Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi

(1)

ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara

OLEH :

ANDREAS LIFRA SIMANGUNSONG NIM : 110200165

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

ANDREAS LIFRA SIMANGUNSONG NIM : 110200165

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(Dr. M. HAMDAN, S.H., M.Hum) NIP: 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(LIZA ERWINA, S.H.,M.Hum) (Dr. MARLINA, S.H.,M.Hum) NIP: 196110241989032002 NIP: 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAKSI

Andreas Lifra S* Liza Erwina**

Marlina***

Memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya lebih rinci diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertujuan untuk melakukan pengelolaan terhadap bidang-bidang yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak dan juga untuk mendapatkan keuntungan bagi negara. BUMN memilki peran yang sangat penting di dalam perekonomian negara, sehingga pengawasan terhadapnya sangat perlu dilakukan mengingat keuangan negara yang terdapat di dalam BUMN.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dilakukan pembahasan tentang Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan beberapa permasalahan yaitu, bagaimana pengaturan keuangan negara dalam BUMN, bagaimana menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN dan bagaimana menentukan pertanggungjawaban direksi BUMN dalam tindak pidana korupsi.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan deskriptif analistis, yaitu memaparkan tentang peraturan dan kebijakan hukum pidana yang berlaku terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi BUMN (Persero). Analisis data yang digunakan adalah metode analistis kualitatif.

Kedudukan keuangan negara di dalam BUMN merupakan hal yang sampai saat ini menjadi perdebatan karena masih terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan ranah pidana sementara pihak yang berseberangan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan ranah privat/perdata. Undang-undang yang mengakomodir mengenai kedudukan keuangan negara juga berbeda pandangan sehingga menyebabkan kesulitan di dalam melakukan pengawasan dan penegakkan terhadap tindak pidana yang terjadi dalam lingkup BUMN. Akibat perbedaan pandangan tersebut, di dalam akan menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi BUMN dapat ditempuh melalui ranah pidana dan perdata. Dengan keadaan demikian, maka diperlukan adanya perbaharuan pengaturan terhadap keuangan negara terkhususnya yang berada di lingkungan BUMN demi tercapainya kepastian hukum.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Segala tantangan dan aral melintang yang pada akhirnya dapat terlewati adalah harga mutlak berkat pertolongan dan wujud kasih karunia Tuhan kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Maka dari itu, sudah sepatutnya penulis memanjatkan puji dan syukur hanya kepada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus atas nikmat karunia yang diberikanNya kepada penulis selama penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis dengan rendah hati mempersembahkan skripsi yang

berjudul “Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum.

Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(5)

4. Bapak DR. O.K.Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Mhd Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak alm. Berlin Nainggolan, S.H.,M.Hum, Ibu alm. Syamsiar Yulia, S.H.,C.Sn, dan Ibu Aflah, S.H.,M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis duduk di bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan baik waktu maupun tenaga dan kesabarannya membimbing, memberi saran, arahan dan perbaikan untuk skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri ataupun yang sudah pensiun;

10.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 11.Kepada Orang Tua Penulis yang sudah bersusah payah dalam mengusahakan

agar penulis dapat melanjutkan pendidikan ke perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikannya, yaitu Ibu penulis, Molina dan Ayah penulis Tavip Simangunsong;


(6)

12.Kepada keluarga penulis yang juga membantu secara moril dan materil di dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu adik-adik penulis (Alexander Lifra Simangunsong, Nikita Gabriela Simangunsong, Axel Luiz Lifra Simangunsong), kakek dan nenek penulis (Popo dan Yeye) serta tante dan om

penulis (O‟i dan Icang);

13.Kepada yang terkasih Pestaria Mauli Simanjuntak yang juga sangat membantu penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini;

14.Teman-Teman Seperjuangan Stambuk 2011 di Grup C, seperti Eko Pahala, S.H, Sarabjit Singh Sandhu, S.H, Tulus Pardamean, S.H, Anugerah Novantri, S.H, Roboy Pakpahan, S.H, Heri Gunawan, Emil Mursyidin, Yahya Harahap, dan Frimanda P Ginting, S.H (yang menjadi rekan penulis di dalam mencalonkan diri sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur PEMA FH USU 2014) serta teman-teman lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu;

15.Kepada senior dari penulis yang sudah memberikan ilmu dan pengalaman baik dari segi perkuliahan maupun organisasi kepada penulis, seperti kak Yusty Riana Purba, S.H dan Bang Hotman Parulian, S.H, serta senior lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu;

16.Kepada Rekan Badan Pengurus Harian Komunitas Peradilan Semu FH USU periode 2013-2014 serta seluruh anggota dari Komunitas Peradilan Semu FH USU.


(7)

17.Kepada Rekan Delegasi NMCC Piala Konservasi dan NMCC ALSA Piala Mahkamah Agung Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengalaman yang luar biasa kepada penulis;

18.Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data guna pengerjaan skripsi ini, dan

19.Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis.

Penulis berharap kiranya skripsi ini tidak hanya berakhir sebagai setumpuk kertas yang tidak berguna, tapi dapat dipakai oleh setiap orang yang membutuhkan pengembangan pengetahuan mengenai Tindak Pidana Penodaan Agama. Penulis juga mengaharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini. Atas segala perhatiannya, Penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Mei 2015 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………...

B. Perumusan Masalah ………...….

C. Tujuan Penulisan ……….

D. Manfaat Penulisan ……….……..

E. Keaslian Penulisan ………..

F. Tinjauan Kepustakaan ……….………

G. Metode Penelitian ………..

H. Sistematika Penulisan ………..…..

BAB II PENGATURAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN

(Persero)

A. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) ………

B. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi………...………

C. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

Negara………..


(9)

BAB III MENENTUKAN UNSUR KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (Persero)

A. Kerugian Keuangan Negara ……….

B. Pihak Yang Berwenang melakukan Perhitungan Kerugian

Keuangan Negara ………

C. Mekanisme Pengawasan Keuangan dalam BUMN (Persero) ….. D. Unsur Yang Menentukan Kerugian Keuangan Negara dalam

BUMN (Persero) ………

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Tanggung Jawab BUMN (Persero) Sebagai Korporasi dalam

Tindak Pidana Korupsi ……….……....

B. Tanggung Jawab Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi

1. Tanggung Jawab Perdata Direksi BUMN (Persero) dalam

Tindak Pidana Korupsi ………

2. Tanggung Jawab Pidana Direksi BUMN (Persero) dalam

Tindak Pidana Korupsi………...………..

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………..

