Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan BUMN

(1)

TESIS

Oleh:

SITILISA EVRIATY Br TARIGAN 087005090/Hk

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS FUNGSI KEJAKSAAN DALAM TINDAK

PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BUMN

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SITILISA EVRIATY Br TARIGAN 087005090/Hk

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(HALAMAN PENGESAHAN)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS FUNGSI KEJAKSAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI BUMN

Nama Mahasiswa : SITILISA EVRIATY Br TARIGAN Nomor Pokok : 087005090

Program Studi : Ilmu Hukum

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua

Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan Fakultas Hukum


(4)

Telah diuji pada

Tanggal, 03 September 2010

PANITIA PENGUJI

Ketua

: Prof. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

: 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum

2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

4. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Perkembangan tindak pidana korupsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan sampai pada lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupdi Di Lingkungan BUMN”. Selain tugas dan wewenang sebagai penuntut umum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juga memberi wewenang kepada Kejaksaan sebagai penyelidik atas tindak pidana tertentu. Tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi.

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimanakah peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN? Kedua, Bagaimana proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di lingkungan BUMN? Ketiga, Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN?

Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh bahwa peranan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d UU Kejaksaan yakni dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, maka lembaga Kejaksaan berwenang sebagai penuntut umum sekaligus sebagai penyelidik. Proses penanganannya dapat ditempuh melalui kerja sama dengan pihak lain yang terkait sesuai dengan amanah Pasal 30 UU Kejaksaan. Dalam proses penanganannya, banyak hambatan yang dipengaruhi oleh faktor yuridis, faktor budaya hukum, dan faktor masyarakat.

Saran dalam penelitian ini perlu ditingkatkan koordinasi antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, perlu sosialisasi kepada masyarakat mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyelidik, perlu pula sumber daya aparatur penegak hukum di bidang informasi dan teknologi mengingat pelaku tindak pidana korupsi saat ini sudah mempergunakan alat-alat teknologi canggih, guna mempermudah penegak hukum dalam hal pembuktian alat-alat bukti.


(6)

ABSTRACT

The development of corruption criminal act keeps increasing years by years that it gets into the environment of State-Owned Enterprise. This study entitled “Juridical Analysis of the Function of Attorney Office in Handling Corruption Criminal Act in the State-Owned Enterprise Environment”. Besides providing the duty and authority as public prosecutor, Law No 16/2004 on Attorney Office also provide public prosecutor with authority as an investigator for a certain criminal act. What is meant by the certain criminal act is corruption criminal act.

This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision.

The purpose of this study was to look at, first, the role of public prosecutor in handling the corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment; second, how public prosecutor implement the process of corruption criminal act investigation in the State-Owned Enterprise Environment; and third, what constraints faced by public prosecutor in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment.

The result of this study showed that the role of public prosecutors in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment was done according to their authority as regulated in Article 30 paragraph 1 (d) of the law on public prosecution related to the handling of corruption criminal act, therefore, public prosecutor are public prosecutors as well as investigator. The handling process can be done through the cooperation with related parties which is in accordance with the regulation stated in Article 30 of law on public prosecution. In the handling process existed many constraints which are influenced by juridical, legal culture, and community factors.

It is suggested that coordination between law upholders and coordination between the law upholders and related institution needs to be improved, the authority of public prosecutor as an investigator needs to be socialized to the community members. To facilitate them to prove the evidence, the knowledge and skill of the law upholders on the sectors of information and technology also need to be improved since, nowadays, the actors of corruption criminal act are using the sophisticated technology.


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian yaitu, ”Unsur Itikad Baik Dalam Pengelolaan Perseroan Oleh Direksi”. Penelitian ini telah dinyatakan lulus dalam yudisium dengan baik dan tepat pada waktunya pada tanggal 18 Agustus 2010.

Sehubungan dengan itu, dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc(CTM). Sp.A(K);

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung

Sitepu, SH, M.Hum;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH,

sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi mulai sejak awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau tidak pernah lelah dan bosan memberikan petunjuk, arahan, bimbingan, dan semangat yang luar biasa sehingga studi ini dapat selesai tepat waktu dengan nilai yang sangat memuaskan;

4. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah

banyak berupaya memberikan koreksi sehingga menjadi sempurna. Selain itu juga telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis selama penelitian berlangsung;

5. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II juga

telah memberikan koreksi untuk perbaikan dan mengarahkan penulis sampai kepada selesainya penelitian ini;


(8)

6. Seluruh Staf Pengajar/Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, kepada Bapak Raja Bongsu Hutagalung, SE, M.Sc, Bapak Drs. Syafrin, MA, dan kawan-kawan yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuannya;

7. Seluruh Staf/Pegawai Adminstrasi yang telah melancarkan segala urusan yang

berkenaan dengan administrasi dan informasi selama studi berlangsung dan juga pada saat dilakukan penelitian ini;

8. Yang terhormat, Papa H. Sati Lubis, dan Mama Hj. Chairani Nasution, setiap

waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan berdo,a agar penulis dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya; kepada kedua Mertua Bapak Ir. H. Budi Harjanto, MT, Ibu Hj. Anniek Soedarni, selalu memberikan semangat dan mendukung untuk menyelesaikan studi ini;

9. Istriku yang tercinta Hj. Lila Nattaya Narirat N, dengan pengorbanan dan

pengertiannya selalu hadir di sanubariku mendampingi dalam keadaan apapun tidak pernah menunjukkan keluh kesahnya walau kadang-kadang ditinggal demi untuk menyelesaikan studi ini;

10.Anak kon hi do hamoraon di au, si nuan tunasku, itulah anak-anakku, si buah

hatiku, penawar lelah dan penyejuk gerahku: Pelangi Loemanggo Nur’azizah Lubis, Ahmad Gading Sati Alfadjri Lubis, Lazuardi Ghorga Alfaaris Lubis, dan Lembayung Ghando Nur Azzahra Lubis, demi merekalah penulis semakin bertambah semangat yang luar biasa menyelesaikan studi ini. Dengan melihat Amangnya yang tidak pernah malas-malas belajar dan terus belajar, hendaknya menjadi dorongan memunculkan semangat bagi mereka dan termotivasi untuk maju menjadi anak yang berprestasi terbaik dan bertaqwa kepada Allah SWT;

11.Abangku H. Sutan Mulia Lubis, dan adik-adikku: H. Indra Lubis, MBA, Hj.

