Hukum Waris Perdata badan hukum perdata

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi warganegara Indonesia keturunan Eropa (Belanda) dan Timur Asing
Tionghoa, hukum Perdata BW masih merupakan sumber hukum utama dalam
menyelesaikan masalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang atau
lebih yang telah meninggal dunia. Kendati hukum itu sudah lama ada dan
telah lama pula digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, namun
penyelesaian terhadap harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang
telah meninggal dunia tersebut kerap menjadi masalah dan bahkan tidak
jarang penyelesaiannya harus dengan intervensi lembaga peradilan negara.
Sumber-sumber yang menimbulkan masalah dalam menyelesaikan harta
kekayaan peninggalan tersebut memang ada yang disebabkan oleh faktor
kesengajaan, tapi ada pula yang disebabkan oleh faktor kekurangan dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal hukum perdata BW
tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang hukum waris menurut BW ini akan
dibahas dalam bab selanjutnya.
B.


Rumusan Masalah
1. Apa hukum waris itu?
2. Bagaimana cara mewaris menurut BW?
3. Bagaimana perhitungan warisan menurut BW?
4. Apa saja alasan yang menyebabkan seseorang tidak patut mewaris?

5. Bagaimana apabila ada penolakan terhadap warisan?
6. Apa yang menyebabkan gugurnya suatu surat wasiat?
7. Bagaimana pembagian harta warisan?
8. Apa alasan diadakan pengurangan (inkorting) dalam wasiat atau hibah?
9. Apa penyebab dibatalkannya pembagian harta warisan?
10. Bagaimana bila harta warisan dibagikan ketika pewaris masih hidup?
11. Bagaimana mengenai harta warisan yang tak terurus?
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang definisi hukum waris
2. Mengetahui cara pewarisan menurut BW
3. Mengetahui cara perhitungan warisan menurut BW
4. Mengetahui alasan yang menyebabkan seseorang tidak patut mewaris
5. Mengetahui tentang penolakan terhadap warisan

6. Mengetahui penyebab gugurnya suatu surat wasiat
7. Mengetahui cara pembagian harta warisan
8. Mengetahui alasan diadakan pengurangan (inkorting) dalam wasiat atau
hibah
9. Mengetahui penyebab dibatalkannya pembagian harta warisan
10. Mengetahui akibat bila harta warisan dibagikan ketika pewaris masih
hidup
11. Mengetahui tentang harta warisan yang tak terurus

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris
Hukum waris adalah ketentuan yang mengatur soal apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.1
Pengertian lain, hukum waris adalah semua peraturan hukum yang mengatur
kekayaan seseorang yang meninggal dunia, yaitu mengenai pemindahan kekayaan
tersebut, akibatnya bagi yang memperoleh, baik dalam hubungan antara mereka
maupun dengan pihak ketiga.2

Dari beberapa definisi ini, dikenal berbagai istilah, yaitu :
1.

Pewaris : ialah orang yang meninggal dunia, dan meninggalkan harta
kekayaan kepada orang lain.

2.

Ahli waris : orang yang berhak atas harta warisan.

3.

Harta warisan : kekayaan yang ditinggalkan berupa aktiva dan passiva
(boedel).

4.

Pewarisan : proses beralihnya harta kekayaan (hak dan kewajiban) seseorang
kepada para ahli warisnya.4
1


Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1996),

Hlm.8.
2

Gregor van der Bught, Hukum Waris Buku Kesatu (seri Pitlo), terjemahan F. Tengker,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.1.
3
R. Abdoel Djamali, S.H., Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
cet.19, hlm. 164.
4
Djaja S. Meliala, S.H., M.H., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan
Hukum Perikatan, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), cet. 1, hlm. 120.

Dari pengertian “pewarisan”, sebagaimana diuraikan di atas, akan
menimbulkan 4 (empat) pertanyaan, yakni :
1.

Apa syarat-syaratnya agar harta kekayaan pewaris beralih kepada

ahliwarisnya?

2.

Kapan harta kekayaan itu beralih?

3.

Harta kekayaan apa saja yang beralih?

4.

Bagaimana caranya harta kekayaan itu beralih?

Ad. 1. Agar harta kekayaan beralih dari si pewaris kepada ahli warisnya, harus
memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu: 1) syarat umum dan 2) syarat mutlak.
Syarat umum, ialah:
1. Ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPerdata)
2. Ada ahliwaris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUHPerdata)
3. Ada harta kekayaan yang ditinggalkan (Pasal 1100 KUHPerdata)

Sedangkan syarat mutlak adalah harus ada orang meninggal (Pasal 830
KUHPerdata), kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir (Pasal 467
jo Pasal 470 KUHPerdata), bahwa pewaris belum meninggal.
Syarat kematian atau harus ada orang yang meninggal dunia di
samping meerupakan syarat umum juga merupakan syarat mutlak.5
Ad. 2. Kapan harta kekayaan itu beralih? Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa
apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan
kewajibannya beralih pada sekalian ahliwarisnya.6

5

Djaja S. Meliala, S.H., M.H., ibid, hlm. 121.
Prof. Subekti, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), cet. 31,

6

hlm. 96.

Demi hukum (van Rechtswege), “seketika itu pula”, dikenal dengan
asas le mort saisit le vif. Asas ini terkandung dalam Pasal 833 (1)

KUHPerdata, disingkat dengan “hak saisine”.7
Menurut Pasal 834 B.W. seorang ahliwaris berhak untuk menuntut
supaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal
diserahkan

padanya

berdasarkan

haknya

sebagai

ahliwaris.

Hak

penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda,
dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan pada orang yang
menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memikikinya. Oleh

karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang
hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu berdasarkan
suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Pun
penuntutan

tersebut

tidakdapat

ditujukan

padaseorang

executeur-

testamentair atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak
terurus. Seorang ahliwaris yang mempergunakan hak penuntutan tersebut,
cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah
ahliwaris dari si meninggal dan barang yang dimintanya kembali itu
termasuk benda peninggalan.8

Hak ini dikenal dengan istilah hereditatis petitio. 9
7

Djaja S. Meliala, S.H., M.H., loc.cit.

8

Prof. Subekti, S.H., loc.cit.

9

Djaja S. Meliala, S.H., M.H., op.cit., hlm. 122.

Ad. 3. Harta kekayaan apa saja yang beralih? Dalam hukum waris berlaku suatu
asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain
hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang. Oleh karen itu, hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajibankewajiban kepribadian, misalnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban
sebagai seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan,

begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagai anggota
suatu perkumpulan. Tetapi ada juga satu dua kekecualian, misalnya hak
seorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya dan di pihak lain hak
seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah
dari bapak atau ibunya, menurut undang-undang beralih pada (diwarisi
oleh) ahli waris dari masing-masing orang yang mempunyai hak-hak itu.
Sebaliknya ada juga hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terletak
dalam lapangan hukum perbedaan atau perjanjian, tetapi tidak beralih pada
para ahliwaris si meninggal, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu
perjanjian perburuhan dimana seorang akan melakukan suatu pekerjaan
dengan tenaganya sendiri. Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik
yang berbentuk maatschap (perseroan) menurut B.W., maupun yang

berbentuk firma menurut W.v.K, yang menurut undang-undang diakhiri
dengan meninggalnya salah satu anggota atau persero.10
10

Prof. Subekti, S.H., op.cit., hlm. 95 dan 96.

Harta kekayaan dalam lapangan Hukum harta kekayaan yang terdapat

dalam Buku II dan Buku III KUHPerdata, walaupun ada kekecualian. Sedangkan
hak dan kewajiban yang ada dalam Buku I KUHPerdata tidak beralih, juga ada
kekecualian.
Harta kekayaan (hak dan kewajiban) yang tidak beralih dari Buku II dan
Buku III KUHPerdata, adalah :
1.

Hak dan Kewajiban dari perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792
KUHPerdata).

2.

Hak dan Kewajiban dari perjanjian kerja atau perjanjian Perburuhan (Pasal
1601 a KUHPerdata).

3.

Keanggotaan suatu persekutuan/perseroan (Pasal 1646 KUHPerdata).

4.

Hak bunga cagak hidup (Pasal 1776 KUHPerdata).

5.

Hak pakai hasil (Pasal 756 KUHPerdata).

6.

Ada dengan pembatasan, yaitu hak pengarang selama 50 tahun.
Sedangkan hak dan kewajiban yang beralih dari Buku I KUHPerdata, adalah
hak mengingkari keabsahan seorang anak (Pasal 257 KUHPerdata). Ada hak
dan kewajiban dari Buku I KUHPerdata yang mempunyai nilai uang tetapi
tidak beralih, seperti hak nikmat hasil (Pasal 311 KUHPerdata) dan hak
alimentasi (Pasal 225 KUHPerdata).11
11

Lihat J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,1990), hlm.

10 dan 11.

Ad. 4. Bagaimana caranya hak dan kewajiban itu beralih?
Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengenal 2 (dua) macam sistem
pewarisan, yaitu:
1. Sistem pewarisan ab intestato (menurut Undang-undang/karena
kematian/tanpa surat wasiat).
2. Sistem pewarisan menurut surat wasiat (testament).12
Hukum waris ab intestato mengatur tentang penerimaan warisan dari
seseorang yang meninggal dunia yang tidak mengadakan ketentuanketentuan mengenai kekayaannya.13 Dalam hal mewarisi menurut undangundang (ab intestato) kita dapat membedakan antara orang-orang yang
mewarisi “uit eigen

hoofde” dan

mereka

yang mewarisi

“bij

plaatsvervulling”. Seorang dikatakan mewarisi “uit eigen hoofde” jika ia
mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si
meninggal. Ia dikatakan mewarisi “bij plaatsvervulling” jika sebenarnya
seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah
meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan.
Apabila beberapa orang bersama-sama menggantikan seseorang, maka
dikatakan mereka itu mewarisi “bij staken”, karena mereka itu bersamasama merupakan suatu “staak” atau cabang. Makin banyak anggota suatu
cabang, semakin sedikit bagian masing-masing. Dalam suatu cabang dapat
terjadi satu atau beberapa cabang lagi.14
12

Djaja S. Meliala, S.H., M.H., op.cit., hlm. 123.

13

R. Abdoel Djamali, S.H., op.cit., hlm. 165.

14

Prof. Subekti, S.H., op.cit., hlm. 98.

B. Sistem Pewarisan Ab Intestato
Menurut pasal 832 KUHPerdata, dinyatakan bahwa “yang berhak untuk
menjadi ahliwaris ialah para keluarga sedarah baik sah maupun luar kawin dan
suami atau istri yang hidup terlama. Kalau keluarga sedarah atau suami atau istri
yang hidup terlama tidak ada, maka segala harta peninggalan itu menjadi milik
negara dengan melunasi segala utang sekadar harta peninggalan mencukupi untuk
itu”. Yang dimaksud dengan keluarga sedarah dan suami atau istri yang hidup
terlama sebagai ahliwaris itu. Ada 4 (empat) golongan dalam keluarga sedarah.15
Golongan I

: Anak sah, suami istri yang hidup paling lama, termasuk istri
kedua atau suami kedua... dan seterusnya (Pasal 852 jo Pasal

Golongan II

852a KUHPerdata).
: Orang tua dan saudara-saudara sekandung, seayah atau seibu

Golongan III

(Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata).
: Sekalian saudara sedarah dalam garis lurus keatas baik dalam
garis ayah, maupun ibu. Secara singkat dapat dikatakan
kakek-nenek dari pihak ayah dan kakek-nenek dari pihak ibu

Golongan IV

(Pasal 853 KUHPerdata).
: Keluarga sedarah ke samping sampai derajat ke-enam (Pasal
861 jo Pasal 858 KUHPerdata). Mereka ini adalah saudara

sepupu dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Jika keempat golongan ahliwaris ab intestato ini tidak ada, maka harta
warisan jatuh ke tangan Negara bukan sebagai ahliwaris, tetapi sebagai pemilik
harta warisan (Pasal 832 ayat 2 KUHPerdata jo Pasal 520 KUHPerdata).
Bagaimana dengan anak luar kawin yang diakui? Mereka inimenempati
tempat atau kedudukan tersendiri. Mereka dapat mewaris bersama-sama golongan
I, II, III, IV (Pasal 863 KUHPerdata).16
15

R. Abdoel Djamali,S.H., loc.cit.

16

Djaja S. Meliala, S.H., M.H., op.cit.,hlm. 123 dan 124.

C. Cara Pembagian Harta Warisan Untuk Keempat Golongan Dalam
Hukum Perdata
Untuk golongan I , cara pembagiannya dilakukan menurut Pasal 852 dan
Pasal 852a KUHPerdata.
Pasal 852 KUHPerdata, menentukan : seorang anak memperoleh bagian yang
sama besarnya dengan ibunya atau ayahnya yang hidup paling lama dari harta
warisan ibunya atau ayahnya.
P

A

Keterangan Contoh :
= kode untuk jenis kelamin laki-laki

B
C
P = pewaris ; A = istri pewaris ; B dan

belum meninggal
= kode untuk jenis kelamin

perempuan belum meninggal
C = anak-anak pewaris ; maka P = pewaris
= kode untuk jenis kelamin laki-laki
cara pembagiannya A = B = C,
yang sudah meninggal
masing-masing
memperoleh
= kode untuk jenis kelamin
sepertiga bagian. Dengan cara
pembagian seperti ini perlu

perempuan yang sudah meninggal
= onwaardig
= menolak warisan

diingat bahwa harta warisan
adalah
bersama

setengah

dari

(Pasal

harta
128

KUHPerdata)
Perhatikan kembali contoh di atas,jika P meninggalkan harta bersama sebesar
1,2 miliar (satu koma dua miliar), maka harta warisan P hanya berjumlah ½ x 1,2
miliar = 600 juta rupiah. Jumlah yang Rp. 6.00 juta inilah yang dibagi sama
banyak antara A, B, dan C, sehingga masing-masing memperoleh 1/3 x Rp. 600

juta =Rp. 200 juta. Sedangkan setengah bagian lagi sejumlah Rp.600 juta, jatuh
kepada A sebagai mitra kawin yang hidup paling lama, sehingga A akan
memperoleh Rp. 200 juta + Rp.600 juta, menjadi Rp. 800 juta.
Bagaimanakah dengan sitri kedua atau suami kedua, ketiga dan seterusnya
(jika ada) ?
Pasal 852a KUHPerdata menentukan : suami atau istri kedua dan seterusnya
(jika ada), memperoleh bagian yang sama dengan seorang anak, tetapi bagian
emreka ini maksimum ¼ (seperempat) bagian, jika ada anak-anak dari perkawinan
pertama.
Contoh :
P
A
B
C

D

E

F
G

P meninggal dunia meninggalkan ahli waris 4 (empat) orang anak sah dari
istri pertama, yakni (C), (D), (E), dan (F), seorang istri kedua bernama (B), dan
seorang anak dari istri kedua bernama (G). Berapa besar bagian masing-masing?
Cara pembagiannya : B = C = D = E = F = G, masing-masing 1/6 (seperenam)
bagian.
Contoh lain :
(1)

P
A
B
C

D

E

Cara pembagiannya : B = C = D = E = ¼ (seperempat) bagian
(2) P
A
B
D
C
Cara pembagiannya : B = ¼ (seperempat) bagian, C = D = ½ x ¾ = 3/8
(tiga perdelapan) bagian.
Dari ketentuan Pasal 852 dan Pasal 852a ini dapat dilihat bahwa didalam
sistem pewarisan menurut KUHPerdata, terkandung asas individual, yang berarti
bahwa yang menjadi ahliwaris adalah perorangan (individual) bukan kelompok
ahliwaris, dengan tidak membedakan bagian anak laki-laki dan anak perempuan;
juga tidak membedakan apakah mereka adalah anak-anak dari perkawinan
pertama atau kedua, dan seterusnya, semuanya memperoleh bagian yang sama.
Oleh karena itu Pasal 1066 KUHPerdata, selanjutnya menentukan: dengan
meninggalnya si pewaris, maka seketika itu juga seorang ahliwaris atau para
ahliwarisnya dapat menuntut agar diadakan pembagian (pemisahan) harta warisan.
Ketentuan Pasal 1066 KUHPerdata ini adalah merupakan ciri khas sistem
pewarisan menurut KUHPerdata, yang membedakannnya dengan sistem

pewarisan menurut hukum lain, seperti sistem pewarisan menurut hukum adat
maupun hukum Islam.
Untuk Golongan II, cara pembagiannya dilakukan menurut Pasal 854
danPasal 857 KUHPerdata.
Pasal 854 KUHPerdata menentukan : ayah atau ibu si pewaris akan
memperoleh bagian yang sama dengan saudara-saudara sekandung dari pewaris,
tetapi mereka ini minimum akan mendapat ¼ (seperempat) bagian.
Contoh :
A

B

P

C

D

P, meninggal dunia, meninggalkan ayah (A) dan ibu (B), serta dua orang saudara
sekandung (C), dan (D). Berapa besar bagian masing-masing?
Cara pembagiannya : A = B = C = D, masing-masing ¼ (seperempat) bagian.
Contoh lain :

(1)
A

B

P

C

Cara pembagiannya : A = B = C, masing-masing 1/3 (sepertiga)

(2)
A

B

P

C

D

E

Cara pembagiannya : A dan B,bersama-sama mendapat ½ (setengah)
bagian, sehingga masing-masing A = B = ½ x ½ = ¼ (seperempat) bagian.
Kemudian C = D = E = 1/3 x ½ = 1/6 (seperenam) bagian.
Contoh pasal 857 KUHPerdata
Lihat gambar.
A

D

B

P

C

E

P meninggal dunia, meninggalkan ahliwaris seorang saudara sekandung
bernama (C), seorang saudara seayah (D) dan seorang saudara seibu (E). Berapa
besar bagian masing-masing?
Dalam hal ini warisan dibagi menjadi dua dulu, ½ (setengah) bagian untuk
saudara seayah, dan setengah bagian lagi untuk saudara seibu.
Maka, C = D = ½ x ½ = ¼ (seperempat) bagian.
Kemudian C = E = ½ x ½ = ¼ (seperempat) bagian.
Sehingga : D = ¼ (seperempat) bagian,
C = ¼ + ¼ = ½ (setengah) bagian,
E = ¼ (seperempat) bagian.

Di dalam ketentuan Pasal 854 dan 857 KUHPerdata ini terkandung asas
bilateral, yang berarti bahwa seseorang tidak hanya mewaris dari ayah atau ibunya
saja, tetapi juga mewaris dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan, baik
sekandung maupun seayah atau seibu.
Untuk Golongan III, cara pembagiannya dilakukan menurut Pasal 853
KUHPerdata.
Pasal 853 KUHPerdata menentukan: dilakukan pembelahan (kloving),
artinya ½ (setengah) bagian untuk kakek-nenek pihak ayah (pancar ayah ke atas),
dan setengah bagian lagi untuk kakek-nenek pihak ibu (pancar ibu ke atas).
Contoh:
A

B

Q

C

R
S

P
P, meninggal dunia meninggalkan kakek (A) dan nenek (B) daripihak
ayah, serta kakek (Q) dan nenek (R) dari pihak ibu. Berapabesar bagian masingmasing?
Cara pembagiannya : A dan B memperoleh ½ (setengah) bagian, masingmasing = ½ x ½ = ¼ (seperempat) bagian.
Demikian pula Q dan R memperoleh ½ (setengah) bagian, masing-mamsing = ½ x
½ = ¼ (seperempat) bagian.
Untukgolongan IV cara pembagiannya dilakukan menurut Pasal 858 KUHPerdata.
Pasal 858 KUHPerdata menentukan dilakukan pembelahan (kloving).
Setengah bagian untuk saudara sepupu, yaitu para paman atau bibi dan sekalian

keturunan dari paman atau bibi yang telah meninggal lebih dulu dari si pewaris,
baik mereka dari garis ayah maupun dari garis ibu.
Contoh :
A

B

C

D

Q

E

R

S

T

P
P meninggal dunia, ...... dan seterusnya.
Pembagiannya : C dan D mendapat ½ (setengah) bagian, masing-masing = ½
x ½ = ¼ (seperempat) bagian. Sedangkan T mendapat ½ (setengah) bagian.
Contoh lain :
Ahliwaris golongan III bersama-sama mewaris dengan golongan IV. Contoh
ini merupakan pengecualian dari asas perderajatan.
Lihat Gambar
A

B

C

Q

E

S
P

P meninggal dunia, ..... dan seterusnya.

R

T
V

U

Dalam hal ini A dan B, golongan III dari garis ayah bersama-sama menjadi
ahliwaris dengan U dan V golongan IV dari garis ibu.
Cara pembagiannya : A dan B bersama-sama mendapat ½ (setengah) bagian,
dan masing-masing memperoleh ½ x ½ = ¼ (seperempat) bagian. Dari garis ibu,
U dan V juga mendapat ½ (setengah) bagian, dan amsing-masing memperoleh ½
x ½ = ¼ (seperempat) bagian. V menggantikan kedudukan T mewaris bersamasama U, karena penggantian tempat.

