Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam.
PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM KEMAJEMUKAN HUKUM
PADA MASYARAKAT JAWA YANG BERAGAMA ISLAM
Skripsi
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
dalam bidang Antropologi
Disusun oleh :
NOVITA YUNI ARDIANA .S. 030905062
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Novita Yuni Ardiana .S.
Nim : 030905062
Departemen : Antropologi
Judul : PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM KEMAJEMUKAN HUKUM PADA MASYARAKAT JAWA YANG BERAGAMA ISLAM
Medan, Desember 2007
Pembimbing Skripsi Ketua Departemen
(Dra. Dra. Rytha Tambunan, MSi) (Drs. Zulkifli Lubis, MA) NIP. 131 882 277 NIP. 131 882 278
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP. 131 757 010
(3)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia penguji Departemen Antropologi pada :
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tim Penguji :
Ketua : Drs. Zulkifli Lubis, MA ( )
Anggota I : Dra. Rytha Tambunan, MSi ( )
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.
Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah “Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam”. Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengaharapkan adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu moral maupun material. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan memberikan penghargaan yang setulus-tulusnya ditujukan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku dekan FISIP USU.
2. Bapak Drs. Humaizi, MA, selaku PD I atas fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku ketua departemen Antropologi di FISIP USU, yang telah memberikan andil dan kebijaksanaan selama penulis mengikuti perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.
(5)
4. Drs. Zulkifli, MA, selaku dosen penasehat akademik, yang telah memberikan nasehat dan arahan kepada penulis selama perkuliahan.
5. Dra. Rytha Tambunan, MSi, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan masukan teoritis dan metodologis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas seluruh kebijaksanaan, bimbingan, ketulusan, dan kesediaan beliau dalam penulisan skripsi ini.
6. Prof. Dr. Chalida Fachruddin, yang telah meluangkan waktu untuk menjadi penguji dalam ujian proposal penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kritikan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
7. Dra. Sri Emiyanti, MSi, yang telah meluangkan waktu untuk menjadi penguji dalam ujian proposal penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.
8. Seluruh staf pengajar departemen Antropologi FISIP USU, yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.
9. Seluruh staf pegawai FISIP USU..
10.Bapak Halimula, selaku kepala desa Paluh Pakih Babussalam, serta para informan yang telah bersedia memberikan informasi yang penulis butuhkan selama penelitian.
11.Pengadilan Agama Stabat, atas kerja samanya dalam memberikan data yang dibutuhkan penulis.
(6)
12.Penghargaan dan ucapan terima kasih dengan penuh kasih sayang yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda A. H. Sitorus dan ibunda T. L. M. br. Situmorang, yang telah mengorbankan segala-galanya demi kemajuan dan keberhasilan bagi anak-anaknya.
13.Adikku yang terkasih, adinda Lucy Mei Astriana br. Sitorus, yang telah memberikan semangat dan doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan meraih gelar sarjana.
14.Spesial ditujukan kepada sahabat-sahabatku: Anis Amalia, Berliana, Horhon, Marta, Nanik, Yenni, Lena, Rikson, Pirtua, Hotmaria, bang Edi Ginting, bang Jhony Sitorus, bang Doni Damanik, bang Nixon, bang Ruly, yang tidak pernah berhenti memberikan semangat dan doa kepada penulis. 15.Kerabat Antropologi FISIP USU, khususnya stambuk 2001-2006: kak
Talenta, kak Bina, kak Aulia, bang Jonris, bang Novandi, bang David, bang Ruddolf, Juni, Yuli, Fitria, Rencong, Luna, Ida, Ratna, Ogex, Shirly, Rani, Sandrak, Palty, Firdaus, Paskah, Porman, Boy Freedom, Hendra, Iqbal, Eva, Tika, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut satu-persatu. Terima kasih atas kerja sama dan bantuannya.
16.Tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada Hawardi, SP., yang telah memberikan semangat dan doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
(7)
17.Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan dan melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada kita. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2007 Penulis
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. i
DAFTAR ISI………. v
DAFTAR TABEL……… viii
ABSTRAK………. ix
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Masalah………... 1
1.2. Perumusan Masalah………. 9
1.3. Lokasi Penelitian……….. 11
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 12
1.5. Tinjauan Pustaka……….. 13
1.6. Metode Penelitian………. 24
1.6.1. Tipe Penelitian………... 24
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data……….... 25
1.6.3. Analisa Data……….. 34
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……….... 36
2.1. Sejarah Singkat Dusun Menjadi Desa Paluh Pakih Babussalam……….. 36
2.2. Lokasi dan Lingkungan Alam……….. 38
2.3. Keadaan Penduduk………... 39
2.3.1. Berdasarkan Etnis………. 40
2.3.2. Berdasarkan Agama……….. 41
2.3.3. Berdasarkan Pendidikan……… 42
2.3.4. Berdasarkan Mata Pencaharian………. 43
2.4. Pola Pemukiman……… 46
2.5. Sarana dan Prasarana………. 47
2.6. Kehidupan Masyarakat Jawa……….... 49
2.6.1. Kehidupan Masyarakat Desa Paluh Pakih Babussalam………. 50
2.7. Penghulu………... 53
2.8. Sistem Perkawinan Menurut Orang Jawa………. 56
2.8.1. Perkawinan yang Dicatat Di Kantor Urusan Agama (KUA)……….... 64
2.8.2. Perkawinan yang Tidak Dicatat Di Kantor Urusan Agama (KUA)……… 65
BAB III SISTEM PERCERAIAN ORANG JAWA………... 68
3.1. Perceraian Menurut Orang Jawa……….... 68
3.1.1. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian………... 69
(9)
3.2. Perceraian Menurut Hukum Islam………. 74
3.2.1. Penjatuhan Thalaq Oleh Suami……….. 75
3.2.2. Penjatuhan Thalaq Atas Permintaan Isteri….………... 75
3.2.3. Perceraian Atas Persetujuan Kedua Belah Pihak…….... 76
3.2.3.1. Bercerai dengan Mengembalikan Mas Kawin (Chul)... 76
3.2.3.2. Bercerai Tanpa Mengembalikan Mas Kawin (Mubara-ah)……….……… 78
3.2.4. Cara Menjatuhkan Thalaq……….. 79
3.2.5. Perceraian dan Pencabutan Kembali Atas Putusan Perceraian………... 80
3.2.5.1. Bentuk-Bentuk Perceraian……….. 80
3.2.5.2. Cara Melakukan Rujuk Setelah Perceraian………… 83
3.2.5.3. Masa Penantian Bagi Mantan Isteri Setelah Perceraian (Iddah)... 83
3.2.6. Akibat Putusnya Ikatan Perkawinan (Perceraian)…….. 85
3.2.6.1. Mengenai Pengasuhan Anak………... 85
3.2.6.2. Mengenai Harta Gonogini………...……… 85
3.3. Perceraian Menurut Hukum Negara (Pengadilan Agama)……….. 86
3.3.1. Ketentuan Perceraian Menurut Hukum Negara………. 86
3.3.2. Prosedur Mengajukan Perceraian Di Pengadilan Agama (PA)……… 87
3.3.3. Syarat-Syarat Pengurusan Akte Cerai Menurut Hukum Negara... 94
3.3.4. Akibat-Akibat yang Disebabkan Perceraian………….. 95
3.3.4.1. Pemberian Nafkah…………... 95
3.3.4.2. Pemeliharaan Anak………..………... 95
3.3.4.3. Mengenai Harta Gonogini……… 96
BAB IV PROSES PERCERAIAN ORANG JAWA DALAM PLURALISME HUKUM... 97
4.1. Pilihak Hukum Penyelesaian Perceraian Menurut Orang Jawa………. 97
4.1.1. Cerai dengan Menjatuhkan Thalaq……….. 98
4.1.2. Cerai dengan Cara Berpisah………. 101
4.1.3. Perceraian Melalui Jalur Kepala Desa………. 102
4.1.4. Perceraian Melalui Jalur Pengadilan Agama (PA)…….. 104
4.2. Kasus-Kasus Perceraian……….. 106
4.2.1. Perceraian yang Tidak Diajukan Di Pengadilan Agama (PA)……….….. 106
4.2.1.1. Kasus Cerai dengan Cara Menjatuhkan Thalaq….…. 106
4.2.1.2. Kasus Cerai dengan Cara Berpisah………. 108
4.2.1.3. Perceraian Melalui Jalur Kepala Desa……… 114
4.2.2. Kasus Perceraian yang Diajukan Di Pengadilan Agama (PA)……… 116
(10)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 142
5.1. Kesimpulan………. 142
5.2. Saran……… 144
DAFTAR PUSTAKA………. 146
LAMPIRAN
1. Daftar Istilah
2. Pedoman Pengumpulan Data 3. Peta Kabupaten Langkat
4. Peta Desa Paluh Pakih Babussalam 5. Surat Ijin Penelitian
(11)
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Per-Dusun Berdasarkan Jenis Kelamin………… 40
Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis……… 41
Tabel.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama….……… 42
Tabel 2.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan………... 43
Tabel 2.5. Sumber Mata Pencaharian Penduduk………... 44
Tabel 2.6. Jenis Bangunan Rumah……… 46
Tabel 2.7. Sarana dan Prasarana……… 47
Tabel 4.1. Perkawinan dan Perceraian (Desa Paluh Pakih Babussalam)…….. 126
Tabel 4.2. Alasan-Alasan Terhadap Alternatif Penyelesaian Perceraian…….. 128
(12)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam”, yang disusun oleh Novita Yuni Ardiana .S., 2007. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 145 halaman, 10 tabel, dan 24 lampiran yang terdiri dari daftar istilah, pedoman pengumpulan data, peta, dan surat penelitian.
Penelitian ini mengkaji mengenai pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dalam proses penyelesaian perceraian. Berkembangnya zaman, tingkat pendidikan, dan pengetahuan serta perubahan hukum menyebabkan cara pandang masyarakat Jawa menjadi lebih maju. Kenyataannya, bahwa penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam sudah mulai diselesaikan melalui jalur hukum formal selain hukum agama maupun hukum adat dalam suatu masyarakat.
Perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dikaji melalui pendekatan antropologi hukum, yang bertujuan melihat bagaimana hukum yang ideal dipersepsikan dan direspon oleh masyarakat dalam kenyataannya. Selain itu, melihat bagaimana reaksi dan tindakan pihak yang merasa dirugikan atas putusan perceraian. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kasus sengketa dengan pendekatan pluralisme hukum untuk menyelesaikan perceraian. Masalah perceraian dilihat mulai dari penyebab terjadinya perceraian, proses bergulirnya perceraian, dan langkah-langkah penyelesaian perceraian.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bahwa perceraian yang terjadi pada masyarakat Jawa yang beragama Islam disebabkan oleh beberapa hal, dan penyelesaian perceraian itu melibatkan banyak pihak di dalamnya. Perselisihan yang terjadi di antara suami isteri mulai diselesaikan dengan jalur musyawarah. Musyawarah yang dilakukan apabila tidak berhasil mendamaikan pasangan suami isteri yang akan bercerai, maka dilakukan penyelesaian melalui jalur hukum agama dan jalur hukum formal, yaitu Pengadilan Agama.
Perceraian diselesaikan melalui berbagai macam cara sesuai dengan persepsi masyarakat. Ada 1 (satu) contoh kasus perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, 2 (dua) kasus perceraian yang dilakukan dengan cara berpisah, 1 (satu) kasus perceraian yang diselesaikan melalui jalur kepala desa, dan ada 2 (dua) kasus perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Agama. Masalah-masalah yang diakibatkan karena terjadinya perceraian adalah mengenai pengasuhan anak (apabila punya anak), mengenai pembagian harta gonogini, dan mengenai nafkah.
Kesimpulan penelitian adalah banyaknya pilihan hukum yang dipilih masyarakat untuk menyelesaikan perceraian. Pilihan hukum yang dimaksud yaitu melakukan perceraian dengan cara menjatuhkan thalaq, bercerai dengan cara berpisah, bercerai melalui jalur kepala desa maupun menyelesaikan perceraian melalui jalur Pengadilan Agama.
(13)
Pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, yaitu pilihan-pilihan hukum yang dapat memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tersebut. Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, malalui jalur kepala desa, dan Pengadilan Agama, pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam dan saling mempengaruhi.
Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq umumnya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri atau tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Perceraian yang dilakukan dengan cara berpisah umumnya dilakukan juga oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri. Perceraian yang diselesaikan melalui jalur kepala desa dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri maupun yang sudah dicatat di Kantor Urusan Agama. Perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Agama dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya sudah dicatat di Kantor Urusan Agama. Hal ini dilakukan untuk menuntut pembagian harta gonogini dan pengasuhan anak, karena perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, berpisah, maupun melalui jalur kepala desa umumnya tidak dapat memberikan putusan mengenai pengasuhan anak dan pembagian gonogini.
(14)
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam”, yang disusun oleh Novita Yuni Ardiana .S., 2007. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 145 halaman, 10 tabel, dan 24 lampiran yang terdiri dari daftar istilah, pedoman pengumpulan data, peta, dan surat penelitian.
Penelitian ini mengkaji mengenai pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dalam proses penyelesaian perceraian. Berkembangnya zaman, tingkat pendidikan, dan pengetahuan serta perubahan hukum menyebabkan cara pandang masyarakat Jawa menjadi lebih maju. Kenyataannya, bahwa penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam sudah mulai diselesaikan melalui jalur hukum formal selain hukum agama maupun hukum adat dalam suatu masyarakat.
Perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dikaji melalui pendekatan antropologi hukum, yang bertujuan melihat bagaimana hukum yang ideal dipersepsikan dan direspon oleh masyarakat dalam kenyataannya. Selain itu, melihat bagaimana reaksi dan tindakan pihak yang merasa dirugikan atas putusan perceraian. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kasus sengketa dengan pendekatan pluralisme hukum untuk menyelesaikan perceraian. Masalah perceraian dilihat mulai dari penyebab terjadinya perceraian, proses bergulirnya perceraian, dan langkah-langkah penyelesaian perceraian.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bahwa perceraian yang terjadi pada masyarakat Jawa yang beragama Islam disebabkan oleh beberapa hal, dan penyelesaian perceraian itu melibatkan banyak pihak di dalamnya. Perselisihan yang terjadi di antara suami isteri mulai diselesaikan dengan jalur musyawarah. Musyawarah yang dilakukan apabila tidak berhasil mendamaikan pasangan suami isteri yang akan bercerai, maka dilakukan penyelesaian melalui jalur hukum agama dan jalur hukum formal, yaitu Pengadilan Agama.
Perceraian diselesaikan melalui berbagai macam cara sesuai dengan persepsi masyarakat. Ada 1 (satu) contoh kasus perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, 2 (dua) kasus perceraian yang dilakukan dengan cara berpisah, 1 (satu) kasus perceraian yang diselesaikan melalui jalur kepala desa, dan ada 2 (dua) kasus perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Agama. Masalah-masalah yang diakibatkan karena terjadinya perceraian adalah mengenai pengasuhan anak (apabila punya anak), mengenai pembagian harta gonogini, dan mengenai nafkah.
Kesimpulan penelitian adalah banyaknya pilihan hukum yang dipilih masyarakat untuk menyelesaikan perceraian. Pilihan hukum yang dimaksud yaitu melakukan perceraian dengan cara menjatuhkan thalaq, bercerai dengan cara berpisah, bercerai melalui jalur kepala desa maupun menyelesaikan perceraian melalui jalur Pengadilan Agama.
(15)
Pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, yaitu pilihan-pilihan hukum yang dapat memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tersebut. Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, malalui jalur kepala desa, dan Pengadilan Agama, pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam dan saling mempengaruhi.
Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq umumnya dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri atau tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Perceraian yang dilakukan dengan cara berpisah umumnya dilakukan juga oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri. Perceraian yang diselesaikan melalui jalur kepala desa dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya secara sirri maupun yang sudah dicatat di Kantor Urusan Agama. Perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Agama dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang perkawinannya sudah dicatat di Kantor Urusan Agama. Hal ini dilakukan untuk menuntut pembagian harta gonogini dan pengasuhan anak, karena perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, berpisah, maupun melalui jalur kepala desa umumnya tidak dapat memberikan putusan mengenai pengasuhan anak dan pembagian gonogini.
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial yang diciptakan oleh Sang Pencipta dengan diberikan perlengkapan rukun untuk dapat hidup bersama dengan manusia lainnya dalam masyarakat, dan mengadakan kegiatan tertentu yang di dalamnya terdapat berbagai jenis hubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mempertahankan dan melangsungkan hidupnya, manusia harus berhubungan satu sama lain walaupun dalam kedudukan dan bentuk yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia selalu hidup dalam kebersamaan, sudah tentu antara seseorang dengan orang lain tidak dapat terlepas begitu saja, melainkan di antara mereka terdapat suatu jalinan hubungan sosial yang sangat berarti. Hubungan sosial diartikan sebagai cara-cara individu, yang melakukan suatu reaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan memahami bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya, sehingga ia berusaha untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya (E. Sitorus, dkk, 1997:75).
Hidup bersama dengan adanya hubungan sosial yang ada dalam masyarakat, berarti, adanya suatu hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang perempuan dan seorang laki-laki ada rasa saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama, yang kemudian
(17)
akan membentuk suatu kehidupan yang lebih mengikat, yaitu melalui adanya hubungan perkawinan yang juga sering disebut dengan pernikahan.
Menurut Koentjaraningrat (1981:90), bila dipandang dari sudut kebudayaan, bahwa perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkutan dengan kehidupan seksnya, terutama persetubuhan. Perkawinan menyebabkan bahwa seorang laki-laki tidak dapat bersetubuh dengan sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam masyarakatnya.
Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memberi ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan (anak-anak); memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta, gengsi, dan naik kelas dalam masyarakat; serta memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu. Koentjaraningrat (1980:105) selanjutnya mengatakan, bahwa sepasang suami isteri menikah untuk membentuk sebuah rumah tangga, yaitu yang akan mulai mengurus ekonomi rumah tangganya.
Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa hal bersetubuh merupakan faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik dengan keinginan mendapat anak keturunannya sendiri maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu saja. Kemungkinan juga bahwa hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dilakukan tanpa bersetubuh.
Menurut Prodjodikoro (1984:7), kekuatan untuk bersetubuh bukanlah merupakan syarat untuk hidup bersama. Ini terbukti adanya kenyataan, bahwa diperbolehkan suatu perkawinan di antara dua orang yang sudah sangat lanjut usianya, bahkan diperbolehkan pula suatu perkawinan yang dinamakan in
(18)
extremis, yaitu perkawinan yang dilakukan pada waktu salah satu pihak sudah hampir meninggal dunia.
Menurut Haviland (1988:77), perkawinan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara seorang wanita dengan seorang pria, yang mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks satu sama lain, dan yang menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan anak.
Masing-masing orang yang melakukan perkawinan mempunyai suatu harapan untuk memiliki sebuah rumah tangga yang bahagia. Kedudukan suami dianggap sebagai kepala keluarga yang wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga yang membantu suami untuk mengurus rumah tangganya agar tercipta hubungan yang bahagia (Supramono, 1998).
Membentuk sebuah rumah tangga baru melalui sebuah perkawinan, ada kalanya sepasang kekasih harus terlebih dahulu mempersiapkan diri secara lahir dan bathin, serta memikirkan resiko apa yang bakal terjadi. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangganya nanti, sebab banyak rumah tangga di masa sekarang ini yang berantakan, dan itu disebabkan oleh berbagai hal.
Ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan suatu perkawinan. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai macam sistem hukum yang mengatur mengenai masalah perkawinan, walaupun sistem hukum negara mengaturnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
(19)
1974. Kenyataannya, bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan hukum yang dipilih bagi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinannya.
Selain hukum negara, ada pula hukum agama maupun hukum adat dalam suatu masyarakat, yang dianggap mengikat oleh para warga pendukungnya. Keadaan seperti ini menunjukkan, bahwa di Indonesia berlaku berbagai peraturan hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga negara dan untuk berbagai daerah, misalnya pada masyarakat Jawa yang beragama Islam yang akan penulis teliti di sebuah daerah, yaitu di desa Paluh Pakih Babussalam.
Pada masyarakat Jawa yang akan penulis teliti selanjutnya, yaitu di desa Paluh Pakih Babussalam, diperkirakan melakukan perkawinannya melalui berbagai pilihan hukum. Ada perkawinan yang dilakukan dengan cara sirri, atau yang sering disebut kawin kampung oleh masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam.
Adapun perkawinan yang dilakukan dengan cara kawin sirri, yaitu perkawinan yang memang dianggap sah apabila dilakukan secara hukum agama, namun tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Selain itu, ada juga pihak-pihak tertentu yang melangsungkan perkawinannya secara agama, yang kemudian dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Kita mengetahui bahwa perkawinan yang hanya dilaksanakan secara agama dianggap sebagai perkawinan yang sah, namun perkawinan seperti ini merupakan perkawinan yang tidak diakui oleh negara.
Pada umumnya tujuan membentuk sebuah rumah tangga, yaitu untuk memenuhi kewajiban yang sudah ditetapkan setiap agama; menghindari hal-hal yang tidak diinginkan; memiliki teman hidup; memiliki keturunan, meneruskan ekonomi keluarga; dan mencari perlindungan. Tujuan dari sebuah perkawinan
(20)
umumnya adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan utuh selama-lamanya, tetapi hal ini tidak terlepas dari adanya kemungkinan terjadi perceraian di antara suami isteri.
Kenyataannya ada pasangan suami isteri yang hidup berumah tangga tidak selamanya apa yang diinginkan suami isteri itu berjalan dengan baik, kemungkinan karena adanya suatu perselisihan di antara mereka. Adapun masalah yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu; pertama, masalah ekonomi, dimana keuangan dalam rumah tangganya kurang mencukupi, sehingga kebutuhan rumah tangga sehari-hari tidak terpenuhi; kedua, masing-masing pihak (suami/isteri) suka mabuk-mabukan dan berjudi, bahkan selingkuh; ketiga, tidak memiliki keturunan (anak); dan keempat, adanya campur tangan orang tua terhadap rumah tangga anak-anaknya.
Perselisihan di antara suami dan isteri dapat menyebabkan suatu pertengkaran di antara suami isteri. Pertengkaran yang terjadi terus-menerus tanpa ada titik penyelesaiannya juga bisa menyebabkan salah satu pasangan (suami/isteri) tidak akan tahan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga lagi dengan pasangannya itu, sehingga kemungkinan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah di antara suami dan isteri itu adalah dengan cara perceraian.
Perceraian akan menyebabkan suami dan isteri menjadi hidup terpisah, bahkan hubungan di antara pihak keluarga juga akan terputus. Akibatnya, bisa berpengaruh pada psikologis masing-masing pasangan maupun anak-anak, dan tentunya bisa menyebabkan masalah yang baru juga, misalnya timbulnya masalah mengenai perebutan pengasuhan anak dan perebutan harta gonogini.
(21)
Menurut Prodjodikoro (1984:113), harta gonogini yang dimaksud dalam hal ini adalah barang-barang yang menjadi milik bersama, yaitu yang diperoleh bersama oleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung. Barang-barang milik bersama suami dan isteri ini akan terpisah apabila suami dan isteri bercerai, dan barang-barang yang merupakan milik bersama itu dibagi rata di antara kedua belah pihak.
Menurut orang Jawa, apabila ingin berpisah dari pasangan hidupnya (suami/isteri), dapat mengembalikan sejumlah atau lebih mas kawin pada saat perkawinan terdahulu kepada orang yang akan diceraikan. Berdasarkan hukum Islam, bahwa perceraian dapat terjadi dengan menjatuhkan thalaq oleh suami terhadap isterinya, atau dapat juga melakukan perceraiannya di Pengadilan Agama.
Ada berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk melaksanakan suatu perkawinan, baik secara hukum negara, hukum agama, maupun hukum adat, misalnya ada perkawinan yang disebut sirri atau kawin kampung. Hal ini juga diduga terjadi pada pelaksanaan perceraian yang dilakukan oleh mayarakat, bahwa ada berbagai cara yang dilakukan oleh mayarakat untuk melakukan perceraiannya.
Berbagai macam cara yang dipilih oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan persepsi dan keinginan masyarakat tersebut. Perceraian dapat dilakukan dengan cara cerai sirri atau yang disebut cerai kampung oleh masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam. Ada perceraian yang hanya dilakukan dan disaksikan oleh dan kepala desa, meskipun terdapat juga pihak-pihak tertentu yang menyelesaikan perceraiannya melalui hukum negara (Pengadilan Agama).
(22)
Ada berbagai pilihan hukum yang ada dalam masyarakat untuk menyelesaikan kasus perceraian, menunjukkan adanya alasan-alasan penting untuk memilih jalur-jalur hukum yang dipilih oleh masyarakat Jawa yang khususnya beragama Islam untuk menyelesaikan perceraian yang terjadi di antara suami dan isteri itu.
Kasus perceraian yang akan terjadi di antara suami dan isteri dapat diselesaikan dengan membicarakannya terlebih dahulu dalam musyawarah keluarga. Musyawarah keluarga yang dilakukan yaitu dengan tujuan untuk melakukan usaha perdamaian di antara suami dan isteri itu, tetapi musyawarah keluarga seringkali tidak berhasil melakukan perdamaian di antara suami isteri itu, sehingga proses penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dapat ditempuh dengan memilih jalur-jalur hukum yang lain untuk menyelesaikan perceraian itu.
Kasus perceraian yang terjadi di antara suami isteri ini akan membawa salah satu pihak maupun masing-masing pihak melanjutkan usaha penyelesaian perceraiannya di luar jalur kesepakatan bersama. Jalur yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah perceraian akan diajukan ke jalur pengadilan desa, yaitu yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Pengadilan desa apabila tidak mampu menghasilkan penyelesaian perceraian, dan karena keputusan yang ada dianggap hanya menguntungkan salah satu pihak, maka dipilihlah jalur hukum lain untuk menyelesaikannya. Jalur hukum yang dipilih kemudian bersifat lebih formal, yaitu jalur hukum negara melalui Pengadilan Agama.
(23)
Proses penyelesaian perceraian melalui jalur Pengadilan Agama dilakukan berdasarkan hukum agama Islam, namun pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang diatur berdasarkan hukum negara. Situasi ini menjelaskan bahwa proses penyelesaian perceraian tidak lagi secara ketat diatur oleh agama saja, yaitu yang bisa dilakukan hanya secara sepihak, yang justru menunjukkan tindakan sesuka hati dari salah satu pihak untuk menceraikan pasangannya.
Pilihan-pilihan hukum untuk menyelesaikan kasus perceraian yang terjadi pada masyarakat Jawa khususnya yang beragama Islam, dimaksudkan untuk mencari penyelesaian yang memberi keuntungan bagi masing-masing pihak tanpa ada tindakan sesuka hati oleh salah satu pihak yang dengan sengaja menceraikan pasangannya. Hal ini dilakukan untuk melindungi haknya, misalnya dari penyelewengan harta gonogini oleh salah satu pihak, yang seharusnya harta gonogini itu harus dibagi rata, maupun masalah pengasuhan anak. Musyawarah mufakat keluarga dan pengadilan desa dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah perceraian yang dapat memberikan keuntungan, maka hukum negara dipilih oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai persepsi tersendiri dan kepedulian terhadap sahnya perceraian yang dilakukan.
Menurut Griffiths (dalam Liria Tjahaja, 2000), banyaknya pilihan hukum yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang akan diteliti dalam menyelesaikan perceraiannya, disebut dengan istilah pluralisme hukum. Situasi ini ditandai dengan adanya lebih dari satu sistem hukum dalam suatu arena sosial untuk dapat dijadikan pegangan dalam menyelesaikan suatu sengketa dan permasalahan lainnya yang ada dalam masyarakat. Situasi pluralisme hukum ini
(24)
juga digunakan oleh masyarakat Jawa yang khususnya beragama Islam dalam menyelesaikan kasus perceraian yang terjadi di antara suami isteri yang telah diuraikan sebelumnya.
1.2.Perumusan Masalah
Masyarakat Jawa menganut prinsip keturunan bilateral, yaitu yang memperhitungkan melalui garis keturunan laki-laki dan perempuan. Artinya, bahwa dalam sebuah rumah tangga tidak ada perbedaan kedudukan di antara suami isteri. Si suami telah menjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga menjadi anggota keluarga si suami.
Menurut Prodjodikoro (1984:19), pada suatu perkawinan dalam kekeluargaan yang bersifat bilateral, hakekatnya suami dan isteri selama perkawinan berlangsung, berkedudukan sama, baik dalam mengasuh dan mendidik anak, dan mengenai harta benda masing-masing maupun harta benda milik bersama (gonogini).
Perkawinan dilakukan melalui berbagai pilihan hukum, baik hukum negara, hukum agama, maupun hukum adat dalam suatu masyarakat. Tujuan dari sebuah perkawinan umumnya untuk memiliki teman hidup, memiliki keturunan, meneruskan ekonomi keluarga, serta mencari perlindungan, yang pada akhirnya diharapkan sebuah rumah tangga yang bahagia, namun ada kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan di antara suami dan isteri yang dapat menyebabkan perceraian di antara suami isteri.
(25)
Idealnya hukum yang mengatur tentang perceraian pada masyarakat dimana pun adalah hukum negara, tetapi secara aktual terlihat adanya perubahan untuk memilih hukum yang diinginkan. Ada pihak-pihak tertentu yang menyelesaikan perceraiannya melalui hukum negara, hukum agama maupun hukum adat, yang dianggap mengikat para warga pendukungnya. Perceraian juga bisa diselesaikan dengan dua sistem hukum yang berinteraksi dan saling mempengaruhi, seperti hukum adat dengan hukum agama atau pun hukum agama dengan hukum negara. Hal ini menunjukkan adanya situasi yang disebut dengan pluralisme hukum.
Adapun perceraian yang dimaksud dilihat sebagaimana konsepsi perceraian yang terjadi pada masyarakat yang khususnya beragama Islam, yaitu putusnya hubungan (ikatan) suami isteri, baik atas keputusan suami (thalaq) maupun keputusan isteri (fasakh). Putusnya hubungan suami isteri dapat dilihat sebagai thalaq satu, thalaq dua, dan thalaq tiga yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya atau atas dasar putusan dari Pengadilan Agama dengan tujuan untuk bercerai. Putusnya hubungan suami isteri dapat dilihat sebagai fasakh apabila perceraian atas permintaan isteri melalui Pengadilan Agama, yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan hukum agama Islam.
Menurut Latif (1985:40), thalaq satu yang dimaksud adalah ucapan atau kata-kata yang pertama sekali dari seorang suami kepada isterinya, baik secara jelas maupun secara sindiran dengan maksud melepaskan isterinya dari ikatan perkawinan. Thalaq dua adalah ucapan atau kata-kata seorang suami kepada isterinya, baik secara jelas maupun secara sindiran dengan maksud melepaskan isteri dari ikatan perkawinan setelah menjatuhkan thalaq atau pernah rujuk dari
(26)
thalaq satu. Thalaq tiga merupakan ucapan atau kata-kata seorang suami kepada isterinya, baik secara jelas maupun secara sindiran dengan maksud melepaskan isterinya dari ikatan perkawinan setelah menjatuhkan thalaq atau pernah rujuk dari thalaq satu dan thalaq dua.
Berdasarkan uraian latar belakang, maka penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan:
1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian, dan apakah ada hubungannya dengan pilihan-pilihan hukum dalam menyelesaikannya? 2. Bagaimana situasi adanya pluralisme hukum dalam menyelesaikan
perceraian pada masyarakat Jawa yang khususnya beragama Islam?
1.3.Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di desa Paluh Pakih Babussalam, kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat. Alasan pemilihan lokasi di desa ini karena berdasarkan informasi yang penulis terima, yaitu dari kepala desa setempat, bahwa desa ini masih terdapat kasus perceraian yang telah menempuh jalur cerai sirri atau cerai kampung, atau melalui jalur hukum negara (Pengadilan Agama). Desa Paluh Pakih Babussalam juga merupakan salah satu daerah yang berada di wilayah perkebunan dan jauh dari kota, sehingga masih dianggap merupakan desa yang terpencil, serta penduduknya mayoritas beretnis Jawa dan beragama Islam.
Penelitian ini menggunakan data dari Pengadilan Agama Stabat untuk menemukan kasus perceraian, kemudian mendatangi pihak-pihak yang bercerai dan menjadikannya sebagai informan. Penulis juga ingin mencari pihak-pihak yang bercerai yang menggugat haknya terhadap harta gonogini dan pengasuhan
(27)
anak, karena penulis ingin mengetahui bagaimana cara pihak-pihak tersebut membagi harta gonogini dan pihak mana yang berhak untuk mengasuh anak-anak hasil perkawinannya.
Pencarian informan supaya lebih mudah, penulis meminta bantuan dari pihak keluarga, karena keluarga penulis sering datang ke desa Paluh Pakih Babussalam dan mengenal masyarakat sekitar. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, kemudian penulis mendatangi desa itu dan menjumpai informan-informan.
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan mengenai pilihan-pilihan hukum dalam menyelesaikan kasus perceraian pada masyarakat Jawa, khususnya yang beragama Islam. Selain itu, secara akademis bahwa hasil penelitian ini merupakan bahan untuk menyusun skripsi guna memperoleh gelar sarjana program Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara Medan.
Secara umum penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah masukan bagi penelitian selanjutnya yang ingin meneliti tentang proses penyelesaian perceraian, dan juga menambah kepustakaan Antropologi, khususnya dalam bidang Antropologi Hukum, yaitu mengenai perceraian yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia.
(28)
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam mengatasi kasus-kasus perceraian perceraian dan dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat mengenai pilihan-pilihan hukum yang dikaitkan dengan pluralisme hukum yang ada di Indonesia dalam menyelesaikan perceraiannya.
1.5.Tinjauan Pustaka
Pada masyarakat dimana pun sebenarnya banyak permasalahan yang diselesaikan sendiri oleh orang yang bersangkutan dan dengan bantuan-bantuan dari pihak-pihak yang ada di sekitarnya. Proses penyelesaian suatu masalah terutama di daerah pedesaan sering terdapat beberapa tokoh yang diakui pengaruhnya oleh orang-orang di sekitarnya, dan mempunyai peranan yang lebih penting dibandingkan dengan orang lain.
Menurut T. O. Irohmi (2000:7), beberapa tokoh masyarakat merupakan pemimpin yang diakui oleh masyarakat setempat sebagai juru bicara, yang dapat menyuarakan aturan-aturan yang berlaku, sehingga dapat mengukur sampai seberapa jauh terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan itu dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar, supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali. Irohmi (dalam Irianto, 2005:46-47) selanjutnya mengatakan, bahwa permasalahan yang ada di suatu desa dapat diselesaikan dengan menggunakan musyawarah keluarga, hukum adat, atau pengadilan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa, maupun dengan menggunakan pengadilan, yaitu melalui hukum negara.
(29)
Kawin sirri dikenal juga dengan istilah perkawinan bawah tangan, yaitu perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat-istiadat, dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA) bagi yang beragama Islam, kantor catatan sipil bagi non-Islam. Sistem hukum tidak mengenal kawin sirri, meskipun secara agama atau adat-istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum (http://www.solusihukum.com).
Hukum Islam tidak mengenal nikah sirri, yang ada ialah nikah sir/sirron. Nikah sir tersebut berarti nikah secara diam-diam atau rahasia, tidak diketahui oleh wali dan dua orang saksi, bahkan orang lain pun tidak mengetahuinya. Menurut hukum Islam, bahwa pernikahan itu harus diketahui oleh orang lain, terutama harus ada wali dan dua orang saksi (http://bluejazzy.blogspot.com).
Istilah nikah sirri sering digunakan masyarakat, tetapi bentuk dan pengertiannya berbeda-beda. Menurut perundang-undangan negara kita tentang perkawinan, bahwa syarat perkawinan antara lain harus ada wali nikah dan dua orang saksi. Nikah sir adalah tidak sah, walaupun antara pria dan wanita tersebut suka sama suka dan saling mencintai. Menikah sirri adalah sebuah pernikahan yang sah dengan wali dan dua orang saksi, namun hanya kalangan terbatas saja yang diberitahukan, hanya pernikahan seperti ini tidak dianjurkan dalam Islam karena bersifat rahasia (http://bluejazzy.blogspot.com).
Pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, tetap dikatakan sebagai pernikahan sirri selama belum didaftarkan secara resmi ke KUA. Nikah sirri dikenal juga dengan istilah nikah bawah tangan yaitu nikah yang dirahasiakan dan hanya diketahui oleh pihak yang terkait dengan akad. Pada
(30)
akad ini dua saksi, wali, dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorang pun dari mereka diperbolehkan menceritakan akad tersebut kepada orang lain. Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan, menurut Imam Malik, pernikahan yang seperti itu batal, sebab pernikahan itu wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Menurut pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah, bahawa nikah sirri hukumnya sah, tetapi makruh dilakukan (http://erryriyadi.blogspot.com).
Menurut Jaenudin (dalam Mubarok, 2004:74), istilah “proses” yang dimaksudkan pada penyelesaian suatu perkara adalah kegiatan yang dilaksanakan secara beruntun dan susul-menyusul. Artinya, apabila suatu pekerjaan selesai dilakukan langsung diikuti dengan melakukan pekerjaan sampai titik akhir. Proses itu sendiri meliputi enam hal, yaitu menghimpun, mencatat, mengolah, menggandakan, mengirim, dan menyimpan, sehingga suatu masalah dapat diselesaikan berdasarkan urutan kejadiannya.
Menurut Irianto (2005:55), bahwa istilah “proses”, berarti berlangsungnya suatu masalah yang terjadi dari awal sampai akhir permasalahan tersebut dan penyelesaian masalah yang dilakukan tidak selalu mulus, kadang-kadang terjadi ketegangan, bahkan hasilnya pun tidak selalu jelas, sehingga permasalahan masih kelihatan tidak terselesaikan atau mengambang.
Dikaitkan dengan kasus perceraian, bahwa proses penyelesaian perceraian yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak selamanya dapat diselesaikan dengan begitu mudahnya, tetapi masih banyak persoalan yang akan ditimbulkan dari penyelesaian perceraian itu, misalnya masalah mengenai pengasuhan anak dan
(31)
pembagian harta gonogini, meskipun ikatan di antara suami dan isteri itu sudah diputuskan dan diselesaikan.
Menurut Jofizham (1977:309), bahwa berdasarkan hukum Islam, seorang laki-laki yang hendak menceraikan isterinya dapat mengucapkan thalaq. Ia apabila masih mengucapkan thalaq sebanyak dua kali, ia masih bisa rujuk dengan isterinya dalam iddah, tetapi jika ia sudah mengucapkannya sebanyak tiga kali, ia tidak dapat mengawini isterinya lagi. Ia harus melakukan perkawinan baru berdasarkan hukum Islam atau melaporkannya ke Kantor Urusan Agama. Hal ini dikarenakan seorang suami hanya dibatasi sebanyak tiga kali thalaq dengan tujuan untuk menceraikan isterinya, setelah menjatuhkan tiga kali thalaq, ia harus melakukan pernikahan baru.
Menurut Nani Soewondo dan Soerasno (1955), bahwa menjatuhkan thalaq oleh suami kepada isteri dapat diikuti dengan adanya rujuk kembali dengan isterinya itu tanpa harus melalui sidang pengadilan. Perceraian yang juga akan terjadi di antara suami isteri dapat dilakukan terlebih dahulu dengan cara memberitahukannya kepada pihak keluarga dan kepala desa untuk menjadi saksi, yaitu seseorang yang bertanggung jawab terhadap warganya.
Menurut Latif (1985:40), perkataan “thalaq” berasal dari kata thallaqa, yang berarti melepaskan atau membebaskan isteri dari ikatan perkawinan dengan maksud untuk menceraikannya. Menjatuhkan thalaq oleh suami dapat berarti menceraikan isteri. Perceraian atas permintaan isteri dapat terjadi dengan fasakh, yang berarti melaporkan suatu perkara kepada pemerintah (pemerintah yang dimaksud adalah Pengadilan Agama).
(32)
Menjatuhkan thalaq dengan tujuan melakukan perceraian juga harus memperhatikan dan memahami hukum thalaq tersebut. Adapun hukum thalaq yang berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam, yaitu:
a. Wajib, yaitu thalaq dapat dilakukan bila ada perselisihan yang terjadi secara terus-menerus di antara suami isteri tanpa ada titik perdamaian maka thalaq pun dijatuhkan. Artinya, bahwa apabila thalaq dilakukan ia berpahala, tetapi jika tidak dilakukan ia berdosa.
b. Sunat, artinya bahwa apabila thalaq dilakukan ia bisa berpahala, tetapi jika tidak dilakukan ia tidak berdosa, misalnya thalaq dilakukan apabila ada sebab buruknya perbuatan isteri yang tidak menjaga kehormatannya.
c. Mubah, yaitu thalaq dilakukan ketika suami isteri sepakat untuk bercerai, mungkin karena keduanya telah merasa tidak dapat melanjutkan kehidupan perkawinan mereka lagi.
d. Makruh, yaitu apabila thalaq dilakukan ia tidak berdosa, tetapi jika tidak dilakukan ia berpahala (Latif, 1985:49-50).
e. Haram, yaitu apabila menjatuhkan thalaq ketika isteri dalam keadaan haid atau hamil, atau menjatuhkan thalaq kepada isteri tanpa ada sebab apa-apa, sehingga apabila thalaq dilakukan ia berdosa, tetapi bila tidak dilakukan ia berpahala (Latif, 1985:49-50).
Soimin (2002) mengatakan, bahwa pada hakekatnya suami menjatuhkan thalaq satu dan thalaq dua kepada isterinya bertujuan untuk memberi peringatan dan memberi kesempatan baginya untuk memperbaiki diri. Keadaan apabila membaik, maka suami isteri itu dapat rujuk dan bersatu kembali, tetapi ada saja
(33)
suami yang menjatuhkan thalaq kepada isterinya sering terjadi disebabkan emosi yang tidak terkendalikan tanpa mempertimbangkan akibatnya di kemudian hari. Sebagian isteri yang dijatuhkan thalaq oleh suaminya, mereka dirujuki atau dikawini kembali, namun ada juga sebagian isteri yang dibiarkan begitu saja tanpa ada penyelesaian, sedangkan mantan suami menikah lagi dengan wanita lain.
Menurut Prawirohamidjojo (1982:127), bahwa perceraian berbeda halnya dengan perpisahan ranjang atau tempat tidur, yang di dalamnya tidak terdapat perselisihan di antara suami isteri, karena perpisahan yang dimaksud hanya untuk sementara. Perceraian yang dimaksud adalah perselisihan di antara suami isteri, oleh karena salah satu pihak berbuat sesuatu yang menyebabkan hubungan rumah tangga menjadi goyang, dan pada akhirnya hubungan dengan pihak keluarga dari suami dan pihak keluarga dari isteri terputus.
Hadikusuma (1992:92) mengatakan, bahwa kata “cerai” berarti “pisah”, sehingga kata “bercerai” berarti tidak bercampur lagi, dimana kedudukan sebagai suami dan kedudukan sebagai isteri (yang dalam bahasa Jawa disebut laki dan bini) sudah berhenti. Perceraian berarti perpisahan di antara suami dan isteri yang tidak mampu untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya, sehingga suami dan isteri itu saling hidup sendiri-sendiri tanpa ada ikatan perkawinan lagi di antara mereka.
Berdasarkan hukum negara yang tertulis dalam Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perceraian terjadi oleh karena terputusnya suatu perkawinan antara suami isteri, sesudah adanya putusan dari sidang pengadilan. Artinya, bahwa perceraian bukanlah adanya perpisahan tempat tidur atau perpisahan tempat tinggal yang disebabkan karena perselisihan
(34)
di antara suami isteri, melainkan putusnya perkawinan antara suami isteri yang dilaksanakan di depan sidang pengadilan setelah adanya putusan dari pihak pengadilan.
Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatakan bahwa :
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri; (3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Pada ketentuan yang termuat di dalam Pasal 39 tersebut di atas, khususnya Ayat (2), penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 lebih lanjut menyebutkan, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai alasan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja (selama dua tahun) berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemauannya.
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atas penganiayaan berat yang dapat membahayakan jiwa salah satu pihak.
(35)
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri, misalnya mandul atau impoten.
e. Suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Ketentuan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 menjelaskan, bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dan yang akan menceraikan isterinya, harus mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, dimana surat tersebut berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan, dan meminta Pengadilan Agama mengadakan sidang untuk keperluan tersebut.
Pasal 15 dan 16 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menentukan, bahwa Pengadilan Agama hanya memutuskan dan mengadakan sidang pengadilan dan meneliti serta berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, namun tidak berhasil, maka perceraian akan sah dilakukan setelah adanya putusan dari pengadilan.
Menurut Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 menyatakan, bahwa ketua pengadilan hanya membuat surat keterangan saja atas telah terjadinya perceraian, dan surat keterangan tersebut dikirim kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu dilaksanakan untuk diadakan pencatatan, oleh karena itu seorang suami tidak dapat mengajukan surat gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama, tetapi ia dapat mengajukan surat pemberitahuan dengan tujuan untuk menceraikan isterinya. Selanjutnya Pasal 18 Peraturan Pemerintah
(36)
No. 9 Tahun 1975 menentukan, bahwa perceraian hanya dapat terjadi dan dinyatakan di depan sidang pengadilan, yaitu suami menjatuhkan thalaq kepada isterinya di depan sidang pengadilan.
Ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, antara lain diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41, dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 36, berisi bahwa perceraian diatur dengan cara cerai thalaq. Perceraian dapat terjadi atas dasar cara tersebut, yang pelaksanaannya diatur dalam perkawinan menurut agama Islam, dan yang akan menceraikan isterinya dapat mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya. Surat tersebut disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan perceraian itu.
Keputusan Mahkamah Agung No. 1335 K/Pid/1985, telah menolak seseorang yang menceraikan pasangannya (suami/isteri) secara agama Islam di hadapan kepala dusun dengan saksi dari pejabat-pejabat setempat, dengan pertimbangan bahwa perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan adalah tidak sah dan dianggap perceraian liar, yaitu perceraian yang tidak mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku. Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan meskipun dilakukan secara agama Islam tidak mengakibatkan putusnya perkawinan, sehingga ditinjau dari segi hukum status perkawinannya masih tetap dianggap utuh.
Gugatan perceraian yang perkawinannya tidak dicatat di dalam Pengadilan Agama, menurut Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa No. 8/Pdt/G/1993/PN Sungg., bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dengan pertimbangan perkawinan penggugat dan tergugat dilangsungkan tanpa
(37)
mengindahkan tata cara perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sehingga gugatan penggugat dipandang tidak berlandaskan hukum (Gatot Supramono, 1998).
Menurut Keebet von Benda-Beckmann (dalam Liria Tjahaja, 2000), bahwa suatu hukum yang berlaku di dalam kehidupan sosial masyarakat yang dilihat pertama-tama bukanlah apa yang menjadi aturannya, melainkan proses dari pelaksanaan hukum tersebut, sehingga berbagai macam masalah yang muncul ke permukaan, seperti masalah perkawinan dan perceraian juga bisa terlihat bagaimana bermacam-macam sistem hukum yang ada saling berinteraksi.
Di berbagai daerah terdapat berbagai cara untuk melakukan dan mensahkan suatu perceraian. Hal ini dikarenakan begitu banyak hukum yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga setiap pasangan yang akan bercerai akan memilih salah satu bahkan lebih cara dari beberapa aturan hukum yang ada.
Sally F. Moore (dalam Liria Tjahaja 2000:109-110) mengemukakan, bahwa seluruh aneka norma/aturan yang muncul dari individu/masyarakat tertentu dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan hukum. Moore melihat bahwa pluralisme hukum dapat terjadi karena adanya kenyataan bahwa warga suatu masyarakat sebagai individu berada dalam beberapa arena interaksi sosial, yang masing-masing memiliki norma-normanya sendiri, sehingga individu yang bersangkutan dituntut untuk mengikuti norma tersebut. Aneka jenis pengaturan yang ada dalam masyarakat tidak semuanya berstatus hukum, namun sering dihayati sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak kalah pentingnya dengan norma hukum.
(38)
Menurut Achadiat (dalam Irohmi, 1993), proses pengesahan perkawinan selalu menunjukkan gejala yang dikenal dalam Antropologi, sebagai gejala pluralisme hukum. Keadaan ini dimungkinkan karena sifatnya yang kompleks dari kehidupan manusia itu sendiri, karena manusia itu tidaklah melulu hanya merupakan bagian dari kehidupan kebudayaannya, baik kebudayaan etnis atau suku bangsanya, kebudayaan daerah, kebudayaan agama, dan dalam kehidupan sosialnya. Hal ini dapat dikaitkan dengan masalah perceraian, dimana masyarakat dapat menggunakan salah satu hukum atau aturan tertentu selain hukum negara yang ada di dalam kehidupan sosialnya.
Pluralisme hukum adalah situasi dimana ada dua atau lebih hukum yang saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, tetapi hukum negara merupakan hukum dominan yang akan menentukan apakah hukum atau kebiasaan lain dapat berlaku untuk semua penduduk atau tidak. Griffiths berpendapat bahwa pluralisme hukum adalah lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu kehidupan sosial, dalam hal ini Griffiths memiliki gagasan mengenai weak legal pluralism dan strong legal pluralism. Weak legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa dari berbagai macam sistem hukum yang berlaku, pada akhirnya hukum negara yang paling dominan dan mempengaruhi. Strong legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat dan dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi/kelompok dan berhadapan dengan kondisi hidup sosial masyarakat yang terus berubah, selain bisa ditentukan juga oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok budaya, dimana seorang pribadi/kelompok tumbuh dan dididik (Irianto dalam Masinambow, 2000:109).
(39)
Penyelesaian terhadap suatu masalah dimana pun, termasuk kasus perceraian, selalu menunjukkan gejala pluralisme hukum. Hal ini disebabkan karena sifat yang kompleks dari kehidupan manusia. Manusia bukan merupakan bagian dari suku bangsanya saja, melainkan juga merupakan bagian dari negaranya dengan berbagai aturan hukum yang berlaku, yaitu yang digunakan sebagai alat untuk memperoleh hak-haknya, termasuk di dalamnya mengenai pengasuhan anak dan pembagian harta gonogini.
1.6.Metode penelitian 1.6.1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu yang bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci bagaimana pilihan-pilihan hukum dan proses penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam di dalam pluralisme hukum. Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam tentang pilihan hukum yang dipilih masyarakat Jawa, khususnya yang beragama Islam dalam menyelesaikan kasus perceraiannya.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian antropologi hukum, yaitu metode kasus sengketa, yang digunakan untuk melihat bagaimana bergulirnya suatu perkara. Metode tersebut dilaksanakan dengan melihat tiga tahap dalam proses berperkara menurut Nader dan Todd (dalam Irianto 2005), yaitu:
1. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, dimana salah satu pihak mempunyai keluhan atas namanya terhadap orang lain. Pada tahap
(40)
pra-konflik ini akan dilihat bagaimana adanya keluhan-keluhan yang akan menyebabkan perceraian itu muncul.
2. Tahap konflik, dimana terdapat dua pihak yang saling berselisih. Pada tahap ini akan dilihat bagaimana pihak yang merasa benar dan pihak yang disalahkan dalam menghadapi perceraian.
3. Tahap bergulirnya sengketa/perkara, dimana terdapat pihak ketiga karena pengaduan dari salah satu pihak yang berperkara. Pada tahap ini dapat dilihat pihak mana yang meminta keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaikan kasusnya, dan bagaimana bentuk keterlibatan pihak ketiga tersebut dan pihak-pihak mana saja yang dipilih menjadi pihak ketiga dalam penyelesaian kasus perceraian itu.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data tentang pluralisme hukum ini dilakukan pada etnis Jawa yang beragama Islam di desa Paluh Pakih Babussalam, kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat. Data yang diperlukan dikumpulkan dengan melakukan pendekatan terhadap informan yang terlibat dalam kasus perceraian. Dilakukan juga rekonstruksi tentang situasi perkara perceraian mulai dari awal sampai proses penyelesaiannya, yang diperkuat dengan adanya keterangan-keterangan dari informan yang terlibat perkara. Untuk memperkuat data yang ada, dilakukan pencarian dan pencatatan data melalui dokumen-dokumen dari Pengadilan Agama Stabat, kantor kepala desa Paluh Pakih Babussalam, buku-buku, artikel dan internet, yaitu mengenai perceraian.
(41)
Pengamatan dilakukan dengan cara melihat bagaimana sikap dan reaksi para informan ketika penulis berusaha untuk melakukan wawancara dengan mereka, apakah mereka merasa gelisah atau tidak saat mengahadapi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penulis. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat juga menjadi fokus pengamatan bagi penulis selama melakukan penelitian.
Pengamatan juga dilakukan terhadap hubungan antara pihak-pihak yang terlibat kasus perceraian, yaitu; hubungan antara mantan isteri dengan mantan suami, apabila mereka masih berada dalam satu desa yang sama; hubungan antara mantan isteri dengan anak-anak hasil perkawinannya dengan mantan suami; hubungan antara mantan suami dengan anak-anak hasil perkawinannya dengan mantan isteri; hubungan antara mantan isteri dengan pihak keluarga mantan suami; hubungan antara mantan suami dengan pihak keluarga mantan isteri; atau hubungan mantan isteri/mantan suami dengan pasangan perkawinannya yang baru (bila sudah menikah lagi), karena ada di antara pihak-pihak yang sudah bercerai yaitu mantan suami dan mantan isteri berada dalam satu desa dan bahkan terkadang masih tinggal bersama meskipun sudah resmi bercerai.
Wawancara dalam penelitian ini merupakan hal yang sangat penting dalam memperoleh informasi yang diperlukan untuk penelitian. Wawancara mendalam dilakukan terhadap kepala desa Paluh Pakih Babussalam, tokoh masyararakat (penghulu), pihak-pihak yang pernah melakukan perceraian, dan orang-orang sekitar yang mengetahui perceraian itu, misalnya yang pernah menjadi saksi dalam sidang perceraian.
(42)
Wawancara dilakukan pada informan pangkal, yaitu kepala desa yang ada di desa Paluh Pakih Babussalam. Dari informan pangkal akan didapat data-data atau keterangan mengenai kasus-kasus perceraian dan pihak-pihak yang terlibat dalam perceraian itu.
Informan kunci yaitu pihak-pihak yang pernah melakukan perceraian. Kriteria pertama, yaitu yang bercerai dengan cara thalaq; ada unsur kesepakatan bersama atau dengan cara berpisah; ada yang melalui jalur kepala desa di pengadilan desa yang disebut dengan cerai kampung; dan melalui jalur hukum formal (Pengadilan Agama), yang pelaksanaan jalur hukum itu dilakukan berdasarkan hukum agama Islam. Penulis tidak memperhitungkan umur atau lama perkawinan dan golongan sosial tertentu.
Wawancara juga dilakukan terhadap informan biasa, yaitu masyarakat atau orang-orang sekitar yang mengetahui kasus perceraian, bahkan yang pernah menjadi saksi dalam sidang perceraian. Pemilihan informan biasa ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang pernah bercerai, maka dari pihak-pihak tersebut akan ditanya siapa-siapa saja yang pernah menjadi saksi dari atau yang tahu bahwa ada perceraian terhadap suatu pasangan suami isteri.
Penulis sebelumnya pernah mengajukan proposal mengenai kehidupan remaja desa yang mengikuti gaya hidup remaja kota kepada dosen penasehat akademik, namun penulis lebih tertarik mengkaji masalah perceraian. Pada saat itu ada sebagian anggota kerabat penulis yang pernah menikah dan mempunyai anak, ia juga tinggal di desa Paluh Pakih Babussalam. Beberapa waktu kemudian,
(43)
suaminya itu tidak pernah datang dan penulis sendiri tidak mengetahui bagaimana keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya.
Penulis juga semakin bingung ketika melihat beberapa pasangan suami isteri dari anggota kerabat penulis berulang kali tukar pasangan. Artinya, penulis mengenal suami pertama mereka, namun beberapa tahun kemudian pasangan mereka berganti. Tidak tahu kapan mereka menikah lagi dan tidak tahu pula kapan mereka bercerai.
Penulis mencoba bertanya kepada orang tua penulis mengenai masalah itu. Penulis bertanya mengenai masalah kapan dan bagaimana cara mereka menikah, bagaimana pula bisa bercerai. Alangkah terkejutnya ketika penulis mendengar jawaban dari orang tua penulis:
“Gak tau kapan mereka nikah, kayak ecek-ecek aja. Kawin-kawin gitu ajanya. Kawin kampunglah kali. Cerenya pun cere-cere gitu aja, orang kawinnya kawin kampug, yah cerenya cere kampunglah. Kalo si “X” pisah-pisah gitunya cerenya. Manada suratnya”.
Rasa penasaran penulis semakin bertambah, kemudian penulis mencoba bertanya-tanya sedikit mengenai perkawinan dan perceraian kepada yang bersangkutan. Ia tidak malu-malu lagi untuk menjawab, karena penulis juga merupakan anggota kerabatnya, dan penulis berusaha menggali semua mengenai masalah ini, sampai penulis sudah memiliki keterangan-keterangan mengenai perkawinan dan perceraian yang mereka lakukan.
Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk lebih tertarik meneliti mengenai perceraian yang dilakukan secara cerai kampung atau melalui kepala desa, dan Pengadilan Agama, karena itu penulis juga mengajukan judul “proses penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dalam pluralisme hukum” kepada dosen penasehat akademik. Judul ini merupakan
(44)
tantangan bagi penulis, karena masyarakat yang penulis terliti adalah masyarakat yang berbeda suku dan agama dengan penulis, namun penulis berusaha untuk melakukan penelitian dengan sebaik-baiknya.
Penulis sering mendatangi desa Paluh Pakih Babussalam, yaitu sebelum penulis mengajukan judul mengenai perceraian. Berdasarkan pengamatan penulis ketika penulis berada di desa Paluh Pakih Babussalam, ternyata penulis melihat ada beberapa pihak yang penulis kenal memiliki isteri pertama, isteri kedua, bahkan isteri ketiga. Pada saat itu penulis tidak memiliki niat untuk melakukan pertanyaan apa pun tentang rumah tangga mereka, tetapi penulis semakin penasaran.
Penulis kemudian bertanya pada orang tua penulis sendiri yang juga telah mengetahui keadaan desa Paluh Pakih Babussalam. Dari keterangan orang tua penulis, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang memiliki isteri lebih dari satu, bahkan ada yang sudah bercerai hanya secara cerai kampung maupun di Pengadilan Agama, karena desa itu terkenal dengan orang yang suka merantau. Penulis mulai tertarik ingin mengajukan pertanyaan kepada pihak-pihak yang pernah bercerai, yaitu pihak-pihak yang sudah penulis kenal.
Penelitian ini selanjutnya dilakukan lebih mendalam pada pertengahan tahun 2007, yaitu setelah penulis melaksanakan ujian proposal. Penulis memulai penelitian dengan cara kunjungan yang seperti biasa dilakukan penulis di desa Paluh Pakih Babussalam. Penulis sudah sering datang ke desa itu, sehingga ada sebagian penduduk yang sudah mengenal penulis, begitu juga dengan kepala desanya. Tanpa ada surat lapangan ke kantor kepala desa Paluh Pakih Babussalam, penulis dapat langsung mengajukan permintaan untuk meneliti di
(45)
daerah itu dan meminta catatan mengenai pihak-pihak yang terlibat perceraian, meskipun penulis sudah mendapat keterangan dari beberapa informan sebelum melakukan penelitian yang sesungguhnya. Alhasil, kepala desa memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan data-data mengenai kasus perceraian.
Beberapa hari kemudian penulis mendatangi pihak-pihak yang terlibat perceraian, yaitu orang-orang yang belum penulis kenal sebelumnya. Penulis sangat gugup karena merasa takut bahwa pertanyaan yang diajukan kemungkinan akan menyinggung perasaan pihak-pihak tersebut, oleh karena itu penulis meminta bantuan dari orang tua penulis untuk menemani penulis melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat perceraian itu.
Saya sebelum memulai pertanyaan kepada pihak-pihak tertentu mengenai perceraian, orang tua saya menyapa pihak-pihak tersebut karena sudah saling mengenal, dan mereka terlihat dekat tanpa ada kecurigaan sedikit pun bahwa penulis akan mengajukan pertanyaan tentang perceraian kepada pihak-pihak itu. Orang tua penulis sudah panjang lebar berbicara dengan pihak-pihak yang akan penulis wawancarai, akhirnya orang tua penulis mengatakan pada pihak-pihak yang pernah bercerai itu, bahwa penulis ingin bertanya tentang kasus perceraian yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut.
Penulis belum mengajukan pertanyaan, mereka terkejut dan seperti tidak mau memberikan keterangan apa pun mengenai perceraian yang pernah mereka lakukan. Bukan karena sombong atau ingin diberi imbalan atas jawaban yang akan mereka berikan, melainkan mereka takut bahwa penelitian yang saya lakukan akan dimasukkan ke dalam media massa, misalnya majalah atau koran,
(46)
sebab penelitian yang dilakukan penulis menyangkut tentang perceraian, yang tentunya diawali mengenai perkawinan mereka.
Berdasarkan penjelasan yang penulis dapat, bahwa ketakutan mereka pada umumnya adalah bagi pihak-pihak yang menikah secara sirri. Menurut mereka apabila saya meneliti mengenai perceraian mereka, berarti perkawinan mereka juga akan terbongkar, dan mereka akan merasa malu serta dianggap tidak mematuhi aturan hukum negara. Mereka yang menikah secara agama dan juga yang dicatat di Kantor Urusan Agama, mereka tidak segan-segan menjawab pertanyaan dari penulis meskipun mereka juga pernah bercerai secara kampung.
Penulis kemudian mengatakan kepada pihak-pihak yang terlibat perceraian, yaitu yang merasa ketakutan untuk menjawab pertanyaan dari penulis, bahwa penulis melakukan penelitian ini hanya untuk mengerjakan tugas dari kampus. Tugas ini dari dosen yang mengajar tentang hukum, khususnya mengenai masalah perceraian, dan tidak akan disebarluaskan kepada umum. Dari alasan-alasan penulis, akhirnya pihak-pihak tersebut pun mulai lebih terbuka dan bersedia memberikan informasi yang penulis butuhkan.
Masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam adalah masyarakat yang ramah, dan menurut keterangan dari mereka, bahwa sebelumnya di desa itu pernah ada beberapa mahasiswa yang melakukan penelitian. Baru pertama sekali ini penulislah yang meneliti tentang perceraian, dan itu pun yang dianggap menyangkut pribadi mereka terutama yang menikah secara sirri maupun berpoligami, dan bercerai juga secara kampung, sehingga mereka terlihat takut dan segan untuk memberikan informasi, apalagi jika penelitian ini tersebar luas
(47)
kepada umum. Pihak-pihak yang kemudian penulis wawancarai tersebut akhirnya mengerti dan bersedia untuk memberikan informasi yang penulis butuhkan.
Penelitian di desa Paluh Pakih Babussalam selesai dilakukan, penulis mendatangi Pengadilan Agama Stabat. Penulis mendatangi Pengadilan Agama bersama dengan dua orang teman penulis, yang satu laki-laki dan yang lain perempuan. Ada pegawai pengadilan yang bertanya maksud kedatangan kami. Penulis bersama teman-teman ingin meminta data mengenai kasus perceraian, yang kemudian kami disuruh duduk di ruang tunggu tamu, karena pada saat itu Panitera atau wakil ketua majelis Pengadilan Agama sedang menangani kasus perceraian lainnya.
Penulis kemudian diijinkan untuk masuk ke ruang panitera, lalu ada seorang pegawai Pengadilan Agama lainnya yang juga mencatat orang-orang yang akan bercerai di Pengadilan Agama itu. Pada saat itu penulis masih memegang surat lapangan dan belum sempat memberitahukan kedatangan penulis bersama teman-teman ke Pengadilan Agama. Penulis masih berada di depan pintu masuk bersama teman-teman penulis, tetapi salah satu pegawai Pengadilan Agama itu langsung mengeluh dan menunjukkan wajah yang cemberut. Ia mengatakan,
“Akh…Kok sore kali kalian datang? Ini udahwaktunya jam pulang”. Pada saat itu penulis terkejut, kenapa pihak Pengadilan Agama tidak seramah yang penulis pikirkan. Pada saat itu penulis langsung duduk di depan pegawai Pengadilan Agama itu bersama dengan teman laki-laki penulis, sedangkan teman perempuan penulis duduk di kursi yang lain. Penulis langsung memberikan surat lapangan ke salah satu pegawai Pengadilan Agama yang mengeluh itu. Pegawai Pengadilan Agama itu membuka surat lapangan penulis, ia
(48)
terkejut dan langsung meminta maaf kepada penulis dan teman-teman penulis. Ia berpikir, bahwa penulis ingin melakukan perceraian bersama teman laki-laki yang duduk di samping penulis.
Penulis selanjutnya dipanggil oleh panitera Pengadilan Agama dan memberikan surat lapangan, tetapi pada hari itu penulis tidak bisa melakukan wawancara dan mencatat langsung mengenai kasus perceraian. Panitera Pengadilan Agama mengatakan akan membaca dan mempelajari terlebih dahulu surat penelitian penulis, dan juga waktu sudah tidak memungkinkan, yaitu menunjukkan Pukul 14.00 wib, atau sudah waktunya jam pulang.
Ketua majelis Pengadilan Agama mempunyai waktu yang sedikit, karena banyak pekerjaan untuk menghadiri sidang kasus perceraian. Panitera Pengadilan Agama memberikan waktu seminggu kemudian sejak penulis mendatangi Pengadilan Agama untuk kembali ke Pengadilan Agama itu lagi.
Seminggu kemudian penulis mendatangi kembali Pengadilan Agama Stabat, dan mulai mengajukan pertanyaan mengenai proses kasus perceraian yang ada. Penulis kemudian meminta kepada panitera Pengadilan Agama untuk memfotokopi data-data perceraian dari dokumen Pengadilan Agama. Pada waktu itu panitera memperbolehkan penulis untuk memfotokopi data-data yang diperlukan, tetapi setelah ditanya kepada ketua majelis Pengadilan Agama ternyata data-data perceraian yang dibutuhkan tidak diperbolehkan untuk difotokopi. Menurut cerita panitera Pengadilan Agama, dulunya juga ada mahasiswa yang memfotokopi isi dokumen Pengadilan Agama, dan akhirnya data-data yang ada hilang.
(49)
Penulis berpikir akan mendapat banyak data kasus perceraian yang dibutuhkan, ternyata karena tidak diperbolehkan untuk memfotokopi data-data mengenai perceraian yang ada di Pengadilan Agama, maka penulis mencatat data-data yang dibutuhkan itu dengan tulisan tangan. Data-data-data yang didapat dari Pengadilan Agama hanya ada dua kasus perceraian. Data-data yang dibutuhkan sudah didapat meskipun hanya ada dua kasus perceraian, panitera Pengadilan Agama menyambut baik kedatangan penulis, dan langsung menawarkan surat keterangan dari Pengadilan Agama untuk penulis.
Penulis selama melakukan penelitian dan wawancara dengan pegawai Pengadilan Agama, penulis telah mengorbankan materi seikhlas penulis memberikannya. Tiga hari kemudian, yaitu setelah dari Pengadilan Agama, ternyata surat penelitian penulis dari pengadilan itu hilang, meskipun data yang dibutuhkan masih tersimpan dengan baik.
1.6.3. Analisa Data
Data yang diperoleh akan dianalisa kembali secara kualitatif. Proses analisa data pada penelitian ini dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara, serta studi kepustakaan yang selanjutnya disusun secara sistematis agar lebih mudah dipahami.
Data yang diperoleh dari kepala desa adalah merupakan data awal yang sangat membantu peneliti dalam melakukan penelitian. Data yang diperoleh itu adalah banyaknya masyarakat Jawa yang beragama Islam di desa Paluh Pakih Babussalam yang pernah bercerai, sedangkan data yang diperoleh dari masyarakat yang melakukan perceraian akan diperoleh data mengenai bagaimana perceraian
(50)
itu terjadi dan apa persepsi masyarakat mengenai pilihan hukum yang mereka pakai untuk menyelesaikan perceraiannya. Data yang diperoleh dari pihak lainnya, yaitu masyarakat sekitar yang tidak melakukan perceraian, dipergunakan sebagai informasi tambahan.
Penulisan laporan dilakukan sesuai data yang diperoleh sampai akhir penelitian. Keseluruhan data yang diperoleh akan diklasifikasikan berdasarkan kategori-kategori tertentu, yaitu mengenai faktor-faktor timbulnya perceraian, dan bagaimana pilihan-pilihan hukum dalam menyelesaikan perceraian yang terjadi.
(51)
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1. Sejarah Singkat Dusun Menjadi Desa Paluh Pakih Babussalam
Asal mula sejarah desa Paluh Pakih Babussalam berawal dari nama dusun, tepatnya yang dimulai pada tahun 1970 sampai tahun 1996, yang diberi nama dengan sebutan dusun Sembilan Paluh Pakih. Daerah Paluh Pakih sebelum menjadi sebuah dusun, pertama sekali ditemukan oleh Sheh Tuan Guru Babu Rokan, yang pada waktu itu daerah ini merupakan salah satu tempat persinggahannya di waktu ia mencari ikan sambil mendayung sampan.
Pada saat daerah ini ditemukan oleh Sheh Tuan Guru Babu Rokan, daerah tersebut merupakan daerah yang rawan dengan banjir dan penuh dengan rawa. Daerah yang rawan dengan banjir dan penuh rawa itu disebut dengan nama Paluh Pakih, dimana kata “paluh” berarti rawa-rawa, dan “pakih” berarti tempat. Pada saat itu dusun Sembilan Paluh Pakih berada di desa Batang Serangan, kecamatan Padang Tualang, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara.
Beberapa waktu kemudian, letak dan luas desa Batang Serangan mulai berkembang, yang disebabkan oleh karena jumlah penduduk yang semakin bertambah. Pada tahun 2004, tepatnya bulan April, yang tadinya Batang Serangan adalah sebuah desa berubah menjadi sebuah kelurahan, yang berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Kepemimpinannya dipegang oleh seorang lurah.
(52)
Batang Serangan sebelum menjadi sebuah kecamatan, wilayah Paluh Pakih masih berada di kecamatan Padang Tualang, dan akhirnya pada tanggal 30 September 1999, ada tiga wilayah yang akan menjadi sebuah kecamatan, yaitu kecamatan Padang Tualang, kecamatan Sawit Seberang, dan kecamatan Batang Serangan.
Pada tanggal 17 Maret 2005 mulai terjadinya perubahan dari sebuah desa menjadi sebuah kelurahan yang dibagi menjadi 19 kelurahan. Peresmiannya dilakukan di kecamatan Gebang, sehingga kabupaten Langkat ada 20 kecamatan, di antaranya adalah kecamatan Bahorok, Salapian, Sungai Bingai, Kuala, Selesai, Binjai, Stabat, Padang Tualang, Hinai, Sicanggang, Tanjung Pura, Gebang, Besitang, Pangkalan Susu, Sawit Seberang, Batang Serangan, dan kecamatan lainnya berada dalam kawasan Stabat.
Pada tahun 2006 kelurahan Batang Serangan sudah berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk yang semakin bertambah di kelurahan Batang Serangan, maka pada bulan April tahun 2006, dusun Sembilan Paluh Pakih keluar dari kelurahan Batang Serangan, dan mulai berdiri sendiri untuk mengembangkan daerah wilayahnya sendiri.
Pada tanggal 24 April 2006 kemudian Paluh Pakih dikukuhkan menjadi sebuah desa baru yang berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Peresmian desa ini dilakukan oleh camat Batang Serangan, kapolsek Padang Tualang, dinas instansi Batang Serangan, dan seluruh masyarakat desa itu.
(53)
Desa Paluh Pakih selanjutnya diberi nama desa Paluh Pakih Babussalam, “babussalam” diambil dari nama sebuah jalan, tempat dimana desa itu berada. Kepemimpinan desa Paluh Pakih Babussalam dipegang oleh seorang kepala desa, yang bernama Halimula. Sejak saat itu ada tujuh buah desa, dan satu kelurahan di dalam satu wilayah kecamatan Batang Serangan.
2.2. Lokasi dan Lingkungan Alam
Desa Paluh Pakih Babussalam merupakan daerah yang berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Perjalanannya menuju desa ini melewati kota Medan, Binjai, Stabat, dan Tanjung Beringin, apabila dari kota Medan.
Perjalanan dari kota Medan berjarak lebih kurang 88 km, dan jarak dari jalan lintas Sumatera (Medan-Aceh) lebih kurang 30 km ke arah Batang Serangan. Lama tempuh dari kota Medan ke desa Paluh Pakih Babussalam sekitar 3,5 jam. Perjalanan untuk memasuki wilayah desa ini, akan terlebih dahulu memasuki kawasan perkebunan sawit dan karet. Bentuk jalan daerah ini bergelombang dan berbatu, karena jalan aspal yang didapat hanya sampai wilayah Padang Tualang.
Letak desa Paluh Pakih Babussalam sangat terpencil, karena jauh dari pusat kota, dan berada di tengah-tengah areal perkebunan. Desa Paluh Pakih Babussalam memiliki batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Sungai Benda.
b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tebing Tanjung Selamat, kecamatan Padang Tualang.
(54)
c. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Alur Hitam.
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tanggul Sungai Basilam.
Desa Paluh Pakih Babussalam memiliki luas 1200 km2, yang terdiri dari daratan, persawahan, dan rawa. Luas areal persawahan adalah 800 Ha, dan daratan seluas 400 Ha. Desa ini memiliki delapan dusun, di antaranya adalah dusun Makmur, dusun Kelapa Sawit, dusun Benteng, dusun Bukit, dusun Sejahtera, dusun Pekan, dusun Berseri, dan dusun Letter “S”.
Desa Paluh Pakih Babussalam merupakan daerah dataran rendah, karena juga memiliki daratan dan rawa, sehingga sering terjadi banjir, namun sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Desa ini juga merupakan daerah lahan pertanian dan menjadi lumbung padi di wilayah kecamatan Batang Serangan. Potensi sumber daya alam berdasarkan iklim di desa Paluh Pakih Babussalam adalah iklim tropis, yang memiliki curah hujan 0,5 mm, sehingga jumlah bulan hujannya diperkirakan terjadi selama empat bulan dalam setahun, dengan suhu rata-rata harian adalah 250 C.
2.3. Keadaan Penduduk
Penduduk desa Paluh Pakih Babussalam mayoritas merupakan etnis Jawa. Selain etnis Jawa juga terdapat etnis lain, tetapi hanya merupakan etnis yang minoritas, diantaranya yaitu etnis Banten, Etnis Banjar, etnis Karo, dan etnis Batak Toba. Penduduk di desa Paluh Pakih Babussalam terdiri dari dua agama yang dianut, yaitu agama Islam dan agama Kristen Protestan. Mayoritas yang beragama Islam yang merupakan agama asli etnis Jawa. Agama lain yang terdapat di desa ini dibawa oleh etnis pendatang, yaitu agama Kristen Protestan.
(55)
Jumlah penduduk desa Paluh Pakih Babussalam adalah sebanyak 1903 jiwa, dengan penduduk laki-laki berjumlah 995 jiwa, dan penduduk perempuan berjumlah 908 jiwa. Terdapat 424 rumah tangga yang mendiami desa ini.
Jumlah penduduk setiap dusun dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1
Jumlah Penduduk Per-Dusun Berdasarkan Jenis Kelamin
No Dusun Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
1. Makmur 57 52 109
2. Kelapa Sawit 69 61 130
3. Benteng 96 81 177
4. Bukit 207 194 401
5. Sejahtera 193 154 347
6. Pekan 143 133 276
7. Berseri 208 198 406
8. Letter “S” 27 30 57
Sumber: Kantor Desa PPB, 2007
Dari tabel 2.1 dapat dilihat bahwa penduduk terpadat di dusun Berseri dengan jumlah penduduk 406 jiwa, yaitu jumlah penduduk laki-laki adalah 208 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 198 jiwa, sedangkan dusun dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu dusun Letter “S”, yang terdiri dari 27 jiwa penduduk laki-laki dan 30 jiwa penduduk perempuan.
2.3.1. Berdasarkan Etnis
Mayoritas penduduk desa Paluh Pakih Babussalam adalah penduduk yang beretnis Jawa, yang juga merupakan etnis asli di desa itu. Jumlah penduduk etnis Jawa adalah 1404 jiwa. Selain etnis Jawa juga terdapat etnis-etnis lain yang
(56)
merupakan etnis pendatang di desa ini, antara lain adalah etnis Karo yang berjumlah 86 jiwa, etnis Batak Toba yang berjumlah 48 jiwa, etnis Banten yang berjumlah 206 jiwa, dan etnis Banjar yang berjumlah 159 jiwa.
Secara terperinci jumlah penduduk desa Paluh Pakih Babussalam berdasarkan etnis dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.2
Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis
No Etnis Jumlah Persentase
(%)
1 Jawa 1404 73,78
2 Karo 86 4,52
3 Batak Toba 48 2,52
4 Banten 206 10,82
5 Banjar 159 8,36
Sumber: Kantor Desa PPB, 2007
Berdasarkan tabel 2.2 dapat kita lihat bahwa etnis yang paling mendominasi di Desa Paluh Pakih Babussalam adalah etnis Jawa yang berjumlah 1404 jiwa, diikuti oleh etnis yang terbesar kedua ialah etnis Banten, etnis Banjar, etnis Karo, dan etnis Batak Toba. Desa ini terdiri dari beragam etnis, namun hubungan yang harmonis antar suku bangsa tetap terjalin.
2.3.2. Berdasarkan Agama
Masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam menganut dua agama yang diakui oleh negara yaitu agama Islam dan agama Kristen, namun agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat desa ini adalah agama Islam. Berikut ini adalah
(1)
9. Perceraian yang dilakukan melalui jalur kepala desa atau jalur Pengadilan Agama merupakan perceraian yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam. Suami apabila ingin menceraikan isterinya, maka thalaq dijatuhkan terhadap isterinya. Sebaliknya, isteri apabila ingin menceraikan suaminya di Pengadilan Agama dapat mengajukan fasakh.
10.Masyarakat Jawa dalam menyelesaikan perceraian telah menunjukkan suatu gejala yang dalam Antropologi disebut dengan pluralisme hukum, bahwa ada pilihan-pilihan hukum dalam masyarakat untuk menyelesaikan perceraiannya. Perselisihan di antara suami dan isteri terlebih dahulu dibicarakan dalam musyawarah keluarga untuk melakukan perdamaian, tetapi apabila musyawarah tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut, maka dipilihlah jalur hukum lain, yaitu melalui kepala desa dan Pengadilan Agama.
5.2. Saran
1. Perlu diadakan sosialisasi mengenai pelaksanaan perkawinan. Hal ini perlu dilakukan supaya pihak-pihak tertentu melaksanakan perkawinannya tidak hanya secara agama saja, tetapi juga mencatatnya di Kantor Urusan Agama demi sahnya perkawinannya itu, sehingga akan mempersulit terjadinya perceraian.
2. Untuk pihak-pihak yang perkawinannya dicatat di Kantor Urusan Agama, hendaknya perceraiannya itu juga diselesaikan melalui hukum formal yaitu di Pengadilan Agama supaya mendapat status yang jelas, terutama jika ingin menuntut hak pengasuhan anak dan pembagian harta gonogini.
(2)
3. Pemerintahan desa diharapkan untuk lebih memperhatikan keadaan rumah tangga warga desanya, dan meningkatkan kegiatan keagamaan secara rutin demi terbentuknya kerukunan di antara suami dan isteri dan dengan warga desa lainnya.
4. Perlu adanya pembentukan organisasi/forum yang bertujuan membantu masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangganya, sehingga tidak memungkinkan adanya perceraian.
5. Perlu adanya ketegasan dalam melaksanakan peraturan atau perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan perceraian.
6. Hukum agama diharapkan jelas dan tegas pelaksanaannya tentang perkawinan dan perceraian, dimana harus dikombinasikan dengan hukum negara.
7. Pihak ketiga/mediator dalam melaksanakan suatu perkawinan maupun penyelesaian perceraian, diharapkan dapat memberikan kebijakan yang terbaik. Jangan hanya mencari keuntungan pribadi, sehingga merugikan pihak yang lain.
8. Kepada berbagai pihak, khususnya bagi pasangan yang pernah bercerai agar berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Perselisihan apabila terjadi di antara suami isteri, lebih baik diselesaikan dengan pikiran yang tenang tanpa ada niat untuk bercerai. Ada baiknya juga meminta bantuan dari pihak keluarga untuk menyelesaikan masalah yang ada apabila di antara suami isteri itu tidak bisa menyelesaikannya sendiri.
(3)
DAFTAR ISTILAH
1. Adik lanang : saudara kandung laki-laki 2. Adik wedok : saudara kandung perempuan 3. Besan : orang tua dari suami/isteri si anak
4. Cerai gantung : suami dan isteri berpisah dalam jangka waktu yang lama. Perpisahan ini juga menyatakan niat bercerai tanpa dilakukan di PA atau kepala desa tertentu, dan dapat bersatu kembali tanpa ada pernikahan
baru
5. Cerai kampung : bercerai di hadapan kepala desa dan penghulu, namun pelaksanaannya dilakukan berdasarkan agama
6. Cerai thalaq : cerai yang disebabkan karena adanya penjatuhan thalaq oleh suami terhadap isteri
7. Chul : bercerai dengan mengembalikan “mas kawin” dari isteri terhadap suami
8. Fasakh : Pengajuan permohonan cerai dari isteri terhadap Suaminya ke Pengadilan Agama
9. Gonogini : harta yang diperoleh bersama isteri dan suami selama perkawinan berlangsung
10.Hadlanah/hadhonah : hak pengasuhan anak
11.Harta bawaan : harta yang dibawa dan dimiliki sepenuhnya oleh masing-masing suami dan isteri sebelum menikah
(4)
12.Iddah : masa penantian bagi mantan isteri setelah bercerai (masa iddah=100 hari)
13.Ijab kabul : (ijab=ucapan permintaan oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu dan para saksi untuk
“mengawini” pengantin perempuan),
(kabul=ucapan penerimaan yang dilakukan oleh pengantin perempuan yang bersedia menikah
14.Iwadl : tebusan
15.Kawin gantung : salah satu pasangan (suami/isteri) yang sudah menikah belum cukup umur atau karena dijodoh- kan; pihak keluarga pengantin perempuan belum sanggup melakukan pesta perkawinan; suami dan isteri masih tinggal bersama di rumah
orang tua dari suami/isteri setelah menikah 16.Kawin kampung : (kawin sirri). Perkawinan yang dilakukan hanya
secara agama di hadapan penghulu, kepala desa, dan para saksi
17.Kawin sirri : (kawin kampung). Perkawinan yang dilakukan hanya secara agama
18.Kawin wakil/kawin wali : perkawinan yang diwakilkan apabila salah satu pengantin berhalangan untuk menghadiri acara pernikahan atau pada saat pengucapan ijab kabul 19.Kenduri/kenduren : (selametan)
(5)
21.Lamaran : suatu acara dimana keluarga dari pihak calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon
pengantin perempuan untuk meminta supaya anak perempuan tersebut menikah dengan anak laki- lakinya
22.Mas kawin : suatu benda berupa hadiah yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan setelah pengucapan ijab kabul
23.Mubara-ah : bercerai atas persetujuan bersama suami dan isteri tanpa mengembalikan “mas kawin” atau
membebaskan suami/isteri dari biaya nafkah 24.Nontoni : melihat-lihat. Pertemuan dua keluarga dari calon
pengantin laki- laki dan calon pengantin perempuan selama lamaran berlangsung 25.Penghulu : tokoh masyarakat, tokoh agama, imam mesjid,
seseorang yang menikahkan sepasang pengantin 26.Peningset : berasal dari kata “singset” yang berarti ikatan
(sesuatu yang mengikatnya erat-erat). Peningset berarti sesuatu untuk mengikat suatu
hubungan dari pihak calon pengantin laki-laki dan pihak calon pengantin perempuan
27.Pertunangan : suatu tahap dimana calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan mengikat janji untuk hidup bersama (sebelum acara pernikahan)
(6)
28.Rujuk : mantan suami dan mantan isteri kembali bersatu dalam sebuah rumah tangga
29.Saudara adoh : (sedulur adoh), berarti saudara jauh atau orang Yang dianggap sebagai keluarga sendiri
30.Saudara cedak : (sedulur cedak), berarti saudara dekat, misalnya Kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu (keluarga sedarah)
31.Sasrahan : (serah-serahan), yaitu sesuatu yang diserahkan
32.Sedulur : saudara
33.Selametan : upacara makan bersama secara keagamaan
34.Siraman : upacara pemandian yang dilakukan terhadap calon pengantin yang dipercaya untuk membersihkan jiwa dan raga sebelum memasuki pernikahan 35.Somah : orang-orang yang tinggal bersama dalam Satu
rumah
36.Thalaq : suatu cara yang dilakukan oleh suami untuk melepaskan isteri dari ikatan perkawinan dengan tujuan untuk bercerai
37.Tukar cincin : suatu tahap dalam acara pertunangan, dimana calon pengantin memasangkan cicin ke jari calon pasangannya
38.Wali : seseorang yang menikahkan calon pengantin perempuan