Rosnita Lubis, S.Sos, Jingga Natthasa Narita N, serta saudara-saudara family dan handai toulan yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang penulis banggakan dalam keluarga besar kita.


(9)

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dalam menambah dan memperkaya wawasan Ilmu Pengetahuan. Khusus kepada penulis, mudah-mudahan dapat memadukan dan mengimplementasikan ilmu serta mampu menjawab tantangan atas perkembangan hukum yang ada dalam masyarakat dan menjadikan “Hukum Sebagai Panglima” khususnya hukum Perseroan.

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya. Semoga penulis lebih giat lagi menambah wawasan ilmu pengetahuan di masa-masa yang akan datang. Amin ya rabbal’alamin.

Medan, 18 Agustus 2010 Penulis

Chandra Lubis


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : CHANDRA LUBIS

Tempat/Tanggal Lahir : Tamiang/30 Mei 1969.

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kapt. Pattimura No. 455 Medan

Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Negeri 4 Kotanopan (Lulus Tahun

1982);

- Sekolah Menengah Pertama Negeri I Kotanopan

(Lulus Tahun 1985);

- Sekolah Menengah Atas Negeri IV Medan (Lulus

Tahun 1988);

- S-1 Fakultas Pertanian USU Jurusan Budi Daya

Pertanian Program Studi Perkebunan (Lulus Tahun 1995);

- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan (Lulus Tahun 2010).


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian... 14

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional... 15

1. Kerangka Teori... 15

2. Landasan Konsepsional... 28

G. Metode Penelitian ... 32

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 32

2. Sumber Data... 33

3. Teknik Pengumpulan Data... 33

4. Analisis Data ... 34

BAB II : PERANAN JAKSA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA ... 35

A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kejaksaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ... 35

B. Tindak Pidana Korupsi... 44

1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi... 44

2. Subjek Delik Korupsi... 49


(12)

C. Pengertian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara Di

Lingkungan Badan Usaha Milik Negara... 58

1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ... 58

2. Keuangan Negara ... 65

3. Kerugian Keuangan Negara ... 70

4. Beberapa Hal Yang Dapat Merugikan Keuangan Negara ... 72

D. Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada BUMN... 74

E. Peranan Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara... 79

BAB III : PROSES PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KEJAKSAAN DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA ... 90

A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara ... 90

B. Proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Di PT. Bank Mandiri... 96

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH JAKSA DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA... 124

A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi Kejaksaan Sebagai Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara ... 124

B. Solusi Untuk Mengatasi Faktor Penghambat Dalam Menjalankan Fungsi Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara... 138

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 142

A. Kesimpulan ... 142

B. Saran... 143


(13)

ABSTRAK

Perkembangan tindak pidana korupsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan sampai pada lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupdi Di Lingkungan BUMN”. Selain tugas dan wewenang sebagai penuntut umum, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan juga memberi wewenang kepada Kejaksaan sebagai penyelidik atas tindak pidana tertentu. Tindak pidana tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi.

Metode yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau penelitian hukum normatif. Yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Pertama, bagaimanakah peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN? Kedua, Bagaimana proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di lingkungan BUMN? Ketiga, Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN?

Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh bahwa peranan Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d UU Kejaksaan yakni dalam hal penanganan tindak pidana korupsi, maka lembaga Kejaksaan berwenang sebagai penuntut umum sekaligus sebagai penyelidik. Proses penanganannya dapat ditempuh melalui kerja sama dengan pihak lain yang terkait sesuai dengan amanah Pasal 30 UU Kejaksaan. Dalam proses penanganannya, banyak hambatan yang dipengaruhi oleh faktor yuridis, faktor budaya hukum, dan faktor masyarakat.

Saran dalam penelitian ini perlu ditingkatkan koordinasi antara sesama penegak hukum dan instansi yang terkait, perlu sosialisasi kepada masyarakat mengenai kewenangan Kejaksaan sebagai penyelidik, perlu pula sumber daya aparatur penegak hukum di bidang informasi dan teknologi mengingat pelaku tindak pidana korupsi saat ini sudah mempergunakan alat-alat teknologi canggih, guna mempermudah penegak hukum dalam hal pembuktian alat-alat bukti.


(14)

ABSTRACT

The development of corruption criminal act keeps increasing years by years that it gets into the environment of State-Owned Enterprise. This study entitled “Juridical Analysis of the Function of Attorney Office in Handling Corruption Criminal Act in the State-Owned Enterprise Environment”. Besides providing the duty and authority as public prosecutor, Law No 16/2004 on Attorney Office also provide public prosecutor with authority as an investigator for a certain criminal act. What is meant by the certain criminal act is corruption criminal act.

This study employed the normative juridical method or normative legal study, a study referring to the legal norms and principles stated in the regulation of legislation and court decision.

The purpose of this study was to look at, first, the role of public prosecutor in handling the corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment; second, how public prosecutor implement the process of corruption criminal act investigation in the State-Owned Enterprise Environment; and third, what constraints faced by public prosecutor in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment.

The result of this study showed that the role of public prosecutors in handling corruption criminal act in the State-Owned Enterprise Environment was done according to their authority as regulated in Article 30 paragraph 1 (d) of the law on public prosecution related to the handling of corruption criminal act, therefore, public prosecutor are public prosecutors as well as investigator. The handling process can be done through the cooperation with related parties which is in accordance with the regulation stated in Article 30 of law on public prosecution. In the handling process existed many constraints which are influenced by juridical, legal culture, and community factors.

