Tinjauan Umum
33
O
Gambar 2.12. Kerangka benzofuran isolasi dan dikarakterisasi diantaranya adalah C-
3’- hidroksirokaglamida
1, C-1-
O
-asetil- 3’
hidroksirokaglamida 2, C- 3’-metoksirokaglamida 3,
C-
3’-metoksirokaglaol 4, turunan C-3’-hidroksi dari demetilrokaglamida 5, turunan C-
3’-hidroksi dari metil
rokaglat 6, C- 3’-hidroksidimetilrokaglamida 7, C-1-
oksim 8 Nugroho
et al.
, 1999, rokaglaol 9, metil rokaglat 10, demetilrokaglamida Ishibashi
et al
.,1993 11, C-1-
O
-asetil-3 hidroksidemetil rokaglamida 12,
dan C-1-
O
-asetil-3-hidroksimetilrokaglat 13 Janpraset
et al.,
1993. Senyawa kelompok bisamida adalah salah satu
kelompok senyawa yang menjadi ciri khas tumbuhan
Aglaia,
dan membantu
dalam menentukan
kemotaksonomi tumbuhan tersebut. Senyawa bisamida yang diisolasi dari
A. edulis
,
A. grandis,
dan
A. testicularis
adalah aglaiadulin 14, aglaiathiodulin 15 dan aglaiadthiodulin 16
Brader, 1988. Senyawa golongan damaran dan limonoid yang
berhasil diisolasi dari
A. elaeodeae
adalah 20
S,
24
S
-
epoksi-25-hidroksidamaran-3-on 17, 20
S,
24
S
-epoksi- 25-hidroksimetildamaran-3-on
18 dan
6
a,
11
b
-
diasetoksigedunin 19 Fuzzati, 1996.
34
Desi Harneti P.H.
O OH
R
1
H
3
CO OCH
3
OCH
3
1 2
3 3a
4a 5
6 7
8 8a
8b 1
2 3
4 5
6 1
2 3
4 5
6 4
R
3
R
2
Gambar 2.13 Struktur senyawa aktif turunan rokaglamida
yang terkandung dalam tanaman
Aglaia odorata
Janpraset
et al.,
1993.
R
1
R
2
R
3
1 -OH
-CONCH
3 2
-OH
2 -OCOCH
3
-CONCH
3 2
-OH
3 -OH
-CONCH
3 2
-OCH
3
4
-OH -H
-OCH
3
5 -OH
-CONHCH
3
-OH
6 -OH
-COOCH
3
-OH
7 -OH
-CONH
3
-OH
8 =NOH
-COOCH
3
-OCH
3
9 -OH
- -
10
-OH -COOCH
3
-
11 -OH
-CONHCH
3
-H
12 -OCOCH
3
-CONHCH
3
-OH
13 -OCOOCH
3
-COOCH
3
-OH
Tinjauan Umum
35
N N
O
O H
H 1
2 3
4 5
6 7
8 1
2 3
4 5
6 7
8 1
2 3
4 5
6
14
N N
O
O H
H 1
2 3
4 5
6 7
8 1
2 1
2 3
4 5
6 SCH
3
15
N N
O
O H
H 1
2 1
2 1
2 3
4 5
6 SCH
3
H
3
CS 3
3
16
Gambar 2.14 Senyawa bisamida yang diisolasi dari
Aglaia edulis
,
A. grandis,
dan
A. testicularis
Brader, 1988.
Tirucallane 20
adalah suatu
senyawa triterpenoid yang berasal dari
Aglaia leucophylla
Benosman, 1994. Senyawa golongan triterpenoid yang berhasil diisolasi dari
A. foveolata
adalah 3-
epiokotillol 21, asam soreat 22, foveolin A R = H 23 , dimalol R = CH
3
24 Roux, 1998.
36
Desi Harneti P.H.
O H
H OH
O H
O H
H
O H
HO
17 18
O
COOCH
3
COOCH
3
H
3
COOC O
O O
O
19
Gambar 2.15 Senyawa golongan damaran dan
limonoid yang berhasil diisolasidari
A. elaeodeae
Fuzzati, 1996. Senyawa kelompok pregnan dan triterpenoid
hidroperoksida telah berhasil diisolasi dari daun
Aglaia grandis
adalah 2
β,3β-dihidroksi-5α-pregnan-16-on 25
dan dua senyawa triterpenoid hidroperoksida sikloartan
Tinjauan Umum
37
26 dan 27 Inada, 1997.
O OCH
3
20
O
O H
H H
OH
O OH
H H
H
HOOC
21 22
Senyawa kelompok sterol yang terdapat pada spesies
A. rubiginosa
22
R
,25-epoksi-kolest-7-ene- 3
β,4β-diol 28 dan kolest-5-ene-3β,4β,22
R
-triol 29,
stigmast-5-ene-3
β,7α-diol 30, dan stigmasterol 31.
Weber
et al
., 1999.
38
Desi Harneti P.H.
O OH
H H
H
ROOC OH
23-24
H
H HO
HO O
25
OOH H
HO
26
Tinjauan Umum
39
H HO
OOH
27
O
HO OH
28
HO OH
OH
29
HO OH
30
HO
31
40
Desi Harneti P.H.
Senyawa Aktif Sitotoksik dari Tumbuhan
Aglaia
Saat ini, senyawa bahan alam telah memegang peranan penting dalam kemoterapi kanker. Lebih dari 60
obat-obatan kanker diperoleh dari bahan alam. Taxol, kamptotecin, podofilotoksin, vinblastin, dan vinkristin
adalah senyawa bahan alam yang telah digunakan sebagai obat yang teruji dapat menghambat mekanisme
pertumbuhan sel tumor. Pencarian senyawa bahan alam yang dapat digunakan sebagai obat antikanker harus
terus dilakukan untuk mendapatkan obat dengan hasil klinis yang lebih baik Lee, 1998.
Beberapa senyawa turunan rokaglat telah berhasil diisolasi dari tumbuhan
Aglaia
yang memiliki potensi
antikanker karena bersifat sitotoksik. Rokaglaol 32 yang berhasil diisolasi dari akar
A. crassinervia
memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih besar daripada paclitaxel
dan kamptothecin Su, 2006.
O
MeO OMe
MeO OH
OH
32
Tinjauan Umum
41
Aglafolin metil rokaglat 33 diisolasi dari
A. elliptifolia
dapat menghambat pertumbuhan sel kanker Ko
et al
.,1992. Selain itu lima senyawa turunan
rokaglat lainnya 34-38 telah berhasil pula diisolasi dari
A. elliptica
dan menunjukkan
aktivitas dapat
menghambat pertumbuhan sel kanker manusia Lee, 1998.
Asam rokaglat 39, elliptifolin 40, dan elliptiol 41, yang diisolasi dari daun
A. elliptifolia
bersifat sitotoksik terhadap sel tumor P-388, masing-masing
dengan harga ED
50
= 0,0012; 3,41 dan 3,62 µgmL Wang, 2000. Elliptifolin dan elliptiol adalah dua
senyawa yang termasuk kelompok diamida.
O HO
O OCH
3
OCH
3
H
3
CO OCH
3
HO
33
Senyawa pada tanaman
A. lepthantha
dapat membunuh 20 jenis
sel kanker. Kandungan senyawa yang sama juga terdapat pada
A. silvestris
. Beberapa
bagian tumbuhan
A. elaeagnoidea
var.
Beddomei,
akar
42
Desi Harneti P.H.
dan kulit batang tumbuhan
A. elliptifolia
, daun dan ranting
A. odorata,
dan
A. odoratissima
telah dilaporkan memiliki aktivitas
in vivo
terhadap sel tumor P-388 leukemia.
O R
1
OCH
3
H
3
CO HO
R
2
R
3
O O
34-38
R1 R2
R3 -
OH H COOCH
3
- OH H
H - =O
H - OCOHO
H - COOCH
3
O HO
O OH
OCH
3
H
3
CO OCH
3
HO
39
Tinjauan Umum
43
O OH
O N
N O
MeO OMe
OMe OH
40
O NH
H N
O OH
41 Senyawa turunan diamida yaitu odorinol 42
yang bersifat antileukemia yang diujikan secara
in vivo
terhadap mencit, berhasil diisolasi dari daun
A.odorata
Hayashi, 1981. Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada
ekstrak daun
A. formosana
terhadap sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia P-388 King
et al
,1982. Pada
44
Desi Harneti P.H. O
N HN
O OH
H
42
tahun 1993 berhasil diisolasi dari ekstrak kloroform daun
A. formosana
senyawa dehidroodorin 43 yang aktif
terhadap sel leukemia P-388 dengan nilai ED
50
= 3,86 µgmL Duh, 1993. Senyawa-senyawa dari kelompok
triterpen yang bersifat sitotoksik pun telah berhasil diisolasi dari
A. argantea
yaitu argenteanon A 44, B 45, dan argenteanol 46 ketiganya bersifat sitotoksik
terhadap sel KB sel kanker nasofaring Omobuwajo, 1995.
O N
H HN
O
43
Tinjauan Umum
45
R OH
H HO
OH
H H
H H
O
O HO
H H
H H
OH H
45 R = O 46 R = H dan
-OH Masih dari spesies yang sama, sembilan senyawa
triterpenoid dengan kerangka 3,4-sekoapotirukalan 47 –
54 yang bersifat sitotoksik terhadap sel KB telah berhasil diisolasi Mohammad, 1999.
44
COOCH
3
O
OH H
OR
1
H H
H
COOCH
3
O
OH H
OR
1
H H
H R
2
O
47 R
1
= a 50 R
1
= c, R
2
= a
48 R
1
= b 51 R
1
= c, R
2
= b
49 R
1
= c 52 R
1
= b, R
2
= a
53 R
1
= R
2
= a
54 R
1
= R
2
= c
O OH
O OH
H H
3
C CH
3
O HO
a b
c
47
BAB III
SENYAWA ANTIKANKER TURUNAN 1
H-SIKLOPENTA[b]BENZOFURAN DARI TANAMAN
Aglaia elliptica
Aglaia elliptica
LEE dan kawan-kawan 1998, meneliti kandungan senyawa antikanker dari
Aglaia eliptica
. Latar belakang, metode dan hasil penelitian Lee, dilaporkan
pada bagian ini. Beberapa bagian tanaman
Aglaia
dapat digunakan seperti kayu, buah, dan bunga sebagai kebutuhan di
bidang medis maupun pertanian. Kandungan senyawa yang terdapat dalam tanaman ini juga memiliki berbagai
aktivitas biologis, yaitu sebagai insektisidal dan antikanker. Beberapa bagian tanaman
A. elaeagnoidea
var.
Beddomei,
akar dan kulit batang tanaman
A. elliptifolia
, daun dan ranting
A. odorata,
dan
A. odoratissima
telah dilaporkan memiliki aktivitas
in vivo
pada sel tumor P-388 leukemia. Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada ekstrak daun
A. formosana
dalam sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia King
et al
,1982.
Aglaia elliptica
merupakan salah satu spesies
48
Desi Harneti P.H.
yang sangat berpotensi untuk mendapatkan senyawa antikanker. Dalam penelitian Cui
et al
pada tahun 1997,
Aglaia elliptica
yang berasal dari Thailand, telah ditemukan lima senyawa baru yang sangat berpotensi
terhadap sel tumor. Lima senyawa baru tersebut memiliki kerangka induk yang sama yaitu siklopenta[
b
]benzofu- ran. Kerangka induk ini juga terdapat pada spesies
Aglaia
yang lainnya. Lima senyawa turunan siklopenta[
b
]benzo-
furan 1-5 tersebut adalah senyawa 1 metil rokaglat, 2 4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil rokaglat dan 5
1-
O
-formil- 4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil roka-
glat.
1 metil rokaglate
Gambar 3.1 Struktur senyawa turunansiklopenta[
b
]ben zofuran yang didapat dari
Aglaia elliptica
Lee et al, 1998.
Senya wa Antikanker Turunan
…
49
Senyawa 1 – 2 dan 4 – 5 diperoleh dari batang
Aglaia elliptica,
sedangkan senyawa 1 – 3 diperoleh dari
buahnya.
Gambar 3.2 Tanaman
Aglaia elliptica.
Taksonomi dari
Aglaia elliptica
adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Sub Kingdom :
Tracheobionta Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi :
Magnoliophyta Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas :
Rosidae
50
Desi Harneti P.H.
Ordo :
Sapindales Keluarga
: Meliaceae
Marga :
Aglaia
Jenis :
Aglaia elliptica
Mekanisme sitotoksik pada tanaman
Aglaia elliptica
Daya hambat senyawa 1-5 pada kultur sel kanker manusia
Daya hambat
lima senyawa
turunan siklopenta[
b
]benzofuran yang ditemukan pada batang dan daun
Aglaia elliptica
dapat diketahui dengan cara menghitung nilai IC
50
kelima senyawa tersebut dengan menggunakan sel kanker manusia, di antaranya Sel HT-
1080
human fibrosarcoma
, KB
human nasopharyng- eal carcinoma
, A431
human epidermoid carcinoma
, LNCaP
hormone-dependent prostate cancer
, ZR-75-1
hormone-dependent breast cancer
, U373
human glioblastoma
, BC1
human breast cancer
, Lu1
human lung cancer
, Mel2
human melanoma
, dan Col2
human colon cancer
. Semua sel di kultur pada suhu 37
o
C dalam 100 kelembaban dengan 5 CO
2
atmosfer di udara, kecuali sel melanoma yang tetap pada 37
o
C dalam wadah kultur jaringan tertutup. Dari hasil
penelitian didapat nilai IC
50
senyawa 1, 2 – 5 memiliki
rentang antara 1
– 30 ngmL. Sedangkan senyawa 3 dan 4
memiliki nilai IC
50
di atas 60 ngmL Lee
et al
.,1998. Berdasarkan data dalam Tabel 3.1, kelima senyawa
tersebut memberikan aktivitas yang cukup baik, namun yang paling berpotensi sebagai antikanker adalah
senyawa 1, 2, dan 5. Senyawa 1, 2, dan 5 memiliki nilai IC
50
di bawah 30 ngmL. Kelima senyawa tersebut memiliki struktur kerangka induk yang sama, yaitu
Senya wa Antikanker Turunan
…
51 siklopenta[
b
]benzofuran, namun rantai sampingnya saja yang berbeda. Hal ini menyebabkan aktivitas.
Tabel 3.1 Daya hambat nilai IC
50
senyawa 1 – 5 dari
tanaman
Aglaia elliptica
dalam kultur sel kan- ker manusia Lee et al, 1998.
Senya wa
BC1 HT-
108 Lu1
Mel2 Col2
KB KB-IV
A43 1
LNCa p
ZR-75 U3
73
1 10.0
9.0 6.0
30.0 9.0
9.0 30.0
20.0 20.0
3.0 3.0
2 0.9
10. 5.0
60.0 10.0
6.0 20.0
10.0 2.0
2.0 0.8
3 200.0
- 70.
- 70.0
90.0 100.0
- -
86.0 -
4
1400. -
100 .0
- 200.
200.0 300.0
- 70.0
- -
5 3.0
3.0 1.0
1.0 2.0
30.0 10.0
3.0 30.0
120.0 3.0
tingkat toksisitas yang cukup rendah IC
50
60 ngmL, karena adanya pengaruh gugus fungsi yang terletak pada
posisi C-1 dan C-2. Pada senyawa 4 , pergantian gugus hidroksil -OH atau gugus formal -OCHO dengan
gugus keton C=O akan menyebabkan potensial daya hambat pertumbuhan sel kanker akan berkurang.
