C-1- Senyawa Antikanker dan Insektisida Dari Genus Aglaia.

Tinjauan Umum 33 O Gambar 2.12. Kerangka benzofuran isolasi dan dikarakterisasi diantaranya adalah C- 3’- hidroksirokaglamida

1, C-1-

O -asetil- 3’ hidroksirokaglamida 2, C- 3’-metoksirokaglamida 3, C- 3’-metoksirokaglaol 4, turunan C-3’-hidroksi dari demetilrokaglamida 5, turunan C- 3’-hidroksi dari metil rokaglat 6, C- 3’-hidroksidimetilrokaglamida 7, C-1- oksim 8 Nugroho et al. , 1999, rokaglaol 9, metil rokaglat 10, demetilrokaglamida Ishibashi et al .,1993 11, C-1- O -asetil-3 hidroksidemetil rokaglamida 12, dan C-1- O -asetil-3-hidroksimetilrokaglat 13 Janpraset et al., 1993. Senyawa kelompok bisamida adalah salah satu kelompok senyawa yang menjadi ciri khas tumbuhan Aglaia, dan membantu dalam menentukan kemotaksonomi tumbuhan tersebut. Senyawa bisamida yang diisolasi dari A. edulis , A. grandis, dan A. testicularis adalah aglaiadulin 14, aglaiathiodulin 15 dan aglaiadthiodulin 16 Brader, 1988. Senyawa golongan damaran dan limonoid yang berhasil diisolasi dari A. elaeodeae adalah 20 S, 24 S - epoksi-25-hidroksidamaran-3-on 17, 20 S, 24 S -epoksi- 25-hidroksimetildamaran-3-on 18 dan 6 a, 11 b - diasetoksigedunin 19 Fuzzati, 1996. 34 Desi Harneti P.H. O OH R 1 H 3 CO OCH 3 OCH 3 1 2 3 3a 4a 5 6 7 8 8a 8b 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 4 R 3 R 2 Gambar 2.13 Struktur senyawa aktif turunan rokaglamida yang terkandung dalam tanaman Aglaia odorata Janpraset et al., 1993. R 1 R 2 R 3 1 -OH -CONCH 3 2 -OH 2 -OCOCH 3 -CONCH 3 2 -OH 3 -OH -CONCH 3 2 -OCH 3 4 -OH -H -OCH 3 5 -OH -CONHCH 3 -OH 6 -OH -COOCH 3 -OH 7 -OH -CONH 3 -OH 8 =NOH -COOCH 3 -OCH 3 9 -OH - - 10 -OH -COOCH 3 - 11 -OH -CONHCH 3 -H 12 -OCOCH 3 -CONHCH 3 -OH 13 -OCOOCH 3 -COOCH 3 -OH Tinjauan Umum 35 N N O O H H 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 14 N N O O H H 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 1 2 3 4 5 6 SCH 3 15 N N O O H H 1 2 1 2 1 2 3 4 5 6 SCH 3 H 3 CS 3 3 16 Gambar 2.14 Senyawa bisamida yang diisolasi dari Aglaia edulis , A. grandis, dan A. testicularis Brader, 1988. Tirucallane 20 adalah suatu senyawa triterpenoid yang berasal dari Aglaia leucophylla Benosman, 1994. Senyawa golongan triterpenoid yang berhasil diisolasi dari A. foveolata adalah 3- epiokotillol 21, asam soreat 22, foveolin A R = H 23 , dimalol R = CH 3 24 Roux, 1998. 36 Desi Harneti P.H. O H H OH O H O H H O H HO 17 18 O COOCH 3 COOCH 3 H 3 COOC O O O O 19 Gambar 2.15 Senyawa golongan damaran dan limonoid yang berhasil diisolasidari A. elaeodeae Fuzzati, 1996. Senyawa kelompok pregnan dan triterpenoid hidroperoksida telah berhasil diisolasi dari daun Aglaia grandis adalah 2 β,3β-dihidroksi-5α-pregnan-16-on 25 dan dua senyawa triterpenoid hidroperoksida sikloartan Tinjauan Umum 37 26 dan 27 Inada, 1997. O OCH 3 20 O O H H H OH O OH H H H HOOC 21 22 Senyawa kelompok sterol yang terdapat pada spesies A. rubiginosa 22 R ,25-epoksi-kolest-7-ene- 3 β,4β-diol 28 dan kolest-5-ene-3β,4β,22 R -triol 29, stigmast-5-ene-3 β,7α-diol 30, dan stigmasterol 31. Weber et al ., 1999. 38 Desi Harneti P.H. O OH H H H ROOC OH 23-24 H H HO HO O 25 OOH H HO 26 Tinjauan Umum 39 H HO OOH 27 O HO OH 28 HO OH OH 29 HO OH 30 HO 31 40 Desi Harneti P.H. Senyawa Aktif Sitotoksik dari Tumbuhan Aglaia Saat ini, senyawa bahan alam telah memegang peranan penting dalam kemoterapi kanker. Lebih dari 60 obat-obatan kanker diperoleh dari bahan alam. Taxol, kamptotecin, podofilotoksin, vinblastin, dan vinkristin adalah senyawa bahan alam yang telah digunakan sebagai obat yang teruji dapat menghambat mekanisme pertumbuhan sel tumor. Pencarian senyawa bahan alam yang dapat digunakan sebagai obat antikanker harus terus dilakukan untuk mendapatkan obat dengan hasil klinis yang lebih baik Lee, 1998. Beberapa senyawa turunan rokaglat telah berhasil diisolasi dari tumbuhan Aglaia yang memiliki potensi antikanker karena bersifat sitotoksik. Rokaglaol 32 yang berhasil diisolasi dari akar A. crassinervia memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih besar daripada paclitaxel dan kamptothecin Su, 2006. O MeO OMe MeO OH OH 32 Tinjauan Umum 41 Aglafolin metil rokaglat 33 diisolasi dari A. elliptifolia dapat menghambat pertumbuhan sel kanker Ko et al .,1992. Selain itu lima senyawa turunan rokaglat lainnya 34-38 telah berhasil pula diisolasi dari A. elliptica dan menunjukkan aktivitas dapat menghambat pertumbuhan sel kanker manusia Lee, 1998. Asam rokaglat 39, elliptifolin 40, dan elliptiol 41, yang diisolasi dari daun A. elliptifolia bersifat sitotoksik terhadap sel tumor P-388, masing-masing dengan harga ED 50 = 0,0012; 3,41 dan 3,62 µgmL Wang, 2000. Elliptifolin dan elliptiol adalah dua senyawa yang termasuk kelompok diamida. O HO O OCH 3 OCH 3 H 3 CO OCH 3 HO 33 Senyawa pada tanaman A. lepthantha dapat membunuh 20 jenis sel kanker. Kandungan senyawa yang sama juga terdapat pada A. silvestris . Beberapa bagian tumbuhan A. elaeagnoidea var. Beddomei, akar 42 Desi Harneti P.H. dan kulit batang tumbuhan A. elliptifolia , daun dan ranting A. odorata, dan A. odoratissima telah dilaporkan memiliki aktivitas in vivo terhadap sel tumor P-388 leukemia. O R 1 OCH 3 H 3 CO HO R 2 R 3 O O 34-38 R1 R2 R3 - OH H COOCH 3 - OH H H - =O H - OCOHO H - COOCH 3 O HO O OH OCH 3 H 3 CO OCH 3 HO 39 Tinjauan Umum 43 O OH O N N O MeO OMe OMe OH 40 O NH H N O OH 41 Senyawa turunan diamida yaitu odorinol 42 yang bersifat antileukemia yang diujikan secara in vivo terhadap mencit, berhasil diisolasi dari daun A.odorata Hayashi, 1981. Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada ekstrak daun A. formosana terhadap sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia P-388 King et al ,1982. Pada 44 Desi Harneti P.H. O N HN O OH H 42 tahun 1993 berhasil diisolasi dari ekstrak kloroform daun A. formosana senyawa dehidroodorin 43 yang aktif terhadap sel leukemia P-388 dengan nilai ED 50 = 3,86 µgmL Duh, 1993. Senyawa-senyawa dari kelompok triterpen yang bersifat sitotoksik pun telah berhasil diisolasi dari A. argantea yaitu argenteanon A 44, B 45, dan argenteanol 46 ketiganya bersifat sitotoksik terhadap sel KB sel kanker nasofaring Omobuwajo, 1995. O N H HN O 43 Tinjauan Umum 45 R OH H HO OH H H H H O O HO H H H H OH H 45 R = O 46 R = H dan -OH Masih dari spesies yang sama, sembilan senyawa triterpenoid dengan kerangka 3,4-sekoapotirukalan 47 – 54 yang bersifat sitotoksik terhadap sel KB telah berhasil diisolasi Mohammad, 1999. 44 COOCH 3 O OH H OR 1 H H H COOCH 3 O OH H OR 1 H H H R 2 O 47 R 1 = a 50 R 1 = c, R 2 = a 48 R 1 = b 51 R 1 = c, R 2 = b 49 R 1 = c 52 R 1 = b, R 2 = a 53 R 1 = R 2 = a 54 R 1 = R 2 = c O OH O OH H H 3 C CH 3 O HO a b c 47 BAB III SENYAWA ANTIKANKER TURUNAN 1 H-SIKLOPENTA[b]BENZOFURAN DARI TANAMAN Aglaia elliptica Aglaia elliptica LEE dan kawan-kawan 1998, meneliti kandungan senyawa antikanker dari Aglaia eliptica . Latar belakang, metode dan hasil penelitian Lee, dilaporkan pada bagian ini. Beberapa bagian tanaman Aglaia dapat digunakan seperti kayu, buah, dan bunga sebagai kebutuhan di bidang medis maupun pertanian. Kandungan senyawa yang terdapat dalam tanaman ini juga memiliki berbagai aktivitas biologis, yaitu sebagai insektisidal dan antikanker. Beberapa bagian tanaman A. elaeagnoidea var. Beddomei, akar dan kulit batang tanaman A. elliptifolia , daun dan ranting A. odorata, dan A. odoratissima telah dilaporkan memiliki aktivitas in vivo pada sel tumor P-388 leukemia. Selain itu, aktivitas sitotoksik juga terdapat pada ekstrak daun A. formosana dalam sel tumor kolon, payudara, dan sel leukemia King et al ,1982. Aglaia elliptica merupakan salah satu spesies 48 Desi Harneti P.H. yang sangat berpotensi untuk mendapatkan senyawa antikanker. Dalam penelitian Cui et al pada tahun 1997, Aglaia elliptica yang berasal dari Thailand, telah ditemukan lima senyawa baru yang sangat berpotensi terhadap sel tumor. Lima senyawa baru tersebut memiliki kerangka induk yang sama yaitu siklopenta[ b ]benzofu- ran. Kerangka induk ini juga terdapat pada spesies Aglaia yang lainnya. Lima senyawa turunan siklopenta[ b ]benzo- furan 1-5 tersebut adalah senyawa 1 metil rokaglat, 2 4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil rokaglat dan 5 1- O -formil- 4’-demetoksi-3’,4’-metilendioksi-metil roka- glat. 1 metil rokaglate Gambar 3.1 Struktur senyawa turunansiklopenta[ b ]ben zofuran yang didapat dari Aglaia elliptica Lee et al, 1998. Senya wa Antikanker Turunan … 49 Senyawa 1 – 2 dan 4 – 5 diperoleh dari batang Aglaia elliptica, sedangkan senyawa 1 – 3 diperoleh dari buahnya. Gambar 3.2 Tanaman Aglaia elliptica. Taksonomi dari Aglaia elliptica adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Superdivisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae 50 Desi Harneti P.H. Ordo : Sapindales Keluarga : Meliaceae Marga : Aglaia Jenis : Aglaia elliptica Mekanisme sitotoksik pada tanaman Aglaia elliptica Daya hambat senyawa 1-5 pada kultur sel kanker manusia Daya hambat lima senyawa turunan siklopenta[ b ]benzofuran yang ditemukan pada batang dan daun Aglaia elliptica dapat diketahui dengan cara menghitung nilai IC 50 kelima senyawa tersebut dengan menggunakan sel kanker manusia, di antaranya Sel HT- 1080 human fibrosarcoma , KB human nasopharyng- eal carcinoma , A431 human epidermoid carcinoma , LNCaP hormone-dependent prostate cancer , ZR-75-1 hormone-dependent breast cancer , U373 human glioblastoma , BC1 human breast cancer , Lu1 human lung cancer , Mel2 human melanoma , dan Col2 human colon cancer . Semua sel di kultur pada suhu 37 o C dalam 100 kelembaban dengan 5 CO 2 atmosfer di udara, kecuali sel melanoma yang tetap pada 37 o C dalam wadah kultur jaringan tertutup. Dari hasil penelitian didapat nilai IC 50 senyawa 1, 2 – 5 memiliki rentang antara 1 – 30 ngmL. Sedangkan senyawa 3 dan 4 memiliki nilai IC 50 di atas 60 ngmL Lee et al .,1998. Berdasarkan data dalam Tabel 3.1, kelima senyawa tersebut memberikan aktivitas yang cukup baik, namun yang paling berpotensi sebagai antikanker adalah senyawa 1, 2, dan 5. Senyawa 1, 2, dan 5 memiliki nilai IC 50 di bawah 30 ngmL. Kelima senyawa tersebut memiliki struktur kerangka induk yang sama, yaitu Senya wa Antikanker Turunan … 51 siklopenta[ b ]benzofuran, namun rantai sampingnya saja yang berbeda. Hal ini menyebabkan aktivitas. Tabel 3.1 Daya hambat nilai IC 50 senyawa 1 – 5 dari tanaman Aglaia elliptica dalam kultur sel kan- ker manusia Lee et al, 1998. Senya wa BC1 HT- 108 Lu1 Mel2 Col2 KB KB-IV A43 1 LNCa p ZR-75 U3 73 1 10.0 9.0 6.0 30.0 9.0 9.0 30.0 20.0 20.0 3.0 3.0 2 0.9 10. 5.0 60.0 10.0 6.0 20.0 10.0 2.0 2.0 0.8 3 200.0 - 70. - 70.0 90.0 100.0 - - 86.0 - 4 1400. - 100 .0 - 200. 200.0 300.0 - 70.0 - - 5 3.0 3.0 1.0 1.0 2.0 30.0 10.0 3.0 30.0 120.0 3.0 tingkat toksisitas yang cukup rendah IC 50 60 ngmL, karena adanya pengaruh gugus fungsi yang terletak pada posisi C-1 dan C-2. Pada senyawa 4 , pergantian gugus hidroksil -OH atau gugus formal -OCHO dengan gugus keton C=O akan menyebabkan potensial daya hambat pertumbuhan sel kanker akan berkurang. Pengaruh penambahan senyawa 2 pada pembelahan sel kanker Lu1 Sel Lu1 dilapiskan dengan densitas 5 x 10 5 sel per 25 cm 2 pada labu kultur, lalu diinkubasi selama 24 jam. Kemudian ditambahkan 25 dan 50 ngmL senyawa 2 selama interval waktu 8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam, jumlah sel dihitung. Viabilitas sel dapat diketahui oleh 52 Desi Harneti P.H. Gambar 3.3 Hubungan struktur dan aktivitas antikanker senyawa 3-4 yang diisolasi dari tanaman Aglaia elliptica Lee et al, 1998. adanya pewarna tripan biru. Pembelahan sel yang terjadi dibandingkan dengan kontrol. Semua perlakuan dilakukan secara triplo. Dalam Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa dengan adanya penambahan senyawa 2 pada kultur sel Lu1, jumlah sel yang membelah akan berkurang. Sedangkan pengaruh adanya senyawa 2 dalam proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1 dapat dilihat pada Gambar 3.5. Senya wa Antikanker Turunan … 53 Gambar 3.4 Fotomikrograf sel yang diperlakukan dengan senyawa 2. A tanpa adanya penambahan senyawa 2, B dengan adanya penambahan senyawa 2 25 ngmL selama 32 jam pembesaran 100x Lee et al, 1998. Pengaruh penambahan senyawa 2 pada siklus sel kanker Lu1 Senyawa 2 yang dihasilkan dari tanaman Aglaia elliptica diperlakukan terhadap sel Lu1 selama periode 54 Desi Harneti P.H. Waktu jam Gambar 3.5 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada proliferasi sel dan viabilitas sel Lu1. ● hanya pelarut DMSO, ▲ 25 ngmL senyawa 2 , ◊ 50 ngmL senyawa 2 Lee et al, 1998. waktu 8, 16, 24, 32, 48, 56, dan 72 jam. Untuk mengetahui jumlah sel yang terdistribusi dalam proses siklus selnya, digunakan metode aliran sitometri flow cytometry . Sebanyak 50 ngmL senyawa 2 yang V ia b il it a s se l Ju m la h s el x 1 -6 Senya wa Antikanker Turunan … 55 ditambahkan, terjadi akumulasi sel pada fase G 1 G dalam siklus sel.  Setelah 24 jam = Kontrol : 41 G 1 G , 37 S, 22 G 2 M Hasil : 74 G 1 G , 11 S, 15 G 2 M  Setelah 32 jam = Kontrol : 52 G 1 G , 33 S, 15 G 2 M Hasil : 75 G 1 G , 9 S, 16 G 2 M  Setelah 48 jam = Kontrol : 61 G 1 G , 25 S, 142 G 2 M Hasil : 65 G 1 G , 16 S, 19 G 2 M Periode waktu yang selanjutnya menghasilkan data yang tidak jauh berbeda dengan pada jam ke-48, pada periode ini tidak terjadi perubahan yang signifikan. Pada interval waktu 24 dan 32 jam terjadi suatu akumulasi jumlah sel kanker pada fase G 1 . G 1 adalah fase dimana terjadi sintesis RNA pada sel kanker. Namun karena keberadaan senyawa 2, RNA yang telah terbentuk tidak dapat membentuk DNA-nya, sehingga sel tidak akan menuju ke fase S replikasi DNA. Hal ini menyebabkan sel hanya akan terakumulasi pada fase G 1 dan G fase istirahat. Senyawa 2 dapat menghambat terjadinya proses replikasi DNA S dan mengganggu terjadinya siklus pembelahan sel kanker. Dari data penelitian, sel akan terakumulasi pada fase G 1 G , sedangkan jumlah sel pada fase S dan G 2 M lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas antikanker menggunakan bioindikator tikus putih Untuk mengetahui aktivitas antitumor pada senyawa 2, dilakukan penelitian dengan menggunakan 56 Desi Harneti P.H. bioindikator tikus putih betina. Kultur sel BC1 1 x 10 6 sel disuntikkan ke dalam bagian kanan dorsal pada tikus putih betina yang berusia 4 – 6 minggu. Pada hari ke-3 senyawa 2 10 mgkg berat badan, yang dilarutkan dalam 40 DMSO disuntikkan pada tikus putih tersebut. Pemberian senyawa 2 dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 7 minggu. Untuk analisis, berat badan tikus putih dan volume tumor ditimbang setiap harinya. Ternyata semua tikus mati pada hari ke-33, ketika volume tumor pada tikus kontrol mencapai 1,3 cm 3 . Hari setelah penyuntikan sel BC1 Gambar 3.6 Pengaruh penambahan senyawa 2 pada pertumbuhan tumor tikus putih betina yang telah diberikan sel tumor BC1. ● kontrol dan □ penambahan senyawa 2 Lee et al, 1998. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.6, dengan adanya penambahan senyawa 2 pada sel tumor BC1 dalam tikus putih akan mengakibatkan volume tumor berkurang sejalan dengan periode waktu. Hal ini disebabkan V o lu m e tu m o r c m 3 Senya wa Antikanker Turunan … 57 pertumbuhan sel BC1 terhambat sehingga proses pembelahannya pun akan berlangsung lama. Pembelahan sel tumor dapat terjadi karena adanya replikasi DNA dan sintesis RNA secara cepat. Oleh karena itu, untuk menghambat atau menghentikan proses penggandaan DNA, harus menggunakan suatu senyawa atau agen yang dapat menghambat proses biosintesis DNA, RNA, atau proteinnya. Pada umumnya mekanisme kerja senyawa antikanker secara demikian, yaitu dengan menghambat proses biosintesis proteinnya. Seperti halnya senyawa pengalkilasi yang bersifat antikanker. Senyawa ini memiliki ion karbonium yang reaktif, sehingga dapat membentuk ikatan melintang dengan DNA dan dapat menghambat terjadinya pembelahan sel Tjay Rahardja,2002. Untuk senyawa antikanker bahan alam, biasanya mekanisme kerja antikanker adalah dengan menghambat sintesis protein dalam mikrotubuli. Pada senyawa 2 yang diperoleh dari tanaman Aglaia elliptica , aktivitas antikanker disebabkan oleh adanya pengaruh gugus fungsi yang ada pada kerangka senyawa tersebut. 58 Desi Harneti P.H. 59 BAB IV AKTIVITAS ANTIKANKER SENYAWA ODORIN DAN ODORINOL DARI TUMBUHAN AGLAIA ODORATA Aglaia odorata AGLAIA odorata berasal dari marga Aglaia. Suatu marga tumbuhan dengan anggota lebih dari 100 jenis tumbuhan. Tanaman ini dibiakkan dengan cara pencangkokan. Tanaman ini banyak digunakan sebagai pagar hidup, karena bentuknya yang indah dan kecepatan tumbuhnya yang lambat Heyne,1987. Inada dan kawan-kawan 2001, meneliti kandungan senyawa antikanker dari Aglaia odorata. Latar belakang, metode dan hasil penelitian Inada dan kawan-kawan, dilaporkan pada bagian ini. Tumbuhan perdu ini dapat tumbuh dengan tinggi 2-5 m. Memiliki batang berkayu, bercabang banyak, dan tangkai berbintik-bintik kelenjar berwarna hitam. Memiliki daun majemuk, menyirip dan ganjil yang tumbuh berseling. Dengan anak daun berjumlah 3-5 cm. Anak daunnya bertangkai pendek, berbentuk bundar seperti telur sungsang. memiliki panjang 3-6 cm dan lebar 1-3,5 cm. Berujung runcing, berpangkal meruncing, 60 Desi Harneti P.H . bertepi rata dan permukaannya licin mengilap, terutama daun muda Anonymous, 2005. Rebusan daunnya terasa pahit tanpa pedas, jika diminum berkhasiat untuk menstruasi yang terlalu keras dan penyakit kelamin. Bunganya kecil, dalam helaian rapat, panjangnya 5-16 cm, warna kuning, dan harum. Bunga ini sering dicampurkan kedalam daun the untuk mengharumkan- nya. Seringkali pula digunakan untuk mengharumkan pakaian. Selain itu, dicampurkan dalam ramuan parem dan dijual kering. Bila air rebusan bunga ini diminum akan menghasilkan daya menyejukkan Heyne,1987. Buah dari tanaman ini berbentuk kecil-kecil seperti buah buni. Berbentuk bulat lonjong dengan warna merah dan panjang 6-7 mm. Memiliki 1-3 ruang di dalam buah dan jumlah biji 1 sampai dengan 3 Anonymous, 2005. Daun dan bunga Aglaia odorata L Meliaceae di Cina digunakan sebagai obat herbal untuk mengatasi memar, sakit kepala, batuk, dll. Bunganya biasa digunakan untuk memberi wewangian pada teh dengan catatan tergantung pada wangi teh itu sendiri. Dari tanaman ini aminopirolidin-diamida, odorin dan odorinol = 2-hydroxyodorine, dan kandungan lainnya telah diisolasi. Sebagai tambahan, aktivitas antileukimia dari odorinol terhadap sel leukemia limfosit P-388 dari tikus telah dilaporkan Inada et.al ., 2001. Taksonomi Aglaia odorata Menurut Tjitrosoepomo 2002 taksonomi tumbuhan Aglaia odorata adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Aktivitas Antikanker S enyawa … 61 Kelas : Dycotiledoneae Subkelas : Dyalipetalae Ordo : Rutales Keluarga : Meliaceae Genus : Aglaia Jenis : Aglaia odorata Kandungan kimia tumbuhan Aglaia odorata Tumbuhan Aglaia odorata memiliki berbagai macam kandungan diantaranya minyak asiri, alkaloid, saponin, flavonoid, terpenoid, triterpenoid, alkaloid, tanin Mabberley et al. , 1995, arilpropanoid, dimer arilpropanoid lignan Wu, et al ., 1997, asam sinamat, dan odorin Nugroho et al ., 1999. Tapsakin-A turunan forbaglin Proksch et al ., 2001 kelompok senyawa dengan kerangka siklopenta - [ bc ]benzopiran aglain, dan aglaforbesin serta turunannya, dan kelompok senyawa dengan kerangka Gambar 4.1 Aglaia odorata. 62 Desi Harneti P.H . benzo[ b ]oksepin forbaglin serta turunannya. Selain senyawa-senyawa tersebut di atas, tanaman ini mengan- dung sejumlah senyawa aktif antikanker berkerangka siklopentatetra[ b ]hidrobenzofuran yaitu rokaglamida 1 Mabberley et al. , 1995. N H N H O OH Odorinol turunan odorin O O OH H 3 CO H 3 CO OCH 3 OH Turunan f lavonoid Gambar 4.2 Struktur turunan odorinol turunan odorin dan turunan flavonoid Nugroho et al ., 1999. O H 3 CO OCH 3 OH OCH 3 OH O NCH 3 2 Gambar 4.3 Rokaglamida Beberapa turunan rokaglamida yang telah berhasil diisolasi dan dikaraktersasi yang berasal dari tumbuhan Aglaia odorata di antaranya adalah didesmetilrokaglami- Aktivitas Antikanker S enyawa … 63 O H N N OCH 3 H 3 CO OH OCH 3 H OH O Tapsakin-A-10-O-asetat turunan aglain O H N N H 3 CO OH H O O O O O O O OCH 3 H 3 C O CH 3 CH 3 Tapoksepin-A turunan forbaglin Gambar 4.4 Struktur Tapsakin-A-10-O-asetat turunan aglain dan Tapoksepin Inada et.al ., 2001. da 2, C- 3’-hidroksirokaglamida 3, dan C-1- O -asetil- 3’-hidroksirokaglamida 4 Proksch et al ., 2001. Struktur dari ketiga senyawa tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.5. 3 O H 3 CO OCH 3 OH OCH 3 R 1 R 2 R 3 2 3a 8b 8a 1 5 6 7 8 2 5 6 5 4 3 Struktur turunan rokaglamida 1-4 R 1 R 2 R 3 2 OH CONH 2 H 3 OH CONCH 3 2 OCH 3 4 OCOCH 3 OH 4 3 4 1 2 6 CONCH 3 Gambar 4.5 Struktur beberapa turunan rokaglamida yang terkandung dalam tumbuhan Aglaia odorata Cui et al ., 1997; Proksch et al ., 2001. 64 Desi Harneti P.H . Bahan-bahan dan metode penelitian Bahan kimia Bahan kimia DMBA dan TPA dari nacalitesque Kyoto,jepang, NOR-1 dan peroksi nitrit didapat dari dojindo laboratories Kumamoto, Jepang. Hewan Hewan specific pathogen-free female ICR - 6- week-Old ICR-fatogen spesifik usia 6 minggu dan SENCAR-mice usia 6 minggu didapat dari Japan SLC ink Shizouka, Jepang. Hewan ini ditempatkan 5 ekor dalam satu kandang polikarbonat pada suhu antara 24 ± 2 o C dan diberikan makan, dan air adlibitum. Isolasi Odorin dan Odorinol dari Aglaia odorata. Daun Aglaia odorata 700 gram diambil pada bulan Januari 1993 di Kebun Raya Bogor Bogor, Indo- nesia. Fraksi etil asetat sebanyak 47,6 gram yang berasal dari 78,0 gram ekstrak MeOH diisolasi sehingga dihasilkan senyawa aminopirolidin-diamida, odorin 160 mg dan odorinol 230mg dengan kemurnian 99,9. Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh DMBATPA Hewan female ICR-mice berumur 6 minggu dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pada ekornya ditambahkan DMBA 100µg, 390nmol dalam aseton 0,1 mL Untuk kelompok yang pertama kelompok kontrol positif satu minggu setelah diaktifkan dengan DMBA, tikus-tikus kemudian diberi TPA 1µg, 1,7nmol pada aseton 1mL dua kali dalam seminggu. Aktivitas Antikanker S enyawa … 65 Kelompok kedua dan ketiga mendapat penambahan dari odorin 85nmol pada aseton 0,1mL dan odorinol 85nmol pada aseton 1 jam sebelum perlakuan pokok masing-masing, secara berurutan. Pengaruh dari pertumbuhan papiloma dilihat setiap minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus mengalami penghambatan papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan eksperimen dianalisis dengan cara student’s t -test pada 20 minggu setelah promosi Inada et.al ., 2001 Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh NOR-1TPA Hewan female SENCAR-mice berumur 6 minggu dipisahkan kedalam 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik diaktifkan dengan NOR-1 90µg, 390 nmol dalam aseton 0,1 mL. Untuk kelompok yang pertama kelompok kontrol + satu minggu setelah diaktifkan dengan NOR-1, tikus-tikus kemudian diberi TPA 1µg, 1,7nmol pada aseton 1mL dua kali dalam seminggu. Untuk kelompok kedua, TPA ditabahkan dengan odorin 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum dan kelompok ketiga, TPA ditambahkan odorinol 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum diberikan melalui mulut satu minggu sebelum dan sesudah tahap inisiasi dengan NOR-1. Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan; persentase tikus-tikus yang mengalami penghambatan papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan 66 Desi Harneti P.H . eksperimen dianalisis dengan cara student’s t -test pada 20 minggu setelah promosi Inada et.al ., 2001 Pengujian tahap dua karsinogenesis kulit tikus oleh PeroksinitritTPA Hewan female SENCAR-mice berumur 6 minggu dipisahkan ke dalam 3 kelompok percobaan yang terdiri dari 15 tikus pada setiap kelompoknya. Ekor dari setiap tikus dicukur dengan menggunakan pisau bedah, dan tikus-tikus yang memiliki sifat karsinogenik diaktifkan dengan peroksinitrit 33,1µg, 390 nmol dalam 1mM NaOH dalam aseton 0,1 mL. Untuk kelompok yang pertama kelompok kontrol positif, satu minggu setelah diaktifkan dengan peroksinitrit, tikus-tikus kemudian diberi TPA 1µg, 1,7nmol pada aseton 1mL dua kali dalam seminggu. Untuk kelompok kedua, odorin 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum dan kelompok ketiga, odorinol 0,0025, 2,5 mg100 ml air minum diberikan melalui mulut dari satu minggu sebelum dan satu minggu sesudah tahap inisiasi dengan peroksinitrit. Penambahan TPA, TPA dan odorin serta TPA dan odorinol dilakukan selama 20 minggu, secara berurutan. Pengaruh dari pertumbuhan papiloma dilihat setiap minggu selama 20 minggu; persentase tikus-tikus yang menghambat papiloma dan jumlah papiloma rata-rata per tikus dicatat. Perbedaan dalam papiloma tikus antara kontrol dan eksperimen dianalisis dengan cara student’s t-test pada 20 minggu setelah promosi Inada et al ., 2001 . Aktivitas odorin dan odorinol sebagai antikanker Pada percobaan yang dilakukan oleh Inada et . al untuk pengujian senyawa yang menghambat pertumbu- Aktivitas Antikanker S enyawa … 67 han papiloma pada tikus digunakan tiga perbandingan perlakuan pada tikus. Papiloma sendiri merupakan salah satu jenis kanker kulit di mana tempat terjadinya yaitu pada permukaan kulit. Pada percobaan tersebut digunakan SENCAR- mice sebagai objek penelitian. SENCAR-mice atau dengan kata lain Sensitive Carsinogenesis - mice merupakan tikus yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap zat-zat karsinogen. Tikus tersebut sangat rentan terkena kanker jika ada pengaruh dari zat-zat karsinogen. Tikus yang digunakan dalam percobaan dibagi ke dalam 3 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 15 ekor tikus.Untuk perlakuan pertama, digunakan DMBA atau 7,12-dimethyl benz[a]anthracene sebagai zat karsinogen untuk mengaktifkan sifat karsinogenik tikus. Seperti telah disebutkan sebelumnya, untuk memasukan DMBA ini ekor tikus sebelumnya dicukur dengan menggunakan pisau bedah. Pencukuran ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengaktifan sel kanker oleh DMBA karena apabila masih terdapat bulu dikhawatirkan DMBA ini tidak langsung masuk ke dalam kulit tikus. Untuk kelompok pertama, setelah sel karsinogenik tikus diaktifkan dengan DMBA dan mengalami tahap inisiasi yaitu selama 1 minggu, kemudian ditambahkan dengan TPA 12-O- tetradecanoylphorbol-13-acetate pada aseton dua kali dalam seminggu. Kelompok pertama ini dikenal sebagai kontrol positif. Sedangkan untuk kelompok kedua dan ketiga ditambahkan odorin dan odorinol pada TPA satu jam sebelum perlakuan pokok masing-masing. Persen penghambatan papiloma dan jumlah rata-rata papiloma yang terbentuk dicatat selama 20 minggu dan perbedaan 68 Desi Harneti P.H . antara kontrol positif, kelompok kedua dan kelompok ketiga dianalisis dengan menggunakan student’s t -test pada 20 minggu setelah promosi. Dari hasil analisis tersebut diperoleh grafik sebagai berikut : grup 1, DMBA 390 nmol+TPA 1,7 nmol; grup 2, DMBA 390 nmol+Odorin 85 nmol+TPA1,7 nmol; grup 3, DMBA 390 nmol+odorinol 85 nmol+TPA 1,7 nmol. Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol p0,01 dalam hubungannya dengan papilomas per tikus n=15. Gambar. 4.6 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan menggunakan DMBA dan TPA Inada, et al , 2001 Aktivitas Antikanker S enyawa … 69 Seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.6, odorin dan odorinol menghambat dengan baik pembentukan papiloma pada kulit tikus dan menunjukkan efek penghambatan yang signifikan terhadap pertumbuhan sel kanker yang dihasilkan oleh DMBA dan TPA. Gambar 4.6 A menunjukkan persen papiloma pada 20 minggu masa promosi. Pada Gambar 4.6 A ini dapat dilihat perbedaan yang sangat signifikan antara kontrol positif dengan perlakuan tambahan menggunakan odorin dan odorinol. Sampai dengan minggu ke-5 ketiganya masih belum menunjukkan pembentukan papiloma dan pada minggu ke-6 perbedaan terlihat lebih jelas dimana kontrol positif menunjukkan pembentukan papiloma sebanyak 30 sedangkan penambahan odorin dan odorinol masih belum menunjukkan pembentukan papiloma. Untuk penambahan odorin papiloma terbentuk sebanyak 10 pada minggu ke-8, sedangkan kontrol positif pada minggu ke-7 menunjukkan pembentukan papiloma sebanyak 80. Untuk penambahan odorinol hasilnya lebih baik dibandingkan penambahan odorin karena pada penambahan odorinol papiloma terbentuk sebanyak 5 pada minggu ke-9 dan pada minggu ke-7 masih belum menunjukkan pembentukan papiloma. Kontrol positif menunjukkan hasil 100 untuk pembentukan papiloma pada minggu ke-9 sedangkan untuk penambahan odorin sampai pada minggu kelima belas pun jumlah papiloma yang terbentuk kurang dari 70 dan pada minggu ke 20, 93,3 papiloma terbentuk. Sama halnya seperti odorin, odorinol dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Hal ini dapat dilihat pada minggu keenam belas dengan jumlah papiloma yang terbentuk dibawah 70 sedangkan pada kontrol positif jumlah papilomanya sudah 100. 70 Desi Harneti P.H . Sama halnya seperti pada grafik 4.6 A pada grafik 4.6 B menunjukkan adanya penghambatan dengan penambahan odorin dan odorinol. Pada grafik 4.6 B dapat dilihat banyaknya papiloma yang terbentuk jumlah papiloma pada sel karsinogenik tikus selama 20 minggu masa promosi. Untuk kontrol positif setelah 10, 15 dan 20 minggu promosi terbentuk 3,9 ; 8,1 dan 8,8 papiloma. Jumlah papiloma tersebut dapat dilihat pada masing- masing kulit tikus yang kemudian dibagi dengan jumlah tikus tiap kelompok. Dengan waktu yang sama untuk penambahan odorin pada DMBA dan TPA papiloma yang terbentuk adalah 0,5 ; 2,8 dan 4,3 papiloma. Sedangkan untuk penambahan odorinol hasilnya lebih baik dibandingkan penambahan odorin yaitu menghasilkan papiloma 0,3 ; 2,6 dan 3,6 disetiap tikus dengan waktu yang sama secara berurutan. Penambahan odorin dan odorinol ini tidak mengurangi laju dari pembentukan papiloma tikus melainkan hanya mengurangi jumlah rata-rata papiloma papiloma setiap tikus. Selanjutnya yaitu dengan menggunakan donor NO seperti NOR-1 ±-E-Methyl-2-[E-Hidroxy Amino]-5-nitro-6-methoxy-3-hexenamide dan peroksi- nitrit sebagai tahap awal untuk mengaktifkan sifat karsinogenik tikus. Sama halnya seperti percobaan di atas, digunakan juga TPA sebagai promotor untuk pengaktifan sel karsinogenik. Seperti telah diketahui bersama bahwa kelebihan produksi dari NO mengakibatkan terjadinya kerusakan gen, sel dan jaringan sehingga akibatnya NO menjadi penyebab kuat terjadinya mutagen dan karsinogenesis. Efek penghambatan odorin dan odorinol dengan menggunakan NOR-1 dan peroksinitrit diperiksa dengan Aktivitas Antikanker S enyawa … 71 menggunakan metode oral administration . Hasilnya kedua senyawa tersebut menghambat pembentukan papiloma dan menunjukkan efek penghambatan. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik 4.7A dan B. Pada grafik 4.7 A kelompok kontrol positif, yang mendapat perlakuan dengan NOR-1 dan TPA menunjuk- kan pembentukan papiloma sebanyak 100 pada minggu ke 11. yang diperlakukan dengan NOR-1, TPA dan odorin menunjukkan efek penghambatan karena pada minggu ke-10 papiloma yang terbentuk kurang lebih sebanyak 30 , pada minggu ke-11 papiloma yang ter- bentuk kurang dari 40, pada minggu ke-15 kurang dari 70 dan pada minggu ke-20 papiloma yang terbentuk 85. Sedangkan untuk penambahan odorinol pada NOR- 1 dan TPA efek penghambatan jumlah papiloma yang terbentuk lebih baik lagi karena dalam minggu ke-10 hanya membentuk papiloma kurang dari 30, pada minggu ke 15 menunjukkan 60 dan pada minggu ke-20 menunjukkan 80 pembentukan papiloma. Untuk grafik 4.7 B tidak jauh berbeda dari grafik 4.7 A, di sini dapat dilihat untuk kontrol positif, terbentuk papiloma rata-rata sebanyak 6,1 dan 8,1 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Senyawa odorin menunjukkan aktivitas penghambatan dengan terbentuknya papiloma yang lebih sedikit yaitu sebanyak 2,9 dan 3,9 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Dalam kelompok yang diperlakukan dengan odorinol, terbentuk kurang dari 2,6 dan 3,3 60 pengurangan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol di setiap tikus setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Pada percobaan ini, secara statistik tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan antara masing- masing kelompok dan peningkatan berat badan dari 72 Desi Harneti P.H . grup 1, NOR-1 390 nmol+TPA 1,7 nmol; grup 2, NOR-1 390 nmol+0,0025 Odorin 2 minggu+TPA1,7 nmol; grup 3, NOR-1 390 nmol+0,0025 Odorinol 2 minggu+TPA 1,7 nmol. Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol p0,01 dalam hubungannya dengan papiloma per tikus n=15 Gambar 4.7 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan menggunakan NOR-1 dan TPA Inada et al, 2001. Aktivitas Antikanker S enyawa … 73 tikus-tikus tidak berpengaruh dengan perlakuan kedua senyawa. Gambar 4.8 A dan B menunjukkan efek pengham batan dari odorin dan odoridol dalam tahap dua karsino- genesis kulit menggunakan peroksinitrit sebagai tahap awal dengan cara pemberian makan lewat mulut. Kedua senyawa tersebut memperlambat pembentukan papiloma dan menunjukkan efek penghambatan Inada et al , 2001. Pada kelompok kontrol positif yaitu yang mendapat perlakuan dengan peroksinitrit dan TPA, 100 pembentukan papiloma terjadi pada minggu ke-10. Tikus yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorin menunjukkan persen pembentukan papiloma lebih sdikit dibandingkan dengan kontrol positif. Pada minggu ke-10, 15 dan 20 papiloma yang terbentuk sebesar 32, 55 dan 93,3. Sedangkan untuk tikus yang diperlakukan dengan peroksinitrit, TPA dan odorinol memerlukan waktu 10 minggu untuk menunjukkan kurang dari 30 pembentukan, 15 minggu untuk menunjukkan 60 dan 20 minggu untuk menunjukkan 86,7 pembentukan papiloma dan odorinol mengurangi jumlah rata-rata papiloma per tikus pengurangan sekitar 46 pada 20 minggu dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Sedangkan untuk grafik 4.8 B kontrol positif menunjukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus sebanyak 3,2 dan 7,5 papiloma setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Untuk tikus dengan penambahan odorin pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus untuk waktu promosi 15 dan 20 minggu adalah sebanyak 1,9 dan 3,5 papiloma. Untuk penambahan odorinol menun- jukkan pembentukan rata-rata papiloma setiap tikus adalah 0,8 dan 2,5 setelah 15 dan 20 minggu masa promosi. Dengan ini dapat diketahui bahwa odorin me- 74 Desi Harneti P.H . grup 1, Peroksinitrit 390 nmol+TPA 1,7 nmol; grup 2, Peroksinitrit 390 nmol+0,0025 Odorin 2 minggu+TPA1,7 nmol; grup 3, Peroksinitrit 390 nmol+0,0025 Odorinol 2 minggu+TPA 1,7 nmol. Dalam 20 minggu promosi, Odorin dan Odorinol berbeda dari kontrol p0,01 dalam hubungannya dengan papiloma per tikus n=15. Gambar 4.8 Efek penghambatan odorin dan odorinol dalam karsinogenesis kulit tikus dengan menggunakan Peroksinitrit dan TPA Inada et al, 2001. Aktivitas Antikanker S enyawa … 75 ngurangi pembentukan papiloma sebanyak 3,5 papiloma dan odorinol sebanyak 4,5 papiloma untuk setiap tikus. Dari hasil tes tahap dua karsinogenesis ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa odorin dan odoridol bersama dengan aktivitas antileukimia langsung dari odorinol menunjukkan bahwa senyawa ini mungkin akan menjadi senyawa antikarsinogen berharga dalam karsinogen kimiawi. Penyelidikan secara mendalam tentang mekanisme penghambatan senyawa ini dalam senyawa karsinogen sedang diteliti. 76 Desi Harneti P.H . 