Demikian halnyasastra menurut J. Hillis Miler, kini juga telah mati. Kematian sastra menurutnya ditandai oleh munculnya cultural-studies yang mengabaikan studi
mengenai sastra.Cultural-studies mengalihkan perhatiannya kepada masalah-masalah seperti kajian perempuan, post-kolonial, multikulturalisme, budaya pop, kajian media,
kajian film, media sampai dengan kajian iklan.Cultural-studies sendiri adalah bentuk kajian budaya baru ,Pergantian paradigma paradigm shift dalam arti filasafat
merupakan keniscayaan karena menandai bahwa ilmu pengetahuan tersebut mengalami progress. Pergeseran paradigma ilmiah mengandung beberapa unsur pengertian,
seperti: 1
Munculnya cara berpikir baru mengenai masalah-masalah baru; 2
Dalam paradigma ada prinsip asumsi yang selalu hadir akan tetapi kita tidak kenal sadari;
3 Paradigma baru tidak dapat diterapkan kecuali dengan meninggalkan paradigm
lama prinsip incommensurable; 4
Paradigma baru selalu dihadapi ditanggapi dengan kecurigaan dan tak pelak dengan permusuhan Lubis, 2004.
2. Munculnya Kesadaran Ilmiah Baru
Kemunculan kesadaran ilmiah baru adalah keniscayaan dalam filsafat ilmu; Dan merupakan hakikat dari ilmu itu sendiri yang senantiasa mengalami perkembangan
idea ofprogress.Kesadaran ilmiah baru adalah sintesa atau lawan dari ide pemikiran sebelumnya yang pernah dianggap mapan; Dan dalam hal ini disebut kesadaran ilmiah
lama. Dalam ilmu pengetahuan normal, ilmuwan terkadang berhadapan dengan fenomena
baru dan tak terduga yang menyebabkan paradigma tersebut tidak cukup memadai lagi untuk memecahkan persoalan yang baru itu.Apa yang kemudian terjadi? Menurut Khun
bahwa, mula-mula respons ilmuwan adalah kesadaran akan hadirnya anomali yang menuntut pengamatan yang cermat untuk mengidentifikasi fakta, dan kemudian
menyeleksi, menyelaraskan,
atau memodifikasi
teori-teori yang
berupaya mengeksplanasi fenomena anomaly itu. Jika ternyata modifikasi atas paradigma tidak
memadai mencukupi untuk memecahkan anomaly itu, maka ilmu pengetahuan normal akan terdorong ke dalam krisis, dan paradigma lama lambat-laun akan surut dan
digantikan paradigma baru yang mampu mentransformasi anomali itu kearah yang diharapkan Khun, dalam: Saifuddin, 2005.
Kesadaran ilmiah lama dicirikan oleh adanya keyakinan tentang ide universalitas yakni suatu kepercayaan komunitas ilmiah bahwa sebuah teori dapat
menggambarkan keseluruhan realitas di mana saja dan kapan saja.Pandangan ilmiah semacam ini dari sudut epistemology lazim diistilah dengan mirror theoryatau copy
theory yang disebut-sebut menjadi salah satu cirri dari logika positivisme dengan grand theory-nya Lubis, 2015.Sedangkan kesadaran ilmiah baru lebih menerima ide
lokalitas atau partikularitas di mana diasumsikan, bahwa sebuah teori dianggap tidak dapat merangkum keseluruhan realitas.Oleh karena kesadaran ilmiah baru lebih
menerima pluralitas teori yang memungkinkan terjaminnya keragaman dan bukan ide- ide penyeragaman seperti tradisi generalisasi yang dianut dalam kesadaran ilmiah lama.
Pada dasarnya kesadaran ilmiah baru sering mewarnai pemikiran-pemikiran dari pemikir kritis kontemporer seperti kalangan postpositivistik, poststrukturalis,
postmodern dan juga post-kolonial.Dari sekian banyak alasan yang memicu lahirnya kesadaran ilmiah baru.Akhyar Yusuf Lubis merumuskan ada tiga alasan utama.
Pertama, muncul dari kesadaran bahwa suatu kebenaran tidaklah selalu bersifat universal, tetapi tergantung pada konteks.Menurut Thomas Samuel Kuhn hal itu
utamanya disebabkan oleh konsep paradigm,bahwa sebuah teori tidak terlepas dari sudut pandang sehingga kebenarannya tidak bisa diuniversalkan pada setiap
konteks.Kedua, terlintas dari pemikir kritis Jurgen Habermas tokoh teori kritis generasi kedua yang berpandangan bahwa setiap ilmu pengetahuan terkait dengan
kepentingan ilmiah yang berbeda.Ketiga, biasanya terlintas dalam pemikiran-pemikiran di kalangan pemikir postmodern misalnya: Jacques Derrida, Michel Foucault, Francois
Lyotard, Richard Rorty dan tokoh postmodern lainnya yang mengajukan konsep seperti pengetahuan itu bersifat lokal, partikular dan sesuai dengan permainan bahasa
language game masing-masing Lubis, 2015. Lebih lanjut Lubis 2015 menambahkan bahwa, selain ikhwal ide universalitas,
kepentingan dan rekayasa permainan dalam bahasa, kesadaran ilmiah lama condong bersifat disipliner terspesialisasi dan atau menggunakan sudut pandang tunggal
sedangkan kesadaran ilmiah baru bersifat lintas disipliner multi perspektif.