Pengaruh penambahan senyawa 2 pada pembelahan sel kanker Lu1
Sel Lu1 dilapiskan dengan densitas 5 x 10
5
sel per 25 cm
2
pada labu kultur, lalu diinkubasi selama 24 jam. Kemudian ditambahkan 25 dan 50 ngmL senyawa 2
selama interval waktu 8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam, jumlah sel dihitung. Viabilitas sel dapat diketahui oleh
52
Desi Harneti P.H.
Gambar 3.3 Hubungan struktur dan aktivitas antikanker
senyawa 3-4 yang diisolasi dari tanaman
Aglaia elliptica
Lee et al, 1998. adanya pewarna tripan biru. Pembelahan sel yang terjadi
dibandingkan dengan
kontrol. Semua
perlakuan dilakukan secara triplo. Dalam Gambar 3.4 dapat dilihat
bahwa dengan adanya penambahan senyawa 2 pada kultur sel Lu1, jumlah sel yang membelah akan
berkurang. Sedangkan pengaruh adanya senyawa 2 dalam proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1 dapat dilihat pada
Gambar 3.5.
Senya wa Antikanker Turunan
…
53
Gambar 3.4 Fotomikrograf sel yang diperlakukan dengan
senyawa 2. A tanpa adanya penambahan senyawa 2, B dengan adanya penambahan
senyawa 2 25 ngmL selama 32 jam pembesaran 100x Lee et al, 1998.
Pengaruh penambahan senyawa 2 pada siklus sel kanker Lu1
Senyawa 2 yang dihasilkan dari tanaman
Aglaia elliptica
diperlakukan terhadap sel Lu1 selama periode
54
Desi Harneti P.H.
Waktu jam
Gambar 3.5 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada
proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1. ● hanya pelarut DMSO, ▲ 25 ngmL
senyawa 2 , ◊ 50 ngmL senyawa 2 Lee et
al, 1998.
waktu 8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam. Untuk mengetahui jumlah sel yang terdistribusi dalam proses
siklus selnya, digunakan metode aliran sitometri
flow cytometry
. Sebanyak 50 ngmL senyawa 2 yang
V ia
b il
it a
s se
l
Ju m
la h
s el
x 1
-6
Senya wa Antikanker Turunan
…
55 ditambahkan, terjadi akumulasi sel pada fase G
1
G dalam siklus sel.
Setelah 24 jam = Kontrol : 41 G
1
G , 37 S, 22 G
2
M Hasil : 74 G
1
G , 11 S, 15 G
2
M Setelah 32 jam = Kontrol : 52 G
1
G , 33 S, 15 G
2
M Hasil : 75 G
1
G , 9 S, 16 G
2
M Setelah 48 jam = Kontrol : 61 G
1
G , 25 S, 142
G
2
M Hasil : 65 G
1
G , 16 S, 19 G
2
M Periode waktu yang selanjutnya menghasilkan data yang
tidak jauh berbeda dengan pada jam ke-48, pada periode ini tidak terjadi perubahan yang signifikan.
Pada interval waktu 24 dan 32 jam terjadi suatu akumulasi jumlah sel kanker pada fase G
1
. G
1
adalah fase dimana terjadi sintesis RNA pada sel kanker. Namun
karena keberadaan senyawa 2, RNA yang telah terbentuk tidak dapat membentuk DNA-nya, sehingga sel tidak
akan menuju ke fase S replikasi DNA. Hal ini menyebabkan sel hanya akan terakumulasi pada fase G
1
dan G fase istirahat. Senyawa 2 dapat menghambat
terjadinya proses replikasi DNA S dan mengganggu terjadinya siklus pembelahan sel kanker. Dari data
penelitian, sel akan terakumulasi pada fase G
1
G ,
sedangkan jumlah sel pada fase S dan G
2
M lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol.
Aktivitas antikanker menggunakan bioindikator tikus putih
Untuk mengetahui aktivitas antitumor pada
senyawa 2, dilakukan penelitian dengan menggunakan
56
Desi Harneti P.H.
bioindikator tikus putih betina. Kultur sel BC1 1 x 10
6
sel disuntikkan ke dalam bagian kanan dorsal pada tikus putih betina yang berusia 4
– 6 minggu. Pada hari ke-3
senyawa 2 10 mgkg berat badan, yang dilarutkan dalam 40 DMSO disuntikkan pada tikus putih tersebut.
Pemberian senyawa 2 dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 7 minggu. Untuk analisis, berat badan tikus putih
dan volume tumor ditimbang setiap harinya. Ternyata semua tikus mati pada hari ke-33, ketika volume tumor
pada tikus kontrol mencapai 1,3 cm
3
.
Hari setelah penyuntikan sel BC1
Gambar 3.6 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada
pertumbuhan tumor tikus putih betina yang telah diberikan sel tumor BC1. ● kontrol
dan □ penambahan senyawa 2 Lee et al, 1998.
Seperti yang terlihat pada Gambar 3.6, dengan adanya penambahan senyawa 2 pada sel tumor BC1 dalam tikus
putih akan mengakibatkan volume tumor berkurang sejalan dengan periode waktu. Hal ini disebabkan
V o
lu m
e tu
m o
r c
m
3
Senya wa Antikanker Turunan
…
57 pertumbuhan sel BC1 terhambat sehingga proses
pembelahannya pun akan berlangsung lama.
Pembelahan sel tumor dapat terjadi karena adanya replikasi DNA dan sintesis RNA secara cepat. Oleh
karena itu, untuk menghambat atau menghentikan proses penggandaan DNA, harus menggunakan suatu senyawa
atau agen yang dapat menghambat proses biosintesis DNA, RNA, atau proteinnya. Pada umumnya mekanisme
kerja senyawa antikanker secara demikian, yaitu dengan menghambat proses biosintesis proteinnya. Seperti
halnya senyawa pengalkilasi yang bersifat antikanker. Senyawa ini memiliki ion karbonium yang reaktif,
sehingga dapat membentuk ikatan melintang dengan DNA dan dapat menghambat terjadinya pembelahan sel
Tjay Rahardja,2002. Untuk senyawa antikanker bahan alam, biasanya mekanisme kerja antikanker adalah
dengan menghambat sintesis protein dalam mikrotubuli. Pada senyawa 2 yang diperoleh dari tanaman
Aglaia elliptica
, aktivitas antikanker disebabkan oleh adanya pengaruh gugus fungsi yang ada pada kerangka senyawa
tersebut.
58
Desi Harneti P.H.
59
BAB IV
AKTIVITAS ANTIKANKER SENYAWA ODORIN DAN ODORINOL DARI
TUMBUHAN AGLAIA ODORATA
Aglaia odorata
AGLAIA odorata
berasal dari marga
Aglaia.
Suatu marga tumbuhan dengan anggota lebih dari 100 jenis tumbuhan. Tanaman ini dibiakkan dengan cara
pencangkokan. Tanaman ini banyak digunakan sebagai pagar hidup, karena bentuknya yang indah dan kecepatan
tumbuhnya yang lambat Heyne,1987. Inada dan kawan-kawan 2001, meneliti kandungan
senyawa antikanker dari
Aglaia odorata.
Latar belakang, metode dan hasil penelitian Inada dan kawan-kawan,
dilaporkan pada bagian ini. Tumbuhan perdu ini dapat tumbuh dengan tinggi
2-5 m. Memiliki batang berkayu, bercabang banyak, dan tangkai berbintik-bintik kelenjar berwarna hitam.
Memiliki daun majemuk, menyirip dan ganjil yang tumbuh berseling. Dengan anak daun berjumlah 3-5 cm.
Anak daunnya bertangkai pendek, berbentuk bundar seperti telur sungsang. memiliki panjang 3-6 cm dan
lebar 1-3,5 cm. Berujung runcing, berpangkal meruncing,
60
Desi Harneti P.H
. bertepi rata dan permukaannya licin mengilap, terutama
daun muda Anonymous, 2005. Rebusan daunnya terasa pahit tanpa pedas, jika diminum berkhasiat untuk
menstruasi yang terlalu keras dan penyakit kelamin.
Bunganya kecil, dalam helaian rapat, panjangnya 5-16 cm, warna kuning, dan harum. Bunga ini sering
dicampurkan kedalam daun the untuk mengharumkan- nya. Seringkali pula digunakan untuk mengharumkan
pakaian. Selain itu, dicampurkan dalam ramuan parem dan dijual kering. Bila air rebusan bunga ini diminum
akan menghasilkan daya menyejukkan Heyne,1987.
Buah dari tanaman ini berbentuk kecil-kecil seperti buah buni. Berbentuk bulat lonjong dengan warna
merah dan panjang 6-7 mm. Memiliki 1-3 ruang di dalam buah dan jumlah biji 1 sampai dengan 3 Anonymous,
2005.
Daun dan bunga
Aglaia odorata L
Meliaceae di Cina digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi
memar, sakit kepala, batuk, dll. Bunganya biasa digunakan untuk memberi wewangian pada teh dengan
catatan tergantung pada wangi teh itu sendiri. Dari tanaman ini aminopirolidin-diamida, odorin dan odorinol
= 2-hydroxyodorine, dan kandungan lainnya telah diisolasi. Sebagai tambahan, aktivitas antileukimia dari
odorinol terhadap sel leukemia limfosit P-388 dari tikus telah dilaporkan Inada
et.al
., 2001.
Taksonomi
Aglaia odorata
Menurut Tjitrosoepomo
2002 taksonomi
tumbuhan
Aglaia odorata
adalah sebagai berikut: Kerajaan :
Plantae Divisi :
Spermatophyta Subdivisi :
Angiospermae
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
61 Kelas :
Dycotiledoneae Subkelas :
Dyalipetalae Ordo :
Rutales Keluarga :
Meliaceae Genus :
Aglaia
Jenis :
Aglaia odorata
Kandungan kimia tumbuhan
Aglaia odorata
Tumbuhan
Aglaia odorata
memiliki berbagai macam kandungan diantaranya minyak asiri, alkaloid,
saponin, flavonoid, terpenoid, triterpenoid, alkaloid, tanin Mabberley
et al.
, 1995, arilpropanoid, dimer arilpropanoid lignan Wu,
et al
., 1997, asam sinamat, dan odorin Nugroho
et al
., 1999. Tapsakin-A turunan forbaglin Proksch
et al
., 2001 kelompok senyawa dengan kerangka siklopenta -
[
bc
]benzopiran aglain,
dan aglaforbesin
serta turunannya, dan kelompok senyawa dengan kerangka
Gambar 4.1
Aglaia odorata.
62
Desi Harneti P.H
. benzo[
b
]oksepin forbaglin serta turunannya. Selain senyawa-senyawa tersebut di atas, tanaman ini mengan-
dung sejumlah senyawa aktif antikanker berkerangka siklopentatetra[
b
]hidrobenzofuran yaitu rokaglamida 1 Mabberley
et al.
, 1995.
N H
N H
O OH
Odorinol turunan odorin
O O
OH H
3
CO
H
3
CO OCH
3
OH
Turunan f lavonoid
Gambar 4.2 Struktur turunan odorinol turunan odorin
dan turunan flavonoid Nugroho
et al
., 1999.
O H
3
CO OCH
3
OH
OCH
3
OH
O NCH
3 2
Gambar 4.3 Rokaglamida Beberapa turunan rokaglamida yang telah berhasil
diisolasi dan dikaraktersasi yang berasal dari tumbuhan
Aglaia odorata
di antaranya adalah didesmetilrokaglami-
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
63
O H
N N
OCH
3
H
3
CO OH
OCH
3
H OH
O
Tapsakin-A-10-O-asetat turunan aglain
O H
N N
H
3
CO OH
H O
O O
O O
O O
OCH
3
H
3
C O
CH
3
CH
3
Tapoksepin-A turunan forbaglin
Gambar 4.4 Struktur Tapsakin-A-10-O-asetat turunan
aglain dan Tapoksepin Inada
et.al
., 2001. da 2, C-
3’-hidroksirokaglamida 3, dan C-1-
O
-asetil- 3’-hidroksirokaglamida 4 Proksch
et al
., 2001. Struktur dari ketiga senyawa tersebut dapat dilihat pada
Gambar 4.5.
3
O H
3
CO OCH
3
OH
OCH
3
R
1
R
2
R
3 2
3a 8b
8a 1
5 6
7 8
2 5
6 5
4 3
Struktur turunan rokaglamida 1-4 R
1
R
2
R
3
2 OH
CONH
2
H 3
OH CONCH
3 2
OCH
3
4 OCOCH
3
OH
4 3
4 1
2 6
CONCH
3
Gambar 4.5 Struktur beberapa turunan rokaglamida
yang terkandung dalam tumbuhan
Aglaia odorata
Cui
et al
., 1997; Proksch
et al
., 2001.
64
Desi Harneti P.H
.
Bahan-bahan dan metode penelitian
Bahan kimia
Bahan kimia DMBA dan TPA dari nacalitesque Kyoto,jepang, NOR-1 dan peroksi nitrit didapat dari
dojindo laboratories Kumamoto, Jepang.
Hewan
Hewan
specific pathogen-free female ICR
-
6- week-Old
ICR-fatogen spesifik usia 6 minggu dan SENCAR-mice usia 6 minggu didapat dari Japan SLC
ink Shizouka, Jepang. Hewan ini ditempatkan 5 ekor dalam satu kandang polikarbonat pada suhu antara 24 ±
2
o
C dan diberikan makan, dan air adlibitum.
Isolasi Odorin dan Odorinol dari Aglaia odorata.
Daun
Aglaia odorata
700 gram diambil pada bulan Januari 1993 di Kebun Raya Bogor Bogor, Indo-
nesia. Fraksi etil asetat sebanyak 47,6 gram yang berasal dari 78,0 gram ekstrak MeOH diisolasi sehingga
dihasilkan senyawa aminopirolidin-diamida, odorin 160 mg dan odorinol 230mg dengan kemurnian 99,9.
Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh DMBATPA
Hewan
female ICR-mice
berumur 6 minggu dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan yang terdiri
dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pada
ekornya ditambahkan DMBA 100µg, 390nmol dalam aseton 0,1 mL Untuk kelompok yang pertama
kelompok kontrol positif satu minggu setelah diaktifkan dengan DMBA, tikus-tikus kemudian diberi TPA 1µg,
1,7nmol pada aseton 1mL dua kali dalam seminggu.
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
65 Kelompok kedua dan ketiga mendapat penambahan dari
odorin 85nmol pada aseton 0,1mL dan odorinol 85nmol pada aseton 1 jam sebelum perlakuan pokok
masing-masing,
secara berurutan.
Pengaruh dari
pertumbuhan papiloma dilihat setiap minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus mengalami penghambatan
papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan
eksperimen dianalisis dengan cara
student’s t
-test
pada 20 minggu setelah promosi Inada
et.al
., 2001
Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh NOR-1TPA
Hewan
female SENCAR-mice
berumur 6 minggu dipisahkan kedalam 3 kelompok percobaan
yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau
bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik diaktifkan dengan NOR-1 90µg, 390 nmol dalam
aseton 0,1 mL. Untuk kelompok yang pertama kelompok kontrol + satu minggu setelah diaktifkan
dengan NOR-1, tikus-tikus kemudian diberi TPA 1µg, 1,7nmol pada aseton 1mL dua kali dalam seminggu.
Untuk kelompok kedua, TPA ditabahkan dengan odorin 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum dan kelompok
ketiga, TPA ditambahkan odorinol 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum diberikan melalui mulut satu minggu
sebelum dan sesudah tahap inisiasi
dengan NOR-1. Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan
odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan; persentase tikus-tikus yang mengalami penghambatan
papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan
66
Desi Harneti P.H
. eksperimen dianalisis dengan cara
student’s t
-test
pada 20 minggu setelah promosi Inada
et.al
., 2001
Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh PeroksinitritTPA
Hewan
female SENCAR-mice
berumur 6 minggu dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan
yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau
bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik diaktifkan dengan peroksinitrit 33,1µg, 390 nmol dalam
1mM NaOH dalam aseton 0,1 mL. Untuk kelompok yang pertama kelompok kontrol positif, satu minggu
setelah diaktifkan dengan peroksinitrit, tikus-tikus kemudian diberi TPA 1µg, 1,7nmol pada aseton 1mL
dua kali dalam seminggu. Untuk kelompok kedua, odorin 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum dan kelompok
ketiga, odorinol 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum diberikan melalui mulut dari satu minggu sebelum dan
satu minggu sesudah tahap inisiasi
dengan peroksinitrit. Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan
odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan. Pengaruh dari pertumbuhan papiloma dilihat setiap
minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus yang menghambat papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per
tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan eksperimen dianalisis dengan cara
student’s
t-test
pada 20 minggu setelah promosi Inada
et al
., 2001
. Aktivitas odorin dan odorinol sebagai antikanker
Pada percobaan yang dilakukan oleh Inada
et
.
al
untuk pengujian senyawa yang menghambat pertumbu-
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
67 han papiloma pada tikus digunakan tiga perbandingan
perlakuan pada tikus. Papiloma sendiri merupakan salah satu jenis kanker kulit di mana tempat terjadinya yaitu
pada permukaan kulit. Pada percobaan tersebut digunakan SENCAR-
mice
sebagai objek penelitian. SENCAR-mice atau dengan kata lain
Sensitive Carsinogenesis
-
mice
merupakan tikus yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap zat-zat karsinogen. Tikus
tersebut sangat rentan terkena kanker jika ada pengaruh dari zat-zat karsinogen.
Tikus yang digunakan dalam percobaan dibagi ke dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok
terdiri dari 15 ekor tikus.Untuk perlakuan pertama, digunakan DMBA atau 7,12-dimethyl benz[a]anthracene
sebagai zat karsinogen untuk mengaktifkan sifat karsinogenik tikus. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
untuk memasukan DMBA ini ekor tikus sebelumnya dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pencukuran
ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengaktifan sel kanker oleh DMBA karena apabila masih terdapat bulu
dikhawatirkan DMBA ini tidak langsung masuk ke dalam kulit tikus.
Untuk kelompok
pertama, setelah
sel karsinogenik tikus diaktifkan dengan DMBA dan
mengalami tahap inisiasi yaitu selama 1 minggu, kemudian
ditambahkan dengan
TPA 12-O-
tetradecanoylphorbol-13-acetate pada aseton dua kali dalam seminggu. Kelompok pertama ini dikenal sebagai
kontrol positif. Sedangkan untuk kelompok kedua dan ketiga ditambahkan odorin dan odorinol pada TPA satu
jam sebelum perlakuan pokok masing-masing. Persen penghambatan papiloma dan jumlah rata-rata papiloma
yang terbentuk dicatat selama 20 minggu dan perbedaan
68
Desi Harneti P.H
. antara kontrol positif, kelompok kedua dan kelompok
ketiga dianalisis dengan menggunakan student’s t
-test
pada 20 minggu setelah promosi. Dari hasil analisis tersebut diperoleh grafik sebagai
berikut :
grup 1, DMBA 390 nmol+TPA 1,7 nmol; grup 2,
DMBA 390 nmol+Odorin 85 nmol+TPA1,7 nmol; grup 3,
DMBA 390 nmol+odorinol 85 nmol+TPA 1,7 nmol. Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol p0,01
dalam hubungannya dengan papilomas per tikus n=15.
Gambar. 4.6 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan
menggunakan DMBA dan TPA Inada,
et al
, 2001
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
69 Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.6, odorin
dan odorinol menghambat dengan baik pembentukan papiloma pada kulit tikus dan menunjukkan efek
penghambatan yang signifikan terhadap pertumbuhan sel kanker yang dihasilkan oleh DMBA dan TPA.
Gambar 4.6 A menunjukkan persen papiloma pada 20 minggu masa promosi. Pada Gambar 4.6 A ini
dapat dilihat perbedaan yang sangat signifikan antara kontrol positif dengan perlakuan tambahan menggunakan
odorin dan odorinol. Sampai dengan minggu ke-5 ketiganya masih belum menunjukkan pembentukan
papiloma dan pada minggu ke-6 perbedaan terlihat lebih jelas dimana kontrol positif menunjukkan pembentukan
papiloma sebanyak 30 sedangkan penambahan odorin dan odorinol masih belum menunjukkan pembentukan
papiloma. Untuk penambahan odorin papiloma terbentuk sebanyak 10 pada minggu ke-8, sedangkan kontrol
positif pada minggu ke-7 menunjukkan pembentukan papiloma sebanyak 80. Untuk penambahan odorinol
hasilnya lebih baik dibandingkan penambahan odorin karena pada penambahan odorinol papiloma terbentuk
sebanyak 5 pada minggu ke-9 dan pada minggu ke-7 masih belum menunjukkan pembentukan papiloma.
Kontrol positif menunjukkan hasil 100 untuk pembentukan papiloma pada minggu ke-9 sedangkan
untuk penambahan odorin sampai pada minggu kelima belas pun jumlah papiloma yang terbentuk kurang dari
70 dan pada minggu ke 20, 93,3 papiloma terbentuk. Sama halnya seperti odorin, odorinol dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker. Hal ini dapat dilihat pada minggu keenam belas dengan jumlah papiloma yang
terbentuk dibawah 70 sedangkan pada kontrol positif jumlah papilomanya sudah 100.
70
Desi Harneti P.H
. Sama halnya seperti pada grafik 4.6 A pada grafik
4.6 B menunjukkan adanya penghambatan dengan penambahan odorin dan odorinol. Pada grafik 4.6 B
dapat dilihat banyaknya papiloma yang terbentuk jumlah papiloma pada sel karsinogenik tikus selama 20 minggu
masa promosi. Untuk kontrol positif setelah 10, 15 dan 20 minggu promosi terbentuk 3,9 ; 8,1 dan 8,8 papiloma.
Jumlah papiloma tersebut dapat dilihat pada masing- masing kulit tikus yang kemudian dibagi dengan jumlah
tikus tiap kelompok. Dengan waktu yang sama untuk penambahan odorin pada DMBA dan TPA papiloma
yang terbentuk adalah 0,5 ; 2,8 dan 4,3 papiloma. Sedangkan untuk penambahan odorinol hasilnya lebih
baik
dibandingkan penambahan
odorin yaitu
menghasilkan papiloma 0,3 ; 2,6 dan 3,6 disetiap tikus dengan waktu yang sama secara berurutan. Penambahan
odorin dan odorinol ini tidak mengurangi laju dari pembentukan
papiloma tikus
melainkan hanya
mengurangi jumlah rata-rata papiloma papiloma setiap tikus.
Selanjutnya yaitu dengan menggunakan donor NO seperti NOR-1 ±-E-Methyl-2-[E-Hidroxy
Amino]-5-nitro-6-methoxy-3-hexenamide dan peroksi- nitrit sebagai tahap awal untuk mengaktifkan sifat
karsinogenik tikus. Sama halnya seperti percobaan di atas, digunakan juga TPA sebagai promotor untuk
pengaktifan sel karsinogenik. Seperti telah diketahui bersama
bahwa kelebihan
produksi dari
NO mengakibatkan terjadinya kerusakan gen, sel dan
jaringan sehingga akibatnya NO menjadi penyebab kuat terjadinya
mutagen dan
karsinogenesis. Efek
penghambatan odorin
dan odorinol
dengan menggunakan NOR-1 dan peroksinitrit diperiksa dengan
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
71 menggunakan metode
oral administration
. Hasilnya kedua senyawa tersebut menghambat pembentukan
papiloma dan menunjukkan efek penghambatan. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik 4.7A dan B.
Pada grafik 4.7 A kelompok kontrol positif, yang mendapat perlakuan dengan NOR-1 dan TPA menunjuk-
kan pembentukan papiloma sebanyak 100 pada minggu ke 11. yang diperlakukan dengan NOR-1, TPA dan
odorin menunjukkan efek penghambatan karena pada minggu ke-10 papiloma yang terbentuk kurang lebih
sebanyak 30 , pada minggu ke-11 papiloma yang ter- bentuk kurang dari 40, pada minggu ke-15 kurang dari
70 dan pada minggu ke-20 papiloma yang terbentuk 85. Sedangkan untuk penambahan odorinol pada NOR-
1 dan TPA efek penghambatan jumlah papiloma yang terbentuk lebih baik lagi karena dalam minggu ke-10
hanya membentuk papiloma kurang dari 30, pada minggu ke 15 menunjukkan 60 dan pada minggu ke-20
menunjukkan 80 pembentukan papiloma.
Untuk grafik 4.7 B tidak jauh berbeda dari grafik 4.7 A, di sini dapat dilihat untuk kontrol positif,
terbentuk papiloma rata-rata sebanyak 6,1 dan 8,1 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Senyawa odorin
menunjukkan
aktivitas penghambatan
dengan terbentuknya papiloma yang lebih sedikit yaitu sebanyak
2,9 dan 3,9 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Dalam kelompok yang diperlakukan dengan
odorinol, terbentuk kurang dari 2,6 dan 3,3 60 pengurangan bila dibandingkan dengan kelompok
kontrol di setiap tikus setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Pada percobaan ini, secara statistik tidak ada
perbedaan signifikan yang ditemukan antara masing- masing kelompok dan peningkatan berat badan dari
72
Desi Harneti P.H
.
grup 1, NOR-1 390 nmol+TPA 1,7 nmol; grup 2,
NOR-1 390 nmol+0,0025 Odorin 2 minggu+TPA1,7 nmol; grup 3, NOR-1 390 nmol+0,0025 Odorinol 2
minggu+TPA 1,7 nmol. Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol p0,01 dalam hubungannya dengan
papiloma per tikus n=15
Gambar 4.7 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan
menggunakan NOR-1 dan TPA Inada
et al,
2001.
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
73 tikus-tikus tidak berpengaruh dengan perlakuan kedua
senyawa.
Gambar 4.8 A dan B menunjukkan efek pengham batan dari odorin dan odoridol dalam tahap dua karsino-
genesis kulit menggunakan peroksinitrit sebagai tahap awal dengan cara pemberian makan lewat mulut. Kedua
senyawa tersebut memperlambat pembentukan papiloma dan menunjukkan efek penghambatan Inada
et al
, 2001. Pada kelompok kontrol positif yaitu yang
mendapat perlakuan dengan peroksinitrit dan TPA, 100 pembentukan papiloma terjadi pada minggu ke-10. Tikus
yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorin menunjukkan persen pembentukan papiloma lebih sdikit
dibandingkan dengan kontrol positif. Pada minggu ke-10, 15 dan 20 papiloma yang terbentuk sebesar 32, 55
dan 93,3. Sedangkan untuk tikus yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorinol memerlukan
waktu 10 minggu untuk menunjukkan kurang dari 30 pembentukan, 15 minggu untuk menunjukkan 60 dan
20 minggu untuk menunjukkan 86,7 pembentukan papiloma dan odorinol mengurangi jumlah rata-rata
papiloma per tikus pengurangan sekitar 46 pada 20 minggu dibandingkan dengan kelompok kontrol positif.
Sedangkan untuk grafik 4.8 B kontrol positif menunjukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap
tikus sebanyak 3,2 dan 7,5 papiloma setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Untuk tikus dengan penambahan
odorin pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus untuk waktu promosi 15 dan 20 minggu adalah sebanyak 1,9
dan 3,5 papiloma. Untuk penambahan odorinol menun- jukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus
adalah 0,8 dan 2,5 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Dengan ini dapat diketahui bahwa odorin me-
74
Desi Harneti P.H
.
grup 1, Peroksinitrit 390 nmol+TPA 1,7 nmol; grup 2,
Peroksinitrit 390 nmol+0,0025 Odorin 2 minggu+TPA1,7 nmol;
grup 3, Peroksinitrit 390 nmol+0,0025 Odorinol 2 minggu+TPA 1,7 nmol. Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan
Odorinol berbeda dari kontrol p0,01 dalam hubungannya dengan papiloma per tikus n=15.
Gambar 4.8 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan
menggunakan Peroksinitrit dan TPA Inada
et al,
2001.
Aktivitas Antikanker S
enyawa …
75 ngurangi pembentukan papiloma sebanyak 3,5 papiloma
dan odorinol sebanyak 4,5 papiloma untuk setiap tikus.
Dari hasil tes tahap dua karsinogenesis ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa odorin dan odoridol bersama
dengan aktivitas antileukimia langsung dari odorinol menunjukkan bahwa senyawa ini mungkin akan menjadi
senyawa antikarsinogen berharga dalam karsinogen kimiawi.
Penyelidikan secara
mendalam tentang
mekanisme penghambatan senyawa ini dalam senyawa karsinogen sedang diteliti.
76
Desi Harneti P.H
.
77
BAB V
SENYAWA SITOTOKSIK DARI KULIT BATANG
Aglaia crassinervia
Aglaia crassinervia
AGLAIA crassinervia
adalah salah satu spesies tumbuhan dalam keluarga Meliaceae. Tumbuhan ini
ditemukan di Brunei Darussalam, India Kepulauan Nikobar, Indonesia Kalimantan, Sumatera, Malaysia
Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak, Myanmar, Filipina dan Thailand. Nama lain tumbuhan ini adalah
Aglaia cinerea
King,
Aglaia pyricarpa
Baker.f.,
Chisocheton sumatranus
Baker.f. Nama lokal tumbuhan ini di Kalimantan yaitu Lansat-lansat, Lantupak, Segara,
Sigirah. Su, dan kawan-kawan 2006, meneliti kandungan
senyawa racun sel sitotoksik dari
Aglaia odorata.
Latar belakang, metode dan hasil penelitian Su dan kawan-kawan, dilaporkan pada bagian ini.
Tumbuhan ini berupa pohon kanopi pertengahan tingginya 31 m dan diameternya 49 cm. Stipules absen.
Daun-daun beragam, campuran, lapisan lebar, berbulu di bawah. Bunga-bunganya kira-kira berdiameter 1 mm,
berwarna kuning, terletak di dalam panikel besar. Buah-
78
Desi Harneti P.H.
buahnya berdiameter kira-kira 24 mm, berwarna krem kecokelatan,
kapsul gemuk.
Benihnya berwarna
transparan merah kecokelatan. Ekologi tumbuhan ini terletak di dalam hutan
campuran dipterocarp tak terganggu pada ketinggian 800 m. Di atas lereng bukit dan punggung bukit, tetapi juga
umumnya sepanjang sungai dan alirannya. Di atas tanah liat sampai lahan berpasir. Di dalam hutan sekunder yang
pada
umumnya menyajikan
sisa pra-disturbansi.
Pengrusakan habitat adalah suatu ancaman bagi spesies ini.
Taksonomi
Aglaia crassinervia
Kerajaan :
Plantae Divisi
: Tracheophyta
Sub Divisi :
Spermatophyta Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas :
Rosidae Ordo
: Sapindales
Keluarga :
Meliaceae Genus
:
Aglaia
Spesies :
Aglaia crassinervia
Gambar 5.1
Aglaia crassinervia
Panell, 1992
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
79
Eksperimen
Bahan Tumbuhan
Kulit batang 850 g
Aglaia crassinervia
dikumpulkan di Pulau Lombok, Indonesia, pada Oktober 2001, dan diidentifikasi oleh Soedarsono Riswan. Suatu
spesimen voucher nomor koleksi SR-040 telah disimpan di Herbarium Bogoriense, Indonesia Institute of
Science, Bogor, Indonesia.
Ekstraksi dan isolasi
Kulit batang yang telah dikeringkan dan digiling 850 g diekstraksi menggunakan MeOH 3x3 L pada
suhu kamar, masing-masing 2 hari. Setelah penyaringan dan penguapan pelarut di bawah tekanan yang dikurangi,
gabungan ekstak metanol kasar disuspensikan dalam H
2
700 mL, kemudian dipartisi, secara bergiliran, dengan petroleum eter 3x500 mL, CHCl
3
3x500 mL, dan EtOAc 3x500 mL, untuk menghasilkan ekstrak kering
petroleum eter 5,2 g, CHCl
3
20,0 g, EtOAc 1,5 g, dan larut-H
2
0 kira-kira 14,6 g. Ekstrak larut-CHCl
3
ditemukan aktif dalam sel Lu1 dengan nilai ED
50
0,29 µgmL. Ekstrak ini kemudian dikromatografi kolom
dengan Si gel 7x40 cm, 460 g 230-400 mesh, dan di elusi dengan CHCl
3-
MeOH bergradien 50:1 sampai 2:1, menghasilkan tujuh fraksi F01-F07. Fraksi-fraksi ini di
evaluasi kembali dalam sel Lu1 dan nilai ED
50
µgmL berturut-turut 1,6, 0,19, 1,4, 1,7, 16,4, 20 dan 20.
Fraksi F01 dan F02 digabungkan dan dikromato- grafi pada kolom Si gel 5,5x40 cm dan dielusi dengan
petroleum eter-aseton 12:1 sampai 1:1, untuk menghasilkan 7 subfraksi F0101-F0107. Fraksi F0102
dimurnikan dengan kolom kromatografi Si gel 4,0x40 cm menggunakan CHCl
3
-aseton 60:1 sampai 10:1
80
Desi Harneti P.H.
sebagai pelarut, untuk menghasilkan campuran β-
sitosterol dan stigmasterol 250 mg, dan campuran cabraleadiol dan epiokotillol 125 mg, berdasarkan
kepolarannya. Integrasi
1
H NMR menduga bahwa rasio β-sitosterol dan stigmasterol sekitar 3:2, sedangkan rasio
cabraleadiol dan epiokotillol sekitar 1:1. Dua campuran bahan alam ini tidak dapat dipisahkan oleh HPLC dan
tidak diteliti lebih lanjut. Senyawa 5 520 mg didapatkan sebagai bubuk amorf putih dari larutan CHCl
3
-aseton kira-kira 12:1 dari F0103. Subfraksi F0104 di
kromatografi pada kolom Si gel 3,8x45 cm dan dielusi dengan CHCl
3
-aseton 30:1 sampai 10:1, menghasilkan tambahan jumlah senyawa 5 6 mg dan campuran
senyawa 4 5 58 mg. Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLT preparatif Si gel Merck 60Å,
20x20 cm, 500 µm, dikembangkan dengan CHCl
3
- MeOH 40:1, untuk menghasilkan senyawa 5 Rf = 0,62
; 9,0 mg dan epi-isomernya, senyawa 4 Rf = 0,60 ; 15,2 mg. Subfraksi F0105 dimurnikan pada kolom Sephadex
LH-20 3,5x45 cm dan di elusi dengan MeOH untuk memberikan 4 subfraksi selanjutnya F010501-F010504.
Aglaiaglabretol B 2 85 mg, didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc kira-
kira 1:1 dari F010502. Fraksi F010503 dimurnikan pada suatu kolom Si gel 4,0x30 cm dan dielusi dengan
CHCl
3
-MeOH 100:1, untuk menghasilkan aglaiaglabre- tol A 1, 78 mg. Fraksi F010504 di kromatografi pada
kolom Si Gel 4,0x30 cm dan di elusi dengan CHCl
3
- MeOH 80:1 sampai 60:1, menghasilkan suatu
campuran 18 mg dan 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn-
1720-E-en-16-on 20 mg, berdasarkan kepolarannya. Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLTP Si
gel Merck 60Å, 20x20 cm, 1000 µm, dikembangkan
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
81 dengan
CHCl
3
-aseton 5:2,
untuk menghasilkan
senyawa 6 Rf = 0,56 ; 10,0 mg. Dua fraksi aktif lainnya dari kromatografi kolom
awal, F03 dan F04, digabungkan dan di fraksionasi pada suatu kolom Si gel 4,0x40 cm menggunakan petroleum
eter-aseton 8:1 sampai 1:1 sebagai eluat, dan menghasilkan 6 subfraksi F0301-F0306. Fraksi F0302
dimurnikan pada suatu kolom Si gel 4,0x30 cm dan di elusi dengan CHCl
3
-MeOH 100:1, untuk memberikan jumlah tambahan Aglaiaglabretol A 1 13,5 mg dan
skopoletin 15 mg. Fraksi F0304 dimurnikan pada kolom Sephadex LH-20 3,5x45 cm dan di elusi dengan
CHCl
3
-MeOH 1:1, untuk memberikan 5 subfraksi selanjutnya F030401-F030405. Aglaiaglabretol C 3
38 mg didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc kira-kira 1:2 dari F030402.
Kandungan kimia tumbuhan
Aglaia crassinervia
Bagian larut-kloroform dari ekstrak metanol kulit batang
Aglaia crassinervia
Kurz. ex Hiern ditemukan menunjukkan aktivitas sitotoksik melawan beberapa sel
kanker manusia. Belum ada studi fitokimia atau biologis yang telah dilaporkan dari tumbuhan ini sebelumnya.
Fraksionasi yang dipandu
bioassay
dari ekstrak ini menggunakan sel Lu1 kanker paru manusia untuk
memantau hasil fraksionasi dalam isolasi tiga glabretal baru tipe triterpenoid, aglaiaglabretol A
–C 1–3, seperti halnya sembilan senyawa yang telah diketahui. Di antara
isolat-isolat ini, siklopenta[b]benzofuran yang telah diketahui, rokaglaol 6, ditemukan sangat tinggi sitotok-
siknya dan dapat dibandingkan dalam potensinya pada kontrol positif, paklitaksel dan kampotekin.
82
Desi Harneti P.H.
Aglaiaglabretol A 1
Aglaiaglabretol A 1 diperoleh sebagai kristal jarum yang tidak berwarna, titik lelehnya 185-187
C. Rumus molekul C
30
H
48
O
5
diberikan pada Aglaiaglabretol A 1 berdasarkan pada HRESIMS
mz
nya 511,3383.
Gambar 5.2. Struktur Aglaiaglabretol A 1 Su
et al
, 2006.
Spektrum
1
H NMR dari senyawa 1 dalam CDCl
3,
Tabel 1 menunjukkkan karakteristik sinyal untuk enam singlet dari gugus metil tersier CH
3
-19, 26, 27, 28, 29, dan 30, lima metin teroksigenasi dan proton metilen H-
7, H
2
-21, H-23, dan H-24, dan sejumlah proton overlap untuk alifatik metin dan metilen. Dan lagi, dua proton
dari suatu metilen alifatik ditetapkan dengan korelasi
1
H-
1
H COSY dan HMQC diamati dalam suatu daerah relatif
high-field
pada δ
H
0,69 1H, br d, J = 4,3 Hz, H=18a dan 0,48 1H, d, J = 4,6 Hz, H=18b. Konsisten
dengan penentuan rumus molekul, 30 sinyal karbon
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
83 dimunculkan dalam spektrum
13
C NMR dalam CDCl
3,
Tabel 1 dari senyawa 1. Data spektroskopik NMR DEPT135 menunjukkan bahwa
30 karbon dalam molekul senyawa 1 terdiri dari 6 gugus metil, 10 metilen, 7 metin, dan 7 karbon kuarterner, yang
konsisten dengan analisis data spektroskopik
1
H NMR. Semua keterangan yang dijelaskan di atas, digabung
dengan pertimbangan kemotaksonomi genus
Aglaia,
di duga bahwa senyawa 1 adalah suatu triterpen.
Berdasarkan pada pengamatan pergeseran kimia
13
C NMR, jelas terlihat satu keton jenuh
δ
C
218,1, C-3, satu karbon metilen teroksigenasi
δ
C
70,7, C-21, tiga karbon metin teroksigenasi
δ
C
64,8, C-23; 74,0, C-7; 86,6, C- 24, dan satu karbon kuarterner teroksigenasi
δ
C
74,1, C- 25 terdapat dalam molekul senyawa 1. Dalam spektrum
HMBC senyawa ini, korelasi di amati dari kedua sinyal proton CH
3
-28 dan CH
3
-29 ke C-3, C4, dan C-5, dari CH
3
-19 ke C-1, C-5, C-9, dan C-10, dari CH
3
-30 ke C-7, C-8, C-9, dan C-14, dan dari H-7 ke C-5, C-9, dan CH
3
- 30. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa 4
dari 6 gugus metil berada dalam cincin A dan B dari molekul senyawa 1. Sebagian struktur ini mirip dengan
kebanyakan triterpenoid pada umumnya Connolly Hill, 2005.
Pada interpretasi selanjutnya dari spektrum HMBC senyawa 1, korelasi dari khususnya proton
metilen
high-field
pada δ
H
0,69 H-18a dan 0,48 H-18b ke C-8, C-12, C-13, C-14, C-15, dan C-17 di amati.
Korelasi ini, dalam gabungannya dengan pergeseran kimia H-18a, H-18b, dan C-18, dan konstanta kopling
antara H-18a dan H-18b Ferguson
et al
., 1973; Kashiwada
et al
., 1992, menduga keberadaan suatu gugus metilen siklopropil dalam molekul senyawa 1 yang
84
Desi Harneti P.H.
Tabel 5.1. Data Spektroskopik NMR dari Senyawa 1
a
Su
et al
, 2006.
a
TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda
Position Dalam CDCl
3
30075 MHz Dalam piridin-d
5
36090 MHz δ
H
δ
C
δ
H
δ
C
1 1,80-1,92,m; 1,48, m
39,4 t 1,69-1,73, m; 1,37, m
39,8 t 2
2,47, m 33,9 t
2,50, m 34,2 t
3 218,1
s 216,7
s 4
46,7 s 47,0 s
5 2,11, m
45,3 d 2,40-2,46, m
45,7 d 6
1,67, br dd 7,0, 2,1 25,4 t
1,69-1,73, m 27,0 t
7 3,83, br s
74,0 d 3,96, br s
73,6 d 8
37,3 s
b
37,8 s
b
9 1,26-1,35, m
43,0 d 1,50-1,55, m
43,4 d 10
36,6 s 36,9 s
11 1,26-1,35, m
17,2 t 1,30, m; 1,14, m
17,7 t 12
1,80-1,92, m 28,14
t
c
2,17, m; 1,69-1,73, m 28,8 t
c
13 28,5 s
28,4 s 14
38,5 s
b
39,0 s
b
15 1,80-1,92, m; 1,53, m
26,1 t 1,80-1,91, m; 1,69-
1,73, m 26,4 t
16 2,05, m; 0,90, m
28,08 t
c
1,80-1,91, m; 0,86, m 28,7 t
c
17 2,22, br q 7,8
45,8 d 2,40-2,46, m
46,5 d 18
0,69, br d 4,3; 0,48, d 4,6
14,3 t 0,98, d 5,2; 0,59, d
5,3 15,4 t
19 0,95, s
16,0 q 0,90, s
16,0 q 20
1,55, m 40,4 d
1,50-1,55, m 41,1 d
21 4,09, br d 10,6
4,29, br d 11,6 3,42, br d 10,6
70,7 t 3,56, dd 11,5, 2,4
71,2 t 22
2,00, m; 1,52, m 36,4 t
2,26, m;1,80-1,91, m 37,5 t
23 3,83, m
64,8 d 4,34, m
65,2 d 24
2,90, d 9,1 86,6 d
3,37, d 9,2 87,8 s
25 74,1 s
73,5, s 26
1,31, s 28,5 q
1,66, s 24,9 q
27 1,29, s
24,0 q 1,65, s
29,2 q 28
1,03, s 20,9 q
1,08, s 21,2 q
29 1,09, s
26,7 q 1,18, s
26,8 q 30
1,09, s 19,9 q
1,02, s 20,3 q
OH-7 2,57, br s
4,67, br s OH-23
3,66, br s 6,34, br s
OH-25 3,05, br s
6,53, br s
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
85
kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra
1
H-
1
H COSY, HMQC, dan HMBC.
b,c
Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
berlokasi antara C-13 dan C-14. Oleh karena itu, senyawa 1 ditetapkan sebagai suatu triterpen tipe
glabretal Ferguson
et al
., 1973. Pada umumnya, triterpenoid yang memiliki suatu gugus metilen
siklopropil yang di isolasi dari spesies
Aglaia
adalah tipe sikloartan Inada
et a
l., 1997; Weber
et a
l., 2000, di mana gugus metilen siklopropilnya antara C-9 dan C-10.
Keberadaan suatu cincin tetrahidropiran pada rantai samping ditentukan berdasarkan interpretasi yang di
amati dari korelasi spektra
1
H-
1
H COSY, HMQC, dan HMBC senyawa 1.
Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, beberapa sinyal tumpang tindih di senyawa 1 dalam CDCl
3
dipisahkan menggunakan piridin-
d
5
. Contohnya, sinyal CH
3
-29 dan CH
3
-30 senyawa 1 tumpang tindih pada δ
H
1,09 dalam spektrum
1
H NMR yang dicatat di CDCl
3
saat dua resonansi ini jelas dipisahkan pada
δ
H
1,18 dan 1,02 dalam piridin-
d
5
. Pada interpretasi spektra NOESY senyawa 1 yang diperoleh baik dalam CDCl
3
dan piridin-
d
5
, korelasi diamati dari H-5 ke H-9 dan CH
3
-29, dari H- 7 ke CH
3
-30, dan dari H-9 ke H-18a. Hal ini diduga bahwa H-5, H-9, dan gugus metilen siklopropil berada di
sisi yang sama dari molekul senyawa 1. Konfigurasi relatif H-20, H-23, dan H-24 dari cincin tetrahidropiran
dalam rantai samping ditentukan sebagai α, β, dan α, berturut-turut, berdasarkan pengamatan korelasi NOESY
baik dari H-20 dan H-24 ke H- 21α, dan dari H-23 ke
CH
3
-26 dan CH
3
-27. Bagaimanapun, stereokimia relatif cincin tetra hi-
dropiran dari rantai samping dan kerangka cincin senya -
86
Desi Harneti P.H.
Gambar 5.3. Penggambaran ORTEP dari Aglaiaglabretol A 1 Su
et al
, 2006.
wa 1 sulit untuk dilihat, sejak ikatan C-17C-20 memiliki rotasi bebas. Maka, analisis difraksi sinar-X kristal
tunggal Gambar 5.3 dilakukan untuk menegaskan struktur dan untuk menetapkan stereokimia relatif
keseluruhan molekul senyawa 1. Parameter Flack dari - 0,03 19 ditentukan untuk struktur sinar-X ini dan
membolehkan penetapan stereokimia absolut dari Aglaiaglabretol A 1 Gambar 5.3. Penetapan ini
konsisten dengan penentuan 23
R
dengan analisis data spektoskopik
1
H NMR dari 1R dan 1S Tabel 2 yang didapatkan menggunakan metode ester Mosher yang
sesuai Su
et al
., 2002.
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
87 Tabel 5.2. Data spektoskopik
1
H NMR pilihan dari turunan ester
R
- dan
S
- MTPA 1r dan 1s dari senyawa 1
a
Su
et al
, 2006.
Posisi δ
R
δ
S
δ
S-
δ
R
7 3,945, br s
3,946, br s +0,001
18 0,932
b
0,975, d 5,4 +0,043
0,539, d 5,3 0,602, d 5,4
+0,063 20
1,836, m 1,875, m
+0,036 21
4,112, dd 11,0, 6,2 4,155, dd 11,1, 5,3
+0,033 3,788, dd 11,1, 5,0
3,786, dd 11,0, 4,3 -0,002
22 2,213, m
2,292, m +0,079
1,844, m 1,880, m
+0,036 23
5,965, m 5,906, m
-0,059 24
3,628, d 5,4 3,537, d 6,2
-0,091
a
Spektra diperoleh dalam piridin-
d
5
pada 360 MHz dari reaksi tabung NMR secara langsung; pergeseran kimia ditunjukkan
dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda kurung. Penetapan
berdasarkan pada pengamatan korelasi
1
H-
1
H COSY.
b
Tumpang tindih dengan sinyal CH
3
-30.
Aglaiaglabretol B 2
Aglaiaglabretol B 2 didapatkan sebagai bubuk amorf putih, titik leleh 132-135
C, menunjukkan puncak ion molekul tersodiasi pada
mz
593,3802 dalam HRESIMS, menunjukkan rumus molekul C
35
H
54
O
6
.
Gambar 5.4 Struktur Aglaiaglabretol B 2 Su
et al
, 2006.
88
Desi Harneti P.H.
Kedua data
1
H dan
13
C NMR Tabel 5.3 senyawa 2 sangat mirip dengan senyawa 1, dan diduga bahwa
senyawa 2 adalah triterpen glabretal juga Ferguson
et al
., 1973. Ketika dibandingkan dengan senyawa 1, spektra
1
H dan
13
C NMR senyawa 2 menunjukkan tipikal sinyal untuk suatu substituen tigloiloksi pada
δ
H
6,83 1H, dq, J=7,1, 1,3 Hz, H-
3’, 1,83 3H, br s, H-5’, dan 1,78 3H, d, J=7,1 Hz, H-
4’, dan δ
C
167,79 s, C- 1’,
136,48 d, C- 3’, 129,27 s, C-2’, 14,31 q, C-4’, dan
12,09 q, C- 5’ Ferguson
et al
., 1973; El Sayed
et al
., 1995.
Dalam spektrum HMBC senyawa 2, kedua sinyal proton CH
3
-28 dan CH
3
-29 dikorelasikan dengan sinyal karbon pada
δ
C
80,71 d, C-3, menunjukkan keberadaan suatu metin teroksigenasi pada C-3 dalam molekul
senyawa 2 sebagai pengganti gugus keton pada posisi yang sama di senyawa 1. Pada interpretasi selanjutnya
dari spektrum HMBC senyawa 2, suatu korelasi dari H-3 ke karbon karbonil dari gugus tigloiloksi pada
δ
C
167,79 s, C-
1’ di amati. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa gugus tigloiloksi berada pada C-3
dalam senyawa 2. Spektrum
13
C NMR senyawa ini menunjukkan karakteristik sinyal untuk suatu gugus
hemiasetal pada δ
C
98,25 d, C-21 dan suatu gugus epoksi trisubstitusi pada
δ
C
67,66 d, C-24 dan 58,05 s, C-25. Berdasarkan pada interpretasi dari korelasi yang
diamati dalam spektra
1
H-
1
H COSY, HMQC, dan HMBC, rantai samping senyawa 2 ditetapkan memiliki
cincin tetrahidrofuran yang mengandung suatu gugus hemiasetal pada C-21. Dengan cara yang sama seperti
untuk analog yang dilaporkan sebelumnya Ferguson
et al
., 1973; Arruda
et al
., 1994; Mulholland
et al
., 1996, aglaiaglabretol B 2 diisolasi sebagai suatu campuran
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
89 epimer. Rasio epimer mayor dan minor sekitar 5:2. Data
NMR untuk kedua epimer ditunjukkan dalam Tabel 3. Tabel 5.3. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 2
a
Su
et al
, 2006.
Posisi Isomer mayor
Isomer minor δ
H
δ
C
δ
H
δ
C
1 1,53-1,75, m; 1,03-
1,09, m 38,27 t
1,53-1,75, m; 1,03-1,09, m
38,17 t 2
1,69-1,75, m; 1,53- 1,67, m
23,51 t 1,69-1,75, m; 1,53-1,67,
m 23,51 t
3 4,56, dd 11,4, 4,5
80,71 d 4,56, dd 11,4, 4,5
80,66 d 4
37,58 s
b
37,58 s
b
5 1,53-1,67, m
46,09 d 1,53-1,67, m
46,16 d 6
1,69-1,75, m; 1,53- 1,67, m
24,20 t 1,69-1,75, m; 1,53-1,67,
m 24,20 t
7 3,76, br s
74,39 d 3,76, br s
74,25 d 8
38,86 s 38,91 s
9 1,21-1,36, m
44,17 d 1,21-1,36, m
43,99 d 10
37,18 s
b
37,25 s
b
11 1,21-1,36, m
16,37 t 1,21-1,36, m
16,22 t 12
1,53-2,15, m 27,51 t
c
1,53-2,15, m 25,94 t
c
13 28,99 s
28,58 s 14
36,88 s 36,01 s
15 1,53-2,15, m
25,29 t
c
1,53-2,15, m 25,29 t
c
16 1,53-1,75, m; 0,84-
0,91, m 26,34 t
c
1,41, m; 0,94, m 25,98 t
c
17 2,21, br q 7,6
44,83 d 2,05, m
48,22 d 18
0,67, br d 4,0; 0,48, d 4,2
13,77 t 0,75, br d 4,2; 0,50, d
4,4 13,59 t
19 0,91, s
15,97 q 0,90, s
15,85 q 20
1,85-1,91, m 49,35 d
2,08-2,18, m 50,66 d
21 5,43, m
98,25 d 5,43, m
102,16 d
22 1,90-2,01, m; 1,66-
1,74, m 30,83 t
2,03-2,11, m;1,38-1,42, m
32,82 t 23
3,88, ddd 7,4, 7,4, 7,2
78,43 d 3,95, m
77,34 d 24
2,84, d 7,5 67,66 d
2,70, d 7,6 65,35 d
25 58,05 s
57,25, s 26
1,30, s 25,03 q
1,35, s 24,94 q
27 1,31, s
19,21 q 1,31, s
19,42 q 28
0,90, s 16,88 q
0,90, s 16,88 q
29 0,88, s
27,82 q 0,88, s
27,82 q 30
1,04, s 19,53 q
1,03, s 19,47 q
OH-7 2,52, br s
2,46, br s
90
Desi Harneti P.H.
a
Spektra
1
H dan
13
C diperoleh dalam CDCl
3
pada 500 dan 125 MHz, berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran
kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra
1
H-
1
H COSY, HMQC, dan HMBC.
b,c
Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
Jika perbedaan antara epimer mayor dan minor yang dihasilkan dari konfigurasi gugus hidroksil
hemiasetal, konstanta kopling dari H-2 0αH-21α dan H-
20αH-21β harus secara umum berubah, saat pola pemisahan H-23 dari dua epimer mirip. Bagaimanapun,
sinyal H-21 dari dua epimer tumpang tindih pada δ
H
5,43 dalam spektrum
1
H NMR senyawa 2, sejak dua proton hemiasetal ini hampir seluruh pergeseran kimianya sama
dalam CDCl
3
. Oleh karena itu, beberapa perbedaan dalam konstanta kopling H-
20αH-21α dan H-20αH-21β dari dua epimer ini tidak jelas. Dengan kata lain, baik
pergeseran kimia dan pola pemisahan dari H-23 dalam epimer ini secara jelas berbeda Tabel 5.3.
Berdasarkan pengamatan spektroskopik ini, ada juga kemungkinan gagasan bahwa konfigurasi relatif dari
C-23 dapat dibedakan dalam epimer ini, walaupun kemungkinan besar pada karbon hemiasetal dari titik
kestabilan kimia. Oleh karena itu, aglaiaglabretol B 2 di asetilasi menggunakan asetat anhidrid dan piridin.
OH- 21
3,06, br s 3,02, br s
1’ 167,79 s
167,79 s
2’ 129,27 s
129,27 s
3’ 6,83, dq 7,1, 1,3
136,48 d
6,83, dq 7,1, 1,7 136,48
d 4’
1,78, d 7,1 14,31 q
1,78, d 7,1 14,31 q
5’ 1,83, br s
12,09 q 1,83, s
12,09 q
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
91
Gambar 5.5. 7,21-diasetat 2b dan 2d, 21-monoasetat 2a dan 2c, dan 7,21-dehidroaglaiagla-bretol
B 2e Su
et al
, 2006. Empat produk asetilasi, dua 7,21-diasetat 2b dan
2d dan dua 21-monoasetat 2a dan 2c, dihasilkan. Konstanta kopling antara H-20 dan H-21 dalam semua
produk asetilasi 2a-2d sangat dekat, antara 2,7-3,2 Hz. Hasil ini masih belum menunjukkan apakah bagian
epimerik dalam Aglaiaglabretol B 2 pada C-21 atau C-
92
Desi Harneti P.H.
23. Sebab itu, Aglaiaglabretol B 2 di oksidasi menggunakan CrO
3
, membawa hanya pada satu produk oksidasi, 7,21-dehidroaglaiaglabretol B 2e, yang
menetapkan bahwa epimer dalam Aglaiaglabretol B 2 ada pada C-21. Berdasarkan hasil transformasi kimia
yang dijelaskan di atas, seperti halnya pola pemisahan dan konstanta kopling H-21 dan H-23 dari senyawa 2
Tabel 3 dan 2a-2d, dapat disimpulkan bahwa cincin tetrahidrofuran memiliki perbedaan konformasi ketika
OH-21 atau AcO-
21 adalah orientaasi α- atau β- Gambar 3.6
Gambar 5.6. Kemungkinan konformasi dari cincin tetrahidrofuran dalam aglaiaglabretol B 2
ketika H-20 dan H-21 adalah trans A dan cis B, berturut-turut Su
et al
, 2006. Dengan
cara yang
sama seperti
untuk aglaiaglabretol A 1, H-17 dan H-20 dari semua triterpen
glabretal yang dilaporkan sebelumnya Ferguson
et al
., 1973; Kashiwada
et al
., 1992; Miller
et al
., 1995; Harding
et al
., 2001 telah diteta pkan sebagai β dan α,
berturut-turut. Informasi
ini, digabung
dengan pengamatan korelasi NOESY dari H-20 ke H-23,
ditentukan bahwa baik H-20 dan H-23 dari senyawa 2 adalah orientasi α. Atas dasar biogenesis, stereokimia
relatif dari C-24 senyawa 2 ditetapkan sebagai
R
, yang
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
93 sama seperti pada senyawa 1. Pergeseran kimia karbon
hemiasetal C-21 dari triterpen glabretal ada dalam daerah lebih
up-field
ketika gugus OH-21 atau AcO-21 memiliki orientasi β Harding
et al
., 2001. Proton H-21 dari 2a dan 2b, dan d
ari 2c dan 2d, ditentukan sebagai α dan β, berturut-turut, berdasarkan perbandingan
pergeseran kimia C-21 dari produk asetilasi ini. Harding
et al
., 2001.
Aglaiaglabretol C 3
Gambar 5.7. Struktur Aglaiaglabretol C 3 Su
et al
, 2006.
Kedua data
1
H dan
13
C NMR dari aglaiaglabretol C 3 tabel 4 sangat mirip dengan senyawa 2. Korelasi
yang diamati dalam spektra 2D NMR
1
H-
1
H COSY, HMQC, HMBC, dan NOESY juga menduga keberadaan
suatu gugus β-tigloiloksi pada C-3 dan suatu gugus α- hidroksi pada C-7 dalam molekul senyawa 3, sama
seperti pada senyawa 2. Pergeseran kimia dari C-24 δ
C
67,66 dan C-25 δ
C
58,05 dari senyawa 2 diamati dalam daerah
downfield
δ
C
74,80 dan 73,74 dalam spektrum
13
C NMR senyawa 3. Hal ini menunjukkan bahwa suatu gugus fungsional 24,25-dihidroksi dalam 3 telah
menggantikan gugus 24,25-epoksi dalam senyawa 2. HRESIMS
mz
611,3903 digunakan
untuk menunjukkan rumus molekul senyawa 3 sebagai
94
Desi Harneti P.H.
C
35
H
56
O
7
, satu unit H
2
O lebih banyak daripada senyawa 2. Aglaiaglabretol C 3 juga diisolasi sebagai suatu
campuran epimer, dan rasio isomer mayor dan minor sekitar 5:1. Hanya data
1
H dan
13
C NMR dari epimer mayor yang ditunjukkan dalam Tabel 5.4. karena korelasi
2D NMR yang diamati untuk isomer tidak cukup jelas untuk melengkapi penentuan yang akan di buat. Dalam
cara yang sama seperti penentuan senyawa 2 yang dijelaskan di atas, stereokimia relatif dari C-20, C-23,
sdan C-24 dari senyawa 3 ditetapkan sebagai
S
,
R
, dan
S
, berturut-turut.
Tabel 5.4. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 3
a
Su
et al
, 2006.
Posisi Senyawa 3 36090 MHz
δ
H
δ
C
1 1,51-1,74, m; 1,02-1,06, m
38,25 t 2
1,51-1,74, m 23,45 t
3 4,49-4,58, m
80,72 d 4
37,53 s
b
5 1,51-1,74, m
46,03 d 6
1,51-1,74, m 24,12 t
7 3,77, br s
74,35 d 8
38,84 s
b
9 1,21-1,32, m
44,07 d 10
36,92 s
b
11 1,21-1,32, m
16,30 t 12
1,86-2,00, m; 1,51-1,74, m 26,25 t
b
13 28,84 s
14 37,11 s
b
15 1,51-1,74, m; 1,21-1,32, m
25,67 t
b
16 1,21-1,32, m; 0,84-0,91, m
27,46 t 17
2,19, m 44,91 d
18 0,67, br d 3,9; 0,47, d 4,5
13,73 t 19
0,90, s 15,97 q
20 1,86-2,00, m
48,61 d
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
95
21 5,36, br s
97,29 d 22
1,86-2,00, m; 1,81, m 29,44 t
23 4,49-4,58, m
78,75 d 24
3,14, d 7,6 74,80 d
25 73,74 s
26 1,26, s
26,72 q 27
1,30, s 26,78 q
28 0,90, s
16,86 q 29
0,88, s 27,80 q
30 1,03, s
19,51 q OH-7
2,55, br s
b
OH-21 5,08, br s
b
1’ 167,88 s
2’ 129,16 s
3’ 6,83, dq 7,1, 1,2
136,66 d 4’
1,79, d 7,1 14,36 q
5’ 1,83, s
12,09 q
a
Spektra
1
H dan
13
C diperoleh dalam CDCl
3
pada 360 dan 90 MHz, berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran
kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra
1
H-
1
H COSY, HMQC, dan HMBC.
b
Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama.
Senyawa yang telah di ketahui yang di isolasi dari kulit batang Aglaia crassinervia
Gambar 5.8. Struktur 3-epicabraleahidroksilakton 4 dan cabraleahidroksilakton 5 Su
et al
, 2006.
96
Desi Harneti P.H.
Senyawa 4 dan 5 menunjukkan spektra
1
H dan
13
C NMR yang mirip, dan memiliki rumus molekul yang sama, C
27
H
44
O
3
, yang dibentuk untuk kedua senyawa tersebut berdasarkan data HREIMS-nya. Perbedaan
pergeseran kimia NMR di antara dua senyawa ini jelas terlihat pada proton dan karbon dari cincin A, terutama
pola pemisahan pada H-3. Interpretasi pengamatan korelasi NMR 2D menunjukkan bahwa senyawa 4 dan 5
mempunyai struktur kasar yang sama sebagai tipe dammaran nortriterpenoid tertentu. Sinyal H-3 diamati
sebagai dobel doblet pada
δ
H
3,20 J=10,9, 5,2 Hz dan suatu singlet lebar
pada δ
H
3,39 dalam spektra
1
H NMR dari senyawa 4 dan 5, berturut-turut. Hal ini diduga
bahwa senyawa 4 dan 5 adalah epimer pada C-3, yang telah ditegaskan oleh korelasi spektroskopik NOESY-
nya. Senyawa 4, 3-epi-cabraleahidroksilakton, dilaporkan baru-baru ini sebagai suatu bahan alam baru dari minyak
benih Camellia japonica, rupanya setelah hidrolisis dari asetatnya yang dimurnikan dari fraksi terasetilasi
Akihisa
et al
., 2004. Senyawa 5, cabraleahidroksilak - ton, di isolasi sebagai satu dari komponen utama dalam
penelitian ini. Senyawa ini telah dilaporkan sebelumnya dari
Cabralea polytricha
Cascon Brown, 1972.
