PENGANTAR HUKUM PERDATA

(1)

PENGANTAR HUKUM PERDATA

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum

privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal

pembagian semacam ini.

HUKUM PERDATA

Salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu. Hukum perdata disebut juga hukum privat atau hukum sipil. Salah satu contoh hukum perdata dalam

masyarakat adalah jual beli rumah atau kendaraan . Hukum perdata dapat digolongkan antara lain menjadi: 1. Hukum keluarga

2. Hukum harta kekayaan

3. Hukum benda

4. Hukum Perikatan

5. Hukum Waris

Sejarah Hukum Perdata

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu Code

Napoleon yang disusun berdasarkan hukum Romawi Corpus Juris Civilis yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut Code Civil (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang).

Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu

diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)

Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia [1924] sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1938 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata-Belanda.

2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang]

Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda

KUHPERDATA

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di


(2)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing

sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Isi KUH Perdata

KUH Perdata terdiri dari 4 bagian yaitu : 1. Buku 1 tentang Orang

2. Buku 2 tentang Benda

3. Buku 3 tentang Perikatan

4. Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian

Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber kepada Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan

warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi). Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak

tanggungan dan fidusia.

Buku Kesatu – Orang

Buku pertama mengatur tentang orang sebagai subyek hukum, hukum perkawinan dan hukum keluarga, termasuk waris.

Bab I – Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak kewargaan Bab II – Tentang akta-akta catatan sipil

Bab III – Tentang tempat tinggal atau domisili Bab IV – Tentang perkawinan

Bab V – Tentang hak dan kewajiban suami-istri

Bab VI – Tentang harta-bersama menurut undang-undang dan pengurusannya Bab VII – Tentang perjanjian kawin

Bab VIII – Tentang gabungan harta-bersama atau perjanjian kawin pada perkawinan kedua atau selanjutnya


(3)

Bab IX – Tentang pemisahan harta-benda Bab X – Tentang pembubaran perkawinan Bab XI – Tentang pisah meja dan ranjang

Bab XII – Tentang keayahan dan asal keturunan anak-anak Bab XIII – Tentang kekeluargaan sedarah dan semenda Bab XIV – Tentang kekuasaan orang tua

Bab XIVA – Tentang penentuan, perubaran dan pencabutan tunjangan nafkah Bab XV – Tentang kebelumdewasaan dan perwalian

Bab XVI – Tentang pendewasaan Bab XVII – Tentang pengampuan Bab XVIII – Tentang ketidakhadiran

Buku Kedua – Benda/Barang

Buku kedua mengatur mengenai benda sebagai obyek hak manusia dan juga

mengenai hak kebendaan. Benda dalam pengertian yang meluas merupakan segala sesuatu yang dapat dihaki (dimiliki) oleh seseorang. Sedangkan maksud dari hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan kepada pihak ketiga. Buku kedua tentang benda pada saat ini telah banyak berkurang, yaitu dengan telah diaturnya secara terpisah hal-hal yang berkaitan dengan benda (misal dengan Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Undang-undang N0. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan . Dalam hal telah diatur secara terpisah oleh suatu peraturan perundang-undangan maka dianggap pengaturan mengenai benda didalam BW dianggap tidak berlaku.

Bab I – Tentang barang dan pembagiannya

Bab II – Tentang besit dan hak-hak yang timbul karenanya Bab III – Tentang hak milik

Bab IV – Tentang hak dan kewajiban antara para pemilik pekarangan yang bertetangga

Bab V – Tentang kerja rodi

Bab VI – Tentang pengabdian pekarangan Bab VII – Tentang hak numpang karang Bab VIII – Tentang hak guna usaha (erfpacht) Bab IX – Tentang bunga tanah dan sepersepuluhan Bab X – Tentang hak pakai hasil

Bab XI – Tentang hak pakai dan hak mendiami Bab XII – Tentang pewarisan karena kematian


(4)

Bab XIII – Tentang surat wasiat

Bab XIV – Tentang pelaksana surat wasiat dan pengelola harta peninggalan

Bab XV – Tentang hak berpikir dan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan Bab XVI – Tentang hal menerima dan menolak warisan

Bab XVII – Tentang pemisahan harta peninggalan

Bab XVIII – Tentang harta peninggalan yang tak terurus Bab XIX – Tentang piutang dengan hak didahulukan Bab XX – Tentang gadai

Bab XXI – Tentang hipotek

Buku Ketiga – Perikatan

Buku mengatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang

bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan.

Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht) sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian). Bab I – Tentang perikatan pada umumnya

Bab II – Tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan Bab III – Tentang perikatan yang lahir karena undang-undang Bab IV – Tentang hapusnya perikatan

Bab V – Tentang jual-beli

Bab VI – Tentang tukar-menukar Bab VII – Tentang sewa-menyewa Bab VIIA – Tentang perjanjian kerja

Bab VIII – Tentang perseroan perdata (persekutuan perdata) Bab IX – Tentang badan hukum


(5)

Bab X – Tentang penghibahan Bab XI – Tentang penitipan barang Bab XII – Tentang pinjam-pakai

Bab XIII – Tentang pinjam pakai habis (verbruiklening) Bab XIV – Tentang bunga tetap atau bunga abadi Bab XV – Tentang persetujuan untung-untungan Bab XVI – Tentang pemberian kuasa

Bab XVII – Tentang penanggung Bab XVIII – Tentang perdamaian

Buku Keempat – Pembuktian dan

Kedaluwarsa

Buku keempat mengatur tentang pembuktian dan daluarsa. Hukum tentang

pembuktian tidak saja diatur dalam hukum acara (HIR) namun juga diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Didalam buku keempat ini diatur mengenai prinsip umum tentang pembuktian dan juga mengenai alat-alat bukti. Dikenal adanya 5 macam alat bukti yaitu :

a. Surat-surat b. Kesaksian c. Persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah

Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik (acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive verjaring). Selain itu diatur juga hal-hal mengenai “pelepasan hak” atau “rechtsverwerking” yaitu hilangnya hak bukan karena

lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang yang menunjukan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.

Bab I – Tentang pembuktian pada umumnya Bab II – Tentang pembuktian dengan tulisan Bab III – Tentang pembuktian dengan saksi-saksi Bab IV – Tentang persangkaan

Bab V – Tentang pengakuan

Bab VI – Tentang sumpah di hadapan hakim Bab VII – Tentang kedaluwarsa pada umumnya


(6)

PERIHAL ORANG DALAM HUKUM (SUBYEK HUKUM)

Dalam hukum, perkataan orang (persoon) berarti sebagai pembawa hak atau disebut juga sebagai subyek hukum. Saat ini boleh dikatakan bahwa tiap manusia itu dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum. Beberapa abad silam, kedudukan manusia belumlah seperti saat ini, dimana pada masa itu masih ada status manusia yang tidak dapat menjadi pembawa hak atau subyek hukum, mereka itulah yang dikenal dengan “budak atau hamba sahaya”. Hal yang

berkaiatan dengan kehilangan kedudukan sebagai subyek hukum adalah “kematian perdata”, yakni hukuman yang menyatakan sesorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi. Hal ini pun sudah tidak berlaku lagi saat ini. Yang dimungkinkan saat ini ialah pencabutan hak untuk sementara waktu bagi para terhukum (narapidana), seperti pencabutan kekuasaan sebagai wali, dan hak untuk masuk TNI.

Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak atau subyek hukum dimulai sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, bahkan untuk kasus tertentu dapat ditarik mundur pada saat masih dalam kandungan dengan catatan setelah dilahirkan bayi tersebut terus hidup..

Meskipun menurut hukum saat ini sudah tidak ada lagi orang yang tidak dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum namun tidak semua orang diperkenankan untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum sendiri.Hal ini ditujukan bagi orang-orang yang dianggap “tidak cakap hukum” atau “kurang cakap hukum”. Mereka ini dalah orang-orang yang masih di bawah umur atau belum dewasa dan oarng yang gila dimana harus selalu diwakili oleh orangtua, wali atau kuratornya.