It is suggested that coordination between law upholders and coordination between the law upholders and related institution needs to be improved, the authority of public prosecutor as an investigator needs to be socialized to the community members. To facilitate them to prove the evidence, the knowledge and skill of the law upholders on the sectors of information and technology also need to be improved since, nowadays, the actors of corruption criminal act are using the sophisticated technology.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Korupsi merupakan tindak pidana yang memiliki dimensi amat luas, perbuatan korupsi merupakan salah satu penyebab kehancuran strata sosial masyarakat dan hajat hidup orang banyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia. Korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini nampak semakin terpola dan sistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.1

Kenyataan pada praktiknya, penjatuhan hukuman yang sangat ringan dibanding dengan ancaman pidananya, menimbulkan anggapan bahwa meningkatnya kejahatan adalah disebabkan karena para Hakim memberikan hukuman ringan atas pelaku koruptor, sementara yang seyogianya tindakan yang diambil pengadilan adalah merupakan ultimum remedium terhadap pelanggar/pelaku kejahatan khususnya korupsi.

1

Marwan Effendy., ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.


(16)

Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat

menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara.2

Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.3

Orde Baru diharapkan akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya justru berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam bentuk ruang dan lingkup yang semakin luas yang mengakibatkan kondisi negara dan bangsa Indonesia jatuh dalam krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan, yang pada akhirnya dengan dipelopori oleh demonstrasi mahasiswa yang murni dan bersifat kolektif, Orde Baru terpaksa mundur dari kekuasaan dan diganti oleh Orde Reformasi.

Pada orde reformasi, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi mendapat perhatian dan tanggapan yang serius dan positif dari berbagai kalangan terutama dari

2

Abyadi Siregar., ”Fenomena Korupsi di Indonesia”, Harian Medan Bisnis, tanggal 3 Desember 2009, hal. 7.

3


(17)

kalangan Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kalangan-kalangan lainnya, walaupun dalam kenyataannya upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi belum mencapai hasil yang maksimal karena tidak didukung oleh kebijakan pemerintah yang transparan dan konsisten dalam rangka pemberantasan korupsi itu sendiri.4

Jumlah dan ragam negara yang menderita skandal korupsi dalam tahun belakangan ini telah menutupi kenyataan bahwa korupsi itu berbeda bentuk, luas serta akibat yang ditimbulkannya. Di negara miskin, korupsi mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Di negara maju korupsi mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat menggerogoti keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya, sebagaimana juga terjadi di negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Rusia dan juga Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar.5

Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia mulai mendapat perhatian yang serius pasca bergulirnya Pemerintahan Soeharto yaitu dengan keluarnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang

4

Ibid.

5

Kimberly Ann Elliott., Korupsi dan Ekonomi Dunia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 1-2.


(18)

Bersih dan Bebas Korupsi dan Nepotisme. Dalam Pasal 4 Tap MPR Nomor XI/MPR/1998, menyebutkan: 6

“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan memperhatikan prinsip-prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.

Dengan keluarnya TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, selanjutnya ditindaklanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam salah satu diktum undang-undang tersebut disebutkan bahwa:7

“Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme antar penyelenggaraan negara yang melainkan juga antara penyelenggara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya”.

Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi juga dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, tepatnya dalam Bab IV mengenai arah kebijakan dikemukakan juga mengenai upaya penegakan hukum dan proses penyelesaian kasus-kasus korupsi melalui pengadilan sebagaimana disebutkan dalam arah kebijakan di bidang hukum yang menyebutkan bahwa, “Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah,

6

TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 4.

7

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999, Diktum huruf d.


(19)

murah dan terbuka serta bebas korupsi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran”.8

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan salah satu tindak pidana korupsi juga terjadi di dalam Badan Usaha Milik Negara. Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekoniman nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dan mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.9

Negara berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa alasan untuk mengadakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), di antaranya adalah untuk menyeimbangkan atau menggantikan swasta yang lemah. Maksudnya adalah untuk menghasilkan rasio investasi, alih teknologi, meningkatkan sektor kesejahteraan, dan memproduksi barang-barang dengan harta terjangkau. Akan tetapi masih banyak Badan Usaha Milik Negara yang secara ekonomi tidak berjalan efisien. Kondisi seperti ini menyebabkan besar kemungkinannya bahwa Badan Usaha Milik Negara akan menjadi penyebab persoalan besarnya beban yang ditanggung langsung oleh

negara dalam upaya mempertahankan pengelolaannya.10 Oleh sebab itu, untuk

mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara, pengurusan dan pengawasannya

8

TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV Arah Kebijakan Bidang Hukum Nomor 8.

9

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), LN RI Tahun 2003 Nomor 70, Konsideran butir a dan b.

10

Bismar Nasution., “Privatisasi Menjual atau Menyehatkan”, Jurnal Hukum Program


(20)

harus dilakukan secara profesional demikian bunyai konsideran Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2003.11

Fenomena akhir-akhir ini dapat dilihat dari munculnya berbagai kasus dan peristiwa terkait dengan BUMN khususnya mengenai pengurusan dan pengelolaan BUMN oleh Direksi yang diduga banyak melakukan penyimpangan. Salah satu contoh kasus yaitu kasus korupsi yang menimpa Direktur Utama Bank Mandiri dkk yang diajukan ke peradilan tindak pidana korupsi dalam kasus kredit macet, walaupun akirnya divonis bebas oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Fenomena yang terjadi bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik Polri atau Kejaksaan selalu merujuk pada job deskription dan tata kerja organisasi yang dibuat oleh internal perusahaan dalam menentukan status seseorang manajemen atau pekerjaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi tersangka atau tidak.

Job deskription dan Tata Kerja Organisasi (TKO) seakan-akan merupakan kaidah

hukum normatif yang mengikat secara umum dan bersifat memaksa. Jika direksi atau manejemen atau pekerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan pelanggaran undang-undang, Anggaran Dasar, pekerja tidak melakukan pekerjaan sesuai job deskription semestinya harus dilihat terlebih dahulu dari sisi peraturan perundang-undangan tersebut kemudian menyimpulkan bahwa perbuatan dimaksud sebagai suatu perbuatan yang melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau tidak. Prosedur pemeriksaan ini memenuhi syarat sesuai

11


(21)

peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku khusus terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Perkembangan tindak pidana korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan hak ekonomi masyarakat. Tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. Selanjutnya terbukti bahwa ada keterkaitan antara korupsi dan bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi (terorisme, perdagangan orang, penyelundupan migran gelap dan lain-lain) dan kejahatan ekonomi (tindak pidana pencucian uang). Sehingga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang sangat merugikan negara.

Tindak pidana korupsi dalam jumlah besar berpotensi merugikan keuangan negara sehingga dapat mengganggu sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik suatu negara. Saat ini korupsi sudah bersifat transnasional. Contohnya adalah apa yang dinamakan foreign bribery, yaitu penyuapan oleh perusahaan-perusahaan multinasional kepada pejabat-pejabat negara berkembang.12

Korupsi juga dapat diindikasikan menimbulkan bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan

12


(22)

sandang pangan rakyat, keagamaan, dan fungsi-fungsi pelayanan sosial lainnya. Dalam penyuapan di dunia perdagangan, baik yang bersifat domestik maupun transnasional, korupsi jelas-jelas telah merusak mental pejabat. Demi mengejar kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum negara. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkap karena para pelakunya terkait dengan wewenang atau kekuasaannya yang dimiliki. Biasanya dilakukan lebih dari satu orang dan terorganisasi. Oleh karena itu, kejahatan ini sering disebut kejahatan kerah putih.

Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap. Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain.

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi dimensional merupakan ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Pemberantasan korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang


(23)

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat repressif.13

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. 14 Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Di dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para nara pidana.15

13

Pada orde lama korupsi masih terjadi meski sejak tahun 1957 telah ada aturan yang cukup jelas yaitu Peraturan Penguasa Militer Nomor 06 Tahun 1957, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960. Berganti ke orde baru, keadaan semakin buruk meskipun sudah dilakukan perubahan pada perangkat hukum tindak pidana korupsi. Lalu dibuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sangat keras tetapi seolah tidak berdaya menghambat tindak pidana korupsi. Hingga pada orde reformasi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang juga telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hampir tidak membawa perubahan apa-apa. Bila kita cermati dari awal sampai akhir tujuan khusus yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

14

L.M. Friedman, The Legal System; A Social Science Persfective, (New York, Russel Sage Foundation, 1975), hal. 11.

15

Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hal. 5.


(24)

Dalam penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan juga sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi.16

Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan Peraturan Perundang-Undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak pidana korupsi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya jabatan.

Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam hal melaporkannya. Diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksudnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang boleh tapi tidak berani, ada yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya kuasa tapi tidak mau, sebaliknya ada

16

Hendarman Supandji, “Membangun Budaya Anti Korupsi Sebagai Bagian Dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Orasi Penganugerahan Gelar Doktor HC di hadapan forum terhormat, Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro, Semarang, Tanggal 18 Juli 2009, hal. 7.


(25)

pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi tidak mau untuk melapor pada yang berwajib.17

Tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus dalam penangananya diperlukan suatu kerja sama dengan pihak lain, untuk dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa. Jaksa sebagai penyidik merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi. Maka untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama dengan fihak lain yang terkait. Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan hubungan hukum, karena dalam melakukan kerja sama dalam suatu aturan atau hukum yang sifatnya pasti. Hubungan hukum dengan pihak lain itu dapat berupa perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintahan. Hubungan hukum dengan perseorangan misalnya dengan seseorang saksi, seorang tersangka, seorang penasehat hukum. Hubungan hukum dengan badan hukum misalnya dengan Bank dimana tersangka melakukan tindakan korupsi. Sedangkan hubungan hukum dengan instansi pemerintahan lain dapat dengan sesama penegak hukum yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun Instansi lain yang bukan penegak hukum yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Bank, Kantor Pos dan lain-lain.

Untuk melaksanakan tugas pemberantasan korupsi maka Kejaksaan tidak bisa bekerja sendiri dengan mengandalkan kemampuan aparat kejaksaan tanpa kerja sama dengan instansi lain. Menurut peraturan yang berlaku, penyidik tindak pidana korupsi adalah Jaksa dan Polisi, sehingga dibutuhkan kerja sama antara kedua penegak

17


(26)

hukum ini yang harus saling mendukung dan saling membantu untuk berhasilnya penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam kerja sama sering menjadi kelemahan dalam pemberantasan tindak pidana.

MA. Rachman, menyatakan bahwa:18

“Jajaran Kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi secara represif di seluruh Indonesia selama ini telah berusaha secara maksimal untuk menegakkan hukum dengan menuntut para pelaku tindak pidana korupsi ke Pengadilan. Dari data kuantitatif penanganan kasus-kasus korupsi selama kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, sejak tahun 1999 s/d 2009 jumlah perkara korupsi yang dilimpahkan ke Pengadilan pada tahun 2008 mencapai angka tertinggi, yaitu 539 perkara, dan sampai awal April 2009 mencapai 574 perkara. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku korupsi sampai saat ini masih terus berlangsung dan terus diintensifkan sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan dari berbagai kalangan baik melalui forum politik (MPR/DPR/DPRD) forum akademis di berbagai perguruan tinggi maupun dari kalangan pemerhati hukum dan LSM”.

Sehubungan dengan pemaparan di atas, dalam melakukan penelitian ini diasumsikan bahwa:

1. Mengenai kewenangan penyidik tindak pidana korupsi di dalamUndang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 dapat terjadi perebutan kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan seperti did alam UU Nomor 3 Tahun 1971 yang menyebut secara tegas bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah Kejaksaan.

2. Di lingkungan BUMN kerap ditemukan berbagai persoalan dan pelanggaran

khususnya dalam tindak pidana korupsi yang antara lain dilatar belakangi oleh penyalahgunaan kewenanganyang mengakibatkan kerugian bagi perseroan.

18

MA. Rachman., “Hambatan, Tantangan dan Kendala Pemberantasan Korupsi di Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam seminar “Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang, 6-7 Januari 2010, hal. 7.


(27)

3. Dalam upaya untuk mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi di Kejaksaan maka upaya yang ditempuh oleh Kejaksaan sebagai tim penyidik maupun tim Penuntut Umum tindak pidana korupsi lebih ditingkatkan dengan cara sering diadakan pelatihan dan pendidikan di bidang tindak pidana khusus.

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Fungsi Kejaksaan dalam Tindak Pidana Korupsi di Bank Mandiri”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana korupsi di

lingkungan BUMN?

2. Bagaimana proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di

lingkungan BUMN?

3. Bagaimana hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa dalam penanganan

tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan memahami peranan jaksa dalam penanganan tindak pidana


(28)

2. Untuk mengkaji dan memahami proses pemeriksaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan di lingkungan BUMN.

3. Untuk mengkaji dan memahami hambatan-hambatan yang dihadapi oleh jaksa

dalam penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini bermanfaat sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum mengenai penanganan tindak pidana korupsi serta seluruh proses mekanismenya. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan dalam hukum tentang tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Secara Praktis penelitian ini bermanfaat sebagai masukan bagi aparat penegak

hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat), sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam praktek penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia mempunyai persepsi yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa judul penelitian tentang “Analisis


(29)

Yuridis Fungsi Kejaksaan dalam Tindak Pidana Korupsi di Bank Mandiri” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana korupsi di lingkungan Bank tapi jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat).19 Franz Magnis Suseno,20 mengatakan kekuasaan negara antara lain adalah kejaksaan harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.

Norma di atas bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, hukum merupakan urat nadi aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

19

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

20

Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.


(30)

Hukum, sebagai suatu sistem,21 dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik.

Secara yuridis, penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.22

Dalam bahasa Belanda penyidikan sama dengan apsporing, namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun

21

L.M. Friedman., dalam H. Ridwan Syahrani., Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169. Hukum merupakan suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif dimana hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, sementara budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya. sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Atau sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

22

M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hal. 109.


(31)

mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.23

Sedangkan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan, terdiri dari pejabat seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 butir (1), kemudian dipertegas dan dirincikan lagi dalam Pasal 6 KUHAP. Akan tetapi di samping apa yang diatur dalam Pasal 1 butir 1, Pasal 6, juga terdapat pada Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik. Sedangkan untuk tindak pidana korupsi yang termasuk tindak pidana khusus (lex specialis) maka selain penyidik Polri yang diatur dalam KUHAP, ditambah dengan jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Untuk mengetahui siapa yang berhak menjadi penyidik ditinjau dari instansi maupun kepangkatan yang diatur dalam Pasal 6 KUHAP, antara lain:24

1. Pejabat Penyidik Polri.

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan, hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2), namun KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6 tersebut. Syarat kepangkatan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP), untuk itu Pasal 6 telah

23

Andi Hamzah., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.

24

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209 Pasal 6.


(32)

memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan, pejabat penyidik disesuaikan dengan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri.

Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat penyidik adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang ditetapkan padal tanggal 1 Agustus 1983, syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam BAB II, antara lain:

a. Pejabat penyidik penuh

Pejabat polisi yang bisa diangkat sebagai pejabat penyidik penuh harus memenuhi sayarat-syarat kepangkatan sebagai berikut:

1) Sekurang-kurangnya berpangkat pembantu Letnan Dua Polisi;

2) Berpangkat Bintara di bawah pembantu Letnan dua apabila dalam suatu

sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua; dan

3) Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. b. Pejabat penyidik pembantu

Syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai penyidik pembantu yang diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983 antara lain:

1) Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

2) Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat

sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a); dan

3) Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan

atau pimpinan kesatuan masing-masing. 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil


(33)

“Penyidik Pegawai Negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu PNS yang diberi fungsi dan wewenang sebagai penyidik, pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang bagi penyidik Pegawai Negeri Sipil disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya dan dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”.25

Sedangkan untuk penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diangkat dan diberhentikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Desember 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tndak Pidana Korupsi (KPK).

Bentuk-bentuk hubungan koordinasi fungsional dalam penyidikan yang sudah

diatur dalam KUHAP adalah:26

1. Pemberitahuan dimulainya penyidikan.

2. Perpanjangan penahanan.

3. Pemberitahuan penghentian penyidikan.

4. Penyerahan berkas perkara.

Sedangkan untuk koordinasi instansional, antara lain:27

1. Rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan 2. Penataran gabungan , dan lain-lain.

25

M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Op. cit, hal. 115. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kepolisian sebagai penyidik pembantu menurut Yahya Harahap haruslah mereka yang mempunyai keahlian dibidang tertentu. Tanpa syaraat tersebut tidak ada alasan untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu.

26

Ibid.

27


(34)

Proses peradilan pidana adalah merupakan rangkaian kegiatan yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka ia merupakan suatu yang utuh yang terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (hakim) dan lembaga pemasyarakatan. Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan.

Pada Pasal 1 butir 8 KUHAP telah menggariskan pembagian tugas dan wewenang masing-masing instansi aparat penegak hukum, polisi berkedudukan sebagai instansi penyidik dan kejaksaan berkedudukan sebagai aparat penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan, sedang hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang untuk mengadili.

Akan tetapi sekalipun KUHAP menggariskan pembagian wewenang secara instansional, KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititikberatkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbinanya suatu sistem aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling mengawasi dalam “sistem ceking” antara sesama mereka. Malahan sistem ini bukan hanya meliputi antar instansi pejabat penegak hukum polisi, jasa atau hakim saja tetapi sampai pejabat lembaga pemasyarakatan, penasihat hukum dan keluarga tersangka atau terdakwa.


(35)

Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pelaksanaan penegakan hukum maka KUHAP mengatur suatu sistem pengawasan berbentuk sistem “ceking” yang merupakan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini berarti masing-masing instansi sama berdiri sejajar dan setaraf, antar instansi yang satu dengan instansi yang lain tidak berada di atas atau di bawah instansi lainnya. Yang ada ialah koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi. Masing-masing instasni saling menepati ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan jukum. Konsekuensinya instansi yang bersangkutan yang akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan tersebut dalam sidang praperadilan.

Pada hakikatnya peranan koordinasi merupakan upaya pengaturan pembentukan kesatuan persepsi. Upaya koordinasi sesama aparat penegak hukum dilaksanakan dengan semboyan “saling asah, asih, dan asuh”. Wadah koordinasi para aparat penegak hukum antara lain di pusat ada MAKEHJAPOL (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian). Di daerah RAKORGAKKUM (Rapat Koordinasi Penegak Hukum) namun tampaknya belum memberikan manfaat yang berarti karena koordinasi dimaksud belum efektif.28

28

http://www.theceli.com/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=178, diakses terakhir tanggal 1 Agustus 2010.


(36)

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu menanggulangi kejahatan dan pemasyarakatan kembali para nara pidana. Bekerjanya masing-masing sub sistem tersebut harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Salah satu sub sistem penegak hukum dari peradilan pidana adalah lembaga Kejaksaan.29

Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Oleh karena itu, keberadaan lembaga Kejaksaan salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan peranannya yang strategis di dalam suatu negara hukum karena lembaga Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan,

29


(37)

sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.30

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan UU Kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi.31

Lahirnya beberapa peraturan di luar KUH Pidana berupa hukum positif,32

adalah konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat di dalam lapangan hukum pidana, namun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terpadu dan dijadikan

30

Ibid., hal. 2.

31

Evi Hartanti., Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 32.

32

Lili Rasjidi., dan Ira Thania Rasjidi., Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 55. Jhon Austin dengan aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a

command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu

perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.


(38)

landasan di atas mana dibangun tertib hukum.33 Inilah yang lazim dikategorikan sebagai teori sistem untuk menghindari adanya pandangan pragmatis terhadap undang-undang dan memandang dalam konteks holistik yang futuristik. Teori sistem ini lebih menekankan prinsip dari hukum itu sendiri yakni asas hukum.34 Apabila asas hukum tersebut dikaitkan dalam bidang hukum maka dapat diperoleh suatu makna baru yaitu asas hukum merupakan dasar atau pemikiran yang melandasi

pembentukan hukum positif (law making).35 Dengan perkataan lain asas hukum

merupakan suatu petunjuk yang masih bersifat umum dan tidak bersifat konkrit

seperti norma hukum yang tertulis dalam hukum positif.36 Pembentukan hukum

dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.37

33

Mariam Darus Badrulzaman., Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung: Alumni, 1996), hal. 15. Lihat juga Mahadi., Falsafah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hal. 119. Mahadi menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 1016. Istilah asas merupakan terjemahan bahasa latin “principium”, bahasa Inggris, ”Principle” dan bahasa Belanda ”beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.

35

Proses Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Pembangunan Nasional (Propenas) baik pada RPJP maupun RPJM maka pembentukan undang-undang didasarkan pada beberapa prinsip-prinsip yang mendasar. Lihat juga, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

36

Sudikno Mertokusumo., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 32. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dalam hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengedepanan hukum positif dalam suatu masyarakat.

37

Satjipto Rahardjo., Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 14. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum.


(39)

Karakter asas hukum yang umum, abstrak itu memuat cita-cita, harapan (das

sollen) dan bukan aturan yang akan diberlakukan secara langsung kepada subjek

hukum. Asas hukum bukanlah suatu perintah hukum yang konkrit yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa konkrit dan tidak pula memiliki sanksi yang tegas. Hal-hal tersebut hanya ada dalam norma hukum yng konkrit seperti peraturan yang sudah dituangkan dalam wujud pasal-pasal perundang-undangan. Dalam peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita darin pembentuknya. Asas hukum diperoleh dari proses analitis (kontruksi yuridis) yaitu dengan menyaring sifat-sifat khusus yang melekat pada aturan-aturan yang konkrit, untuk memperoleh sifat-sifatnya yang abstrak.38

Di bidang hukum sejak lebih kurang 200 tahun, negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum menghadapi pertanyaan yang spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan yang demikian itu sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum professional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan, tetapi jangan ditanyakan kepada mereka tentang urusan moral atau moralitas. Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk berkomentar bahwa sifat kesatrian,

38

Mariam Darus Badrulzaman., Suatu Pemikiran Mengenai Beberapa Asas Hukum yang

Perlu Diiperhatikan dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Kertas Kerja dalam Simposium


(40)

professional oblesse, menolong orang yang susah semakin luntur. Tipe bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak bayaran.39

Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang di dalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang di dalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkan pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasan yang tertinggi.40

Bismar Nasution melihat bahwa untuk memprediksi efektivitas suatu kaedah hukum yang terdapat di dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum yang

39

Satjipto Raharjo., “Negara Hukum dan Deregulasi Moral”, Kompas, Jakarta, 13 Agustus, 1997, hal. 7.

40

J. Austin., dalam M. Muslehuddin., Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991). hal. 28.


(41)

rasional, karena pada sistem hukum rasional yang memberikan panduan adalah hukum itu sendiri bukan sistem hukum yang kharismatik yang disebut sebagai law

prophet. Sistem hukum rasional dielaborasi melalui sistem keadilan yang secara

profesional disusun oleh individu-individu yang mendapatkan pendidikan hukm, cara demikian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara black letter rules

atau penafsiran legalistik.41 Kaedah hukum tersebut ada yang berwujud sebagai

peraturan-peraturan tertulis, keputusan pengadilan maupun

keputusan-keputusan lembaga-lembaga kemasyarakatan.42 Pemikiran tentang sistem hukum

rasional yang dikemukakan oleh Bismar Nasution ini pada dasarnya dielaborasi dari pemikiran Max Weber yang terkenal dengan teori Ideal Typenya. Dalam hukum ada empat tipe ideal, yaitu: yang irrasional formal, irrasional materiel, rasional formal (dalam masyarakat modern dengan mendasarkan konsep-konsep ilmu hukum) dan rasional materiel.43

Pelaksanaan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari disebut sebagai penegakan hukum. Dalam Bahasa Indonesia penegakan hukum dikenal juga dengan istilah penerapan hukum dan dalam bahasa asing juga dikenal

41

Bismar Nasution., “Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 8.

42

Soerjono Soekanto., Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 3.

43


(42)

berbagai peristilahan seperti tentang rechstoepassing, rechtshandhaving (Belanda),

law enforcement, application (Amerika).44

Jadi, penegakan hukum itu merupakan kewajiban dari seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman tentang hak dan kewajiban menjadi syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum ditegakkan, akan tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hukum.

2. Landasan Konsepsional

Guna menghindarkan perbedaan penafsiran mengenai pengertian dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, definisi operasional dari istilah-istilah-istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.45

2) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke

pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.46

44

Satjipto Rahardjo., Op. cit., hal. 181.

45

UU Kejaksaan., Pasa1 ayat (1).

46


(43)

3) Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.47

4) Penyidikan adalah adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi

dan guna menemukan tersangkanya.48

5) Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha

yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.49

6) Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,

didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.50

7) Keuangan negara adalah keuangan negara yang dikaitkan dengan tanggungjawab

pemerintah tentang pelaksanaan anggaran.51

8) Korupsi adalah tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dilakukan oleh seorang atau

47

Ibid., Pasal 1 ayat (1).

48

KUHAP., Pasal 1 angka 1.

49

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN)., Pasal 1 angka (1).

50

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas., Pasal 1 angka 1.

51

Arifin P. Soeria Atmadja., Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan


(44)

beberapa orang dalam lingkup jabatan pemerintah yakni Pegawai Negeri Sipil adalah meliputi:52

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang

Kepegawaian;

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima

bantuan dari keuangan negara atau daerah;

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

9) Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).53

52

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemeberatasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) Pasal 1 ayat (2). Lihat juga, Mochtar Kusumaatmadja., Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Bina Cipta Bandung, 1995), hal. 9.

53


(45)

10)Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.54

11)Kerugian keuangan negara adalah harta atau kekayaan negara yang terancam

haknya untuk dikembalikan ke negara melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN). Harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta

termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).55

12)Perbuatan Melawan Hukum (PMH) adalah tindakan menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.56

54

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara., Pasal 1 Ayat (1).

55

Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif

Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 165.

56

Eddy Milyadi Soepardi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 3.


(46)

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.57 Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.58 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu

dengan cara menganalisisnya.59 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya

ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,60 yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.61 Sebagai suatu

penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini juga dilakukan dengan menganalisis hukum baik tertulis di dalam buku (law as it writeen in the book) maupun hukum

57

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

58

Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan

Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

59

Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6.

60

Bambang Sunggono., Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 36.

61


(47)

yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the

judge through judicial process) atau yang sering disebut dengan penelitian doktinal.62

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan fakta dalam penelitian ini yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya. Sumber data tersebut adalah:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Rersearch) dilakukan untuk menghimpun

data sekunder dengan membaca dan mempelajari literatur-literatur, hasil-hasil penelitian, peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan materi penelitian.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), dilakukan untuk menghimpun data

primer dengan melakukan penelitian di lapangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada di lapangan.

a. Melakukan studi dokumen atau bahan pustaka; dan

62

Bismar Nasution., “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, (Medan: Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Pebruari 2003), hal. 1.


(48)

b. Melakukan wawancara, dilakukan secara langsung dan tidak terstruktur kepada responden dan nara sumber atau instansi terkait, dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terpimpin, agar mendapatkan informasi yang lebih fokus sesuai permasalahan yang diteliti.

Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal terkait yang berisi kaedah-kaedah hukum kemudian dihubungkan dengan permasalahan dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga

pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.63

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan permasalahan. Membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

63


(49)

BAB II

PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kejaksaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan itu, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.64

Dalam usaha memperkuat prnsip di atas, maka salah satu substansi penting amandemen UUD 1945 adalah mempertegas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.65

Dasar hukum mengenai keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan

64

Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif

Hukum, Op. cit., hal. 127.

65

Ibid. Sejalan dengan perubahan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, diadakanlah perubahan UU Kejaksaan dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahdan pengaruh kekuasaan lainnya.


(50)

bahwa, “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.

Perlu diketahui, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi seorang Jaksa, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 UU Kejaksaan, disebutkan syarat-syarat tersebut adalah:

a. Warga negara Indonesia;

b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

d. Berijazah paling rendah Sarjana Hukum;

e. Berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;


(1)

2. Diharapkan proses penanganan tindak pidana korupsi khususnya dalam penuntutan jaksa menuntut terdakwa dengan ancaman yang setinggi-tingginya sesuai dengan aturan yang berlaku. Diharapkan pula terhadap Jaksa selalu mensurvei pada tiap-tiap pegawai kantor/instansi untuk menanyakan apakah terjadi korupsi di kantor tersebut. Kemudian jaksa merahasiakan pelapor demi kepentingan hukum.