B. Saran ……….


(10)

ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAKSI

Andreas Lifra S* Liza Erwina**

Marlina***

Memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya lebih rinci diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertujuan untuk melakukan pengelolaan terhadap bidang-bidang yang berkenaan dengan hajat hidup orang banyak dan juga untuk mendapatkan keuntungan bagi negara. BUMN memilki peran yang sangat penting di dalam perekonomian negara, sehingga pengawasan terhadapnya sangat perlu dilakukan mengingat keuangan negara yang terdapat di dalam BUMN.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dilakukan pembahasan tentang Analisis Kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan beberapa permasalahan yaitu, bagaimana pengaturan keuangan negara dalam BUMN, bagaimana menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN dan bagaimana menentukan pertanggungjawaban direksi BUMN dalam tindak pidana korupsi.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder dengan deskriptif analistis, yaitu memaparkan tentang peraturan dan kebijakan hukum pidana yang berlaku terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi BUMN (Persero). Analisis data yang digunakan adalah metode analistis kualitatif.

Kedudukan keuangan negara di dalam BUMN merupakan hal yang sampai saat ini menjadi perdebatan karena masih terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan ranah pidana sementara pihak yang berseberangan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan ranah privat/perdata. Undang-undang yang mengakomodir mengenai kedudukan keuangan negara juga berbeda pandangan sehingga menyebabkan kesulitan di dalam melakukan pengawasan dan penegakkan terhadap tindak pidana yang terjadi dalam lingkup BUMN. Akibat perbedaan pandangan tersebut, di dalam akan menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh direksi BUMN dapat ditempuh melalui ranah pidana dan perdata. Dengan keadaan demikian, maka diperlukan adanya perbaharuan pengaturan terhadap keuangan negara terkhususnya yang berada di lingkungan BUMN demi tercapainya kepastian hukum.

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU *** Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya lebih rinci diatur dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa, sehingga dianggap perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun melalui kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Keuangan negara merupakan urat nadi negara. Tanpa keuangan negara tidak mungkin seluruh alat perlengkapan negara yang mewakili negara sebagai badan hukum publik melaksanakan fungsinya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang sudah disetujui oleh DPR, patut disambut dengan gembira, mengingat undang-undang tersebut tentu selain diharapkan dapat mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dengan baik akan dapat pula mengakhiri silang pendapat penafsiran arti keuangan negara yang telah berlangsung lama dan berlarut-larut itu.


(12)

Surat Menteri Keuangan Nomor S-192/MK.07/1980 Perihal Pengertian Keuangan Negara yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia tertanggal 29 Februari 1980, yang intinya meminta penjelasan mengenai pengertian keuangan negara, hingga kini tidak pernah terjawab. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya merumuskan pengertian keuangan negara dan selama kurun waktu kemerdekaan ini, UUD 1945 tidak memberi ruang yang cukup bagi menjawab para penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsinya di bidang keuangan. Ditambah karena batasan keuangan negara berasal dari APBN, meskipun pengelola keuangan bersumber dari Negara atau daerah, tidak saja dilakukan oleh badan hukum publik negara dan daerah atau badan-badan hukum lainnya yang tata cara pengelolaan dan pertanggungjawabannya masing-masing badan hukum pasti berbeda.1

Demikian pula halnya dengan keuangan Perum dan Persero, yang ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya diatur tersendiri dengan menggunakan system pembukuan yang berbeda pula. Perlu dicari jalan keluar yang dapat memberi arti yang lebih luas sehingga pengertian keuangan tidak saja meliputi keuangan yang bersumber pada APBN, APBD, tetapi itu pun akan meliputi juga pengertian keuangan perusahaan milik negara (BUMN) maupun milik daerah (BUMD), dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu

1

Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum : Teori, Kritik dan Praktik (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal 190.


(13)

pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. BUMN, swasta dan koperasi didalam menjalankan kegiatan usahanya menunjukkan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.

BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat dalam rangka perekonomian nasional. Peran BUMN dirasakan sangat penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati oleh swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan, baik dalam bentuk berbagai pajak, dividen, maupun hasil privatisasi.

Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, keuangan, pertambangan, pos dan komunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.

BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pegawasannya dalam mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan dengan prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).


(14)

Berdasarkan kenyataan tersebut diatas, dan memperhatikan amanat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, maka dipandang perlu untuk membuat dan merancang suatu peraturan perundang-undangan baru untuk mengatur BUMN secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha serta keadaan perekonomian. Peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan agar BUMN dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan dengan lebih baik lagi dalam rangka untuk mencapai tujuannya. Pengalaman menunjukkan bahwa keterpurukan perekonomian negara di dunia, termasuk Indonesia disebabkan salah satunya adalah tidak bertahan lamanya perusahan-perusahan di negara tersebut dalam siklus perekonomian dunia yang mana disebabkan oleh rendahnya kualitas pengaturan dan pengawasan dari perusahaan-perusahaan tersebut. Sehingga, keberadaan BUMN di dalam sistem perekonomian nasional mendapat tempat dan peran khusus dikarenakan ekspetasi tinggi yang dibebankan kepada BUMN tersebut. Terkait dengan kondisi demikian, maka BUMN di dalam pengurusan dan pengawasannya pun dituntut lebih maksimal, dikarenakan kedudukan BUMN yang terbilang cukup istimewa di dalam sistem perekonomian nasional, misalnya asal modal BUMN yang berasal dari keuangan negara yang dipisahkan, serta sektor-sektor yang dikuasai BUMN umumnya sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.2

Dalam menjalankan fungsinya, BUMN memiliki organ-organ BUMN seperti direksi, komisaris, dan sebagainya. Organ-organ BUMN tersebut di dalam

2

Lihat penjelasan umum Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).


(15)

menjalankan tugas dan wewenangnya juga disertai tanggung jawab serta akibat dari lalainya tanggung jawab tersebut.

BUMN di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang mana salah satu dari tujuannya adalah mengejar keuntungan, sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, BUMN juga akan melakukan kegiatan perekonomian yang mana akan terdapat resiko untung-rugi dalam setiap tindakan yang dilakukan BUMN tersebut. Apakah ketika BUMN ikut dalam kegiatan perekonomian dan menderita kerugian yang termasuk dalam resiko bisnis maka negara juga akan menderita kerugian, mengingat modal BUMN yang seluruh atau sebagian besarnya berasal dari keuangan/kekayaan negara? Hal tersebut dapat kita lihat dari peristiwa PT. Merpati Airlines yang saham/modalnya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah berhenti beroperasi dikarenakan menderita kerugian dan terlibat hutang hingga triliunan rupiah. Pada kasus ini, apakah pemerintah dapat dikatakan menderita kerugian?

Sama seperti badan usaha lainnya, untuk mencapai hasil yang maksimal maka hal itu tergantung kepada pengurusan BUMN oleh organ-organnya tersebut. Apakah organ-organ pengurus BUMN seperti komisaris, dewan pengawas, maupun direksi dapat dimintai pertanggungjawaban ketika BUMN menderita kerugian? Tanggung jawab seperti apa yang dapat diminta terkait kerugian yang timbul tersebut? Apakah secara gugatan perdata? Atau bahkan tuntutan pidana?


(16)

Dari sisi hukum pidana, hal ini menjadi pembahasan dikarenakan pada BUMN tersebut terdapat unsur keuangan negara, sehingga banyak kalangan yang berpendapat ketika terjadi kerugian pada BUMN maka akan dapat diterapkan delik pidana korupsi dengan melihat unsur kerugian negara pada BUMN tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI”

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain:

1. Bagaimana pengaturan keuangan negara dalam BUMN (Persero)?

2. Bagaimana menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN (Persero)?

3. Bagaimana menentukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain :


(17)

1. Untuk mengetahui kedudukan dari keuangan negara dalam BUMN (Persero)

2. Untuk mengetahui cara menentukan unsur kerugian keuangan negara dalam BUMN (Persero)

3. Untuk mengetahui kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai kedudukan keuangan negara di dalam BUMN (Persero) sehingga kedudukan direksinya dapat diketahui ketika terjadi delik pidana seperti delik korupsi. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai tindak pidana korupsi pada BUMN (Persero), baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas.

2. Secara praktis, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat berupa informasi hukum kepada semua kalangan, terutama kepada penegak hukum dalam kaitan menanggulangi korupsi di BUMN (Persero), serta memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi pada aset-aset negara khususnya dalam lingkungan BUMN (Persero).


(18)

E. KEASLIAN PENULISAN

Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi berjudul “ANALISIS KEDUDUKAN DIREKSI BUMN (Persero) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ”, terlebih dahulu penulis melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 22 Januari 2015 (terlampir) menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Penulisan skripsi ini berisi tentang analisis kedudukan Direksi BUMN (Persero) dalam Tindak Pidana Korupsi. Adapun tinjauan kepustakaan tentang Skripsi ini adalah :


(19)

1. Direksi

Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.3 Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi Anggaran Dasar BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efesiensi, transparansi, akuntabilitas, kemandirian, pertanggungjawaban, serta kewajaran.4

Pengertian direksi pada Undang-Undang BUMN tersebut sejalan dengan pengertian direksi pada Undang-Undang PT, yaitu bahwa Direksi adalah organ perseoan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.5

Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi dalam perseroan sebagaai gabungan dari dua macam persetujuan/perjanjian, yaitu :

1) Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi; dan

3

Lihat Pasal 1 angka (9), Undang-Undang Nomor 19 TTahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

4

Lihat Pasal 5 ayat (3), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

5

Lihat Pasal 1 angka (5), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(20)

2) Perjanjian kerja/ perburuhan, di sisi yang lain.

Dan karena itu pelaksanaannya harus ditafsirkan berdasarkan ketentuan Pasal 1601 c Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberatkan pada pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sebagai suatu perjanjian perburuhan.6

Merumuskan kedudukan direksi dalam dua hubungan hukum bukan masalah, sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk direksi tersebut diatas; direksi di satu sisi, diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam Anggaran Dasar perseroan, dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan, dalam hubungan atasan-bawahan dalam suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Di sinilah sifat pertanggung jawaban renteng dan pertanghung jawaban pribadi direksi menjadi sangat relevan, dalam hal direksi melakukan penyimpangan atas

“kuasa” dan “perintah” perseroan, untuk kepentingan perseroan.7

Cara pengangkatan dan pemberhentian direksi pada BUMN (Persero) adalah:

6

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal 97.

7


(21)

1) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi BUMN (Persero) dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

2) Dalam hal Menteri Keuangan bertindak sebagai RUPS pengangkatan Direksi ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

3) Direksi BUMN (Persero) diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman dan perilaku serta dedikasi untuk mengembangkan usaha guna kemajuan BUMN (Persero).

4) Dalam pengangkatan dan pemberhentian direksi tersebut, RUPS meminta kepada komisaris atau pihak lain yang dipandang perlu. Pendapat komisaris dibutuhkan mengingat tugas komisaris adalah mengawasi kebijakan direksi dalam mengelola BUMN (Persero) serta memberikan nasihat kepada direksi. Sehingga komisaris dalam hal ini sepatutnya mengetahui kinerja direksi dan kondisi BUMN (Persero) tersebut. Demikian pula RUPS bila perlu dapat meminta pendapat dari pihak lain yang dipandang perlu misalnya Menteri yang membawahi sektor/bidang dari BUMN (Persero) yang bersangkutan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pengangkatan anggota direksi pertama kali pada saat pendirian BUMN (Persero). 5) Jumlah anggota Direksi BUMN (Persero) disesuaikan dengan

kebutuhan dan salah seorang anggota direksi diangkat sebagai Direktur Utama.


(22)

6) Masa jabatan Direksi BUMN (Persero) adalah 5 (lima) tahun, dan dapat diangkat kembali. Anggota direksi yang telah menyelesaikan masa kerjanya dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali berdasarkan penilaian kinerja pada periode sebelumnya.8

Direksi dalam melaksanakan tugasnya wajib mencurahkan tenaga, pikiran dan perhatian secara penuh waktu pada tugas, kewajiban dan pencapaian tujuan BUMN (Persero). Berkenaan dengan hal tersebut maka hal-hal yang merupakan tugas dan kewajiban direksi antara lain yaitu:

1) Direksi wajib menyiapkan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan BUMN (Persero) yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut. 2) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan

yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang tersebut.

3) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan Anggaran Perusahaan kepada RUPS paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum memasuki tahun Anggaran Perusahaan.

4) Direksi wajib menyerahkan perhitungan tahunan BUMN (Persero) kepada Akuntan Publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagaimana ditetapkan oleh RUPS.9

2. BUMN (Persero)

8

I.G.Rai Widjaya, Hukum Perusahaan (Bekasi: Kesaint Blanc, 2006), hal 110-111.

9


(23)

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan10. Terhadap pendirian BUMN, menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003, ada 5 (lima) tujuan pendirian BUMN, yaitu:11

1) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan membantu penerimaan keuangan negara. 2) Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan BUMN

(Persero) adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, BUMN (Persero) dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

10

Lihat Pasal 1 angka (1), Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

11

Lihat Pasal 2, Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan penjelasannya.


