KEBENARAN SENI DALAM KONTEKS POSTMODERN

KEBENARAN SENI DALAM KONTEKS POSTMODERN

Lisa Alistiana
STAI TARUNA SURABAYA, Lisa.fifafi@gmail.com
Abstrak
Dalam era Postmodern, bisa diistilahkan bahwa segala bentuk seni kembali mendekati pada
nilai yang sebelumnya pada era modern sempat dilupakan. Akan tetapi karena
keleluasaannya itulah, banyak orang yang semakin sulit untuk menilai dan menemukan seni
yang bermakna karena setip seniman semakin membuat suatu karya seni yang “anehaneh”. Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui latar belakang kebenaran seni
dalam konteks era postmodern, kebenaran nilai serta kebenaran bentuknya. Problematika
seniman dalam masa postmodern dan hasil karya seni yang meliputi pikiran serta ide.
artikel ini ditulis menggunakan tehnik telaah dan analisis data dari literatur-literatur yang
relevan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan analisis dari literature,dan
kajian pustaka. Analisis data dimulai dari klasifikasi data, reduksi data, sajian data, dan
penarikan kesimpulan. Postmodern adalah suatu keadaan dimana semua yang ada didunia
ini menjadi berlebihan dalam konteks apapun. Banyak yang mengatakan bahwa postmodern
adalah “Hyper Of Human”. Istilah kata “Seni” yang dulunya lebih disakralkan oleh
sebagian besar orang kini sudah menjadi sesuatau yang biasa saja. Seni hanya menjadi
suatu simbol untuk mengidentitaskan sesuatu agar menarik. Ada pergeseran atau
tranformasi hakekat seni itu sendiri. Seni itu berada berada diluar benda seni sebab seni itu
berupa nilai.

Kata kunci : Postmodern, Kebenaran Seni, Nilai, Seniman
Abstract
In the Postmodern era, could be called that all art forms that return a value approach
previously in the modern era have been forgotten. But because of the freedom, many people are
more difficult to assess and fine art that is meaningful because the artist has increasingly made
the artwork "strange". This article was written with the purpose to find out the truth of the
background art in the context of the postmodern era, truth, and the truth value of the shape.
Artist in the postmodern period and the results of the work of art which includes the thoughts
and ideas. This article was written using technical studies and analyses of data from the
literature of the relevant literature. Data collection is done using an analysis of the literature,
and literature review. Data analysis starting from the data classification, data reduction,
withdrawal of attendance data, and conclusions. The postmodern is a situation in which
everything in the world became redundant in any context. Many say that postmodern is "Hyper
from humans". The term of "art", said that after more sacred, by a majority of people now have
become the norm. Art is just a symbol of an identity of something to make it interesting. There is
a change or translation of art itself. Art is located outside the art because of art in the form of
value.
Keywoard: Postmodern Art, Truth, Values, Artist

PENDAHULUAN

Postmodern adalah suatu keadaan dimana semua yang ada didunia ini menjadi
berlebihan dalam konteks apapun. Banyak yang mengatakan bahwa postmodern adalah “Hyper
Of Human”. Ada benarnya juga, ketika kita melihat suatu perspektif baru mengenai lifestyle
manusia dijaman sekarang tentunya sangat berbeda dengan dulu. Orang lebih suka
menghambur-hamburkan uangnya demi menaikkan prestise yang ada pada dirinya dimata
masyarakat. Postmodern bila diartikan secara harfiah, kata-katanya terdiri atas “Post” yang
artinya masa sesudah dan “Modern” yang artinya era Modern, karena itu dapat disimpulkan
bahwa Postmodern adalah masa sesudah era Modern (era diatas tahun 1960-an). Yang
menyebabkan hilangnya nilai dalam postmodern adalah sifat keserakahan manusia itu sendiri.
Di era Postmodern, manusia diwajibkan untuk bersaing antara satu dengan yang lainnya.
“Mereka (orang-orang postmodern) tidak harus menyangkal bahwa ada tujuan atau makna bagi
kehidupan” (O’donnell, 2009: 20). Hal ini membuktikan bahwa dalam postmodern orang hidup
tidak harus memiliki tujuan dan nilai, semua dilakukan sesuka hatinya.
Istilah kata “Seni” yang dulunya lebih disakralkan oleh sebagian besar orang kini
suadah menjadi suatu bias saja. Seni hanya menjadi suatu simbol untuk mengidentitaskan
sesuatu agar menarik. Disini bisa dilihat bahwa ada pergeseran atau tranformasi hakekat seni itu
sendiri. “Seni itu berada itu berada diluar benda seni sebab seni itu berupa nilai” (Sumardjo,
2000: 45). Itu artinya bahwa seni bukanlah sebuah benda tapi sebuah nilai, tapi masih bisa
dirasakan lewat indera manusia. Apa yang disebut dengan indah, bahagia, adil, itu adalah nilai.
Apa yang dirasakan oleh orang itu indah maka bisa tidak indah bagi orang lain.