Pewarisan Untuk Anak Luar Kawin Yang Diakui
Menurut Pasal 863 KUHPerdata, jika anak luar kawin yang diakui mewaris
bersama-sama golongan I, maka ia mendapat 1/3 (sepertiga) bagian dari bagian
yang seharusnya diterimanya menurut Undang-Undang, seandainya ia anak sah.
Jika anak luar kawin yang diakui itu mewaris bersama-sama golongan II atau
golongan III, mereka akan mendapat ½ (setengah) bagian. Selanjutnya jika anak
luar kawin yang diakui mewaris bersama-sama golongan IV, akan memperoleh ¾
(tiga perempat) bagian.
Contoh :
Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama-sama golongan I.
P

D

A

B

C

P meninggal dunia, meninggalkan istrinya bernama (A), seorang anak luar
kawin yang diakui (D) dan dua orang anak sah (B) dan (C). Berapa besar bagian
masing-masing?
Cara pembagiannya : D (anak luar kawinyang diakui), memperoleh bagian
sebesar 1/3 x ¼ = 1/12 (seperduabelas) bagian. Sisanya 11/12 bagian lagi
dibagikan kepada A, B, dan C. Maka A = B = C = 1/3 x 11/12 = 11/36 (sebelas per
tigapuluh enam) bagian.
Contoh :
Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama-sama golongan II.
A

B

P

C

D
P meninggal dunia, meninggalkan ahliwaris, ayahnya (A), ibunya (B), dan
seorang saudara sekandung (C), serta seorang anak luar kawin yang diakui (D).
Berapa besar bagian masing-masing?
Cara pembagiannya : D (anak luar kawin yang diakui), akan memperoleh ½
(setengah) bagian. Sisanya, A = B = C = 1/3 x ½ = 1/6 (seperenam) bagian.
Contoh :
Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama-sama golongan III.
A

B

Q

R

C

S
P
D

P meninggal dunia, ...... dan seterusnya.
Cara pembagiannya : D (anak luar kawin yang diakui) akan memperoleh ½
(setengah) bagian. Sisanya ½ (setengah) bagian lagi dibelah dua (kloving), ¼
(seperempat) bagian untuk kakek-nenek dari garis ayah dan ¼ (seperempat)
bagian lagi untuk kakek-nenek dari garis ibu. Maka A dan B bersama-sama
memperoleh ¼ (seperempat) bagian, masing-masing ½ x ¼ = 1/8 (seperdelapan)
bagian. Demikian pula Q dan R bersama-sama memperoleh ¼ (seperempat)
bagian, masing-masing ½ x ¼ = 1/8 (seperdelapan).
Contoh :
Anak luar kawin yang diakui mewaris bersama golongan IV.

A

B

C

E

Q

R

S

U

P
E
P meninggal dunia, ...... dan seterusnya.
Cara pembagiannya : E (anak luar kawin yang diakui) akan memperoleh ¾
(tiga perempat) bagian. Sisanya ¼ (seperempat) bagian lagi, dibagikan kepada C
dan T, masing-masing ½ x ¼ = 1/8 (seperdelapan) bagian.
Jika ada anak luar kawin 2 (dua) orang atau lebih,maka menurut ketentuan
pasal 864 KUHPerdata : hitung dulu bagian anak luar kawin itu, setelah itu
keluarkan bagiannya itu, sisanya bagikan kepada ahliwaris menurut UndangUndang.
Contoh :
P

D

E

A

B

C

P meninggal dunia,...... dan seterusnya.
Cara pwmbagiannya : D = E = 1/3 x 1/5 = 1/15 bagian, D dan E (dua orang
anak luar kawin yang diakui) bersama-sama, menjadi 1/15 + 1/15 = 2/15 bagian.
Sisa harta warisan = 15/15 - 2/15 = 13/15 (tiga belas per lima belas)bagian.
Dari sisa ini maka A = B = C = 1/3 x 13/15 = 13/45 (tigabelas per empat puluh
lima) Bagian.
Bagaimana jika anak luar kawin (yang diakui) mewaris bersama golongan III
dari garis ayah dan golongan IV dari garis ibu ? apakah mereka mendapat ½
(setengah) bagian atau ¾ (tiga perempat) bagian? Mereka mereka mendapat ½

(setengah) bagian tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka (anak luar
kawin yang diakui) itu seharusnnya mendapat ¾ (tiga perempat) bagian. Apa
alasannya? Sebenarnya jika anak luar kawin yang diakui mewaris bersama-sama
golongan III, maka anaka luar kawin itu seharusnya memperoleh ¾ (tiga
perempat) bagian, karena hubungan kekeluargaannnya itu sudah jauh.

Pewarisan Untuk Anak Luar Kawin Yang Tidak Diakui
Anak luar kawin yang dimaksud ialah anak yang lahir dari ayah dan ibu yang
dilarang kawin oleh Undang-undang, atau salah satu pihak ad dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain. Anak ini disebut anak sumbang (penodaan
darah/incest) dan / atau anak zina.
Pasal 867 ayat (2) KUHPerdata, menyatakan bahwa : “undang-undang hanya
memberikan nafkah seperlunya kepada mereka”.
Ketentuan ini sesuai dengan pasal 283 KUHPerdata, yang melarang
pengakuan anak semacam ini.
Lebih lanjut pasal869 KUHPerdata, menjelaskan: bila bapaknya atau ibunya
sewaktu hidup telah memberikan jaminan nafkah seperlunya untuk anak yang
lahir dari perzinahan atau penodaan darah, maka anak itu tidak mempunyai hak
lebih lanjut untuk menuntut warisan dari bapak atau ibunya.
Persoalan selanjutnya, bagaimana kalau ibu-bapaknya sewaktu hidupnya
tidak memberikan jaminan nafkah secukupnya sebagaimana ditentukan dalam
pasal 867 KUHPerdata tersebut? Untuk itu harus dibedakan antara anak sumbang
(penodaan darah) dan anak zina. Untuk anak penodaan darah dapat diterapkan

pasal 867 KUHPerdata, sedangkan untuk anak zina adalah sangat kecil
kemungkinannya untuk mendapatkan nafkah, karena terhalang oleh pasal 289
KUHPerdata, yang tidak mengizinkan kepada anak itu untuk menyelidiki siapa
ayahnya atau siapa ibunya.17 Akan tetapi sekarang ketentuan ini bertentangan
dengan pasal 56 ayat 1 UU No. 39/1999 (Tentang Hak Asasi Manusia), yang
berbunyi : setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya,dibesarkan,
dan siasuh oleh orang tuanya sendiri.

D. Mewaris Karena Pergantian Tempat
Pergantian tempat (representasi) ada 3 (tiga) macam: 18
1.

Pergantian dalam garis lurus ke bawah (pasal 842 KUHPerdata).

2.

Pergantian dalam garis ke samping (pasal 844 KUHPerdata).

3.

Pergantian dalam garis ke samping menyimpang (pasal 845 jo pasal 861
KUHPerdata)
17

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1966),

hlm. 54.
18

Mohd. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat,

(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 50.

Contoh :
Pergantian dalam garis lurus ke bawah (pergantian berlangsung tanpa ada
batasnya).
P

A

C
B
D
P meninggal dunia, meninggalkan istrinya (A), seorang anak (B) , dan
seorang cucu bernama (D), anak dari (C) yang telah meninggal lebih dulu dari P.
Maka D, menggantikan kedudukan C (ayahnya), mewaris bersama B dan A,
terhadap harta warisan yang ditinggalkan oleh P (kakeknya).
Contoh : penggantian dalam garis ke samping
A

B

D
P

C
E

P meninggal dunia, .....dan seterusnya.
E, menggantikan kedudukan D, mewaris bersama A, B dan C, terhadap harta
warisan P (pamannya).
Contoh :
Penggantian dalam garis ke samping menyimpang. Dalam hal ini ahliwaris yang
tampil adalah golongan IV (empat), penggantian dapat terjadi sampai derajat keenam (Pasal 861 KUHPerdata).
Lihat gambar :
A

B

C

D

Q

R

S

T

E

P

P meninggal dunia, ..... dan seterusnya.
E, menggantikan tempat C (sepupu P atau paman dari pihak ayah) mewaris
bersama T (sepupu P atau paman dari pihak ibu) terhadap harta warisan P.
Syarat penggantian tempat19
1.