77 BAB V SENYAWA SITOTOKSIK DARI KULIT BATANG Aglaia crassinervia Aglaia crassinervia AGLAIA crassinervia adalah salah satu spesies tumbuhan dalam keluarga Meliaceae. Tumbuhan ini ditemukan di Brunei Darussalam, India Kepulauan Nikobar, Indonesia Kalimantan, Sumatera, Malaysia Peninsular Malaysia, Sabah, Sarawak, Myanmar, Filipina dan Thailand. Nama lain tumbuhan ini adalah Aglaia cinerea King, Aglaia pyricarpa Baker.f., Chisocheton sumatranus Baker.f. Nama lokal tumbuhan ini di Kalimantan yaitu Lansat-lansat, Lantupak, Segara, Sigirah. Su, dan kawan-kawan 2006, meneliti kandungan senyawa racun sel sitotoksik dari Aglaia odorata. Latar belakang, metode dan hasil penelitian Su dan kawan-kawan, dilaporkan pada bagian ini. Tumbuhan ini berupa pohon kanopi pertengahan tingginya 31 m dan diameternya 49 cm. Stipules absen. Daun-daun beragam, campuran, lapisan lebar, berbulu di bawah. Bunga-bunganya kira-kira berdiameter 1 mm, berwarna kuning, terletak di dalam panikel besar. Buah- 78 Desi Harneti P.H. buahnya berdiameter kira-kira 24 mm, berwarna krem kecokelatan, kapsul gemuk. Benihnya berwarna transparan merah kecokelatan. Ekologi tumbuhan ini terletak di dalam hutan campuran dipterocarp tak terganggu pada ketinggian 800 m. Di atas lereng bukit dan punggung bukit, tetapi juga umumnya sepanjang sungai dan alirannya. Di atas tanah liat sampai lahan berpasir. Di dalam hutan sekunder yang pada umumnya menyajikan sisa pra-disturbansi. Pengrusakan habitat adalah suatu ancaman bagi spesies ini. Taksonomi Aglaia crassinervia Kerajaan : Plantae Divisi : Tracheophyta Sub Divisi : Spermatophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Rosidae Ordo : Sapindales Keluarga : Meliaceae Genus : Aglaia Spesies : Aglaia crassinervia Gambar 5.1 Aglaia crassinervia Panell, 1992 Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 79 Eksperimen Bahan Tumbuhan Kulit batang 850 g Aglaia crassinervia dikumpulkan di Pulau Lombok, Indonesia, pada Oktober 2001, dan diidentifikasi oleh Soedarsono Riswan. Suatu spesimen voucher nomor koleksi SR-040 telah disimpan di Herbarium Bogoriense, Indonesia Institute of Science, Bogor, Indonesia. Ekstraksi dan isolasi Kulit batang yang telah dikeringkan dan digiling 850 g diekstraksi menggunakan MeOH 3x3 L pada suhu kamar, masing-masing 2 hari. Setelah penyaringan dan penguapan pelarut di bawah tekanan yang dikurangi, gabungan ekstak metanol kasar disuspensikan dalam H 2 700 mL, kemudian dipartisi, secara bergiliran, dengan petroleum eter 3x500 mL, CHCl 3 3x500 mL, dan EtOAc 3x500 mL, untuk menghasilkan ekstrak kering petroleum eter 5,2 g, CHCl 3 20,0 g, EtOAc 1,5 g, dan larut-H 2 0 kira-kira 14,6 g. Ekstrak larut-CHCl 3 ditemukan aktif dalam sel Lu1 dengan nilai ED 50 0,29 µgmL. Ekstrak ini kemudian dikromatografi kolom dengan Si gel 7x40 cm, 460 g 230-400 mesh, dan di elusi dengan CHCl 3- MeOH bergradien 50:1 sampai 2:1, menghasilkan tujuh fraksi F01-F07. Fraksi-fraksi ini di evaluasi kembali dalam sel Lu1 dan nilai ED 50 µgmL berturut-turut 1,6, 0,19, 1,4, 1,7, 16,4, 20 dan 20. Fraksi F01 dan F02 digabungkan dan dikromato- grafi pada kolom Si gel 5,5x40 cm dan dielusi dengan petroleum eter-aseton 12:1 sampai 1:1, untuk menghasilkan 7 subfraksi F0101-F0107. Fraksi F0102 dimurnikan dengan kolom kromatografi Si gel 4,0x40 cm menggunakan CHCl 3 -aseton 60:1 sampai 10:1 80 Desi Harneti P.H. sebagai pelarut, untuk menghasilkan campuran β- sitosterol dan stigmasterol 250 mg, dan campuran cabraleadiol dan epiokotillol 125 mg, berdasarkan kepolarannya. Integrasi 1 H NMR menduga bahwa rasio β-sitosterol dan stigmasterol sekitar 3:2, sedangkan rasio cabraleadiol dan epiokotillol sekitar 1:1. Dua campuran bahan alam ini tidak dapat dipisahkan oleh HPLC dan tidak diteliti lebih lanjut. Senyawa 5 520 mg didapatkan sebagai bubuk amorf putih dari larutan CHCl 3 -aseton kira-kira 12:1 dari F0103. Subfraksi F0104 di kromatografi pada kolom Si gel 3,8x45 cm dan dielusi dengan CHCl 3 -aseton 30:1 sampai 10:1, menghasilkan tambahan jumlah senyawa 5 6 mg dan campuran senyawa 4 5 58 mg. Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLT preparatif Si gel Merck 60Å, 20x20 cm, 500 µm, dikembangkan dengan CHCl 3 - MeOH 40:1, untuk menghasilkan senyawa 5 Rf = 0,62 ; 9,0 mg dan epi-isomernya, senyawa 4 Rf = 0,60 ; 15,2 mg. Subfraksi F0105 dimurnikan pada kolom Sephadex LH-20 3,5x45 cm dan di elusi dengan MeOH untuk memberikan 4 subfraksi selanjutnya F010501-F010504. Aglaiaglabretol B 2 85 mg, didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc kira- kira 1:1 dari F010502. Fraksi F010503 dimurnikan pada suatu kolom Si gel 4,0x30 cm dan dielusi dengan CHCl 3 -MeOH 100:1, untuk menghasilkan aglaiaglabre- tol A 1, 78 mg. Fraksi F010504 di kromatografi pada kolom Si Gel 4,0x30 cm dan di elusi dengan CHCl 3 - MeOH 80:1 sampai 60:1, menghasilkan suatu campuran 18 mg dan 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn- 1720-E-en-16-on 20 mg, berdasarkan kepolarannya. Campuran ini kemudian dimurnikan dengan KLTP Si gel Merck 60Å, 20x20 cm, 1000 µm, dikembangkan Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 81 dengan CHCl 3 -aseton 5:2, untuk menghasilkan senyawa 6 Rf = 0,56 ; 10,0 mg. Dua fraksi aktif lainnya dari kromatografi kolom awal, F03 dan F04, digabungkan dan di fraksionasi pada suatu kolom Si gel 4,0x40 cm menggunakan petroleum eter-aseton 8:1 sampai 1:1 sebagai eluat, dan menghasilkan 6 subfraksi F0301-F0306. Fraksi F0302 dimurnikan pada suatu kolom Si gel 4,0x30 cm dan di elusi dengan CHCl 3 -MeOH 100:1, untuk memberikan jumlah tambahan Aglaiaglabretol A 1 13,5 mg dan skopoletin 15 mg. Fraksi F0304 dimurnikan pada kolom Sephadex LH-20 3,5x45 cm dan di elusi dengan CHCl 3 -MeOH 1:1, untuk memberikan 5 subfraksi selanjutnya F030401-F030405. Aglaiaglabretol C 3 38 mg didapatkan sebagai suatu bubuk amorf putih dari larutan n-heksana-EtOAc kira-kira 1:2 dari F030402. Kandungan kimia tumbuhan Aglaia crassinervia Bagian larut-kloroform dari ekstrak metanol kulit batang Aglaia crassinervia Kurz. ex Hiern ditemukan menunjukkan aktivitas sitotoksik melawan beberapa sel kanker manusia. Belum ada studi fitokimia atau biologis yang telah dilaporkan dari tumbuhan ini sebelumnya. Fraksionasi yang dipandu bioassay dari ekstrak ini menggunakan sel Lu1 kanker paru manusia untuk memantau hasil fraksionasi dalam isolasi tiga glabretal baru tipe triterpenoid, aglaiaglabretol A –C 1–3, seperti halnya sembilan senyawa yang telah diketahui. Di antara isolat-isolat ini, siklopenta[b]benzofuran yang telah diketahui, rokaglaol 6, ditemukan sangat tinggi sitotok- siknya dan dapat dibandingkan dalam potensinya pada kontrol positif, paklitaksel dan kampotekin. 82 Desi Harneti P.H. Aglaiaglabretol A 1 Aglaiaglabretol A 1 diperoleh sebagai kristal jarum yang tidak berwarna, titik lelehnya 185-187 C. Rumus molekul C 30 H 48 O 5 diberikan pada Aglaiaglabretol A 1 berdasarkan pada HRESIMS mz nya 511,3383. Gambar 5.2. Struktur Aglaiaglabretol A 1 Su et al , 2006. Spektrum 1 H NMR dari senyawa 1 dalam CDCl 3, Tabel 1 menunjukkkan karakteristik sinyal untuk enam singlet dari gugus metil tersier CH 3 -19, 26, 27, 28, 29, dan 30, lima metin teroksigenasi dan proton metilen H- 7, H 2 -21, H-23, dan H-24, dan sejumlah proton overlap untuk alifatik metin dan metilen. Dan lagi, dua proton dari suatu metilen alifatik ditetapkan dengan korelasi 1 H- 1 H COSY dan HMQC diamati dalam suatu daerah relatif high-field pada δ H 0,69 1H, br d, J = 4,3 Hz, H=18a dan 0,48 1H, d, J = 4,6 Hz, H=18b. Konsisten dengan penentuan rumus molekul, 30 sinyal karbon Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 83 dimunculkan dalam spektrum 13 C NMR dalam CDCl 3, Tabel 1 dari senyawa 1. Data spektroskopik NMR DEPT135 menunjukkan bahwa 30 karbon dalam molekul senyawa 1 terdiri dari 6 gugus metil, 10 metilen, 7 metin, dan 7 karbon kuarterner, yang konsisten dengan analisis data spektroskopik 1 H NMR. Semua keterangan yang dijelaskan di atas, digabung dengan pertimbangan kemotaksonomi genus Aglaia, di duga bahwa senyawa 1 adalah suatu triterpen. Berdasarkan pada pengamatan pergeseran kimia 13 C NMR, jelas terlihat satu keton jenuh δ C 218,1, C-3, satu karbon metilen teroksigenasi δ C 70,7, C-21, tiga karbon metin teroksigenasi δ C 64,8, C-23; 74,0, C-7; 86,6, C- 24, dan satu karbon kuarterner teroksigenasi δ C 74,1, C- 25 terdapat dalam molekul senyawa 1. Dalam spektrum HMBC senyawa ini, korelasi di amati dari kedua sinyal proton CH 3 -28 dan CH 3 -29 ke C-3, C4, dan C-5, dari CH 3 -19 ke C-1, C-5, C-9, dan C-10, dari CH 3 -30 ke C-7, C-8, C-9, dan C-14, dan dari H-7 ke C-5, C-9, dan CH 3 - 30. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa 4 dari 6 gugus metil berada dalam cincin A dan B dari molekul senyawa 1. Sebagian struktur ini mirip dengan kebanyakan triterpenoid pada umumnya Connolly Hill, 2005. Pada interpretasi selanjutnya dari spektrum HMBC senyawa 1, korelasi dari khususnya proton metilen high-field pada δ H 0,69 H-18a dan 0,48 H-18b ke C-8, C-12, C-13, C-14, C-15, dan C-17 di amati. Korelasi ini, dalam gabungannya dengan pergeseran kimia H-18a, H-18b, dan C-18, dan konstanta kopling antara H-18a dan H-18b Ferguson et al ., 1973; Kashiwada et al ., 1992, menduga keberadaan suatu gugus metilen siklopropil dalam molekul senyawa 1 yang 84 Desi Harneti P.H. Tabel 5.1. Data Spektroskopik NMR dari Senyawa 1 a Su et al , 2006. a TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda Position Dalam CDCl 3 30075 MHz Dalam piridin-d 5 36090 MHz δ H δ C δ H δ C 1 1,80-1,92,m; 1,48, m 39,4 t 1,69-1,73, m; 1,37, m 39,8 t 2 2,47, m 33,9 t 2,50, m 34,2 t 3 218,1 s 216,7 s 4 46,7 s 47,0 s 5 2,11, m 45,3 d 2,40-2,46, m 45,7 d 6 1,67, br dd 7,0, 2,1 25,4 t 1,69-1,73, m 27,0 t 7 3,83, br s 74,0 d 3,96, br s 73,6 d 8 37,3 s b 37,8 s b 9 1,26-1,35, m 43,0 d 1,50-1,55, m 43,4 d 10 36,6 s 36,9 s 11 1,26-1,35, m 17,2 t 1,30, m; 1,14, m 17,7 t 12 1,80-1,92, m 28,14 t c 2,17, m; 1,69-1,73, m 28,8 t c 13 28,5 s 28,4 s 14 38,5 s b 39,0 s b 15 1,80-1,92, m; 1,53, m 26,1 t 1,80-1,91, m; 1,69- 1,73, m 26,4 t 16 2,05, m; 0,90, m 28,08 t c 1,80-1,91, m; 0,86, m 28,7 t c 17 2,22, br q 7,8 45,8 d 2,40-2,46, m 46,5 d 18 0,69, br d 4,3; 0,48, d 4,6 14,3 t 0,98, d 5,2; 0,59, d 5,3 15,4 t 19 0,95, s 16,0 q 0,90, s 16,0 q 20 1,55, m 40,4 d 1,50-1,55, m 41,1 d 21 4,09, br d 10,6 4,29, br d 11,6 3,42, br d 10,6 70,7 t 3,56, dd 11,5, 2,4 71,2 t 22 2,00, m; 1,52, m 36,4 t 2,26, m;1,80-1,91, m 37,5 t 23 3,83, m 64,8 d 4,34, m 65,2 d 24 2,90, d 9,1 86,6 d 3,37, d 9,2 87,8 s 25 74,1 s 73,5, s 26 1,31, s 28,5 q 1,66, s 24,9 q 27 1,29, s 24,0 q 1,65, s 29,2 q 28 1,03, s 20,9 q 1,08, s 21,2 q 29 1,09, s 26,7 q 1,18, s 26,8 q 30 1,09, s 19,9 q 1,02, s 20,3 q OH-7 2,57, br s 4,67, br s OH-23 3,66, br s 6,34, br s OH-25 3,05, br s 6,53, br s Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 85 kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1 H- 1 H COSY, HMQC, dan HMBC. b,c Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama. berlokasi antara C-13 dan C-14. Oleh karena itu, senyawa 1 ditetapkan sebagai suatu triterpen tipe glabretal Ferguson et al ., 1973. Pada umumnya, triterpenoid yang memiliki suatu gugus metilen siklopropil yang di isolasi dari spesies Aglaia adalah tipe sikloartan Inada et a l., 1997; Weber et a l., 2000, di mana gugus metilen siklopropilnya antara C-9 dan C-10. Keberadaan suatu cincin tetrahidropiran pada rantai samping ditentukan berdasarkan interpretasi yang di amati dari korelasi spektra 1 H- 1 H COSY, HMQC, dan HMBC senyawa 1. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, beberapa sinyal tumpang tindih di senyawa 1 dalam CDCl 3 dipisahkan menggunakan piridin- d 5 . Contohnya, sinyal CH 3 -29 dan CH 3 -30 senyawa 1 tumpang tindih pada δ H 1,09 dalam spektrum 1 H NMR yang dicatat di CDCl 3 saat dua resonansi ini jelas dipisahkan pada δ H 1,18 dan 1,02 dalam piridin- d 5 . Pada interpretasi spektra NOESY senyawa 1 yang diperoleh baik dalam CDCl 3 dan piridin- d 5 , korelasi diamati dari H-5 ke H-9 dan CH 3 -29, dari H- 7 ke CH 3 -30, dan dari H-9 ke H-18a. Hal ini diduga bahwa H-5, H-9, dan gugus metilen siklopropil berada di sisi yang sama dari molekul senyawa 1. Konfigurasi relatif H-20, H-23, dan H-24 dari cincin tetrahidropiran dalam rantai samping ditentukan sebagai α, β, dan α, berturut-turut, berdasarkan pengamatan korelasi NOESY baik dari H-20 dan H-24 ke H- 21α, dan dari H-23 ke CH 3 -26 dan CH 3 -27. Bagaimanapun, stereokimia relatif cincin tetra hi- dropiran dari rantai samping dan kerangka cincin senya - 86 Desi Harneti P.H. Gambar 5.3. Penggambaran ORTEP dari Aglaiaglabretol A 1 Su et al , 2006. wa 1 sulit untuk dilihat, sejak ikatan C-17C-20 memiliki rotasi bebas. Maka, analisis difraksi sinar-X kristal tunggal Gambar 5.3 dilakukan untuk menegaskan struktur dan untuk menetapkan stereokimia relatif keseluruhan molekul senyawa 1. Parameter Flack dari - 0,03 19 ditentukan untuk struktur sinar-X ini dan membolehkan penetapan stereokimia absolut dari Aglaiaglabretol A 1 Gambar 5.3. Penetapan ini konsisten dengan penentuan 23 R dengan analisis data spektoskopik 1 H NMR dari 1R dan 1S Tabel 2 yang didapatkan menggunakan metode ester Mosher yang sesuai Su et al ., 2002. Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 87 Tabel 5.2. Data spektoskopik 1 H NMR pilihan dari turunan ester R - dan S - MTPA 1r dan 1s dari senyawa 1 a Su et al , 2006. Posisi δ R δ S δ S- δ R 7 3,945, br s 3,946, br s +0,001 18 0,932 b 0,975, d 5,4 +0,043 0,539, d 5,3 0,602, d 5,4 +0,063 20 1,836, m 1,875, m +0,036 21 4,112, dd 11,0, 6,2 4,155, dd 11,1, 5,3 +0,033 3,788, dd 11,1, 5,0 3,786, dd 11,0, 4,3 -0,002 22 2,213, m 2,292, m +0,079 1,844, m 1,880, m +0,036 23 5,965, m 5,906, m -0,059 24 3,628, d 5,4 3,537, d 6,2 -0,091 a Spektra diperoleh dalam piridin- d 5 pada 360 MHz dari reaksi tabung NMR secara langsung; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada pengamatan korelasi 1 H- 1 H COSY. b Tumpang tindih dengan sinyal CH 3 -30. Aglaiaglabretol B 2 Aglaiaglabretol B 2 didapatkan sebagai bubuk amorf putih, titik leleh 132-135 C, menunjukkan puncak ion molekul tersodiasi pada mz 593,3802 dalam HRESIMS, menunjukkan rumus molekul C 35 H 54 O 6 . Gambar 5.4 Struktur Aglaiaglabretol B 2 Su et al , 2006. 88 Desi Harneti P.H. Kedua data 1 H dan 13 C NMR Tabel 5.3 senyawa 2 sangat mirip dengan senyawa 1, dan diduga bahwa senyawa 2 adalah triterpen glabretal juga Ferguson et al ., 1973. Ketika dibandingkan dengan senyawa 1, spektra 1 H dan 13 C NMR senyawa 2 menunjukkan tipikal sinyal untuk suatu substituen tigloiloksi pada δ H 6,83 1H, dq, J=7,1, 1,3 Hz, H- 3’, 1,83 3H, br s, H-5’, dan 1,78 3H, d, J=7,1 Hz, H- 4’, dan δ C 167,79 s, C- 1’, 136,48 d, C- 3’, 129,27 s, C-2’, 14,31 q, C-4’, dan 12,09 q, C- 5’ Ferguson et al ., 1973; El Sayed et al ., 1995. Dalam spektrum HMBC senyawa 2, kedua sinyal proton CH 3 -28 dan CH 3 -29 dikorelasikan dengan sinyal karbon pada δ C 80,71 d, C-3, menunjukkan keberadaan suatu metin teroksigenasi pada C-3 dalam molekul senyawa 2 sebagai pengganti gugus keton pada posisi yang sama di senyawa 1. Pada interpretasi selanjutnya dari spektrum HMBC senyawa 2, suatu korelasi dari H-3 ke karbon karbonil dari gugus tigloiloksi pada δ C 167,79 s, C- 1’ di amati. Korelasi ini digunakan untuk menentukan bahwa gugus tigloiloksi berada pada C-3 dalam senyawa 2. Spektrum 13 C NMR senyawa ini menunjukkan karakteristik sinyal untuk suatu gugus hemiasetal pada δ C 98,25 d, C-21 dan suatu gugus epoksi trisubstitusi pada δ C 67,66 d, C-24 dan 58,05 s, C-25. Berdasarkan pada interpretasi dari korelasi yang diamati dalam spektra 1 H- 1 H COSY, HMQC, dan HMBC, rantai samping senyawa 2 ditetapkan memiliki cincin tetrahidrofuran yang mengandung suatu gugus hemiasetal pada C-21. Dengan cara yang sama seperti untuk analog yang dilaporkan sebelumnya Ferguson et al ., 1973; Arruda et al ., 1994; Mulholland et al ., 1996, aglaiaglabretol B 2 diisolasi sebagai suatu campuran Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 89 epimer. Rasio epimer mayor dan minor sekitar 5:2. Data NMR untuk kedua epimer ditunjukkan dalam Tabel 3. Tabel 5.3. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 2 a Su et al , 2006. Posisi Isomer mayor Isomer minor δ H δ C δ H δ C 1 1,53-1,75, m; 1,03- 1,09, m 38,27 t 1,53-1,75, m; 1,03-1,09, m 38,17 t 2 1,69-1,75, m; 1,53- 1,67, m 23,51 t 1,69-1,75, m; 1,53-1,67, m 23,51 t 3 4,56, dd 11,4, 4,5 80,71 d 4,56, dd 11,4, 4,5 80,66 d 4 37,58 s b 37,58 s b 5 1,53-1,67, m 46,09 d 1,53-1,67, m 46,16 d 6 1,69-1,75, m; 1,53- 1,67, m 24,20 t 1,69-1,75, m; 1,53-1,67, m 24,20 t 7 3,76, br s 74,39 d 3,76, br s 74,25 d 8 38,86 s 38,91 s 9 1,21-1,36, m 44,17 d 1,21-1,36, m 43,99 d 10 37,18 s b 37,25 s b 11 1,21-1,36, m 16,37 t 1,21-1,36, m 16,22 t 12 1,53-2,15, m 27,51 t c 1,53-2,15, m 25,94 t c 13 28,99 s 28,58 s 14 36,88 s 36,01 s 15 1,53-2,15, m 25,29 t c 1,53-2,15, m 25,29 t c 16 1,53-1,75, m; 0,84- 0,91, m 26,34 t c 1,41, m; 0,94, m 25,98 t c 17 2,21, br q 7,6 44,83 d 2,05, m 48,22 d 18 0,67, br d 4,0; 0,48, d 4,2 13,77 t 0,75, br d 4,2; 0,50, d 4,4 13,59 t 19 0,91, s 15,97 q 0,90, s 15,85 q 20 1,85-1,91, m 49,35 d 2,08-2,18, m 50,66 d 21 5,43, m 98,25 d 5,43, m 102,16 d 22 1,90-2,01, m; 1,66- 1,74, m 30,83 t 2,03-2,11, m;1,38-1,42, m 32,82 t 23 3,88, ddd 7,4, 7,4, 7,2 78,43 d 3,95, m 77,34 d 24 2,84, d 7,5 67,66 d 2,70, d 7,6 65,35 d 25 58,05 s 57,25, s 26 1,30, s 25,03 q 1,35, s 24,94 q 27 1,31, s 19,21 q 1,31, s 19,42 q 28 0,90, s 16,88 q 0,90, s 16,88 q 29 0,88, s 27,82 q 0,88, s 27,82 q 30 1,04, s 19,53 q 1,03, s 19,47 q OH-7 2,52, br s 2,46, br s 90 Desi Harneti P.H. a Spektra 1 H dan 13 C diperoleh dalam CDCl 3 pada 500 dan 125 MHz, berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1 H- 1 H COSY, HMQC, dan HMBC. b,c Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama. Jika perbedaan antara epimer mayor dan minor yang dihasilkan dari konfigurasi gugus hidroksil hemiasetal, konstanta kopling dari H-2 0αH-21α dan H- 20αH-21β harus secara umum berubah, saat pola pemisahan H-23 dari dua epimer mirip. Bagaimanapun, sinyal H-21 dari dua epimer tumpang tindih pada δ H 5,43 dalam spektrum 1 H NMR senyawa 2, sejak dua proton hemiasetal ini hampir seluruh pergeseran kimianya sama dalam CDCl 3 . Oleh karena itu, beberapa perbedaan dalam konstanta kopling H- 20αH-21α dan H-20αH-21β dari dua epimer ini tidak jelas. Dengan kata lain, baik pergeseran kimia dan pola pemisahan dari H-23 dalam epimer ini secara jelas berbeda Tabel 5.3. Berdasarkan pengamatan spektroskopik ini, ada juga kemungkinan gagasan bahwa konfigurasi relatif dari C-23 dapat dibedakan dalam epimer ini, walaupun kemungkinan besar pada karbon hemiasetal dari titik kestabilan kimia. Oleh karena itu, aglaiaglabretol B 2 di asetilasi menggunakan asetat anhidrid dan piridin. OH- 21 3,06, br s 3,02, br s 1’ 167,79 s 167,79 s 2’ 129,27 s 129,27 s 3’ 6,83, dq 7,1, 1,3 136,48 d 6,83, dq 7,1, 1,7 136,48 d 4’ 1,78, d 7,1 14,31 q 1,78, d 7,1 14,31 q 5’ 1,83, br s 12,09 q 1,83, s 12,09 q Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 91 Gambar 5.5. 7,21-diasetat 2b dan 2d, 21-monoasetat 2a dan 2c, dan 7,21-dehidroaglaiagla-bretol B 2e Su et al , 2006. Empat produk asetilasi, dua 7,21-diasetat 2b dan 2d dan dua 21-monoasetat 2a dan 2c, dihasilkan. Konstanta kopling antara H-20 dan H-21 dalam semua produk asetilasi 2a-2d sangat dekat, antara 2,7-3,2 Hz. Hasil ini masih belum menunjukkan apakah bagian epimerik dalam Aglaiaglabretol B 2 pada C-21 atau C- 92 Desi Harneti P.H. 23. Sebab itu, Aglaiaglabretol B 2 di oksidasi menggunakan CrO 3 , membawa hanya pada satu produk oksidasi, 7,21-dehidroaglaiaglabretol B 2e, yang menetapkan bahwa epimer dalam Aglaiaglabretol B 2 ada pada C-21. Berdasarkan hasil transformasi kimia yang dijelaskan di atas, seperti halnya pola pemisahan dan konstanta kopling H-21 dan H-23 dari senyawa 2 Tabel 3 dan 2a-2d, dapat disimpulkan bahwa cincin tetrahidrofuran memiliki perbedaan konformasi ketika OH-21 atau AcO- 21 adalah orientaasi α- atau β- Gambar 3.6 Gambar 5.6. Kemungkinan konformasi dari cincin tetrahidrofuran dalam aglaiaglabretol B 2 ketika H-20 dan H-21 adalah trans A dan cis B, berturut-turut Su et al , 2006. Dengan cara yang sama seperti untuk aglaiaglabretol A 1, H-17 dan H-20 dari semua triterpen glabretal yang dilaporkan sebelumnya Ferguson et al ., 1973; Kashiwada et al ., 1992; Miller et al ., 1995; Harding et al ., 2001 telah diteta pkan sebagai β dan α, berturut-turut. Informasi ini, digabung dengan pengamatan korelasi NOESY dari H-20 ke H-23, ditentukan bahwa baik H-20 dan H-23 dari senyawa 2 adalah orientasi α. Atas dasar biogenesis, stereokimia relatif dari C-24 senyawa 2 ditetapkan sebagai R , yang Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 93 sama seperti pada senyawa 1. Pergeseran kimia karbon hemiasetal C-21 dari triterpen glabretal ada dalam daerah lebih up-field ketika gugus OH-21 atau AcO-21 memiliki orientasi β Harding et al ., 2001. Proton H-21 dari 2a dan 2b, dan d ari 2c dan 2d, ditentukan sebagai α dan β, berturut-turut, berdasarkan perbandingan pergeseran kimia C-21 dari produk asetilasi ini. Harding et al ., 2001. Aglaiaglabretol C 3 Gambar 5.7. Struktur Aglaiaglabretol C 3 Su et al , 2006. Kedua data 1 H dan 13 C NMR dari aglaiaglabretol C 3 tabel 4 sangat mirip dengan senyawa 2. Korelasi yang diamati dalam spektra 2D NMR 1 H- 1 H COSY, HMQC, HMBC, dan NOESY juga menduga keberadaan suatu gugus β-tigloiloksi pada C-3 dan suatu gugus α- hidroksi pada C-7 dalam molekul senyawa 3, sama seperti pada senyawa 2. Pergeseran kimia dari C-24 δ C 67,66 dan C-25 δ C 58,05 dari senyawa 2 diamati dalam daerah downfield δ C 74,80 dan 73,74 dalam spektrum 13 C NMR senyawa 3. Hal ini menunjukkan bahwa suatu gugus fungsional 24,25-dihidroksi dalam 3 telah menggantikan gugus 24,25-epoksi dalam senyawa 2. HRESIMS mz 611,3903 digunakan untuk menunjukkan rumus molekul senyawa 3 sebagai 94 Desi Harneti P.H. C 35 H 56 O 7 , satu unit H 2 O lebih banyak daripada senyawa 2. Aglaiaglabretol C 3 juga diisolasi sebagai suatu campuran epimer, dan rasio isomer mayor dan minor sekitar 5:1. Hanya data 1 H dan 13 C NMR dari epimer mayor yang ditunjukkan dalam Tabel 5.4. karena korelasi 2D NMR yang diamati untuk isomer tidak cukup jelas untuk melengkapi penentuan yang akan di buat. Dalam cara yang sama seperti penentuan senyawa 2 yang dijelaskan di atas, stereokimia relatif dari C-20, C-23, sdan C-24 dari senyawa 3 ditetapkan sebagai S , R , dan S , berturut-turut. Tabel 5.4. Data spektroskopik NMR dari Senyawa 3 a Su et al , 2006. Posisi Senyawa 3 36090 MHz δ H δ C 1 1,51-1,74, m; 1,02-1,06, m 38,25 t 2 1,51-1,74, m 23,45 t 3 4,49-4,58, m 80,72 d 4 37,53 s b 5 1,51-1,74, m 46,03 d 6 1,51-1,74, m 24,12 t 7 3,77, br s 74,35 d 8 38,84 s b 9 1,21-1,32, m 44,07 d 10 36,92 s b 11 1,21-1,32, m 16,30 t 12 1,86-2,00, m; 1,51-1,74, m 26,25 t b 13 28,84 s 14 37,11 s b 15 1,51-1,74, m; 1,21-1,32, m 25,67 t b 16 1,21-1,32, m; 0,84-0,91, m 27,46 t 17 2,19, m 44,91 d 18 0,67, br d 3,9; 0,47, d 4,5 13,73 t 19 0,90, s 15,97 q 20 1,86-2,00, m 48,61 d Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 95 21 5,36, br s 97,29 d 22 1,86-2,00, m; 1,81, m 29,44 t 23 4,49-4,58, m 78,75 d 24 3,14, d 7,6 74,80 d 25 73,74 s 26 1,26, s 26,72 q 27 1,30, s 26,78 q 28 0,90, s 16,86 q 29 0,88, s 27,80 q 30 1,03, s 19,51 q OH-7 2,55, br s b OH-21 5,08, br s b 1’ 167,88 s 2’ 129,16 s 3’ 6,83, dq 7,1, 1,2 136,66 d 4’ 1,79, d 7,1 14,36 q 5’ 1,83, s 12,09 q a Spektra 1 H dan 13 C diperoleh dalam CDCl 3 pada 360 dan 90 MHz, berturut-turut; TMS digunakan sebagai standar dalam; pergeseran kimia ditunjukkan dalam skala δ dengan harga J Hz dalam tanda kurung. Penetapan berdasarkan pada spektra 1 H- 1 H COSY, HMQC, dan HMBC. b Penetapan dapat dipertukarkan dalam kolom yang sama. Senyawa yang telah di ketahui yang di isolasi dari kulit batang Aglaia crassinervia Gambar 5.8. Struktur 3-epicabraleahidroksilakton 4 dan cabraleahidroksilakton 5 Su et al , 2006. 96 Desi Harneti P.H. Senyawa 4 dan 5 menunjukkan spektra 1 H dan 13 C NMR yang mirip, dan memiliki rumus molekul yang sama, C 27 H 44 O 3 , yang dibentuk untuk kedua senyawa tersebut berdasarkan data HREIMS-nya. Perbedaan pergeseran kimia NMR di antara dua senyawa ini jelas terlihat pada proton dan karbon dari cincin A, terutama pola pemisahan pada H-3. Interpretasi pengamatan korelasi NMR 2D menunjukkan bahwa senyawa 4 dan 5 mempunyai struktur kasar yang sama sebagai tipe dammaran nortriterpenoid tertentu. Sinyal H-3 diamati sebagai dobel doblet pada δ H 3,20 J=10,9, 5,2 Hz dan suatu singlet lebar pada δ H 3,39 dalam spektra 1 H NMR dari senyawa 4 dan 5, berturut-turut. Hal ini diduga bahwa senyawa 4 dan 5 adalah epimer pada C-3, yang telah ditegaskan oleh korelasi spektroskopik NOESY- nya. Senyawa 4, 3-epi-cabraleahidroksilakton, dilaporkan baru-baru ini sebagai suatu bahan alam baru dari minyak benih Camellia japonica, rupanya setelah hidrolisis dari asetatnya yang dimurnikan dari fraksi terasetilasi Akihisa et al ., 2004. Senyawa 5, cabraleahidroksilak - ton, di isolasi sebagai satu dari komponen utama dalam penelitian ini. Senyawa ini telah dilaporkan sebelumnya dari Cabralea polytricha Cascon Brown, 1972. Gambar 5.9. Rokaglaol 6 Su et al , 2006. Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 97 Senyawa lain yang telah diketahui yang didapatkan dalam penelitian ini adalah rokaglaol 6 Ishibashi et al ., 1993, cabraleadiol Hisham et al ., 1996, 2β,3β-dihidroksi-5α-pregn-1720-E-en-16-on Inada et al ., 1997, epiokotillol Mohamad et al ., 1999, skopoletin Lee et al ., 2001, dan campuran β-sitosterol Kojima et al ., 1990 dan stigmasterol Kojima et al ., 1990, diidentifikasi dengan membandingkan data fisik dan spektroskopik [α] D , 1 H NMR, 13 C NMR, DEPT, NMR 2D, dan MS dengan harga yang telah dipublikasikan. Evaluasi Aktivitas Biologis Semua isolat dan hasil transformasi kimia yang didapatkan dalam penelitian ini dievaluasi aktivitas sitotoksiknya terhadap beberapa sel kanker manusia. Tabel 5.5. Aktivitas sitotoksik dari senyawa 2, 2c, 2d, 3 dan 6 a Su et al , 2006. Senyawa Sel kanker b Lu1 LNCaP MCF-7 HUVEC 2 2,6 0,5 1,7 3,4 2c 6,2 3,8 2,5 8,7 2d 13,9 9,0 12,1 16,3 3 3,6 4,7 3,1 6,8 6 0,006 0,01 0,004 3,3 Paklitaksel c 0,002 0,004 0,0006 0,09 Kampotekin c 0,01 0,01 0,01 0,09 a Semua isolat lain dan produk transformasi kimia yang didapatkan dalam penelitian ini tidak aktif ED 50 5 µgmL. 98 Desi Harneti P.H. b Hasil ditunjukkan sebagai harga ED 50 µgmL. Kunci untuk sel kanker yang digunakan : Lu1, kanker paru-paru manusia; LNCaP, kanker prostat manusia bergantung hormon; MCF-7, kanker payudara manusia; HUVEC, sel endothelial pembuluh darah pusat manusia. c Digunakan sebagai kontrol positif. Di antara 12 isolat ini, dua triterpen glabretal baru, aglaiaglabretol B 2 dan C 3, dan turunan rokaglate yang telah diketahui, rokaglaol 6, ditemukan aktif, sedangkan semua senyawa lainnya tidak aktif ED 50 5µgmL. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 5, rokaglaol 6 menunjukkan potensi sitotoksik. Harga ED 50 dari rokaglaol 6, melawan sel kanker manusia yang digunakan Lu1, LNCaP, dan MCF-7 dibandingkan terhadap kontrol positif, paklitaksel Taxol ® dan kampotekin. Lebih lanjut, rokaglaol 6 ditemukan secara selektif 330 aktif melawan ketiga sel kanker, saat dibandingkan dengan sel HUVEC non-tumor tabel 5. Kuantitas terbatas dari senyawa 6 yang di isolasi tidak memungkinkan uji biologis tambahan untuk dilakukan sebagai bagian dari penelitian ini. Seperti dijelaskan di atas dalam penggambaran elusidasi struktur dan analisis konfirmasi dari aglaiaglabretol B 2, dengan maksud untuk menegaskan struktur dan menganalisis konfirmasi dari cincin tetrahidrofuran, senyawa ini diasetilasi dan dioksidasi. Menariknya, dua dari empat produk asetilasi yang didapatkan, 2c dan 2d, di mana OAc- nya orientasi α, ditemukan aktif atau secara garis besar aktif. Secara berlawanan, dua epimer lainnya, 2a dan 2b, tidak aktif. Produk oksidasi 2e juga tidak aktif melawan sel kanker yang digunakan. Aglaiaglabretol B 2 menunjukkan aktivitas penghambatan yang dapat dilihat hanya untuk sel kanker Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 99 payudara manusia MCF-7 di antara tiga tipe sel yang digunakan kanker paru-paru manusia Lu1; kanker prostat manusia bergantung hormon, LNCaP; dan MCF- 7 gambar 3.10. Pada dosis 6,25, 12,5, dan 25 mgkg berat badan, aglaiaglabretol B 2 menunjukkan penghambatan 37,4, 41,2, dan 66,2 , berturut-turut, dalam pertumbuhan sel MCF-7 yang diimplantasikan dalam kompartemen intraperitoneal ip. Bagaimanapun, pada dosis 50 mgkg berat badan, dua tikus mati dalam kaitannya dengan toksisitas senyawa ini. Berlawanan dengan itu, tidak ada efek penghambatan signifikan yang diamati dalam kompartemen subcutaneous sc dari tikus menggunakan sel MCF-7 dengan senyawa 2. Juga pada dosis ini 6,25, 12,5, 25, dan 50 mgkg berat badan, tidak ada efek penghambatan signifikan yang diamati baik pada kompartemen ip atau sc dari tikus untuk dua tipe sel lain yang digunakan, Lu1 dan LNCaP. 100 Desi Harneti P.H. Gambar 5.10. Efek dari aglaiaglabretol B 2 pada pertumbuhan sel LNCaP, Lu1, dan MCF-7 yang diimplantasikan pada kompartemen i.p kolom padat dan s.c kolom terbuka dari NCr nunu tikus. Hewan ini mendapat perlakukan dengan PBS kontrol atau dosis yang diindikasikan dari aglaiaglabre tol B 2 sehari sekali dengan suntikan intraperitoneal dari hari ke-3 sampai 6 Senya wa Sitotoksik dari Kulit … 101 setelah implantasi. Pada hari ke-7, tikus dikorbankan, dan seratnya diambil kembali dan dianalisis. Hasil ditunjukkan sebagai persentasi rata-rata dari pertumbu- han sel relatif pada kontrol. Perubahan dalam berat badan tikus pada akhir eksperimen di catat pada bagian bawah gambar. Bagian yang mendapat perlakuan secara signifikan berbeda dari bagian kontrol p 0,01; Bagian yang mendapat perlakuan secara signifikan berbeda dari bagian kontrol p 0,0001 menggunakan tes t Student’s , dengan n = 6 untuk bagian kontrol dan n = 3 untuk bagian yang mendapat perlakuan. 102 Desi Harneti P.H. 103 BAB VI AKTIVITAS INSEKTISIDA SENYAWA FLAVAGLIN DARI KULIT BATANG AGLAIA EDULIS TERHADAP LARVA SPODOPTERA LITTORALIS Aglaia edulis BACHER dan kawan-kawan 1999 , meneliti kandungan senyawa insektisal dari spesies Aglaia edulis . Pada bagian ini akan dilaporkan latar belakang, metode hasil penelitian dari Bacher dan kawan-kawan. A. edulis adalah salah satu spesies dari keluarga Meliaceae. Habitat alami dari Aglaia edulis tersebar dan jumlahnya hanya sedikit. Ditemukan di hutan hijau primer sepanjang pesisir pantai pada batu pasir atau tanah liat berpasir, tanaman ini juga dapat ditemukan di hutan sekunder India bagian barat, Bhutan, Cina bagian selatan, Hainan, Vietnam, Kamboja, jazirah Burma Myanmar, jazirah Thailand, Pulau Nikobar, jazirah Malaysia, Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Halmahera dan Filipina. Aglaia edulis memiliki nama umum sebagai berikut : - Filipina : curran kaniue Tagalog - Indonesia : langsatan Jawa - Thailand : kholaen prachuap khiri khan 104 Desi Harneti P.H . Pada umumnya pohon ini berukuran kecil hingga sedang, dengan tinggi mencapai 20 m, tinggi penopang sampai 1.5 m, permukaan batang berwarna cokelat kemerahan, cokelat kekuningan atau hijau keabuan, jika mengelupas akan terlihat warna cokelat jingga di dalam batangnya, batang bagian dalam berwarna merah muda atau cokelat. Lembaran daun berjumlah 5-9-11, tumbuh berseling, dengan tulang daun sekunder berjumlah 5-16 pasang, pada umumnya memiliki banyak lubang pada kedua bagian permukaannya. Jumlah mahkota bunga 5, daun bunga 5-7, dan kepala putik 5. Biji dari Aglaia edulis aman untuk dimakan. Lapisan tertentu dari kayu dapat dijadikan obat untuk diare. Kayu dari tanaman ini biasa dimanfaatkan untuk pembuatan perahu, pembangunan jembatan dan rumah, tetapi jumlahnya terbatas. Taksonomi Aglaia edulis Menurut Pannel 1992 taksonomi dari tanaman Aglaia edulis adalah sebagai berikut : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Orde : Sapindales Keluarga : Meliaceae Genus : Aglaia Spesies : Aglaia edulis Kandungan Kimia dari Aglaia edulis Genus Aglaia secara fitokimia merupakan penghasil senyawa dengan kerangka yang unik yaitu kerangka siklopentatetrahidrobenzofuran. Salah satunya kelompok senyawa rokaglamida. Rokaglamida dan Aktivitas Insektisida Flavaglin … 105 turunannya memiliki sifat insektisidal alami yang sangat kuat Nugroho et al ., 1998. Kandungan utama metabolit sekunder dari Aglaia edulis adalah kelompok senyawa benzo[ b ]oxepines, siklopenta[ b ]benzofuran, siklopenta[ bc ]benzopiran, dan golongan bisamida Kim et al ., 2005 ; Bacher et al ., 1999; Saifah et al ., 1999. Dari bagian daun A. edulis telah diisolasi tiga senyawa kelompok bisamida, yaitu aglaiduline, aglaithioduline dan aglaidithioduline. Struktur dari ketiga senyawa-senyawa tersebut adalah sebagai berikut : Gambar 6.1 Aglaiduline Gambar 6.2 Aglaithioduline Gambar 6.3 Aglaidithioduline 106 Desi Harneti P.H . Ketiga senyawa di atas menunjukkan hasil negatif untuk aktivitas antiviral terhadap virus herpes simpleks Saifah et al ., 1999. Dari batang Aglaia edulis Kim et al 2005 berhasil mengisolasi dua senyawa turunan benzo[b] - oxepines, Edulisone A dan B. Gambar 6.4 Edulisone A 1 Edulisone B 2 Aktivitas sitotoksik dari kedua senyawa di atas diujikan terhadap sel kanker manusia, tetapi keduanya tidak menunjukkan aktivitas yang berarti. Selain senyawa di atas, ada beberapa senyawa golongan alkaloid yang berhasil diisolasi dari tanaman Aglaia edulis : Gambar 6.5 Edulimida Aktivitas Insektisida Flavaglin … 107 Gambar 6.6 1,4-Butanediamine, 9CI; N,NBisphenylacetyl Spodoptera littoralis Spodoptera littoralis adalah suatu hama yang tersebar secara luas di Asia dan Pasifik. Penyebaran hama ini dikendalikan dengan baik secara biologis, tetapi kadang penyebaran terjadi akibat adanya angin puyuh atau tersebar dari dalam area terisolasi yang baru saja dibersihkan. Akibatnya Spodoptera littoralis mempunyai suatu cakupan tuan rumah yang luas . Ngengat atau ulat daun oriental Spodoptera littoralis adalah salah satu spesies dari keluarga Noctuidae yang merupakan hama bagi tanaman pertanian. Spodoptera littoralis ini juga dikenal sebagai klaster ulat bulu, ulat daun kapas, ulat pemotong tembakau, dan ulat tentara tropis. Di Indonesia Spodoptera litura dikenal dengan sebutan Ulat Grayak. Morfologi Bioekologi Spodoptera littoralis Telur Spodoptera littoralis berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun kadang 108 Desi Harneti P.H . tersusun 2 lapis, warna cokelat kekuning-kuningan, berkelompok masing-masing berisi 25 – 500 butir yang bentuknya bermacam-macam pada daun atau bagian tanaman lainnya, tertutup bulu seperti beludru. Gambar 6.7 Telur Spodoptera littoralis Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung bulan sabit warna hitam pada segmen abdomen keempat dan kesepuluh. Pada sisi lateral dan dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi cokelat tua atau hitam kecokelatan dan hidup berkelompok. Larva menyebar dengan menggunakan benang sutera dari mulutnya. Ulat menyerang tanaman pada malam hari, dan pada siang hari bersembunyi dalam tanah tempat yang lembab. Biasanya ulat berpindah ke tanaman lain secara bergerombol dalam jumlah besar. Warna dan perilaku ulat instar terakhir mirip ulat tanah, perbedaannya hanya pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung warna gelap memanjang. Umur 2 minggu panjang ulat sekitar 5 cm. Pupa, ulat berkepompong dalam tanah, membentuk pupa tanpa rumah pupa kokon berwana cokelat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm. Aktivitas Insektisida Flavaglin … 109 a b c Gambar 6.8 a larva instar 12, b larva instar 3, c larva instar terakhir Gambar 6.9 Pupa Spodoptera littoralis Ngengat dengan sayap bagian depan berwarna cokelat atau keperak-perakan, sayap belakang berwarna keputihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat dapat terbang sejauh 5 kilometer. Siklus hidup berkisar antara 30 – 60 hari lama stadium telur 2 – 4 hari, larva yang terdiri dari 5 instar : 20 – 46 hari, pupa 8 – 11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan telur 2.000 – 3.000 telur. 110 Desi Harneti P.H . Gambar 6.10 Ngengat Spodoptera littoralis Taksonomi Spodoptera littoralis Taksonomi Spodoptera litura adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthtropoda Kelas : Insekta Orde : Lepidoptera Famili : Noctuidae Genus : Spodoptera Spesies : Spodoptera littoralis Tanaman Inang Hama ini bersifat polifag, selain tomat hama ini juga menyerang kubis, cabai, buncis, bawang merah, terung, kentang, kangkung, bayam, padi, jagung, tebu, jeruk, pisang, tembakau, kacang-kacangan, tanaman hias, gulma Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., dan Trema sp. Gejala Serangan Larva yang masih kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan tinggal tulang-tulang daun saja. Larva instar lanjut merusak tulang daun. Gejala Aktivitas Insektisida Flavaglin … 111 serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beraturan pada buah tomat. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun, menyerang secara serentak berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat, umumnya terjadi pada musim kemarau. Pengendalian a. Kultur teknis - Sanitasi lahan dari gulma, - Pengolahan tanah yang intensif. b. Pengendalian fisik mekanis - Pembutitan, mengumpulkan larva atau pupa dan bagian tanaman yang terserang kemudian memusnahkannya, - Penggunaan perangkap feromonoid seks untuk ngengat sebanyak 40 buah per hektare atau 2 buah per 500 m 2 dipasang di tengah pertanaman sejak tanaman berumur 2 minggu. c. Pengendalian hayati Pemanfaatan musuh alami seperti : patogen Sl-NPV Spodoptera litura – Nuclear Polyhedrosis Virus, cendawan Cordisep, nematoda Steinernema sp. , predator Sycanus sp., Andrallus spinideus, Selonepnis geminada, parasitoid Apanteles sp., Telenomus spodopterae, Microplistis similis, dan Peribeae sp. d. Pengendalian kimiawi Dalam hal cara lain tidak dapat menekan populasi hama, digunakan insektisida yang efektif, terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian. 112 Desi Harneti P.H . apabila berdasarkan hasil pengamatan tanaman contoh, intensitas serangan mencapai lebih atau sama dengan 12,5 per tanaman contoh. Bahan dan Metode Bahan Tumbuhan Kulit Batang Aglaia edulis diperoleh dari Thailand barat daya, dekat air terjun Khao Lan, Thap Sakae, Prachuap Khiri Khan. Kode spesimen HG 515, disimpan di herbarium Institut Pertanian Universitas Vienna WU. Alat Peralatan yang digunakan antara lain: Spektrometer resonansi magnet inti Bruker, AM 400 WB dan DPX 250. Spektrometer massa Finnigan MAT 900 S. Spektrofotometer Inframerah Perkin-Elmer 16 PC FT-IR. Spektrofotometer UV Hewlett-Packard, 8452 Diode Array. Rotasi optik Perkin Elmer Polarimeter 241. HPLC Hewlett-Packard 1090 II , UV dengan detektor diode array dideteksi pada panjang gelombang 230 nm, Kolom berukuran 250 x 4mm, Hipersil BDS C-18.5 mm, menggunakan pelarut metanol bergradien 60±100 dalam larutan buffer 0.0015 M o-asam fosphorat, 0.0015 M tetrabutilammonium hidroksida pH 3, dengan laju alir 1mlmenit. Ekstraksi dan Isolasi Sebanyak 263 gram kulit batang Aglaia edulis yang sudah kering digiling dan diekstraksi dengan pelarut metanol pada suhu ruangan selama 3 hari, kemudian disaring dan diuapkan. Fraksi kloroform dari larutan diuapkan hingga kering di bawah tekanan berat fraksi Aktivitas Insektisida Flavaglin … 113 sebesar 2400mg dan dilanjutkan ke tahap pemisahan kromatografi kolom Merck silica gel 60,35-70 mesh dengan pelarut heksan, etil asetat dan metanol. Fraksi tersebut dielusi dengan etil asetat p.a dan kemudian dipisahkan dengan MPLC 30 vv etil asetat dalam heksan kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck LiChroprep silica 60, 225-40 mm, detector UV, 254 nm dilanjutkan dengan KLT preparatif Merck silica gel 60, F 254 dengan metanol 4 dalam kloroform, dihasilkan 24 mg aglaroksin- A1, 3 mg Pannelin2, 2 mg isothapsakin-B 4, 5 mg homothapsakin-A 5, 22 mg thapsakin-A 10-O-asetat 6, 4 mg thapsakon-A 7 dan 9 mg thapsakon-B 8. Pemurnian dilakukan berulang dengan MPLC dengan 50 vv etil asetat dalam heksan kolom berukuran 400 x 38 mm, Merck LiChropep silika gel 60, 25-40mm, detektor UV 254 nm dihasilkan 41 mg thapoksepin-A 9, 7 mg homothapoksepin-A 10, 5 mg thapoksepin-B 11 sama seperti thapsakin-B yang murni 3, yang akhirnya dimurnikan dengan metode KLT preparatif dengan fase gerak CH 2 CL 2 -Et 2 O-MeOH, 70:27:3 hingga menghasil- kan 6 mg senyawa murni. Uji Hayati Serangga Larva S. littoralis diperoleh dari suatu koloni laboratorium, dan dibesarkan pada suatu medium kacang berdasarkan diet asupan yang disesuaikan Srivastava Proksch, 1991. Uji hayati dengan pemberian makanan kepada larva segar n = 20 dimana sampel tersebut dicampurkan ke dalam diet asupan yang disesuaikan dengan beberapa variasi konsentrasi 0.05 sampai 50 gg fr. wt yang dilarutkan ke dalam pelarut Me 2 CO. Setelah 5 hari cawan lembab, 29 o C tingkat ketahanan 114 Desi Harneti P.H . larva dan tingkat pertumbuhan larva diamati dan dibandingkan dengan suatu kontrol yang hanya berupa pelarut. Rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol yang diisolasi dari akar A.odorata Lour yang diperoleh dari Ko Samet, Thailand bagian tenggara, HG 501, dan azadirachtin 96 dari Roth Karlsruhe, Jerman digunakan sebagai pembanding. Kemudian dari kurva respons serangga terhadap dosis tiap percobaan dilaku - kan 3x kita mendapat harga LC 50 dan EC 50 dengan menghitung analisis probit-log. Hasil dan Pembahasan Dengan menggunakan metode analisis HPLC UV dengan diode array, dari ekstrak kasar akar A. Edulis ditemukan 3 senyawa dalam jumlah besar, dan 8 senyawa minor lainnya, yang diisolasi dengan MPLC preparatif. Berdasarkan karakterisitik spektrum UV, senyawa-senyawa tersebut memiliki 3 tipe yang berbeda, yaitu : 1. Senyawa yang telah diketahui sebelumnya yang memiliki λ max 298 nm Brader et al ., 1998 untuk senyawa 2-6. 2. Spektrum yang hampir serupa, dengan sedikit pergeseran ke arah λ max 304 nm untuk senyawa 7 dan 8. 3. Spektrum yang berbeda, dengan λ max 280 nm dan 2 karakteristik bahu pada 335 dan 297 nm untuk senyawa 9-11. Aktivitas Insektisida Flavaglin … 115 Gambar 6.11 Struktur senyawa 1-8 Bacher et al, 1999 Tabel 6.1 Data 1 H NMR untuk senyawa 3-11 Bacher et al, 1999 Tabel 6.2 Data 13 C NMR untuk senyawa 3-11 Bacher et al, 1999 118 Desi Harneti P.H . Spektrum inframerah untuk senyawa 3-11 ditunjukkan oleh pita tajam pada 3430 hingga 3436 cm -1 CHCl 3 atau CCl 4 yang mengindikasikan adanya fibrasi N-H pada amida sekunder. Pita yang khas pada 1754 hingga 1760 cm -1 CHCl 3 atau CCl 4 dan 1216 hingga 1223 cm -1 CCl 4 pada senyawa mayor 6 dan 9 mengindikasikan adanya gugus ester pada posisi C-10, sedangkan gugus okso yang berada pada posisi yang sama pada senyawa 7 dan 8, menghasilkan sinyal yang lemah pada 1746 cm -1 . Dalam persetujuan dengan hak paten terbaru Ciba-Geigy, 1996, dari data 1 H dan 13 C NMR diketahui bahwa senyawa 1 adalah aglaroksin A yang merupakan turunan dari siklopenta[ b ]benzofuran, pada cincin A terdapat gugus metoksi dan metilendioksi, dan dimetil amida sederhana pada posisi 2. Dan dari data 1 H dan 13 C NMR, berdasarkan C,H-COSY, diketahui bahwa senyawa 2 adalah pannelin Brader et al ., 1998. Senyawa 3-6 menunjukkan adanya hubungan dekat antara karakteristik 1 H dan 13 C NMR: resonansi khas untuk 6-metoksi-7,8-metilendioksi yang tersubtitusi pada cincin A, subtitusi para - pada cincin B Ar’ dan fenil pada cincin C Ar”, telah digambarkan pada senyawa pannelin 2, mereka memiliki amida yang terhubung dari gugus karboksilat dari rangka flavaglin ke turunan putresin 2-aminopirolidin yang terhubung kem- bali dengan asam 2-metilpropanoat senyawa 3,4 dan 6 atau dengan asam 2-metilbutanoat senyawa 5. Hubu- ngan selanjutnya adalah dengan bisamida odorin, pem- bentuk piriferin, keduanya mengandung asam sinamat sebagai pengganti asam jenis flavaglin yang telah beberapa kali ditemukan pada tanaman spesies Aglaia. Senyawa 3-6 memiliki rangka siklopenta[ bc ]benzopiran 2,5-metano-1-benzooksepin, hal ini diketahui dari data Aktivitas Insektisida Flavaglin … 119 1 H dan 13 C NMR dan juga menggunakan teknik 2 dimensi, terutama NOESY dan HMBC. Flavaglin tipe ini telah digambarkan untuk senyawa aglain A, B dan C dari

A. Argentea

Blume Dumontet et al ., 1996. Bagaimanapun, turunannya memperlihatkan bahwa tidak ada gugus metilendioksi pada cincin A, dan mereka terhubung dengan odorine-like bisamida. Dalam kasus ini struktur bisamida piriferine-like jauh lebih besar. Siklopenta[ bc ]benzopiran dan siklopenta[ b ]ben- zofuran memiliki struktur yang berhubungan dekat: pembentuknya mungkin dikonversi menjadi bentuk selanjutnya dengan pembukaan ikatan 5-5a dan penutupan 5a-10. Hal tersebut kemungkinan terjadi melalui penataulangan ion karbenium setelah kehilangan gugus OH  pada posisi 10. Model dreiding menunjukkan, bahwa saat penataulangan terjadi, konfigurasi pada C-2 kuartener posisi 4 dalam penomoran siklopenta[ b ]benzo- furan mengalami perubahan dalam kedua struktur. Hal ini penting, karena konfigurasi absolut dari siklopenta[ b ] benzofuran flavaglin telah diketahui dari sintesis enansioselektif rokaglamida. Jika sistem siklopenta[ bc ]- benzopiran terhubung dengan topologi dari sistem siklopenta[ b ]benzofuran, jembatan C-10 antara C-2 dan C-5 dari cincin oksa-siklohepten mengarah ke atas. Seba- gai konsekuensi, subtituen 2- p -metoksifenil dan 5 gu- gus OH - harus menghadap ke bawah posisi α. Subtitu- en pada C-3 dan C-4 dengan berbagai macam posisi α atau β sekarang bisa berkorelasi dengan konfigurasi absolut dari subtituen ujung depan jembatan. Dalam kata lain, dari data NMR, konfigurasi relatif dapat diperoleh, konfigurasi absolut yang terlihat dalam formula struktural diperoleh dari konfigurasi absolut siklopenta- [ b ]benzofuran flavaglin yang telah diketahui. 120 Desi Harneti P.H . Resonansi 1 H dan 13 C NMR ditentukan dengan korelasi 2 dimensiC,H-COSY, H,H-COSY HMBC, dan NOESY dan terdata dalam Tabel 3.1 dan 3.2. Konfigu- rasi relatif dari variasi posisi C-3 cincin fenil, C-4 amida, C-10 OH atau OAc, dan diastereomer labil C- 13 antara 2 atom N ditentukan dengan NOESY. Dalam kasus senyawa nomor 3 campuran A:B = 5:3, signal NOESY 3- H2’6’-H, 2”6”-H, dan 10-OH mengindikasi- kan posisi 3β untuk proton pada C-3 dan penataulangan endo dari 10- OH relatif menjadi 3β-H. Signal 4-H2”6”- H, 13-H, 5-OH, NH untuk senyawa 3A dapat ditukar dengan 4α-H dan konfigurasi 13 S pada C-13. Orientasi spesial dari rantai samping bisamida dapat digunakan untuk membedakan konfigurasi 13 S dan 13 R dengan signal NOESY: hanya konfigurasi 13 S yang menggam- barkan signal 13-H4-H dan 20,21-H 3 2”6”-H. Komponen inti 3A menunjukkan signal 13-H4-H, 14-H, 15-H, NH dan 20,21-H 3 19- H, NH, 2”6”-H. Untuk komponen minor 3B tidak ada signal 13-H4-H dan 20,21-H 3 2”6”-H yang teramati. Senyawa 3A dan 3B menjadi campuran epimerik dengan konfigurasi 13 S 3A dan 13 R 3B. Senyawa 4 berbeda dengan senyawa 3 dengan perubahan konfigurasi dari gugus OH pada jembatan C- 10. Hal ini dapat disimpulkan dari signal 3-H10-H dapat membuktikan 3β-H dengan hubungan endo untuk 10-H atau ekso- untuk 10-OH. Signal yang kuat dari 4- H2”6”-H mengindikasikan konfigurasi 13 S semua pun- cak silang NOESY senyawa 3 dan 4 secara virtual adalah sama. Tidak berbeda dengan senyawa 3,4 dan 6, senyawa 5 memiliki tipe rantai samping odorin dan berbeda dari aglain C, hanya dengan adanya kehadiran gugus metilendioksi pada cincin A. Semua data 1 H dan Aktivitas Insektisida Flavaglin … 121 13 C NMR dari senyawa 5 serupa dengan aglain C. Signal H- 32’6’-H, 2”6”-H dan H-413-H, 2”6”-H, 10-OH membuktikan bahwa struktur digambarkan dalam dugaan formula dengan pola substitusi 3α-H dan 4β-H. Konfigurasi 13 S mengikuti hubungan NOESY 4-H13-H dan ini mengindikasikan signal NOESY 21-H 3 2”6”-H dibandingkan dengan Dumontet et al ., 1996. Perubahan dari konfigurasi relatif C-3 dan C-4 tercerminkan pada nilai konstan kopling J 3,4 sebesar 6.0 Hz pada senyawa 3 dan 5.1 Hz pada senyawa 4 kedua 3β, 4α, tetapi bernilai 10.0 Hz pada senyawa 5 3α, 4β.Harga konstan kopling J 3,4 = 9.6 Hz untuk asetat pada senyawa 6 menyiratkan konfigurasi 3α-H dan 4β-H yang mengikuti signal NOESY yang diharapkan. Ketertarikan khusus ada untuk hubungan NOESY antara gugus 10- asetat dan C-3 pada cincin fenil tidak tersubstitusi. Signal 10- asetil2”6”-H dan 2”6”-H3-H, 4-H, 10-asetil, 20-H 3 , 21-H 3 membuktikan adanya posisi endo dari 10- OCOCH 3 dan konfigurasi 13 S yang memungkinkan pendekatan gugus 20,21-dimetil pada cincin fenil tidak tersubstitusi proton 4-H dan13-H yang berdekatan menunjukkan hubungan yang diharapkan dari signal 4- H13-H. Untuk senyawa 7 dan 8, spektrum 1 H NMR jembatan metin proton C-10 H, OH hilang. Sejak munculnya resonansi keto pada spektrum 13C NMR, 10-OH telah dioksidasi menjadi karbonil keto. Data HMBC dan NOESY menunjukkan adanya resonansi dan penentuan konfigurasi rantai samping 13 S. Bagaimana- pun, konfigurasi relatif dari C-3 dan C-4 tidak dapat diperoleh dari data ini, karena ketiadaan proton pada jembatan C-10 tidak dapat memperlihatkan korelasi NOESY dengan or ientasi proton β pada C-3 dan C-4. 