(24)

3) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN, baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

4) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi. Kegiatan perintisan merupakan suatu kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan koperasi karena secara finansial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN. Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan ekonomi lemah.

5) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonoi lemah, koperasi, dan masyarakat

Kemudian sesuai dengan Undang-Undang BUMN, BUMN itu sendiri dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu PERUM (Perusahaan Umum) dan PERSERO. PERSERO adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan


(25)

bertujuan mengejar keuntungan, sedangkan PERUM adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.12

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, dalam pendiriannya harus memenuhi kriteria, antara lain sebagai berikut:

1) Bidang usaha atau kegiatannya berkaitan dengan kepentingan orang banyak.

2) Didirikan tidak hanya untuk mengejar keuntungan (costeffectiveness).

3) Berdasarkan pengkajian memenuhi persyaratan ekonomis yang diperlukan bagi berdirinya suatu badan usaha (mandiri).

Pengusulan pendirian Perum kepada Presiden oleh Menteri dapat dilakukan atas inisiatif Menteri dan dapat pula atas inisiatif dari Menteri teknis atau dari Menteri Keuangan sepanjang memenuhi kriteria diatas.13

Terhadap BUMN (Persero) yang selanjutnya disebut Persero, maksud dan tujuannya menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN sedikit bergeser atau berubah dari maksud dan tujuannya pada saat berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang

12

Lihat Pasal 1 angka (2) dan (4), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

13

Mulhadi, Hukum Perusahaan: bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal 176-177.


(26)

Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 menyebutkan bahwa maksud dan tujuan Persero adalah menyediakan barang atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi, baik di pasar dalam negeri maupun internasional dan Persero dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan yang pertama di atas. Disini tampak jelas bahwa Persero pada awal-awal pendiriannya dimaksudkan untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, tetapi kemudian dengan perkembangan yang terjadi dan sesuai dengan prinsip yang dianutnya yang berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas (sesuai dengan pasal 11 Undang-Undang BUMN yang mengatakan bahwa terhadap Persero berlaku ketentuan dan prinsp-prinsip Perseroan Terbatas sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur nya), maka maksud dan tujuan itu bergeser searah dengan maksud dan tujuan Perseroan Terbatas, yaitu mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.14

3. Tindak Pidana

Hukum pidana Belanda memakai istilah starfbaar fiet, kadang-kadang juga memakai delict yang berasal dari bahasa latin delictum. Hukum pidana negara-negara Anglo-Saxon memakai istilah offense atau crimnal act untuk maksud yang sama. Oleh karena KUHP Indonesia bersumber pada Wvs Belanda, maka istilah aslinya pun sama yaitu stafbaar feit. Timbullah

14


(27)

masalah dalam menerjemahkan istlah starfbaar feit itu ke dalam Bahasa Indonesia. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana meskipun tidak menerjemahkan stafbaar feit itu. Utrecht, menyalin istilah

strafbaar feit menjadi peristiwa pidana. Rupanya Utrecht menerjemahkan istilah feit secara harafiah menjadi peristiwa. Sama dengan istilah yang dipakai oleh Utrecht, UUD sementara 1950 juga memakai istilah peristiwa pidana.15

Menurut Moeljatno, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Larangan dan ancaman pidana memiliki hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang

15


(28)

tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Menurut Moeljatno, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang

abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagimana halnya dalam Pasal 14 ayat (1) UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana”.

Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja, msialnya matinya orang.16

Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “Tindak Pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementerian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih

pendek daripada “perbuatan” tetapi ”tindak” tidak menunjuk kepada hal yang

abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa “tindak” adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dengan tidak-tanduk, tindakan dan bertindak belakangan

juga sering dipakai “ditindak”. Oleh karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan. Contohnya UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum (Pasal 127,129, dan lain lain).17

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (starfbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.

16

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 60-61.

17


(29)

Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi berbuat dan tidak berbuat. Van Hattum dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberi defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.18

Pengertian Tindak Pidana lebih luas dari kejahatan. Kejahatan di dalam hukum pidana adalah perbuatan pidana yang pada dasarnya diatur di dalam buku II KUHP dan di dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai kejahatan. Perbuatan pidana lebih luas dari kejahatan, karena juga meliputi pelanggaran, yaitu perbuatan yang diatur dalam buku III KUHP dan di luar KUHP yang di dalamnya dinyatakan perbuatan itu sebagai pelanggaran. Pada umumnya para ahli tidak menerima pengertian kejahatan dalam Kriminologi adalah sama luasnya dengan kejahatan dalam hukum pidana.19

4. Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin Corruptus dari kata kerja corrumpere

yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, mengeroyok,

kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis disebut Corruption, dan dalam

18

Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal 64, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan: USU Press, 2010), hal 74-75.

19

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta:Aksara Baru, 1987), hal 17-18, seperti dikutip oleh Mohammad Ekaputra, op.cit, hal 76.


(30)

bahasa Belanda disebut Korruptie.20 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat pengertian korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara, atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.21

Mahzar (2003),22 mengatakan istilah korupsi secara umum sebagai berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ia lalu menambahkan, bahwa dalam perkembangan lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan yang dilakukan oleh sejumlah ahli dalam mendefenisikan

korupsi, yakni “penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi”. Mahzar pun mencatat beberapa defenisi korupsi yang

paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Gagasan yang diambilnya dari Philip (1997) ini, menyebutkan defenisi korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefenisikan sebagai tingkah laku dan tidakan seorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti

20

A. Hamzah, Korupsi: Dalam Proyek Pembangunan. (Jakata: Akademika Pressindo, 1985), hal 2-3, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hal 32.

21

Dep. P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1989, seperti dikutip oleh Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahannya (rev.ed;Jakarta: Sapdodadi, 2004), hal 5.

22

Asyumardi Mahzar, Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan Yang Lebih Baik; Makalah Seminar Internasional, Praktik-praktik yang Baik dalam Memerangi Korupsi di Asia (Jakarta: Transparency International Indonesia), tanggal 16-17 Desember 2003, hal 23, seperti dikutip oleh Mansyur Semma, op.cit, hal 34.


(31)

keluarga, kerabat karib, dan teman. Pengertian ini juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit. Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi, jika seorang pemegang kekuasaaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau materi lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Berdasarkan kerangka ini, korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. Kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.23

23


(32)

Sementara itu, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada,

“pemanfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini

merupakan defenisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).24

Penelusuran terhadap makna korupsi dengan mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussein Alatas dapat membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas mengungkapkan ciri dari korupsi, yaitu:

1) Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;

2) Korupsi pada umumnya melibatkan serba-kerahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dena begitu mendalam mengakar,sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka;

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keutungan timbak balik; 4) Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;

24

N. Kusuma dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; Kasus-Kasus Gerakan Sosial di Indonesia (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), hal 12 dan The World Bank, memerangi Korupsi di Indonesia; Memperkuat Akuntabilitas Untuk Kemajuan (Jakarta; World Bank Office Jakarta, 2003), hal 20, seperti dikutip Mansyur Semma, op.cit, hal 32-33.


(33)

5) Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas, dan mereka yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu;

6) Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan;

7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pngkhianatan kepercayaan; 8) Setiap korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari

mereka yang melakukan tindakan itu;

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.25

Benveniste juga memandang korupsi dari berbagai aspek, dan untuk itu beliau meberikan pemahaman terhadap korupsi atas empat jenis, yaitu :26

a) Discretionery corruption, yakni korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi; contohnya, seorang pelayanan perizinan tenaga kerja asing memberikan pelayanan yang lebih cepat

kepada “calo” atau orang yang bersedia membayar lebih ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja.

b) Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan

25

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer (Jakarta: LP3ES, 1983), hal 12-14 seperti dikutip oleh Elwi Danil, Korupsi Konsep,Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012), hal 7-8.

26

Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 18-20, seperti dikutip oleh Ibid, hal 10-12.


(34)

regulasi tertentu. Contohnya, di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Akan tetapi dikarenakan waktu mendesak (karena turunya anggaran terlambat) sehingga proses tender tidak

bisa dilakukan, umumnya biasa digunakan istilah “keadaan darurat” atau “force majeur”, sehingga proses lelang atau tender dapat

dikesampingkan. Bahkan dalam beberapa kasus letak “Illegal corruption” berada pada kecanggihan memainkan kata-kata, bukan substansinya.

c) Mercenery corruption, yakni jenis tindak pidana korupsi yang dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaaan. Contohnya, dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang memiliki kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender peserta harus bersedia memberikan uang

“sogok” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan itu dipenuhi oleh

kontraktor yang mengikuti tender, maka perbuatan panitia lelang itu

sudah termasuk ke dalam kategori “Mercenery corruption”. Bentuk “sogok” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga dalam bentuk

lain.

d) Ideological corruption, ialah jenis korupsi Illegal maupun


(35)

Kasus skandal Watergate adalah contoh “Ideological corruption”,

dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada Undang-Undang atau hukum. Penjualan aset BUMN untuk mendukung kemenangan pemilihan umum dari partai politik tertentu adalah contoh dari korupsi jenis ini.

G. METODE PENELITIAN

Di dalam penulisan dan penelitian skripsi ini diperlukan adanya metode penelitian dengan maksud agar penulisan dan penelitian skripsi ini dapat tertata secara sistematis dan ilmiah. Dalam penulisan skripsi ini, mtode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Penulis menggunakan penelitian dengan pendekatan hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. Adapun peneltian hukum normatif dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :27

a) Menarik Azas-Azas Hukum.

Apabila peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk menarik azas-azas hukum (rechtsbeginselen), maka hal itu dapat saja dilakukannya terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis.

27


(36)

Azas-azas hukum tersebut sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan, yang memberikan suatu penilaian yang bersifat etis. Secara logis, maka pertama-tama azas-azas hukum tersebut harus ada pada pengambilan keputusan secara konkrit; akan tetapi di dalam kenyataannya, hal itu juga dapat ditelusuri pada hukum positif tertulis.

b) Menelaah Sistematika Perundang-undangan.

Adakalanya seorang peneliti ingin melakukan penelitian terhadap sistematika perundang-undangan tertentu. Hal ini mungkin dapat dilakukan terhadapa peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan. Di sini peneliti tidak meninjau peraturan perundang-undangan dari sudut penyusunannya secara teknis, akan tetapi yang ditelaahnya adalah pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Hasil-hasil penelitian semacam ini, akan mempermudah para penegak hukum di dalam melaksanakan peranannya secara sistematis dan konsisten.

c) Penelitian Terhadap Taraf Sinkronisasi dari Peraturan Perundang-undangan.

Penelitian semacam ini dapat dilakukan atas dasar paling sedikit dua titik tolak, yaitu taraf sinkronisasi secara vertikal dan secara horizontal. Apabila titik tolak vertikal yang diambil, maka yang diteliti adalah taraf sinkronisasi peraturan perundang-undangan menurut hierarkinya. Apabila penelitian dilakukan terhadap taraf sinkronisasi horizontal, maka


(37)

yang diteliti adalah sampai sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsional, adalah konsisten.

d) Perbandingan Hukum.

Apabila ditelaah Black‟s Law Dictionary,maka di dalam kamus tersebut

dinyatakan, bahwa perbandingan hukum adalah “the study of the principles of legal science by the comparation of variuos systems of law”.

Di dalam perumusan tersebut ternyata ada suatu kecenderungan untuk mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai suatu metode, oleh

karena yang dimaksudkannya sebagai perbandingan adalah “proceeding by the method of comparation; founded on comparation; estimated by comparation”.

e) Sejarah Hukum.

Seorang peneliti yang mempergunakan metode sejarah di dalam tinjauannya terhadap hukum, mempunyai kewajiban utama untuk menelaah hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya, dari sudur sejarah. Dari hubungan-hubungan tersebut, seorang peneliti harus dapat menjelaskan perkembangan bidang-bidang hukum yang ditelitinya. Memang, salah satu kegunaan dari penggunaan metode sejarah adalah, untuk dapat mengungkapkan fakta hukum pada masa lampau, dalam hubungannya dengan fakta hukum pada masa kini. Kecuali dari itu, maka sejarah hukum akan dapat memberikan. Pandangan yang luas bagi peneliti, oleh karena hukum senantiasa


(38)

dipengaruhi dan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan lainnya. Hukum masa kini, merupakan hasil perkembangan dari salah satu aspek kehidupan manusia pada masa lampau, dan hukum masa kini merupakan dasar bagi hukum pada masa-masa mendatang.

Dengan demikian tujuan dari penulis melakukan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban dan memecahkan masalah hukum tertentu in concreto

yang mana masalah yang hendak dibahas dan dipecahkan adalah terkait dengan kedudukan Direksi BUMN (Persero) terkait tindak pidana Korupsi.

2. Data dan Sumber Data

Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber data yang diperoleh secara tidak langsung, misalnya dari buku. Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut :

a) Bahan-bahan Hukum Primer, yaitu:

i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

ii. Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

iii. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

iv. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara


(39)

v. Undang-Undang Nomor 31 tahun tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.

b) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu:

Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c) Bahan-bahan Hukum Tersier, yaitu:

Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi pustaka (literature research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi.


(40)

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya28. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :

a) Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b) Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas. c) Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan

dari permasalahan.

d) Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika dari penulisan skripsi ini adalah:

BAB I : PENDAHULUAN.

Pada bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

28


(41)

BAB II : KEDUDUKAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (PERSERO).

Pada Bagian pertama pada bab ini akan membahas mengenai kedudukan keuangan negara di dalam BUMN (Persero), dan pada bagian kedua akan membahas mengenai kedudukan keuangan negara dalam keterkaitannya dengan tindak pidana korupsi.

BAB III : KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (PERSERO).

Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas mengenai pelaksanaan evaluasi internal dalam BUMN (Persero) untuk mengetahui kerugian keuangan dalam BUMN (Persero) dan pada bagian kedua akan membahas mengenai kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan audit/pemeriksaan terhadap BUMN (Persero).

BAB IV : PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI BUMN (PERSERO) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.

Pada bagian pertama pada bab ini akan membahas kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) secara perdata di dalam tindak pidana korupsi


(42)

dan pada bagian kedua akan membahas kedudukan pertanggungjawaban Direksi BUMN (Persero) secara pidana dalam tindak pidana korupsi.

BAB V : PENUTUP.

Pada bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dari bagian awal hingga akhir dari skripsi ini yang merupakan ringkasan substansi penulisan skripsi ini dan saran-saran yang dikemukakan penulis terkait dengan masalah yang dibahas.


(43)

BAB II

PENGATURAN KEUANGAN NEGARA DALAM BUMN (Persero)

A. UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BUMN.

Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Dasar 1945 mengaturnya di dalam BAB VIII, HAL KEUANGAN, Pasal 23 yang menyatakan :

1. Anggaran pendapatan dan belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja Negara tahun yang lalu.

Pada Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “hal-hal lain mengenai keuangan Negara diatur dengan undang-undang”. Terkait dengan hal tersebut maka konstitusi menghendaki adanya pengaturan khusus/tersendiri terkait dengan keuangan negara yang dituangkan di dalam undang-undang tersendiri.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN), merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang


(44)

modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bertujuan mengejar keuntungan, seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang yang sama. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah Kekayaan Negara yang berasal dari Anggaran29 Pendapatan dan Belanja Negara (APBN30) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.31 Hal ini dipertegas lagi di dalam Undang-Undang BUMN, bahwa modal BUMN merupakan berasal dari Kekayaan negara yang dipisahkan.32

Pengertian kekayaan negara itu sendiri sebenarnya sama dengan keuangan negara, dimana pengertian keuangan negara itu sendiri adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan

29 Menurut M.Marsono, “anggaran adalah suatu rencana pekerjaan keuangan yang pada

satu pihak mengandung jumlah pengeluaran yang setinggi-tingginya yang mungkin diperlukan untuk membiayai kepentingan Negara pada suatu masa depan dan pada pihak lain merupakan

perkiraan pendapatan (penerimaan) yang mgkin dapat diterima dalam masa tersebut”.( M.Subagio,

Hukum Keuangan RI ( Jakarta : Rajawali, 1991), hal 13.)

30

Istilah pendapatan dan belanja Negara yang digunakan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (Pasal 23) lazim digunakan dengan istilah anggaran Negara yang merupakan

terjemahan dari istilah “budget”. Istilah budget ini pertama kali digunakan dalam hubungan

Negara di Majelis Rendah Inggris dalam abad XVIII, sebagai hasil dari the glorius revolution

(1688) yang membawa perubahan-perubahan besar dalam ketatanegaran yakni hak budget yang bersifat demokratis dalam arti dewan perwakilan rakyat yang berhak menentukan anggaran negara. Di inggris, istilah budget ni pada mulanya digunakan untuk tas kulit yang digunakan oleh Menteri Keuangan guna menyimpan surat-surat anggaran.(H. Bohari, Hukum Anggaran Negara (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995), hal 13).

31

Lihat Pasal 1 angka (10), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

32

Lihat Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.


(45)

pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.33 Dari penjelasan tersebut, maka sudah pasti bahwa di dalam BUMN terdapat unsur Keuangan Negara.

Di dalam penjelasan tersebut, terdapat kata “dipisahkan dari

APBN/Kekayaan Negara”. terkait dengan hal ini, perlu dijelaskan mengenai BUMN merupakan suatu organ yang berbentuk badan hukum atau tidak. Menurut E.Utreht, badan hukum (rechtspersoon), yaitu badan yang menurut hukum berkuasa (bewenang) menjadi pendukung hak, selanjutnya dijelaskan, bahwa badan hukum ialah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang rill, merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum, biarpun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu, dan sebagainya. Yang menjadi penting bagi pergaulan hukum ialah hal badan hukum itu mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi. Hak-kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak-kewajiban anggotanya. Bagi bidang perekonomian, terutama lapangan perdagangan gejala ini sangat penting.34 Kemudian Menurut R.Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, memiliki kekayaan sendiri dan terpisah dari kekayaan pemiliknya, serta dapat digugat atau menggugat di depan hakim.35 Terhadap badan hukum sendiri masih

33

Lihat Pasal 1 angka (1), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

34

Chaidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumnni, 1991), hal 13.

35


(46)

terdapat perbedaan pandangan, yaitu antara Teori Fiksi36 dengan Teori Organ37. Pengertian badan hukum sebagai subjek hukum, yang mencakup unsur-unsur atau kriteria (materill) adalah:38

1. Perkumpulan orang atau perkumpulan modal (organisasi).

2. Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking).

3. Mempunyai harta kekayaan sendiri. 4. Mempunyai pengurus.

5. Mempunyai hak dan kewajiban.

6. Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.

Di samping unsur-unsur di atas, terdapat juga unsur atau kriteria (formil) terhadap badan hukum, yaitu:39

36

Teori Fiksi dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny, bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mugkin menjadi sbujek dari suatu hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa. Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dengan bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Ibid., hal 32.

37

Teori organ, dipelopori oleh Otto Von Gierke. Badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu “eine leiblichgeistige lebensein heit”,

badan hokum itu menjadi suatu “verbandpersoblich keit”, yaitu suatu badan yang membentuk

kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan tangannya jika kehendak itu ditulis atas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang rill, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan/perhimpunan orang adalah badan hukum. Ibid., hal 32-33.

38

Ibid., hal 21, seperti dikutip oleh Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor: Gahlia Indonesia, 2010), hal 74.

39

R. Murjiyanto, Pengantar Hukum Dagang: Aspek-Aspek Hukum Perusahaan dan Larangan Praktek Monopoli (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal 14 seperti dikutip oleh Ibid., hal 75.


(47)

1. Dinyatakan secara tegas dalam peraturan atau undang-undang yang mengaturnya.

2. Dinyatakan secara tegas di dalam akta pendiriannya.

3. Dalam prosedur pendiriannya diperlukan campur tangan pemerintah seperti kewajiban adanya pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 4. Di dalam praktek kebiasaan diakui sebagai badan hukum.

5. Ditegaskan dalam yurisprudensi.

Unsur-unsur tersebut diatas, baik secara materill maupun formil jika dihubungkan dengan BUMN maka:

1. Terkait dengan perkumpulan orang atau perkumpulan modal, pengertian BUMN sendiri menjelaskan bahwa BUMN merupakan badan usaha yang modalnya berasal dari Negara dan pada Persero penyertaan modal dari Negara adalah 51% (lima puluh satu persen) atau lebih (hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 Undang-Undang BUMN).

2. Terkait dengan dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum, di dalam pembentukannya, BUMN memiliki maksud dan tujuan, yang diantaranya adalah mengejar keuntungan dan mejadi perintis bagi bidang ekonomi yang belum tersentuh koperasi dan swasta (dapat dilihat pada Pasal 2 Undang-Undang BUMN) sehingga untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut maka BUMN akan melakukan perbuatan hukum di dalam hubungan hukum.

3. Terkait dengan mempunyai harta sendiri, dapat dilihat asal modal dari BUMN yang berasal dari penyertaan langsung dari kekayaan Negara di luar APBN,


(48)

bahkan pada Persero tidak menutup kemungkinan adanya modal yang berasal dari pihak luar (swasta).

4. Terkait dengan mempunyai pengurus, dapat dilihat bahwa di dalam BUMN terdapat organ-organ, yaitu, komisaris/dewan pengawas, dan RUPS. (lihat Pasal 13 Undang-Undang BUMN)

5. Terkait dengan mempunyai hak dan kewajiban, kembali dapat dilihat dari maksud dan tujuan didirikannya BUMN (Pasal 2 Undang-Undang BUMN) bahwa BUMN bertujuan untuk mengejar keuntungan guna menjadi pendapatan Negara akan tetapi BUMN juga berkewajiban menyelenggarakan kepentingan umum melalui penyediaan barang dan jasa yang bermutu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

6. Terkait dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan, Direksi BUMN dapat mewakili BUMN di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang BUMN) sehingga, BUMN dapat menggugat atau digugat di depan pengadilan dimana yang menjadi wakil dari BUMN adalah Direksi BUMN tersebut.

7. Terkait dengan unsur formil, di dalam pendirian BUMN diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan serta kajian dari Menteri teknis(terkait) dan Menteri Keuangan (Pasal 10 Undang-Undang BUMN).

Dengan dipenuhinya baik unsur materill dan formil dari badan hukum tersebut maka dengan pasti dapat dikatakan bahwa BUMN merupakan badan hukum. Dalam hubungan dengan kedudukan Perusahaan Negara sebagai badan hukum


(49)

tersebut, dalam Yurisprudensi Indonesia dapat dijumpai suatu pendapat/pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung,

yaitu bahwa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30/1965 P.N., “Telkom adalah

badan hukum yang bertanggung jawab dan mempunyai keuangan sendiri terpisah dari keuangan negara maka pemerintah/Departemen Perhubungan tidak dapat digugat dalam perkara ini (mengenai perjanjian yang diadakan oleh Telkom

dengan c.v, E.S.G.A)”, (Putusan Mahkamah Agung No. 25K/Sip/1973).40 Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (sekarang berlaku Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007).41 Segala pengaturan dan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam Perseroan Terbatas berlaku juga terhadap Persero, sehingga berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang mana BUMN berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero dan kekayaan/keuangan negara merupakan hal yang terpisah, sehingga kerugian yang diderita oleh Persero nantinya hanya akan menjadi kerugian Persero dan tidak akan menjadi kerugian negara.

Karakteristik badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan pemilik dan pengurusnya, maka suatu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan direksi (sebagai pengurus), komisaris (sebagai pengawas), dan pemegang saham (sebagai pemilik). Begitu

40

Chaidir Ali, Op.Cit., hal 101.

41

Lihat pasal 11, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.


(50)

juga kekayaan yayasan sebagai badan hukum terpisah dari kekayaan pengurus yayasan dan anggota yayasan, serta pendiri yayasan. Selanjutnya kekayaan koperasi sebagai badan hukum juga terpisah dari kekayaan pengurus dan anggota koperasi. Bahkan BUMN yang berbentuk Perum, yang keseluruhan modalnya pasti dimiliki oleh pemerintah, juga adalah badan hukum, karena pada pasal 35 ayat (2) Undang-Undang BUMN menyatakan, Perum memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya peraturan pemerintah tentang pendiriannya. Dan untuk Persero akan memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), hal ini terdapat di dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Undang-Undang PT terdahulu sebelum Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007), Sehingga berdasarkan uraian tersebut kekayaan Perum maupun Persero sebagai badan hukum bukanlah kekayaan/keuangan negara.42

B. UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.

Di dalam hukum pidana, masalah keuangan negara terkait erat dengan tindak pidana korupsi, dan pengertian keuangan negara secara spesifik tidak diatur dalam stelsel tersendiri di dalam Undang No.31 Tahun 1999 Jo.

42

Prof. Erman Rajagukuk, disampaikan pada diskusi publik “Pengertian Keuangan Negara

Dalam Tindak Pidana Korupsi” Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Jakarta 26 Juli


(51)

Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun di dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud perbuatan korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tentang keuangan negara kemudian dijelaskan dalam penjelasan umum yang

menegaskan bahwa keuangan negara adalah “berupa seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : 43

1. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.”

Hadirnya Delik Korupsi di dalam hal keuangan negara dikarenakan di dalam Delik Korupsi terdapat adanya unsur kerugian negara yang mana unsur kerugian negara tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan keuangan negara. Kaitan antara keuangan negara dengan kerugian negara tersebut dikarenakan dalam hal untuk membuktikan adanya unsur kerugian negara di

43

Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(52)

dalam Delik Korupsi, maka penegak hukum wajib membuktikan adanya unsur keuangan negara yang hilang/berkurang secara melawan hukum. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang menyatakan “ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana ...”

Pengertian keuangan negara di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan pengertian yang spesifik pidana dan khusus bersandar kepada asas logische Specialited yaitu meskipun sama-sama bersifat khusus, tetapi yang mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam hal ini adalah pidana.44 Pendapat yang demikian sejalan

dengan Pendapat H.A. Demeersemen dalam kajian “de autonomie van het materiele strafrecht” (otonomi hukum pidana materil) menyatakan bahwa apabila

ada perkataan atau terminologi yang sama, maka hukum pidana memiliki otonomi untuk memberikan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi apabila hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya.45

44

Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-isu Aktual Dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi (Jakarta : Referensi, 2012), hal 107.

45

Indrianto Seno Adji, korupsi dan penegakan hukum, (Jakarta: Diadit Media, 2009), hal 12-13, seperti dikutip oleh Ibid,.


(53)

Permasalahan yang kemudian timbul dan menyisakan perbedaan pendapat dan keraguan bagi banyak pihak sampai saat ini adalah kalangan BUMN berpendapat bahwa pada saat kekayaan negara telah dipisahkan dari APBN, kekayaan tersebut bukan lagi menjadi kekayaan negara melainkan telah menjadi kekayaan perseroan. Di pihak lain, kalangan penegak hukum masih melihat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan ke dalam suatu perseroan tetap merupakan kekayaan negara, yang didasarkan pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa keuangan negara termasuk juga uang yang dipisahkan di BUMN,46 sehingga para penegak hukum berpandangan memiliki wewenang untuk memeriksa dan menindak terkait jika terjadi kerugian di dalam BUMN.

Di dalam lingkungan BUMN, seseorang baru dapat dikatakan melakukan Tindak Pidana Korupsi menurut undang-undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga (saham) dengan cara menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Namun dalam prakteknya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan kepada tindakan-tindakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara. Sehingga dalam hal

46

Ita Kurniasih, Suatu Tinjauan Yuridis: Kerugian Negara vs Kerugian Pesero, PPH Newsletter, No.66, September 2006, hal 2, seperti dikutip oleh Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah (Bandung: Alumni, 2009), hal 76.


(54)

ini dapat dikatakan telah terjadi kesalahan penerapan dan kekeliruan dalam pemahaman mengenai keuangan negara.47

C. UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG

KEUANGAN NEGARA

Pengertian keuangan negara menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pada Pasal 1 angka (1) menyatakan bahwa,

“keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

tersebut.” kemudian di dalam pasal 2 Undang-Undang Keuangan Negara tersebut menyatakan bahwa:

“keuangan negara sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka (1), meliputi :

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan peminjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran negara; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah;

g. Kekayaan negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

47


(1)

Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir Atas Kredit Macet Nasabah, Bandung: Alumni, 2009.

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi: Pencegahan dan Pemberantasannya, edisi Revisi, Jakarta: Sapdodadi, 2004.

M.Subagio, Hukum Keuangan RI, Jakarta: Rajawali Press, 1991.

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi, Jakarta: Referensi, 2012.

---, Tipologi Kejahatan Perbankan Dari Perspektif Hukum Pidana, Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2012.

---, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, Jakarta: Timpani, 2010.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineke Cipta, 2008.

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010.

Muhammad Topan, Kejahtan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, Bandung: Nusa Media, 2009.


(2)

Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Usaha di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas: Teori dan Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta; UI Press, 2007.

Suradi, Korupsi: Dalam Sektor Pemerintah dan Swasta. Yogyakarta: Gaya Media, 2006.

T. Suhaimi, Pertanggungjawaban Pidana Direksi, Bandung: Books Terrace & Library, 2010.

B. SKRIPSI/TESIS/MAKALAH/JURNAL

Kristanto, Analisis Pemahaman Konsep Business Judgement Rule Menurut Hukum Indonesia Terhadap Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010.

Elly Syafitri Harahap, Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2014

Prof. Erman Rajagukguk, Makalah disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 26 Juli 2006.


(3)

Muh. Arief Effendi, Perkembangan Profesi Internal Audit Pada Abad ke-21, makalah disampaikan pada kuliah umum Universitas Internasional Batam, Senin 11 Desember 2006.

C. PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN PENGADILAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 mengenai pengujian terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 mengenai pengujian terhadap Pasal 6 huruf (a) dan penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).


(4)

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2010 Tentang Perubahan Struktur Saham Kepemilikan Negara Melalui Penerbitan dan Penjualan Saham Baru Pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Bank Mandiri Tbk.

Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-01/MBU/2011 Tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Rugi Keuangan Negara Terhadap Bendahara.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemanggilan dan Permintaan Keterangan Oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pemantauan Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan.


(5)

Fatwah Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 Tentang Pengertian Keuangan Negara pada Undang-Undang Keuangan Negara dan Kedudukannya dalam Badan Usaha Milik Negara.

D. WEBSITE

“Best Practice Audit Internal dari Sektor BUMN”, http://auditorinternal.com/2013/02/27/best-practice-audit-internal-dari-sektor-bumn/ (akses 26 Maret 2015, 23:01 WIB). http://www.ka-lawoffices.com/articles/100.html

Setyo Wibowo,”mengintip konsep standar pengawasan intern BUMN http://auditorinternal.com/2010/05/03/mengintip-konsep-standar-pengawasan-intern-bumn/ (akses 26 Maret 2015, 23:11 WIB)

“Business Judgement Rule”, http://www.ka-lawoffices.com/articles/100.html, (akses 06 April 2015, 11:47 WIB).

“pemegang saham minoritas dilindungi melalui gugatan derivatif”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53a1736964316/pemeg ang-saham-minoritas-dilindungi-melalui-gugatan-derivatif (diakses 06 April 2015, 20:53 WIB).


(6)

“Sejarah BNI „46”, http://www.bni.co.id/id -id/tentangkami/sejarah.aspx (diakses pada 08 April 2015, 22:21 WIB).

“Sejarah BRI”, http://www.bri.co.id/articles/9, (diakses pada 08 April 2015, 20:48 WIB).

“koruptor, berhati-hatilah dalam membela diri, telaah kasus syamsul arifin” http://regional.kompasiana.com/2012/05/05/koruptor-hati-

hatilah-kalau-membela-diri-telaah-kasus-syamsul-arifin-460748.html (diakses pada 13 April 2015, 09:50 WIB)

Ray Pratama Siadari, “Kerugian Negara”,

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/kerugian-negara.html (diakses pada 13 mei 2015, 10:35 WIB)