Yang diganti harus telah meninggal dunia (Pasal 847 KUHPerdata).

2.

Yang mengganti harus merupakan keturunan yang sah dari yang diganti
(Pasal 842 KUHPerdata).

3.

Memenuhi syarat untuk menjadi ahliwaris (Pasal 836 KUHPerdata), di
samping itu tidak menolak warisan dan onwaardig (tidak patut mewaris).
Bagaimana dengan commorientes, onwaardig, menolak warisan, anak luar

kawin yang diakui dan ahli waris testamenter? Terhadap ke 5 (lima) golongan
ini,apakah dikenal penggantian tempat ? bagaimana kalau yang onwaardig atau
yang menolak warisan itu meninggal lebih dulu?
19

Hartono Soerdjoptratiknjo, Hukum Waris Tanpa Wasiat, Seksi Notariat Fakultas Hukum

Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta, 1982), hlm. 27.

1.

Commorientes (Pasal 831 KUHPerdata).
Pasal 831 KUHPerdata, menentukan : bahwa kalau beberapa orang
meninggalpada saat yang sama atau malapetaka yang sama, atau pada suatu
hari yang saama dengan tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih

dahulu, maka mereka dianggap meninggal pada saat yang sama,sehingga
mereka tidak saling mewaris.20
Contoh :
A

B

C

D
A dan C, meninggal secara serentak pada suatu kecelakaan yang sama.
Dalam surat wasiat, A mengangkat C sebagai ahli warisnya untuk seluruh
hartanya, apabila A meninggal lebih dulu dari C. Jika A dan C ternyata meninggal
berrsama-sama atau tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu, maka surat
wasiat itu tidak berlaku. Maka yang mewaris adalah B. Tetapi apabila dapat
dibuktikan oleh D bahwa A meninggal lebih dulu dari C, maka yang mewaris
adalah D sebagai pengganti C, sedangkan B tidak mendapat warisan.21
20

Efendi Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 5.

21

Efendi Perangin, ibid, hlm. 6.

2.

Onwaardigheid (tidak patut mewaris).
Menurut pasal 838 KUHPerdata, ada 4 (empat) golongan yang dianggap
tidak patut menjadi ahliwaris yaitu :

1. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau
mencoba membunuh si pewaris.
2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena
memfitnah si pewaris, bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau pembuatan nyata telah mencegah si
pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
si pewaris.
Anak-anak dari mereka yang tidakpatut mewaris (onwaardig) tidak
menggantikan tempat (pasal 847 KUHPerdata), kecuali atas kedudukan sendiri
(pasal 1060 KUHPerdata).
Contoh :
Pasal 847 KUHPerdata, menentukan : tak seorangpun boleh menggantikan
orang yang masih hidup.
Lihat gambar :

P

A

B

C

D

E
B, onwaardig. E tidak menggantikan tempat B, mewaris bersama C, D dan A,
terhadap harta warisan P.
Selanjutnya ketentuan pasal 1060 KUHPerdata sebenarnya tidak mengatur
akibat onwaardigheid. Ketentuan ini mengatur akibat penolakan suatu warisan.
Namun

demikian

pasal

1060

KUHPerdata

secara

analogis

terhadap

ketidakpatutan.22
Bagaimana kalau yang onwaardig itu meninggal lebih dulu dari si pewaris,
apakah anak-anaknya menggantikan tempat? Pitlo dan Meyers mengatakan “ya”,
menunjukan dasar hukumnya ke pasal 840 KUHPerdata, sedangkan Klaassen dan
Eggens mengatakan “tidak”, menunjuk pasal 841 KUHPerdata sebagai alasannya.
Namun demikian yang merupakan ajaran umum adalah pendapat dari Klaassen
dan Eggens ini.
3.

Menolak Warisan
Pasal 1060 KUHPerdata, menentukan : orang yang telah menolak warisan

tidakdapat diwakili bij plaatsvervulling (dengan pergantian tempat); jika ia adalah
22

J. Satrio, op.cit., hlm. 43.

satu-satunya ahlwaris dalam derajatnya, atau jika semua ahliwaris menolak,

maka anak-anaknya akan mewaris atas dasar kedudukan mereka sendiri (uit eigen
hoofde) dan mewaris untuk bagian yang sama.23
Contoh :
P

A

B

E

C

F

G

D

H

I

P meninggal dunia, ...... dans seterusnya.
B, C, dan D menolak warisan. Maka E, F, G,H dan I bersama-sama mewaris
terhadap harta warisan P, tidak berdasarkan penggantian tempat B, C dan D tetapi
atas kedudukan sendiri. Mereka memperoleh bagian yang sama, sehingga
E=F=G=H=I=1/5 (seperlima) bagian.
4.

Tentang anak luar kawin yang diakui
Pasal 866 KUHPerdata, menentukan:anakluar kawin tidak menggantikan

tempat, tetapi keturunan sah dari anak luar kawin itu menggantikan tempat.
Contoh :
23

(1)

Hartono Soerjopratiknjo, op.cit., hlm. 105.

P

A

B

C

Dalam gambar diatas, B dan C (keduanya anak luar kawin) tidak
menggantikan tempat A mewaris terhadap P, jika A, meninggal lebih dulu dari P.
(2)

P

A (Anak luar kawin)

B

C

Dalam gambar diatas, B dan C menggantikan tempat A mewaris terhadap
P, jika A, meninggal lebih dulu dari P.
5.

Ahliwaris testamenter juga tidak menggantikan tempat.
Pasal 899 ayat (1) KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut: untuk dapat

menikmati sesuatu berdasarkan surat wasiat, seseorang harus sudah ada pada saat
pewaris meninggal, dengan mengindahkan peraturan yang ditetapkan dalam pasal
2 Undang-undang ini.
E. Kedudukan Hukum Ahliwaris
Menurut pasal 1023 KUHPerdata, kepada para ahliwaris diberi hak untuk
berpikir lebih dulu untuk dapat menyelidiki keadaan warisan. Cara untuk
mempergunakan hak berpikir, dengan memberi pernyataan kepada Pengadilan
Negeri setempat. Setelah itu seorang ahliwaris dapat menentukan sikapnya. 24
Di dalam menentukan sikap, ada 3 (tiga) kemungkinan :
1.

Menerima warisan secara murni.

2.

Menerima secara benefisier, atau dengan hak istimewa untuk mengadakan
pencatatan harta warisan.

3.

Menolak warisan.
Selanjutnya pasal 1024 KUHPerdata, menentukan: hak berpikir diberikan

selama 4 (empat) bulan, namun pengadilan dapat memperpanjang atas dasar
alasan yang mendesak satu atau beberapa kali.
Dalam praktek tidak banyak ahliwaris menggunakan haknya untuk berpikir.
Biasanya langsung menentukan pilihan “menerima dengan murni”.
1. Akibat menerima warisan secara murni.
Ahliwaris atau para ahliwaris yang menerima warisan secara murni, baik
secara diam-diam maupun dengan tegas (pasal 1048 KUHPerdata), bertanggung
jawab sepenuhnya atas segala kewajiban yang melekat pada harta warisan,artinya
ashliwaris harus menanggung segala macam utang-utang si pewaris.25
24

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 56.
25
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), hlm.41.
Lihat juga Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.3.

