Peraktek perceraian pada masyarakat Tapos Depok Jawa Barat (perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia)

(1)

Peraktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat

(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia)

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah

(S.sy)

Oleh :

Abduloh

107044202013

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUWARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1432 H / 2011 M


(2)

Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat

(Perspektik Hukum Islam Dan Hukum Positif)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Abduloh

NIM: 107044202013

Di Bawah Bimbingan:

Dr. H. Umar Al Hadad, MA

NIP: 196809041994011001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUWARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Praktek Perceraian Pada Masyarakat Tapos Depok Jawa Barat, (Perspektik Hukum Islam dan Hukum Positif)telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 24 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah.

Jakarta, 13 September 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH. MA. MM NIP. 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil. SH, MA

NIP: 19500306 197603 1001 : (...) Sekertaris : Hj.Rosdiana, MA

NIP. 1969 06102003122001 : (...) Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad.MA

NIP.196809041994011001 : (...) Penguji I : Dr, JM. Muslimin. MA

NIP. 150295489 : (……….)

Penguji II : Dr. H. M. Nurul Irfan. M.Ag


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Juni 2011


(5)

KATA PENGANTAR





Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn tiada henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Salawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan pilihan Tuhan khātamul anbiyā’i

walmursalīn Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan kita sebagai

umatnya yang terus istiqomah mengikuti ajaran dan sunahnya hinggayaumil akhir. Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah dan Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah.

3. Dr. H. Umar Al Haddad, MA yang telah membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak Lurah dan Para Staf di Kelurahan Tapos, Bapak Kepala KUA Cimanggis dan Ketua Pengadilan Depok yang telah meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk berwawancara dan memberikan informasi kepada penulis.

7. Kedua orang tua tercinta H. Saepudin dan Hj. Maemunah yang sejak kecil mendidiku hingga sekarang bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak akan terbalas segala apa yang di berikan oleh bapa dan umi hanya doa yang bisa penulis panjatkan semoga Allah pangjangkan umur beliau dan keberkahan selalu menaunginya.

8. Kepada kakak ku Abdulrahman dan adik ku Muhammad Zaenudin. Terima kasih telah memberikan semangat dan dukungan, tak lupa kepada belahan jiwa ku Aulia Selviana yang selalu mensuport penulis.


(7)

(Penulis)

9. Teman-teman kosan Arif (babeh), Maulana Yusuf (rony), Sofyan (ojan) dan Saefullah (degel). Canda dan guyonan kalian tak bisa terlupakan.

10. Sahabat perjuangan, teman-teman Konsertasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta angkatan 2007.

11. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, atas jasa bantuan semua pihak baik berupa moril dan

materiil, sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan

balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga hari akhir penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penuis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok ada dan apa yang kita lakukan diridhai oleh Allah swt, amin.

Jakarta: 20 Rajab 1432 H 24 Juni 2011 M


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Review Studi Terdahulu…... 9

E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II CERAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Perceraian... 13

B. Talak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif... 16

C. Macam-macam Thalak Menurut Hukum Islam ... 23

D. Akibat Hukum Thalak... 26

E. Cerai Ilegal, Pengertian dan Batasannya... 28

BAB III POTRET DESA TAPOS A. Sejarah Singkat Berdirinya Kota Depok. ... 29

B. Jumlah Warga Tapos Depok ... 34

C. Profesi Warga Tapos Depok ... 35


(9)

BAB IV ANALISIS TERHADAP KASUS PRAKTEK PERCERAIAN MASYARAKAT TAPOS, DEPOK

A. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian Ilegal ... 38

B. Pemahaman Masyarakat Tentang Cerai Ilegal... 41

C. Peran Ulama Dalam Menyikapi Terjadinya Perceraian Ilegal Pada Masyarakat Tapos Depok... 43

D. Analisis Penulis... 46

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 50

B. Saran-saran... 53

DAFTAR PUSTAKA... 55

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ... 58

2. Surat Permohonan Data/Wawancara... 59

3. Surat Keterangan Dari Kelurahan Tapos ... 60

4. Surat Keterangan Dari KUA ... 61

5. Surat Keterangan Dari Pengadilan Agama Depok... 62

6. Data Dari Pengadilan Agama Depok………62

7. Data Dari Kelurahan Tapos... 64

8. Hasil Wawancara Dengan Para Pihak... 65

9. Hasil Wawancara Dengan Ketua Kantor Urusan Agama ... 66

10. Hasil Wawancara Dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Depok... 67


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan menurut Hukum Islam merupakan suatu ikatan yang paling suci dan paling kokoh antara suami dan istri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan tersebut untuk jangka waktu yang tak terbatas (kecuali nikah mut’ah dalam syi’ah)

kelanggengannya.1 Tujuan perkawinan menurut undang-undang perkawinan No.1

Tahun 1974 adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Pasal 1 undang-undang ini menegaskan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Adapun aspek utama yang diperhatikan dalam membangun rumah tangga ialah aspek fisik, etika, dan cinta.3 Allah swt menanamkan rasa cinta kepada lawan

jenis dalam diri setiap manusia. Kaum wanita tertarik kepada kaum lelaki begitu pula sebaliknya. Sesungguhnya manusia itu (laki-laki dan perempuan) saling membutuhkan, untuk saling mendapatkan ketenangan dan kasih sayang. Fiqihpun telah menggariskan bahwa nikah berfungsi sebagai kehalalan untuk jiwa. Perkawinan merupakan jalan alami dan sah untuk mengeluarkan dan memuaskan naluri seksual,

1Djama’ah Nur,Fiqh Munakahat, (Jakarta : Dina Utama Semarang, 1993), Cet Ke-3. h.130 2UU. Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 1. (Bandung : Fokus Media, 2005), Cet. Pertama

h.2

3 Muhdor Ahmad Assegaf,Perceraian Salah Siapa, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 2001),


(11)

namun bukanlah menjadi tujuan utama sebuah pernikahan. Kemudian efek dari perkawinan menjadikan badan menjadi sehat, jiwa terasa tenang. Maka terpelihara dari pandangan haram dan ketenangan jiwa menikmati sesuatu yang halal.4 Selain itu

keduanya saling membutuhkan untuk saling mencurahkan perasaan dan pikiran serta bersama-sama merasakan pahit dan manisnya kehidupan dalam suka maupun duka, sehingga dapat menyelesaikan segala kesulitan dan penderitaan yang dihadapi. Modal pertama untuk membangun suatu kehidupan bersama adalah adanya saling parcaya antara anggotanya.5 Begitu pula dalam rumah tangga saling parcaya antara pasangan

suami isteri itu sangat penting agar tidak saling curiga mencurigai.