Menurut KUHPerdata (BW), yang dimaksud orang yang masih di bawah umur adalah mereka yang belum mencapai usia 21 tahun kecuali mereka telah kawin. Yang menjadi catatan khusus dalam BW adalah bagi para perempuan yang telah kawin tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum sendiri tetapi harus dibantu oleh suaminya. Istri di sini masuk dalam kategori sebagai orang yang dianggap kurang cakap hukum untuk bertindak sendiri. Selain itu di dalam BW terdapat berbagai pasal yang secara khusus membedakan antara kecakapan laki-laki dan perempuan, misalnya :

1. Seorang perempuan dapat kawin jika ia sudah berumur 15 tahun, sedangkan


(7)

2. Seorang perempuan tidak diperbolahkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah

perkawinan diputuskan, sedangkan untuk laki-laki tidak terdapat larangan seperti itu;

3. Seorang laki-laki baru diperbolehkan mengakui seseorang sebagai anaknya, jika ia

sudah berusia paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk perempuan tidak ada pembatasan seperti itu.

Di samping orang atau manusia yang dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum, masih ada pihak lain yang dapat bertindak sebagai pembawa hak atau subyek hukum, yakni badan atau perkumpulan. Badan atau perkumpulan ini dapat mempunyai kekayaan sendiri serta ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan para pengurusnya, bahkan dapat bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan. Badan atau perkumpulan ini disebut dengan Badan Hukum atau rechtspersoon. Badan hukum di sini dapat dalam bentuk

PT,CV,Koperasi,Yayasan, Partai Politik dan sebagainya asalkan telah memiliki legitimasi yang disahkan oleh lembaga atau departemen terkait.

Sebagai pembawa hak atau subyek hukum, baik orang maupun badan hukum harus memiliki tempat tinggal, kedudukan, atau domisili. Hal ini diperlukan untuk

menetapkan beberapa hal apabila terkait dengan kasus atau persoalan hukum. Sebagian orang mempunyai domisili mengikuti orang lain, misalnya seorang istri mengikuti domisili suaminya, seorang anak yang masih di bawah umur mengikuti domisili orangtuanya, dan orang yang di bawah pengawasan mengikuti domisili kuratornya. Ada juga domisili yang dipilih karena behubungan dengan suatu

urusan, misalnya dua pihak dalam suatu kontrak memilih domisili di kantor seorang notaries atau di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan kedua pihak jika terjadi perkara di pengadilan.

Orang yang sudah mati pun memerlukan domisili untuk mennetukan proses

pembagian waris berpatokan pada hukum mana. Di sinilah yang dimaksud dengan “rumah kematian” dalam KUHPerdata untuk memudahkan proses hukum yang berkaitan dengan orang yang sudah meninggal.

HUKUM PERKAWINAN

Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.KUHPerdata hanya memandang perkawinan dalam

hubungan keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 BW. Dalam pasal

tersenut dinyatakan bahwa perkawinan akan sah manakala memenuhi syarat-syarat dalam BW dan mengesampingkan syarat-syarat lainnya termasuk peraturan agama. Asas yang berlaku dalam BW adalah asas monogamy. Artinya apabila ada sesorang yang berpoligami maka hal tersebut masuk dalam pelanggaran ketertiban umum dan dibatalkan. Adapun syarat-syarat perkawinan dalam BW adalah :

1. Kedua pihak telah cukup umur, yakni 18 tahun untuk lelaki dan 15 tahun untuk

perempuan;

2. Harus ada persetujuan kedua belah pihak;

3. Untuk perempuan yang pernah kawin maka harus melewati terlebih dahulu 300

hari untuk dapat kawin lagi;

4. Tidak ada larangan dalam UU bagi kedua pihak;

5. Untuk pihak yang masih di bawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya.

Sebelum perkawinan dilangsungkan harus dilakukan terlebih dahulu : 1. Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada pegawai

pencatatan sipil;

2. Pengumuman (afkondiging).

BW memberikan kepada beberapa orang untuk mencegah atau menahan (stuiten) dilangsungkannya perkawinan, yaitu :


(8)

1. Suami atau istri serta anak-anak dari pihak yang hendak kawin;

2. Orangtua kedua pihak;

3. Jaksa.

Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian pra nikah. perjanjian pranikah

(Prenuptial Agreement) menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan

adat timur dan lain sebagainya

Karena pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian pranikah masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya

dibicarakan dan dilakukan. Karena kalau dilakukan, lalu akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan

oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis? 1. Apa yang dimaksud dengan perjanjian pra nikah?

Prenuptial Agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai yang akan menikah, isinya mengenai masalah pembagian harta kekayaan diantara suami istri yang meliputi apa yang menjadi milik suami atau isteri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami dan isteri, ataupun berkaitan dengan harta bawaan masing-masing pihak agar bisa membedakan yang mana harta calon

istri dan yang mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian disalah satu pasangan.

Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Memang pada awalnya perjanjian pranikah banyak dipilih oleh kalangan atas yang yang memiliki warisan besar.

2. Apakah membuat perjanjian pra nikah dibenarkan secara hukum dan agama? Membuat perjanjian pra nikah diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. Hal ini telah diatur sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, keduabelah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian

tertulis yang disahkan oleh pegawai Pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. dalam penjelasan pasal 29 UU No.1/1975 tentang perkawinan, dikatakan Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk Taklik Talak.

Dalam ayat 2 dikatakan: perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilemana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian pra nikah sebagaimana dikatakan dalam pasal 47 ayat : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan”

Konsep perjanjian pra nikah awal memang berasal dari hukum perdata barat KUH Per. Tetapi UU No.1/1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan KUH Per (buatan Belanda) tentang perjanjian pra nikah. Dalam pasal 139 KUHPer: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar


(9)

persatuan harta kekayaan asal perjanjia itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”

Bila dibandingkan maka KUH Per hanya membatasi dan menekankan perjanjian pra nikah hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam UU Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat

Secara agama, khususnya agama islam dikatakan dalam AQ Al-baqarah :2 dan Hadits: bahwa setiap Mukmin terikat dengan perjanjian mereka masing-masing. Maksudnya, jika seorang Mukmin sudah berjanji harus dilaksanakan. Perjanjian pranikah tidak diperbolehkan bila perjanjian tersebut menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, contohnya : perjanjian pranikah yang isinya, jika suami meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak, warisan mutlak jatuh pada istrinya. Padahal dalam Islam, harta suami yang meninggal

tanpa dikaruniai seorang anak tidak seluruhnya jatuh kepada sang istri, masih ada saudara kandung dari pihak suami ataupu orangtua suami yang masih hidup.Hal diatas adalah “menghalalkan yang haram” atau contoh lain Perkawinan dengan dibatasi waktu atau namanya nikah mut’ah (kawin kontrak). Suatu Pernikahan tidak boleh diperjanjikan untuk bercerai”

Dalam agama katolik, perjanjian perkawinan yang penting adalah dimana pria dan wanita yang melakukan perkawinan akan membentuk kebersamaan seluruh hidup (Consorsium totius Vitac) diantara mereka menurut sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak. Sementara untuk agama Hindu, hukum yang mengatur khusus tentang perjanjian perkawinan tidak ada, tetapi yang jelas apabila ada perjanjian yang dibuat bertentangan dengan larangan dalam agama Hindu maka perjanjian itu tidak sah. Begitu pula dengan agama budha, menurut hukum perkawinannya (HPAB) yang telah disahkan pada tanggal 1 Januari 1977, tidak ada aturan khush tentang perjanjian perkawinan, dimana berarti terserah para pihak yang bersangkutan asal perjanjian yang diabuat tidak bertentangan dengan agama Budha Indonesia, UU No. /1975 dan kepentingan Umum (Prof. Hilman Hadikusuma, SH, Hukum perkawinan Indonesia menurut perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama, CV. Maju

Mandar, Bandung, 1990, hlm. 60) 3. Apa Saja Isi Perjanjian Pranikah?

Isi Perjanjian pra nikah diserahkan pada pihak calon pasangan yang akan menikah dengan syarat isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, hukum dan agama, Seperti telah dijelaskan diatas dalam point 1.

Bahwa perjanjian pra nikah dasarnya adalah bentuk kesepakatan maka ia termasuk dalam hukum perjanjian buku III KUHPer, sebagaimana Pasal 1338 : para pihak yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.

