Penanggulangan Korupsi di Indonesia

E.2. Penanggulangan Korupsi di Indonesia

Lembaga anti-korupsi pertama di Indonesia dibentuk pada akhir 1950an. Melalui UU Keadaan Bahaya, dibentuk Panitia Retooling (Paran) yang terdiri dari satu ketua dan dua anggota. Keberadaan Paran segera hilang setelah dianggap bertentangan dengan kewenangan pemberantasan korupsi ada di tangan Presiden dan akhirnya Paran dibubarkan setelah melalui kekacauan politik. Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menerbitkan Kepres No. 275 tahun 1963 yang menerbitkan lembaga Operasi Budhi yang bertugas menjerat perusahaan dan lembaga negara yang melakukan aksi korupsi. Awal kinerja Operasi Budhi dipandang menjanjikan karena berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 11 milyar. Operasi Budhi dibubarkan ketika sedang ingin menjerat Direktur Pertamina dan diganti dengan lembaga baru yakni Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) yang dianggap tidak memiliki catatat signifikan dalam pemberantasan korupsi. Kontrar bubar ketika Soekarno tidak lagi menjadi presiden.

Pada tanggal 16 Agustus 1967, awal masa Orde Baru (Orba), Soeharto mengkritik kegagalan Soekarno (Orde Lama atau Orla) dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal ini disampaikan oleh Soeharto pada saat pidato kenegaraan, seiring dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung. TPK dipandang gagal memiliki kemampuan dan kemauan dalam memberantas korupsi ketika kasus korupsi di Pertamina yang diajukan oleh TPK tidak ditanggapi oleh berbagai institusi penegak hukum lainnya. Melemahnya TPK mendorong pembentukan Operasi Tertib (Opstib) pemberantasan korupsi. Opstib ini menjadi tidak berfungsi karena terjadi perselisihan internal.

Belajar dari pemerintahan Orde Baru yang sarat dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, di era reformasi disahkanlah TAP MPR 9/1998 mengenai penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Perlu dicatat bahwa TAP MPR 9/1998 memuat amanah reformasi, dan hal ini dapat dilihat pada salah satu pertimbangan yang digunakan dalam menyusun TAP MPR tersebut (pertimbangan poin c TAP MPR 9/1998):

Bahwa tuntutan hati nurani rakyat menghendaki adanya penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab agar reformasi pembangunan dapat berdayaguna dan berhasilguna;

Amanah utama reformasi menyatakan komitmen rakyat Indonesia tidak lagi menginginkan praktik kolusi, korupsi dan nepotisme tumbuh dan berkembang di Indonesia. Pada era reformasi, B.J. Habibie mengeluarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme bersamaan pembentukan lembaga anti korupsi Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Ombudsman.

Pada masa pemerintahaan Abdurrahman Wahid, diterbitkan PP No. 19 Tahun 2000 yang membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Ketika TGPTPK telah menunjukan berbagai pendekatan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK dibubarkan dengan alasan bertentangan dengan UU yang sudah ada. UU No. 31 Tahun 1999 dipandang MA bertentangan dengan PP No. 19 Tahun 2000. Pada priode ini lembaga anti-korupsi di Indoensia hanya KPKPN, namun KPKPN dipandang tidak didukung dengan infrastruktur hukum yang kuat sehingga tidak memiliki wewenang yang kuat.

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pembentukan lembaga anti korupsi dilakukan di era Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi, namun efektivitas penanggulangan korupsi saat itu dipertanyakan akibat berbagai ganjalan politik.

Pada tahun 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan UU No 30 Tahun 2002 bersamaan dengan lembaga anti korupsi baru yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bersamaan dengan UU ini, KPKPN dilebur kedalam KPK. KPK resmi berdiri tahun 2004 dan mulai menangani kasus di tahun 2005. Sejak pendirian KPK, aparat penegak hukum di bidang korupsi meliputi Polri, KPK dan Kejaksaan. Sepanjang tahun 2004 hingga 2015, KPK telah menangan berbagai kasus terkait korupsi. KPK telah berhasil menjerat pejabat tinggi dari berbagai latar belakang seperti ketua umum partai nasional, mentri, gubernur, hakim Mahkamah Konstitusi. KPK adalah lembaga anti- korupsi pertama yang memperolah pujian dari dunia internasional dan mendapatkan penghargaan internasional.