Aktiva (harta kekayaan) dan Passiva (Utang), dengan sendirinya berpindah
kepada ahliwaris. Hak untuk menerima warisan secara murni, lewat waktu
(daluwarsa) setelah 30 (tiga puluh) tahun (pasal 1055 KUHPerdata).
Kalau sudah menyatakan menerima dengan murni, maka tidak mungkin lagi
menerima secara benefisier. Akan tetapi ahliwaris yang sudah menerima secara
benefisier, ia masih dapat menerima secara murni.

Ahliwaris yang sudah menerima secara murni atausecara benefisier, tidak
dapat lagi menolak warisan.26 Ahliwaris yang sudah menolak warisan, tidak dapat
lagi menerima dengan cara bagaimana pun juga, kecuali jika harta warisan belum
dibagi, ia masih dapat menerimanya (pasal 1056 KUHPerdata).
2.

Akibat menerima warisan secara benefisier.
Menurut pasal 1032 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata, ahliwaris hanya

bertanggung jawab terhadap utang-utang yang ditinggalkan si pewaris sepanjang
harta warisan yang ditinggalkan cukup untuk membayar utang itu.
Harta warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahliwaris atau dengan
kata lain tidak terjadi percampuran harta kekayaan (confusio) antara kekayaan
ahliwaris dengan harta warisan. Tidak semua ahliwaris dapat memilih salah satu
dari 3 (tiga) kemungkinan sebagimana ditentukan dalam pasal 1023 KUHPerdata.
Ada yang oleh undang-undang diwajibkan secara benefisier, yaitu :
1.

Ahliwaris dari pewaris dalam keadaan tidak hadir,

2.

Wali, dan

3.

Negara.
26

Hartono Soerjopratiknjo, op.cit., hlm. 69.

Kewajiban ahliwaris benefisier, ditentukan dalampasal 1033 KUHPerdata,
yang berbunyi, sebagai berikut:
Ahliwaris yang telah menerima warisan dengan hak istimewa untuk
mengadakan pencatatan, wajib mengurus barang-barang yang termasuk harta
warisan itu sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, dan secepatnya

menyelesaikan urusan warisan itu; ia wajib memberi pertanggung jawaban kepada
para kreditur dan penerima hibah wasiat.
3.Akibat menolak warisan.
Pasal 1057 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut : penolakan suatu warisan
harus dilakukan dengan tegas, dan harus terjadi dengan cara memberikan
pernyataan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya
warisan itu terbuka.
Akibat penolakan suatu warisan, diatur dalam pasal 1058, 1059 dan 1060
KUHPerdata.
Ahliwaris yang menolak warisan dainggap tidak pernah menjadi ahliwaris
(pasal 1058 KUHPerdata). Bagian yang menolak ditambahkan (aanwas) kepada
bagian ahliwaris yang menerima (pasal 1059 KUHPerdata). Selanjutnya menurut
pasal 1060 KUHPerdata, dalam hal penolakan tidak ada penggantian tempat,
kecuali atas kedudukan sendiri. Ketentuan ini secara analogi berlaku terhadap
mereka yang onwaardig.
Kemudian, cara perhitungan menurut pasal 1058 KUHPerdata bisa sama
dengan pasal 1059 KUHPerdata, dan bisa juga tidak. Jika tidak, makapasal 1058
KUHPerdata yang digunakan. Tetapi dalamhal tertentu berdasarkan keadilan dan
kepatutan ada kemungkinan pasal 1058 KUHPerdata mengalah kepada pasal 1059
KUHPerdata. 27
Alasan untuk menolak warisan ini umumnya bukan karena takut
mengorbankan harta kekayaan pribadinya untuk membayar utang-utang yang
ditinggalkan si pewaris, tetapi lebih pada bahwa yang bersangkutan sudah cukup

kaya atau sudah hidup berkecukupan, sehingga kawan waris lainnya pun juga
dapat hidup berkecukupan.28
Hak untukmenolak warisan tidak mengenal daluwarsa (pasal 1062
KUHPerdata).
Selanjutnya, contoh pembagian menurut pasal 1058 KUHPerdata sama
dengan pasal 1059 KUHPerdata.29
Lihat gambar :
P

B

C

D

P, meninggal dunia, meninggalkan istrinya bernama B dan dua orang anak, C
dan D. C menolak warisan. Menurut pasal 1058, C dianggap tidak ada, maka B =
D = ½ (setengah bagian).
Menurut pasal 1059, warisan dibagi 3 (tiga) dulu,B = C = D = 1/3 (sepertiga)
bagian. Kemudian bagian C 1/3 (sepertiga) bagian dibagikan lagi kepada B dan D,
sehingga B = D = ½ (setengah) bagian. Dalam hal ini digunakan pasal 1058 atau
pasal 1059, sama saja hasilnya, yaitu B = D = ½ (setengah) bagian.
27

Hartono Soerjopratiknjo, ibid., hlm. 109.

28

Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW,(Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 36.
29

Effendi Perangin, op.cit., hlm. 171.

Contoh : pembagian menurut pasal 1058 tidak sama dengan pasal 1059.30
Lihat Gambar:
P

B

C

D

E

F

G

P, meninggal dunia, meninggalkan istrinya bernama B, dua orang anak C dan
D dan dua orang cucu F dan G anak dari E, E meninggal lebih dulu dari P. G
menolak warisan.
Pembagian menurut pasal 1058 KUHPerdata, maka B = C = D = F = ¼
(seperempat) bagian. Tetapi jika perhitungan dilakukan menurut pasal 1059
KUHPerdata, bagian G = 1/8 (seperdelapan) bagian, kemudian dibagikan kepada
ahliwaris yang lain, maka bagian F akan lebih kecil dari ¼ (seperempat) bagian.
Dalam hal ini digunakan pasal 1058 KUHPerdata, yang menguntungkan semua
ahliwaris.
Mengenai pasal 1058 berdasarkan keadilan dan kepatutan mengalah kepada
pasal 1059 (sebagai kekecualian), tidak diberikan contoh disini.31
30

Effendi Perangin, ibid., hlm. 173.

31

Effendi Perangin,, ibid., hlm. 180.

F.

INBRENG (Pemasukan)
Tentang inbreng ini dalam sistematika KUHPerdata diatur dalam bab XVII

(Tentang Pembagian Harta Warisan), bagian kedua, Buku II, Pasal 1086 sampai
dengan Pasal 1099 KUHPerdata.

Pembahasannya dilakukan dalam sistem pewarisan ab Intestato ini
maksudnya agar dapat memudahkan perhitungan pembagian harta warisan
manakala ada hibah dari pewaris (semasa hidupnya) kepada ahliwaris/para
ahliwarisnya.
Inbreng,

berarti

:

“memperhitungkan

pemberian-pemberian

yang

dilakukan oleh si pewaris pada waktu ia masih hidup kepada ahliwaris”. (pasal
1086 KUHPerdata)
Selanjutnya ketentuan pasal 1086 KUHPerdata ini menentukan yang wajib
inbreng, ialah :
1.

Ahliwaris dalam garis lurus ke bawah, baik anak sah maupun luar kawin yang
diakui (termasuk ahliwaris penggantian tempat).

2.

Ahliwaris lain, jika pewaris mewajibkannya (ahliwaris ab Intestato dan
testamenter)
Contoh : P, meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak bernama A dan

B. Harta warisan berjumlah Rp. 12.000.000,-. Semasa hidupnya, P pernah
memberi hibah kepada A sebesar Rp. 4.000.000,-. Berapa besar bagian masingmasing?32
Dalam hal ini, maka : A harus inbreng sebesar Rp. 4.000.000 ke dalam harta
32

Lihat juga contoh dari J. Satrio, op.cit. hlm. 305.

warisan,

sehingga

harta

warisan

berjumlah

Rp.

12.000.0000+Rp.

4.000.000=Rp. 16.000.0000. A = B = ½ x Rp. 16.000.000 = Rp. 8.000.000. Jadi A
masih mendapat Rp. 4.000.000 lagi dari harta warisan,s edangkan B mendapat Rp.
12.000.000 – Rp. 4.000.0000 = Rp. 8.000.000.

Bagaimana kalau yang dimasukannya (INBRENG) akan lebih besar dari apa
yang akan diterimanya? Maka untuk menghindari jangan sampai ahliwaris yang
bersangkutan menolak warisan, diadakan ketentuan Pasal 1088 KUHPerdata,
yang menentukan: ahliwaris penerima hibah hanya memberikan inbreng sebesar
yang ia terima dari warisan saja.
Contoh :
P, meninggal dunia, meninggalkan 3 (tiga) orang anak bernama A, B dan C.
Kepada A, semasa hidupnya P pernah menghibahkan barang senilai Rp.
50.000.000. Harta warisan berjumlah Rp. 70.000.000. Berapa besar bagian
masing-masing?
Jika A melakukan inbreng sebesar Rp. 50.000.000, maka harta warisan
berjumlah Rp. 70.000.000+Rp. 50.000.000 = Rp. 120.000.000, sehingga A = B =
C = 1/3 x Rp. 120.000.000 = Rp. 40.000.000.
A, ternyata memasukkan lebih banyak dibanding dengan apa yang ia terima
kemudian. Ia memasukkan Rp. 50.000.000 tetapi ia kemudian menerima Rp.
40.000.000. Untuk menghindari agar A tidak menolak warisan, maka pasal 1088
KUHPerdata menentukan : A hanya wajib memasukkan sebesar yang ia terima
dari harta warisan.
Cara penyelesaiannya :
Berapa besarnya yang akan diterima oleh A dari harta warisan? Kita harus
menghitung dulu besarnya bagian B dan C dari harta warisan. Perhitungannya : B
= C = ½ x Rp. 70.000.000 = Rp. 35.000.000. Oleh karena B dan C, msing-masing

menerima sebesar Rp. 35.000.000, maka A pun akan mendapat bagian yang sama,
yaitu sebesar Rp. 35.000.000.
Oleh karena itu A, hanya wajib inbreng sebesar Rp. 35.000.000, untuk ia
terima kembali sebesar 1/3 x (Rp. 70.000.000+Rp. 35.000.000) = Rp. 35.000.000.
hasil akhir dari contoh ini, maka B dan C masing-masing akan mendapat, ½ x Rp.
70.000.000 = Rp. 35.000.000, sedangkan A tidak mendapat bagian lagi.
Pemberian-Pemberian Apa Saja Yang Harus Diperhitungkan (Diinbreng)?
Menurut pasal 1086 KUHPerdata, yang harus diinbreng adalah semua hibah
yang diperoleh dari si pewaris. Selanjutnya pasal 1096 KUHPerdata, menentukan
lebih lanjut : selain hibah menurut pasal 1086 KUHPerdata, juga termasuk segala
sesuatu yang telah diberikan untuk menyediakan kedudukan, pekerjaan atau
perusahaan kepada ahliwaris, atau untuk membayar utang-utangnya, dans egala
sesuatu yang diberikan kepadanya sebagai pesangon untuk perkawinan.
Sedangkan pemberian-pemberian yang tidak perlu diperhitungkan adalah
pemberian-pemberian sebagaimana ditentukan dalam pasal 1097 KUHPerdata,
sebagai berikut: biaya pemeliharaan dan pendidikan; biaya untuk pemeliharaan
hidup; pengeluaran untuk memperoleh keahlian dalam bidang perdagangan,
kesenian, pekerjaan tangan atau perusahaan; biayas ekolah; biaya pernikahan;
pakaian dan perhiasan untuk perlengkapan perkawinan.
Ketentuan terakhir dari inbreng ini yaitu pasal 1099 KUHPerdata,
menentukan bahwa : segala sesuatu yang telah musnah karena suatu malapetaka
dan di luar salahnya si penerima hibah, tidak usah diperhitungkan.
G. Sistem Pewarisan Menurut Surat Wasiat

Pasal 875 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut: surat wasiat atau
testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya, terjadi setelah ia meninggal yang dapat dicabut kembali olehnya.
Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa unsur atau ciri surat wasiat
adalah sebagai berikut:
1.

Surat wasiat berlaku setelah pembuat testamen meninggal dunia.

2.

Dapat dicabut kembali.

3.

Bersifat pribadi.

4.

Dilakukan dengan cuma-cuma.

5.

Merupakan perbuatan hukum sepihak.

6.

Dibuat dengan akta.
Berbeda dengan ketentuan Pasal 875 KUHPerdata ini, Pasal 874 KUHPerdata

menyatakan bahwa warisan jatuh ke tangan ahliwaris menurut Undang-undang,
sepanjang tentang hal itu tidak ditentukan lain secara sah. Dilihat dari ketentuan
ini, maka suatu warisan sebagian dapat diperoleh berdasarkan undang-undang dan
untuk sebagian lain berdasarkan testamen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
pengaturan mengenai pewarisan untuk bagian terbesar bersifat hukum pelengkap,
dan hanya sebagian kecil saja yang bersifat hukum memaksa.33
33

Hartono Soerjokpratiknjo, Hukum Waris Testamenter, Seksi Notariat Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta, 1982), hlm.2.

Syarat-Syarat Membuat Surat Wasiat :
1.

Orang yang hendak membuat surat wasiat harus dalam keadaan sehat
pikirannya (pasal 895 KUHPerdata).

2.

Berusia

sekurang-kurangnya

18

(delapan

belas)

tahun

(pasal

897

KUHPerdata).
3.

Yang menerima wasiat harus sudah ada dan masih ada ketika pewaris
meninggal dunia (pasal 899 KUHPerdata).

Bentuk Surat Wasiat
Menurut pasal 931 KUHPerdata, ada 3 (tiga) bentuk:
1.

Surat wasiat olografis (tertulis sendiri)

2.

Surat wasait rahasia (geheim testament)

3.