Biasanya berisi pengaturan penyelesaian dari masalah yang kira-kira akan timbul selama masa perkawinan, antara lain :

- Tentang pemisahan harta kekayaan.

Pemisahan harta kekayaan yang diperoleh sebelum pernikahan yaitu segala harta benda yang diperoleh sebelum pernikahan dilangsungkan atau yang biasa disebut harta bawaan yang didalamnya bisa termasuk harta warisan atau hibah, disebutkan dalam harta apa saja yang sebelumnya dimiliki suami atau isteri.


(10)

Pemisahan harta pencaharian/pendapatan yang diperoleh selama pernikahan atau mengenai tidak adanya percampuran harta pendapatan maupun aset-aset baik selama pernikahan itu berlangsung maupun apabila terjadi perpisahan,perceraian, atau kematian.

Tetapi untuk hal pemisahan pendapatan para pihak tidak boleh melupakan hak dan kewajiban suami sebagai kepala rumah tangga, seperti dikatakan dalam Pasal 48 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam: “Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan RT”.

Dalam ayat 2 dikatakan: “Apabila perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam ayat 1 dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan RT”. Untuk biaya kebutuhan RT istri dapat membantu suami dalam

menanggung biaya kebutuhan RT, hal mana bisa diperjanjikan dalam perjanjian pra nikah. Atau mungkin dalam rangka proses cerai, ingin memisahkan harta, bisa saja diperjanjiankan tentang bagaimana cara pembagian harta.

- Pemisahaan harta juga termasuk pemisahan utang, jadi dalam perjanjian pranikah bisa juga diatur mengenai masalah utang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa atau mengadakan utang itu. Utang yang dimaksud adalah utang yang terjadi sebelum pernikahan, selama masa pernikahan, setelah

perceraian, bahkan kematian .

HUKUM KELUARGA

1. Keturunan

Seorang anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian seorang anak sungguh-sungguh anak sang ayah tentunya sulit untuk ditentukan secara sederhana. Untuk mengatasi hal tersebut KUHPerdata menetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orangtuanya dihapuskan, maka anak tersebut adalah anak yang tidak sah. Namun jika seorang anak


(11)

dilahirkan sebelum lewat 180 hari setelah perkawinan orangtuanya, maka ayahnya (suami) berhak menyangkal sahnya anak tersebut, kecuali jika sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum perkawinan berlangsung atau jika si ayah (suami) hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan ditandatanganinya.

Anak yang lahir di luar perkawinan dinamakan “naturlijk kind”. Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem KUHPerdata dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Barulah dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat diterimanya harta warisan dari orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada, kecuali apabila telah dilakukannya “pengesahan” anak (wettiging) yang merupakan suatu langkah lanjutan setelah pengakuan. Untuk pengesahan ini diperlukan kedua orangtua yang telah mengakui anaknya, melakukan perkawinan secara sah. Pengakuan yang dilakukan pada hari perkawinan juga membawa pengesahan anak. Jika pada saat perkawinan tersebut kedua orangtua itu belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anak hanya dapat dilakukan dengan “surat-surat pengesahan” (brieven van wettiging) dari kepala negara.

Perlu diketahui bahwa KUHPerdata tidak membolehkan pengakuan terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.

2. Kekuasaan orangtua

Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orangtuanya selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Kekuasaan orangtua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga meliputi benda atau kekayaan si anak itu. Kekuasaan orangtua terhadap anak dapat dibebaskan manakala orangtua tersebut dianggap tidak cakap/mampu untuk memelihara serta mendidik anak.Namun jika orangtua melakukan

perlawanan maka kejaksaan tidak dapat memaksa. Selain itu kekuasaan orangtua dapat dicabut berdasarkan keputusan Hakim dengan alasan sesuai UU.

3. Perwalian

Perwalian (voorgdij) adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtuanya serta pengurusan benda atau kekayaan anak itu diatur oleh UU. Anak yang berada di bawah perwalian adalah : (1) anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaanya sebegai orangtua,(2)anak sah yang orangtuanya telah bercerai,(3) anak yang lahir di luar perkawinan.

4. Pendewasaan

Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasakan perlu untuk

mempersamakan anak yang masih di bawah umur dengan orang dewasa agar anak tersebut dapat bertindak sendiri di dalam mengurus kepentingannya. Untuk

memenuhi hal tersebut diadakanlah peraturan tentang “handlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seorang anak yang belum dewasa sepenuhnya atau beberapa hal saja dipersamakan dengan orang dewasa. Permohonan untuk dipersamakan dengan orang dewasa dapat dilakukan oleh anak yang telah berusia 20 tahun dan diajukan kepada Presiden yang akan memberikan keputusannya setelah mendengar nasehat dari MA. Namun untuk persoalan perkawinan, tetap masih memerlukan izin orangtua.


(12)

Orang dewasa yang menderita sakit ingatan harus berada di bawah pengampuan ataucuratele. Permintaan untuk berada di bawah pengampuan ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dan jika diterima akan diumumkan dalam Berita Negara. 6. Orang yang hilang

Jikalau seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengurus kepentingannya, maka atas permintaan orang yang berkepentingan atau atas permintaan jaksa, Hakim untuk sementara dapat memerintahkan Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk mengurus kepentingan tersebut. Jika kekayaan orang yang hilang tersebut tidak terlalu besar maka

pengurusannya dapat diserahkan kepada keluarganya. Jika telah lewat 5 tahun terhitung sejak hilang, maka orang-orang yang berkepentingan dapat meminta pada Hakim untuk mengeluarkan pernyataan yang menerangkan orang yang hilang tersebut telah meninggal.

Untuk orang hilang yang disebabkan mengurus kepentingannya, maka untuk meminta surat pernyataan Hakim harus terlebih dahulu menunggu selama 10 tahun. Hal ini juga biperuntukan bagi suami atau istri yang ditinggal pergi itu untuk dapat meminta izin kawin lagi.

Sumber :

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa,1994, Jakarta.

HUKUM BENDA

Benda (zaak) dalam ari sempit dapat diartikan sebagai barang yang terlihat saja. Adapun dalam pengertian yang luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Di sini benda mengandung arti sebagai obyek dalam hukum.

Undang-undang membagi benda dalam beberapa macam :

1. Benda yang dapat diganti (seperti :uang) dan yang tidak dapat diganti (seperti

:kuda).

2. Benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan (seperti :

jalan).

3. Benda yang dapat dibagi (seperti :beras) dan yang tidak dapat dibagi

(seperti:binatang).

4. Benda yang bergerak (seperti alat rumah tangga) dan yang tidak bergerak (seperti

tanah).

Benda pada point ke 4 adalah yang paling penting sebab memiliki implikasi dalam hukum.

Pengertian benda yang tidak bergerak (onroerend) memilki beberapa sebab, yaitu : 1. Karena sifatnya, contoh tanah dan segala macam benda atau tumbuhan yang ada

di atas tanah tersebut.

2. Karena tujuan pemakaiannya, seperti mesin pabrik. Meskipun pada prinsipnya

mesin pabrik dapat digerakan atau dipindahkan namun karena pada umumnya mesin pabrik dipergunakan dalam jangka waktu yang lama dan tidak


(13)

dipindah-pindahkan maka termasuk benda yang tidak bergerak dengan sebab tujuan pemakaiannya.

3. Karena ditentukan oleh UU, yaitu segala hak atau penagihan yang mengenai suatu

benda yang tidak bergerak. Contoh hak penagihan untuk pengembalian atau penyerahan benda yang tidak bergerak.

Adapun pengertian benda yang bergerak, juga memiliki beberapa sebab, yaitu : 1. Karena sifatnya,yaitu benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan

untuk mengikuti tanah atau bangunan. Contoh alat rumah tangga.

2. Karena penetapan UU, contoh penagihan mengenai sejumlah uang atau suatu

benda yang bergerak, surat obligasi negara dan sebagainya. Beberapa hak kebendaan

Hak kebendaan (zakelijk recht) ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang.

1. Bezit. Hak ini merupakan hak khusus yang terdapat dalam hukum barat. Hak bezit

secara sederhana dapat diartikan sebagai hak penguasaan terhadap suatu benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang dilindungi oleh hukum tanpa

mempersoalkan kepemilikan yang sesungguhnya. Bezit dapat juga diartikan sebagai “menduduki”. Contoh nya ialah apabila terdapat sarang tawon di pohon, lalu kita mengambil sarang tawon tersebut dan kita kuasai dan kemudian kita jual, maka hal tersebut merupakan hak bezit yang kita dapatkan.

Bezit atas suatu benda yang tidak bergerak memberikan hak-hak sebagai berikut : 1.

 Seorang bezitter (yang menduduki) tidak dapat diusir begitu saja oleh si pemilik,

tetapi harus digugat di depan hakim.

 Seorang bezitter berhak atas penghasilan benda yang selama ini dikuasainya dan

tidak perlu untuk mengembalikan kepada si pemilik asli meskipun bezitter tersebut dikalhkan dalam pengadilan.

 Seorang bezitter dapat memperoleh hak milik jika si pemilik asli telah begitu lama

dan lewat batas waktu tidak mengurusi benda tidak bergerak tersebut.

 Seorang bezitter dapat meminta perlindungan kepada hakim jika mengalami

gangguan.

1. Eigendom, yaitu hak yang palin sempurna atas suatu benda. Seseorang yang

memiliki hak ini dapat berbuat apa saja berkaitan dengan benda tersebut, seperti menjaul, menggadai, menyewakan bahkan merusaknya. Hak eigendom dapat diperoleh melalui beberapa cara yaitu :

 Pengambilan, contoh membuka lahan tanah baru, dan memancing ikan.

 Natrekking yaitu jika suatu benda bertambah luas karena perbuatan alam, contoh

tanah yang menjadi lebih luas setelah terjadi longsor.

 Lewat waktu.  Pewarisan.  Penyerahan.

Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain

1. Erfdienstbaarheid atau servituut, yaitu suatu beban yang yang diletakan di atas

suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Contohnya ialah hak untuk mengalirkan air di saluran air yang terletak di atas pekarangan orang lain.

2. Hak opstal, yaitu hak untuk memiliki bangunan atau tanaman di atas tanah orang

lain.

3. Hak erfacht, yaituhak untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang

lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sewa. 4. Hak vruchtgebruik, yaitu hak untuk menarik penghasilan dari benda milik orang


(14)

5. Pandrecht yaitu dikenal pula dengan istilah hak gadai.

6. Hypotheek, yaitu hak atas benda yang tidak bergerak bertujuan untuk mengambil

pelunasan suatu hutang dari benda itu. Hak ini sama dengan hak pandrecht hanya berbeda pada jenis bendanya.

Lahirnya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Dengan lahirnya UU tersebut, maka Buku II KUHPerdata (BW) sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak berlaku

lagi kecuali hypotheek yang tetap berlaku. Berdasarkan UU tersebut hak atas tanah meliputi :

1. Hak milik, yaitu hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh

orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak tanah itu mempunyai fungsi sosial.

2. Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung

oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun dan dapat diperpanjang.

3. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan atau memungut hasil tanah yang

dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan oleh keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau oelh pemiliknya.

4. Hak Sewa, yaitu hak mempergunakan tanah milik orang lain oleh sesorang atau

badan hukum untuk keperluan bangunan dengan membayar pada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.

HAND OUT

HUKUM WARIS

Berbicara mengenai hukum waris di Indonesia, maka kita harus berhadapan dengan 2 (dua) sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu:

1. sistem hukum waris perdata Barat yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Indonesia dan

2. sistem hukum waris secara Islam, yang masih terbagi dalam beberapa mashab, yaitu:

a. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Syafei b. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Hambali

c. Perhitungan waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

Pembahasan kita kali ini adalah sistem pewarisan menurut hukum perdata Barat, yang terutama berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama selain Islam, atau yang bagi yang beragama Islam namun “menundukkan ” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan lebih mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari pewarisan adalah:

1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW)

2.Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)

Sebagai konsekwensi dan kedua hal tersebut maka, dapat diartikan bahwa dalam hal pemilik harta masih hidup, dia tidak dapat mewariskan apapun kepada ahli warisnya. Sehingga, dalam hal terjadi suatu pemberian atas suatu barang kepada


(15)

keturunannya yang ditujukan agar keturunannya dapat memiliki hak atas barang tersebut setelah meninggal dunia (dalam bentuk hibah misalnya) maka hal tersebut dianggap sebagai “Hibah Wasiat”. Dimana barang tersebut baru beralih pada saat pemberi hibah telah meninggal dunia.. Dalam hal pemberian barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberikan suatu imbalan berupa uang, maka hal tersebut disebut sebagai “Hibah” saja. Mengenai hibah ini akan saya bahas lebih detil pada section tersendiri.

Kembali lagi kepada prinsip pewarisan, yaitu mengenai “hubungan darah”/ Berdasarkan Prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung. maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris adalah:

1. Golongan I, yang terdiri dari: suami/isteri yang hidup terlama dan anak2 serta cucu (keturunan) pewaris (dalam hal anak pewaris meninggal dunia). (pasal 852 BW)

2. Golongan II adalah: orang tua dan saudara kandung dari pewaris termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris. (pasal 854 BW) Golongan II ini baru bisa mewarisi harta pewaris dalam hal golongan I tidak ada sama sekali. Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka golongan I tersebut “menutup” golongan yang diatasnya

3.Golongan III :

Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris (pasal .

Contohnya: kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Mereka mewaris dalam hal ahli waris golongan I dan golongan II tidak ada

4.GolonganIV

-Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu -keturunan paman dan bibi sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris

- saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat ke enam di hitung

dari pewaris.

Bagaimana dengan anak angkat?

Karena prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah, maka secara hukum anak angkat atau anak tiri (yang bukan keturunan langsung dari pearis ) tidak berhak mendapatkan warisan secara langsung dari pewaris. Namun dimungkinkan bagi anak angkat tersebut untuk menerima warisan dengan cara pemberian Hibah atau “Hibah wasiat” (pasal 874 BW).

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).

Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.

Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk


(16)

menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada

putusan.

Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata).

Berhak Mendapatkan Warisan

Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.

Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris). Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Tidak Berhak Menerimanya

Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan

beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan

Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan). Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat

Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam


(17)

surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.

Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu

pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.

Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan A. GOLONGAN I.

Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah

istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah

Ibu Pewaris Saudara Saudara

B. GOLONGAN II

Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum

mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III kakek

nenek kakek nenek

Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.

Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV

Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.


(18)

HUKUM PERJANJIAN

Dalam Buku III BW istilah yang dipergunakan adalah “Perikatan”. Istilah “Perikatan” mempunyai arti yang lebih luas dari istilah “Perjanjian”. Dalam

“Perikatan” diatur juga hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari

perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaarneming).

Apabila kita coba membuat perbedaan sederhana antara perikatan dengan perjanjian, maka perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.

Definisi perikatan menurut BW ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan

memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”. Prestasi menurut UU dapat berupa :

1. Menyerahkan suatu barang; 2. Melakukan suatu perbuatan; 3. Tidak melakukan suatu perbuatan. Sumber-sumber perikatan :

1. Persetujuan (perjanjian)

2. UU, dimana terbagi lagi kepada :

1.2. UU saja, yaitu perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan. 2.2. UU karena suatu perbuatan orang, yang terbagi lagi :

2.2.1. Perbuatan yang diperbolehkan 2.2.2. Perbuatan yang berlawanan hukum.

Dalam BW terdapat suatu macam perikatan yang dinamakan “naturlijke

vebintenis”, yaitu suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh dikatakan sebagai suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Contoh perikatan ini antara lain ialah : hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 BW tidak dizinkan untuk menuntut pembayaran.


(19)

Buku III BW menganut asas “kebebasan”, sebagaimana tersimpul dalam pasal 1338 BW yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.

Macam-macam perikatan:

1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu. 3. Perikatan yang membolehkan memilih.

4. Perikatan tanggung menanggung.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. 6. Perikatan dengan penetapan hukuman.

Hapusnya perikatan : 1. Pembayaran;

2.Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan barang yang hendak dibayarkan itu di suatu tempat.

3. Pembaharuan hutang;

4. Kempensasi atau perhitungan hutang timbal balik; 5. Percampuran hutang;

6. Pembebasan hutang;

7. Hapusnya barang yang dimaksud dalam perjanjian; 8. Pembatalan perjanjian;

9. Akibat berlakunya suatu syarat pembatalan; 10. Lewat waktu.

Beberapa perjanjian khusus yang penting

1. Perjanjian jual beli, yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi

akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.

2. Perjanjian sewa-menyewa, yaitu suatu perjanjian diaman pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Pihak penyewa memikul dua kewajiban poko, yaitu 1) membayar uang sewa pada waktunya, (2) memelihara barang yang disewa sebaik-baiknya, seolah-olah barang miliknya sendiri.

3. Pemberian atau hibah (schenking), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu

menyanggupi dengan cuma-cuma dengan secara mutlak memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya yang menerima pemberian itu.

4. Persekutuan (maatschap), yaitu suatu perjanjian dimana beberapa orang


(20)

membagi keuntungan yang akan diperoleh. Persekutuan merupakan suatu bentuk kerjasama yang paling sederhana, bahkan diperbolehkan seorang anggota hanya menyumbangkan tenaga saja.Untuk perjanjian model ini tidak diperlukan adanya suatu akte. Perjanjian ini dikenla juga dengan sebutan “perjanjian consensueel” yaitu perjanjian yang dianggap sudah cukup jika ada kata sepakat.

5. Penyuruhan (lastgeving), yaitu suatu perjanjian dimana pihak yang satu

memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

6. Perjanjian pinjam, meliputi 2 aspek, yaitu : (1) perjanjian pinjam barang yang tidak

dapat diganti, seperti peminjaman mobil, motor dan lain-lain, (2) perjanjian pinjaman barang yang dapat diganti, seperti meminjam uang, beras dan lain-lain. 7. Penangguhan hutang, yaitu suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi pada

pihak lainnya, bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.

8. Perjanjian perdamaian, yaitu suatu perjanjian dimana dua pihak membuat suatu

perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya. Perjanjian semacam ini harus tertulis.

9. Perjanjian kerja, terbagi 3 macam, yaitu 1) perjanjian perburuhan yang sejati,

adalah suatu perjanjian yang menerbitkan suatu hubungan terbatas antara buruh dan majikan, diperjanjikan suatu upah, dan dibuat untuk waktu tertentu,(2) pemborongan pekerjaan, ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula, (3) perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan terlepas, seperti seorang kuli mengangkut barang atau seorang dokter gigi yang mencabut gigi pasiennya..

Kapita Selekta Hukum Perdata Tanya Jawab

Pertanyaan :

Ada dua orang mahasiswa berumur 17 dan 19 tahun akan mengadakan perjanjian pinjaman untuk memenuhi biaya kuliah. Saya ingin mengetahui pada usia berapa seseorang dapat menandatangani kontrak pinjaman tersebut, atas tanggung jawabnya sendiri, tanpa persetujuan dari orang tua/wali mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Jawaban :

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) mencantumkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, salah satunya adalah kecakapan para pihak. Syarat ini bersifat subyektif; jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.

Ketidakcakapan terjadi bila seseorang berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu untuk membuat sendiri perjanjian. Yang termasuk tidak cakap oleh KUHPer adalah orang-orang yang belum cukup umur, orang-orang yang ditempatkan

dibawah pengampuan dan wanita bersuami (namun sejak 1963 yang terakhir ini tidak lagi berlaku berdasarkan putusan Mahkamah Agung). Perlu diperhatikan pula bahwa seseorang yang cakap secara hukum dapat kehilangan seluruh atau

sebagian kecakapan itu secara perdata, misalnya jika dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Menurut pasal 330 KUHPer yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin


(21)

sebelumnya. Jika belum berumur 21 namun telah menikah, maka dianggap telah dewasa secara perdata dan dapat mengadakan perjanjian.

Pertanyaan :

bagaimanakah dapat membedakan antara perbuatan melanggar hukum(onrectmatiedaad) dan wanprestasi dalam sebuah perjanjian ? Jawaban :

Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu pihak (biasanya kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya (biasanya debitur/ berutang). Menurut ps. 1234 KUHPer prestasi terbagi dalam 3 macam:

1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam ps. 1237 KUHPer);

2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam ps. 1239 KUHPer); dan

3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini terdapat dalam ps. 1239 KUHPer).

Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.

Apabila sorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka disbut orang tersebut melakukan wanprestasi.

Apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi maka pihak kreditur yang menuntut atau mengajukan gugatan. Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan yang mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu: a. Secara parate executie;

Dimana kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur tanpa melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak

secara eigenrichting (menjadi hakim sendiri secara bersama-sama). Pada prakteknya, parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai ekonomisnya kecil.

b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan;

Karena kreditur merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak debitur, maka antara kreditur dan debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan

masalah mereka itu kepada wasit (arbitrator). Apabila arbitrator telah memutuskan sengketa itu, maka pihak kreditur atau debitur harus mentaati setiap putusan, walaupun putusan itu menguntungkan atau emrugikan salah satu pihak.

c. Secara rieele executie

Yaitu cara penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di pengadilan. Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya tinggi atau antara pihak kreditur dan debitur tidak ada konsensus penyelesaian sengketa dengan cara parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh dengan rileele executie di depan hakim di pengadilan.


(22)

Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian (ps. 1365 KUHPer).

Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan karena

kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. Dalam KHUPer ditentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena

perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Ditentukan antara lain, bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan anak-anaknya yang belum cukup umur yang diam bersama mereka. Seorang majikan bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh orang bawahannya dalam melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka. Guru sekolah bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan murid selama dalam pengawasannya. Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian harta benda, tetapi dapat pula berupa berkurangnya kesehatan atau tenaga kerja. Pertanyaan :

Pasal 82 dan 89 UU No. 1/95, demikian pula dalam anggaran dasar, suatu PT menyatakan bahwa direksi mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan serta dapat memberi kuasa tertulis kepada karyawan dan orang lain untuk

melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama PT. Permasalahannya adalah bagi PT yang sudah cukup besar kegiatannya, maka :1. Apabila ada suatu perjanjian yang akan ditandatangani oleh orang yang bukan direksi, apakah orang harus mendapatkan kuasa tertulis lebih dulu dari direksi? 2. Apakah tidak ada jalan lain selain pemberian kuasa sebagaimana tersebut di atas, misal direksi membuat surat keputusan yang berisi bahwa untuk suatu nilai tertentu penandatanganan

perjanjian cukup oleh setingkat kabag atau manajer? Atau 3. Bisakah dengan cara membuat surat kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer tersebut ?

Jawaban :

Menurut pasal 82 dan 89 UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, seharusnya memang seseorang harus mendapat kuasa tertulis lebih dulu dari direksi apabila ia ingin menandatangani suatu perjanjian atas nama PT. Namun dalam hal tertentu yang mendesak dan belum ada kuasa tertulis dari direksi, maka harus diyakini terlebih dahulu bahwa perjanjian yang akan ditandatangani tersebut nantinya akan mendapat pengakuan dari direksi PT yang bersangkutan. Karena apabila direksi PT sebagai pihak yang berwenang untuk bertindak atas nama PT tidak mengakui perjanjian yang ditandatangani oleh karyawan tersebut maka secara otomatis perjanjian tersebut tidak akan mengikat PT yang bersangkutan dan menjadi dapat dibatalkan dengan alasan perjanjian tersebut tidak sah karena tidak


(23)

pernah ada kata sepakat yang diberikan oleh orang yang dapat bertindak atas nama PT (ps. 1807 ayat 2 jo 1320 KUHPer).

Sementara bagi kepentingan pihak ketiga sendiri, guna mencegah batalnya perjanjian karena ternyata pihak yang mewakili mitra usahanya tidak berwenang untuk menandatangani perjanjian atas nama PT mitranya maka sebaiknya pihak ketiga tersebut meminta surat kuasa tertulis atau kepastian kepada mitra usahaya yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan memang berwenang untuk

menandatangani perjanjian atas nama PT. (ps. 1320 KUHPer)

Cara lain dalam pemberian kuasa selain dengan cara diatas, adalah dapat dilakukan dengan membuat semacam surat keputusan sebagai suatu peraturan internal perusahaan. Surat keputusan ini nantinya menjelaskan deskripsi pekerjaan dan memberikan batasan wewenang yang dimilikinya oleh level manajerial tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya, misalnya seperti kewenangan-kewenangan untuk menandatangani perjanjian tertentu yang sesuai dengan lingkup

pekerjaannya.

Bisa saja dibuat surat kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer, tapi hal ini sulit untuk dilakukan karena masing-masing

jabatan memiliki lingkup kerja sendiri dan secara otomatis maka kewenangan yang diberikan pun akan berbeda.

Pertanyaan :

sahkah surat perjanjian yang tanpa dibubuhi materai yang cukup serta sejauh mana kekuatannya jika terjadi sengketa di pengadilan

Jawaban :

Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.

Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.

Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli

warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang


(24)

sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.

Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.

Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.

Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.

Pertanyaan :

Bagaimana kekuatan dan dasar hukum dari sebuah perjanjian sepihak? Dalam hal ini perjanjian sepihak adalah perjanjian yang berkaitan dengan dua buah pihak. Namun yang bertandatangan hanyalah satu pihak didampingi oleh saksi-saksi dan materai.

Jawaban :

Perjanjian hakikatnya adalah perbuatan satu atau lebih pihak untuk mengikatkan diri pada satu atau lebih pihak lain (Psl. 1313 KUPerdata). Karenanya istilah “perjanjian sepihak” bertentangan dengan hakikat perjanjian itu sendiri (lih. Psl 1315 KUHPerdata).

Namun, KUHPerdata memuat pengecualian. Satu pihak bisa saja mengikatkan diri untuk menanggung/menjamin (kepada pihak kedua) bahwa seorang pihak ketiga akan berbuat sesuatu (lih. Psl. 1316 KUHPerdata). Pakar hukum melihat

pengecualian ini bersifat limitatif dan hanya dapat digunakan untuk keperluan penanggungan/pejaminan saja. Karenanya ‘perjanjian sepihak’ tidak memiliki kekuatan hukum maupun dasar hukum.

Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan antar pihak (lih. Psl 1320 KUHPerdata). Tentunya tanpa adanya kesepakatan, perjanjian menjadi tidak sah. Namun, perjanjian tidak harus dituangkan secara tertulis; lisan punya dapat dan sah serta mengikat. Namun, pembuktian perjanjian lisan lebih sulit dibandingkan tertulis. Karenanya, walaupun perjanjian tertulis yang anda masuk tidak sah, namun sebetulnya ada kesepakatan lisan, maka tetap dapat dianggap telah terjadi perjanjian di antara para pihak.

Pertanyaan :

Seperti diketahui, e-commerce itu mencakup B2C dan B2B dan dapat dilakukan melalui IRC, e-mail dan web. Dimensi e-commerce juga mencakup transaksi antar pihak domestik (nasional) maupun antar pihak domestik dan non domestik

(internasional). Dalam perjanjian apa pun kita harus memperhatikan BW sebagai pedoman dalam pembentukan perjanjian. Lalu, apakah transaksi e-commerce B2C melalui website telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 BW? Kapankah saat lahir perjanjian dalam transaksi tersebut? Siapa sajakah pihak yang teribat dalam e-commerce selain penjual dan pembeli?


(25)

Jawaban :

Setuju dengan pendapat anda, bahwa suatu transaksi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Karena prinsip yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bisa dibilang prinsip universal dari transaksi.

Pemahaman yang berkembang selama ini, syarat perjanjian yang tertera dalam ps. 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Padahal tidak demikian halnya, perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas

teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien.

Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam transaksi jual beli tetap saja dikenal proses pembayaran dan penyerahan barang. Apakah dalam e-commerce tidak ada pembayaran dan peneyerahan barang, saya pikir tetap saja ada. Dari situ

disimpulkan bahwa, dengan adanya internet atau e-commerce hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana. Secara hukum, tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.

Kemudian, kapan suatu perjanjian dalam transaksi e-commerce tersebut berlangsung tentunya sangat berkaitan erat dengan siapa saja suatu transaksi tersebut dilakukan. Dalam transaksi biasa, perjanjian berakhir ketika masing-masing pihak melakukan kewajibannya masing-masing-masing-masing.

Sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara on line. Namun memang tidak sesederhana jika dibandingkan dengan transaksi

konvensional. Dalam transaksi on line, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian tadi dibagi kepada beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Paling tidak ada tiga pihak yang terlibat dalam transaksi on line baik B2B (business to business) dan B2C (business to cumsomer), antara lain perusahaan penyedia

barang (seller), kemudian perusahaan penyediaan jasa pengriman (packaging), dan jasa pembayaran (bank).

Biasanya disetiap bagian pekerjaan (penawaran, pembayaran, pengiriman) masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing-masing-masing. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (seller) dengan pembeli (buyer) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual.

Bisa dikatakan bahwa transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Karena biasanya Bank baru akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi e-commercetersebut. Setelah penjual

menerima konfirmasi bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada

perusahaan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran,

pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir.

Pihak yang terkait langsung dalam transaksi paling tidak ada empat pihak yang terlibat, diatas telah disebutkan antara lain; penjual, pembeli, penyedia jasa pembayaran, penyedia jasa pengiriman.


(26)

Pertanyaan :

Mohon dapat dijelaskan mengenai unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan apakah pembatalan suatu rencana kerja secara sepihak sebelum adanya kontrak kerjasama dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum?

Jawaban :

Suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara kerugian dan perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Persoalan “rencana kerja” dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau

tidaknya rencana kerja (rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak, maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.

Suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara kerugian dan perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian).

Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.

Persoalan “rencana kerja” dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau

tidaknya rencana kerja (rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak, maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.


(27)

saya minta tolong untuk dijelaskan tentang hapusnya perikatan. kemudian apabila ada seorang pelukis yang telah dibayar (baik sebagian ataupun seluruhnya) untuk menyelesaikan suatu lukisan diri tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya itu karena ia meninggal dunia, bagaimana perikatan yang terjadi antara pelukis tadi dengan orang yang memberinya pekerjaan? apakah perikatan itu hapus atau masih berlanjut? mengapa? terima kasih.

Jawaban :

Pada asasnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak sendiri yang, baik sendiri maupun melalui kuasanya, menutup perjanjian tersebut. Pihak ketiga dapat

memperoleh hak-hak dari perjanjian dimana ia bukan merupakan pihak, asal dipenuhi apa yang dirumuskan dalam pasal 1317 (KUHPerdata).

Ada beberapa jenis perjanjian dimana dalam perjanjiannya melekat sedemikian eratnya pada sifat-sifat dan kecakapan yang bersifat sangat pribadi (melekat pada diri/persoon salah satu pihak) seperti pada perjanjian kerja (perjanjian

perburuhan), maka perjanjian jenis ini berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak.

Hal ini berarti, bahwa dalam perjanjian semacam itu perikatan-perikatan yang muncul daripadanya berhenti bekerja, sejak saat matinya salah satu pihak, atau dengan kata lain, perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut, tak berpindah kepada pihak lainnya atau kepada ahli warisnya. Tetapi hasil yang sudah keluar dari perjanjian tersebut, memang tetap tidak hapus dan beralih kepada para ahli waris. Jadi, sejak kematian salah satu pihak, perjanjian tersebut tidak menimbulkan perikatan-perikatan baru lagi dan perikatan yang sudah ada tak mempunyai daya kerja lagi, sedangkan yang sudah dihasilkan oleh perikatan (hasil yang sudah keluar dari perikatan) tersebut tetap.

Tetapi ada jenis perjanjian lainnya yang tidak berakhir dengan kematian salah satu atau kedua belah pihak, seperti perjanjian sewa menyewa.

Pertanyaan :

Apakah kesalahan identitas para pihak dalam suatu perjanjian membatalkan suatu perjanjian? Pasal KUHPerdata mana yang mengaturnya?

Jawaban :

Kesalahan Identitas para pihak dalam suatu perjanjian tidak mutlak menjadikan Perjanjian Itu Batal, asalkan memang klausula dalam perjanjian itu tetap disepakati dan sah menurut hukum. Dalam praktek perjanjian [bisnis], apabila terdapatnya kesalahan identitas maka perjanjian itu bisa diperbaiki, diubah khususnya terhadap Identitas para pihak, tentunya dengan suatu anggapan bahwa para pihak tetap sah dan cakap dalam melakukan tindakan hukum sesuai isi perjanjian.

 Syarat SAH-NYA suatu perjanjian harus memenuhi ketentuan pasal Pasal 1320 KUHPdt., yang menyatakan bahwa “supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat” yaitu :


(28)

1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian [agreement]2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian

[capacity]

SYARAT

SUBJEKTIF

3. Suatu hal tertentu [certainty of

terms]4. Sebab yang halal [considerations]

SYARAT

OBJEKTIF

 Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang

berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Mengenai BATALNYA perjanjian yaitu suatu perjanjian dibuat dengan TIDAK

memenuhi syarat Pasal 1320 KUHPdt., bisa berakibat kepada BATAL-NYA PERJANJIAN PEMBATALAN bisa dibedakan ke-dalam 2 terminologi yang memiliki konsekuensi Yuridis, yaitu:

a. Null and Void; Dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

b. Voidable; bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu puhak dapat memintakan

pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta

pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Pertanyaan :

Bagaimana kekuatan hukum suatu MOU (Memorandum Of Understending ) Apakah dapat dilakukan penuntutan dimuka pengadilan untuk pihak yang melanggar (Mohon dengan dasar hukumnya) ( terima kasih )

Jawaban :

Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepakatan merupakan dan termasuk suatu perjanjian yang dibuat oleh 2 (dua) pihak yang berkepentingan untuk itu. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karenanya suatu MoU yang dibuat antara 2 (dua) belah pihak akan mengikat kedua belah pihak tersebut. Kedua belah pihak tersebut sedemikian rupa harus mematuhi seluruh ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam klausula-klausula yang terdapat dalam MoU tersebut. Hal ini berarti bahwa apabila salah satu pihak yang terikat dalam MoU tersebut melakukan pelanggaran atas MoU, maka pihak yang lainnya dapat melakukan penuntutan di Pengadilan.

Sumber :Hukumonline.com DEFINISI HUKUM PERDATA

Definisi Hukum Perdata menurut para ahli : 1. Sri Sudewi Masjchoen Sofwan

? Hukum yang mengatur kepentingan warga negara perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.


(29)

2. Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.

? Hukum yang mengatur kepentingan perseorangan yang satu dengan perseorangan yang lainnya.

3. Sudikno Mertokusumo

? Hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban perseorangan yang satu terhadap yag lain didalam lapangan berkeluarga dan dalam pergaulan

masyarakat.

4. Prof. R. Soebekti, S.H.

? Semua hak yang meliputi hukum privat materiil yang mengatur kepentingan perseorangan.

Definisi secara umum :

? Suatu peraturan hukum yang mengatur orang / badan hukum yang satu dengan orang / badan hukum yang lain didalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Unsur yang terpenting dari Hukum Perdata : 1. norma peraturan

2. sanksi

3. mengikat / dapat dipaksakan AZAS-AZAS HUKUM PERDATA o Azas Individualitas

o Azas Kebabasan Berkontrak

Azas Monogami ( dalam hukum perkawinan ) Azas Individualitas

? Dapat menikmati dengan sepenuhnya dan menguasai sebebas-bebasnya (hak eigendom) dan dapat melakukan perbuatan hukum, selain itu juga dapat memiliki hasil, memakai, merusak, memelihara, dsb.

Batasan terhadap azas individualitas :

a. Hukum Tata Usaha Negara ( campur tangan pemerintah terhadap hak milik ) b. Pembatasan dengan ketentuan hukum bertetangga

c. Tidak menyalahgunakan hak dan mengganggu kepentingan orang lain Azas Kebebasan Berkontrak

? Setiap orang berhak mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam UU maupun yang belum ( pasal 1338 KUHPerdata ) asal perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum dan kesusilaan.

Azas Monogami

Seorang laki-laki dalam waktu yang sama hanya diperbolehkan memunyai satu orang istri. Namun dalam pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUPP) membuka peluang untuk berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat pada pasal 3 ayat (2), pasal 4 dan pasal 5 pada UUPP. PERKEMBANGAN KUHPerdata DI INDONESIA

? Hukum Perdata Eropa (Code Civil Des Francais) dikodifikasi tanggal 21 Maret 1804.

? Pada tahun 1807, Code Civil Des Francais diundangkan dengan nama Code Napoleon.

? Tahun 1811 – 1830, Code Napoleon berlaku di Belanda.

? KUHPerdata Indonesia berasal dari Hukum Perdata Belanda, yaitu buku “Burgerlijk Wetboek” (BW) dan dikodifikasi pada tanggal 1 Mei 1848.

? Setelah kemerdekaan, KUHPerdata tetap diberlakukan di Indonesia. Hal ini tercantum dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa


(1)

persetujuannya, harus menanggung penjualan itu, dan tuntutan si istri harus ditujukan kepada si suami. (KUHPerd. 105, 1492 dst.; Rv. 70 dst.)

1990. Kedaluwarsa tidak berjalan: terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak dipenuhi; (KUHPerd. 1261, 1263.) dalam hal suatu perkara untuk

menanggung suatu penjualan, selama belum ada putusan untuk menyerahkan barang yang bersangkutan kepada orang lain; (KUHPerd. 1491 dst.; Rv. 70 dst.) terhadap suatu piutang yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum tiba. (KUHPerd. 387, 1268 dst.)

1991. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan, tidak dapat dikenakan kedaluwarsa mengenai piutang-piutangnya terhadap harta peninggalan. (KUHPerd. 1030, 1032-2?, 1050; Rv. 337, 697.) Kedaluwarsa berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan itu. (KUHPerd. 1126 dst., 1986.)

1992. Kedaluwarsa itu berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya. (KUHPerd. 1023 dst.; Rv.-337.)

Ketentuan Penutup

1993. Kedaluwarsa yang sudah mulai berjalan sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, harus diatur menurut undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia. (Ov. 54; AB. 2; S. 1829-86, S. 1832-41; S. 1867-110.) Namun kedaluwarsa demikian yang menurut perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama lebih dari tiga puluh tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, akan terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun itu. (Sv. 408; S. 1850-:3.)

Diperoleh dari

“http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_UndangUndang_Hukum_Perdata/Buku_Keempa t“

Kategori: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

HUKUM DAGANG

Asal-usul KUHD

Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-undang dasar Republik Indonesia 1945, maka KUHD masih berlaku di Indonesia. KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tanggal 30 April 1847 (S. 1847 – 23), yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD Indonesia itu hanya turunan belaka dari “Wetboek van Koophandel”, Belanda, yang dibuat atas dasar konkordansi (pasal 131 I.S.).

Wetboek van Koophandel Belanda itu juga meneladan dari “Code du Commerce” Prancis 1808, tetapi anehnya tidak semua lembaga hukum yang diatur dalam “Code du Commerce” Prancis itu diambil alih oleh “Wetboek van Koophandle” Belanda. Ada beberapa hal yang tidak diambil, misalnya mengenai peradilan khusus tentang perselisihan-perselisihan dalam lapangan perniagaan (speciale

handscerchtbanken).


(2)

Dahulu sebelum zaman Romawi, di samping Hukum Perdata yang mengatur hubungan-hubungan hukum antar perseorangan yang sekarang termasuk dalam KUHPer, para pedagang membutuhkan peraturan-peraturan mengenai perniagaan. Karena perniagaan makin lama makin berkembang, maka kebutuhan hukum

perniagaan atau hukum dagang makin bertambah. Lama kelamaan, hukum dagang yang pada waktu itu masih merupakan hukum kebiasaan, begitu banyak, sehingga dipandang perlu untuk mengadakan kodifikasi. Kodifikasi hukum dagang yang pertama dibuat, atas perintah raja Lodewijk XIV di Prancis, yaitu Ordonnance du Commerce 1673 dan Ordonnance de la Marine 1681.