Gambar 5.9. Rokaglaol 6 Su
et al
, 2006.
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
97 Senyawa lain yang telah diketahui yang
didapatkan dalam penelitian ini adalah rokaglaol 6 Ishibashi
et al
., 1993, cabraleadiol Hisham
et al
., 1996,
2β,3β-dihidroksi-5α-pregn-1720-E-en-16-on Inada
et al
., 1997, epiokotillol Mohamad
et al
., 1999, skopoletin Lee
et al
., 2001, dan campuran β-sitosterol
Kojima
et al
., 1990 dan stigmasterol Kojima
et al
., 1990, diidentifikasi dengan membandingkan data fisik
dan spektroskopik [α]
D
,
1
H NMR,
13
C NMR, DEPT, NMR 2D, dan MS dengan harga yang telah
dipublikasikan.
Evaluasi Aktivitas Biologis
Semua isolat dan hasil transformasi kimia yang didapatkan dalam penelitian ini dievaluasi aktivitas
sitotoksiknya terhadap beberapa sel kanker manusia.
Tabel 5.5. Aktivitas sitotoksik dari senyawa 2, 2c, 2d, 3 dan 6
a
Su
et al
, 2006.
Senyawa Sel kanker
b
Lu1 LNCaP
MCF-7 HUVEC
2 2,6
0,5 1,7
3,4 2c
6,2 3,8
2,5 8,7
2d 13,9
9,0 12,1
16,3 3
3,6 4,7
3,1 6,8
6 0,006
0,01 0,004
3,3 Paklitaksel
c
0,002 0,004
0,0006 0,09
Kampotekin
c
0,01 0,01
0,01 0,09
a
Semua isolat lain dan produk transformasi kimia yang didapatkan dalam penelitian ini tidak aktif ED
50
5 µgmL.
98
Desi Harneti P.H.
b
Hasil ditunjukkan sebagai harga ED
50
µgmL. Kunci untuk sel kanker yang digunakan : Lu1, kanker paru-paru manusia; LNCaP,
kanker prostat manusia bergantung hormon; MCF-7, kanker payudara manusia; HUVEC, sel endothelial pembuluh darah pusat
manusia.
c
Digunakan sebagai kontrol positif.
Di antara 12 isolat ini, dua triterpen glabretal baru, aglaiaglabretol B 2 dan C 3, dan turunan
rokaglate yang telah diketahui, rokaglaol 6, ditemukan aktif, sedangkan semua senyawa lainnya tidak aktif
ED
50
5µgmL. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 5, rokaglaol 6 menunjukkan potensi sitotoksik. Harga
ED
50
dari rokaglaol 6, melawan sel kanker manusia yang
digunakan Lu1,
LNCaP, dan
MCF-7 dibandingkan terhadap kontrol positif, paklitaksel
Taxol
®
dan kampotekin. Lebih lanjut, rokaglaol 6 ditemukan secara selektif 330 aktif melawan ketiga sel
kanker, saat dibandingkan dengan sel HUVEC non-tumor tabel 5. Kuantitas terbatas dari senyawa 6 yang di
isolasi tidak memungkinkan uji biologis tambahan untuk dilakukan sebagai bagian dari penelitian ini.
Seperti dijelaskan di atas dalam penggambaran elusidasi
struktur dan
analisis konfirmasi
dari aglaiaglabretol B 2, dengan maksud untuk menegaskan
struktur dan menganalisis konfirmasi dari cincin tetrahidrofuran, senyawa ini diasetilasi dan dioksidasi.
Menariknya, dua dari empat produk asetilasi yang didapatkan, 2c dan 2d, di mana OAc-
nya orientasi α, ditemukan aktif atau secara garis besar aktif. Secara
berlawanan, dua epimer lainnya, 2a dan 2b, tidak aktif. Produk oksidasi 2e juga tidak aktif melawan sel kanker
yang digunakan.
Aglaiaglabretol B 2 menunjukkan aktivitas penghambatan yang dapat dilihat hanya untuk sel kanker
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
99 payudara manusia MCF-7 di antara tiga tipe sel yang
digunakan kanker paru-paru manusia Lu1; kanker prostat manusia bergantung hormon, LNCaP; dan MCF-
7 gambar 3.10. Pada dosis 6,25, 12,5, dan 25 mgkg berat badan, aglaiaglabretol B 2 menunjukkan
penghambatan 37,4, 41,2, dan 66,2 , berturut-turut, dalam pertumbuhan sel MCF-7 yang diimplantasikan
dalam kompartemen
intraperitoneal
ip. Bagaimanapun, pada dosis 50 mgkg berat badan, dua tikus mati dalam
kaitannya dengan toksisitas senyawa ini. Berlawanan dengan itu, tidak ada efek penghambatan signifikan yang
diamati dalam kompartemen
subcutaneous
sc dari tikus menggunakan sel MCF-7 dengan senyawa 2. Juga pada
dosis ini 6,25, 12,5, 25, dan 50 mgkg berat badan, tidak ada efek penghambatan signifikan yang diamati
baik pada kompartemen ip atau sc dari tikus untuk dua tipe sel lain yang digunakan, Lu1 dan LNCaP.
100
Desi Harneti P.H.
Gambar 5.10. Efek dari aglaiaglabretol B 2 pada pertumbuhan sel LNCaP, Lu1, dan MCF-7
yang diimplantasikan pada kompartemen i.p kolom padat dan s.c kolom terbuka
dari NCr
nunu
tikus. Hewan ini mendapat perlakukan dengan PBS kontrol atau
dosis yang diindikasikan dari aglaiaglabre tol B 2 sehari sekali dengan suntikan
intraperitoneal
dari hari ke-3 sampai 6
Senya wa Sitotoksik dari Kulit
…
101 setelah implantasi. Pada hari ke-7, tikus
dikorbankan, dan
seratnya diambil
kembali dan dianalisis. Hasil ditunjukkan sebagai persentasi rata-rata dari pertumbu-
han sel relatif pada kontrol. Perubahan dalam berat badan tikus pada akhir
eksperimen di catat pada bagian bawah gambar.
Bagian yang
mendapat perlakuan secara signifikan berbeda dari
bagian kontrol
p
0,01; Bagian yang mendapat perlakuan secara signifikan
berbeda dari bagian kontrol
p
0,0001 menggunakan tes t
Student’s , dengan n = 6 untuk bagian kontrol dan n = 3 untuk
bagian yang mendapat perlakuan.
102
Desi Harneti P.H.
103
BAB VI AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA
FLAVAGLIN DARI KULIT BATANG AGLAIA EDULIS TERHADAP LARVA
SPODOPTERA LITTORALIS
Aglaia edulis
BACHER dan kawan-kawan 1999 , meneliti kandungan senyawa insektisal dari spesies
Aglaia edulis
. Pada bagian ini akan dilaporkan latar belakang, metode
hasil penelitian dari Bacher dan kawan-kawan.
A. edulis
adalah salah satu spesies dari keluarga Meliaceae. Habitat alami dari
Aglaia edulis
tersebar dan jumlahnya hanya sedikit.
Ditemukan di hutan hijau primer sepanjang pesisir pantai pada batu pasir atau tanah liat berpasir,
tanaman ini juga dapat ditemukan di hutan sekunder India bagian barat, Bhutan, Cina bagian selatan, Hainan,
Vietnam, Kamboja, jazirah Burma Myanmar, jazirah Thailand, Pulau Nikobar, jazirah Malaysia, Sumatra,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Halmahera dan Filipina.
Aglaia edulis
memiliki nama umum sebagai berikut :
- Filipina : curran kaniue Tagalog - Indonesia : langsatan Jawa
- Thailand : kholaen prachuap khiri khan
104
Desi Harneti P.H
. Pada umumnya pohon ini berukuran kecil hingga
sedang, dengan tinggi mencapai 20 m, tinggi penopang sampai 1.5 m, permukaan batang berwarna cokelat
kemerahan, cokelat kekuningan atau hijau keabuan, jika mengelupas akan terlihat warna cokelat jingga di dalam
batangnya, batang bagian dalam berwarna merah muda atau cokelat. Lembaran daun berjumlah 5-9-11, tumbuh
berseling, dengan tulang daun sekunder berjumlah 5-16 pasang, pada umumnya memiliki banyak lubang pada
kedua bagian permukaannya. Jumlah mahkota bunga 5, daun bunga 5-7, dan kepala putik 5.
Biji dari
Aglaia edulis
aman untuk dimakan. Lapisan tertentu dari kayu dapat dijadikan obat untuk
diare. Kayu dari tanaman ini biasa dimanfaatkan untuk pembuatan perahu, pembangunan jembatan dan rumah,
tetapi jumlahnya terbatas.
Taksonomi Aglaia edulis
Menurut Pannel 1992 taksonomi dari tanaman
Aglaia edulis
adalah sebagai berikut : Kerajaan
: Plantae Divisi
: Magnoliophyta Kelas
: Magnoliopsida Orde
: Sapindales Keluarga
: Meliaceae Genus
:
Aglaia
Spesies :
Aglaia edulis Kandungan Kimia dari Aglaia edulis
Genus
Aglaia
secara fitokimia merupakan penghasil senyawa dengan kerangka yang unik yaitu
kerangka siklopentatetrahidrobenzofuran. Salah satunya kelompok senyawa rokaglamida. Rokaglamida dan
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
105 turunannya memiliki sifat insektisidal alami yang sangat
kuat Nugroho
et al
., 1998. Kandungan utama metabolit sekunder dari
Aglaia edulis
adalah kelompok senyawa benzo[
b
]oxepines, siklopenta[
b
]benzofuran, siklopenta[
bc
]benzopiran, dan golongan bisamida Kim
et al
., 2005 ; Bacher
et al
., 1999; Saifah
et al
., 1999. Dari bagian daun
A. edulis
telah diisolasi tiga senyawa
kelompok bisamida,
yaitu aglaiduline,
aglaithioduline dan aglaidithioduline. Struktur dari ketiga senyawa-senyawa tersebut adalah sebagai berikut :
Gambar 6.1 Aglaiduline
Gambar 6.2 Aglaithioduline
Gambar 6.3 Aglaidithioduline
106
Desi Harneti P.H
. Ketiga senyawa di atas menunjukkan hasil negatif untuk
aktivitas antiviral terhadap virus herpes simpleks Saifah
et al
., 1999. Dari batang
Aglaia edulis
Kim
et al
2005 berhasil mengisolasi dua senyawa turunan benzo[b] -
oxepines, Edulisone A dan B.
Gambar 6.4 Edulisone A 1 Edulisone B 2
Aktivitas sitotoksik dari kedua senyawa di atas diujikan terhadap sel kanker manusia, tetapi keduanya tidak
menunjukkan aktivitas yang berarti.
Selain senyawa di atas, ada beberapa senyawa golongan alkaloid yang berhasil diisolasi dari tanaman
Aglaia edulis
:
Gambar 6.5 Edulimida
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
107
Gambar 6.6 1,4-Butanediamine, 9CI;
N,NBisphenylacetyl
Spodoptera littoralis
Spodoptera littoralis
adalah suatu hama yang tersebar secara luas di Asia dan Pasifik. Penyebaran
hama ini dikendalikan dengan baik secara biologis, tetapi kadang penyebaran terjadi akibat adanya angin puyuh
atau tersebar dari dalam area terisolasi yang baru saja dibersihkan. Akibatnya
Spodoptera littoralis
mempunyai suatu cakupan tuan rumah yang luas
.
Ngengat atau ulat daun oriental
Spodoptera littoralis
adalah salah satu spesies dari keluarga Noctuidae yang merupakan hama bagi tanaman
pertanian.
Spodoptera littoralis
ini juga dikenal sebagai klaster ulat bulu, ulat daun kapas, ulat pemotong
tembakau, dan ulat tentara tropis. Di Indonesia
Spodoptera litura
dikenal dengan sebutan Ulat Grayak.
Morfologi Bioekologi Spodoptera littoralis
Telur
Spodoptera littoralis
berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun kadang
108
Desi Harneti P.H
. tersusun 2 lapis, warna cokelat kekuning-kuningan,
berkelompok masing-masing berisi 25 – 500 butir yang
bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman lainnya, tertutup bulu seperti beludru.
Gambar 6.7 Telur
Spodoptera littoralis
Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung bulan sabit warna hitam pada
segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru
menetas berwarna hijau muda, bagian sisi cokelat tua atau hitam kecokelatan dan hidup berkelompok.
Larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Ulat menyerang tanaman pada
malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam tanah tempat yang lembab. Biasanya ulat berpindah ke
tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah,
perbedaannya hanya pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap
memanjang. Umur 2 minggu panjang ulat sekitar 5 cm.
Pupa, ulat
berkepompong dalam
tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa kokon berwana
cokelat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm.
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
109
a b
c Gambar 6.8 a larva instar 12, b larva instar 3, c
larva instar terakhir
Gambar 6.9 Pupa
Spodoptera littoralis
Ngengat dengan sayap bagian depan berwarna cokelat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna
keputihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh 5 kilometer.
Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari lama
stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar :
20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari. Seekor ngengat betina
dapat meletakkan telur 2.000 – 3.000 telur.
110
Desi Harneti P.H
.
Gambar 6.10 Ngengat
Spodoptera littoralis
Taksonomi Spodoptera littoralis
Taksonomi
Spodoptera litura
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthtropoda
Kelas : Insekta
Orde : Lepidoptera
Famili : Noctuidae
Genus :
Spodoptera
Spesies :
Spodoptera littoralis Tanaman Inang
Hama ini bersifat polifag, selain tomat hama ini juga menyerang kubis, cabai, buncis, bawang merah,
terung, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu, jeruk, pisang, tembakau, kacang-kacangan, tanaman hias,
gulma
Limnocharis
sp.,
Passiflora foetida, Ageratum
sp.,
Cleome
sp., dan
Trema
sp.
Gejala Serangan
Larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas,
transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Larva instar lanjut merusak tulang daun. Gejala
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
111 serangan pada buah ditandai dengan timbulnya
lubang tidak beraturan pada buah tomat. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun, menyerang
secara serentak berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah
habis dimakan ulat, umumnya terjadi pada musim kemarau.
Pengendalian
a. Kultur teknis - Sanitasi lahan dari gulma,
- Pengolahan tanah yang intensif. b. Pengendalian fisik mekanis
- Pembutitan, mengumpulkan larva atau pupa dan bagian tanaman yang terserang kemudian
memusnahkannya, - Penggunaan perangkap feromonoid seks
untuk ngengat sebanyak 40 buah per hektare atau 2 buah per 500 m
2
dipasang di tengah pertanaman
sejak tanaman berumur
2 minggu.
c. Pengendalian hayati Pemanfaatan musuh alami seperti :
patogen Sl-NPV
Spodoptera litura
–
Nuclear Polyhedrosis
Virus,
cendawan
Cordisep,
nematoda
Steinernema
sp.
,
predator
Sycanus
sp.,
Andrallus spinideus,
Selonepnis geminada,
parasitoid
Apanteles
sp.,
Telenomus spodopterae, Microplistis similis,
dan
Peribeae
sp. d. Pengendalian kimiawi
Dalam hal cara lain tidak dapat menekan populasi hama, digunakan insektisida yang
efektif, terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian.