Senada dengan alasan dari kemunculan kesadaran ilmiah baru, di bagian lain dalam karya Listiyono Santoso, dkk berjudul:
“
Seri Pemikiran Epistemologi Kiri
“
2015 yang meluncurkan istilah
“
epistemology kiri
”
terkait dengan muculnya konter konsep terhadap pemikiran sebelumnya epistemology kanan yang serba berbau
establishment, terutama kemapanan pengetahuan itu. Spirit epistemology kiri diletakkan pada pembacaan ulang reshape secara kritis atas berbagai bentuk
pengetahuan yang dominan yang diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya mainstream. Pada saat yang bersamaan, ia akan meminggirkan realitas kebenaran
yang lain. Atau dengan lain perkataan, setiap yang berbeda dengan pemahaman konstruksi pengetahuan yang dimilikinya merupakan sebuah kesalahan. Setiap muncul
pemikiran yang keluar dari mainstream yang dominan akan dianggap sebagai pemikiran yang aneh-aneh dan tak jarang secara ekstrem distigma
‘
sesat
’
Listiyono Santoso, dkk.,2015. Pergantian paradigma paradigm shift dalam arti filasafat merupakan keniscayaan
karena menandai bahwa ilmu pengetahuan tersebut mengalami progress. Pergeseran paradigma ilmiah mengandung beberapa unsur pengertian, seperti:
1 Munculnya cara berpikir baru mengenai masalah-masalah baru;
2 Dalam paradigma ada prinsip asumsi yang selalu hadir akan tetapi kita tidak
kenal sadari; 3
Paradigma baru tidak dapat diterapkan kecuali dengan meninggalkan paradigm lama prinsip incommensurable;
4 Paradigma baru selalu dihadapi ditanggapi dengan kecurigaan dan tak pelak
dengan permusuhan Lubis, 2004. Sikap penolakan terhadap perbedaan dalam ilmu pengetahuan menimbulkan
hegemoni,etnosentrisme, eurosentrisme western minded yang kemudian menjadi sasaran kritik tajam terutama dari kalangan pendukung teori poskolonial,
postpositivisme, dan postmodernisme Lubis, 2004. Terbentuk sekat-sekat yang menajam antar bidang program studi adalah juga produk dari kefanatikan dari tradisi
semacam itu. Profesor IGusti Ngurah Bagus sebagai perintis berdirinya Program Studi Kajian Budaya di Universitas Udayana, sebelumnya juga telah memberi refleksinya
terhadap sikap keilmuan yang bekerja lebih atas dasar sebuah perspektif tunggal mono
disiplin yang kaku kaca mata kuda: Pen., melalui gagasannya tentang:
“
Kebudayaan sebagai Pola Ilmiah Pokok
”
PIP Universitas Udayana. Di dalamnya mencakup ide untuk membangun kultur keilmuan yangmengakui keterlibatan subyek
tidak bebas nilai dalam praktik kerja keilmuan partisipasi, dialektis. Dengan demikian semakin disadari bahwa komunitas keilmuan bukanlah koloni-koloni
intelektual yang memproduksi ilmu pengetahuan itu hanya berdasarkan kepentingan perspektif bidangnya sendiri-sendiri unifierd science yang selanjutnya seringkali
menciptakan sekat-sekat keilmuan yang eksklusivisme.Dengan demikian PIP Kebudayaan tersebut merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kesadaran
ilmiah baru. Bahwa kebudayaan dijadikan spirit atau meminjam istilah Lubis 2015 sebagai
“
iman epistemology
”
yang memperlakukan ilmu pengetahuan bersifat tentatif, partikular, kontingensi, historis dan sarat nilai.
Ide membangun kultur keilmuan seperti yang tertuang dalam PIP Kebudayaan selanjutnya dikembangkan pula melalui pembentukan program studi strata S2 dan
strata S3 yang dikenal dengan Program Studi Kajian Budaya di Universitas Udayana. Melalui dapur ilmiah tersebut diharapkan Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan itu dapat
dimatangkan dan diseminasikan.Berbeda dengan program studi yang serupa yang memang telah mapan dalam dunia akademis semisal Antropologi, kajian budaya
dikembangkan berdasarkan paradigma kritis yang banyak mengadopsi asumsi-asumsi pemikiran yang berada di wilayah postmodern.Pilihan ini dipandang sesuai dengan
semangat yang mendasari visi misi dari PIP Kebudayaan Unud yakni membangun kesadaran ilmiah baru yang lebih humanistik dan refleksif.
3. Postmodern