Komisi Pemuda GKI Salatiga dan Permasalahannya
22
tidak cocok dengan konteks yang ada sehingga kurikulum dari sinode GKI SW Jateng tidak dipakai.
69
Kurikulum yang tidak sesuai tersebut tidak dipakai karena tidak sesuai konteks kebutuhan pemuda GKI Salatiga. Padahal kurikulum yang kontekstual merupakan kebutuhan
yang mendesak bagi seluruh gereja termasuk GKI Salatiga. Oleh karena itu
di
gereja, para pengerja dan pemimpinnya harus belajar merencanakan dan mengembangkan kurikulum
pelayanan berbagai kategori dan kelompok warga gereja
70
termasuk pelayanan kategorial komisi pemuda
.
Selain itu tidak hanya kurikulum yang dibuat memuat tema, isi dan tujuan, namun kurikulum juga harus bisa membina jemaatnya, terutama jemaat pemuda di GKI Salatiga. Dilihat
dari fungsinya
71
kurikulum yang dapat membina jemaat akan dapat meningkatkan potensi, dan dapat mengevaluasi apa yang tidak sesuai di masyarakat,
72
dan juga kurikulum yang dibuat berdasarkan tujuan dan komponen kurikulum yang kontekstual.
73
Sehingga dapat dijadikan pedoman utama untuk membina warga jemaat khususnya pemuda. Maksudnya agar pemuda bisa
mengembangkan kemampuan berpikir dari apa yang mereka dapatkan, dan juga bisa digunakan sebagai pemelihara pengajaran.
74
Sehingga terlihat dari atas walaupun sudah ada kurikulum tersebut diperlukan pendamping dari gereja yang mengontrol kualitas pelayanan.
Lebih lanjut kurikulum yang dapat menjawab kebutuhan yakni seperti tema yang dapat menarik minat pemuda misalnya tema tentang kehidupan pemuda dalam kegiatan sehari-hari,
cinta, jodoh, karakter pemuda, tema-tema alkitab, yang kemudian dikemas secara menarik oleh pembicara sehingga menimbulkan kesan yang mendalam bagi pemuda. Tema
–tema tersebut yang nantinya akan mengembangkan iman, perkembangan moral pemuda dalam hal membangun
relasi dengan sesama. Dengan kurikulum yang sesuai konteks tersebut maka ini sejalan dengan
69
ST Wawancara pada tanggal 30 Oktober 2015,pukul 14.00 wib.
70
Junihot M. Simanjuntak, Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat. Jurnal Jaffray 12.2 2014: 251-272.
71
Sanjaya Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara,2008, 10 -11.
72
Bandingkan dengan Sukiswa Iwam, Dasar-Dasar Umum Manajemen Pendidikan, Bandung: Tarsito
1986,16-17.
73
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara,1989, 9-10.
74
Hamalik, Proses Belajar Mengajar, 10-11.
23
pemikiran Homrighausen dan Enklaar yang mengungkapkan bahwa kurikulum
75
yang sesuai dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan tersebut khususnya untuk pemuda.
Selanjutnya dalam proses juga di berikan gambaran-gambaran umum tentang opsi kegiatan yang kira-kira dapat dilakukan seperti, perkunjungan, serta dapat membangun relasi
dengan beberapa lembaga sosial yang ada. Dengan kegiatan-kegiatan itu bisa mengembangkan iman mereka serta menambah wawasan mereka. Pertimbangannya rata-rata pemuda adalah
mahasiswa jadi gambaran ini dapat relevan dengan kegiatan-kegiatan itu sesuai dengan konteks kehidupan pemuda.Selain itu, untuk pelaksanaannya maka dibutuhkan pendamping yang dibagi
perannya dengan jelas dan terstruktur, namun bersifat fleksibel sehingga pendamping dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya. Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan.