METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF DAN HER

METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF DAN HERMENEUTIKA

METODE PENELITIAN KUALITATIF
Metode adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh
data yang diperlukan. Menurut Bogdan dan Taylor, metodologi adalah suatu
proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan, untuk mendekati problem dan
mencari jawaban. Dan sebenarnya metodologi dipengaruhi atau berdasarkan
perspektif teoretis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara
perspektif teoretis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi
yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit
dengan peristiwa dan situasi lain (Mulyana, 2001:145).
Seperti teori, metodologi juga diukur berdasarkan kemanfaatannya, dan tidak bisa
dinilai apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah hasil penelitian
secara benar, kita tidak cukup sekadar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi
juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan kelebihan dan
keterbatasan metode yang digunakannya. Adapun pengertian dari metode
penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam penelitian (Mulyana, 2001:146).
Sebagian orang menganggap bahwa metode penelitian terdiri dari berbagai teknik
penelitian, dan sebagian lagi menyamakan metode penelitian dengan teknik
penelitian. Tetapi yang jelas, metode atau teknik penelitian apa pun yang kita
gunakan, baik kuantitatif ataupun kualitatif, haruslah sesuai dengan kerangka

teoretis yang kita asumsikan.
Sebelum penulis menggambarkan dan menjelaskan lebih jauh tentang
pendekatan Hermeneutika dan juga pemetaan ideologi yang diambil oleh

penulis yakni teori ideologi dari John B. Thompson dan dicangkok dengan teori
hermeneutika dari Paul Ricoeur, maka ada baiknya terlebih dahulu diulas
karakteristik dari metodologi kualitatif. Banyak alasan ketika penulis harus
menggunakan metodologi penelitian kualitatif sebagai sebuah pendekatan. Salah
satu aspek terpenting dari pendekatan ini adalah lebih mementingkan proses, yaitu
sebuah keniscayaan dari komunikasi sebagai suatu proses yang diterima dari luar.
Lalu metode kualitatif

juga mempermudah untuk berhadapan dengan

kenyataan ganda, dan metode ini menyajikan secara langsung hakikat
hubungan antara peneliti dan responden dan selanjutnya kualitatif lebih peka dan
lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Oleh sebab itu, diharapkan dapat
menganalisis lebih mendalam dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang
ada, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau fenomena yang

sedang

berkembang.

Penelitian

dilakukan

dengan

menganalisis

dan

menginterpretasikan data yang tersedia. Pada dasarnya penelitian ini meletakkan
penekanan pada subyektifitas untuk melakukan interpretasi terhadap suatu persoalan
yang dikajinya.
Seperti yang ditegaskan Deddy Mulyana dalam bukunya Metodologi
Penelitian Kualitatif, penelitian ini mencari respon subyektif individual. Hasil
penelitian dari metodologi penelitian kualitatif selalu terbuka untuk persoalan baru.

Ini sesuai dengan pandangan subyektif mengenai realitas sosial bahwa: fenomena
sosial senantiasa bersifat sementara, bahkan bersifat polisemik (multimakna), dan
tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi berikutnya untuk menetapkan
status realitas tersebut.
Lalu Denzim dan Lincoln (1987) mendefinisikan penelitian kulitatif
yakni penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan
fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang

ada. Dan bersifat multimetoda, dalam fokusnya menggunakan pendekatan
naturalistik interpretatif kepada subyek yang diteliti (Rakhmat, 2004:4). Menurut
Miles dan Huberman, penelitian kualitatif berusaha menelaah secara intensif
kehidupan sehari-hari, selain itu juga bersifat holistik, berujung pada Verstehen
(pemahaman), menghasilkan tema dan pernyataan dalam bentuknya yang asli, dan
menjelaskan cara pandang orang dalam setting tertentu, mengungkapkan berbagai
penafsiran, dengan instrumentasi yang tidak baku, juga menganalisis dalam bentuk
kata (Rakhmat, 2004:2).
Penulis juga menyadari bahwa apapun metodologinya tetap memiliki
keterbatasan, seperti yang dinyatakan Dedy Mulyana (2000:18) bahwa Suatu
persepektif bersifat terbatas, dan mengandung bias, karena hanya memungkinkan
manusia melihat satu sisi saja dari realitas “di luar sana”. Dengan kata lain, tidak

ada perspektif yang memungkinkan manusia dapat melihat semua aspek realitas
secara simultan. Dengan demikian penelitian kualitatif dengan menggunakan konsep
cara kerja ideologi pun dapat mengalami pembiasan. Karena bagaimanapun suatu
persepektif tak bisa lepas dari suatu tendensi, maksud, tujuan dan sebagainya. Dalam
penelitian ini, yang menjadikan cara kerja ideologi seperti yang akan dibahas penulis
yakni sebagai peran utama tak terkecuali mengalami pembiasan ketika meneliti
suatu fenomena ilmiah, biasanya seorang peneliti menggunakan suatu perspektif
yang ia anggap secara akurat menjelaskan fenomena yang ia teliti. Tentu saja dalam
dunia keilmuan, penjelasan yang akurat merupakan tujuan dari suatu perspektif yang
baik. Perspektif yang baik mengambarkan realitas secara jelas, dan membantu kita
menemukan kebenaran.
Namun kebenaran itu berada di luar manusia, dengan suatu perspektif, realitas
itu tidak pernah benar-benar hadir sempurna pada manusia. Sehingga dalam
penelitian ini perspektif ini hanyalah mendekatkan pada kenyataan bukan pada
kenyataan sebenarnya. Mengutip Stuart Hall, kenyataan atau kebenaran itu

merupakan representasi dari teks-teks yang kita baca, pelajari kemudian kita
terjemahkan dan tafsirkan lagi. Bahwa kenyataan mengandung distorsi atau dalam
bahasa Dedy Mulyana kenyataan itu mengandung bias.
Namun pemilihan penelitian kualitatif dengan paradigma atau metodologi cara

kerja ideologi menyediakan beberapa “kemudahan” yang signifikan dalam
penelitian komunikasi ini. Sebagai peneliti penulis lebih dimudahkan untuk
memahami realitas-realitas ganda dalam proses penelitian, adanya interaksi yang
intim antara peneliti dan diteliti, subyek penelitian juga merespon sistematika
penelitian yang disusun, dan sebagainya.

3.1.1. Karakteristik Penelitian Kualitatif
Beradasarkan referensi dari Chaedar Alwasilah dalam bukunya Pokoknya
Kualitatif yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, ada beberapa ciriciri yang membedakan dengan penelitian jenis lainnya. Berikut penulis akan coba
uraikan secara singkat ciri-ciri kualitatif tersebut, antara lain:
a)

Pemahaman makna
Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi
dengan istilah “perspektif partisipan” (participant’s perspectives).

b)

Pemahaman konteks tertentu
Dalam perilaku kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan

pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu.

c)

Kemunculan teori berbasis data
Teori yang sudah jadi atau pesanan, atau a priori tidaklah mengesankan kaum
naturalis, karena teori-teori ini akan kewalahan jika disergap oleh informasi,
kejadian, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks baru.

d)

Pemahaman proses

Para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses (daripada produk)
kejadian atau kegiatan yang diamati.
e)

Penjelasan sababiyah (casual explanation)
Dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan
peran sehingga menyebabkan Y? Jadi yang dicari adalah sejauh mana kejadiankejadian itu berhubungan satu sama lain dalam kerangka penjelasan sababiyah

lokal (Alwasilah, 2003: 107-110).

Asal Usul Hermeneutika
Disepanjang sejarahnya, hermeneutika secara sporadis muncul dan
berkembang sebagai teori interpretasi. Ketika setiap orang menuntut kebutuhan akan
kepuasan fungsi otaknya dalam mencapai sesuatu yang ada disekelilingnya, ini
berarti bahwa otak selalu bertanya-tanya dan aktif menafsirkan apa yang
diterimanya, termasuk interaksi sesama manusia lewat bahasa yang memerlukan
penafsiran plural. Proses tafsir dalam diri manusia akan terus berlangsung selama ia
hidup. Melalui bahasalah pengalaman itu bisa digeneralisasikan ke setiap manusia.
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah
dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi (Sumaryono,1999:23). Di
dalam istilah itu secara langsung terkandung unsur-unsur penting yaitu:
mengungkapkan,

menjelaskan,

dan


menerjemahkan.

