Perkembangan Penelitian Paradigma Penelitian 1. Positivisme dan Non-Positivisme

1 METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF 1 Oleh: Aman

A. Paradigma Penelitian 1. Positivisme dan Non-Positivisme

Ada dua pandangan besar dalam kegiatan penelitian yang menyangkut metode yaitu pandangan positivistik dan non positivistik. Dalam paham positivistik, segala sesuatu atau gejala itu dapat diukur secara positif atau pasti sehingga dapat dikuantifikasikan. Hal tersebut tidak hanya berlaku dalam ilmu alam saja, tetapi juga pada ilmu sosial. Dalam ilmu alam, paham positivistik tersebut tidak banyak menemui kendala karena objeknya adalah materi atau benda. Tetapi ketika diterapkan pada ilmu sosial, maka bukan saja sulit dilakukan, tetapi juga banyak ditentang oleh ilmuwan-ilmuwan sosial. Penganut paham positivistik tersebut berpendapat bahwa segala sesuatu itu tidak boleh melebihi fakta. Dalam paham non- positivistik, kebenaran tidak hanya berhenti pada fakta, melainkan apa makna di balik fakta tersebut. Dalam ilmu sosial, di mana kajiannya adalah manusia bukannya benda, maka pandangannya lebih didominasi oleh pandangan non-positivistik. Dalam konsepsi ini, paham positivistik diidentifikasikan dengan kegiatan riset kuantitatif, sedangkan paham non- positivistik diidentifikasikan sebagai kegiatan riset kualitatif. Namun demikian, perbedaan paham tersebut berdampak positif terutama dijadikan sebagai ajang dialog dalam rangka untuk mengembangkan keilmuan baik sosial maupun alam, untuk saling melengkapi kedua paradigma tersebut.