Pergeseran nilai seni ini bisa dikaji dari berbagai sudut pandang, dari munculnya seni
kontemporer dan lain sebagainya. Seni hanya dianggap sebagai hanya sebatas wacana saja.
Istilah seni lebih gampang digunakan oleh orang pada saat ini. Meskipun istilah seni itu sampai
sekarang masih kabur, akan tetapi seni juga tidak sembarangan, seni juga mempunyai ruh dan
nilai didalmnya. Banyak seniman yang berkesenian yang tak berbentuk dan bermakna disebut
juga dengan seni. “Karya seni baru dapat berkomunikasi secara utuh dengan penikmat seni
kalau penikmat seni mengenal nilai yang ada didalam karya atau benda seni itu” (Sumardjo,
2000: 207). Sebuah seni dibuat oleh seniman dengan gugusan nilai tertentu. Hal inilah yang
menjadi polemik dalam masa postmodern, dimana seni sudah mulai kabur dan hampir tidak bisa
dilihat kembali. Memang dalam postmodern manusia lebih bisa untuk berkreasi mengeluarkan
kreativitasnya dan bebas berkegiatan serta berpendapat. Namun itu semua membawa sisi negatif
yang bisa menghitam putihkan istilah seni menjadi seni murahan. Disinilah terjadi perdebatan
mengenai “kebenaran seni” yang selayaknya pada era postmodern. Agar bisa dipisahkan antara
seni yang bernilai dan seni yang asal-asalan.
Berdasarkan permasalahan yang diterangkan diatas bahwa diperlukan suatu penelitian
kajian ilmiah mengenai makna kebenaran seni itu. Apakah seni hanya sebagai simbol identitas?
Bagaimanakah nilai yang ada pada seni kontemporer? Apakah seni postmodern adalah seni
murahan? Itu adalah sederet permasalahan seni yang ada pada saat ini. Maka dari itu kebenaran
senii perlu diteliti kembali, apakah sama dengan seni jaman dulu ataukah harus berubah sesuai
dengan kondisi yang ada sekarang. Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui nilai

seni, apakah sama dengan seni zaman dulu ataukah harus berubah sesuai dengan kondisi yang
ada pada saat ini.

Definisi Seni
Menurut Sedyawati (1991: 178), menyatakan bahwa Seni merupakan hasil karya
manusia yang indah yang dapat dinikmati melalui indra yang dimiliki oleh manusia, kemudian
karya itu dapat memberikan kesenangan dalam diri manusia dan dapat mendapatkan materi dari
hasil seni yang telah dihasilkan. Menurut Sedyawati Seni merupakan salah satu kebudayaan
yang hampir mencakup gerak dan benda yang ada disekitar masyarakat karena ada berbagai
macam seni yaitu seni rupa, seni patung, seni ukir, seni hias, seni bangunan, seni musik, seni
tari, dan drama.
Menurut Koentjaraningrat (1984: 168), seni merupakan keahlian dan keterampilan
manusia untuk mengekpresikan dan menciptakan hal – hal yang indah serta bernilai. Sedangkan
menurut Suyono (1985: 368), seni merupakan keahlian dan keterampilan manusia untuk
mengekpresikan dan menciptakan hal – hal yang indah serta bernilai bagi kehidupan, baik untuk
diri sendiri maupun untuk masyarakat umum. Seni merupakan penjelmaan rasa indah yang
terkandung dalam jiwa orang dapat ditangkap oleh indra pendengar (seni suara), penglihatan
(seni lukis), atau dilahirkan dengan perantara gerak (seni tari, drama) (Ensiklopedia,1984:3080).
Dalam pernyataan lain tentang seni menurut pendapat Supartono (1992: 73) seni dapat
dibagi dalam tiga tingkatan yaitu pertama seni dalam arti terbatas yang merupakan karya seni