3. Diharapkan sosialisasi mengenai keberadaan UU Kejaksaan khususnya mengenai kewenangan Kejaksaan dapat juga bertindak sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, karena masyarakat belum banyak tahu tentang itu sehingga dapat dipahami dengan benar. Diharapkan pula perlu adanya peningkatan sumber daya manusia khususnya aparatur penegak hukum di bidang teknologi informasi sehingga memiliki keterampilan dan profesional mengingat alat-alat bukti dalam tindak pidana korupsi saat ini sudah semakin canggih digunakan oleh para koruptor.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Alatas, Syed Husein., Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1983.

Ali, Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Amani, 1999. Anaraga, Panji., BUMN, Swasta dan Koperasi, Jakarta: Pustaka Jaya, 2002.

Arief, Barda Nawawi., Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.

______dan Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni 1992.

Atmadja, Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta: FH UI, 2005.

Badrulzaman, Mariam Darus., Suatu Pemikiran Mengenai Beberapa Asas Hukum yang Perlu Diiperhatikan dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Kertas Kerja dalam Simposium Pembaharuan Hukum Perdata, Jakarta: BPHN, 1981. ______Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung: Alumni, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Effendy, Marwan., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Elliott, Kimberly Ann., Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Friedman, L.M, The Legal System; A Social Science Persfective, New York, Russel Sage Foundation, 1975.

Hamzah, Andi., Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia 1991.

______Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Hamid, Edi Suandi., dan M. Sayuti., Menyingkap Korupsi dan Nepotisme di

Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media, 2005.

Harahap, M. Yahya., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2000.

Hidayat, Herman., Harry Z. Soeratin., Peranan BUMN Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Makalah seminar yang disampaikan pada Sosialisasi Peranan BUMN, di Universitas Amir Hamzah, Medan tanggal 9 April 2005.


(3)

Hartanti, Evi., Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Kanter, EY., dan SR. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Kusumaatmadja, Mochtar., Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Bina Cipta Bandung, 1995.

Lopa, Baharuddin., Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

______Masalah-Masalah Politik Hukum Sosial Budaya dan Agama, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Mahadi., Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989. Maheka, Arya., Mengenali dan Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan

Korupsi Republik Indonesia, 2006.

Marzuki, Peter Muhammad., Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2008.

Mertokusumo, Sudikno., Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Moeljatno., Asas-asas Hukum Pidana, Bandung: Bina Aksara, 1987.

______Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983.

Muslehuddin, M., Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991.

Purbacaraka, Purnadi., dan Soerjono Soekanto., Perihal Kaedah Hukum, Bandung: Alumni, 1982.

Rahardjo, Satjipto., Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986.

Rasjidi, Lili., dan Ira Thania Rasjidi., Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002.

Saleh, Roeslan., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Salman, Otje., Sosiologi Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Armico, 1983.

Soekanto, Soerjono., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

______dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tijnjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

______Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983.


(4)

______Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1982.

Sunggono, Bambang., Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.

Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Suseno, Frans Magnis., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sutarto, Suryono., Hukum Acara Pidana Jilid I, Semarang: Universitas Diponegoro, 2004.

Triaji., Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto. Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Wijayanto, Oky Riza., Peranan Lembaga Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara

Tindak Pidana Korupsi Di Kabupaten Banjarnegara, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 2 April 2007.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemeberatasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), LN RI Tahun 2003 Nomor 70.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.


(5)

TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.

Surat Dakwaan Nomor Register Perkara: PSA-06/MDN/05/2006. Surat Tuntutan Nomor Register Perkara: PSA-06/MDN/05/2006. Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 2120/PID.B/2006/PN.Mdn. C. Makalah, dan Jurnal

Arief, Barda Nawawi., “Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi”, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto, 1999. Atmadja, Arifin P. Soeria., ”Keuangan Publik Dalam Perspektif Teori, Praktik, dan

Kritik”, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Jurnal Hukum Perbankan dan Kebangsentralan, 42 Vol. 3 No. 3, Desember 2005.

Effendy, Marwan., ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007.

Nasution, Bismar., “Privatisasi Menjual atau Menyehatkan”, Jurnal Hukum Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana, Volume 01, No. 1 Tahun 2005.

______“Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004.

______“Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Medan: Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Pebruari 2003.

Purba, Sampe L.., “Konsepsi Kerugian Negara pada Bisnis di Lingkungan Badan Hukum dengan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan”, Artikel bebas diposted oleh Maspurba’s Weblog, pada tanggal 18 Juli 2009.

Rachman, MA., “Hambatan, Tantangan dan Kendala Pemberantasan Korupsi di Kejaksaan”, Makalah disampaikan dalam seminar “Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korupsi, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI bekerjasama dengan FH UNDIP, Semarang, 6-7 Januari 2010.

Rajagukguk, Erman., “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006.


(6)

Soepardi, Eddy Milyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009.

Supandji, Hendarman., “Membangun Budaya Anti Korupsi Sebagai Bagian Dari Kebijakan Integral Penanggulangan Korupsi di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Orasi Penganugerahan Gelar Doktor HC di hadapan forum terhormat, Rapat Senat Terbuka Universitas Diponegoro, Semarang, Tanggal 18 Juli 2009.

Syafrinaldi., ”Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, Hukum Islam, Vol. VI No. 4. Desember 2006.

Wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 11 Juni 2010.

D. Internet

http://www.theceli.com/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid= 178, diakses terakhir tanggal 1 Agustus 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Usaha_Milik_Negara, diakses terakhir tanggal 17 Agustus 2010.

http://maspurba.wordpress.com/2009/07/18/konsepsi-kerugian, diakses terakhir tanggal 17 Agustus 2010.

E. Surat Kabar

Siregar, Abyadi., “Fenomena Korupsi di Indonesia”, Harian Medan Bisnis, tanggal 3 Desember 2009.

Raharjo, Satjipto., “Negara Hukum dan Deregulasi Moral”, Kompas, Jakarta, 13 Agustus, 1997.