Workshop “Strategi Pengembangan Usaha Garam Rakyat
Berbasis Nilai Sosiokultural untuk Mewujudkan Swasembada Garam Nasional ”
Hotel Ibis Semarang, 15 Oktober 2012
Kerja sama Deputi Pertanian dan Kelautan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Univeritas Diponegoro,
dan Klaster Garam Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah
1
MEMBONGKAR PERSOALAN STRUKTURAL TATA NIAGA GARAM RAKYAT
Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si.
Ketua Klaster Garam Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah
ABSTRACT This article entitled Deconstructing t
he Structural Problems of Community’s Salt Trade
System studied the problems of how is
the portrait of the community’s salt trade system
and the core structural problem which is created the chaotic trade system of communit
y’s salt recently. The
result shows trade system in
community’s salt tended to
be out of the governments hands, so that it is thoroughly depended on the trade
mechanism. Therefore, the community’s sal
t become a commodity which was dominated and controlled by capital owners in every level both locally and supra-locally and
showed a hegemonic and monopolistic pattern. The capital owners got the maximum profit from salt commodity. In such condition, the salt farmer as the producer of salt
raw materials had a very limited access and equity to the trade. Ironically, government as the policy authorities tended to preserve the trade structure. It was proven by the
absence of decisive action and sanctions for trader that played the price of community’s
salt. Key
words: trade system, community’s salt, structural, hegemonic, monopolistic
I. Pendahuluan
Garam rakyat sebagai komoditas perdagangan dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi isu strategis nasional yang sangat menarik banyak pihak baik pemerintah,
pers, pelaku bisnis maupun akademisi. Hal itu antara lain terkait dengan tren impor garam yang terus meningkat yang meresahkan petani garam dan kurangnya
keberpihakan pemerintahan pada komoditas garam rakyat. Sebagaimana diketahui, realisasi impor garam konsumsi 99.754 ton pada tahun 2009, 597.583 ton pada
tahun 2010, dan 923.756 ton pada tahun 2011; sedangkan realisasi impor garam industri adalah 1.636.699 pada tahun 2009, 1.590.049 pada tahun 2010 dan
1.691.440 pada tahun 2011. Kondisi ini jelas menjadi salah satu indikator ketidakberdayaan, jika tidak boleh dikatakan ketidakmampuan, garam rakyat dalam
memasok kebutuhan garam secara nasional. Argumen dasar yang selalu mengemuka atas realitas tersebut adalah total produksi garam rakyat secara kuantitas dan kualitas
masih jauh di bawah kebutuhan nasional, yaitu hanya mampu memasok sekitar 30- 35 dari total kebutuhan nasional, dan itu pun terbatas untuk garam konsumsi. Data
Workshop “Strategi Pengembangan Usaha Garam Rakyat
Berbasis Nilai Sosiokultural untuk Mewujudkan Swasembada Garam Nasional ”
Hotel Ibis Semarang, 15 Oktober 2012
Kerja sama Deputi Pertanian dan Kelautan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Univeritas Diponegoro,
dan Klaster Garam Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah
2 produksi garam rakyat pada tahun 2009 adalah 1.371.000 ton, tahun 2010 sebesar
306.000 ton dan pada tahun 2011 sebesar 1.113.118 ton; sedangkan kebutuhan total nasional sebesar 2.960.250 ton pada tahun 2009, 3.003.550 ton tahun 2010, dan
3.232.206 ton pada tahun 2011 Kementerian Perindustrian RI, 2011. Jika dicermati, persoalan ketidakberdayaan garam rakyat dalam memasok
kebutuhan garam nasional dan fenomena tren impor garam tidak semata-mata terkait dengan supply and demand an sich atas komoditas garam, tetapi lebih dari itu juga
tidak bisa dipisahkan dari tata niaganya. Dari pemberitaan media tampak bahwa tata niaga garam rakyat dipandang oleh masyarakat dalam kondisi yang tidak jelas, bahkan
carut marut. Oleh karena itu, komponen masyarakat di sentra garam Madura beberapa waktu yang lalu September 2012 mengadu ke Kemenko Perekonomian RI
agar membuat regulasi tata niaga garam yang lebih konsisten dan berpihak kepada petani garam. Tuntutan yang hampir sama disampaikan oleh Himpunan Masyarakat
Petani Garam HMPG Jawa Timur, yang meminta pemerintah untuk membuat tata niaga garam yang jelas dan berpihak kepada masyarakat kecil. Bahkan, Persatuan
Petani Garam Rakyat Sumenep PERRAS dan Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia APGASI melakukan aksi tabur garam di gedung DPRD sebagai bentuk
protes terhadap tata niaga garam rakyat yang amburadul. Pemerintah sebenarnya telah membuat beberapa kebijakan menyangkut tata
niaga garam. Diawali dari Surat Keputusan SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 360MPPKep52004 tentang impor garam,
kemudian Peraturan Menteri Perdagangan Permendag No. 20M-DAGPER92005 tentang Ketentuan Impor Garam jo. Permendag No. 44M-DAGPER102007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 20M-DAGPER92005 tentang Ketentuan Impor Garam. Selanjutnya, menyangkut perbaikan harga dasar garam
rakyat telah diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02DAGLUPER52011, bahwa harga garam rakyat di tingkat pengumpul atau
collecting point kondisi curah di atas truk yang harus dibeli oleh Importir Produsen IP untuk KP1 minimal Rp 750,-kg dan KP2 minimal Rp 550,-kg. Kebijakan tata
niaga impor garam itu diperbaharui lagi dengan Permendag No. 58M- DAGPER92012 tanggal 4 September 2012. Semuan kebijakan tata niaga garam itu
pada dasarnya lebih mengatur tata niaga garam impor, sedangkan yang menyangkut garam rakyat hanya diselipkan menjadi bagian integral dari kebijakan tersebut.
Dengan begitu, hingga saat ini belum pernah ada kebijakan yang secara khusus dan
Workshop “Strategi Pengembangan Usaha Garam Rakyat
Berbasis Nilai Sosiokultural untuk Mewujudkan Swasembada Garam Nasional ”
Hotel Ibis Semarang, 15 Oktober 2012
Kerja sama Deputi Pertanian dan Kelautan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Univeritas Diponegoro,
dan Klaster Garam Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah
3 otonom mengatur tentang tata niaga garam rakyat. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika secara umum didapat gambaran bahwa kondisi tata niaga garam rakyat menjadi carut marut, tidak jelas arah mata rantainya. Bertitik tolak dari hal itu,
tulisan ini akan mengaji lebih lanjut potret tata niaga garam rakyat dan akar masalah struktural yang telah menciptakan kecarutmarutan dalam tata niaga garam rakyat
tersebut.
II. Kebijakan Tata Niaga Garam: antara Harapan dan Kenyataan