PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PENERAPAN AZAS RESIPROSITAS ANTARA INDONESIA DAN SINGAPURA

(1)

PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

MELALUI PENERAPAN AZASRESIPROSITAS ANTARA INDONESIA DAN SINGAPURA

Oleh

Pratiwi Sarastika Azwar

Tindak pidana korupsi yang sudah bersifat lintas batas teritorial menyebabkan mutlak diperlukannya eksistensi dari kerja sama internasional yang secara umum kerja sama maupun hubungan baik antara Negara. Dalam upaya mencegah tindak pidana korupsi melalui sarana hukum nasional, juga diperlukan adanya sarana hukum lain, yakni penerapan azas resiprositas yang dapat menjadi sarana pendukung hukum nasional dalam upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. Negara Indonesia dengan Singapura pada dasarnya telah memiliki suatu perjanjian ekstradisi akan tetapi keberadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singupura tidak berjalan efektif, sehingga kebijakan hukum pidana yang ditempuh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah melalui penerapan azas resiprositas namun penerapan azas resiprositas pun juga masih mengalami beberapa hambatan dalam implementasinya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura? dan apakah faktor-faktor penghambat kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara staf ahli Kementerian Luar Negeri RI, staf ahli Kementerian Hukum dan HAM RI dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan.


(2)

kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura merupakan suatu bentuk kerja sama bantuan hukum timbal balik dalam hubungan baik antara Indonesia dengan Singapura dengan berdasarkan prinsip azas resiprositas di bidang pidana yang meliputi permintaan bantuan berkenaan dengan proses peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta. Faktor-faktor penghambat kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura antara lain azas resiprositas hanya bersifat hubungan timbal balik bilateral antar ke dua Negara sehingga kompetensinya tidak begitu luas, kebijakan penerapan azas resiprositas bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 Hukum Acara Pidana Singapura, implementasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang tidak berjalan efektif, dan prosedur yang cukup rumit dalam penerapan azasresiprositas.

Adapun saran yang diberikan penulis yaitu Negara Indonesia dan Singapura diharapkan dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik lagi antar dua negara karena hal ini sangat penting mengingat keberadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singupura tidak berjalan efektif sehingga dalam mewujudkan standar internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal flamework dan strateginya maka kedua Negara harus lebih mengutamakan kepentingan bersama dengan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas korupsi.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan sebuah bentuk kejahatan yang merugikan masyarakat dan negara, baik kerugian materiel maupun kerugian immateriel. Penyebab orang melakukan tindak pidana korupsi terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor penyebab tersebut bersifat kompleks dan motivasi antara satu orang dengan orang lainnya belum tentu sama. Oleh karena itu, beragam teori faktor penyebab kejahatan (multiple factor theory) dapat digunakan sebagai alat telaah untuk memahami berbagai perspektif kriminogen suatu tindak pidana korupsi. Selain sebagai persoalan masyarakat, korupsi merupakan persoalan moral dan budaya.

Berdasarkan Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi, secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (trans-nasional). Semenjak itu upaya pemberantasan korupsi terus digalakkan untuk menjaga wajah birokrasi pemerintahan dan menjaga stabilitas perekonomian nasional (Lilik Mulyadi, 2007: 34).


(4)

Tindak pidana korupsi yang sudah bersifat lintas batas teritorial ini, menyebabkan mutlak diperlukannya eksistensi dari kerja sama internasional yang secara umum kerja sama maupun hubungan baik antara negara-negara yang telah bersepakat, yang dengan demikian, selain mencegah tindak pidana korupsi melalui instrument hukum nasional, juga diperlukan adanya instrument hukum lain, yakni perjanjian internasional, Undang-undang, maupun azas-azas hubungan internasional yang dapat menjadi alat pendukung hukum nasional dalam upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi ini.

Indonesia mulai membenahi untuk memulai kembali mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, serta secara terus-menerus di tingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Sehububngan dengan hal itu menurut Doddy Wuryanto (2002: 14) menjelaskan bahwa:

“...dalam kontek regulasipun dimulai adanya pembaharuan. Karena pada masa sebelumnya regulasi atau peraturan peraturan yang ada masih lemah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai kebijakan awal Pemerintahan B.J. Habibie (Pengganti Presiden Soeharto) mengeluarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tenteng pemberantasa tindak pidana korupsi menggantikan undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di harapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk Tindak Pidana Korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya”.

Berkaitan dengan hal tersebut, korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang


(5)

menuntut efisiensi tinggi, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dijelaskan bahwa tindak pidana korupsi dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberatasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka mencapai tujuan kebijakan hukum pidana yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana (Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999).

Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(6)

Berkaitan dengan hal di atas, dalam periode sekarang ini masalah tindak pidana korupsi menjadi problematika bagi masyarakat bangsa Indonesia, terutama karena semakin lama semakin banyak pelaku kejahatan khususnya pelaku tindak pidana korupsi melarikan diri dari suatu negara ke negara lain. Sebagai contohnya adalah kasus dugaan suap pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Nunun Nurbaeti yang telah diketahui keberadaannya di Singapura. Secara prosedur, Kemenlu memiliki direktorat jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional yang mengurus diplomasi pemulangan tersangka korupsi. Akan tetapi dalam keputusan mengekstradisi seseorang masih bisa ditentang dalam proses pengadilan, hal ini tergantung sistem di Negara Singapura (www.hukumonline.com, 06 Oktober 2011, 19.45 WIB).

Tindak pidana korupsi tersebut bersifat lintas batas teritorial, sehingga menyebabkan mutlak diperlukannya eksistensi dari kerja sama internasional yang secara umum kerja sama tersebut termasuk dalam penerapan azas resiprositas sebagai bentuk kebijakan hukum pidana antara negara-negara yang telah bersepakat, yang dengan demikian, selain mencegah tindak pidana korupsi melalui sarana hukum nasional, juga diperlukan adanya sarana hukum lain, yakni penerapan azas resiprositas yang dapat menjadi sarana pendukung hukum nasional dalam upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi ini.