Adapun

asal-

usul hermeneutika sendiri yakni ketika Hermes menyampaikan pesan para dewa
kepada manusia. Dan hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.
Richard Palmer (2003:15-36) menyatakan ada tiga bentuk arti dari
hermeneuein yaitu hermeneuein sebagai “mengatakan”, yang merupakan
signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang

mencatat bahwa bentuk dari herme berasal dari bahasa Latin sermo, “to say”
(menyatakan),

dan

mengasumsikan


bahasa
bahwa

Latin
utusan,

lainnya

verbum,

didalam

“word”

memberitakan

(kata).
kata,

Ini


adalah

“mengumumkan” dan “menyatakan”. Lalu hermeneuein sebagai “to explain”,
interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif, ia
menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi akspresif. Dan
terakhir hermeneuein sebagai “to translate”, yang mempunyai dimensi

“to

interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan), yang
merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk
dipahami”. Jadi ketika suatu teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara
dunia teks dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian.

Definisi Hermeneutika
Hermeneutika dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau
filsafat interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi
sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek
dan yang diubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan

persoalan-persoalan

hermeneutika.

Dalam

pandangan

klasik,

hermeneutik

mengingatkan kita pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De
Interpretatione. Yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari
pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata
yang kita ucapkan itu. Bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami
perubahan. Menurut Gadamer bahasa harus kita pahami sebagai sesuatu yang
memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun
ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian
dikatakan Wilhelm Dilthey. Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.

Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu
tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti AlQuran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda; dan Upanishad supaya dapat dimengerti
memerlukan interpretasi atau hermeneutika. Tapi dalam bukunya Hermeneutika,
teori baru mengenai interpretasi, Richard Palmer mengemukakan enam definisi
modern hermeneutika:
“Pertama hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel yakni merujuk pada prinsipprinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut memasuki penggunaan modern sebagai
suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidahkaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Yang kedua hermeneutika sebagai
metodelogis filogogis yang menyatakan bahwa metode interpretasi yang
diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain,
selalnjutnya yang ketiga hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik,
schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai
“ilmu” atau “seni” pemahaman, dan hermeneutik sebagai sejumlah kaidah dan
berupaya

membuat

hermeneutika

sistematis-koheren, sebagai

ilmu

yang

mendeskripsikan konsdisi-kondisi pemahaman dalam suatu dialog. Keempat,
hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften yang melihat
inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu,
semua disiplin yang memfokuskan pada pemahamn seni, aksi, dan tulisan manusia).
Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial,
dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada
metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya
tentang keberadaan manusia itu sendiri. Yang terakhir hermeneutika sebagai sistem
interpretasi:menemukan makna vs ikonoklasme yakni sebuah interpretasi teks
partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai
teks” (Palmer, 2003: 38-49).

Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat,
bahkan sastra. Dalam Webster’s Third New Internasional Dictionary dijelaskan
bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodelogis interpretasi
dan eksplanasi. Pada dasarnya hermeneutika adalah landasan filosofi dan merupakan
juga modus analisis data. Sebagaimana filosofi pada pemahaman manusia, hal itu
menyediakan landasan filosofi untuk interpretativisme. Sebagai modus analisis hal
itu berkaitan dengan pengertian data tekstual. Hermeneutika terutama berkaitan
dengan pemaknaan suatu analog teks, seperti yang didefinisikan Palmer dalam salah
satu definisi hermenutika modernnya. Pertanyaan dasar apa teks itu?, teks seperti
apa yang dipahami hermeneutika?.
Menurut Ricouer (Bleicher,2003:357), teks yang dipahami Hermeneutika
adalah adanya otonomi teks, konteks sosio cultural dan alamat aslinya mengijinkan
prakondisi bagi penjarakan interpretor dari teks. Dalam memahami teks, maka antara
teks, pengarang dan pengkaji harus dihubungkan dengan realitas masyarakat yang
kontemporer, jadi ketiga unsur tersebut harus bersinergi, meskipun ada pemutusan
antara teks dan pengarangnya dalam hal subjeknya. Dibawah ini penulis
menggambarkan bagaimana hubungan antara teks, pengarang, reader ataupun yang
lainnya dalam hermeneutika cycle.

Gambar 3.1
Hermeneutika Cycle (Hasan, Irfan, Wawancara Juni 2005)

Teks

Teks

Pengarang

Sebuah

teks

Reader

pada

dasarnya

Pengarang

bersifat

otonom,

The Other

untuk

melakukan

‘dekonstekstualisasi’ , baik dari sudut pandang sosiologis, maupun psikologis, serta
untuk melakukan ‘rekonstekstualisasi’ secara berbeda didalam tindakan membaca
(‘dekontekstualisasi’ = proses ‘pembebasan’ diri dari konteks; ‘rekonstekstualisasi’
= proses masuk kembali kedalam konteks). Otonomi teks sendiri menurut Ricour
ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial
pengadaan

teks,

dan

untuk

siapa

teks

itu

dimaksudkan.

Atas

dasar

otonomi ini, maka yang dimaksudkan dengan “dekonstekstualisasi” adalah bahwa
materi teks “melepaskan diri” dari cakrawala intensi yang terbatas dari
pengarangnya. Teks ini membuka diri dari kemungkinan dibaca secara luas, dimana
pembacanya selalu berbeda-beda. Inilah yang dimaksud ‘rekonstekstualisasi”
sebagai contoh, novel ditulis dalam kerangka waktu khusus dan historis dimana
pengarangnya hidup dan menulisnya. Maka tidak kita ragukan lagi kalau penulis
novel mengungkapkan hal-hal khusus dalam kebudayaan pada zamannya.
Mengutip pernyataan Paul Ricoeur dalam buku Filsafat Wacana, Membedah
Makna

dalam

Anatomi

Bahasa

(2002:217)

yang

secara

mendasar

mengatakan bahwa teks adalah any discourse fixed by writing. Pertama Ricouer
memahami arti discourse sendiri, merujuk kepada bahasa sebagai event yaitu bahasa
yang membicarakan sesuatu. Dalam hal ini ada dua jenis artikulasi discourse yaitu

bahasa lisan dan bahasa tulis atau teks. Jenis yang kedua dari artikulasi ini
memperlihatkan bahwa teks adalah korpus yang otonom, mandiri dan totalitas,
yang dicirikan dalam empat hal. Pertama, dalam sebuah teks terdapat makna dari
apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of
saying), kedua makna sebuah teks tidak lagi terikat kepada pembicara atau tidak
terkait dengan apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti penulis tidak
diperlukan, meskipun Ricouer sempat mengatakan tentang “kematian penulis” yang
maksudnya

kematian bukan dalam arti sebenarnya atau transidental tetapi

maksudnya si penulis terhalang oleh teks yang sudah membaku. Seperti juga yang
dikatakan oleh Barthes bahwa “pengarang sudah mati”, ini tentunya hanya sebuah
metafora untuk menggambarkan bahwa tidak lagi semangat dan jiwa pengarang
dalam karyanta. Pengarang tidak lagi bicara. Menurut Barthes,
…adalah bahasa yang bicara, bukan pengarang; menulis, melalui prasyaratprasyarat impersonalitasnya (jangan dikacaukan dengan objektivitas kebiri para
novelis realis), adalah proses mencapai satu titik dimana hanya bahasa yang beraksi,
memainkan peran, dan bukan saya (Piliang, 1999:119)

Matinya sang pengarang dalam era postmodern diiringi dengan lahirnya para
pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang
menjadikan pembaca/ teks-teks sebagai pusat penciptaan , ketimbang pengarangnya
sendiri. Matinya sang pengarang, juga diikuti dengan dengan munculnya apa yang
disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power). Dalam
model ini, para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang , dan mereka berpeluang
untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dan diskursus. Ketiga
makna tidak terikat lagi pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi
terikat pada sistem semula (ostensive reference), ia tidak terikat pada konteks asli
dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk sebuah teks , adalah dunia imajiner yang

dibangun oleh teks itu sendiri, yang terakhir dengan demikian teks juga tidak
terikat kepada audience awal, sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu
tetapi siapapapun yang bisa membaca dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Cara Kerja Hermeneutika
Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat (Sumaryono,1993:30-33)
menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu netral, sebab objek adalah objek.
Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu
tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi
‘pakaian’ arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek,
sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak
bermakna sama sekali. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah
terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral.
Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya
atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sinilah kita lihat
keunggulan hermeneutika.
Semua lingkup interpretasi mencakup pada pemahaman. Namun pemahaman
itu sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun
psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang itu
mengerti. Sebagai contoh misalnya: Kapan seseorang dinyatakan mengetahui
adanya bahaya laten? Kapan saatnya seorang anak dinyatakan sudah memahami
matematika? Dapatkah kita melihat tepatnya waktu seseorang menangkap arti
sebuah kalimat yang diucapkan?
Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau
memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas
penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila
seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya.

Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi antara mengerti dan
membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan
interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’.
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga
segi yang paling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara
pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang
melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia
harus meresapi isi teks sehingga pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’
penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat ia pahami bahwa mengerti secara
sungguh-sungguh hanya kan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan
yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.