Surat wasiat terbuka/umum (openbaar testament)

Ad. 1. Surat wasiat olografis (tertulis sendiri)
Testament ini harus ditulis tangan sendiri seluruhnya oleh si
pewaris (pembuatan testament) dan ditandatangani sendiri olehnya (pasal
932 KUHPerdata). Jika ada tulisan orang lain, maka testament ini menjadi
batal. Kemudian testament ini dititipkan atau disimpan di Kantor Notaris.
Notaris membuat akta penyimpanan, dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang
saksi, disebut : akta van depot.
Ad. 2. Surat wasiat rahasia (geheim testament)
Testament ini dapat ditulis sendiri dan dapat ditulis oleh orang lain.
Kemudian diserahkan dalam sampul tertutup kepada Notaris.
Notaris membuat akta penyerahan dengan dihadiri oleh 4 (empat)
orang saksi disebut akta superskripsi (pasal 940 KUHPerdata).
Ad. 3. Surat wasiat terbuka/umum

Bentuk surat wasiat ini yang paling umum dilakukan. Dalam hal
ini si pewaris datang ke kantor Notaris mengutarakan kehendak
terakhirnya, kemudian Notaris membuat akta dengan dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi (pasal 938 jo pasal 939 KUHPerdata).
Di luar ketiga bentuk ini, undang-undang masih mengenal satu
macam lagi surat wasiat, yaitu surat wasiat yang dibuat dalam keadaan
darurat (pasal 946, pasal 947 dan pasal 948 KUHPerdata).
Pasal 946 KUHPerdata menentukan : dalam bersenjata yang berada
di medan perang ataupun di tempat yang di duduki oleh musuh dapat
membuat surat wasiat mereka, di hadapan seorang perwira yang serendahrendahnya berpangkat letnan atau bila tidak ada perwira dihadapan orang
yang di tempat itu menduduki jabatan militer tertinggi dengan di hadiri 2
(dua) orang saksi.
Kemudian pasal 947 KUHPerdata berbunyi: surat wasiat orangorang yang sedang berlayar di laut dapat di buat di hadapan Nakhoda atau
Mualim kapal itu, atau bila mereka tidak ada, dihadapan orang yang
menggantikan jabatan mereka dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
Selanjutnya pasal 948 ayat (1) KUHPerdata berbunyi: mereka yang
berada di tempat-tempat yang dilarang berhubungan dengan dunia luar
karena berjangkitnya penyakit pes atau penyakit menular lain, boleh
membuat wasiat mereka di hadapan setiap pegawai negeri dan 2 (dua)
orang saksi. Ayat (2) : wewenang yang sama juga diberikan kepada mereka
yang jiwa nya terancam akibat sakit mendadak atau ....dan seterusnya.

Bagaimana kekuatan pembuktian surat wasiat yang dibuat dalam
keadaan darurat ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 3 (tiga)
ketentuan yang harus di lihat, yakni pasal 950, 951 dan pasal 952
KUHPerdata.
Menurut pasal 950 KUHPerdata, surat wasiat yang di buat dalam
keadaan luar biasa sebagaimana di tentukan dalam pasal 946, 947 dan 948
ayat (1) ini hanya mempunyai kekuatan berlaku selama 6 (enam) bulan
setelah sebab yang menyebabkan keadaan luar biasa itu terhenti. Jika
sudah lampau waktu 6 (enam) bulan, maka wasiat itu sudah tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
Khusus untuk keadaan luar biasa sebagaimana di maksudkan pasal
948 ayat (2) KUHPerdata (pemberontakan atau bencana alam), tenggang
waktu 6 (enam) bulan itu di hitung dari tanggal pembuatan akta.
Selanjutnya pasal 951 KUHPerdata, menentukan surat wasiat yang
dibuat dalam keadaan luar biasa, dapat disebut dengan akta di bawah
tangan, sepanjang surat itu seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan
ditandatangani oleh pewaris.
Surat wasiat semacam ini kekauatan berlakunya hanya 3 (tiga)
bulan,setelah sebab yang menyebabkan keadaan luar biasa itu berakhir (pasal 952
KUHPerdata).
Di samping testamen yang hanya dapat dibuat dengan cara diatur dalam
pasal 931 KUHPerdata, dan wasiat yang dibuat dalam keadaan darurat, undangundang mengenal pembuatan ketetapan lain secara di bawah tangan yang tidak

perlu memenuhi formalitas-formalitas tertentu (pasal 935 KUHPerdata). Akta ini
disebut : KODISIL.
Hanya ada 3 (tiga) jenis ketetapan yang dapat dibuat dengan kodisil :34
1.

Mengangkat pelaksana wasiat

2.

Mengatur penguburan

3.

Menghibahkan pakaian, perhiasan dan perabot rumah tangga.
Suatu testamen dapat juga dibuat di luar negeri sesuai dengan ketentuan

pasal 945 KUHPerdata. Pasal 945 KUHPerdata menyatakan :warga negara
Indonesia yang berada di luar negeri tidak boleh membuat wasiat selain dengan
akta otentik dan dengan mengindahkan ketentuan yang berlaku di negeri tempat
akta itu dibuat.
Selanjutnya suatu surat wasiat dapat dibuat dengan syarat (tangguh atau
batal), dengan ketentuan waktu dan beban kewajiban. Menurut pasal 888
KUHPerdata, jika suatu syarat yang terdapat dalam surat wasiat tidak dapat
dimengerti, atau jika syarat itu tidak mungkin dilaksanakan, atau bertentangan
34

Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, ibid., hlm.155.

dengan kesusilaan, dianggap sebagai tak tertulis, dan testamen itu berlaku sebagai
testamen tanpa syarat.
Suatu surat wasiat dengan ketentuan waktu dapat dikemukakan sebagai
contoh, misalnya testamen yang diberikan kepada seorang anak yang belum
dewasa. Ia baru dapat memperoleh harta setelah dewasa (21 tahun).
Surat wasiat dapat pula dibuat dengan beban kewajiban (last). Misalnya si
penerima testamen diberi kewajiban untuk memberikan sesuatu atau tidak berbuat

sesuatu. Jika kewajiban yang tidak ditentukan dalam testamen tidak dipenuhi oleh
si penerima testamen, maka surat wasiat ini dapat dibatalkan (pasal 1004
KUHPerdata).

H. Penafsiran Surat Wasiat
Suatu surat wasiat dapat ditafsirkan secara umum dan secara khusus. 35
Penafsiran secara umum termuat dalam pasal 885, pasal 866 dan pasal 887
KUHPerdata, sedangkan penafsiran secara khusus diatur dalam pasal 877 dan 878
KUHPerdata.
Pasal 885 KUHPerdata, berbunyi: Bila kata-kata sebuah surat wasiat telah
jelas, maka tidak boleh ditafsirkan dengan menyimpang dari kata-kata itu.
Selanjutnya pasal 886 KUHPerdata, menentukan: bila kata-kata dalam surat itu
dapat ditafsirkan secara berbeda-beda menurut berbagai pendapat, maka yang
harus diselidiki adalah maksud dari si pewaris.
Dalam hal penafsiran secara khusus, pasal 878 KUHPerdata menentukan:
35

Gregor van der Burght, op.cit., hlm.124.

Ketetapan, dengan surat wasiat untuk kepentingan orang-orang miskin tanpa
penjelasan lebih lanjut, dianggap telah dibuat untuk kepentingan semuaorang yang
menyandang sengsara tanpa membedakan agama yang dianut, dalam lembaga
fakir miskin di tempat warisan itu terbuka.
Pengaruh Paksaan, Penipuan, Kehilafan, Terhadap Surat Wasiat.
Menurut pasal 893 KUHPerdata, paksaan dan penipuan mengakibatkan
surat wasiat menjadi batal. Kehilafan pada umumnya tidak menyebabkan surat

wasiat menjadi batal, kecualia pabila alasan palsu tercantum dalam surat wasiat
itu