Azas resiprositas adalah asas hubungan baik antar negara yang sifatnya timbal balik. Azas ini berlaku universal dan sangat penting dalam penerapan perjanjian kerja sama. Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 mengatur bahwa mutual legal assistance (bantuan timbal balik dalam masalah pidana) bisa dilakukan dengan


(7)

syarat adanya suatu perjanjian, namun apabila tidak ada perjanjian, bantuan hukum timbal balik dapat diberikan berdasarkan asasresiprositas.

Berkaitan dengan hal di atas, kasus-kasus tindak pidana korupsi yang bersifat lintas batas territorial juga banyak bermunculan seperti pada kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang melarikan diri ke Singapura. Selama ini, hubungan kedua negara antara Indonesia dengan Singapura selalu terbelit pada masalah pemulangan tersangka kasus tindak pidana korupsi. Sampai pada terakhir kali terjadi aparat Negara Republik Indonesia terpaksa menjemput mafia pajak Gayus Tambunan yang kabur ke Singapura. Berdasarkan kasus tersebut menunjukkan bahwa dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi pelaksanaan azas resiprositas dalam upaya kerjasama timbal balik antara Indonesia dengan Singapura masih belum efektif dan banyak mengalami hambatan (www.hukumonline.com, 07 Oktober 2011, 10.30 WIB).

Tindak pidana korupsi yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional. Akan tetapi, pelaksanaan azas resiprositas antara Indonesia dengan Singapura sebagai suatu sarana hukum, masih belum banyak diketahui isi dan ruang lingkupnya. Namun demikian, istilah resiprositas yang dikalangan masyarakat luas diidentikkan dengan sarana hukum dalam mengektsradisi pelaku kejahatan yang melarikan diri ke suatu negara kepada negara yang memintanya. Dalam era globalisasi masyarakat internasional


(8)

seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, timbulnya kejahatan korupsi yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama ekstradisi yang terpadu baik secara bilateral maupun multilateral (M. Budiarto, 1981: 27).

Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan, yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut. Setiap negara yang berdaulat mempunyai hak untuk meminta ekstradisi atas seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan di dalam wilayah negaranya dan sebaliknya negara tersebut juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan seseorang yang dimintakan ekstradisi oleh negara lain atau negara peminta sepanjang semua itu memenuhi azas-azas dan persyaratan yang berlaku. Ekstradisi merupakan perjanjian antara dua negara atau lebih yang bersifat bilateral atau terkadang multilateral dan hanya berlaku bagi pihak yang meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut. Sebagai landasan yuridis tentang ekstradisi tersebut maka Negara Indonesia berpedoman pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi (R. Abdussalam, 2005: 38).

Berkaitan dengan hal di atas, konsekuensi dari adanya azas resiprositas dalam upaya ekstradisi tersebut harus terlebih dahulu terdapat hubungan diplomatik antara kedua negara. Indonesia sendiri telah beberapa kali mengadakan perjanjian


(9)

ekstradisi dan telah meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut seperti dengan Malaysia pada tahun 1974, dengan Philipina pada tahun 1976, dengan Thailand pada tahun 1978, dengan Australia pada tahun 1994, dengan Hongkong pada tahun 2001 dan baru-baru ini Indonesia juga menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada tanggal 27-28 April 2007. Adapun salah satu isi perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura tersebut antara lain:

Singapura diperbolehkan melakukan latihan militer dan dapat melaksanakan latihan bersama-sama dengan negara lain di daerah Indonesia. Ketersediaan lahan seluruh armada tempur serta lahan untuk latihan militer merupakan hal yang mutlak dilakukan. Indonesia memperoleh keuntungan berupa pengembalian aset-aset Negara, penangkapan koruptor tanpa prosedur yang rumit serta peningkatan ketrampilan personel TNI dalam menggunakan peralatan tempur yang canggih milik Singapura (Komisi Nasional Indonesia).

Bertolak dari hal di atas, pelaksanaan perjanjian ekstradisi tersebut masih kurang berjalan efektif, sehingga sampai saat ini dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi maka kebijakan hukum pidana yang ditempuh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas. Indonesia maupun Singapura dapat meningkatkan hubungan baik antar dua negara dalam hal pemberantasan korupsi. Namun pelaksanaannya membutuhkan komitmen dan keseriusan antara kedua negara agar dapat terealisasi dengan baik.

Berkenaan dengan hal tersebut, hukum internasional mengakui bahwa pemberian atau prosedur ekstradisi paling tepat diserahkan kepada hukum nasional, misalnya, merintangi negara-negara untuk membuat undang-undang yang menghalang-halangi penyerahan pelaku-pelaku tindak pidana korupsi oleh mereka, apabila tampak bahwa permintaan ekstradisi dibuat untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi itu atas dasar ras-nya, agamanya, atau


(10)

pandangan-pandangan politiknya, atau pun jika dituduh untuk hal-hal ini pada pengadilan yang sesungguhnya oleh pengadilan negara yang memintanya. Adapun maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat seperti tindak pidana korupsi tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas pelaku tindak pidana korupsi tersebut (R. Abdussalam, 2005: 41).

Berkaitan dengan hal di atas, penyerahan pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan diri dari Negara Republik Indonesia ke Singapura tidak terpaku pada hubungan baik antar kedua negara saja tetapi juga harus didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Dalam hal tidak adanya perjanjian, maka pemberian ekstradisi bergantung hanya pada azas resiprositas. Indonesia sudah terlibat dalam pembuatan berbagai Perjanjian Internasional, termasuk perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura tanggal 27-28 April 2007, namun pelaksanaan perjanjian ekstradisi tersebut masih kurang efektif sehingga menggunakan sarana kerja sama hubungan baik timbal balik (resiprositas) dengan negara lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Negara Indonesia dengan Singapura pada dasarnya telah memiliki suatu perjanjain ekstradisi akan tetapi keberadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singupura tidak berjalan efektif, sehingga kebijakan hukum pidana yang ditempuh dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah melalui penerapan


(11)

azas resiprositas namun penerapan azas resiprositas pun juga masih mengalami beberapa hambatan dalam implementasinya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Perspektif Kebijakan Hukum Pidana dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Penerapan AzasResiprositasantara Indonesia dan Singapura”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azasresiprositasantara Indonesia dan Singapura? b. Apakah faktor-faktor penghambat kebijakan hukum pidana dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana Nasional dan Internasional khususnya hanya terbatas pada perspektif kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura serta faktor-faktor penghambat


(12)

kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura. Ruang lingkup penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Jakarta Pusat khususnya pada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura.

b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositasantara Indonesia dan Singapura.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana nasional maupun internasional,


(13)

yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang perspektif kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azasresiprositasantara Indonesia dan Singapura.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi yang bersifat multi-dimensial.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori penegakan hukum secara multidimensial. Dalam teori tersebut mencakup beberapa teori antara lain teori kebijakan hukum pidana, teori perjanjian


(14)

Internasional, teori ekstradisi, dan teori aplikasi ekstradisi dalam penegakan hukum pidana nasional dan internasional.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2002: 87).

