

100,000

Total

780,000

Marjin keuntungan:

Harga beli kayu (Rp)

975,000

Biaya operasional (Rp)

780,000

Harga jual kayu (Rp)

2,020,700

Keuntungan (Rp)

265,700

Keuntungan dari modal (%)

15

Biaya transasksi dokumen

(Rp)

250,000

Biaya transaksi dokumen dari modal (%)

14


(3)

Lampiran 9 Analisa biaya manfaat usaha tanaman kayu jabon di Kabupaten

Tanah Laut

Beberapa asumsi:

Faktor diskonto/Discounted rate (%) 11

Harga pupuk rata-rata per kg (Rp) 2,000 Harga herbisida rata-rata per liter (Rp) 100,000

Upah buruh harian/HOK (Rp) 50,000

Harga bibit jabon per batang (Rp) 500

Harga kayu jabon (stumpage value) per m3

(Rp) 125,000

Densiti pohon per hektar 500

Tingkat penyulaman bibit (%) 5

Keterangan: Satuan biaya dalam Rupiah

No. Deskripsi Biaya/Penerimaan Tahun

1 2 3 10

A PEMBIAYAAN

1 Penyiapan lahan: 700,000 0 0 0

Biaya upah tenaga kerja: 200,000 0 0 0

Curahan tenaga kerja, meliputi penyemprotan

dan pembersihan lahan (HOK) 4

Biaya bahan 500,000 0 0 0

Pemakaian pupuk (kg) 0

Biaya bahan pupuk 0

Pemaikaian herbisida, round up (liter) 5

Biaya herbisida 500,000

Biaya Peralatan 0 0 0 0

2 Penanaman: 862,500 0 0 0

Biaya upah tenaga kerja: 500,000 0 0 0

Curahan tenaga kerja meliputi penyiapan lubang tanam dan penanaman @ Rp

1000/batang, dikonversi menjadi 10 HOK @

Rp 50,000 10 0 0 0

Pemakaian pupuk (kg) 50 0 0 0

Biaya bahan pupuk 100,000 0 0 0

Pemakaian bibit tanaman (batang) 525 0 0 0

Biaya bibit 262,500 0 0 0

3 Pemeliharaan: 1,150,000 1,150,000 1,150,000 0

Biaya upah tenaga kerja: 400,000 400,000 400,000 0

Curahan tenaga kerja meliputi penyemprotan, pembersihan lahan dan pemupukan,

dilakukan 2 X per tahun sampai tahun ke 3, setelah itu hanya pembersihan lahan dan pemupukan setelah thinning (umur 16 tahun)

(HOK) 8 8 8 0

Biaya bahan 750,000 750,000 750,000 0


(4)

Lampiran 9 (lanjutan)

No. Deskripsi Biaya/Penerimaan Tahun

1 2 3 10

Pemakaian herbisida (liter) 5 5 5 0

Biaya herbisida 500,000 500,000 500,000 0

4 Pemanenan: 0 0 0 0

Biaya upah tenaga kerja: 0 0 0 0

Curahan tenaga kerja (HOK) 0 0 0 0

Biaya Peralatan 0 0 0 0

TOTAL BIAYA PRODUKSI 2,712,500 1,150,000 1,150,000 0

B PENDAPATAN

Hasil penjualan kayu (berdasarkan harga

stumpage value) 0 0 0 12,500,000

Produksi kayu 0 0 0 100

TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 12,500,000

Nilai manfaat tahun berjalan 0 0 0 12,500,000

Nilai biaya tahun berjalan 2,712,500 1,150,000 1,150,000 0

Selisih manfaat-biaya tahun berjalan -2,712,500 -1,150,000 -1,150,000 12,500,000

Nilai manfaat tahun berjalan terdiskonto 0 0 0 4,402,306

Nilai biaya tahun berjalan terdiskonto 2,443,694 933,366 840,870 0

Selisih manfaat-biaya tahun berjalan

terdiskonto -2,443,694 -933,366 -840,870 4,402,306

Nilai kini bersih (NPV) -2,443,694 -3,377,059 -4,217,930 184,376

Nilai manfaat terdiskonto kumulatif 0 0 0 4,402,306

Nilai biaya terdiskonto kumulatif 2,443,694 3,377,059 4,217,930 4,217,930


(5)

Lampiran 10 Analisa biaya manfaat usaha tanaman karet di Desa Asam Jaya,

Kabupaten Tanah Laut

Beberapa asumsi:

Faktor diskonto/Discounted rate (%) 11 Harga pupuk rata-rata per kg (Rp) 2,000 Harga herbisida rata-rata per liter (Rp) 100,000

Upah buruh harian/HOK (Rp) 50,000

Harga bibit karet per batang (Rp) 3,500

Harga getah karet per kg (Rp) 9,000

Harga kayu karet per m3 (Rp) 125,000

Densiti pohon per hektar 625

Tingkat penyulaman bibit (%) 5

Keterangan: Satuan biaya dalam Rupiah

No. Deskripsi Biaya/Penerimaan Tahun

1 2 3 10

A PEMBIAYAAN

1 Penyiapan lahan: 1,450,000 0 0 500,000

Biaya upah tenaga kerja: 350,000 0 0 0

Curahan tenaga kerja (HOK) 7

Biaya bahan 600,000 0 0 0

Pemakaian pupuk (kg) 0

Biaya bahan pupuk 0

Pemaikaian herbisida (liter) 6

Biaya herbisida 600,000

Biaya Peralatan 500,000 0 0 500,000

2 Penanaman: 2,846,875 0 0 0

Biaya upah tenaga kerja: 450,000 0 0 0

Curahan tenaga kerja (HOK) 9 0 0 0

Biaya bahan 2,396,875 0 0 0

Pemakaian pupuk (kg) 50 0 0 0

Biaya bahan pupuk 100,000 0 0 0

Pemakaian bibit tanaman (batang) 656 0 0 0

Biaya bibit 2,296,875 0 0 0

3 Pemeliharaan: 2,500,000 2,500,000 2,500,000 2,500,000

Biaya upah tenaga kerja: 1,400,000 1,400,000 1,400,000 1,400,000

Curahan tenaga kerja (HOK) 28 28 28 28

Biaya bahan 500,000 500,000 500,000 500,000

Pemakaian pupuk (kg) 100 100 100 100

Biaya bahan pupuk 200,000 200,000 200,000 200,000

Pemaikaian herbisida (liter) 4 4 4 4

Biaya herbisida 400,000 400,000 400,000 400,000

4 Pemanenan: 0 0 0 6,000,000

Biaya upah tenaga kerja: 0 0 0 6,000,000

Curahan tenaga kerja (HOK) 0 0 0 120


(6)

Lampiran 10 (lanjutan)

No. Deskripsi Biaya/Penerimaan Tahun

1 2 3 10

B PENDAPATAN

1 Getah 0 0 0 43,200,000

Produksi getah (kg) 0 0 0 4,800

2 Kayu 0 0 0 0

Produksi kayu (m3) 0 0 0 0

TOTAL PENDAPATAN 0 0 0 43,200,000

Nilai manfaat tahun berjalan 0 0 0 43,200,000

Nilai biaya tahun berjalan 6,796,875 2,500,000 2,500,000 9,000,000

Selisih manfaat-biaya tahun berjalan

-6,796,875

-2,500,000

-2,500,000 34,200,000

Nilai manfaat tahun berjalan terdiskonto 0 0 0 15,214,369

Nilai biaya tahun berjalan terdiskonto 6,123,311 2,029,056 1,827,978 3,169,660

Selisih manfaat-biaya tahun berjalan terdiskonto

-6,123,311

-2,029,056

-1,827,978 12,044,709

Nilai kini bersih (NPV)

-6,123,311

-8,152,367

-9,980,345 73,895,199

Nilai manfaat terdiskonto kumulatif 0 0 0 114,684,915

Nilai biaya terdiskonto kumulatif 6,123,311 8,152,367 9,980,345 40,789,716