Penyatuan sepasang suami istri bukanlah hanya sekedar hasil rekayasa hidup manusia, tetapi telah menjadi kodrat alam semesta sejak pertama kali diciptakan.

Islam memandang hubugan suami istri sangatlah penting, karena dalam kehidupan bersuami istri (keluarga) itulah awal masa interaksi seseorang sebelum ia (suami istri) mengenal masyarakat luas, keharmonisan suami istri merupakan faktor penentu bagi keharmonisan masyarakat. Apabila kehidupan suami istri baik maka baik pula masyarakat. Sebaliknya apabila kehidupan suami istri rusak, maka masyarakat pun menjadi rusak.

Melihat arti pentingnya hubungan suami istri serta pengaruhnya dalam pembangunan masyarakat seutuhnya, maka Islam telah memberikan perhatian yang

4 Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah Jilid , (Kairo: Daar al-Fath, tth ), cet ke-1 jilid 2 h.9 5 Satjipto Rahardjo,Hukum dan Prilaku, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), h.5


(12)

sangat besar. Islam mengatur sistem kehidupan yang menjamin terciptanya kebahagian.6

Dari penjelasan yang cukup singkat diatas, tidaklah berarti bahwa suatu ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah suatu hal atau keadaan yang dapat dijamin keabadian atau kekekalannya. Karena suatu ikatan perkawinan itu di ikat oleh suatu akad, dan suatu akad adalah temporer sifatnya. Pemahaman ini

dapat diambil dari suatu “mafhum mukholafah” dan definisi akad:

Akad adalah suatu yang dengannya akan sempurna perpaduan antara dua macam kehendak, baik dengan kata atau yang lain, dan kemudian keadaannya timbul

ketentuan atau kepastian pada dua sisinya”.7

Definisi di atas memberikan pemahaman yang cukup sederhana bahwa suatu perkawinan sebagai suatu bentuk perikatan yang dapat terputus apabila terdapat dua macam kehendak yang tidak dapat lagi disatukan, dengan kata lain peluang perceraian selalu ada dalam sebuah ikatan perkawinan. Namun demikian peluang perceraian yang diberikan dalam Islam bukanlah sebuah peluang yang dapat digunakan kapan dan dimana saja. Prosesnya pun tidak semudah seperti akan melangsungkan suatu ikatan perkawinan. Sebuah perceraian adalah suatu yang dimurkai oleh Allah.8 Talaq menurut istilah ialah memutuskan tali perkawinan yang

sah dari pihak suami dengan kata-kata yang khusus atau dengan apa yang dapat

6 Muhammad Utsman,Problematika Suami Istri, (Jakarta: Amar Press, 1998), Cet Ke-2 h.4 7

Ahmad Kuzada,Nikah Sebagai Perikatan,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1981), cet ke-2 h.29


(13)

mengganti kata-kata tersebut.9 Selain itu perceraian merupakan alternative terakhir

(pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutannya.10 Jika melihat sejarah

dalam undang-undang Ibrani lama, seorang suami dapat menceraikan isterinya dengan alasan apapun, ketika itu aturannya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali yang mencegah penggunaan hak suami itu, sehingga suami cenderung

berbuat semena-mena. Wanita tidak di perkenankan meminta cerai dari suaminya dengan alasan apapun juga.11

Kitab-kitab Fiqih telah menjelaskan tentang bagaimana proses sebuah perceraian itu selayaknya terjadi baik syarat, rukun serta keadaan-keadaan seseorang dalam menjatuhkan talak atau melakukan suatu perceraian.

Meskipun tujuan dari pernikahan itu sendiri adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia (sakinah) yang kekal, tapi perjalanan dan fakta sejarah menunjukan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya, mengingat kenyataan menunjukan bahwa teramat banyak pasangan suami

isteri yang perkawinannya “terpaksa” harus berakhir di tengah jalan.12

Di Indonesia perceraian telah diatur oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Persoalan ini cukup diatur dalam satu bab yaitu dalam bab VII

9 S. Ziyad Abbas,Fiqh Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimai, 1991), h.43

10 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet ke-2

h. 73

11

H. Abdul Qadir Djaelani,Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1995), cet.1, h.45

12 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja


(14)

tentang putusnya perkawinan serta akibat-akibatnya dalam pasal 38-41 dan PP. no.9 tahun 1975 sebagaiman yag telah dicantumkan dalam pasal 18 yang isinya sama dengan KHI pada pasal 118-122 tentang macam-macam talak dan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) hal ini diatur dalam bab XVI tentang putusnya perkawinan (pasal 113-148) dan bab XVII tentang akibat putusnya perkawianan (pasal 149-162)

Di dalam Islam terdapat berbagai jenis perceraian diantaranya dengan cara talak,khulu, danfasakh yang semua itu memberikan sinyal bahwasanya Islam dalam hal perceraian tidak memihak pada satu pihak (laki-laki) dan mendiskriminasikan pihak lain (prempuan). Karena sesunguhnya, meskipun talak hanya jatuh oleh perkataan atau isyarat seorang suami, tetapi seorang istri pun berhak menentukan

nasibnya sendiri dalam suatu ikatan perkawinan. Apabila ia ingin “melepaskan” diri

dari suaminya, ia dapat menempuh dengan cara khulu, tetapi sudah barang tentu harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas, tepat dan harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur oleh ketentuan fiqh maupun undang-undang hak talak yang hanya di tangan suami kekuasaannya itu. Tidak boleh dipergunakan sekehendak hatinya karena hal tersebut sangat di cela oleh agama.

Di zaman modern ini kekuasaan lelaki benar-benar disoroti khususnya dalam hal perceraian.akan tetapi sebenarnya,kebahagiaan dan kerukunan dalam rumah tangga itu hanya bisa di capai dengan adanya kesesuaian dan tumbuhnya sikap saling memahami di antara suami istri. Keadaan akan berbeda apabila rumah tangga yang akan di bentuk atas azas kesucian dan saling memahami maka biasanya akan menimbulkan konflik yang pada akhirnya berakibat pada suatu perceraian. Namun,


(15)

persoalannya adalah, apakah perceraian yang resmi sebagai hukum yang dapat memberikan perlindungan hak masing-masing dari suatu perceraian, kebanyakan kasus di lapangan masyarakat yang bercerai secara illegal, berbanding terbalik ketika ingin menikah kedua pasangan ingin nikahnya dicatatkan pada kantor urusan agama (KUA) namun manakala keluarganya karam ditengah jalan dan memutuskan untuk bercerai seakan tidak mau kedua pasangan ini membawa kemeja pengadilan melainkan melakukan perceraian dihadapan kiyai atau tokoh masyarakat mereka menganggap kalau cerai melalui kiyai atau tokoh masyarakat lebih cepat dan efisien di karenakan proses yang sulit dan biaya yang tidak memadai. Oleh karena itu banyak suami istri bercerai secara ilegal (cerai bodong) karena menginginkan proses yang singkat dan murah. Seperti halnya kasus yang terjadi Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi, talak liar sering terjadi banyak istri datang ke PA dengan secarik kertas saja menyatakan bahwa suaminya telah menceraikannya. Terjadi dualisme hukum di Indonesia yang tak kunjung terselesaikan hukum positif disatu pihak dan hukum agam di pihak lain, dalam doktrin fikih dapat dianggap telah jatuh talaknya. Sementara menurut Undang-undang, talak tersebut belum terjadi karena ikrar itu tak dilakukan di depan pengadilan.13 Bukankah Hukum yang baik adalah norma

antisipatif, responsive, mampu beradaptasi dan mengakomodasi perubahan yang terjadi.14 Tidak bisa disangkal bahwa hukum sebagai norma adalah realitas ideal.15

13 Arskal Salim dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Jakarta: PUSKUMHAM dan Asia

Foundation, 2009), hal.59-60

14 Noryamin Aini,” Budaya Hukum: Melintas Batas Formalisme-Yuridis (Sentralitas

Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Kuning dalam Putusan Pengadilan Agama)”, Era Hukum Jurnal Ilmiah Hukum, No.3/Th.9/Mei (2002).


(16)

Dari permasalahan di atas, peneliti merasa sangat perlu untuk mencoba membahas dan memecahkan beberapa permasalahan yang muncul. Untuk itu penulis melakukan penelitian dengan tema “Praktek PerceraianPada Masyarakat Tapos

Depok Jawa Barat (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia).

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dan agar penelitian ini lebih akurat dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta meluas maka penulis membatasi pembahasan ini pada masalah cerai. Untuk objek penelitiannya, penulis membatasi objek penelitian di Desa Tapos Kec. Tapos Depok.

Merujuk kepada undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 39 tentang proses perceraian bahwa perceraian yang sah harus dilakukan di muka pengadilan. Jadi apabila suatu perceraian dilakukan di luar pengadilan disebut perceraian ilegal

2. Rumusan Masalah

Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 39 tentang proses perceraian bahwa perceraian yang sah harus dilakukan di muka pengadilan, namun kenyataannya di lapangan masih banyak terjadi praktek cerai pada masyarakat Tapos Depok Jawa Barat.


(17)

Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perceraian illegal tersebut terjadi maka dalam penelitian ini penulis membuat rumusan sebagai berikut:

a. Bagaimana praktek Perceraian di Tapos Depok?

b. Faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya perceraian di bawah tangan di masyarakat Tapos dan bagaimana dampaknya?

c. Bagaimana penyelesaian kasus perceraian ilegal oleh hakim Pengadilan Agama, Pegawai pencatat Nikah dan Ulama setempat terhadap cerai di bawah tangan?

C. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Melihat dari pembatasan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui praktek cerai yang dilakukan oleh masyarakat Tapos merujuk pada ketentuan hukum fikih dan hukum positif (KHI/UU No.1 tahun 1974 dan akibat hukumnya.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perceraian yang illegal.


(18)

2. Manfaat Penelitian

a. Penelitian ini bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas wawasan intelektualitas bagi mahasiswa atau masyarakat yang membaca hasil penelitian ini, khususnya penulis sendiri.

b. Sebagai pengembangan wawasan mengenai masalah perceraian, terutama yang berkaitan dengan perceraian illegal yang ada di Tapos Depok.

c. Menjadi sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan masyarakat yang ingin mendalami hukum cerai di Indonesia, Khususnya Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam studi review yang penulis lakukan terhadap tulisan sebelumnya, ada beberapa skripsi yang penulis angkat antara lain yang di tulis oleh. Dede Rohyadi (NIM: 102044125037) di dalam skripsinya yang berjudul Perceraian di Luar Prosedur PA di Kecamatan Sodonghilir, Tasikmalaya dan akibat hukumnya, ada beberapa poin yang disoroti antara lain hak isteri dan anak pasca perceraian tanpa melalui pengadilan agama terabaikan karena tidak ada kekuatan hukum.

Sedangkan pada skripsi yang akan diangkat oleh penulis lebih menyoroti kepada sejauh mana tingkat kesadaran masyarakat tentang peraturan perundang-undngan yang berlaku mengenai perceraian yang harus dilakukan di Pengadilan Agama.


(19)

E. Metodologi Penelitian dan Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini tentu membutuhkan data, baik data khusus maupun data penunjang, data tersebut diperoleh melalui metode penelitian sebagai berikut:

Dan hal ini tidak terlepas dari tehnik pengumpilan data, yaitu: 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ilmiah jelas harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode.16 Dalam menggunakan pendekatan kasus,

yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan dalam menganalisis permasalahan.17 Pada penelitian ini

dilakukan melalui pendekatan kualitatif untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi motivasi, tindakan dan lain-lain. dan dengan cara deskriptif dalam membentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.18Dalam hal ini apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis

maupun lisan dan juga prilakunya yang nyata, yang dipelajari adalah objek penelitian yang utuh.19

2. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari berbagai sumber anataralain sebagai berikut:

16 Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,(Malang : Bayumedia

Publishing, 2007) Cet. Ke-3, h.294

17 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal.119

18Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,

2005) Cet. Ke 21, h.6

19Sorjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,


(20)

a. Melalui studi kepustakaan atau library research, yaitu metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara dan pengamatan (observasi).20 Dalam aplikasinya penulis mencari informasi data

dari literatur-literatur yang berkaitan dengan pembahasan skripsi. Seperti: buku-buku, kitab-kitab fiqh klasik dan Undang-undang yang berlaku.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang ada relevansinya dengan skripsi ini

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain:

a. Observasi b. Wawancara c. Studi pustaka 4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam penulisab skripsi ini adalah menggunakan "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini peneliti membaginya kedalam lima bab yang secara garis besar sebagai berikut:

20 Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), cet.