Menurut Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2002: 92) mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan hukum pidana sebagai berikut:

a. dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah merupakan suatu wujud dari penegakan hukum di Indonesia. Garis besar penegakan hukum adalah terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di


(15)

dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2002: 98).

Kebijakan hukum pidana melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura inilah yang menjadi bukti dalam hal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi guna memperoleh penegakan hukum secara optimal di Indonesia. Ketentuan dalam hukum Internasional suatu negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada negara asing, karena adanya prinsip soverignity bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili pelaku kejahatan dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi, kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya.

Perjanjian Internasional sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 2 Ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 menyatakan sebagai berikut:

“Treaty means an international agreement conclude between states international written form and governed by international law, whether emboedied internasional asingle instrument or internasional two or more related instruments and whatever its particular designation (Perjanjian artinya suatu persetujuan internasional yang diadakan negara-negara dalam bentuk tertulis dan diubah oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrument tunggal atau berupa dua atau lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya)”.


(16)

Rumusan mengenai perjanjian internasional dalam arti yang luas dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja (2003: 117) sebagai berikut:

“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.” Dari batasan tersbut, jelas kiranya bahwa untuk dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian tersebut harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

Secara fugsional, dilihat dari sumber hukum, maka pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan, yaitu “Treaty Contract” dan “Law Making Treaties”. Treaty Contract adalah perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum private yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu saja. Sedangkan pengertian Law Making Treaties dimaksudkan sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000: 54).

Sehubungan dengan hal tersebut, perjanjian ekstradisi merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional antara dua Negara. Perjanjian ekstradisi yang telah ditandatangani antara Indonesia dengan Singapura tahun 2007 lalu akan dapat diberlakukan sebagai salah satu hukum nasional yang berlaku apabila telah diratifikasi oleh parlemen negara para pihak yang membuatnya. Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian yang berkenaan dengan masalah politik, oleh karena itu berdasarkan Pasal 10 huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional, maka perjanjian ekstradisi harus ditetapkan dan disahkan oleh Undang-Undang. Landasan yuridis di Negara Indonesia mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.


(17)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi menjelaskan bahwa ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara lain yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya. Dari definisi ini dapatlah dikemukakan beberapa unsur penting yang harus dipenuhi agar dapat disebut ekstradisi, yaitu:

1. Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang dilakukan secara formal, jadi harus melalui cara atau prosedur tertentu.

2. Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.

3. Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya atau bisa juga dilakukan berdasarkan azas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Dalam hal ini praktek negara-negar berbeda-beda. Ada negara-negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta walaupun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Ada negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak.

4. Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh atau terdakwa dan bisa juga sebagai terhukum.

5. Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta atau menjalani masa hukumannya.

(I Wayan Parthiana, 2004: 16).

Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka penegakan hukum trans-nasional khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi seorang tersangka yang melakukan kejahatan korupsi dengan cepat dapat menghindarkan penuntutan atau pemidanaan dengan jalan melarikan diri ke negara lain seperti melarikan diri ke Negara Singapura dan sebagainya. Pada umumnya tersangka tindak pidana korupsi memilih Negara Singapura karena Negara tersebut memiliki sistem


(18)

hukum yang berbeda sehingga terkadang Negara Indonesia mengalami kesulitan dalam usaha menarik kembali tersangka tersebut yang melarikan diri ke Negara Singapura.

Sehubungan dengan hal itu, implementasi dari perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yaitu bertujuan untuk pengembalian para buronan koruptor yang melarikan diri ke negara Singapura. Adapun inti dari perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura adalah mengambil tempat pada pemusatan pemberantasan tindak pidana korupsi yang secara internasional telah dikategorikan sebagai sebuah kejahatan internasional, yakni dalam konvensi PBB Anti Korupsi Tahun 2003 (United Nation Conttention Against Corratption).

Sebagai tindak lanjut dari kewajiban internasional tersebut, maka dalam kesepakatan organisasi regional negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) telah secara bersama-sama mendeklarasikan diri bersepakat untuk meningkatkan efektifitas lembaga penegak hukum dari para pihak dalam pencegahan, penyidikan, penuntutan, dan yang berhubungan dengan penanganan perkara pidana melalui kerja sama dan bantuan timbal balik (resiprositas) dalam masalah pidana, dengan menandatangani perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (treaty on mutual legal assistance in criminal matters).

Berkaitan dengan bantuan timbal balik dalam masalah pidana (treaty on mutual legal assistance in criminal matters) di atas, dalam tata hukum dan dengan

perkembangan Negara Republik Indonesia maka dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, menegaskan bahwa:


(19)

“dalam hal belum ada perjanjian tersebut dalam Ayat (1), maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik (resiprositas) dan jika kepentingan Negara Republik Indonesia menghendakinya”.

Sehubungan dengan kebijakan hukum secara trans-nasional, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif (1984: 157), menjelaskan bahwa dalam hukum pidana nasional secara umum dilihat dari segi fungsionalisasi, pengoperasian dan penegakan sanksi pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan agar benar-benar dapat terwujud harus melalui beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap Formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat undang-undang (sebagai kebijakan legislatif).

2. Tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikal).

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang (sebagai kebijakan eksekutif).

Berkaitan dengan poin ke dua di atas yakni tahap aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum (sebagai kebijakan yudikal) maka dalam rangka penegakan hukum trans-nasional aplikasi ekstradisi dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 menggunakan metode enumeratifdengan memperinci setiap kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan dalam suatu daftar yang dilampirkan pada Undang-Undang tersebut. Metode enumeratif tersebut juga menegaskan tentang ekstradisi para pelaku tindak pidana yang disangka telah melakukan kejahatan di Indonesia melarikan diri ke luar negeri, ataupun untuk menjalani


(20)

pidana yang telah dijatuhkan dengan putusan Pengadilan. (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi).

Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dan eksternal dapat diwujudkan secara nyata. Berkaitan dengan itu, masalah penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto (1986: 8) terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum) 2. Faktor aparat penegak hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung 4. Faktor masyarakat

5. Faktor kebudayaan

Selain beberapa faktor di atas, dalam rangka penegakan hukum trans-nasional terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Suatu perjanjian ekstradisi harus mencantumkan secara spesifik tindak pidana apa saja yang pelakunya dapat diekstradisi.

b. Tindak pidana yang di luar perjanjian ekstradisi, pelakunya tidak dapat diekstradisi.

Kedua faktor tersebut yang menjadi pengaruh besar dalam pelaksanaan ekstradisi. Dimuatnya azas-azas umum ekstradisi dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 merupakan suatu kebijakan dalam dalam rangka penegakan hukum


(21)

trans-nasional, karena bagaimanapun juga azas-azas umum tersebut dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak-hak asasi orang-orang yang diekstradisikan (extraditable person).

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132).

Adapun konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2002: 87).

Menurut Sudarto (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2002: 92) mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan hukum pidana sebagai berikut:

1). dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;


(22)

2). dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3). dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

b. Pemberantasan

Pemberantasan adalah suatu upaya dan/atau serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas suatu tindak pidana melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Evi Hartanti, 2005: 14).

c. Tindak Pidana/Perbuatan Pidana

Menurut Moeljatno (Tolib Setiady, 2010: 9) menerangkan bahwa strafbaar feit(perbuatan pidana) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut

d. Korupsi

Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang


(23)

hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan Negara/perekonomian Negara (Evi Hartanti, 2005: 19). Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Sedangkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.

e. Penerapan

Penerpan adalah suatu proses, cara, perbuatan mengaplikasikan suatu metoda guna mewujudkan tujuan kbijakan hukum atau pun tujuan tertentu (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

f. AzasResiprositas

Azas Resiprositas adalah suatu azas timbal balik antar Negara mengenai penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas ekstradisi, ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya


(24)

berada (negara yang diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya (I Wayan Parthiana, 2004: 10).

g. Ekstradisi

Ekstradisi menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 ekstradisi menjelaskan bahwa ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang perspektif kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azasresiprositasantara Indonesia dan Singapura.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan ekstradisi menurut hukum internasional, azas-azas umum dalam ekstradisi, ekstradisi menurut hukum nasional indonesia (undang-undang nomor 1 tahun 1979), pengertian tindak pidana korupsi, kerjasama ekstradisi indonesia singapura dalam rangka penegakan hukum secara trans nasional.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azas resiprositas antara Indonesia dan Singapura dan faktor-faktor penghambat kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penerapan azasresiprositasantara Indonesia dan Singapura.


(26)

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(27)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, R. 2005.Hukum Pidana Internasional. Restu Agung. Jakarta.

Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. 2000. Hukum Internasional Bunga Rampai. Alumni. Bandung.

Budiarto, M. 1981.Ekstradisi dalam Hukum Nasional. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hartanti, Evi. 2005.Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Alumni. Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Jakarta.

Mulyadi, Lilik. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Alumni. Bandung.

Parthiana, I Wayan. 2004. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Yrama Widya. Bandung.

Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Alfabeta. Bandung

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Wuryanto, Doddy et.al. 2002. Panduan Rakyat Memberantas Korupsi, Komite Anti Korupsi. Bandar Lampung.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Maksud dan Tujuan Ekstradisi menurut Hukum Internasional

1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional

Sarana ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para pakar Hukum Internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang biasa dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua. Para pakar sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain. Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin “ekstradere”.Exberarti ke luar, sedangkanTradereberarti memberikan, yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan (I Wayan Parthiana, 2004: 7).

Berkaitan dengan hal di atas, dalam periode sekarang ini masalah ekstradisi menjadi problematika bagi masyarakat bangsa Indonesia, terutama karena semakin lama semakin banyak pelaku kejahatan khususnya pelaku tindak pidana


(29)

korupsi melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejatahan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan trans-nasional, bahkan ada pula yang menyebut kejahatan internasional.

Para pakar Hukum Internasional yang memberikan defenisi ekstradisi antara lain adalah:

a. L. Oppenheim berpendapat bahwa:

“Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been

convicted of a crime by the state whose territory the alleged criminal

happens for the time to be.”

b. J. G. Starke menyatakan sebagai berikut:

“The term extradition denotes the process whereby under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a

person accused or convicted of a criminal offence committed against the

laws of the requesting state competent to try the alleged offender”.

Menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi: “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya”.


(30)

Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya, ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya (M. Budiarto, 1981: 14).

Bertolak dari defenisi di atas, dapatlah disimpulkan unsur-unsur dari ekstradisi itu, yakni:

a. Unsur subjek, yang terdiri dari:

1). Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya. Negara-negara inilah yang sangat berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat disebut negara peminta (The Requesting State). 2). Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh terdakwa) atau si

terhukum itu bersembunyi. Negara ini diminta oleh negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara peminta, supaya menyerahkan orang


(31)

yang berada di wilayah itu (tersangka atau terhukum), yang dengan singkat dapat disebut “negara-diminta” (The Rewuested State).

b. Unsur objek

Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa atau terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara-negara diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai “orang yang diminta”. Meskipun dia hanya sebagai objek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak, tetapi sebagai manusia dia harus tetap diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga.

c. Unsur Tata Cara atau Prosedur

Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan tersebut haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau apabila perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada saat asas timbal baik yang telah disepakati. Jadi jika sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap atau ditahan maupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang


(32)

itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaan penyerahan itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara-diminta, sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan itu tidak diajukan secara formal, melainkan hanya secara informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara-diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan atau konferensi internasional, hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi, tetapi barulah merupakan tahapan penjajakan saja. Seperti halnya permintaan penyerahan yang harus diajukan secara formal, maka penyerahan itu sendiri harus juga dilakukan secara formal.

d. Unsur tujuan

Unsur tujuan merupakan dasar untuk apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara peminta kepada negara-diminta oleh karena ia telah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara/ negara peminta, atau melarikan diri ke negara-diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Untuk dapat mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan, negara peminta lalu mengajukan permintaan penyerahan atas diri orang tersebut kepada negara-diminta. Jadi, permintaan penyerahan atau penyerahan itu sendiri bertujuan untuk mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan itu, sebagai realisasi dari kerja sama antar negara-negara tersebut dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.


(33)

2. Maksud dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional

Istilah ekstradisi menunjuk kepada proses dimana berdasarkan traktat atas atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak tersebut. Biasanya, tindak kejahatan yang ditutuhkan dilakukan di dalam wilayah atau di atas kapal yang mengibarkan bendera negara penuntut dan biasanya pelaku berada di dalam wilayah negara yang menyerahkan untuk mencari perlindungan. Permintaan ekstradisi biasanya dimuat dan dijawab melalui saluran diplomatik (I Wayan Parthiana, 2004: 15).

Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan pemidanaan, karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai kebenaran.


(34)

B. Azas-azas Umum dalam Ekstradisi

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia, terutama di bidang transportasi dan komunikasi internasional, maka masalah ekstradisi semenjak abad ke-19 menjadi sangat penting. Kemajuan-kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembang pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan, dan kemanusiaan, turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada satu sisinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, pada sisi lain menimbulkan berbagai efek negatif, misalnya seperti timbulnya kejahatan baru dengan akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan umat manusia, sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya, diperlukan kerja sama antar Negara. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka ekstradisi juga telah lama dikenal dalam praktek dan telah berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaan inilah negara-negara mulai merumuskan ke dalam bentuk perjanjian-perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri dengan mengadakan pengkhususan dalam bidang-bidang tertentu, sehingga tidak lagi berkaitan atau menjadi bagian dari masalah-masalah lain yang lebih luas ruang lingkupnya.


(35)

Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu bagian dari perjanjian internasional, dimana perjanjian internasional merupakan sumber hukum utama dan sempurna karena dibuat oleh negara-negara dan juga dibuat secara tertulis hingga menjamin kepastian hukum. Dilihat dari penggolongan dari segi struktur, perjanjian ekstradisi dapat diklasifikasikan ke dalam Treaty Contract (perjanjian yang bersifat kontrak). Dengan Treaty Contract, dimaksudkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal Effect dari Treaty Contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena perjanjian ekstradisi tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang beraku umum, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang membentuk hukum (Law Making Treaties). Tetapi pada hakikatnya perjanjian ekstradisi secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum karena telah melalui hukum kebiasaan (I Wayan Parthiana, 2004: 22).

Berkaitan dengan hal di atas, maka satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai pada saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Anggapan ini mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar. Sebab disamping adanya perbedaan-perbedaan tersebut, justru di antara sekian banyak perjanjian-perjanjian itu banyak terdapat kesamaan-kesamaan di dalam pengaturan mengenai berbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok masalah yang terdapat pula di dalam perundang-undangan ekstradisi. Dengan demikian, dapat pula disimpulkan adanya kesamaan-kesamaan diu dalam


(36)

dasar-dasarnya. Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik di dalam merumuskan perjanjan-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar yang sama ini telah diterima dan diakui sebagai asas-asas yang melandasi ekstradisi.

Adapun azas-azas pokok ekstradisi tersebut menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra (2000: 52) sebagai berikut:

a. AzasResiprositas

Azas Resiprositas adalah suatu azas timbal balik antar Negara mengenai penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas ekstradisi, ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menjelaskan bahwa azas resiprositas dalam ekstradisi adalah suatu azas timbal balik antara dua Negara mengenai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang


(37)

meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya.

b. Asas Kejahatan Ganda (double criminality principle)

Menurut azas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana), baik menurut hukum negara peminta maupun negara-diminta. Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu berbeda-beda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama mengklasifikasikan kejahatan atau tindak pidana.

c. Asas Kekhususan (principle of speciality).

Ketentuan dalam azas ini menjelaskan bahwa apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi.

d. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (non-extradition of political criminal).

Ketentuan dalam azas ini menjelaskan bahwa jika negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada kesatuan pendapat, baik di


(38)

kalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subjektif. Karena sulitnya menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik dalam perjanjian ataupun perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisi orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi.

e. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (non-extradition of nationals). Ketentuan dalam azas ini menjelaskan bahwa jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari negara diminta, maka negara-diminta “dapat” menolak permintaan dari negara peminta. Asas ini berlandaskan pada pemikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara diminta menolak permintaan negara-peminta, negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri.


(39)

f. AsasNon Bis in IdematauNe Bis in Idem

Menurut azas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan yang mengikat pasti, maka permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta.

g. Asas Daluarsa

Ketentuan dalam azas ini menjelaskan bahwa permintaan negara peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua belah pihak.

C. Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979)

1. Keberadaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Perjanjian Ekstradisi di Indonesia

Permasalahan ekstradisi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari hanya ditekankan pada segi-segi Hukum Internasional saja. Sebab, ada hal-hal yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjuk kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Oleh karena itu, negara-negara memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang


(40)

secara khusus mengatur tentang ekstradisi, di samping mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain.

Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, di Indonesia masih tetap berlaku peraturan perundang-undangan ekstradisi yang merupakan peninggalan Zaman Hindia Belanda. Peraturan tersebut adalah Stb. No. 188 Tahun 1883 tentang penyerahan orang-orang asing, yang pada tahun 1932 diubah dan ditinjau kembali dan diundangkan dalam Stb. No. 490 Tahun 1932.

Sejak Indonesia merdeka, Stb. 188 Tahun 1883 masih dapat berlaku dan menjadi dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam menghadapi persoalan ekstradisi. Pada tanggal 18 Januari 1979, oleh Presiden Soekarno diundangkanlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi di Jakarta, Ibukota Negara Indonesia, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 No. 2 dan penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130.

Undang-undang tersebut menggantikan Koninklijk Besluit tanggal 8 Mei 1883 Nomor 26 (Stb. 1883-188) yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata hukum di dalam Negara Republik Indonesia. Undang-undang ini terdiri dari 12 bab dan 48 Pasal, disertai lampiran daftar kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan sebanyak 32 jenis kejahatan.

Adapun isi-isi pokok dari undang-undang tersebut adalah tentang ketentuan umum mengenai ekstradisi (Bab I), asas-asas ekstradisi (Bab II), selanjutnya syarat-syarat penyerahan, penahanan yang diajukan oleh negara-peminta (Bab


(41)

III), permintaan ekstradisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara peminta (Bab IV), pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan ekstradisi (Bab V), dan pencabutan perpanjangan penahanan (Bab VI), pelaksanaan ekstradisi yang meliputi kejahatan mengenai permintaan ekstradisi (Bab VII), penyerahan yang dimintakan ekstradisi (Bab VIII), barang bukti (Bab IX), dan permintaan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia (Bab X), ketentuan peralihan (Bab XI), dan ketentuan (Bab XII).

2. Azas-azas yang Dianut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi

Asas-asas yang Dianut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi antara lain:

a. Ekstradisi atas dasar perjanjian dan hubungan baik atau timbal balik (Resiprositas)

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menjelaskan bahwa azas resiprositas dalam ekstradisi adalah suatu azas timbal balik antara dua Negara mengenai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya.

Ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menegaskan kesediaan Indonesia untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan atas diri seseorang pelaku kejahatan apabila antara Indonesia dengan


(42)

negara yang meminta tersebut sudah terikat dalam suatu perjanjian ekstradisi. Perjanjian ini baik meliputi perjanjian ekstradisi sebelum maupun sesudah diundangkannya undang-undang ini. Akan tetapi di samping atas dasar suatu perjanjian, Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk melakukan ekstradisi atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Inilah yang lebih dikenal dengan prinsip atas azas timbal balik atau prinsipresiprositas.

Prinsip ini bisa dianut dan diterapkan dala hal antara Indonesia dengan pihak lain itu belum terikat dalam perjanjian ekstradisi. Dalam prinsi timbal balik ini, terkandung suatu pengertian tentang kesediaan kedua pihak (Indonesia dan negara asing) untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah masing-masing.

b. Azas kejahatan ganda (double criminality) dan sistem daftar (list system)

Ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi ditegaskan tentang yang siapa yang diekstradisikan atau dimintakan ekstradisinya. Orang yang dapat diekstradisikan adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing, diminta kepada Indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan.

Berdasarkan azas kejahatan ganda, kejahatan yang disangka telah dilakukan atau hukuman pidana yang telah dijatuhkan itu, haruslah merupakan kejahatan, baik menurut hukum negara asing ang meminta ekstradisi maupun menurut hukum pidana Indonesia. Kejahatan-kejahatan yang dapat dijadikan dasar/ alasan untuk


(43)

meminta ekstradisi biasanya dicantumkan dalam suatu daftar yang berisi jenis-jenis kejahatan yang dimaksud tersebut. Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam daftar itu, harus dapat dipidana baik menurut hukum Indonesia maupun hukum negara asing yang bersangkutan.

c. Azas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik

Asas ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi yang secara singkat menyatakan, ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kejahatan politik sama sekali tidak ditegaskan. Hanya saja Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menegaskan dalam hal atau suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan politik dan dalam hal apa sebagai kejahatan biasa.

Terkait dengan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi di atas, selain terhadap kejahatan politik, kejahatan lain yang tidak boleh diesktradisikan adalah kejahatan militer. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi. Tidak diekstradisikannya pelaku kejahatan militer, menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi tersebut oleh karena kejahatan militer mempunyai ciri dan sifat yang berbeda dengan kejahatan menurut hukum pidana umum. Yang termasuk kejahatan militer di Indonesia adalah kejahatan-kejahatan seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer/ Tentara (KUHPM). Sudah tentu yang dapat melakukan kejahatan militer ini adalah


(44)

mereka yang berstatus sebagai militer, sedangkan orang yang bukan militer tidak dapat dituduh atau dikenakan kejahatan militer.

d. Azas tidak menyerahkan warga Negara

Azas ini ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi yang menyatakan, permintaan ekstradisi terhadap warga negara Indonesia ditolak. Dari ketentuan ini sudah jelas maknanya, bahwa ternyata orang yang diminta itu adalah berkewarganegaraan Indonesia, maka pemerintah Indonesia berwenang untuk menolak penyerahan warga negaranya tersebut. Untuk menentukan apakah orang yang dimintakan ekstradisi adalah warga negara Indonesia ataukah warga negara asing, ditentukan menurut hukum Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi ini dapat disimpulkan bahwa penolakan untuk menyerahkan warga negara Indonesia bukanlah merupakan kewajiban bagi Indonesia, melainkan merupakan hak, maka jika pemerintah Indonesia berpendapat bahwa orang yang bersangkutan lebih baik diserahkan, maka dapat saja hak tersebut tidak dipergunakan. Bahkan Pasal 7 Ayat (2) secara tegas memperkenankan pemerintah Indonesia untuk menyimpang dari Pasal 7 Ayat (1). Ditegaskan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan Pasal tersebut dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan yang lebih baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan. Keadaan yang dimaksud di sini adalah keadaan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis.


(45)

e. Kejahatan yang seluruhnya atau sebagian dilakukan di wilayah Indonesia

Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menentukan bahwa permintaan ekstradisi dapat ditolak jika kejahatan yang dituduhkan dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayah negara Republik Indonesia.

f. Orang yang diminta sedang diproses di Indonesia

Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menegaskan, jika orang yang diminta sedang diproses di Indonesia untuk kejahatan yang sama, permintaan ekstradisi negara peminta terhadap orang yang bersangkutan dapat ditolak. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan proses adalah pemeriksaan terhadap diri orang yang diminta itu dari tingkat pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Pemrosesan tersebut, pada akhirnya menentukan tentang bersalah tidaknya orang yang bersangkutan atas kejahatannya.

g. Azasnon bin in idem.

Azas ini dimaksudkan untuk tetap terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi individu yang bersangkutan. Seorang yang sudah diadili dan dihukum dan dijatuhi hukuman atas kejahatan yang sama, tidaklah layak untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya. Hal ini penting juga dalam ekstradisi, sebab ekstradisi juga bermaksud untuk mengadili dan menghukum orang yang bersangkutan di negara peminta.