122 Desi Harneti P.H . Masalah ini dapat diselesaikan dengan baik dengan menggunakan Eufod 3 sebagai reagen penggeser. Meskipun senyawa 7 dan 8 polifungsional, hampir semua koordinasi terjadi pada gugus fungsi 10-keto. Eter menunjukkan kordinasi konstan yang sangat kecil, begitu juga dengan amida, dan alkohol tersier yang biasanya menunjukkan sedikit koordinasi untuk reagen penggeser lantanida dibandingkan dengan keton. Jika diasumsikan bahwa lanthanida induced shifts LIS untuk 3-H dan 4- H disebabkan karena koordinasi pada C-10 keto karbonil, hasil LIS memungkinkan interpretasi secara langsung. Proton 4-H pada senyawa 7 menunjukkan harga LIS yang lebih besar daripada 3-H 4-H 0.43 ppm, 3-H 0.27 ppm, untuk senyawa 8 didapat hasil yang bertolak- belakang 4-H 0.34 ppm, 3-H 0.67 ppm, ini hanya dapat dipertukarkan dengan konfigurasi 3α-H, 4β-H pada senyawa 7 dan konfigurasi 3β-H, 4α-H pada senyawa 8 karena harga LIS yang lebih besar adalah salah satu kemungkinan untuk posisi β menghadap ke arah keto karbonil yang juga dalam posisi β. Dalam konteks ini, proton 3-H dan 4-H adalah yang paling penting. Melihat nilai LIS untuk senyawa 8, didapat fakta yang lebih lanjut, untuk beberapa alasan sterik, koordinasi yang pantas dipertimbangkan mengambil tempat di posisi 15 karbonil amida. Hal ini mengindikasikan bahwa tingginya nilai LIS untuk 13-H, 19-H, dan untuk kedua gugus metil 20- dan 21-CH 3 dari senyawa 8. Bagaimanapun, ukuran koordinasi independen kedua sangat jauh dari proton 3-H dan 4-H dan harus mempunyai pengaruh kecil pada harga LIS proton terhadap kompleksasi utama pada karbonil keto 10. Data 1 H dan 13 C NMR dari senyawa 9-11 menunjukkan banyak karakteristik senyawa kelompok Aktivitas Insektisida Flavaglin … 123 flavaglin 1-8, contohnya: substitusi metilendioksi- metoksi pada cincin aromatik A, substitusi para-metoksi pada cincin B Ar’, cincin fenil sederhana cincin C Ar”, dan pasangan metin 3-H, 4-H, berkopling dengan sesamanya. Gambar 6.12 Struktur senyawa 9-11 Bacher et al, 1999 Senyawa 9-11 menunjukkan karakteristik sinyal tipe piriferin, di mana senyawa 10 terkarakterisasi adanya rantai samping analog odorin turunan bisamida. Diban- dingkan dengan keton pada senyawa 7 dan 8, pada senyawa ini karbonil dari keto hilang, bagaimanapun, tipe resonansi baru untuk gugus –COOCH 3 muncul pada spektrum 1 H dan 13 C NMR karbonil ester dan gugus es- ter OCH 3 ; bandingkan dengan tabel 3.1, 3.2 dan data IR. Hal ini merekomendasikan sebuah struktur yang mung- kin turunan dari siklopenta[ bc ]benzopiran tipe flavaglin dengan pembukaan oksidatif pada jembatan 2,5-metano. Dua turunan yang serupa, yaitu forbaglin A dan B, yang 124 Desi Harneti P.H . telah dilaporkan sebelumnya oleh Dumontet et al 1996, berbeda hanya pada konfigurasi C-13 berturut-turut epimer 13 R dan 13 S . Dalam kasus ini, senyawa 9 dan 11 diperoleh sebagai campuran epimer, dan epimer 13 S memiliki jumlah yang lebih besar. Dengan berdasarkan konfigurasi absolut siklopenta[ b ]benzofuran flavaglin yang telah diketahui, dan konfigurasi relatif yang diperoleh dari kristalografi sinar-X, konfigurasi absolut pada C-13 ditentukan sebagai 13 R untuk forbaglin A Dumontet et al ., 1996. Satu karakteristik dari epimer 13 R yaitu 19-H 3 dari odorin untuk cincin fenil Ar” tidak tersubstitusi, adalah pendekatan paling baik yang ditunjukkan pada spektrum NOESY sebagai forbaglin A. Dari kasus komponen minor piriferin diperoleh senyawa 9B dan 11B, efek yang serupa dipelajari untuk 19-H20- H 3 dari rantai samping dan cincin Ar”. Kedudukan 13 S untuk epimer A dan 13 R untuk epimer B didukung oleh adanya perbedaan karakteristik 13 C NMR untuk kedua bentuk. Terutama pergeseran C-14 dan C-15 untuk semua flavaglin oksepin, cocok untuk membedakan konfigurasi 13 S dan 13 R ; C-14: 33.6-34.4 13 S, 30.8- 31.7 13 R; C-15: 21.2-21.8 13 S, 0, 23.0-23.7 13 R ,semua data dibandingkan dengan tabel 3.2 senyawa 3- 11. Dengan pengecualian dari cincin A dan piriferin yang didapat dari rantai samping senyawa 9, resonansi 13 C NMR untuk konfigurasi 13 S senyawa 9A, 10 dan forbaglin B secara virtual adalah sama hal ini juga benar untuk senyawa 9B dan forbaglin A. Konfigurasi relatif pada posisi 3 dan 4 adalah identik untuk senyawa 9, 10, dan untuk semua forbag lin 3α-H dan 4β-H. Senyawa 11 13 S13 R AB terbukti berisomer dengan senyawa 9 AB. Hal ini diindikasikan dari berat molekul yang identik dan spektroskopi massa tanpa ada Aktivitas Insektisida Flavaglin … 125 perbedaan yang besar antara senyawa 9 dan 11. Data 13 C NMR senyawa 11 AB dan 9 AB berbeda sedikit tetapi cukup signifikan. Pada spektrum 1 H NMR terutama pada pergeseran kimia proton 3-H dan 4-H ditunjukkan adanya perbedaan nilai pergeseran kimia yang menghasilkan kesimpulan bahwa substitusi rantai samping dari gugus fenil Ar” dan bisamida mungkin berbeda pada senyawa 9 dan 11. Dengan prinsip, bahwa beberapa hubungan isomerik adalah mungkin pada posisi C-3 dan C-4, epimer dengan mengubah konfigurasi dari substituen, diastereomer dengan mengubah kedua konfigurasi 3β-H dan 4α-H seperti pada senyawa 3,4 dan 8, atau isomer konstitusional dengan menukar substituen 3-bisamida, 4- fenil, seperti yang tekah dijelaskan untuk aglaforbesin A dan B Dumontet et al ., 1996. Buruknya, tidak ada bukti dari NOESY atau HMBC yang mungkin untuk membuk- tikan struktur isomerik secara langsung dan dengan cara yang berdiri sendiri. Bagaimanapun dari semua data NMR senyawa flavaglin, hanya perubahan konfigurasi dari C-3 dan C- 4 yang menghasilkan diastereomer 3β-H dan 4α-H yang dapat dipertukarkan dengan data dari senyawa 11. Dari semua senyawa flavaglin yang telah diketahui saat ini termasuk siklopenta[ b ]benzofuran, proton benzilik ditemukan pada pergeseran kimia yang lebih besar daripada proton metin pada atom karbon yang mengandung rantai samping amida. Dalam kasus senyawa 11 AB proton berada pada δ 5.305.28. Dalam semua kasus diukur untuk flavaglin tipe benzoksepin dengan cincin fenil pada posisi 3, proton metin benzilik menunjukkan hubungan NOESY dengan kedua cincin aromatik B dan C Ar’ dan Ar”. Puncak silang dari NOESY ini tidak mungkin untuk cincin fenil tidak tersubstitusi pada posisi C-4 bandingkan dengan 4-fenil- 126 Desi Harneti P.H . 3-bisamida yang mensubstitusi aglaforbesin. Untuk kasus senyawa 11 AB puncak NOESY dari 3-H benzilik dengan 2’6’ dan 2”6” membuktikan posisi 3 untuk substituen fenil dan posisi 4 untuk substituen bisamida. Nilai konstan kopling J 3,4 yang hanya berbeda sedikit dalam senyawa 9 dan 11 adalah karakteristik untuk penataan transoid proton 3-H dan 4-H. Kemungkinan isomerik yang tertinggal adalah struktur diastereomer dengan konfigura si 3β-H dan 4α-H untuk senyawa 11 dibandingkan dengan 3α-H dan 4β-H pada senyawa 9. Dukungan lebih lanjut bahwa 11 adalah bukan isomer konstitusional dari senyawa 9 adalah puncak silang 10- OCH 3 2”6” untuk senyawa 9 dan 11, yang mengindikasi- kan adanya hubungan antara – COOCH 3 dan gugus fenil pada C-3. Pada intinya, hal yang harus digaris bawahi dari semua ini adalah bahwa semua flavaglin benzokse- pin dalam penelitian ini mengisolasi turunan 3α-H, 4β-H dalam jumlah lebih banyak daripada diastereomer 3β-H, 4α-H senyawa 5 dan 6 bertentangan dengan senyawa 3 dan 4, dan pasangan diastereomer 78 dan 911. Terbentuknya flavaglin siklopenta[ b ]benzofuran senyawa 1,2 dengan benzo[ bc ]piran tersubstitusi se- nyawa 3-8, dan turunan benzoksepin 9-11 dari A. edulis menghasilkan suatu pola biogenetik umum. Biogenetik ini didukung oleh laporan sebelumnya dari A. argentea dan A. Forbesii , di mana flavaglin dari ketiga tipe struktur menunjukkan pola substitusi umum dari cincin aromatik yang diperoleh dari A.edulis mengalami dimetoksilasi cincin. Dalam jalur biosintetik inti flavonoid akan bergabung dengan asam sinamat untuk membentuk rangka siklopentabenzo[ bc ]piran. Transfor- masi dari rangka siklopentabenzo[ bc ]piran menjadi siklo- Aktivitas Insektisida Flavaglin … 127 penta[ b ]benzofuran dapat dijelaskan dengan pembukaan ikatan 5a dan penutupan 10-5a, di mana benzo[ b ]oksepin dapat diperoleh dari oksidasi pemaksapisahan dari jembatan 2,5-metanol dengan 5-10 Gambar 6.13. Gambar 6.13 Hubungan biosintetik antara rangka Flavaglin Bacher et al, 1999 Seperti dari laporan sebelumnya, 2 flavaglin dengan rangka benzofuran yaitu aglaroksin A senyawa 1 dan pannelin senyawa 2 Brader et al ., 1998, diketahui memiliki sifat racun serangga yang sangat signifikan terhadap larva S. littoralis. Sebaliknya turunan benzopiran senyawa 6 dan turunan benzoksepin senyawa 9 tidak menunjukkan efek yang signifikan tabel 3.3. Turunan benzofuran yang sudah tidak asing 128 Desi Harneti P.H . lagi yaitu rokaglamida, aglafolin dan rokaglaol yang diisolasi dari akar tanaman A.odorata Lour dijadikan perbandingan untuk nilai LC 50 dan EC 50 . Dan senyawa limonoid azadirachtin dijadikan sebagai kontrol positif. Seperti yang dapat kita lihat pada Tabel 3.3, tingkat keta- hanan dan perhambatan pertumbuhan dari senyawa turunan benzofuran serupa dengan rokaglamida sebagai Senyawa Tingkat ketahanan LC 50 95 FL a gg fr.wt Perhambatan pertumbuhan EC 50 95 FL b gg fr.wt Aglaroksin A 1 Pannelin 2 Thapsakin-A 10-O- asetat 6 Thapoksepin-A 9 Rokaglamida Aglafolin Rolaglaol Azadirachtin 2.2-5.2 2.1 1.2- 4.3 50 50 1.1 0.8- 2.6 2.9 2.6- 3.1 20 6.1 4.1- 11.0 0.21 0.19-0.22 0.24 0.20-0.29 50 50 0.14 0.12-0.17 0.25 0.19-0.31 3.40 2.08-5.95 0.11 0.05-0.17 Tabel 6.3 Nilai LC 50 dan EC 50 dari flavaglin dan azadirachtin terhadap larva neonatus Spodoptera littoralis Bacher et al, 1999. Aktivitas Insektisida Flavaglin … 129 a larva neonatus S.littoralis dalam medium kacang n=20 diberikan artificial diet 3.8 g yang dicampurkan dengan beberapa konsentrasi sampel, setelah 5 hari tingkat ketahanan dan pertumbuhannya ditentukan secara triplo dan dibandingkan dengan kontrol. LC 50 dan EC 50 ditentukan dengan analisis probit-log b batas fidusial senyawa yang paling aktif, dan rokaglaol sebagai senyawa turunan yang paling tidak aktif. Dengan rocaglaol sebagai pengecualian, dapat kita simpulkan bahwa semua turunan benzofuran memiliki tingkat toksisitas terhadap serangga yang lebih tinggi daripada azadirachtin. 130 Desi Harneti P.H . 131 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, S.A. 2002. Peranan Kimia Bahan Alam dalam Tanaman Berkhasiat Obat . Makalah Pembicara Tamu Universitas Katholik Widya Mandala. Anonim, 2006, Heart of Borneo: Sumber kekayaan medis yang belum terungkap, diakses melalui : http:www.wwf.or.id . [23-6-2006] Anonim. 2003. Apa yang Harus Anda Ketahui Tentang Kanker. http: www. Indosiar. com Anonim. 2007.Kanker.http: www.wikipedia.comkanker Anonymous. 2005. Tanaman Obat Indonesia. Dalam http:www.ppipteknet.co.id Anonymous. 2006. Artemia salina-Sea monkey- Anatomy-Taxonomy. Dalam http:www.captain.atartemiasalina-anatomy.htm Bacher, M., O. Hofer., G. Brader., S. Vajrodaya., and H. Greger. 1999. Thapsakins: possible biogenetic intermediates towards insecticidal cyclopenta [b] benzofurans from Aglaia edulis . Phytochemistry.

52, 253-263.

Benosman, A., Richomme, P., Sevenet, T., Perromat, G., Hadi, A.H.A., Bruneton, J., 1995. Tirucallane triterpenes from the stem bark of Aglaia leucophylla , Phytochemistry , 405, 1485-1487. Brader, G., S. Vajrodaya., H. Greger., M. Bacher., H. Kalchhauser., and O. Hofer. 1998. Bisamides, lignans, triterpenes, and insecticidal cyclopenta [b] benzofurans from Aglaia species . Journal Natural Product . 61, 1482-1490. 132 Desi Harneti P.H. Bray, D.H., D.C. Warhurst., J.D. Conolly., M.J. O’Neil., and J.D. Philipson. 1990. Plants as Source of Antimalarial Drug. Pt. 7 activity of some species Meliaceae plants and their constituent limoids. Phytother . Res . 4, 29-35. Chaidir., J. Hiort., B.W. Nugroho., F.I. Bohnenstengel., V. Wray., L. Witte., P.D. Hung., L.C. Kiet., W. Sumaryono., and P. Proksch. 1999. New insecticidal rocaglamide derivatives from flowers of Aglaia duperreana . Phytochemistry

52, 837-842.

Christy, W. W. 2007. Plant Sterols and Related Lipids: Structure, Occurrence, Biochemistry and Analysis . Scottish Crop Research Institute. Scotland. Cui, B., H. Chai., T. Santisuk., V. Reutrakul., N. Farnsworth., G.A. Cordell., J.M. Pezzuto., and A.D. Kinghorn. 1997. Novel cytotoxic 1 H - cyclopenta[ b ] benzofuran lignans from Aglaia elliptica . Tetrahedron . 53, 17625-17632. Djisbar, A., WAhyuni, S., dan Martono, B. 1999. Koleksi Beberapa tanaman insektisida nabati di BALITTRO. Pemanfaatan Insektisida Nabati . Vol VI, 2, 10-15. Dumontet, V., Thoison, O., Omobuwajo, O.R., Martin, M. T., Perromat, G., Chiaroni, A., Riche, C., Pais,

M., Sévenet, T. 1996. New Nitrogenous ang aromatic derivates from

A. Argentea

and

A. forbesii

. Tetrahedron , 52,6931-6942. Fuzzati, N., W. Dyatmiko., A. Rahman., F. Achmad., and K. Hostettmann. 1996. Triterpenoid, lignans, and a benzofuran derivative from te bark of Aglaia elaeagnoidea . Phytochemitry . 425, 1395- 1398.