112
Desi Harneti P.H
. apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman
contoh, intensitas serangan mencapai lebih atau sama dengan 12,5 per tanaman contoh.
Bahan dan Metode
Bahan Tumbuhan
Kulit Batang
Aglaia edulis
diperoleh dari Thailand barat daya, dekat air terjun Khao Lan, Thap
Sakae, Prachuap Khiri Khan. Kode spesimen HG 515, disimpan di herbarium Institut Pertanian Universitas
Vienna WU.
Alat
Peralatan yang
digunakan antara
lain: Spektrometer resonansi magnet inti Bruker, AM 400
WB dan DPX 250. Spektrometer massa Finnigan MAT 900 S. Spektrofotometer Inframerah Perkin-Elmer 16 PC
FT-IR. Spektrofotometer UV Hewlett-Packard, 8452 Diode Array. Rotasi optik Perkin Elmer Polarimeter 241.
HPLC Hewlett-Packard 1090
II
, UV dengan detektor diode array dideteksi pada panjang gelombang 230 nm,
Kolom berukuran 250 x 4mm, Hipersil BDS C-18.5 mm, menggunakan pelarut metanol bergradien 60±100
dalam larutan buffer 0.0015 M o-asam fosphorat, 0.0015 M tetrabutilammonium hidroksida pH 3, dengan laju alir
1mlmenit.
Ekstraksi dan Isolasi
Sebanyak 263 gram kulit batang
Aglaia edulis
yang sudah kering digiling dan diekstraksi dengan pelarut metanol pada suhu ruangan selama 3 hari, kemudian
disaring dan diuapkan. Fraksi kloroform dari larutan diuapkan hingga kering di bawah tekanan berat fraksi
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
113 sebesar 2400mg dan dilanjutkan ke tahap pemisahan
kromatografi kolom Merck silica gel 60,35-70 mesh dengan pelarut heksan, etil asetat dan metanol. Fraksi
tersebut dielusi dengan etil asetat p.a dan kemudian dipisahkan dengan MPLC 30 vv etil asetat dalam
heksan kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck LiChroprep silica 60, 225-40 mm, detector UV, 254 nm
dilanjutkan dengan KLT preparatif Merck silica gel 60, F
254
dengan metanol 4 dalam kloroform, dihasilkan 24 mg aglaroksin- A1, 3 mg Pannelin2, 2 mg
isothapsakin-B 4, 5 mg homothapsakin-A 5, 22 mg thapsakin-A 10-O-asetat 6, 4 mg thapsakon-A 7 dan 9
mg thapsakon-B 8. Pemurnian dilakukan berulang dengan MPLC dengan 50 vv etil asetat dalam
heksan kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck LiChropep silika gel 60, 25-40mm, detektor UV 254 nm
dihasilkan
41 mg
thapoksepin-A 9,
7 mg
homothapoksepin-A 10, 5 mg thapoksepin-B 11 sama seperti thapsakin-B yang murni 3, yang akhirnya
dimurnikan dengan metode KLT preparatif dengan fase gerak CH
2
CL
2
-Et
2
O-MeOH, 70:27:3 hingga menghasil- kan 6 mg senyawa murni.
Uji Hayati Serangga
Larva
S. littoralis
diperoleh dari suatu koloni laboratorium, dan dibesarkan pada suatu medium kacang
berdasarkan diet asupan yang disesuaikan Srivastava Proksch, 1991. Uji hayati dengan pemberian makanan
kepada larva segar n = 20 dimana sampel tersebut dicampurkan ke dalam diet asupan yang disesuaikan
dengan beberapa variasi konsentrasi 0.05 sampai 50 gg fr. wt yang dilarutkan ke dalam pelarut Me
2
CO. Setelah 5 hari cawan lembab, 29
o
C tingkat ketahanan
114
Desi Harneti P.H
. larva dan tingkat pertumbuhan larva diamati dan
dibandingkan dengan suatu kontrol yang hanya berupa pelarut. Rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol yang
diisolasi dari akar
A.odorata
Lour yang diperoleh dari Ko Samet, Thailand bagian tenggara, HG 501, dan
azadirachtin 96 dari Roth Karlsruhe, Jerman digunakan sebagai pembanding. Kemudian dari kurva
respons serangga terhadap dosis tiap percobaan dilaku - kan 3x kita mendapat harga LC
50
dan EC
50
dengan menghitung analisis probit-log.
Hasil dan Pembahasan
Dengan menggunakan metode analisis HPLC UV dengan diode array, dari ekstrak kasar akar
A. Edulis
ditemukan 3 senyawa dalam jumlah besar, dan 8 senyawa minor lainnya, yang diisolasi dengan MPLC preparatif.
Berdasarkan karakterisitik
spektrum UV,
senyawa-senyawa tersebut memiliki 3 tipe yang berbeda, yaitu :
1. Senyawa yang telah diketahui sebelumnya yang memiliki λ
max
298 nm Brader
et al
., 1998 untuk senyawa 2-6.
2. Spektrum yang hampir serupa, dengan sedikit pergeseran ke arah
λ
max
304 nm untuk senyawa 7 dan 8.
3. Spektrum yang berbeda, dengan λ
max
280 nm dan 2 karakteristik bahu pada 335 dan 297 nm untuk
senyawa 9-11.
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
115
Gambar 6.11 Struktur senyawa 1-8 Bacher
et al, 1999
Tabel 6.1 Data
1
H NMR untuk senyawa 3-11 Bacher
et al, 1999
Tabel 6.2 Data
13
C NMR untuk senyawa 3-11 Bacher
et al, 1999
118
Desi Harneti P.H
. Spektrum inframerah untuk senyawa 3-11
ditunjukkan oleh pita tajam pada 3430 hingga 3436 cm
-1
CHCl
3
atau CCl
4
yang mengindikasikan adanya fibrasi N-H pada amida sekunder. Pita yang khas pada 1754
hingga 1760 cm
-1
CHCl
3
atau CCl
4
dan 1216 hingga 1223 cm
-1
CCl
4
pada senyawa mayor 6 dan 9 mengindikasikan adanya gugus ester pada posisi C-10,
sedangkan gugus okso yang berada pada posisi yang sama pada senyawa 7 dan 8, menghasilkan sinyal yang
lemah pada 1746 cm
-1
. Dalam persetujuan dengan hak paten terbaru Ciba-Geigy, 1996, dari data
1
H dan
13
C NMR diketahui bahwa senyawa 1 adalah aglaroksin A
yang merupakan turunan dari siklopenta[
b
]benzofuran, pada cincin A terdapat gugus metoksi dan metilendioksi,
dan dimetil amida sederhana pada posisi 2. Dan dari data
1
H dan
13
C NMR, berdasarkan C,H-COSY, diketahui bahwa senyawa 2 adalah pannelin Brader
et al
., 1998. Senyawa 3-6 menunjukkan adanya hubungan
dekat antara karakteristik
1
H dan
13
C NMR: resonansi khas untuk 6-metoksi-7,8-metilendioksi yang tersubtitusi
pada cincin A, subtitusi
para
- pada cincin B Ar’ dan
fenil pada cincin C Ar”, telah digambarkan pada senyawa pannelin 2, mereka memiliki amida yang
terhubung dari gugus karboksilat dari rangka flavaglin ke turunan putresin 2-aminopirolidin yang terhubung kem-
bali dengan asam 2-metilpropanoat senyawa 3,4 dan 6 atau dengan asam 2-metilbutanoat senyawa 5. Hubu-
ngan selanjutnya adalah dengan bisamida odorin, pem- bentuk piriferin, keduanya mengandung asam sinamat
sebagai pengganti asam jenis flavaglin yang telah beberapa kali ditemukan pada tanaman spesies
Aglaia.
Senyawa 3-6 memiliki rangka siklopenta[
bc
]benzopiran 2,5-metano-1-benzooksepin, hal ini diketahui dari data
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
119
1
H dan
13
C NMR dan juga menggunakan teknik 2 dimensi, terutama NOESY dan HMBC. Flavaglin tipe ini
telah digambarkan untuk senyawa aglain A, B dan C dari
A. Argentea
Blume Dumontet
et al
., 1996.
Bagaimanapun, turunannya memperlihatkan bahwa tidak ada gugus metilendioksi pada cincin A, dan mereka
terhubung dengan
odorine-like
bisamida. Dalam kasus ini struktur bisamida
piriferine-like
jauh lebih besar. Siklopenta[
bc
]benzopiran dan siklopenta[
b
]ben- zofuran memiliki struktur yang berhubungan dekat:
pembentuknya mungkin dikonversi menjadi bentuk selanjutnya dengan pembukaan ikatan 5-5a dan
penutupan 5a-10. Hal tersebut kemungkinan terjadi melalui penataulangan ion karbenium setelah kehilangan
gugus OH
pada posisi 10. Model
dreiding
menunjukkan, bahwa saat penataulangan terjadi, konfigurasi pada C-2
kuartener posisi 4 dalam penomoran siklopenta[
b
]benzo- furan mengalami perubahan dalam kedua struktur. Hal
ini penting, karena konfigurasi absolut dari siklopenta[
b
] benzofuran flavaglin telah diketahui dari sintesis
enansioselektif rokaglamida. Jika sistem siklopenta[
bc
]- benzopiran terhubung dengan topologi dari sistem
siklopenta[
b
]benzofuran, jembatan C-10 antara C-2 dan C-5 dari cincin oksa-siklohepten mengarah ke atas. Seba-
gai konsekuensi, subtituen 2-
p
-metoksifenil dan 5 gu- gus OH
-
harus menghadap ke bawah posisi α. Subtitu- en pada C-3 dan C-4 dengan berbagai macam posisi
α atau
β sekarang bisa berkorelasi dengan konfigurasi absolut dari subtituen ujung depan jembatan. Dalam kata
lain, dari data NMR, konfigurasi relatif dapat diperoleh, konfigurasi absolut yang terlihat dalam formula
struktural diperoleh dari konfigurasi absolut siklopenta- [
b
]benzofuran flavaglin yang telah diketahui.
120
Desi Harneti P.H
. Resonansi
1
H dan
13
C NMR ditentukan dengan korelasi 2 dimensiC,H-COSY, H,H-COSY HMBC, dan
NOESY dan terdata dalam Tabel 3.1 dan 3.2. Konfigu- rasi relatif dari variasi posisi C-3 cincin fenil, C-4
amida, C-10 OH atau OAc, dan diastereomer labil C- 13 antara 2 atom N ditentukan dengan NOESY. Dalam
kasus senyawa nomor 3 campuran A:B = 5:3, signal NOESY 3-
H2’6’-H, 2”6”-H, dan 10-OH mengindikasi- kan posisi 3β untuk proton pada C-3 dan penataulangan
endo dari 10- OH relatif menjadi 3β-H. Signal 4-H2”6”-
H, 13-H, 5-OH, NH untuk senyawa 3A dapat ditukar dengan 4α-H dan konfigurasi 13
S
pada C-13. Orientasi spesial dari rantai samping bisamida dapat digunakan
untuk membedakan konfigurasi 13
S
dan 13
R
dengan signal NOESY: hanya konfigurasi 13
S
yang menggam- barkan
signal 13-H4-H
dan 20,21-H
3
2”6”-H. Komponen inti 3A menunjukkan signal 13-H4-H, 14-H,
15-H, NH dan 20,21-H
3
19- H, NH, 2”6”-H. Untuk
komponen minor 3B tidak ada signal 13-H4-H dan 20,21-H
3
2”6”-H yang teramati. Senyawa 3A dan 3B menjadi campuran epimerik dengan konfigurasi 13
S
3A dan 13
R
3B. Senyawa 4 berbeda dengan senyawa 3 dengan
perubahan konfigurasi dari gugus OH pada jembatan C- 10. Hal ini dapat disimpulkan dari signal 3-H10-H dapat
membuktikan 3β-H dengan hubungan endo untuk 10-H atau ekso- untuk 10-OH. Signal yang kuat dari 4-
H2”6”-H mengindikasikan konfigurasi 13
S
semua pun- cak silang NOESY senyawa 3 dan 4 secara virtual adalah
sama. Tidak berbeda dengan senyawa 3,4 dan 6, senyawa 5 memiliki tipe rantai samping odorin dan
berbeda dari aglain C, hanya dengan adanya kehadiran gugus metilendioksi pada cincin A. Semua data
1
H dan
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
121
13
C NMR dari senyawa 5 serupa dengan aglain C. Signal H-
32’6’-H, 2”6”-H dan H-413-H, 2”6”-H, 10-OH membuktikan bahwa struktur digambarkan dalam
dugaan formula dengan pola substitusi 3α-H dan 4β-H. Konfigurasi 13
S
mengikuti hubungan NOESY 4-H13-H dan ini mengindikasikan signal NOESY 21-H
3
2”6”-H dibandingkan dengan Dumontet
et al
., 1996. Perubahan dari konfigurasi relatif C-3 dan C-4 tercerminkan pada
nilai konstan kopling
J
3,4 sebesar 6.0 Hz pada senyawa 3 dan 5.1 Hz pada senyawa 4 kedua 3β, 4α,
tetapi bernilai 10.0 Hz pada senyawa 5 3α, 4β.Harga konstan kopling
J
3,4 = 9.6 Hz untuk asetat pada senyawa 6 menyiratkan konfigurasi 3α-H dan 4β-H yang
mengikuti signal NOESY yang diharapkan. Ketertarikan khusus ada untuk hubungan NOESY antara gugus 10-
asetat dan C-3 pada cincin fenil tidak tersubstitusi. Signal 10-
asetil2”6”-H dan 2”6”-H3-H, 4-H, 10-asetil, 20-H
3
, 21-H
3
membuktikan adanya posisi endo dari 10- OCOCH
3
dan konfigurasi 13
S
yang memungkinkan pendekatan gugus 20,21-dimetil pada cincin fenil tidak
tersubstitusi proton 4-H dan13-H yang berdekatan menunjukkan hubungan yang diharapkan dari signal 4-
H13-H.
Untuk senyawa 7 dan 8, spektrum
1
H NMR jembatan metin proton C-10 H, OH hilang. Sejak
munculnya resonansi keto pada spektrum 13C NMR, 10-OH telah dioksidasi menjadi karbonil keto. Data
HMBC dan NOESY menunjukkan adanya resonansi dan penentuan konfigurasi rantai samping 13
S.
Bagaimana- pun, konfigurasi relatif dari C-3 dan C-4 tidak dapat
diperoleh dari data ini, karena ketiadaan proton pada jembatan C-10 tidak dapat memperlihatkan korelasi
NOESY dengan or ientasi proton β pada C-3 dan C-4.