(46)

Asas ini sudah merupakan azas umum dan hukum setiap negara di dunia. Dalam Pasal 10 Undang-undang tentang ekstradisi Indonesia ini ditegaskan bahwa apabila putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan Indonesia yang berwenang untuk mengadili kejahatan yang dimintakan ekstradisinya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak. Penolakan ini bukanlah merupakan hak bagi Indonesia, melainkan merupakan suatu kewajiban. Jadi tidak boleh diambil kebijaksanaan lain yang menyimpang dari asas ini. Pasal 11 memperluas asas non bis internasional idem ini, jika yang mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan atas kejahatan yang dimintakan ekstradisi itu adalah pengadilan negara atau negara ketiga, permintaan ekstradisi juga harus ditolak. Hal ini berarti bahwa Indonesia juga mengakui putusan pengadilan negara lain.

h. Azas Daluarsa

Azas ini juga bermaksud untuk memberikan kepastian hukum. Ditegaskan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi bahwa, permintaan ekstradisi ditolak jika menurut hukum negara Republik Indonesia, hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluarsa. Meskipun hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan pidana menurut hukum negara peminda masih berlaku, tetapi jika menurut hukum negara Indonesia telah gugur karena kadaluarsa (lewat waktu), maka Indonesia harus menolak penyerahan orang yang diminta itu.


(47)

Sebaliknya, jika menurut hukum Indonesia hak tersebut masih berlaku, tetapi menurut hukum negara-peminta adalah daluarsa, dalam hal ini sudah tentu Indonesia tidak boleh menolaknya. Akan tetapi jika orang yang bersangkutan diserahkan, kemudian diadili oleh negara peminta tersebut atau diperintahkan untuk menjalani hukuman, maka orang yang bersangkutan dapat mengajukan pembelaannya bahwa hak untuk menuntut atau menjalani atau menjalani hukuman terhadap kejahatannya itu telah kadaluwarsa. Jika terbukti benar, negara peminta itu wajib untuk melepaskan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini, tidak ada gunanya bagi negara peminta untuk meminta penyerahan apabila nanti setelah orang tersebut diserahkan, dia akan lepas dari penuntutan atau penghukuman karena sudah kadaluwarsa.

i. Penolakan ekstradisi karena ada sangkaan yang cukup kuat

Hal ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi menjelaskan bahwa “Permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut instansi yang berwenang terdapat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya, atau kewarganegaraannya, ataupun karena ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu”. Pasal ini dapat dikatakan sebagai penegasan atau penjaran dari asas kekhususan atau asas spesialitas, seperti tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, yang sudah umum dianut dalam setiap perundang-undangan dan perjanjian ekstradisi. Hal ini berdasarkan asas kekhususan, orang yang diminta atau si pelaku kejahatan hanya


(48)

boleh diadili, dipidana atas kejahatannya yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahannya.

Negara yang meminta ekstradisi tersebut tidak boleh mengadili orang yang diminta terhadap kejahatan-kejahatannya yang lain, walaupun negara peminta tersebut memiliki yurisdiksi untuk mengadilinya. Beberapa perjanjian ekstradisi, juga telah banyak mencantumkan ketentuan semacam ini, misalna Konvensi Ekstradisi Eropa tahun 1957. Dalam hal ini Indonesia yang berkedudukan sebagai negara yang dimintai penyerahan oleh suatu negara-peminta, haruslah cukup jeli untuk melihat, menganalisis dan mempertimbangkan sejauh mana negara peminta tersebut cukup jujur, melaksanakan asas rule of law, sistem politik nasional/ internasional negara itu, prakteknya dalam hal pelaksanaan hak asasi manusia dan lain-lain.

j. Azas kekhususan

Asas ini tercantum dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi yang menyatakan permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau ditahan karena melakukan kejahatan lain daripada kejahatan karenanya ia dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan izin presiden. Dalam rumusan secara positif, asas kekhususan itu mengandung makna, bahwa orang yang diminta penyerahannya, hanya boleh dituntut, diadili, dan dihukum oleh negara peminta hanya atas kejahatan yang dijadikan sebagai dasar/ alasan untuk meminta ekstradisinya. Jika negara-peminta akan menuntut mengadili atau di samping kejahatan yang dijadikan dasar untuk


(49)

meminta ekstradisinya juga atas kejahatan lainnya di luar itu, maka negara-diminta (Indonesia) harus menolak permintaan ekstradisi tersebut.

k. Orang yang diminta, akan diektradisikan kepada negara ketiga

Ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi ditegaskan, bahwa permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisinya tersebut akan diserahkan kepada negara ketiga untuk kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan sebelum ia dimintakan ekstradisi itu. Jelasnya, Pasal ini menentukan jika negara peminta mengajukan permintaan ekstradisinya kepada Indonesia terhadap diri seorang pelaku kejahatan, tidak dengan maksud untuk mengadili dan menghukum atas kejahatan yang dijadikan sebaai alasan untuk meminta ekstradisi, tetapi hanya sekedar untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diektradisikan lagi kepada negara ketiga, permintaan tersebut harus ditolak.

l. Permintaan yang ditunda pemenuhannya

Indonesia yang berkedudukan sebagai negara-diminta, dapat menunda pelaksanaan atau pemenuhan permintaan ekstradisi negara-peminta, apabila orang yang diminta, atau si pelaku kejahatan ternyata juga terlibat dalam suatu kejahatan lain yang dilakukannya di Indonesia. Misalnya untuk kejahatan tersebut, dia sedang diperiksa, atau sedang diadili atau sudah dijatuhi hukuman dan sedang menjalani hukumannya. Setelah perkara itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan/ atau setelah dia selesai menjalani masa hukumannya, baruah


(50)

permintaan ekstradisi yang memenuhi syarat tersebut (yang ditunda itu) harus dipenuhi pelaksanaannya.

D. Pengertaian Tindak Pidana Korupsi

Secara teoritis tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan pidana yang merugikan keuangan Negara untuk kepentingan pribadi atau golongan. Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, bahkan dalam bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberatasannya harus dilakukan secara luar biasa (Evi Hartanti, 2005: 37).

Sehubungan dengan hal itu, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana menimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana (Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999).

Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


(51)

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Lilik Mulyadi, 2007: 43).

Korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional juga menghambat pertumbuhan serta kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Sedangkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tindak pidana korupsi dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.


(52)

E. Kerjasama Ekstradisi Indonesia dan Singapura dalam Rangka Penegakan Hukum Secara Trans-Nasional

Pemberantasan korupsi merupakan salah satu program Negara Republik Indonesia. Oleh karena itulah Indonesia sangat medukung kerjasama Indonesia dam Singapura dalam penandatanganan perjanjian ekstradisi. Perjanjian ekstradisi tersebut menyangkut 31 jenis kejahatan antara lain terorisme, korupsi, penyuapan, pemalsuan, uang kejahatan perbankan, pelanggaran hukum perusahaan dan kepailitan. Namun, masih ada kemungkinan di masa depan ditambahkan tindak pidana lain khususnya jenis-jenis kejahatan baru. Melalui perjanjian ekstradisi, pemerintah berharap para penegak hukum baik Indonesia maupun Singapura mejadi lebih luas dalam melacak dan mengejar para tersangka khususnya tersangka kasus korupsi (R. Abdussalam, 2005: 28).

Melalui perjanjian Ekstradisi Indonesia maupun Singapura dapat meningkatkan kerjasama dalam hal pemberantasan korupsi. Pelaksanaannya membutuhkan komitmen dan keseriusan antara kedua negara agar dapat terealisasi dengan baik. Kerjasama penegakan hukum dalam hubungan internasional seperti perjanjian Ekstradisi tersebut sangat menentukan keberhasilan penegakan hukum nasional terhadap kejahatan trans-nasional. Keberhasilan kerjasama penegakan hukum tersebut pada umumnya tidak akan menjadi kenyataan jika tidak ada perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyerahan pelaku kejahatan atau dalam kerjasama penyidikan,penuntutan dan peradilan. Prasyarat perjanjian tersebut tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas resiprositas (R. Abdussalam, 2005: 37).


(53)

Berkaitan dengan hal tersebut, permintaan penyerahan pelaku kejahatan (ekstradisi) tidak serta merta merupakan pengembalian aset hasil kejahatan yang dibawa pelaku kejahatan tersebut. Kedua bentuk perjanjian tersebut harus saling melengkapi dan bukan dilihat secara terpisah. Hal ini berarti permintaan esktradisi wajib dilengkapi dengan permintaan bantuan timbal balik (resiprositas) dalam masalah pidana terutama pengusutan dan pengembalian aset kejahatan dari pelaku kejahatan tersebut.

Berdasarkan perjanjian kerjasama penegakan hukum yaitu Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura dapat dinyatakan bahwa, pertama, telah terjadi inkonsistensi kebijakan politik pemerintah kedua negara dalam menyikapi pentingnya kedua perjanjian tersebut bagi kedua belah pihak terutama dilihat dari kepentingan Indonesia. Kedua, perjanjian tersebut secara nyata hanya memiliki keuntungan yang bersifat prospektif, tidak retroaktif, bagi Indonesia untuk mengejar para pelaku tindak pidana korupsi.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Pratiwi Sarastika Azwar dilahirkan di Bandar Lampung 3

November 1990, yang merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara pasangan Bapak Drs. H. Azwar Yacub dan Ibu

Sapriana, S.Sos.

Penulis melaksanakan studi di Sekolah Dasar Negeri 4 Talang pada tahun 2002, penulis

melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Bandar Lampung pada

tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2008.

Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di

Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu,

pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 31

Juni samapi 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Pekon Bandung Baru, Kecamatan


(2)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, aku persembahkan sebuah karya sederhana ini sebagai tanda bakti dan kasih sayangku

kepada :

Papa Drs. H. Azwar Yacub dan Ibu Sapriana S.Sos., yang senantiasa berdo a hanya untuk keberhasilanku

Adikku Shelly Malinda Azwar dan Hector Macho Yusuf Habibie yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Ahi Seseorang yang kelak InsyaAllah menjadi teman sekaligus pendamping hidupku

Dosen-Dosenku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku teristimewa yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(3)

MOTTO

Hargailah waktu, maka waktu akan membuat hari harimu sangat berharga

Sesungguhnya ALLAH SWT memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya ALLAH SWT adalah Maha

Mendengar Lagi Maha Melihat (Al Qur an Karim. Surat An nisa : 58)


(4)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT,

Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung

dengan judul : PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI

PENERAPAN AZAS RESIPROSITAS ANTARA INDONESIA DAN SINGAPURA ).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan

serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung sekaligus sebagai

Pembimbing I yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan


(5)

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah

memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian

skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Bapak Gunawan, S.H., M.H. selaku Penguji Utama yang telah banyak

membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Maroni, S.H., M.H. sebagai Pembahas II yang telah banyak

memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Naek Siregar, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Dumas Amali Radityo, S.H., M.Hum. selaku responden dari

Kementerian Luar Negeri RI, Bapak Dr. Aidir Amin Daud, S.H., M.H.

selaku responden dari Kementerian Hukum dan HAM, dan Ibu Firganefi,

S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara

demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan

satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi

mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah

membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas

bantuannya selama penyusunan skripsi.

10. Papa Drs. H. Azwar Yacub dan ibu Sapriana S.Sos. tercinta atas kasih

sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu


(6)

11. Adikku Shelly Malinda Azwar dan Hector Macho Yusuf Habibie beserta

seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selama ini telah diberikan.

12. Pasanganku “Rakhmad Handiko”, terima kasih atas motivasinya selama ini.

13. Sahabat-sahabatku: Putri, Ani, Novia, Cindy (Komes), Rika, Nadia, Ade

(Edun), Uci, Ayu, Rateh, Ghea, Chyntia, Colip, Engga, Nanda (Mamang),

Aris dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih

atas kebersamaan dan keceriaan selama ini.

14. Teman-teman Fakultas Hukum 2008 dan KKN: Dum, Kamil, Habi, Icha,

Dimas, Priska, Susi, Ete, Gilang, Yusni, Ranti, Ira, Mona, Yani, Sandra,

Fita, Ihsan, Jayanti, Rina, Yeni, terimakasih atas kebersamaannya.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa

dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang

membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun

sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT

senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis