BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Persepsi masyarakat Jawa mengenai perkawinan masih banyak mengacu
pada hukum agama saja. meskipun ada sebagian pasangan yang mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama. Perkawinan yang
hanya dilakukan secara adat dan agama saja merupakan perkawinan sirri dan dianggap tidak sah oleh hukum negara, karena tidak dicatat di KUA.
2. Perkawinan yang dilakukan secara agama harus dipimpin oleh seorang
penghulu dan dihadiri kepala desa, pihak keluarga dan para saksi dari masing-masing pengantin.
3. Perceraian di antara suami isteri disebabkan oleh beberapa hal. Perceraian
yang terjadi umumnya karena perselingkuhan, pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, perkawinan poligami, dan adanya
kawin sirri. 4.
Perceraian yang tidak diajukan di Pengadilan Agama, yaitu bercerai dengan cara thalaq, bercerai dengan cara berpisah, dan bercerai melalui
jalur kepala desa. Semua perceraian itu merupakan perceraian yang tidak sah menurut hukum negara dan dianggap sebagai perceraian liar.
Perceraian tersebut dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri, meskipun ada sebagian yang perkawinannya
dicatat di KUA.
Universitas Sumatera Utara
5. Perceraian dapat dilakukan dengan cara thalaq, yaitu sesuai dengan hukum
Islam. Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq dilakukan sebanyak tiga kali thalaq. Thalaq dijatuhkan oleh suami terhadap isteri dengan
maksud untuk menceraikan isterinya itu, dan apabila suami dan isteri itu ingin rujuk kembali harus berada dalam masa iddah 100 hari, jika iddah
sudah berakhir maka suami isteri itu harus melakukan pernikahan baru. 6.
Penyelesaian perceraian melalui Pengadilan Agama dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penyelesaiannya menempuh jalur yang panjang, banyak
mengeluarkan biaya dan waktu. Hasilnya dianggap merugikan sebelah pihak, khususnya bagi pihak yang tergugat, karena sifatnya ada pihak yang
menang dan ada pihak yang kalah. 7.
Penyelesaian perceraian melalui jalur Pengadilan Agama dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara agama dan sudah dicatat
di Kantor Urusan Agama. Hal ini dilakukan untuk mendapat status yang jelas terhadap perceraiannya.
8. Selama perkawinan berlangsung dan menghasilkan keturunan anak
maupun harta gonogini, maka penyelesaian perceraian melalui jalur kepala desa mulai terbentur. Pilihan hukum yang kemudian dipilih untuk
menyelesaikan perceraian adalah hukum negara Pengadilan Agama karena dianggap lebih tepat, dimana pengadilan akan memutuskan pihak
mana yang akan mengasuh anak dan berapa bagian yang didapat dari pembagian harta gonogini itu.
Universitas Sumatera Utara
9. Perceraian yang dilakukan melalui jalur kepala desa atau jalur Pengadilan
Agama merupakan perceraian yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam. Suami apabila ingin menceraikan isterinya, maka thalaq dijatuhkan
terhadap isterinya. Sebaliknya, isteri apabila ingin menceraikan suaminya di Pengadilan Agama dapat mengajukan fasakh.
10. Masyarakat Jawa dalam menyelesaikan perceraian telah menunjukkan
suatu gejala yang dalam Antropologi disebut dengan pluralisme hukum, bahwa ada pilihan-pilihan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan
perceraiannya. Perselisihan di antara suami dan isteri terlebih dahulu dibicarakan dalam musyawarah keluarga untuk melakukan perdamaian,
tetapi apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut, maka dipilihlah jalur hukum lain, yaitu melalui kepala desa dan
Pengadilan Agama.
5.2. Saran