PENDAHULUAN

Sebelum kita melangkah lebih jauh dan mendalam, kita dituntut untuk mengerti dan memahami Hukum Dagang. Dan penerarapannya dalam kehidupan sehari-hari. Langkah pertama kita dalam membicarakan Hukum Dagang dalam negara diawali dengan mengemukakan definisi dagang itu sendiri. Dengan terlebih dahulu

mengemukakan definisinya yang sudah disepakati oleh pakar-pakar ilmu hukum dagang sendiri, kita akan mengetahui berbagai faktor dalam proses

kemunculannya.

Di sini kami akan mengemukakan beberapa pendapat dan berbagai pemikiran tentang definisi dagang. Mayoritas masyarakat dalam mendefinisikan dagang cenderung pada segi penjualan. Kecenderungan ini telah tersiar baik di masyarakat sekitar. Akan kami sebutkan beberapa contoh dari kecenderungan tersebut dan kami sedikit mengungkapkan dan membahas juga menjawab asas-asas hukum dagang dalam tulisan ini.

PERMASALAHAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa permasalahan, yaitu apakah ada kaitannya dengan masyarakat dan hubungannya atau dalam istilah lain. Apa manfaatnya asas-asas hukum dagang itu bagi masyarakat.

PEMBAHASAN Definisi Dagang

Perdagangan atau perniagaan dalam arti umum ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.

Di zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan menjual barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan.

Adapun pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen itu meliputi beberapa macam pekerjaan, misalnya :

1.Makelar, komisioner

2.Badan-badan usaha (assosiasi-assosiasi). Contoh : P.T, V.O.F 3.Asuransi


(3)

5.Surat perniagaan untuk melakukan pembayaran, dengan cara memperoleh kredit, dan sebagainya.

Orang membagi jenis perdagangan itu :

1.Menurut pekerjaan yang di lakukan perdagangan 2.Menurut jenis barang yang diperdagangkan

3.Menurut daerah, tempat perdagangan itu dijalankan Adapun usaha perniagaan itu meliputi :

1.Benda-benda yang dapat di raba, dilihat serta hak-haknya 2.Para pelanggan

3.Rahasia-rahasia perusahaan.

Menurut Mr. M. Polak dan Mr. W.L.P.A Molengraaff, bahwa : Kekayaan dari usaha perniagaan ini tidak terpisah dari kekayaan prive perusahaan.

Dengan demikian sistem atau perusahaan-perusahaan perdagangan yang berlaku pada umumnya tidak mempertahankan memisah-misahkan kekayaan perusahaan dari kekayaan prive perusahaan, berhubung dengan pertanggungan jawab pihak pengusaha terhadap pihak-pihak ketiga. (para kreditor).

Menurut sejarah hukum dagang

Perkembangan dimulai sejak kurang lebih tahun 1500. di Italia dan Perancis selatan lahir kota-kota pesat perdagangan seperti Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona, dan lain-lain.

Pada hukum Romawi (corpus loris civilis) dapat memberikan penyelesaian yang ada pada waktu itu, sehingga para pedagang (gilda) memberikan sebuah peraturan sendiri yang bersifat kedaerahan.

Sistematika KUHD

Hukum dagang di Indonesia terutama bersumber pada : 1.Hukum tertulis yang sudah di kodifikasikan

a.KUHD (kitab undang-undang hukum dagang) atau wetboek van koophandel Indonesia (W.K)

b.KUHPer (kitab undang-undang hukum sipil) atau Burgerlijk wetboek Indonesia (B.W)

2.Hukum-hukum tertulis yang belum dikoodifikasikan, yakni :

Perudang-undangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.

Hukum dagang di atas terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelajaran, dan dagang pada umumnya.

KUHD di Indonesia kira-kira satu abad yang lalu di bawa dari Belanda ke tanah air kita, dan KUHD ini berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 yang kitabnya terbagi atas dua, masing-masing kitab di bagi menjadi beberapa bab tentang hukum


(4)

dagang itu sendiri. Dan terbagi dalam bagian-bagian, dan masing-masing bagian itu di bagi dalam bagian-bagian dan masing menjadi pasal-pasal atau ayat-ayat.

Pada bagian KUHPer itu mengatur tentang hukum dagang. Hal-hal yang diatur dalam KUHPer adalah mengenai perikatan umumnya seperti :

1.ersetujuan jual beli (contract of sale)

2.Persetujuan sewa-menyewa (contract of hire) 3.Persetujuan pinjaman uang (contract of loun)

Hukum dagang selain di atur KUHD dan KUHPer juga terdapat berbagai peraturan-peraturan khusus (yang belum di koodifikasikan) seperti :

1.Peraturan tentang koperasi 2.Peraturan pailisemen 3.Undang-undang oktroi 4.Peraturan lalu lintas

5.Peraturan maskapai andil Indonesia 6.Peraturan tentang perusahaan negara

Hubungan Hukum Perdata dan KUHD

Hukum dagang merupakan keseluruhan dari aturan-aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi perbuatan-perbuatan manusia di dalam usaha mereka untuk menjalankan usaha atau perdagangan.

Menurut Prof. Subekti, S.H berpendapat bahwa :

Terdapatnya KUHD dan KUHPer sekarang tidak dianggap pada tempatnya, oleh karena “Hukum Dagang” tidak lain adalah “hukum perdata” itu sendiri melainkan pengertian perekonomian.

Hukum dagang dan hukum perdata bersifat asasi terbukti di dalam : 1. Pasal 1 KUHD

2.Perjanjian jual beli

3.Asuransi yang diterapkan dalam KUHD dagang

Dalam hubungan hukum dagang dan hukum perdata dibandingkan pada sistem hukum yang bersangkutan pada negara itu sendiri. Hal ini berarti bahwa yang di atur dalam KUHD sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHPer, bahwa kedudukan KUHD terdapat KUHPer adalah sebagai hukum khusus terhadap hukum umum.

Perantara dalam Hukum Dagang

Pada zaman modern ini perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian

perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal pembelian dan penjualan. Pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan seperti misalnya :


(5)

1. Perkerjaan perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya.

2. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara 3. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.

Pengangkutan

Pengangkutan adalah perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari satu tempat ke lain tempat, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos. Menurut undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengakutan saja, tidak perlu ia sendiri yang mengusahakan alat pengangkutan.

Di dalam hukum dagang di samping conossement masih di kenal surat-surat berharga yang lain, misalnya, cheque, wesel yang sama-sama merupakan perintah membayar dan keduanya memiliki perbedaan.

Cheque sebagai alat pembayaran, sedangkan wesel di samping sebagai alat pembayaran keduanya memiliki fungsi lain yaitu sebagai barang dagangan, suatu alat penagihan, ataupun sebagai pemberian kredit.

Asuransi

Asuransi adalah suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu, kejadian mana akan menentukan untung ruginya salah satu pihak. Asuransi merupakan perjanjian di mana seorang penanggung, dengan menerima suatu premi menyanggupi kepada yang tertanggung, untuk memberikan penggantian dari suatu kerugian atau kehilangan keuntungan yang mungkin di derita oleh orang yang ditanggung sebagai akibat dari suatu kejadian yang tidak tentu

Sumber-sumber Hukum

Sumber-sumber hukum meliputi yang terdapat pada : 1. Kitab undang-undang hukum perdata

2.Kitab undang-undang hukum dagang, kebiasaan, yurisprudensi dan peraturan-peraturan tertulis lainnya antara lain undang-undang tentang bentuk-bentuk usaha negara (No.9 tahun 1969)

3. Undang-undang oktroi

4.Undang-undang tentang merek 5. Undang-undang tentang kadin

6. undang-undang tentang perindustrian, koperasi, pailisemen dan lain-lain.

Persetujuan Dagang

Dalam hukum dagang di kenal beberapa macam persekutuan dagang, antara lain : 1.Firma


(6)

3.Perseroan terbatas 4.Koperasi