yang hanya dapat dinikmati dengan mata saja atau dengan mata saja jadi secara visual atau
audio, kedua seni dalam arti yang luas adalah seni yang dapat dinikmati dengan mata dan indera
lain jadi dapt dinikmati secara visual dan audio serta secara moral dan intelektual, ketiga seni
dalam arti estetis murni adalah seni yang sudah harus dipahami secara mendasar, mendalam,
serta membutuhkan kemahiran.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa seni adalah hasil pemikiran manusia
atau yang dituangkan melalui gerakan atau wujud keindahan dan bernilai dan bermanfaat bagi
masyarakat untuk memberikan keindahan serta kebahagiaan. Fungsi dari kesenian yaitu dapat
dilihat dari nilai etik, nilai estetik dan pesan moral dari kesenian tersebut.
Postmodern
Istilah Postmodern dijelaskan oleh Ritzer (1997:6), meliputi sebuah era sejarah baru,
produk-produk kultural baru, serta tentang dunia sosial. Unsur-unsur postmodern ini
menegaskan bahwa ada sesuatu yang baru dan berbeda, baik secara sosial, budaya atau
intelektual. Produk-produk budaya yang menyertai kebudayaan modern harus juga diganti
dengan produk-produk yang bersifat postmodern. Ide dasar postmodern adalah penentangan
terhadap semua yang berbau modern telah muncul sebagai kebudayaan yang banyak menarik
perhatian. Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu seperti: seni, arsitektur, sastra,
sosiologi, sejarah, antropologi, politik.
Postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era
pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda

ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian,
permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang
yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel
Heryanto, 1994: 80).
PEMBAHASAN
Seni Hanya Sebagai Objek Simbol
Dalam pengertian ini, kebenaran postmodern berhubungan dengan komunitas. Karena
ada banyak komunitas, pasti ada kebenaran yang berbeda-beda. Banyak kaum postmodern

percaya bahwa keanekaragaman kebenaran ini dapat hidup berdampingan bersama-sama.
Kesadaran postmodern menganut sikap relativisme dan pluralisme.
Postmodernisme menawarkan ciri-ciri yang bertolak belakang dengan watak era
pendahulunya, yakni: menekankan emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, tanda
ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan, kemungkinan ketimbang kepastian,
permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang
yang universal, fiksi ketimbang fakta, estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori (Ariel
Heryanto, 1994: 80). Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa esensi nilai seni lebih diutamakan
daripada rasio itu sendiri. Keterbukaan lebih diutamakan, maka dari kondisi seperti itu bisa
diasumsikan bahwa memungkinkan adanya peluang yang sangat besar sekali bagi setiap orang
untuk berekspresi seni. Setiap orang bebas menamakan seni yang mereka buat, bebas

memberikan nilai yang ada pada karya seninya. Ketika sesuatu yang cukup itu akan menjadi
bagus dan tepat, maka jika sesuatu kesempatan dan kebebasan itu menjadi berlebihan maka itu
akan menjadi sangat buruk. Begitu juga dalam kandungan esensi nilai seni, sangat mudah untuk
memberikan nilai terhadap semua bentuk karya seni. Akibatnya seni menjadi murahan, bukan
hal yang sakral lagi atau seperti dulu yang penuh dengan nilai.
Ciri sosiologis postmodern adalah semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area)
sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pecampur aduk, munculnya kitsch, parodi,
pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni
sebagai pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Sama dengan asumsi Heryanto
tadi, Featherstone juga mengatakan ketika semua sudah gampang bercampur aduk karena
kebebasan, maka akan muncul banyak sampah (kitsch) dan parody (sandiwara) akibat dari
kebebasan itu. Kedudukan pencipta seni semakin menurun, karena obralitas moral dan nilai,
yang semakin banyak menganggap bahwa nilai suatu karya seni menjadi murahan dan
gampangan.
Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti Clement
Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya seni sebelumnya. Kaum
modern menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya;
dengan cara ini, para seniman modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat
"murni" (orisinal). Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur,
yaitu: "univalence". Melalui ini, kebanggaan seniman modern hanyalah jika mereka mempunyai

"stylistic integrity" (integritas gaya). Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran
adanya hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni postmodern
menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern menyukai "murni." maka
postmodern menyukai "tidak murni."
Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi berbauran (sintetis).
Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai macam kondisi, pengalaman, dan
pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada. Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal
dan utuh. Justru yang hendak dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu:
masuknya jutaan elemen, penafsiran, dan respons.
Contoh hasil dari beberapa karya seni modern yang cenderung kaku, karena sudah
terpengaruh oleh mode barat, jiwa pada karyanya pun cenderung hilang, lebih bersifat indrawi,
dan hanya bermakna untuk hal-hal yang bersifat duniawi serta objek karyanya cenderung
mengikuti objek barat.

Gambar 1. Contoh Karya Tari Kontemporer

Gambar 2. Contoh Karya Mural pada Periode Seni Postmodern

Gambar 3. Contoh Karya Musik Kontemporer


Gambar 4. Contoh Karya “Collage Art” Salah satu Teknik
Berkarya era Postmodern

Keterbukaan dan kebebasan yang diusung di era postmodern semakin menurunkan nilai
seni. Seni hanya digunakan sebagai simbol agar sesuatu menjadi memiliki nilai lebih. “Dalam
perspektif modernisme terhadap seni, lebih memusatkan perhatian kepada aspek formal dan
fungsional. Namun dalam perspektif postmodern, sebaliknya lebih menekankan kepada aspek
permainan tanda dan kode-kode, memandang objek sebagai sebuah mozaik tanda-tanda”
(Piliang, 2003: 222). Dalam artian seni postmodern, bentuk dari seni sebagai objek sangat
diutamakan untuk menilai sebuah seni. Untuk mengkaji seni sebagai tanda, sama artinya
menganggapnya sebagai komponen sebagai bahasa. Bahasa sendiri merupakan komponen dari
social dan kebudayaan. Objek seni dalam hal ini adalah komponen dari kebudayaan benda
(material culture).
Gagasan tentang seniman sebagai genius dan dan karya seni sebagai sesuatu yang
otentik yang menjadi cirri-ciri dari modernism kini ditinggalkan dalam perspektif postmodern.
Sebagai mana yang dikemukakan Jencks dalam Piliang yang menyebutkan bahwa seni
Postmodern lebih bersifat aklektik atau berkode ganda (double coded). Kekuasan kode semakin
kuat menguasai alam pikiran manusia postmodern. Seni visual lebih diutamakan daripada
system nilai yang terkandung didalamnya. Keadaan semacam ini semakin membutakan mata
dan pikiran manusia. Pemaknaan terhadap kode menjadi lebih utama. Simbol atau segi viisual

menjadi syarat yang paling utama untuk menentukan kebagusan dan kebaikan. Begitu pula
dalam seni, seni hanya sebagai simbol untuk menunjukan sesuatu bukan pemaknaan nilai lagi.
Sebuah identitas visual baru yang dibangun oleh masyarakat untuk menunjukan eksistensinya di
dunia, dengan memandang objek seni kita bisa melihat, bahwa seni merupakan milik
lingkungan tertentu, kelompok masyarakat tertentu, tradisi tertentu dan cara berpikir tertentu.
Makna Seni Dalam Postmodern
Dalam era Postmodern, bisa diistilahkan bahwa segala bentuk seni kembali mendekati
pada nilai yang sebelumnya pada era modern sempat dilupakan. Akan tetapi karena
keleluasaannya itulah, banyak orang yang semakin sulit untuk menilai dan menemukan seni
yang bermakna karena setip seniman semakin membuat suatu karya seni. Seni yang baik
mampu memberikan pengalaman, baik pengalaman emosi maupun kognitif, yang bukan berasal
dari dunia ini. Kerajaan seni berasal dari luar dunia ini. Titik tolaknya mungkin pengalaman
dunia ini, tetapi hasil yang dicapai bukanlah pengalaman dunia ini. Itulah kebesaran dan

kelebihan kesenian yang sejati” (Sumardjo, 2000:127). Postmodern semakin membuat manusia
berpikir secara individualis, dan berpikir secara perorangan. Maka dari itu munculnya seni yang
aneh-aneh dan berbeda dengan yang lainnya semakin membuat penimatt seni bingung akan arti
yang sebenarnya karena sebuah karya seni hanya berdasarkan cara berpikir seniman saja dan
tidak memberikan sebuah kesejukan hati bagi penikmatnya. Sebaliknya postmodernisme
menekankan kelompok. Kaum postmodern hidup dalam kelompok-kelompok sosial yang

memadai, dengan bahasa, keyakinan, dan nilai-nilainya tersendiri. Akibatnya pluralisme dan
relativisme postmodern menyempitkan lingkup kebenaran menjadi "lokal". Suatu kepercayaan
dianggap benar hanya dalam konteks komunitas yang meyakininya.ni yang aneh-aneh.
Orang-orang postmodern tidak merasa perlu membuktikan diri mereka benar dan orang
lain salah. Bagi mereka, masalah keyakinan/kepercayaan adalah masalah konteks sosial. Mereka
menyimpulkan,"Apa yang benar untuk kami, mungkin saja salah bagi Anda," dan "Apa yang
salah bagi kami, mungkin saja benar atau cocok dalam konteks anda."
Tujuan Seni Dalam Postmodern
Seni dalam pandangan kaun pecinta keindahan ini tidak bekerja secara langsung
mengekspresikan idea tau sikap, tetapi mewujudkan sebuah pengalaman hidup dalam suatu
wujud. Seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. “dalam hubungannya
dengan moralitas, seni bertujuan menemukan dan mengungkapkan keindahan semesta, karena
adanya sesuatu yang agung dan mulia sesuai dengan apresiasi terhadap kosmos” (Sumardjo,
2000: 93).
Otoritas dan otensitas subjek menjadi rusak. Seniman tidak memiliki pusat ideologis,
tidak ada sumber kreatif untuk dimanfaatkan. Seni hadir pada tingkat tertentu dan bukan
universal. Alih-alih menghasilkan perubahan nyata, seni mewujud sebagai komoditas, alat dari
sebuah akhir dan bukan tujuan itu sendiri. Seni menjadi alat kontrol sosial dan politik. Parodi
adalah senjata paling layak bagi seniman postmodern. Seorang seniman harus terlebih dahulu
menyadari konteks mediasi yang mengelilinginya agar mampu melampauinya. Postmodernisme
menempatkan dirinya dengan tugas yang mustahil, yaitu membatasi bahasa dan akal lewat
bahasa bahasa dan akal itu sendiri.
Mampukah seni mengekspresikan atau mengubah realitas melalui wacana non-rasional
dan non-teoritis? Sekali lagi paradoks postmodern muncul untuk mencoba membatasi bahasa
dengan bahasa. Tiutchev, seorang penyair Rusia, menyarankan penggunaan puisi abstrak dan
simbolis guna mendekonstruksi dan merekonstruksi bahasa itu sendiri. Puisi akan menjadi
bentuk bahasa yang lebih tinggi dan metode komunikasi yang lebih otentik. Ketidakmampuan
untuk menjauh dari tekanan kapitalisme lanjut akan menjadikan seni bergerak tanpa fungsi dan
tujuan sama sekali. Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas
postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik tinggi" di atas
budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan kelas elite tetapi kelas masyarakat
biasa, masyarakat yang terbiasa dengan budaya pop dan media massa.
Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan sebuah bahasa
dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh orang-orang awam ataupun seniman
dan arsitek handal. Dengan cara demikian, postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang
berbeda, yaitu profesional dan populer.

Seniman Dalam Postmodern
Ciri sosiologis postmodern adalah semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area)
sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pecampur aduk, munculnya kitsch, parodi,
pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan pencipta seni, serta adanya asumsi seni
sebagai pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988: 202). Menjadi pertanyaan, mampukah
seni mengekspresikan atau mengubah realitas melalui wacana non-rasional dan non-teoritis?
Sekali lagi paradoks postmodern muncul untuk mencoba membatasi bahasa dengan bahasa.
Tiutchev, seorang penyair Rusia, menyarankan penggunaan puisi abstrak dan simbolis guna
mendekonstruksi dan merekonstruksi bahasa itu sendiri. Puisi akan menjadi bentuk bahasa yang
lebih tinggi dan metode komunikasi yang lebih otentik. Ketidakmampuan untuk menjauh dari
tekanan kapitalisme lanjut akan menjadikan seni bergerak tanpa fungsi dan tujuan sama sekali.
Seniman postmodern menggunakan berbagai gaya yang mencerminkan suatu
eklektisisme yang diambil dari berbagai era dalam sejarah. Seniman umumnya menganggap
cara demikian harus ditolak karena menghancurkan keutuhan gaya-gaya historis. Para kritikus
tersebut menyalahkan gaya postmodern karena tidak ada ke dalaman atau keluasan, melanggar
batas sejarah hanya demi memberikan kesan untuk masa kini. Gaya dan historis dibuat saling
tumpang tindih. Mereka mendapatkan postmodernisme sangat kurang dalam orisinalitas dan
tidak ada gaya sama sekali.
Simpulan
Berdasarkan paparan data dan pembahasan mengenai kebenaran seni dalam konteks
postmodern maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pergeseran nilai seni ini bisa dikaji dari berbagai sudut pandang, dari munculnya seni
kontemporer dan lain sebagainya. Seni hanya dianggap sebagai hanya sebatas wacana saja.
Istilah seni lebih gampang digunakan oleh orang pada saat ini. Meskipun istilah seni itu sampai
sekarang masih kabur, akan tetapi seni juga tidak sembarangan, seni juga mempunyai ruh dan
nilai didalmnya. Banyak seniman yang berkesenian yang tak berbentuk dan bermakna disebut
juga dengan seni. “Karya seni baru dapat berkomunikasi secara utuh dengan penikmat seni
kalau penikmat seni mengenal nilai yang ada didalam karya atau benda seni itu” (Sumardjo,
2000: 207).
Gagasan tentang seniman sebagai genius dan dan karya seni sebagai sesuatu yang
otentik yang menjadi cirri-ciri dari modernisme kini ditinggalkan dalam perspektif postmodern.
Sebagai mana yang dikemukakan Jencks dalam Piliang yang menyebutkan bahwa seni
Postmodern lebih bersifat aklektik atau berkode ganda (double coded). Kekuasan kode semakin
kuat menguasai alam pikiran manusia postmodern. Seni visual lebih diutamakan daripada sistem
nilai yang terkandung didalamnya. Dalam era Postmodern, bisa diistilahkan bahwa segala
bentuk seni kembali mendekati pada nilai yang sebelumnya pada era modern sempat dilupakan.
Akan tetapi karena keleluasaannya itulah, banyak orang yang semakin sulit untuk menilai dan
menemukan seni yang bermakna karena setip seniman semakin membuat suatu karya seni yang
aneh-aneh. Seni sepenuhnya merupakan kepuasan keindahan tanpa pamrih. “dalam
hubungannya dengan moralitas, seni bertujuan menemukan dan mengungkapkan keindahan
semesta, karena adanya sesuatu yang agung dan mulia sesuai dengan apresiasi terhadap kosmos.

Daftar Pustaka
Ariyono Suyono.1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademik presindo. Budi Koestoro.

Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajia Sosiologi Budaya. Bantul:
Kreasi Wacana.
Edy Sedyawati.1991.Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta : PT gramedia pustaka
____________.1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta. Sinar Harapan
Featherstone, Mike. 1988. Postmodernism. University of California: Sage Publication.
Heryanto, Ariel. 1994. The Postmodern Condition: A Report On Knowledge. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat.1984. Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa . Jakarta: Depdikbud.
Malpas, Simon. 2005. The Postmodern. New York: Taylor and Francise E-Library.
Mcrobbie, Angela. 2011. Postmodernisme dan Budaya Pop. Bantul: Kreasi Wacana.
O’donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Culture Studies Atas Matinya Makna.
Yogyakarta: Jalasutra.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
Soedarsono. 1987.Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta : Depdikbud.