2. Perkembangan Penelitian

Pada awal perkembangan riset kualitatif, terjadi pertentangan yang sangat tajam dengan riset kuantitatif, yang sebelumnya secara kuat telah menguasai kegiatan penelitian di segala bidang ilmu. Pada mulanya riset kualitatif dipandang sebagai kegiatan yang tidak bisa dipercaya dan dipandang tidak ilmiah. Perdebatan panjang dan saling menyerang telah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Dengan menunjukkan kekuatanya masing-masing, pertentangan tersebut telah berkembang dan mendudukkan posisi penelitian kualitatif menjadi berbeda, yaitu sebagai pendekatan yang diakui oleh sebagian besar pakar penelitian dan para ilmuan sebagai suatu alternatif metodologi penelitian yang bisa digunakan. Pada saat ini kedua paradigma penelitian tersebut telah dinyatakan sama kedudukannya, dan bahkan bisa saling membantu untuk memperkuat hasil penelitian. Perdebatan secara resmi sudah tidak lagi terdapat pada artikel jurnal penelitian di dunia. Perdebatan sudah dipandang berakhir. Namun banyak yang menyayangkan berakhirnya perdebatan tersebut, karena ternyata perdebatan tersebut mempunyai dampak positif terutama dalam meningkatkan kemantapan paradigma penelitian kualitatif. Dalam menanggapi perkembangan pengetahuan manusia, Auguste Comte sebagai tokoh positivisme telah merumuskan adanya tiga jaman yaitu jaman teologis, metafisis, dan positif. Dalam jaman teologis diyakini adanya kuasa adi kodrati yang mengatur gerak dan fungsi semua gejala alam ini. Kuasa tersebut berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada makhluk insani. Jaman ini dinyatakan terbagi menjadi tiga periode yaitu animisme, politeisme, dan monoteisme. Pada jaman metafisis, kuasa adi kodrati tersebut telah digantikan dengan konsep-konsep abstrak, seperti halnya “kodrat”, dan “penyebab”. Selanjutnya pada jaman positif, manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan dengan menggunakan 1 Disampaikan dalam acara Pengabdian Pada Masyarakat di Islam Gamping Sleman dengan tema “Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Remaja dan Karya Sejarah serta pembimbingannya di SMA Islam I Gamping” hari Jumat tanggal 29 Juli 2011. 2 kemampuan rasionya. Atas dasar itu perkembangan ilmu pengetahuan juga terbagi menjadi tiga, yang pada awalnya bersifat teologis, kemudian berkembangan menjadi metafisis, dan selanjutnya dianggap mencapai kematangan positif. Jaman positif ini berkaitan dengan berkembangnya faham positifisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta, karena ilmu pengetahuan bersifat faktual. Dilihat dari sejarah jaman keyakinan yang mendasari perkembangan ilmu menjelaskan bahwa jaman yang satu digantikan oleh jaman berikutnya, sebagai hasil perkembangan kesadaran manusia dengan pola pikirnya mengenai kenyataan yang ada di alam kehidupan manusia ini. Dalam kenyataan selanjutnya, sampai dengan saat ini perkembangan jaman tersebut tidak berakhir sampai pada positivisme, karena dewasa ini sudah berkembanga faham baru yang mulai meninggalkan positivisme dan menyajikan keyakinan dengan warna yang berbeda, dan memulai jaman baru yang disebut jaman pascapositivisme. Dengan demikian perkembangan jaman keilmuan dinyatakan terdiri dari tiga jaman yakni jaman prapositivisme, positivisme, dan pascapositivisme Lincoln, 1985. Perkembangan penelitian, baik dalam ilmu kealaman maupun ilmu sosial, selama ini telah melewati sejumlah jaman paradigma, dengan periode-periode dimana seperangkat kepercayaan dasar tertentu membimbing para peneliti dalam cara-cara yang sangat berbeda- beda. Setiap jaman prapositivisme, positivisme, dan pascapositivisme memiliki seperangkat keyakinan dasar yang unik, merupakan prinsip metefisis, yang harus dipercaya dan digunakan sebagai petunjuk bagi setiap aksi atau aktivitas. Jaman prapositivisme merupakan jaman yang paling lama, dan perkembangan ilmu pada jaman itu kenyetaanya berjalan lambat. Secara garis besar jaman itu berlangsung sejak Aristoteles 384-322 B.C sampai sebelum David Home 1711-1776. Pada jaman ini para ilmuan bertindak sebagai pengamat pasif, dan semuanya berjalan secara “alamiah.” Usaha manusia untuk mempelajari alam dipandang sebagai intervensi dan tidak alamiah, sehingga apa yang dipelajari merupakan distorsi. Aristoteles percaya pada gerakan alamiah, dan intervensi manusia akan menghasilkan gerakan yang memerlukan energi dan tidak berkelanjutan secara tidak alamiah. Ia menyebutkan dua prinsip, yang secara umum dikenal dengan “hukum kontradiksi” yang menyatakan bahwa tak pernah ada proposisi yang bisa benar dan salah, yang kedua-duanya terjadi pada waktu yang sama, dan hukum “excluded middle” yang menyatakan bahwa setiap proposisi mestinya baik benar maupun salah, yang bilamana dilakukan oleh yang bukan intervensionis atau pengamat pasif tampak cukup untuk mendukung pemahaman ilmiah yang diperlukan. Perkembangan selanjutnya pada saat para ilmuan mulai menjamah keluar, mencoba gagasan-gagasan dan melihat apakah gagasan tersebut terjadi, akhirnya sampai pada tingkat pengamat aktif, dan ilmu pengetahuan mulai menyentuh jaman positivisme yang dirasakan lebih tepat untuk menjawab kebutuhan untuk memahami kehidupan ini yang sangat berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan pengalaman manusia, perubahan faham tersebut semakin cepat berkembang, dan gerakan baru ini mulai menentang faham sebelumnya yaitu prapossitivisme. Positivisme bisa dirumuskan sebagai sekeluarga filsafat yang bercirikan evaluasi pengetahuan dan metode ilmiah yang secara exstrim positif. Sebenarnya gerakan filsafat tersebut dimaksudkan untuk melakukan reformasi pada beragam area yang berbeda seperti etika, religi, politik, dan fisafat. Sebagai filsafat gerakan ini dimulai pada awal abad 19, berawal di Perancis dan Jerman. Pendukung yang paling kuat dalam abad 20 dibentuk oleh kelompok yang dikenal sebagai “the viena circle of logical positivist “ yang didukung oleh para ilmuan terkemuka. Namun kenyataannya positivisme memiliki dampak yang kuat tidak pda etika, religi, politik, dan filsafat, tetapi justru pada metode ilmiah. Jaman ini memulai dan memacu perkembangan ilmu pengetahuan secara pesat, dan pengaruhnya sangat kuat dalam berbagai bidang disiplin ilmu. 3 Faham positivisme menyatakan bahwa pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta. Ilmu pengetahuan bersifat faktual. Faham positivisme ini kemudian sangat menunjang berkembangnya empirisme, karena itu sangat mengutamakan pengalaman, tetapi dibatasi hanya pada pengalaman objektif saja. Demikian pula rasionalisme berkembang dan mempengaruhi pola pikir dalam keilmuan. Pengikut rasinolisme mengutamakan pikir untuk memperoleh kebenaran yang harus dikenalnya, bahkan sebelum adanya pengalaman. Jika kita menghendaki kesimpulan pengetahuan yang benar, maka premis-premis yang diajukan harus benar secara mutlak. Dua aliran tersebut ternyata saling bersifat berat sebelah dan tidak lengkap, sehingga terjadilah perpaduan keduanya dengan teori fenomenalismenya Kant, dan memililki dampak yang sangat positif dalam perkembangan ilmu. Dengan faham positivisme ini kemudian mulailah gerakan memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan lewat observasi dan exsperimentasi. Pandangan dunia Aristotelian yang menguasai abad pertengahan, akhirnya ditinggalkan secara definitif. Pada abad 17 faham tersebut melahirkan revolusi ilmu pengetahuan secara lengkap, dengan semboyan : “berani-lah berpikir.” Selanjutnya pada abad 18 pemikiran ilmiah telah menjadi mantap. Abad ini merupakan periode eksperimen untuk sebagian besar cabang ilmu pengetahuan Mendelson, 1980. Kini riset kualitatif telah banyak digunakan dalam berbagai bidang ilmu, antara lain dalam penelitian kebijakan, ilmu politik, administrasi, psiklogi, organisasi dan manajemen, serta perencanaan kota dan regional. Strategi riset ini dalam bentuk studi kasus sudah banyak sekali digunakan untuk penyusunan tesis dan disertasi dalam ilmu-ilmu sosial Yin, 1987. Bahkan kegiatan riset pendidikan yang semula hanya didasarkan pada pola pengukuran kuantitatif, definisi operasional, dan menekankan pada fakta empiris, sekarang sudah berubah arah dengan memberikan tempat yang sentral pada riset kualitatif yang menekankan analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya nuansa, dan riset tentang persepsi manusia Bogdan Biklen, 1982. Berbagai bidang eksakta kini sudah mulai menyadari kekuatan paradigma riset kualitatif, dan beragam penelitian dalam bidang-bidang tersebut mulai memperkuat diri dengan memanfaatkan penelitian ini. B. Jenis-jenis Penelitian Sedangkan berdasarkan metode atau pendekatan, penelitian dibagi menjadi beberapa jenis yakni sebagai berikut.

1. Penelitian Historis