(21)

Bab Pertama Tentang : Pendahuluan. Dalam bab ini akan dijelaskan alasan pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan pengumpulan data serta sistematika penulisan.

Bab Kedua Tentang : Analisa teoritis tentang cerai. Dalam bab ini akan

menjelaskan tentang pengertian talak/cerai dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif (KHI dan UU No. 1 tahun 1974), dasar hukum, macam-macam talak dan akibat hukum.

Bab Ketiga Tentang : Pemahaman masyarakat tentang talak menurut hukum

positif (KHI dan UU No.1 tahun 1974). Dalam bab ini akan membahas tentang manusia sebagai objek hukum, pemahaman warga: jumlah penduduk, profesi, pendapatan, dan tingkat pendidikan.

Bab Keempat Tentang : Dalam bab ini dijelaskan tentang faktor-faktor terjadinya

perceraian illegal pada masyarakat Tapos, tanggapan dari petugas pencatat pernikahan, pengadilan agama Depok dan ulama setempat disertai analisis penulis.


(22)

BAB II

CERAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Perceraian

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam

Undang-undang perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya ikatan

pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama hidup sebagai suami isteri. Untuk maksud dari perceraian itu, fiqh menggunakan istilahfurqah.21

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai diartikan dengan pisah atau putus.22 Cerai yang dalam bahasa Arab disebut dengan talak adalah isim masdar dari

kata

yang semakna dengan kata dan , yaitu melepaskan

atau meninggalkan. Dalam istilah Agama talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedia Islam Indonesia talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.23

Adapun beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama, di antaranya:

21 Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006) Cet.

Ke-1 h.189

22

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. ke-1, h. 163


(23)

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fikih al-sunnah mengartikan talak dengan:

٢ ٤

Artinya: “Talak adalah lepasnya ikatan perkawinan dan Berakhirnya hubungan perkawinan antara suami istri”.

Sedangkan Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya, al-Fiqih ala al-Mazahib

al-Arba’ah mendefinisikan talak dengan “

٢ ٥

Artinya: “Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi (ikatan) pelepasan dengan kata-kata tertentu,”

Definisi thalak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitabkifayat al-Akhyar

yang menjelaskan thalak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan thalak adalah lafadz jahiliyah yang setelah Islam datang meneteapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang thalak itu berdasarkan al-Kitab, al-Hadits, Ijma’ ahli agama dan ahli sunnah.26

Mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara langsung” adalah tanpa terkait

dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut

24 Abdurrahman bin Ismail kinani,Zawaidu ibnu ‘ala’Kutub al-khamsah, (Beirut Daar Kutub

al-Ilmiah, 1993), h.288

25

Abdurrahman al-Jazir,al-Fiqh ala’ al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-fiqh, 1972), Juz IV, h.278

26 Imam Tqiyuddin,Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar, (Surabaya: Darul Ihya), juz


(24)

dinyatakan suami. Adapun yang dimaksud dengan “di masa yang akan datang”

adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal.

Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan

lafal atau itu. Dengan definisi ini, baik hukum talak ba’in maupun raj’i langsung berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami dan resiko talak tersebut berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami dan segala resiko talak tersebut berlaku untuk kedua belah pihak. Di pihak lain Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan suami isteri.27 Sedangkan menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan

perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.28

Dari beberapa definisi talak di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa talak adalah hilangnya atau lepasnya ikatan perkawinan, hanya saja ada beberapa

mainstream yang mengakibatkan perbedaan dalam mendefinisikan arti talak.

Sebagian ulama ada yang menekankan pada akibat hukum dari adanya talak, yaitu hilangnya hubungan suami istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban suami istri. Sedangkan ulama yang lainnya berorientasi pada tindakan seseorang yang bertujuan untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan menggunakan lafadz tertentu. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan yang diungkapkan oleh Abdurrahman al-Jajiri adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga

27

Ensiklopedia Islam,Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet, Ke-4, h.53


(25)

menjadi dua, dari dua menjadi satu, dari satu menjadi hilang hak talak itu yaitu yang

terjadi dalam talak raj’i.

Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun dalam putusan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak terdapat pengertian perceraian secara khusus, hanya saja dalam pasal 38 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Senada dengan Kompilasi Hukum Islam bahwa putusnya perkawinan dapat pula terjadi karena talak.

B. Thalak Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Talak Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya pernikahan dalam Islam mengandung dasar kelanggengan, namun pada perakteknya dalam menjalankan kehidupan rumah tangga terkadang terjadi ketidakcocokan di antara masing-masing kedua belah pihak. Kondisi tersebut bila dibiarkan berlarut-larut akan menimbulkan dampak yang negatif dan sulit untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk mengatasi dampak yang buruk itu, Islam memberikan solusi yang paling terakhir digunakan, yaitu dengan cara melalui “thalaq” adapun dasar hukum talak

dinyatakan dalam beberapa surah di antaranya sebagai berikut: a. Q.S. al-Baqarah ayat 131:


(26)































)

/

٢

:

١ ٣ ١

(

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Baqarah/2: 131).

b. Q.S. Thalaq ayat 1:





















)

/

٦ ٥

:

١(

Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka


(27)

(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Thalaq/65: 1)

Hal ini diperjelas oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :

:

:

:

،

،

) .

(

٢ ٩

Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw,: ada tiga perkara yang disungguhkan jadi dan dipermainkanpun jadi, yaitu : nikah, thalaq dan ruju’. (diriwayatkan dia 4, kecuali nasai dan disahihkan oleh hakim).

Menurut H.A.S Al-Hamdani, ia menyatakan bahwa menurut asalnya perceraian atau talak itu hukumnya makruh berdasarkan sabda Rasullah SAW:

:

.

) .

(

٣ ٠

Artinya: “Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah

talak (perceraian)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan

al-Hakim, dari Ibn’Umar).

Selain itu ada hadits Nabi yang menyatakan kebolehan (Ibahah) dalam hal talak seperti:

29

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002), Cet. I, h. 230


(28)

:

)

(

٣ ١

Kemudian dengan memperhatikan aspek kemaslahatan dan aspek kemadharatan dari sebuah perceraian, maka hukumnya bisa menjadi: (1) wajib; (2) sunnah; (3) haram; (4) makruh dengan penjelasan-penjelasan sebagai berikut:

Perceraian dapat menjadi wajib hukumnya dalam dua keadaan.

a. Adanya perselisihan antara suami istri (syiqaq) yang tidak mungkin lagi dapat didamaikan, sementara dua orang hakim yang mengurus perkara mereka ini, menempuh jalur perceraian.

b. Bilamana seorang suami mengadakan sumpah‘ila untuk tidak menggauli istrinya untuk selama-lamanya ataupun selama empat bulan berturut-turut, maka hukum talaq baginya wajib. Sebab, bagaimana mungkin kebahagiaan perkawinan dapat terwujud jikalau setelah akad perkawinan, sang suami bersumpah untuk tidak mau memberikan nafkah batin kepada istrinya.32

Perceraian dapat menjadi sunnah hukumnya juga dalam dua keadaan.

a. Apabila suami sudah tidak sanggup lagi membayar atau pun memenuhi kewajibannya selaku suami terhadap isterinya secara cukup dalam

31 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, (Beirut : Daar al-Fikr t.th.) juz

IV, h.71

32 Imam Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syirazi,al-Muhadzdzab fi


(29)

penghidupan atau selainnya. Lalu pihak isteri pun telah menuntutnya agar memenuhi kewajibannya tersebut.

b. Jika pihak istri mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah, seperti sengaja meninggalkan shalat tanpa halangan syara’, sedangkan

suami sudah tidak mampu lagi memaksakanya agar menjalankan kewajibannya itu. Maka dalam hal ini, adalah disunnahkan untuk mengambil jalan perceraian. Disamping itu, seorang istri yang tidak bisa lagi menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya juga sunnah hukumnya untuk diceraikan.33

Adapun hukum talak yang diharamkan adalah talak bid’ah, yaitu ada dua macam: pertama, seorang suami mentalak isteri yang sudah digauli ketika si isteri tersebut sedang dalam keadaan haidh; ataupun yang kedua, menjatuhkan talak saat isteri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri akan tetapi belum diketahui apakah ia dalam keadaan hamil atau tidak. Alasan pengharaman kedua macam talak ini ialah bilamana menjatuhkan talak kepada isteri yang sedang haidh, maka akan berakibat lebih memberikan pihak isteri

dengan lamanya masa ‘iddah yang harus ia jalani. Sementara bila mentalaknya dalam keadaan suci, maka tidak menutup kemungkinan saat itu ia sedang dalam keadaan hamil dan adalah dosa besar bagi suami yang

33 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), Cet.-37,


(30)

mentalak isterinya sementara mengandung anaknya. Itulah sebabnya mengapa kedua macam talak ini diharamkan.34

Adapun hukum talak yang makruh ialah bilamana tidak terdapat di dalamnya indikasi-indikasi yang mensunnahkannya dan tidak ada pula indikasi-indikasi yang mengharamkannya. Inilah hukum asal yang sebenarnya

dari talak, sebagaimana sabda Nabi SAW: “perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah talak.”

Talak merupakan seburuk-buruknya perbuatan yang dibenci Allah, lantaran talak tersebut menyebabkan terputusnya keturunan yang merupakan maksud tujuan paling mulia dari adanya ikatan perkawinan dan lantaran talak itu mengandung maksud menghinakan dan merendahkan martabat para isteri, keluarganya dan anak-anaknya.35

2. Talak Menurut Hukum Positif

Menurut Kompilasi Hukum Islam, cerai (talak) adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130,131 sesuai dengan pasal 117 Kompilasi Hukum Islam.36

34 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2004), Cet.-37,

h.402

35 Abu Bakar bin Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati,I’anat al-Thalibin, (Beirut: Dar

al-Fikr,1993), juz IV,h.7

36 Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama,


(31)

Sedangkan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan cerai talak adalah seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan sidang isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak. Menurut hukum positif, bahwa dalam setiap perceraian yang terjadi harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama bagi warga negara yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi warga negara non Muslim, sesuai dengan Undang-undang Hukum Perdata pasal 2007,”tuntutan untuk perceraian perkawinan, harus diajukan kepada Pengadilan

Negeri.”

Didalam PP No.9 tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri;


(32)

e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan:

a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

C. Macam-macam Talak Menurut Hukum Islam

Ditinjau dari sebab ada tidaknya praktek Rasullah SAW dan para sahabatnya mengenai penjatuhan talak, maka talak dapat dikategorikan menjadi dua macam

yaitu: talak sunni dan talak bid’i.

Talak sunni ialah yang dijatuhkan suami kepada istri pada saat istri dalam keadaan suci dan selama suci ini ia belum dicampuri.37 Atau definisi lain

mengungkapkan bahwa talak yang disunnahkan atau diajarkan Rasullah SAW. Maka termasuk jenis talak ini adalah talak yang dijatuhkan kepada istri yang suci dan

37 A. Zuhdi Muhdlor,Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), (Bandung: Al-Bayan, 1995),


(33)

selama masa suci itu belum dicampuri, ataupun talak yang dijatuhkan kepada istri yang tidak sedang dalam keadaan hamil.38

Sementara talak bid’i ialah talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang sedang dalam keadaan haidh, ataupun dalam keadaan suci akan tetapi sudah ia campuri.39

Bila ditinjau dari dapat tidaknya seseorang kembali lagi kepada bekas istri yang diceraikannya, maka talak dapat di kategorikan menjadi dua macam, yaitu: (1) talaq raj’i; (2) talaq ba’in sugra dan kubra. Pembagian ini berdasarkan bunyi dua buah firman Allah SWT dibawah ini:40











































)

/

٢

:

٢ ٢ ٩

-٢ ٣ ٠

(

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)

38 Kamal Muchtar,Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.-3, h.170 39

Kamal Muchtar,Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet.-3, h.170

40 A. Zuhdi Muhdlor,Memahami Hukum Perkawinan (NTCR), (Bandung: Al-Bayan, 1995),


(34)

tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS.Al-Baqarah/2: 229-230)

Talakraj’iialah talak satu dan dua tanpa adanya penebusan talak (‘iwad) dari istri untuk suami, yang masih, yang masih memberikan kesempatan kepada bekas suami untuk kembali lagi (rujuk) kepada bekas istrinya itu selam masa ‘iddahnya

tanpa disertai dengan akad yang baru.41

Adapun talak ba’in sugra ialah talak satu dan dua, baik dijatuhkan sekaligus maupun berturut-turut dengan disertai ‘iwad dari istri untuk suami dan suami masih berhak kembali lagi dengan bekas istrinya itu hanya saja dengan akad yang baru. Talakba’in sugra ini ada tiga macam yaitu: (1) talak yang terjadi sebelum dukhul; (2) talak dengan tebusan (khulu); (3) talak yang dijatuhkan oleh pengadilan (hakim).42

Sementara talak ba’in adalah talak tiga, baik dijatuhkan sekaligus maupun berturut-turut, yang menyebabkan seorang suami tidak dapat kembali lagi kepada bekas istrinya kecuali ia sudah menikah dengan suami yang baru kemudian keduanya

bercerai setelah bercampur dan masa ‘iddahnya pun telah berakhir pula. Barulah

41 Sayyid Sabiq,Fiqh SunnahJilid 8, (Bandung: Al-Maarif, 1994), h.60 42 Sayyid Sabiq,Fiqh SunnahJilid 8, (Bandung: Al-Maarif, 1994), h.69


(35)

dengan persyaratan tersebut si suami boleh menikah lagi dengan bekas istri yang diceraikan dengan talak tiga.43

D. Akibat Hukum Thalak

Ketika sebuah ikatan perkawinan telah berakhir maka ada konsekwensi logis yang diterima bagi pihak suami dan pihak isteri yang menjadi hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Hal ini tersebut dan tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam.

Dalam hal putusnya perkawinan dengan proses cerai talak, akibat hukum yang terjadi diatur dalam pasal 149 KHI yaitu:

1. Memberikan Mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas isteri, baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebutqabla dukhul.

2. Memberikan nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian) kepada bekas isteri selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak

ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh bila qabla al-dukhul.

4. Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang belum mencapai 21 tahun.

Selain itu KHI juga mengatur tentang akibat hukum karena perceraian (cerai gugat) dalam pasal 156 yaitu:


(36)

1. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkanhadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:

a. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; b. Ayah;

c. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

e. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; f. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemeganghadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat yang lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.44


(37)

E. Cerai Ilegal, Pengertian dan Batasannya

Untuk mempertajam permasalahan dalam menganalisis tentang cerai ilegal maka uraian penulis terlebih dahulu membahas tentang pengertian cerai bawah tangan (ilegal).

Dalam Islam terdapat beberapa macam cara lepasnya ikatan suami isteri hal ini dipertegas dengan pendapat ulama klasik antara lain disebabkan oleh thalaq,

khulu, fasakh, nusyuz, li’an, ila’ dan zihar kesemuanya dapat dianggap sah apbila

telah memenuhi sarat-saratnya.

Sedangkan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tantang perkawinan pasal 39 yang isinya (1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Dari kedua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian illegal ialah perceraian yang dilakukan secara liar tidak dilakukan di depan pengadilan. Sebagai warga negara yang baik tentunya harus mentaati peraturan pemerintah.

Memang terjadi dualisme hukum tentang sah dan tidaknya perceraian di mata agama dan di mata hukum formal. Secara agama perceraian sah apabila telah memenuhi unsur-unsurnya sedangkan menurut hukum formal perceraian dianggap sah apabila dilakukan di muka persidangan.


(38)

BAB III

POTRET DESA TAPOS

A. Sejarah Singkat Berdirinya Kota Depok

Depok bermula dari sebuah kecamatan yang berada dalam lingkungan kewedanaan (pembantu bupati) wilayah Parung kabupaten Bogor, kemudian pada tahun 1967 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun pengembangan yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa, yang semakin pesat, sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.

Pada tahun 1981 pemerintah membentuk kota administratif Depok berkembang dengan pesat baik di bidang pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan, khususnya bidang pemerintah semua desa berubah menjadi kelurahan dan adanya pemekaran kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (tiga) kecamtan dan 23 (dua puluh tiga) kelurahan. Dengan semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar kota administratif Depok ditingkatkan menjadi kota madya dengan harapan pelayanan menjadi maksimum. Disisi lain pemerintah kabupaten bogor bersama – sama pemerintah propinsi jawa barat memperhatikan perkembangan tersebut dan mengusulkannya kepada pemerintah pusat dan dewan perwakilan rakyat.

Berdasarkan undang- undang nomr 15 tahun 1999, tentang pembentukan kota madya daerah tingkat dua Depok, yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan


(39)

diresmikan pada tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan pelantikan pejabat walikota madya kepala daerah tingkat dua Depok yang dipercayakan kepada Drs.H.Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai walikota administratif Depok.

Berdasarkan undang – undang nomor 15 tahun 1999 wilayah kota Depok meliputi kota administratif kota Depok, terdiri dari 3 (tiga)kecamatan sebagaimana tersebut diatas ditambah dengan sebagian wilayah kabupaten daerah tingkat II bogor yaitu :

1. Kecamatan cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu) kelurahan dan 12(dua belas)desa yaitu kelurahan Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tubu, Desa Mekar Sari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Harja Mukti, Desa Sukatani, Desa Sukamaju Baru, Desa Jati Jajar, Desa Tapos, Desa Cimpaeun, Desa Luwinanggung.

2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas) Desa yaitu : Desa Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua, Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan, Desa Bedahan, Desa Pasir Putih.

3. Kecamatan Limo, yaitu terdiri dari 8 (delapan) desa yaitu : Desa Limo, Desa Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati Baru, Desa Krukut, Desa Grogol.


(40)

4. Dan ditambah 5 (lima) desa dari kecamatan bojong gede yaitu : Desa Cipayung, Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya.

Kota Depok selain merupakan pusat pemerintah yang berbatasan langsung dengan wilayah daerah khusus Ibu Kota Jakarta, juga merupakan wilayah penyangga ibu kota negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan jasa kota pariwisata sekaligus sebagai kota resapan air. Para walikota Depok :

• Drs. Moch. Rukasah Suradimadja (1982-1984)

• Drs.H.M.I. Tamdjid (1984-1988)

• Drs. H.Abdul Wachyan (1988-1991)

• Drs. H. Sofyan Safari Hamim (1992-1996)

• Drs. H. Badrul Kamal (1997-2005)

• Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail,Msc (2005-2010)

• Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail,Msc (2010-2015)

Terbentuknya Kota Administratif Depok

Waktu terus bergulir seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat. Tahun 1976, pemukiman warga mulai dibangun dan berkembang terus hingga akhirnya pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif (Kotif) Depok. Pembentukan Kotif Depok itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, yang saat itu dijabat oleh H Amir Mahmud.


(41)

Bersamaan dengan perubahan status tersebut, berlaku pula Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 43 tahun 1981, tentang pembentukan Kotif Depok yang meliputi tiga kecamatan. Yakni, kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan sukmajaya. Ketiga Kecamatan itu memiliki luas wilayah 6.794 hektare dan terdiri atas 23 Kelurahan.

Lantaran tingginya tingkat kepadatan penduduk yang secara administratif talah mencapai 49 orang per hektare dan secara fungsional mencapai 107 orang per hektare, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 6,75 persen per tahun, dan pemikiran regional, nasional dan internasional akhirnya konsep pengembangan Kotif Depok mulai dirancang menuju kerangka Kota Depok.

Untuk memenuhi tuntutan tesebut, maka diperlukan beragam upaya perwujudan organisasi yang memiliki otonom sendiri, yaitu Kota Madya Depok atau Kota Depok

Terbentuknya Kota Depok

Pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang kian mendesak, tuntutan menjadi kota madya menjadi semakin maksimum. Di sisi lain Pemda Kabupaten Bogor bersama pemda Propinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tersebut, dan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam surat keputusan DPRD Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994 Nomor 135/SK, DPRD/03/1994 tentang persetujuan pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok dan


(42)

keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep, Dewan. 061 DPRD/1997 tentang persetujuan pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok maka pembentukan Kota Depok maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 15 tahun 1999, tentang pembentukan Kota Madya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999.

Kota Depok itu sendiri diresmikan 27 April 1999 berbarengan dengan pelantikan Pejabat Wali Kota Madya Kepala Daerah Tk. II Depok, Drs. H. Badrul Kamal, yang pada waktu itu menjabat sebagai Wali Kota Administratif Depok. Momentum peresmian kotamadya ini dapat dijadikan landasan bersejarah dan tepat dijadikan hari jadi Kota Depok. Wilayah Kota Depok diperluas ke Kabupaten Bogor lainnya, yaitu Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Sawangan dan sebagian Kecamatan Bojong Gede yang terdiri dari Desa Bojong, Pondok Terong, Ratu Jaya, Cipayung, dan Cipayung Jaya. Hingga kini wilayah Depok terdiri dari enam kecamatan terbagi menjadi 63 kelurahan, 772 RW, 3.850 RT serta 218.095 Rumah Tangga.

Depok menjadi salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 207.006 km2 yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri, kabupaten Bogor. Sebelah selatan berbatasan dengan dengan kecamatan Cibinong dan


(43)

Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Sekelumit sejarah singkat Kota Depok menjadi sebuah gambaran singkat untuk mengenal Kota Depok secara menyeluruh data di peroleh dari pegawai kelurahan Tapos.

B. Jumlah Warga Tapos Depok

Jumlah penduduk Desa Tapos berdasarkan laporan tahun 2010, sesuai sesus yang dilakukan oleh pegawai kelurahan melalui seksi kepemerintahan. Jumlah penduduk di Kelurahan/Desa Tapos sampai akhir bulan Desember 2010 tercatat 12.477 jiwa yang terdiri dari:

a. Laki-laki : 6.475 jiwa

b. Perempuan : 6.002 jiwa

c. Jumlah KK : 2.783 jiwa

d. Jumlah penduduk miskin : 414 jiwa

e. Jumlah penduduk buta aksara latin dan Al-Qur’an : 351 jiwa Jumlah penduduk berdasarkan usia :

- 00-05 tahun : 1.016 orang

- 06-10 tahun : 1.117 orang

- 11-15 tahun : 1.197 orang

- 16-20 tahun : 957 orang


(44)

- 26-30 tahun : 1.049 orang

- 31-35 tahun : 1.054 orang

- 36-40 tahun : 1.099 orang

- 41-45 tahun : 1.035 orang

- 46-50 tahun : 880 orang

- 51-55 tahun : 693 orang

- 56-60 tahun : 533 orang

- 61-74 tahun : 728 orang

- 75 tahun keatas : 120 orang

C. Profesi Warga Tapos Depok

Dari data sensus yang saya terima dari pegawai kelurahan Tapos terdapat keaneka ragaman profesi warga tapos dengan rincian lapangan pekerjaan sebagai berikut berikut:

- Pegawai Negeri Sipil : 48 orang

- TNI/POLRI : 8 orang

- Pegawai Swasta : 1.967 orang

- Pedagang : 572 orang

- Petani : 384 orang

- Wiraswasta : 153 orang

- Jasa : 125 orang


(45)

D. Pendapatan dan Tingkat Pendidikan Warga Tapos Depok

Dari data yang saya terima dari Kelurahan Tapos bahwa masyarakat Tapos mempunyai pendapatan perkapita tiap bulannya berbeda-beda tergantung profesi masyarakat itu sendiri. Adapun pegawai kelurahan khususnnya mengambil pendapat perkapita masyarakat kelurahan Tapos adalah 400.000,- S/d 1.000.000,- perbulannya.

Apabila melihat data diatas dapat digolongkan masyarakat kelurahan Tapos tergolong masyarakat serba berkecukupan hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa masyarakat Tapos masih hidup dalam standar minimum sejahtera sedangkan rasio pengangguran di kelurahan Tapos terdapat 3% pada tahun 2009 sedangkan pada tahun 2010 terdapat 4%.

Adapun tingkat pendidikan masyarakat di desa Tapos, saya merujuk pada data laporan tahunan kelurahan Tapos sebagai berukut:45

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan :

- Tidak Sekolah : 759 orang

- Tamat SD / MI : 1.543 orang

- Tamat SLTP (SMP / Tsanawiyah) : 3.871 orang

- Tamat SLTA (SMA / SLTA Kejuruan) : 1.923 orang

- D-1 / D-2 / D-3 / D-4 : 368 orang

- Sarjana Strata 1 : 129 orang

- Sarjana Starata 2 : 27 orang


(46)

Dari data yang tertera di atas masyarakat Tapos Depok 85% mempunyai pendidikan yang bagus dan kebanyakan bisa baca tulis, hal ini berdampak positif menandakan warga Tapos memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan terdapat pula warga yang tidak sekolah dengan jumlah 759 orang, rata-rata warga yang tidak sekolah mereka sudah lanjut usia mungkin di era mereka pendidikan belum menjadi sebuah kebutuhan utama.

Masyarakat Tapos dalam masalah pendidikan sangat antusias terutama dalam pendidikan putra-putri mereka, sebab bagi mereka pendidikan menjadi nomor satu dijaman yang sudah maju seperti saat ini, baik itu bidang ilmu Agama maupun ilmu Umum.


(47)

BAB IV

ANALISIS TERHADAP KASUS PRAKTEK PERCERAIAN PADA MASYARAKAT TAPOS, DEPOK

A. Faktor-faktor Terjadinya Perceraian

Dari beberapa serangkaian wawancara dengan para pihak pelaku cerai dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya cerai ilegal antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Faktor hukum yang berlaku

Hukum yang berlaku khususnya dalam masalah kepercayaan telah diatur oleh undang-undang pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam pasal 2 “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya”. Dan pasal 63 UU perkawinan menyatakan: (1) yang dimaksud Pengadilan dalam Undang-undang ini adalah: a. Peradilan Agama bagi

mereka yang beragama Islam”.46

Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49 ayat 1

mengundangkan : “Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang:

46 Zainal Abidin bin Abu Bakar,Kumpulan Peraturan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,


(48)

a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. c. Wakaf dan shadaqah.47

Adapun masalah perceraian telah diatur oleh Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991 yang disetujui oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto. Dan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam.

Adapun masalah perceraian telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab XVI (putusnya perkawinan). Diatur dalam pasal 113-148 yang mengatur bagaimana cara perceraian yang resmi menurut Kompilasi Hukum Islam.

Adapun tatacara perceraian yang diakui oleh Negara diatur dalam pasal 129-148 adapun pasal 129 yang berbunyi: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tampat tinggal isteri disertai dengan

alas an serta minta diadakan siding untuk keprluan itu.48

Di dalam masalah perceraian khususnya pada Kompilasi Hukum Islam masyarakat awam kurang mengerti tentang cara perceraian yang resmi menurut hukum positif ini menjadi salah satu faktor mengapa hukum menjadi penyebab

47 Zainal Abidin bin Abu Bakar,Kumpulan Peraturan Dalam Lingkungan Peradilan Agama,

Pernerbit Pengadilan Tinggi Agama Surabaya tahun 1992, h. 299

48 H.A Basiq Djalil,Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum


(49)

terjadinya peceraian ilegal, karena kurangnya publikasi dari pejabat Pengadilan terhadap masyarakat.49

Asas dari hukum acara Peradilan Agama salah satunya:

1. Hakim bersifat menunggu (pasal 2 ayat (1) UU. No.14 tahun 1970). Inisiatif untuk mengajukan perkara adalah pada pihak yang berkepentingan (inde ne proeedat ex officio). Hakim hanya menunggu datangnya perkara, kalau sudah ada tuntutan maka yang menyelenggarakan prose itu adalah negara.

2. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) R.Bg). Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh pihak yang berkepentingan, bukan oleh Hakim.50

2. Faktor Ekonomi Masyarakat Tapos Depok

Dari hasil keterangan pegawai kecamatan Tapos Depok, masyarakat Tapos Depok mempunyai tingkat ekonomi menengah ke bawah.

Faktor ini sangat mendukung terjadinya perceraian illegal walaupun tingkat perekonomian masyarakat cukup bagus.

Tetapi masyarakat Tapos kurang memahami tentang hukum yang berlaku terutama masalah cerai dalam hukum positif, melainkan mereka lebih paham masalah cerai menurut agama cukup dengan mengucapkan kata-kata talaq, yang jelas-jelas telah di terangkan oleh agama dalam surat al-Baqarah ayat 229.

49

Data dari hasil interviw terhadap pelaku cerai illegal.

50 H.A. Mukti Arto,Peraktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka


(50)





























)

/

٢:

٢ ٢ ٩

(

Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.(Al-Baqarah/2: 229)

Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 telah dijelaskan bahwa talak dan

ruju’ hanya bagi yang melakukan talak bain sugra.

Memang agama Islam tidak pernah menyulitkan hambanya dalam maslah ibadah oleh karena itu talak dalam agama Islam cukup dengan cara mengucapkan kata-kata talak dan disaksikan oleh dua orang saksi itu menurut agama Islam adalah sah tetapi menurut hukum Negara hal ini dilarang karena perceraian tersebut illegal.

B. Pemahaman Masyarakat Tentang Cerai Ilegal

Masyarakat Tapos pada umumnya tau bahawa perceraian harus di pengadilan karena berdasarkan data dari keluruhan desa Tapos latar belakang pendidikan mereka tergolong tinggi namun belum mengetahui secara detail tentang tatacara beracara di


(1)

68

a. Apakah anda menemukan kesulitan setelah melakukan perceraian diluar pengadilan?

b. Menemukan

a. Setelah bercerai, apakah mantan suami anda memberikan nafkah hidup kepada anda dan anak anda?

b. Ke saya tidak tapi kalo ke anak saya Masih memberikan nafkah a. Bagaimana dengan hak asuh anak?

b. Hak asuh ada pada saya

a. Apakah anda mengetahui tentang hukum perceraian? Bahwa perceraian harus dilakukan melalui Pengadilan.

b. Mengetahui cerai ke pengadilan.

Pewawancara Para Pihak


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)