Di tahun 2001, FATF memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara Non Cooperative Countries and Territories, yang artinya Indonesia dipandang sebagai negara yang rawan pencucian uang. Di tahun 2002, UU anti pencucian uang di sahkan dan sekaligus mengamatkan pendirian PPATK. PPATK didirikan tahun 2003 dan mulai beroperasi penuh tahun 2004. Fungsi PPATK pada saat itu cenderung pasif dan tidak memiliki keterkaitan langsung dengan instansi penegak hukum lain. Tidak ada kewajiban dari PPATK untuk melakukan penyelidikan transaksi keuangan mencurigakan secara mandiri tanpa adanya permintaan dari aparat penegak hukum.

Kebuntuan kelembagaan ini terpecahkan dengan diratifikasinya UU 8/2010. Sesuai amanah UU 8/2010, PPATK wajib melakukan data sharing terhadap hasil investigasinya kepada seluruh instansi penegak hukum (Polisi, Kejaksaan dan KPK), serta berhak menelusuri penggunaan data yang telah dishare tersebut ke instansi terkait. Sejak itulah terdapat mekanisme keterkaitan yang jelas antara aparat penegak hukum dan KPK. Atas Kebuntuan kelembagaan ini terpecahkan dengan diratifikasinya UU 8/2010. Sesuai amanah UU 8/2010, PPATK wajib melakukan data sharing terhadap hasil investigasinya kepada seluruh instansi penegak hukum (Polisi, Kejaksaan dan KPK), serta berhak menelusuri penggunaan data yang telah dishare tersebut ke instansi terkait. Sejak itulah terdapat mekanisme keterkaitan yang jelas antara aparat penegak hukum dan KPK. Atas

IPK Indonesia dan Negara ASEAN

Sumber: diolah dari Transparency International (2015) Gambar 7: Perbandingan IPK ASEAN-5 1995-2013

Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari berbagai negara ASEAN, secara umum, tingkat korupsi di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Pada tahun 1995, Indonesia memiliki IPK 1.9 dan berubah menjadi 3.2 pada tahun 2013 atau naik 1.3 poin selama 19 tahun (kurang dari 0.1 poin per tahun). Dengan kondisi yang relatif stagnan ini, tingkat korupsi di Indonesia telah mengalami perbaikan namun belum ada lompatan kinerja dalam penanggulangan korupsi. Selama 19 tahun, Indonesia tetap menjadi salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di antara anggota negara ASEAN. Namun yang menarik adalah selisih nilai IPK Indonesia dengan anggota negara ASEAN semakin mengecil setelah 19 tahun.

IPK Indonesia dan Negara Berkembang Lainnya

Sumber: diolah dari Transparency International (2015) Gambar 8: Perbandingan IPK antara Indonesia dan negara lain

Jika kita melihat perkembangan korupsi Indonesia dengan negara berkembang lainnya maka dalam 19 tahun terakhir negara China dan Nigeria yang memiliki keberhasilan meningkatkan nilai IPK paling besar. Sedangkan Indonesia, Brasil, dan India cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Terlepas dari berbagai usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi korupsi, berbagai survey menunjukkan akutnya masalah korupsi di Indonesia. Pada tahun 2010, Political & Economic Risk Consultancy (PERC) merilis hasil survei bisnis. Survei tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat pertama sebagai negara terkorup

dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun 2009. Selain itu, survei internasional 2011 yang dibiayai oleh Neukom Family Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, dan Lexis Nexis, menyebutkan bahwa Indonesia berperingkat rendah dalam hal ketiadaan pemberantasan korupsi dan akses pada pengadilan sipil. Di dunia, Indonesia berada pada peringkat ke-47 dari 66 negara sebagai negara terkorup. Sementara di kawasan Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat 12 dari 13 negara.

Pada tahun 2009 14 , hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan bahwa Lembaga-Lembaga vertical, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi,

Bea Cukai, Militer dll), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi (90%), BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%).

Skala 1-5, dimana 5 berarti sangat korup. Sumber: Global Corruption Barometer (2013) Gambar 8: Persepsi Masyarakat Terhadap Korupsi

Berdasarkan survei Global Corruption Barometer (2013), kepolisian justru dianggap sebagai salah satu institusi yang korup. Jika kita melihat pengalaman dari Singapura, salah satu syarat penting dari pemberantasan korupsi adalah lembaga anti-korupsi harus bersih dari korupsi. Sehingga selama lembaga kepolisian belum dipandang bersih dari korupsi maka lembaga tersebut bukan lembaga yang ideal menjadi lembaga anti-korupsi.

14 Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK dengan Institusi Penegak Hukum, diakses dari situs : http://www.

journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, tanggal 15 April 2009, hal. 2.

Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih menyisakan persoalan dimana Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan tingkat persepsi korupsi yang tinggi dengan masalah korupsi yang akut seperti ditunjukkan oleh survey the Transparency International dan Political & Economic Risk Consultancy (PERC).