122
Desi Harneti P.H
. Masalah ini dapat diselesaikan dengan baik dengan
menggunakan Eufod
3
sebagai reagen penggeser. Meskipun senyawa 7 dan 8 polifungsional, hampir semua
koordinasi terjadi pada gugus fungsi 10-keto. Eter menunjukkan kordinasi konstan yang sangat kecil, begitu
juga dengan amida, dan alkohol tersier yang biasanya menunjukkan sedikit koordinasi untuk reagen penggeser
lantanida dibandingkan dengan keton. Jika diasumsikan bahwa
lanthanida induced shifts
LIS untuk 3-H dan 4- H disebabkan karena koordinasi pada C-10 keto karbonil,
hasil LIS memungkinkan interpretasi secara langsung. Proton 4-H pada senyawa 7 menunjukkan harga LIS
yang lebih besar daripada 3-H 4-H 0.43 ppm, 3-H 0.27 ppm, untuk senyawa 8 didapat hasil yang bertolak-
belakang 4-H 0.34 ppm, 3-H 0.67 ppm, ini hanya dapat
dipertukarkan dengan konfigurasi 3α-H, 4β-H pada senyawa 7 dan konfigurasi 3β-H, 4α-H pada senyawa 8
karena harga LIS yang lebih besar adalah salah satu kemungkinan untuk posisi β menghadap ke arah keto
karbonil yang juga dalam posisi β. Dalam konteks ini, proton 3-H dan 4-H adalah yang paling penting. Melihat
nilai LIS untuk senyawa 8, didapat fakta yang lebih lanjut, untuk beberapa alasan sterik, koordinasi yang
pantas dipertimbangkan mengambil tempat di posisi 15 karbonil amida. Hal ini mengindikasikan bahwa
tingginya nilai LIS untuk 13-H, 19-H, dan untuk kedua gugus metil 20- dan 21-CH
3
dari senyawa 8. Bagaimanapun, ukuran koordinasi independen kedua
sangat jauh dari proton 3-H dan 4-H dan harus mempunyai pengaruh kecil pada harga LIS proton
terhadap kompleksasi utama pada karbonil keto 10.
Data
1
H dan
13
C NMR dari senyawa 9-11 menunjukkan banyak karakteristik senyawa kelompok
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
123 flavaglin 1-8, contohnya: substitusi metilendioksi-
metoksi pada cincin aromatik A, substitusi para-metoksi pada cincin B Ar’, cincin fenil sederhana cincin C
Ar”, dan pasangan metin 3-H, 4-H, berkopling dengan sesamanya.
Gambar 6.12 Struktur senyawa 9-11 Bacher
et al, 1999
Senyawa 9-11 menunjukkan karakteristik sinyal tipe piriferin, di mana senyawa 10 terkarakterisasi adanya
rantai samping analog odorin turunan bisamida. Diban- dingkan dengan keton pada senyawa 7 dan 8, pada
senyawa ini karbonil dari keto hilang, bagaimanapun, tipe resonansi baru untuk gugus
–COOCH
3
muncul pada spektrum
1
H dan
13
C NMR karbonil ester dan gugus es- ter OCH
3
; bandingkan dengan tabel 3.1, 3.2 dan data IR. Hal ini merekomendasikan sebuah struktur yang mung-
kin turunan dari siklopenta[
bc
]benzopiran tipe flavaglin dengan pembukaan oksidatif pada jembatan 2,5-metano.
Dua turunan yang serupa, yaitu forbaglin A dan B, yang
124
Desi Harneti P.H
. telah dilaporkan sebelumnya oleh Dumontet
et al
1996, berbeda hanya pada konfigurasi C-13 berturut-turut
epimer 13
R
dan 13
S
. Dalam kasus ini, senyawa 9 dan 11 diperoleh sebagai campuran epimer, dan epimer 13
S
memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan berdasarkan konfigurasi absolut siklopenta[
b
]benzofuran flavaglin yang telah diketahui, dan konfigurasi relatif yang
diperoleh dari kristalografi sinar-X, konfigurasi absolut pada C-13 ditentukan sebagai 13
R
untuk forbaglin A Dumontet
et al
., 1996. Satu karakteristik dari epimer 13
R
yaitu 19-H
3
dari odorin untuk cincin fenil Ar” tidak tersubstitusi, adalah pendekatan paling baik yang
ditunjukkan pada spektrum NOESY sebagai forbaglin A. Dari kasus komponen minor piriferin diperoleh senyawa
9B dan 11B, efek yang serupa dipelajari untuk 19-H20- H
3
dari rantai samping dan cincin Ar”. Kedudukan 13
S
untuk epimer A dan 13
R
untuk epimer B didukung oleh adanya perbedaan karakteristik
13
C NMR untuk kedua bentuk. Terutama pergeseran C-14 dan C-15 untuk
semua flavaglin oksepin, cocok untuk membedakan konfigurasi 13
S
dan 13
R
; C-14: 33.6-34.4 13 S, 30.8- 31.7 13 R; C-15: 21.2-21.8 13 S, 0, 23.0-23.7 13
R
,semua data dibandingkan dengan tabel 3.2 senyawa 3- 11. Dengan pengecualian dari cincin A dan piriferin
yang didapat dari rantai samping senyawa 9, resonansi
13
C NMR untuk konfigurasi 13 S senyawa 9A, 10 dan forbaglin B secara virtual adalah sama hal ini juga benar
untuk senyawa 9B dan forbaglin A. Konfigurasi relatif pada posisi 3 dan 4 adalah identik untuk senyawa 9, 10,
dan untuk semua forbag lin 3α-H dan 4β-H.
Senyawa 11 13 S13 R AB terbukti berisomer dengan senyawa 9 AB. Hal ini diindikasikan dari berat
molekul yang identik dan spektroskopi massa tanpa ada
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
125 perbedaan yang besar antara senyawa 9 dan 11. Data
13
C NMR senyawa 11 AB dan 9 AB berbeda sedikit tetapi
cukup signifikan. Pada spektrum
1
H NMR terutama pada pergeseran kimia proton 3-H dan 4-H ditunjukkan adanya
perbedaan nilai pergeseran kimia yang menghasilkan kesimpulan bahwa substitusi rantai samping dari gugus
fenil Ar” dan bisamida mungkin berbeda pada senyawa 9 dan 11. Dengan prinsip, bahwa beberapa hubungan
isomerik adalah mungkin pada posisi C-3 dan C-4, epimer dengan mengubah konfigurasi dari substituen,
diastereomer dengan mengubah kedua konfigurasi 3β-H dan 4α-H seperti pada senyawa 3,4 dan 8, atau isomer
konstitusional dengan menukar substituen 3-bisamida, 4- fenil, seperti yang tekah dijelaskan untuk aglaforbesin A
dan B Dumontet
et al
., 1996. Buruknya, tidak ada bukti dari NOESY atau HMBC yang mungkin untuk membuk-
tikan struktur isomerik secara langsung dan dengan cara yang berdiri sendiri. Bagaimanapun dari semua data
NMR senyawa flavaglin, hanya perubahan konfigurasi dari C-3 dan C-
4 yang menghasilkan diastereomer 3β-H dan 4α-H yang dapat dipertukarkan dengan data dari
senyawa 11. Dari semua senyawa flavaglin yang telah diketahui saat ini termasuk siklopenta[
b
]benzofuran, proton benzilik ditemukan pada pergeseran kimia yang
lebih besar daripada proton metin pada atom karbon yang mengandung rantai samping amida.
Dalam kasus senyawa 11 AB proton berada pada
δ 5.305.28. Dalam semua kasus diukur untuk flavaglin tipe benzoksepin
dengan cincin fenil pada posisi 3, proton metin benzilik menunjukkan hubungan NOESY dengan kedua cincin
aromatik B dan C Ar’ dan Ar”. Puncak silang dari NOESY ini tidak mungkin untuk cincin fenil tidak
tersubstitusi pada posisi C-4 bandingkan dengan 4-fenil-
126
Desi Harneti P.H
. 3-bisamida yang mensubstitusi aglaforbesin. Untuk
kasus senyawa 11 AB puncak NOESY dari 3-H benzilik dengan 2’6’ dan 2”6” membuktikan posisi 3 untuk
substituen fenil dan posisi 4 untuk substituen bisamida. Nilai konstan kopling
J
3,4 yang hanya berbeda sedikit dalam senyawa 9 dan 11 adalah karakteristik untuk
penataan transoid proton 3-H dan 4-H. Kemungkinan isomerik yang tertinggal adalah struktur diastereomer
dengan konfigura si 3β-H dan 4α-H untuk senyawa 11
dibandingkan dengan 3α-H dan 4β-H pada senyawa 9. Dukungan lebih lanjut bahwa 11 adalah bukan isomer
konstitusional dari senyawa 9 adalah puncak silang 10- OCH
3
2”6” untuk senyawa 9 dan 11, yang mengindikasi- kan adanya hubungan antara
– COOCH
3
dan gugus fenil pada C-3. Pada intinya, hal yang harus digaris bawahi
dari semua ini adalah bahwa semua flavaglin benzokse- pin dalam penelitian ini mengisolasi turunan 3α-H, 4β-H
dalam jumlah lebih banyak daripada diastereomer 3β-H,
4α-H senyawa 5 dan 6 bertentangan dengan senyawa 3 dan 4, dan pasangan diastereomer 78 dan 911.
Terbentuknya flavaglin siklopenta[
b
]benzofuran senyawa 1,2 dengan benzo[
bc
]piran tersubstitusi se- nyawa 3-8, dan turunan benzoksepin 9-11 dari
A. edulis
menghasilkan suatu pola biogenetik umum. Biogenetik ini didukung oleh laporan sebelumnya dari
A. argentea
dan
A. Forbesii
, di mana flavaglin dari ketiga tipe struktur menunjukkan pola substitusi umum dari
cincin aromatik yang diperoleh dari
A.edulis
mengalami dimetoksilasi cincin. Dalam jalur biosintetik inti
flavonoid akan bergabung dengan asam sinamat untuk membentuk rangka siklopentabenzo[
bc
]piran. Transfor- masi dari rangka siklopentabenzo[
bc
]piran menjadi siklo-
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
127 penta[
b
]benzofuran dapat dijelaskan dengan pembukaan ikatan 5a dan penutupan 10-5a, di mana benzo[
b
]oksepin dapat diperoleh dari oksidasi pemaksapisahan dari
jembatan 2,5-metanol dengan 5-10 Gambar 6.13.
Gambar 6.13 Hubungan biosintetik antara rangka Flavaglin Bacher
et al, 1999
Seperti dari laporan sebelumnya, 2 flavaglin dengan rangka benzofuran yaitu aglaroksin A senyawa 1 dan
pannelin senyawa 2 Brader
et al
., 1998, diketahui memiliki sifat racun serangga yang sangat signifikan
terhadap larva
S. littoralis.
Sebaliknya turunan benzopiran senyawa 6 dan turunan benzoksepin
senyawa 9 tidak menunjukkan efek yang signifikan tabel 3.3. Turunan benzofuran yang sudah tidak asing
128
Desi Harneti P.H
. lagi yaitu rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol yang
diisolasi dari akar tanaman
A.odorata
Lour dijadikan perbandingan untuk nilai LC
50
dan EC
50
. Dan senyawa limonoid azadirachtin dijadikan sebagai kontrol positif.
Seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 3.3, tingkat keta- hanan dan perhambatan pertumbuhan dari senyawa
turunan benzofuran serupa dengan rokaglamida sebagai
Senyawa Tingkat
ketahanan LC
50
95 FL
a
gg fr.wt
Perhambatan pertumbuhan
EC
50
95 FL
b
gg fr.wt
Aglaroksin A 1 Pannelin 2
Thapsakin-A 10-O- asetat 6
Thapoksepin-A 9 Rokaglamida
Aglafolin Rolaglaol
Azadirachtin 2.2-5.2
2.1 1.2-
4.3 50
50 1.1
0.8- 2.6
2.9 2.6-
3.1 20
6.1 4.1-
11.0 0.21 0.19-0.22
0.24 0.20-0.29 50
50 0.14 0.12-0.17
0.25 0.19-0.31 3.40 2.08-5.95
0.11 0.05-0.17 Tabel 6.3 Nilai LC
50
dan EC
50
dari flavaglin dan azadirachtin terhadap larva neonatus
Spodoptera littoralis
Bacher
et al, 1999.
Aktivitas Insektisida Flavaglin
…
129
a
larva neonatus
S.littoralis
dalam medium kacang n=20 diberikan
artificial diet
3.8 g yang dicampurkan dengan beberapa konsentrasi sampel, setelah 5 hari
tingkat ketahanan dan pertumbuhannya ditentukan secara triplo dan dibandingkan dengan kontrol. LC
50
dan EC
50
ditentukan dengan analisis probit-log
b
batas fidusial senyawa yang paling aktif, dan rokaglaol sebagai
senyawa turunan yang paling tidak aktif. Dengan rocaglaol sebagai pengecualian, dapat kita simpulkan
bahwa semua turunan benzofuran memiliki tingkat toksisitas terhadap serangga yang lebih tinggi daripada
azadirachtin.
130
Desi Harneti P.H
.
131
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, S.A. 2002.
Peranan Kimia Bahan Alam dalam Tanaman Berkhasiat Obat
. Makalah Pembicara Tamu Universitas Katholik Widya Mandala.
Anonim, 2006, Heart of Borneo: Sumber kekayaan medis yang belum terungkap, diakses melalui :
http:www.wwf.or.id . [23-6-2006]
Anonim. 2003. Apa yang Harus Anda Ketahui Tentang Kanker. http: www. Indosiar. com
Anonim. 2007.Kanker.http: www.wikipedia.comkanker
Anonymous. 2005. Tanaman Obat Indonesia. Dalam http:www.ppipteknet.co.id
Anonymous. 2006.
Artemia salina-Sea
monkey- Anatomy-Taxonomy.
Dalam http:www.captain.atartemiasalina-anatomy.htm
Bacher, M., O. Hofer., G. Brader., S. Vajrodaya., and H.
Greger. 1999. Thapsakins: possible biogenetic intermediates towards insecticidal cyclopenta [b]
benzofurans from
Aglaia edulis
.
Phytochemistry.
52, 253-263.
Benosman, A., Richomme, P., Sevenet, T., Perromat, G.,
Hadi, A.H.A., Bruneton, J., 1995. Tirucallane triterpenes from the stem bark of
Aglaia leucophylla
, Phytochemistry
, 405, 1485-1487. Brader, G., S. Vajrodaya., H. Greger., M. Bacher., H.
Kalchhauser., and O. Hofer. 1998. Bisamides, lignans, triterpenes, and insecticidal cyclopenta
[b] benzofurans from
Aglaia
species
. Journal Natural Product
. 61, 1482-1490.
132
Desi Harneti P.H.
Bray, D.H., D.C. Warhurst., J.D. Conolly., M.J. O’Neil.,
and J.D. Philipson. 1990. Plants as Source of Antimalarial Drug. Pt. 7 activity of some species
Meliaceae plants and their constituent limoids.
Phytother
.
Res
. 4, 29-35.
Chaidir., J. Hiort., B.W. Nugroho., F.I. Bohnenstengel., V. Wray., L. Witte., P.D. Hung., L.C. Kiet., W.
Sumaryono., and
P. Proksch.
1999. New
insecticidal rocaglamide
derivatives from
flowers of
Aglaia duperreana
.
Phytochemistry
52, 837-842.
Christy, W. W. 2007.
Plant Sterols and Related Lipids: Structure, Occurrence, Biochemistry and Analysis
. Scottish Crop Research Institute. Scotland.
Cui, B., H. Chai., T. Santisuk., V. Reutrakul., N. Farnsworth., G.A. Cordell., J.M. Pezzuto., and A.D.
Kinghorn. 1997.
Novel cytotoxic
1
H
- cyclopenta[
b
] benzofuran lignans from
Aglaia elliptica
.
Tetrahedron
. 53, 17625-17632.
Djisbar, A., WAhyuni, S., dan Martono, B. 1999.
Koleksi Beberapa tanaman insektisida nabati di BALITTRO.
Pemanfaatan Insektisida Nabati
. Vol VI, 2, 10-15.
Dumontet, V., Thoison, O., Omobuwajo, O.R., Martin, M. T., Perromat, G., Chiaroni, A., Riche, C., Pais,
M., Sévenet, T. 1996. New Nitrogenous ang aromatic derivates from
A. Argentea
and
A. forbesii
.
Tetrahedron
, 52,6931-6942. Fuzzati, N., W. Dyatmiko., A. Rahman., F. Achmad.,
and K. Hostettmann. 1996. Triterpenoid, lignans, and a benzofuran derivative from te bark of
Aglaia elaeagnoidea
.
Phytochemitry
. 425, 1395-
1398.